Anda di halaman 1dari 15

BAB VI

Akhlak Dalam Islâm

A. Pengertian Akhlak
Kata akhlaq, (kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi akhlak), berasal dari
kata khilqun, yang mengandung segi-segi persesuaian kata khaliq dan makhluq. Dari
sinilah asal perumusan ilmu akhlak, yang merupakan koleksi penting yang
memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara makhluk dan khalik, serta
antara makhluk dengan makhluk lain.
Menurut definisi yang dikemukan oleh Al-Ghazali, akhlak adalah; “suatu sifat
yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang mudah
dilakukan, tanpa terlalu banyak pertimbangan dan pemikiran yang lama. Maka, jika sifat
tersebut melahirkan suatu perbuatan atau tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan
norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakah ia melahirkan perbuatan yang
jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.”1
Kata dalam bahasa Indonesia yang lebih mendekati maknanya dengan akhlak
adalah budi pekerti. Baik budi pekerti, maupun akhlak, mengandung makna yang
ideal, tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku yang
mungkin positif,2 mungkin negatif,3 mungkin baik, mungkin buruk. Yang menentukan
apakah suatu perbuatan itu baik apa buruk adalah nilai dan norma agama, “dan katakan
bahwa al-haq datangnya dari Tuhanmu.”
Suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai cerminan akhlak, jika memenuhi
syarat berikut ini;4 (1) Dilakukan secara berulang-ulang, sehingga hampir menjadi
suatu kebiasaan, (2) Timbul dengan sendirinya, tanpa pertimbangan yang lama dan
dipikir-pikir terlebih dahulu.
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islâm. Akhlak dan taqwa
merupakan ‘buah’ pohon Islâm yang berakarkan akidah, bercabang dan berdaun
syari’ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah
Rasulullah. Diantaranya adalah: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak.”(HR Ahmad), dan “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang
paling baik akhlaknya.” (HR Tirmidzi).
Dan akhlak nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan akhlak manusia
itu, disebut akhlak Islâm atau akhlak Islâmi, karena bersumber dari wahyu Allah yang
kini terdapat dari Al-Qur’an yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islâm.
Dikalangan umat Islâm masalah yang penting ini sering kurang digambarkan
secara baik benar dibandingkan dengan penggambaran tentang syariah, terutama yang
berhubungan dengan shalat. Sehingga, akibatnya, karena tidak mengenal butir-butir
akhlak agama Islâm, dalam praktek, tingkah laku kebanyakan orang Islâm tidak sesuai
dengan akhlak Islâmi yang disebut di dalam Al-Qur'an, dan dicontohkan oleh Nabi
Muhammad dalam kehidupan beliau sehari-hari.5
Suri teladan yang diberikan Rasulullah selama hidup beliau merupakan contoh
akhlak yang tercantum dalam Al-Quran. Butir-butir akhlak yang baik yang disebut
dalam berbagai ayat, yang tersebar di dalam Al-Qur'an terdapat juga dalam Al-Hadits
yang memuat perkataan, tindakan dan sikap diam Nabi Muhammad selama kerasulan
beliau 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Menurut Aisyah ra,6 akhlak Nabi
Muhammad adalah (seluruh) isi Al-Qur’an. Dan di dalam Al-Qur'an pun Rasulullah
dipuji oleh Allah dengan Firman-Nya;“Dan engkau Muhammad sungguh memiliki akhlak
yang agung.” (QS Al-Qalam: 4)
Kata akhlak sering juga disamakan dengan kesusilaan, atau sopan santun.
Bahkan, supaya kedengarannya lebih modern dan mendunia perkataan akhlak, budi
pekerti dan lain-lain itu kini sering diganti dengan kata moral atau etika. Penggantian
itu sah-sah saja dilakukan asal saja orang mengetahui dan memahami perbedaan arti
kata-kata dimaksud.
Terma moral berasal dari bahasa Latin mores, yang berarti adat kébiasaan, Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, moral artinya ajaran tentang baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak.7 Moral
biasa digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kéhendak,
pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, buruk.
Dimasukkannya penilaan benar atau salah ke dalam moral, Jelas menunjukkan salah
satu perbedaan moral dengan akhlak. Sebab salah benar adalah penilaian dipandang
dari sudut hukum yang di dalam agama Islâm tidak dapat dicerai pisahkan dengan
akhlak.
Dalam Ensiklopedi Pendidikan, Sugarda Poerbakawatja menyebutkan sesuai
dengan makna aslinya dalam bahasa Latin (mos), adat istiadat menjadi dasar untuk
menentukan apakah perbuatan seseorang baik atau buruk.8 Oleh karena itu, untuk
mengukur tingkah laku manusia, baik atau buruk, dapat dilihat apakah perbuatan itu
sesuai dengan adat istiadat yang umum diterima kesatuan sosial atau lingkungan
tertentu. Dapat disimpulkan bahwa baik atau buruk suatu perbuatan secara moral,
bersifat lokal.9
Terma etika diambil dari bahasa Yunani, ethos, yang berarti kebiasaan, yang
mencakup baik kebiasaan baik maupun buruk. Dalam kepustakaan umumnya, kata
etika diartikan ilmu. Makna etika dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia misalnya,
adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral
atau akhlak10. Dalam Ensiklopedi Pendidikan, diterangkan bahwa etika adalah filsafat
tentang nilai kesusilaan tentang baik dan buruk.11
Terma lain yang hampir dekat maknanya dengan akhlak, adalah kesusilaan.
Kesusilaan berasal dari kata Susila yang mendapat awalan ke- dan akhiran -an. Susila
dalam bahasa sansekera terdiri dari su dan sila. su artinya baik atau bagus, dan sila
berarti sikap dasar peraturan hidup atau norma. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, kesusilaan artinya perihal susila (beradab, sopan, tertib), berkenaan dengan
adab (kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti) dan sopan Santun, sesuai
dengan norma-norma tata susila menurut kebiasaan di suatu tempat pada suatu
masa.12

