Disusun Oleh:
M. Arif Surham
NIM 22290614765
Alhamdulillah, puji sukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan ilmu-
ilmuNya mengenai Al quran Yang Mulia untuk membantu dalam menafsirkan tanda-
tandaNya agar kita senantiasa bertambah keimanan serta kecintaan kepadaNya.
Salawat dan salam selalu tecurah kepada Nabi SAW.
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Dosen pengampu mata kuliah
Filsafat Ilmu , Bapak Prof. Dr. Amril, MA yang telah memberikan tugas pembuatan
review ini untuk melengkapi nilai selama di perkuliahan ini. Semoga ilmu yang telah
Bapak berikan bemanfaat untuk bekal kehidupan di kemudian hari.
Penulis
ii
A. Pendahuluan
iii
Lebih jauh lagi, Abdul Majid Muhammad Ali al-Ghaili mengatakan bahwa al-
Qur‟anditurunkan untuk memperbaiki umat seluruhnya karena berisi petunjuk
dan
memberikan penawaran kepada umat manusia tentang kehidupan yang baik dan
benar (Al-Isra‟:9).
Ilmu dari sudut pandang Islam tidak sepenuhnya bertentangan dengan sains
Barat. Hal ini menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan antara keduanya.
iv
Misalnya, ilmu diakui oleh Islam sebagai salah satu sarana komunikasi untuk
memperoleh pengetahuan, dan juga oleh Barat. Ada alasan menyertai, namun
keduanya tidak dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi manusia,
sehingga keduanya tidak mutlak.
v
eksternal dan spiritual, empiris dan metafisik, atau fisik dan metafisik, sekuler
dan seterusnya.
5. Terikat Nilai
Ilmu Islam adalah nilai batas, dipengaruhi oleh dimensi spiritual,
wahyu, intuisi dan berpusat pada ketuhanan. Hal ini sangat berbeda dengan
sains Barat karena menekankan bahwa sains bersifat netral, tidak berharga,
dan tidak terikat pada nilai tertentu. Pernyataan ilmiah yang netral (tidak
berharga) dan objektif akan menyebabkan manusia modern memandang
manusia dan lingkungan sebagai objek belaka.
D. Epistomologi Islam
vi
Naquib menyatakan bahwa sumber ilmu adalah datangnya dari Allah
sebagai karunia-Nya yang diberikan kepada manusia. Ilmu tersebut hanya dapat
diterima oleh insan dengan daya usaha kerja amal ibadah serta kesucian
hidupnya, yakni dengan keihsannanya dan hikmah sejati ibadah kepada Tuhan
dengan ridhanya dan yang mungkin dapat menerimanya tergantung kepada
kehendak dan karunia Allah juga.
Apa yang dikemukakan oleh Naquib sesuai dengan kesepakatan
dikalangan muslim yang telah memiliki landasan teologis, bahwa surah al-‘alaq ayat
1-5, diterima sebagai informasi bahwa Allah itulah sumber segala ilmu yang
kemudian diajarkan kepada manusia. Mereka meyakini asal (origin) ilmu itu
adalah Allah sendiri, pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-
Nya. Sedangkan ilmuan adalah peramu butiran-butiran ilmu dalam tataran
sistemik yang disebut manusia dalam nama-nama yang disepakati bersama demi
kemudahan menggalinya. Menurut Naquib hanya dengan hidayah (petunjuk)
Allah-lah sebuah kebenaran bisa diperoleh oleh manusia, bukan keraguan.
Pendapat Naquib ini sekaligus sebagai kritiknya terhadap epistemologi Barat
dengan ciri skeptis atau keragu-raguan (kesangsian). Aliran skeptisisme
(irtiyabiyah) ini untuk pertama kalinya di dunia Barat diperkenalkan oleh
Rene Descartes (1456-1658), dia mendapat gelar “bapak filsafat
vii
modern”. Bagi Descartes, filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui
melalui metode dengan menyangsikan segala-galanya.
Dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti, semuanya
dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga, kecuali
ilmu pasti. Pengetahuan Barat menurut Naquib seolah-olah benar, namun pada
dasarnya hanya menghasilkan kebingungan dan skeptisisme.Mengangkat keragu-
raguan dan meraba-raba ke derajat ilmiah dalam hal metodologi dan memandang
keraguan sebagai suatu unsur epistemologis yang istimewa dalam mengejar
kebenaran. Keraguan ditinggikan posisinya menjadi metode epistemologis.
Melalui metode inilah kaum rasionalis dan sekularis percaya bahwa mereka
akan mencapai kebenaran. Tidak ada bukti, bahwa keraguan, dan bahkan
sesuatu lainnya yang mengantarkan mereka berada pada
kebenaran.Sesungguhnya, tambah Naquib, yang mengantarkan kepada kebenaran
adalah hidayah Allah bukan keraguan.
Sumber epistemologi Islam kedua adalah Al-Qur’an. Al-Qur'an
merupakan sumber ajaran Islam, yang di samping berfungsi sebagai hudan
(petunjuk) juga sebagai furqan(pembeda). Sehingga ia menjadi tolak ukur dan
pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Termasuk dalam penerimaan dan
penolakan apa yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw. Menurut Ahmed
–dengan mengutip al-Qur'an surah al-‘Alaq ayat 1-5– mengatakan bahwa al-Qur’an
menetapkan nilai yang sangat tinggi bagi pencarian hikmah dan ilmu
pengetahuan. Nabi, baginya adalah illitera, sangat mencintai ilmu dan mendorong
para pengikutnya untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya sampai ke negeri Cina.
Kata iqra’dalam surah tersebut (Q.S: al-‘Alaq), merupakan kata kunci yang
digunakan al-Qur’an dalam usaha penguasaan ilmu pengetahuan. Kata ini
berasal dari kata qaraa dan terulang tiga kali dalam al- Qur’an (Q.S: 17:14;
96:1,3), sedangkan kata jadinya dalam berbagai bentuk terulang sebanyak tujuh
belas kali, selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak tujuh puluh kali. Iqra’
(qara’a) berarti menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya, yang semuanya dapat dikembalikan pada
artipokok kata-kata tersebut yakni penghimpun.
Berangkat dari pemahaman tersebut, maka para cendekia muslim
berpendapat, bahwa al-Qur’an dan sunah adalah sumber fundamental
metodologi Islam. Pengetahuan al-Qur’an dan hadis adalah pangkal (inti, dasar,
permulaan) metodologi Islam. Pangkal itu merupakan pusat pertumbuhan
pengetahuan. Pangkal itu juga memuat beberapa pengetahuan yang relevan dengan
setiap disiplin ilmu pengetahuan.
Wahyu (al-Qur’an), dengan demikian memiliki kedudukan yang paling tinggi. Hal
ini karena dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan Islam yang akan
dilakukan adalah menjadikan wahyu Illahi sebagai sumber kebenaran mutlak. Wahyu
mencakup pemberitaan yang tidak terjangkau oleh akal dan indera, sedangkan indera
beraktifitas sebatas yang dapat dilihat, diraba, dicium dan dirasa, dan akal
hanya bekerja pada sesuatu yang dapat dinalar dan dipikirkan. Di luar itu, akal tidak
1
mampu menjangkaunya. Posisi yang demikian, membawa konsekuensi bahwa
dalam pandangan Islam sumber pengetahuan seperti indera dan akal harus
tunduk pada wahyu. Cara untuk mengenal alam jagad yang menjadi
tumpuan perhatian pengetahuan yang dikenal dengan sains, adalah
melalui aktualisasi semua kemungkinan dalam akal itu. Namun aktualisasi itu
hanya mungkin jika akal tunduk pada kitab suci. Oleh karena itu, dapat dipahami
mengapa ulama-ulama Islam dahulu memandang pembersihan jiwa (tazkiyah al-nafs)
merupakan satu bagian integral dari metodologi ilmu. Mereka meyakini bahwa
ajaran-ajaran al-Qur’an seperti tazkiyah al- nafs dapat menghasilkan kebenaran yang
lebih berkualitas ketimbang kebenaran yang dicapai melalui akal, karena merupakan
petunjuk Allah.
