Nilai
Pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan kembali pada dua dekade belakangan
ini. Hal ini terjadi seiring timbulnya kesadaran para pelaku dunia pendidikan tentang
perlunya pendidikan karakter untuk mencapai cita-cita pendidikan. Program
pendidikan yang bertumpu pada pembentukan karakter ini berangkat dari
keprihatinan atas kondisi moral yang cenderung merosot belakangan ini, ditandai
dengan banyaknya kenanakalan remaja, kejahatan kriminal, sampai kekejaman
terorisme. Pembentukan karakter ini didasarkan pada kebutuhan untuk
menggunakan pengetahuan sebagai sarana agar saling mengayomi bukan untuk
menghantam sehingga dapat membangun lingkungan yang harmonis.
Bicara mengenai pendidikan karakter, terdapat banyak istilah yang terkait, antara
lain karakter, akhlak, adab, moral dan nilai. Masing-masing istilah memiliki cakupan,
batasan, dan penekanan yang berbeda. Secara umum, karakter merupakan perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,
dan kebangsaan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat
istiadat. Karakter dibangun berlandasankan penghayatan terhadap nilai-nilai
tertentu yang dianggap baik. Misalnya, terkait dengan kehidupan pribadi maupun
berbangsa bernegara, terdapat nilai-nilai universal
Islam seperti toleransi ( tasâmuh ), musyawarah ( syûrâ ), gotong royong ( ta‟ âwun),
kejujuran ( amânah ) dan lainnya.
Lalu apa perbedaan antara akhlak, adab, moral dan nilai dengan pendidikan
karakter? Menurut Imam al-Jurjani, akhlak adalah bangunan jiwa yang bersumber
darinya perilaku spontan tanpa didahului pemikiran, berupa perilaku baik (akhlak
yang baik) ataupun perilaku buruk (akhlak yang tercela).
[1] Al-Jurjani cenderung mengartikan akhlak sebagai kekokohan jiwa yang ada di
dalam diri manusia, yang mendorong manusia berbuat baik atau buruk. Jadi,
perilaku manusia didorong dari dalam jiwanya. Akal pikiran dan hati nurani yang
jernih mendorong perilaku yang elok, sementara nafsu mendorong perilaku nista.
Akhlak menjadi terpuji atau tercela tergantung pada benturan dan tarik-ulur
berbagai naluri dalam pergulatan batin manusia. Seseorang yang berbudi luhur
adalah yang sanggup memenangkan budi pekerti luhur dan menekan serta
mengalahkan nalurinya yang nista. Yang kedua adalah akhlak yang diperoleh melalui
usaha manusia (muktasabah)
[2] Pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter adalah proses usaha
membentuk agar akhlak manusia menjadi baik. Tujuan akhir pendidikan akhlak
dalam pandangan para ulama Islam klasik adalah terbentuknya karakter positif
dalam perilaku manusia. Namun dalam praktiknya, pendidikan akhlak cenderung
pada pengajaran baik dan buruk secara normatif seperti halnya pendidikan moral.
Meningkatnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja menunjukkan bahwa
pendidikan akhlak dalam lembaga pendidikan belumlah optimal.
Jika „akhlak‟ dan kata-kata yang seakar dengannya ( al- khuluq ) terdapat dalam al-
Quran, kata „adab‟ tidak terdapat dalam al-Quran dan mengandung makna yang
berbeda-beda. Adab dalam peradaban Arab pertama kali digunakan dalam makna
kesusastraan, yang terkait dengan keindahan bahasa. Makna adab berubah menjadi
pengajaran melalui periwayatan puisi, dongeng, hadis Nabi dan kisah peradaban
masa pra-Islam. Adab diartikan sebagai pembelajaran dan mu`addib sebagai
pendidik, tidak hanya di bidang hadis dan agama, namun juga mencakup puisi,
linguistik, pidato, dongeng dan kesusastraan pada umumnya.
[3] Kata adab mulai digunakan dalam makna akhlak pada masa dinasti Umayyah.
Dalam karyanya Kalîlah wa Dimnah , Ibn al-Muqaffa‟ menulis kisah mengenai empat
ulama yang dikumpulkan oleh raja. Sang raja berkata, “Silakan masing - masing
berbicara tentang fondasi dasar adab (akhlak).” Ulama pertama berkata, “Sahabat
ilmu yang paling utama adalah sikap diam , ” Ulama kedua berkata, “ Yang paling be
rmanfaat bagi manusia adalah ia mengetahui kadar kemampuan akalnya.” Ulama
ketiga bekata,
“Yang paling bermanfaat bagi manusia adalah tidak berbicara tentang hal yang sia -
sia.” Ulama keempat berkata, “Yang paling bernilai bagi manusia adalah rasa
menerima (legowo) atas ketentuan yang sudah ditetapkan.”
[4] Ibn al-Muqaffa‟ juga menulis buku tentang akhlak berjudul
al - Adab al - Kabîr dan
al - Adab al
Shaghîr . Adab dalam konteks ini tidak hanya mencakup akhlak, namun juga
pengetahuan yang mengokohkan akhlak seperti misalnya seni, kreasi, hikmah,
nasihat, puisi, kisah serta kata-kata mutiara yang secara langsung atau tidak
langsung mendorong manusia untuk berakhlak terpuji (makârim al - akhlâq) .
