A. Pengertian Akhlak
Kata akhlaq, (kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi akhlak), berasal dari
kata khilqun, yang mengandung segi-segi persesuaian kata khaliq dan makhluq. Dari
sinilah asal perumusan ilmu akhlak, yang merupakan koleksi penting yang
memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara makhluk dan khalik, serta
antara makhluk dengan makhluk lain.
Menurut definisi yang dikemukan oleh Al-Ghazali, akhlak adalah; “suatu sifat
yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang mudah
dilakukan, tanpa terlalu banyak pertimbangan dan pemikiran yang lama. Maka, jika sifat
tersebut melahirkan suatu perbuatan atau tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan
norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakah ia melahirkan perbuatan yang
jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.”1
Kata dalam bahasa Indonesia yang lebih mendekati maknanya dengan akhlak
adalah budi pekerti. Baik budi pekerti, maupun akhlak, mengandung makna yang
ideal, tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku yang
mungkin positif,2 mungkin negatif,3 mungkin baik, mungkin buruk. Yang menentukan
apakah suatu perbuatan itu baik apa buruk adalah nilai dan norma agama, “dan katakan
bahwa al-haq datangnya dari Tuhanmu.”
Suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai cerminan akhlak, jika memenuhi
syarat berikut ini;4 (1) Dilakukan secara berulang-ulang, sehingga hampir menjadi
suatu kebiasaan, (2) Timbul dengan sendirinya, tanpa pertimbangan yang lama dan
dipikir-pikir terlebih dahulu.
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islâm. Akhlak dan taqwa
merupakan ‘buah’ pohon Islâm yang berakarkan akidah, bercabang dan berdaun
syari’ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah
Rasulullah. Diantaranya adalah: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak.”(HR Ahmad), dan “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang
paling baik akhlaknya.” (HR Tirmidzi).
Dan akhlak nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan akhlak manusia
itu, disebut akhlak Islâm atau akhlak Islâmi, karena bersumber dari wahyu Allah yang
kini terdapat dari Al-Qur’an yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islâm.
Dikalangan umat Islâm masalah yang penting ini sering kurang digambarkan
secara baik benar dibandingkan dengan penggambaran tentang syariah, terutama yang
berhubungan dengan shalat. Sehingga, akibatnya, karena tidak mengenal butir-butir
akhlak agama Islâm, dalam praktek, tingkah laku kebanyakan orang Islâm tidak sesuai
dengan akhlak Islâmi yang disebut di dalam Al-Qur'an, dan dicontohkan oleh Nabi
Muhammad dalam kehidupan beliau sehari-hari.5
Suri teladan yang diberikan Rasulullah selama hidup beliau merupakan contoh
akhlak yang tercantum dalam Al-Quran. Butir-butir akhlak yang baik yang disebut
dalam berbagai ayat, yang tersebar di dalam Al-Qur'an terdapat juga dalam Al-Hadits
yang memuat perkataan, tindakan dan sikap diam Nabi Muhammad selama kerasulan
beliau 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Menurut Aisyah ra,6 akhlak Nabi
Muhammad adalah (seluruh) isi Al-Qur’an. Dan di dalam Al-Qur'an pun Rasulullah
dipuji oleh Allah dengan Firman-Nya;“Dan engkau Muhammad sungguh memiliki akhlak
yang agung.” (QS Al-Qalam: 4)
Kata akhlak sering juga disamakan dengan kesusilaan, atau sopan santun.
Bahkan, supaya kedengarannya lebih modern dan mendunia perkataan akhlak, budi
pekerti dan lain-lain itu kini sering diganti dengan kata moral atau etika. Penggantian
itu sah-sah saja dilakukan asal saja orang mengetahui dan memahami perbedaan arti
kata-kata dimaksud.
Terma moral berasal dari bahasa Latin mores, yang berarti adat kébiasaan, Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, moral artinya ajaran tentang baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak.7 Moral
biasa digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kéhendak,
pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, buruk.
Dimasukkannya penilaan benar atau salah ke dalam moral, Jelas menunjukkan salah
satu perbedaan moral dengan akhlak. Sebab salah benar adalah penilaian dipandang
dari sudut hukum yang di dalam agama Islâm tidak dapat dicerai pisahkan dengan
akhlak.