B. Ukuran Baik Dan Buruk Dalam Akhlak


Akhlak Islâmi berbeda dengan moral dan etika. Perbedaannya dapat dilihat
terutama dari sumber yang menentukan mana yang baik mana yang buruk. Yang baik
menurut akhlak adalah segala sesuatu yang berguna, yang sesuai dengan nilai dan
norma agama, nilai serta norma yang terdapat dalam masyarakat, bermanfaat bagi diri
sendiri dan orang lain. Sedangkan yang buruk dalam akhlak adalah segala sesuatu
yang tidak berguna, tidak sesuai dengan nilai dan norma agama serta nilai dan norma
masyarakat, merugikan masyarakat dan diri Sendiri.
Dengan kata lain, yang menentukan baik atau buruk suatu sikap dalam akhlak
adalah ketentuan nilai yang ada dalam Al-Qur'an yang djelaskan dan dikembangkan
oleh Rasulullah dengan sunnah beliau kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadits. Hal
ini jelas berbeda dengan sumber yang menentukan baik dan buruk dalam moral dan
etika. Yang menentukan perbuatan baik atau buruk dalam moral dan etika adalah adat-
istiadat dan pikiran manusia dalam masyarakat pada suatu tempat di suatu masa.13
Oleh karena itu, jika dilihat dari sumbernya, akhlak Islâmi bersifat tetap dan
berlaku untuk selama-lamanya, sedangkan moral dan etika berlaku selama masa
tertentu, di suatu tempat tertentu. Konsekuensinya akhlak Islâm mutlak sifatnya,
sedangkan moral dan etika relatif (nisbi) sifatnya. Perbedaan pengertian penting agar
kita dapat membedakan Sifat dan isi akhlak moral dan etika, walaupun dalam
masyarakat ketiga istilah itu dianggap sama, dan dipakai silih berganti, untuk
menunjukkan sesuatu yang baik atau buruk.
Selanjutnya, sebagai cabang filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia
untuk menentukan nilai perbuatan baik atau buruk, ukuran yang dipergunakannya
adalah akal pikiran. Akallah yang menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau
buruk. Kalau moral dan etika diperbandingkan, moral lebih bersifat praktis, sedang
etika bersifat teoritis. Moral bersifat lokal, sedangkan etika bersifat umum (regional).
C. Ruang Lingkup Akhlak
Mengingat syariah atau hukum Islâm mencakup segenap aktivitas manusia,
maka ruang lingkup akhlak pun dalam Islâm meliputi semua aktivitas manusia,
meliputi segala bidang hidup dan kehidupan. Dalam Garis besanya, akhlak dibagi dua;
Pertama adalah akhlak terhadap Allah atau Khalik pencipta), Yang kedua adalah
akhlak terhadap makhluk (Semua ciptaan Allah). Akhlak terhadap Allah dijelaskan dan
dikembangkan oleh ilmu Tasawuf dan tarikat-tarikat, sedang akhlak terhadap makhluk
dijelaskan oleh Ilmu akhlak (Ilustrasi bahasa Asing disebut ethics).
llmu akhlak, secara etimologi ialah upaya untuk mengenal budi pekerti, tingkah
laku, atau tabiat seorang sesuai dengan sensasinya. Sedangkan secara terminologi, ilmu
akhlak adalah ilmu yang menentukan batas baik atau buruk, diantara yang terpuji
dengan yang tercela tentang perkataan dan perbuatan manusia lahir dan batin.14
Akhlak terhadap makhluk, dapat dibagi dua yakni; (1) Akhlak terhadap
manusia, dan (2) Akhlak terhadap bukan manusia. Selanjutnya, Akhlak terhadap
manusia dibagi lagi menjadi; (1) Akhlak terhadap diri sendiri, (2) Akhlak terhadap
orang lain, misalnya akhlak terhadap Rasulullah, akhlak terhadap orang tua, akhlak
karib terhadap kerabat, akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap masyarakat.
Akhlak terhadap bukan manusia dapat dipecah lagi menjadi; (1) Akhlak
terhadap makhluk hidup bukan manusia, misalnya akhlak terhadap tumbuh-
tumbuhan (flora) dan hewan (fauna), dan (2) Akhlak terhadap makhluk mati bukan
manusia, misalnya akhlak terhadap air, tanah, udara, dan sebagainya. Akhlak terhadap
manusia dan bukan manusia, kini disebut akhlak terhadap lingkungan hidup.
Secara singkat, akhlak terhadap Allah (khalik) antara lain adalah; (1) Al-hubb,15 (2)
Al-Raja’,16 (3)As-syukr,17 (4)Qana’ah,18 (5) Istighfar,19 (6)At-taubat,20 (7) Tawakkal.21
Secara umum, akhlak terhadap makhluk, dibagi dua;22 Pertama: Akhlak
terhadap manusia, dan Kedua: Akhlak Terhadap Lingkungan Hidup.23 Selanjutnya,
Akhlak terhadap manusia dapat dirinci sebagai berikut; (1) Akhlak terhadap Rasulullah
(nabi Muhammad),24 (2) Akhlak terhadap orang tua (birrul walidain),25 (3)Akhlak
terhadap diri sendiri,26 (4) Akhlak terhadap keluarga, karib kerabat,27 (5)Akhlak
terhadap tetangga,28 dan (6)Akhlak terhadap masyarakat.29
Ulama akhlak menyatakan bahwa akhlak yang baik merupakan sifat para nabi
dan orang-orang shiddiq. Sedangkan akhlak-akhlak buruk merupakan sifat syaitan dan
orang-orang tercela. Dengan demikian akhlak terbagi menjadi dua jenis, yaitu; Pertama:
Akhlak baik atau terpuji (al-Akhlaq al-Mahmudah), yakni perbuatan baik terhadap Tuhan
(Al-Khaliq), terhadap sesama manusia dan makhluk lainnya sebagaimana diuraikan
pada butir-butir akhlak diatas. Kedua: Akhlak yang tercela (al-Akhlaqal-Madzmumah),
yakni perbuatan buruk terhadap tuhan (Al-Khaliq), perbuatan buruk dengan sesama
manusia dan makhluk hidup lainnya.30
Berikut akan diuraikan secara singkat mengenai akhlak yang buruk:
Pertama: Akhlak buruk terhadap Allah: (1) Sombong (Al-kibru),31 (2) Musyrik
(Al-syirk),32 (3) Murtad (Ar-riddah),33 (4) Munafiq (An-nifaaq),34 (5) Riya (Ar-riya’),35 (6)
Boros atau berfoya-foya (Al-israaf),36 (7) Rakus dan tamak (Al-Hirshu atau Ath-
Thama’u).37
Kedua: Akhlak buruk terhadap manusia, antara lain;38 (1) Mudah marah (Al-
ghadhab),39(2) Iri hati atau dengki (Al-hasadu atau Al-hiqdu),40 (3) Mengadu-adu (An-
namiimah),41 (4) Mengumpat (Al-ghiibah),42 (5) Bersikap congkak (Al-ash’aru),43 (6) Sikap
kikir (Al- bukhlu),44 (7) Berbuat aniaya (Azh-zhulmu).45