Menurut al-Jabiri, Ibn al-Muqaffa‟ menggunakan kata adab dalam karya-karyanya
tersebut mengandung tiga arti yang saling melengkapi dan saling terkait satu dengan
lainnya serta mengusung satu hal yaitu etika paripurna:
1). Adab
dalam arti akhlak. Yang dimaksudkan adalah sifat-sifat terpuji, tindakan atau
perilakuperilaku ( sulûk ) yang terpuji dan mulia yang ditumbuh-kembangkan oleh
sang pelaku dalam aktivitasnya setelah berpikir; 2). Sesuatu yang berusaha
mengusung sebuah akhlak paripurna, yaitu teks-teks yang diriwayatkan atau teks-
teks tertulis yang mewariskan pengetahuan akhlak mulia dan cara berhias diri
dengannya; 3). Seni atau ilmu yang menjelaskan tentang bagaimana mem perindah
bahasa dan tutur kata. Adab tak ubahnya sebagai seni berbahasa dan bertutur kata.
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena
bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah melainkan
menanamkan kebiasaan ( habituation ) tentang yang baik sehingga siswa didik
menjadi paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Pembedaan ini
karena moral dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral adalah pengetahuan
seseorang terhadap hal baik atau buruk. Sedangkan karakter adalah tabiat
seseorang yang langsung dirangsang oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa
dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai kritik terhadap
pendidikan moral selama ini. Itulah karenanya, terminologi yang ramai dibicarakan
sekarang ini adalah pendidikan karakter (charactereducation) bukan pendidikan
moral ( moral education ). Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki
perbedaan yang prinsipil.
Berbeda dengan penjelasan tentang karakter, akhlak, adab dan moral, istilah nilai
memiliki sejarah kata yang lebih modern. Dalam bahasa Prancis, nilai yaitu valuer
dan value dalam bahasa Inggris. Sedangkan valuer merupakan bahasa serapan dari
bahasa Latin yang mengandung arti “pemberani dalam berperang”, yang seakar kata
dengan valere dan valor , yang kemudian bertransformasi makna menjadi nilai.[8]
Values dalam bahasa Arab diartikan dengan qîmah (nilai). Awalnya q îmah diartikan
sebagai nilai bagi barang yang layak dijualbelikan. Semakin bernilai satu barang
maka harganya semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kurang bernilai atau bernilai
rendah satu barang maka harganya pun semakin rendah.
Penggunaan istilah
value (nilai) dalam doktrin Islam cenderung tidak berhubungan dengan akhlak atau
adab. Menurut Muhammad Abid al-Jabiri, istilah nilai selaras dengan arti fadhâ`il
(kata plural fadhîlah atau al - fadhl /keutamaan).[9] Sebab fadhâ`il itu merupakan
substansi atau esensi dari akhlak dan adab. Fadhâ`il dalam arti sesuatu yang
mendapatkan prioritas utama. Bahkan tarbiyah , ta‟lim dan ta‟dib juga berorientasi
pada mencari keutamaan ( fadhâ`il ).
Hal yang Perlu Dilakukan dalam Pendidikan Karakter
Pembentukan karakter dipahami secara luas agar mencakup aspek kognitif, afektif
dan perilaku moralitas/psikomotorik. Agar nilai-nilai ini dapat diterapkan, maka
lembaga pendidikan seperti universitas/institut, madrasah, sekolah atau pesantren
harus membantu anak didik memahami nilai-nilai inti, mengadopsi atau
mempraktikkannya untuk diri mereka sendiri, dan kemudian bertindak dalam
kehidupan mereka sendiri. Orang bisa menjadi sangat cerdas tentang hal-hal yang
baik dan buruk untuk kehidupannya, namun dapat tetap memilih yang salah. Contoh
paling sederhana adalah tentang cara membuang sampah. Pendidikan moral tidak
hanya mengutamakan aspek kognitif dan pengembangan intelektual, tapi juga
membutuhkan dimensi emosional/spiritual yang berfungsi sebagai jembatan antara
penilaian dan tindakan. Sisi emosional/spiritual mencakup setidaknya kualitas-
kualitas nurani (merasa kewajiban untuk melakukan untuk menjadi benar), harga
diri, empati, mencintai, pengendalian diri dan kerendahan hati.
Metode
Experien tial Learning adalah suatu metode proses belajar-mengajar yang
mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta
nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya secara langsung. Oleh karena itu,
metode ini akan bermakna tatkala pembelajar berperan serta dalam melakukan
kegiatan. Setelah itu, mereka memandang kritis kegiatan tersebut. Kemudian,
mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk lisan atau
tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, experiential learning
menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar
mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.
Pada experien tial learning , langkah menantang bagi guru adalah memikirkan atau
merancang aktivitas pengalaman belajar seperti apa yang harus terjadi pada diri
peserta, baik individu maupun kelompok. Aktivitas pembelajaran harus ( fardhu ayn)
berfokus pada peserta belajar ( student - centered learning ). Dengan demikian, apa
yang harus kita lakukan, apa yang harus mereka lakukan, apa yang harus kita
katakan atau sampaikan harus sedetail mungkin kita rancang dengan baik. Begitu
pula dengan media dan alat bantu pembelajaran lain yang dibutuhkan juga harus
benar-benar telah tersedia dan siap untuk digunakan.
[2] Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi. (1987). Tashîl al - Nazhar
wa Ta‟jîl al - Z h a f r fî A k hlâ q al M ulû k w a Siy â s a h al - Mulûk , hlm. 101-6.
Beirut : Dar al-Ulum alArabiyah.
[3] Muhammad Abid al-Jabiri. (2001). al - „Aqlu al - Akhlâqîy al - „Arabîy , hlm. 42-3.
Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-„Arabiyah.
[5] Muhammad Abid al-Jabiri. (2001). al - „Aqlu al - Akhlâqîy al - „Arabîy , hlm. 45.
Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-„Arabiyah.
[8] Muhammad Abid al-Jabiri. (2001). al - „Aqlu al - Akhlâqîy al - „Arabîy , hlm. 55.
Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-„Arabiyah.