Dalam Ensiklopedi Pendidikan, Sugarda Poerbakawatja menyebutkan sesuai
dengan makna aslinya dalam bahasa Latin (mos), adat istiadat menjadi dasar untuk
menentukan apakah perbuatan seseorang baik atau buruk.8 Oleh karena itu, untuk
mengukur tingkah laku manusia, baik atau buruk, dapat dilihat apakah perbuatan itu
sesuai dengan adat istiadat yang umum diterima kesatuan sosial atau lingkungan
tertentu. Dapat disimpulkan bahwa baik atau buruk suatu perbuatan secara moral,
bersifat lokal.9
Terma etika diambil dari bahasa Yunani, ethos, yang berarti kebiasaan, yang
mencakup baik kebiasaan baik maupun buruk. Dalam kepustakaan umumnya, kata
etika diartikan ilmu. Makna etika dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia misalnya,
adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral
atau akhlak10. Dalam Ensiklopedi Pendidikan, diterangkan bahwa etika adalah filsafat
tentang nilai kesusilaan tentang baik dan buruk.11
Terma lain yang hampir dekat maknanya dengan akhlak, adalah kesusilaan.
Kesusilaan berasal dari kata Susila yang mendapat awalan ke- dan akhiran -an. Susila
dalam bahasa sansekera terdiri dari su dan sila. su artinya baik atau bagus, dan sila
berarti sikap dasar peraturan hidup atau norma. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, kesusilaan artinya perihal susila (beradab, sopan, tertib), berkenaan dengan
adab (kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti) dan sopan Santun, sesuai
dengan norma-norma tata susila menurut kebiasaan di suatu tempat pada suatu
masa.12
1 Abu Hamid al-Ghazali, Etika Islâmi, (Bandung: Pusataka setia, 2002), hlm 5
2 Yang termasuk ke dalam pengertian positif adalah segala tingkah laku, tabiat, watak, dan
perangai yang sifatnya benar, amanah, sabar, pemaaf, rendah hati, dan lain-lain sifat yang baik.
3 Yang termasuk ke dalam pengertian akhlak atau budi pekerti yang buruk adalah semua tingkah
laku, perangai, watak, sombong, dendam, dengki, kianat, dan lain-lain sifat yang buruk.
4 Al-Ghazali, Etika Islâmi, hlm 8-9
5 Umat Islâm seharusnya bersyukur, karena Allah telah mengutus seorang insan kami (manusia
sempurna) ke dunia ini untuk diteladani.Sayang sekali manusia yang sesungguhnya wajib menjadi idola
kaum muslimin dan muslimat itu seperti kurang dikenal oleh umat Islâm sendiri, karena tidak
mempelajari sejarah hidup Rasulullah secara sistematis dan benar.
6 Salah satu Isteri Rasulullah yang banyak sekali mériwayatkan Sunnah Rasulullah
7 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 654
8 Sugarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung. Agung, 1992), hlm 235
9 Asmaran AS, Pengartar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hlm 9
10 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 278
11 Sugarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, hlm 238
12 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 982
13 Hamdi Abu al-Aal, al-Akhlak wa Mi’yaruha Bayn al-Wadh’iyah wa ad-diin, (Kuwait: Daar al-
iman-nya dalam Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan kehidupan. Kecintaan kita terhadap Allah
diwujudkan dengan cara melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-nya.
16 Yaitu mengharapkan karunia dan berusaha memperoleh keridaan Allah
17 Yaitu mensyukuri nikmat dan karunia Allah.
18 Yaitu menerima dengan ikhlas semua Qada dan Qadar ilahi setelah berikhtiar maksimal
taubat benar-benar taubat, tidak lagi melakukan perbuatan sama yang dilarang Allah, dan dengan tertib
melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
21 Yaitu berserah diri kepada Allah
22 Muhammad Daud Ali, Op.Cit, hlm 458.
23 Antara lain; (1) Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup, (2) Menjaga dan
memanfaatkan alam, terutama hewani dan nabati, fauna dan flora (hewan dan tumbuh-tumbuhan) yang
sengaja diciptakan tuhan untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya, (3) Sayang pada sesama
makhluk. (Lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 208-209)
24 Antara lain; (1) Mencintai rasulullah secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya, (2)
Menjadikan Rasulullah sebagai idola, suri teladan dalam hidup dan kehidupan, (3) Menjalankan apa
yang disuruh-nya. (Lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 86-93).