D. Korelasi Antara Ilmu Akhlak Dan Ilmu Tasawuf


Kata tasawuf, yang didalam bahasa asing disebut mystic atau sufism, berasal dari
kata suf, yakni wol kasar yang dipakai oleh seorang muslim yang berusaha dengan
berbagai upaya yang telah ditemukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang
yang melakukan upaya demikian disebut sufi, dan ilmu yang menjelaskan upaya-upaya
serta tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan dimaksud,
dinamakan ilmu tasawuf.
Sejarah menjelaskan kemunculan 'tren' tasawuf selalu mengiringi kondisi
masyarakat Muslim yang tidak seimbang, ataukah terlalu sibuk dengan urusan dunia
dan melupakan akhirat, terlalu semangat dengan ilmu tanpa peduli amal, terlalu
fanatik terhadap syariat tanpa peduli ruhnya, atau terlalu mulia bicara tanpa peduli
buruknya perilaku. Tasawuf merupakan jalan menuju Allah melalui akhlak yang mulia.
Metode membersihkan hati dan memperhalus budi.
Berangkat dari hakikat inilah, jelas bagi seseorang korelasi antara ilmu tasawuf
dan ilmu akhlak. Kalau dalam ilmu dibahas bagaimana berakhlak yang baik bukan
hanya kepada Allah tetapi juga kepada manusia, pada ilmu tasawuf dibahas bagaimana
mendekatkan seorang hamba dengan Allah, baik melalui pengamalan hukum, maupun
akhlak mulia.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara pengembangan rohani
manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri kepada Allah.Dengan
pengembangan rohani, kaum sufi ingin menyelami makna syari’ah secara lebih
mendalam dalam rangka menemukan hakikat agama dan ajaran agama Islâm.46 Bagi
kaum sufi yang mementingkan syari’at dan hakikat sekaligus, shalat misalnya, tidaklah
hanya sekedar pengucapan sejumlah kata dalam gerakan tertentu, tetapi adalah dialog
spiritual antara manusia dengan Tuhan.47
Seorang sufi yang mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui
pengembangan rohani, menamakan dirinya salik.Salik, secara bahasa artinya orang yang
bepergian. Ia menempuh perjalanan dengan langkah lambat dan teratur melalui tarikat
tertentu, harus melewati tujuh tingkatan, menuju ke satu tujuan yakni pertemuan
dengan kenyataan, yaitu Allah sendiri. Jalan atau tarikat (tariqah) itu, kemudian,
menjadi organisasi sufi sendiri, dipimpin oleh seorang guru yang disebut syeikh
(mursyid), yang berfungsi sebagai penunjuk jalan.
Masing-masing tariqat mempunyai cara sendiri, misalnya dalam berzikir.
Berzikir untuk mencapai tujuan akhir yakni merasakan kehadiran Ilahi dalam hatinya.
Timbullah aliran-aliran di lapangan tasawuf, diantaranya sekedar menyebutnya
sebagai contoh adalah48: Qaridiyah49, Rifa’iyah50, Sammaniyah51, Syattariyah52, dan
Naqsabandiyah53.
Pendapat itu mengatakan tasawuf berasal dari kata suf,artinya bulu domba
kasar. Disebut demikian, karena orang-orang yang memakai pakaian itu, disebut orang
orang sufi atau mutasawwif, hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan. Mereka
memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kesederhanaan dan
kemiskinan, berlawanan dengan pakaian yang terbuat dari sutera yang bisa dipakai
oleh orang-orang kaya. Banyak juga definisi yang diberikan untuk merumuskan makna
yang dikandung oleh perkataan tasawuf.
Namun menurut Anne Marie Schimmel,54 sulit mendefinisikan perkara lengkap,
karena orang hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja seperti definis tasawuf
yang telah disebut dalam kerangka dasar ajaran Islâm di atas.55 Oleh karena itu, Al-
Taftazani, seorang pengamat atau peneliti tasawuf, tidak merumuskan defenisi
tasawuf. Dalam bukunya pengantar ke Tasawwuf Islâm, ia hanya menyebut sifat khas
tasawuf. Menurut Al-Taftazani tasawuf mempunyai lima ciri, yaitu; (1) Memiliki nilai-
nilai moral, (2) Pemenuhan fana (sirna, lenyap) dalam realitas mutlak, (3) Pengetahuan
intuitif (berdasarkan bisikan hati) langsung, (4) Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai
karunia Allah dalam diri sufi karena tercapainya maqamat (beberapa tingkatan
perhentian) dalam perjalanan sufi menuju (mendekati) Tuhan, (5) Penggunaan
lambang-lambang pengungkapan (perasaan) yang biasanya mengandung pengertian
harfiah dan tersirat.56
Dalam sejarah tasawuf, telah lahir sejumlah zahid57 besar. Sebagai contoh, Hasan
Al-Basri, Rabi’ah Al-Adawiyah, Junaidi Al-Bagdadi, Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Jalaluddin
Ar-Rumi. Mereka telah mengolah atau mengembangkan sikap atau emosi (perasaan)
Keberagamaan dalam hati mereka dengan kesungguhan yang luar biasa. Dengan
tekanan yang bervariasi, mereka telah mengembangkan rasa takut kepada Tuhan dan
azabnya, sikap zuhud,58 sikap wara’,59 sikap qana’ah,60 sikap sabar dalam menahan suka
dan duka kehidupan dijalan Allah, rasa ridha dan senang pada Tuhan, sikap khusyuk
dan tekun dalam beribadat, rasa cinta pada-Nya, dan lain-lain. Mereka merasakan dan
menyikapi semua itu sedemikian itu sehingga benar-benar merasakan kehadiran Allah
dalam hati mereka atau merasa sangat dekat dengan-Nya.61
Secara umum ada dua bentuk tasawwuf; tasawwuf sunni, dan tasawwuf Bid’i.
Tasawwuf Sunni adalah tasawwuf yang dilandsi atas ajaran al-Qur’an dan sunnah. Ini
dapat dilihat ayat-ayat dan hadist-hadist yang menggambarkan dekatnya manusia
dengan Tuhan.62 Di antaranya terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 186; ”(Jawablah
Muhammad) bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang bermohon
kepada-Ku”. Di dalam ayat 115 surat yang sama, Allah berfirman:”Dan kepunyaan
Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah
sesungguhnya Allah Maha Luas(rahmat-Nya)lagi Maha Mengetahui. Dalam QS Qaf ayat 16,