25 Antara lain; (1) Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya, (2) Merendahkan diri
kepada keduanya diiringi perasaan kasih sayang, (3) Berkomunikasi dengan orang tua dengan khidmat,
mempergunakan kata-kata lemah lembut, (4) Berbuat baik kepada ibu bapak dengan sebaik-baiknya,
dengan mengikuti nasehat baiknya, tidak menyinggung perasaan dan menyakiti hatinya, membuat ibu
bapak ridha, (5) Mendo’akan keselamatan dan keampunan bagi mereka kendatipun seorang atau kedua-
duanya telah meninggal dunia. (Lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 151-160).
26 Antara lain; (1) Memelihara kesucian diri, (2) Menutup aurat (bagian tubuh yang tidak boleh
keliatan menurut hukum dan akhlak Islâm), (3) Jujur dalam perkataan dan berbuat ikhlas dan rendah
hati, (4) Malu melakukan perbuatan jahat, (5) Menjauhi dengki dan menjauhi dendam, (6) Berlaku adil
terhadap diri sendiri dan orang lain, (7) Menjauhi segala perkataan dan perbuatan sia-sia. (lihat: Mukhlis
Lubis, Akhlak Islâm, hlm 97-99).
27 Antara lain; (1) Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, (2)
Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak, (3) Berbakti kepada ibu bapak, (4) Mendidik anak-
anak dengan kasih sayang, (5) Memelihara hubungan silaturahim dan melanjutkan silaturahmi yang
dibina orang tua yang telah meninggal dunia. (lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 100-120).
28 Antara lain; (1) Saling mengunjungi, (2) Saling bantu di waktu senang lebih-lebih tatkala susah,
(3) Saling beri-memberi, saling hormat menghormati, (4) Saling menghindari pertengkaran dan
permusuhan. (lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 120-123)
29 Antara lain; (1) Memuliakan tamu, (2) Menghormati nilai dan norma yang dalam masyarakat
bersangkutan, (3) Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa, (4) Menganjurkan anggota
masyarakat termasuk diri sendiri dan orang lain melakukan perbuatan jahat (mungkar), (5) Memberi
makan fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan kehidupannya, (6) Bermusyawarah dalam
segala urusan mengenai kepentingan bersama, (7) Mentaati putusan yang telah diambil, (8) Menunaikan
amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan yang diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita,
(9) Menepati janji. (lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 124-137).
30 Al-Ghazali, Etika Islâmi, hlm 9
31 Yaitu sikap yang menyombongkan diri, sehingga tidak mau mengakui kekuasaan Allah di
kehidupan beragama
35 Yaitu suatu sikap yang selalu menunjuk-nunjukkan perbuatan baik yang dilakukannya. Maka
ia berbuat bukan karena Allah melainkan hanya ingin dipuji oleh sesama manusia. Jadi perbuatan ini,
kebalikan dari sikap ikhlas
36 Yaitu perbuatan yang selalu melampaui batas-batas ketentuan agama. Tuhan melarang
bersikap boros, karena hal itu dapat melakukan dosa terhadap-Nya merusak perekonomian manusia,
merusak hubungan sosial, serta merusak diri sendiri
37 Yaitu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah apa yang
seharusnya ia miliki, tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Hal ini, termasuk kebalikan dari rasa
cukup (Al-qana’ah) dan merupakan akhlak buruk terhadap Allah, karena melanggar ketentuan larangan-
Nya.
38 Al-Ghazali, Etika Islâmi, hlm 26-32
39 Yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat ditahan oleh kesadarannya, sehingga
maupun perkataannya
44 Yaitu sikap yang tidak mau memberikan nilai materi dan jasa kepada orang lain
45 Yaitu suatu perbuatan yang merugikan orang lain, baik kerugian matriil maupun non-matriil.
Dan ada juga yang mengatakan bahwa seseorang yang mengambil hak-hak orang lain termasuk
perbuatan dzalim
46 Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hlm 6
47 Ibadah, bagi kaum sufi, harus dilakukan dengan sepenuh hati, dengan mencurahkan seluruh
perhatian pada makna-makna rohaniah yang terkandung didalamnya. Sikap kaum sufi terhadap Tuhan,
pada mulanya didasarkan rasa takut, tetapi kemudian rasa takut itu diubah dan dikembangkan oleh
Rabi’ah Al-Adawiyah (w 801M), seorang sufiwati dari Basrah (Irak). Dengan rasa cinta kepada Allah
melebihi cinta kepada apapun juga.