Allah menyatakan:“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.”
Dalam hadist qudsi, Allah berfirman:“Barang siapa memusuhi seseorang wali-
ku(wali Allah adalah orang yang dekat dengan-Nya), maka aku mengumumkan permusuhan-Ku
terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih kusukai
dari pengalaman segala yang kuwajibkan atasnya. Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa
mencintainya. Bila Aku telah cinta kepadanya. Akulah pendengarnya, dengan ia mendengar.
Aku penglihatannya, dengannya ia melihat, Aku tangannya dengan ia memukul, dan Aku
kakinya dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kapada-Ku, Aku perkenankan permohonannya,
jika ia meminta perlindungan, kulindungi ia”(HR. Bukhari)
Sedangkan Tasawwuf Bid’i merupakan tasawwuf yang dilandasi atas amalan –
amalan yang dianggap bid’ah, bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Hadits.
Tasawwuf Bid’i biasa juga disebut aliran fana’ atau tasawuf falsafi. Disebut demikian
karena teori-teori yang dikemukakannya banyak mengandung unsur-unsur filsafat.63
Secara umum, ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh seorang hamba
yang menekuni ajaran tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebut sebagai As-
Sa’adah, menurut Al-Ghazali, dan ’Insanul Kamil’ oleh Muhyiddin bin ‘Arabiy. Keempat
tahapan itu adalah; (1) Syari’at, (2) Tarikat, (3) Hakikat, dan (4) Ma’rifat.64
Syariat artinya hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada
Rasulullah SAW yang telah ditetapkan oleh ulama melalui sumber nash Al-Qur’an
maupun as-sunnah atau dengan cara istinbat, yaitu hukum-hukum yang telah
diterangkan dalam ilmu Tauhid, ilmu Fiqih, dan ilmu Tasawuf. Isi syariat mencakup
segala macam perintah dan larangan dari Allah SWT. Perintah-perintah itu disebut
sebagai istilah ma’ruf,65 sedangkan larangan-larangan dari Allah disebut dengan
munkar.66 Baik yang ma’ruf maupun munkar sudah ada petunjuknya dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Sedangkan hukum-hukum yang dimaksud di sini adalah hukum-hukum yang
ditetapkan oleh para fuqaha’, yang menyangkut ibadah mahdah (murni) dan ibadah
ghairu mahdhah, atau yang sering disebut dengan muamalah (ibadah umum), hukum-
hukum yang ditetapkan oleh ulama Mutakallimin (Ahli Ilmu Tauhid/teolog), yang
meliputi iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Iman terhadap hari
akhir, serta qadha dan qadhar dari Allah yang diwujudkan dalam bentuk ketaqwaan,
dengan dinyatakan dalam perbuatan ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunnah,
dan mubah. Begitu juga hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh ulama Tasawuf
yang meliputi Takhalli67, dan Tahalli.68
Sedangkan tarekat artinya pengamalan syariat, melaksanakan belum ibadah
dengan tekun dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah, yang sebenarnya
memang tidak boleh dipermudah (diremehkan). Kata tarekat dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu dari sisi amaliah ibadah dan dari sisi organisasi (perkumpulan). Sisi amaliah
ibadah merupakan latihan kejiwaan, baik yang dilakukan oleh seorang atau secara
bersama-sama, dengan melalui atau mentaati aturan tertentu untuk mencapai tingkat
kerohanian yang disebut maqamat atau al-ahwal, yang mana latihan ini diadakan secara
berkala yang juga dikenal dengan istilah suluk.69 Sedangkan dari sisi organisasi maka
tarekat berarti sekumpulan salik (orang yang melakukan suluk), yang sedang menjalani
latihan kerohanian tertentu, yang bertujuan untuk mencapai tingkat atau maqam
tertentu dibimbing dan dituntun oleh seorang guru yang disebut mursyid.
Adapun tingkatan maqam tarekat, menurut Al Nashr As-Sarraj, adalah sebagai
berikut: (1) Maqam at- taubah, (2) Maqam al-wara’, (3) Maqam Az-Zuhd, (4) Maqam
Al-Faqru, (5) Maqam Al-Shabru, (6) Maqam At-Tawakkal, dan (7) Maqam Ar-Ridha.70
Dan masih banyak lagi tingkatan yang lainnya yang tidak disebutkan disini.
Sedangkan Hakikat artinya suasana kejiwaan seorang salik (shufi), ketika ia
mencapai suatu tujuan, sehingga ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan hanya
dengan mata hatinya. Hakikat yang didapatkan oleh seorang shufi setelah lama
menempuh tarekat dengan melakukan suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa
yang dialami dan dihadapinya.71 Karena itu, seorang shufi sering mengalami tiga
macam tingkatan keyakinan, yaitu; (1) ‘Ainul yaqin,72(2)‘Ilmu yaqin,73(3) ‘Haqqul yaqin.74
Tingkatan yang tertinggi disebut Ma’rifat. Ma’rifat artinya hadirnya kebenaran
Allah pada seorang shufi dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.
Ma’rifat membuat ketenangan dalam akal pikiran. Barangsiapa meningkat ma’rifatnya,
maka meningkat pula cahaya hatinya.
Akan tetapi tidak semua shufi dapat mencapai pada tingkatan ini, karena itu
seorang shufi yang sudah sampai pada tingkatan ma’rifat ini memiliki tanda-tanda
tertentu, antara lain;75 (1) Selalu memancarkan cahaya ma’rifat padanya dalam segala
sikap dan perilakunya. Karena itu sikap wara’ selalu ada pada dirinya, (2) Tidak
menjadikan keputusan pada suatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena
hal-hal yang nyata menurut ajaran tasawuf belum tentu benar, (3) Tidak menginginkan
nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya pada hal
yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang shufi tidak menginginkan
kemewahan dalam hidupnya, kiranya kebutuhan duniawi sekedar untuk menunjang
ibadahnya, dan tingkatan ma’rifat yang dimiliki cukup menjadikan ia sebagian dalam
hidupnya karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.76

E. Menanamkan Akhlak Yang terpuji Dan Kendala Yang Dihadapi


Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman akhlak
yang terpuji, khususnya pada anak usia dini, yaitu;77 indoktrinasi, klarifikasi nilai,
teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.
Pertama: Indoktrinasi. Dalam kepustakaan modern, pendekatan ini sudah banyak
menuai kritik dari para pakar pendidikan.Akan tetapi pendekatan ini masih dapat
digunakan. Menurut beberapa pakar,78 untuk membantu anak-anak supaya dapat
tumbuh jadi dewasa, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini
melalui interaksi guru dan siswa. Dalam pendekatan ini, guru diasumsikan telah
memiliki nilai-nilai keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada
anak. Aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan
disampaikan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia
dikenai hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.
Kedua: Klarifikasi Nilai. Dalam pendekatan klarifikasi nilai, seorang pendidik
tidak secara langsung menyampaikan kepada anak mengenai benar salah, baik buruk,
tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan dan menyatakan nilai-nilai
dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini
benar dan buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu
moral. Pada usia anak-anak sekolah dasar, perkembangan akhlak mereka sudah cukup
tinggi. Tetapi mereka tetap perlu diberi bimbingan dan pelatihan dalam melakukan
penalaran dan keterampilan bertindak secara akhlak sesuai dengan pilihan-pilihannya.
Ketiga: Dengan Memberikan keteladanan atau Contoh. Anak cenderung
mempunyai mahir dalam meniru. Oleh karena itu, seorang pendidik hendaknya dapat
dijadikan teladan atau contoh dalam bidang akhlak. Baik kebiasaan baik maupun
buruk dari guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur
seorang pendidik sangat penting untuk pengembangan akhlak anak. Artinya nilai-nilai
yang tujuannya akan ditanamkan oleh pendidik kepada anak seyogyanya sudah
mendarah daging terlebih dahulu pada pendidiknya. Pendidik akhlak yang ideal
adalah mereka yang dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator, pemimpin, orang
tua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu orang lain dalam
melakukan refleksi.79 Dalam pendekatan ini, profil ideal pendidik menduduki tempat
yang sentral dalam pendidikan akhlak.
Keempat: Pembiasaan dalam Perilaku. Kurikulum yang diterapkan di sekolah
dasar terkait dengan kemampuan akhlak, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-
pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada
berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap
salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum
masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten.
Jika anak melanggar segera diberi peringatan. Ini adalah pendekatan lain yang dapat
digunakan dalam penanaman nilai akhlak.
Setelah menanamkan akhlak yang terpuji pada anak didik, kadangkala
seseorang yang mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk sekalipun
menghadapi banyak tantangan dalam menerapkan akhlak yang terpuji. Secara umum,
kendala yang dihadapi dalam menerapkan akhlak yang terpuji dapat dibagi menjadi
dua bagian; kendala internal (dari dalam umat Islâm sendiri), dan kendala eksternal (dari
luar umat Islâm).
Diantara bentuk kendala internal yang dapat disebutkan disini, antara lain;80 (a)
banyaknya lingkungan dengan akhlak yang tercela, baik di rumah, di sekolah, maupn
di masyarakat, (b) dalam kurikulum dan syllabus pendidikan lebih banyak pelajaran
agama daripada pengamalan agama, sehingga ketiga aspek pendidikan; kognitif, afektif,
dan psikomotorik, tidak berimbang, (c) pemimpin Negara tidak dapat dijadikan teladan
oleh rakyatnya, (d) maraknya kemiskinan yang semakin mendekatkan umat kepada
kekufuran, dan (e) pendidikan budi pekerti yang diajarkan di sekolah lebih didasarkan
pada budaya dan moral ketimuran, bukan akhlak Islâm.
Adapun kendala eksternal dalam menerapkan akhlak Islâm, antara lain;81 (a)
Strategi global musuh – musuh Islâm, dari kelompok misionaris, orientalis, dan
imperialis, didukung pula oleh sikap dan perilaku sebagian umat Islâm, baik dengan
kesadaran maupun tidak, (b) keaneka ragaman cara musuh Islâm menghancurkan
akhlak kaum muslimiin.
Diantara cara yang dilakukan musuh Islâm demi menghancurkan akhlak Islâm,
antara lain;82 (a) memutuskan jalinan sosial, (b) mencabut akar – akar akhlak, (c)
menyediakan sarana – sarana penghancur akhlak, (d) memperalat unsur harta, (e)
memperalat kaum wanita, mendukung pergaulan bebas, (f) memperalat hukum dan
kekuasaan, (g) mempromosikan paham – paham komunis, dan lain sebagainya.