48 Hosein Djayadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten,(Jakarta: Djambatan, 1983), hlm
135 – 136.
49 Aliran ini memuliakan pendirinya Abdul Qadir Al-Jailani (w.116 M). Menurut para
pengikutnya, Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang suci. Kini, yang menjadi pemimpin tariqat
Qadiriyah adalah juru kunci kuburan Abdul Qadir jailani di Baghdad. Aliran ini berpengaruh di Afrika
Utara, Asia Kecil, Pakistan, India, Malaysia, juga Indonesia.
50 Aliran ini didirikan oleh Muhammad Ar Rifa’i (m. 1183 M).Tariqat Rifa’i terkenal dengan
amalannya berupa penyiksaan diri dengan melukai bagian-bagian badan dengan senjata tajam diiringi
oleh zikir-zikir tertentu. Bila ada yang luka, gurunya menyembuhkan luka itu dengan air liurnya sambil
menyebut nama pendiri tarikat. Di Aceh dan Banten, upacara menusuk-menusuk badan dengan senjata
tajam yang disebut dabus atau debus itu, dilakukan oleh para pengikut aliran tasawuf Rifa’iyah.
51 Tarikat sammani didirikan oleh Syeikh Muhammad Samman.Riwayat hidup pendiri tarikat ini,
Syeikh Muhammad Samman, sangat terkenal dahulu di jakarta. Cara mencapai tujuan akhirnya,
diantaranya, adalah berzikir dengan suara lantang, seperti tampak dalam permainan samman di gayo
(Aceh).
52 Aliran ini didirikan oleh Abdullah As-Syattari (w 1417M).Berpengaruh juga di Indonesia,
terutama di jawa.Aliran ini percaya pada ajaran kejawen mengenai tujuh tingkat keadaan Allah yang
disebut dalam ilmu hakikat.Nabi Muhammad dilambangkan oleh aliran ini sebagai manusia sempurna
(insan kamil) yang memantulkan Ilahi, seperti cermin memantulkan cahaya.Pada aliran ini juga terdapat
kepercayaan bahwa semua manusia mempunyai bakat untuk manjadi manusia sempurna dan harus
berusaha untuk mencapai kesempurnaan itu.Dalam hubungan ini terdapat pandangan tentang
hubungan manusia dengan Allah seperti hubungan seorang pelayan dengan majikannya.
53 Aliran ini didirikan di Turkistan oleh Muhammad An-Naqsyabandi (w 1388M). Berbeda
dengan aliran sammani yang melakukan zikir terbuka, yakni berzikir dengan suara nyaring dan lantang,
aliran Naqsabandi menyelenggarakan zikir tertutup atau zikir diam yakni menyebut nama tuhan dengan
berdiri diam.
54 Pakar sejarah dan pengajar tasawuf pada universitas Harvard, Amerika Serikat
55 Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islâm, (Chapel Hill, NC: University of North
yang haram
60 Merasa cukup dengan rezeki yang halal, betapapun sedikitnya
61 Ali bin Haji Mohamed, Kunci memahami tasawuf, (Batu Caves, Selangor :Masterpiece, 2006), hlm
37-38
62 Ibid, hlm 73-76.
63 Ibid, hlm 76-77.
64 Mohd. Sulaiman Haji Yasin, Mengenal ilmu tasawuf, pengantar, (Putrajaya :Jabatan Kemajuan
Nya, sehingga ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah. Maka kebenaran
Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal
75
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, hlm 103-114.
76 Ibid, hlm 120
77 Dwi Siswoyo, Metode Pengembangan Moral Anak Prasekolah, (Yogyakarta: FIP UNY, 2005), hlm
72-81
78 Ibid, hlm 27
79 Cheppy Hari Cahyono, Ajaran – Ajaran Moral, (Malang : Proyek OPF IKIP Malang, 1995), hlm
364-370.
80 Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 212-217
81 Ibid, hlm 217-218
82 Ibid, hlm 218 - 220