F. Pertanyaan Dan Bahan Diskusi


1. Jelaskan perdedaan antara akhlak, moral, etika, dan kesusilaan !
2. Jelaskan Tolok ukur baik dan buruk dalam akhlak Islâm !
3. Jelaskan cakupan akhlak dalam Islâm !
4. Jelaskan bagaimana pendekatan yang dapat dilakukan dalam menanamkan
akhlak Islâm !
5. Jelaskan kendala – kendala yang dihadapi dalam menerapkan akhlak yang
terpuji dalam kehidupan !
Endnotes

1 Abu Hamid al-Ghazali, Etika Islâmi, (Bandung: Pusataka setia, 2002), hlm 5
2 Yang termasuk ke dalam pengertian positif adalah segala tingkah laku, tabiat, watak, dan
perangai yang sifatnya benar, amanah, sabar, pemaaf, rendah hati, dan lain-lain sifat yang baik.
3 Yang termasuk ke dalam pengertian akhlak atau budi pekerti yang buruk adalah semua tingkah

laku, perangai, watak, sombong, dendam, dengki, kianat, dan lain-lain sifat yang buruk.
4 Al-Ghazali, Etika Islâmi, hlm 8-9
5 Umat Islâm seharusnya bersyukur, karena Allah telah mengutus seorang insan kami (manusia

sempurna) ke dunia ini untuk diteladani.Sayang sekali manusia yang sesungguhnya wajib menjadi idola
kaum muslimin dan muslimat itu seperti kurang dikenal oleh umat Islâm sendiri, karena tidak
mempelajari sejarah hidup Rasulullah secara sistematis dan benar.
6 Salah satu Isteri Rasulullah yang banyak sekali mériwayatkan Sunnah Rasulullah
7 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 654
8 Sugarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung. Agung, 1992), hlm 235
9 Asmaran AS, Pengartar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hlm 9
10 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 278
11 Sugarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, hlm 238
12 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 982
13 Hamdi Abu al-Aal, al-Akhlak wa Mi’yaruha Bayn al-Wadh’iyah wa ad-diin, (Kuwait: Daar al-

Qalam, 1985), hlm 104-126.


14 Asmaran AS, Pengantar Studi akhlak, hlm 4-5
15 Yaitu mencintai Allah melebihi cinta kepada apa dan siapapun juga, dengan mempergunakan

iman-nya dalam Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan kehidupan. Kecintaan kita terhadap Allah
diwujudkan dengan cara melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-nya.
16 Yaitu mengharapkan karunia dan berusaha memperoleh keridaan Allah
17 Yaitu mensyukuri nikmat dan karunia Allah.
18 Yaitu menerima dengan ikhlas semua Qada dan Qadar ilahi setelah berikhtiar maksimal

(sebanyak-banyaknya hingga batas tertinggi).


19 Yaitu Memohon ampunan hanya kepada Allah
20 Yaitu bertaubat hanya kepada Allah. Taubat yang paling tinggi adalah taubat nasuha, yaitu

taubat benar-benar taubat, tidak lagi melakukan perbuatan sama yang dilarang Allah, dan dengan tertib
melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
21 Yaitu berserah diri kepada Allah
22 Muhammad Daud Ali, Op.Cit, hlm 458.
23 Antara lain; (1) Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup, (2) Menjaga dan

memanfaatkan alam, terutama hewani dan nabati, fauna dan flora (hewan dan tumbuh-tumbuhan) yang
sengaja diciptakan tuhan untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya, (3) Sayang pada sesama
makhluk. (Lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 208-209)
24 Antara lain; (1) Mencintai rasulullah secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya, (2)

Menjadikan Rasulullah sebagai idola, suri teladan dalam hidup dan kehidupan, (3) Menjalankan apa
yang disuruh-nya. (Lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 86-93).
25 Antara lain; (1) Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya, (2) Merendahkan diri

kepada keduanya diiringi perasaan kasih sayang, (3) Berkomunikasi dengan orang tua dengan khidmat,
mempergunakan kata-kata lemah lembut, (4) Berbuat baik kepada ibu bapak dengan sebaik-baiknya,
dengan mengikuti nasehat baiknya, tidak menyinggung perasaan dan menyakiti hatinya, membuat ibu
bapak ridha, (5) Mendo’akan keselamatan dan keampunan bagi mereka kendatipun seorang atau kedua-
duanya telah meninggal dunia. (Lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 151-160).
26 Antara lain; (1) Memelihara kesucian diri, (2) Menutup aurat (bagian tubuh yang tidak boleh

keliatan menurut hukum dan akhlak Islâm), (3) Jujur dalam perkataan dan berbuat ikhlas dan rendah
hati, (4) Malu melakukan perbuatan jahat, (5) Menjauhi dengki dan menjauhi dendam, (6) Berlaku adil
terhadap diri sendiri dan orang lain, (7) Menjauhi segala perkataan dan perbuatan sia-sia. (lihat: Mukhlis
Lubis, Akhlak Islâm, hlm 97-99).
27 Antara lain; (1) Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, (2)

Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak, (3) Berbakti kepada ibu bapak, (4) Mendidik anak-
anak dengan kasih sayang, (5) Memelihara hubungan silaturahim dan melanjutkan silaturahmi yang
dibina orang tua yang telah meninggal dunia. (lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 100-120).
28 Antara lain; (1) Saling mengunjungi, (2) Saling bantu di waktu senang lebih-lebih tatkala susah,

(3) Saling beri-memberi, saling hormat menghormati, (4) Saling menghindari pertengkaran dan
permusuhan. (lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 120-123)
29 Antara lain; (1) Memuliakan tamu, (2) Menghormati nilai dan norma yang dalam masyarakat

bersangkutan, (3) Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa, (4) Menganjurkan anggota
masyarakat termasuk diri sendiri dan orang lain melakukan perbuatan jahat (mungkar), (5) Memberi
makan fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan kehidupannya, (6) Bermusyawarah dalam
segala urusan mengenai kepentingan bersama, (7) Mentaati putusan yang telah diambil, (8) Menunaikan
amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan yang diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita,
(9) Menepati janji. (lihat: Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 124-137).
30 Al-Ghazali, Etika Islâmi, hlm 9
31 Yaitu sikap yang menyombongkan diri, sehingga tidak mau mengakui kekuasaan Allah di

alam ini, termasuk mengingkari nikmat Allah yang ada padanya


32 Yaitu sikap yang mempersekutukan Allah dengan makhluknya-nya, dengan cara
menganggapnya bahwa ada suatu makhluk yang menyamai kekuasaan-Nya
33 Yaitu sikap yang meninggalkan atau keluar dari agama Islâm, untuk menjadi kafir
34 Yaitu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya dalam

kehidupan beragama
35 Yaitu suatu sikap yang selalu menunjuk-nunjukkan perbuatan baik yang dilakukannya. Maka

ia berbuat bukan karena Allah melainkan hanya ingin dipuji oleh sesama manusia. Jadi perbuatan ini,
kebalikan dari sikap ikhlas
36 Yaitu perbuatan yang selalu melampaui batas-batas ketentuan agama. Tuhan melarang

bersikap boros, karena hal itu dapat melakukan dosa terhadap-Nya merusak perekonomian manusia,
merusak hubungan sosial, serta merusak diri sendiri
37 Yaitu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah apa yang

seharusnya ia miliki, tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Hal ini, termasuk kebalikan dari rasa
cukup (Al-qana’ah) dan merupakan akhlak buruk terhadap Allah, karena melanggar ketentuan larangan-
Nya.
38 Al-Ghazali, Etika Islâmi, hlm 26-32
39 Yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat ditahan oleh kesadarannya, sehingga

menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan orang lain


40 Yaitu sikap kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan agar kenikmatan dan kebahagiaan

hidup orang lain dapat hilang sama sekali


41 Yaitu perilaku yang suka memindahkan perkataan seseorang kepada orang lain, dengan

maksud agara hubungan sosial keduanya rusak


42 Yaitu suatu perilaku yang suka membicarakan keburukan seseorang kepada orang lain
43 Yaitu sikap dan perilaku yang menampilkan kesombongan, baik dilihat dari tingkah lakunya,

maupun perkataannya
44 Yaitu sikap yang tidak mau memberikan nilai materi dan jasa kepada orang lain
45 Yaitu suatu perbuatan yang merugikan orang lain, baik kerugian matriil maupun non-matriil.

Dan ada juga yang mengatakan bahwa seseorang yang mengambil hak-hak orang lain termasuk
perbuatan dzalim
46 Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hlm 6
47 Ibadah, bagi kaum sufi, harus dilakukan dengan sepenuh hati, dengan mencurahkan seluruh

perhatian pada makna-makna rohaniah yang terkandung didalamnya. Sikap kaum sufi terhadap Tuhan,
pada mulanya didasarkan rasa takut, tetapi kemudian rasa takut itu diubah dan dikembangkan oleh
Rabi’ah Al-Adawiyah (w 801M), seorang sufiwati dari Basrah (Irak). Dengan rasa cinta kepada Allah
melebihi cinta kepada apapun juga.
48 Hosein Djayadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten,(Jakarta: Djambatan, 1983), hlm

135 – 136.
49 Aliran ini memuliakan pendirinya Abdul Qadir Al-Jailani (w.116 M). Menurut para

pengikutnya, Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang suci. Kini, yang menjadi pemimpin tariqat
Qadiriyah adalah juru kunci kuburan Abdul Qadir jailani di Baghdad. Aliran ini berpengaruh di Afrika
Utara, Asia Kecil, Pakistan, India, Malaysia, juga Indonesia.
50 Aliran ini didirikan oleh Muhammad Ar Rifa’i (m. 1183 M).Tariqat Rifa’i terkenal dengan

amalannya berupa penyiksaan diri dengan melukai bagian-bagian badan dengan senjata tajam diiringi
oleh zikir-zikir tertentu. Bila ada yang luka, gurunya menyembuhkan luka itu dengan air liurnya sambil
menyebut nama pendiri tarikat. Di Aceh dan Banten, upacara menusuk-menusuk badan dengan senjata
tajam yang disebut dabus atau debus itu, dilakukan oleh para pengikut aliran tasawuf Rifa’iyah.
51 Tarikat sammani didirikan oleh Syeikh Muhammad Samman.Riwayat hidup pendiri tarikat ini,

Syeikh Muhammad Samman, sangat terkenal dahulu di jakarta. Cara mencapai tujuan akhirnya,
diantaranya, adalah berzikir dengan suara lantang, seperti tampak dalam permainan samman di gayo
(Aceh).
52 Aliran ini didirikan oleh Abdullah As-Syattari (w 1417M).Berpengaruh juga di Indonesia,

terutama di jawa.Aliran ini percaya pada ajaran kejawen mengenai tujuh tingkat keadaan Allah yang
disebut dalam ilmu hakikat.Nabi Muhammad dilambangkan oleh aliran ini sebagai manusia sempurna
(insan kamil) yang memantulkan Ilahi, seperti cermin memantulkan cahaya.Pada aliran ini juga terdapat
kepercayaan bahwa semua manusia mempunyai bakat untuk manjadi manusia sempurna dan harus
berusaha untuk mencapai kesempurnaan itu.Dalam hubungan ini terdapat pandangan tentang
hubungan manusia dengan Allah seperti hubungan seorang pelayan dengan majikannya.
53 Aliran ini didirikan di Turkistan oleh Muhammad An-Naqsyabandi (w 1388M). Berbeda

dengan aliran sammani yang melakukan zikir terbuka, yakni berzikir dengan suara nyaring dan lantang,
aliran Naqsabandi menyelenggarakan zikir tertutup atau zikir diam yakni menyebut nama tuhan dengan
berdiri diam.
54 Pakar sejarah dan pengajar tasawuf pada universitas Harvard, Amerika Serikat
55 Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islâm, (Chapel Hill, NC: University of North

Carolina Press, 1975), hlm 35.


56 Abu al-Wafa' al-Ghunaymi al-Taftazani, Sufi dari zaman ke zaman: suatu pengantar tentang

tasawuf, (Bandung :Penerbit Pustaka, 1985), hlm 73-75.


57 Zahid adalah orang yang tidak tertarik kepada harta dan kesenangan dunia
58 Sikap tidak terakhir atau tidak peduli dengan kesenangan duniawi
59 Hanya mau mengambil yang halal, pantang mengambil yang diragukan kehalalannya, apalagi

yang haram
60 Merasa cukup dengan rezeki yang halal, betapapun sedikitnya
61 Ali bin Haji Mohamed, Kunci memahami tasawuf, (Batu Caves, Selangor :Masterpiece, 2006), hlm

37-38
62 Ibid, hlm 73-76.
63 Ibid, hlm 76-77.
64 Mohd. Sulaiman Haji Yasin, Mengenal ilmu tasawuf, pengantar, (Putrajaya :Jabatan Kemajuan

Islâm Malaysia, 1997), hlm 57-78.


65 Meliputi perbuatan yang hukumnya wajib atau fardhu, sunah, mubah atau boleh
66 Meliputi perbuatan yang hukumnya haram dan makruh
67 Sikap dan perilaku manusia yang berusaha membersihkan dirinya dari hadast dan najis lahir

serta maksiat yang nyata dengan istilah takhalli.


68 Sikap dan Perilaku manusia yang berusaha melakukan kebaikan yang nyata untuk

menanamkan kebaikan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan terpuji dengan istilah Tahalli.


69 Mohd. Sulaiman Haji Yasin, Mengenal ilmu tasawuf, pengantar, hlm 33.
70 Ibid, hlm 78-79.
71 Ibid, hlm 91
72 Yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengalaman indera terhadap alam semesta,

sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya.


73 Yaitu tingkatan keyakinan yang di timbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran

Allah pada alam semesta ini.


74 Yaitu suatu tingkatan keyakinan yang didominasi oleh hati nurani shufi tanpa melalui ciptaan-

Nya, sehingga ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah. Maka kebenaran
Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal
75
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawwuf, hlm 103-114.
76 Ibid, hlm 120
77 Dwi Siswoyo, Metode Pengembangan Moral Anak Prasekolah, (Yogyakarta: FIP UNY, 2005), hlm

72-81
78 Ibid, hlm 27
79 Cheppy Hari Cahyono, Ajaran – Ajaran Moral, (Malang : Proyek OPF IKIP Malang, 1995), hlm

364-370.
80 Mukhlis Lubis, Akhlak Islâm, hlm 212-217
81 Ibid, hlm 217-218
82 Ibid, hlm 218 - 220

Anda mungkin juga menyukai