Secara tekstual al-Qur’an hadir untuk melegitimasi kebenaran yang ada
pada agam-agama sebelumnya. Perbedaaan antara agama lain, menurut Dr. Sa’dun,
bukan berarti ada posisi salah dan benar melainkan ada di wilayah perbedaan
kondisi dan situasi yang melatarbelakangi hadirnya teks terebut.
Sumber epistemologi Islam ketiga adalah sunah. Sunah menurut para
ulama dipandang dari segi keberadaannya wajib diamalkan dari sumbernya, dari
wahyu
sederajat dengan al-Qur’an. Ia berada pada posisi setelah al-Qur’an dilihat dari
kekuatannya, karena al-Qur’an berkualitas qhat’iy baik secara global maupun
rinci. Sedangkan sunah berkualitas qhat’iy secara global saja tidak secara rinci. Di
samping itu al-Qur’an merupakan pokok, sedangkan sunnah merupakan
cabang, karena posisinya menjelaskan dan menguraikan.
1. Al-Farabi, lahir di Turki di daerah Farab, dalam Filsafat Islam disebut guru kedua,
maksudnya Aristoteles disebut guru pertama, al-Farabi guru kedua. Ia terkenal
penganut filsafat emanasi yang diadopsi dari filsafat emanasi Aristoteles. Karya-
karyanya yang terkenal di antaranya yaitu Ihsha’ Al-Ulum (klasifikasi ilmu).
Seperti yang dijelaskan oleh Osman Bakar, klasifikasi ilmu menurut Al-Farabi
yaitu ilmu religious; tafsir, hadis, ushul fikih. Psikologi, ilmu kebahasaan dan
logika, ilmu-ilmu filosofis; matematika, ilmu alam, metafisika, ilmu politik,
yurispurdensi dan teologi.3 Klasifikasi ilmu ini pada dasarnya merupakan
kerangka berpikir untuk Islamisasi ilmu. Karena pada waktu itu terdapat
2
kebuntuan di kalangan ilmuan Islam mengenai dikotomi antara ilmu dan agama
(Islam). Sebagai solusinya maka Al-Farabi menciptakan klasifikasi ilmu.
2. Al-Ghazali, (1058-1111 M) gelar hujjatul Islam, filosof, fuqaha, teolog dan sufi,
lahir di Thus, sekarang masuk wilayah Khurasan. Karya-karyanya yang terkenal di
antaranya Ihya Ulumuddin, al-Munkiz min ad-dalal (penyelamat dari kesesatan),
dan Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat). Para pencari ilmu menurutnya dibagi
empat. 1). Para teolog. 2). Filosof. 3). Taklimiyah dan 4). Sufi. Sedangkan
klasifkasi ilmu menurutnya dibagi dua. Pertama, ilmu syar’iyah (naqliyah) dan
kedua ghairi syar’iyah (aqliyah). Pembagian ini sering juga disebut ilmu teoritis
dan praktis. Kelompok ilmu masuk syar’iyah yaitu:
1. Ilmu al-Ushul; ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, eskatologis (akhirat) dan
ilmu tentang sumber pengetahuan religious; Al-Quran dan Sunnah sebagai
sumber primer sedangkan ilmu sumber skunder yaitu ijmak dan atsar sahabat.
Ilmu ini dibagi kepada dua hal, yaitu ilmu-ilmu alat dan ilmu-ilmu pelengkap;
ulum Al-Quran, Ulum al-Hadis, ushul fikih, dan biografi para tokoh.
3. Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas. Lahir di Bogor pada tahun 1931, ibunya
berasal dari Sunda dan ayahnya dari Johor, Malaysia. Ia dikenal seorang militer,
pendidik, intelektual muslim, ahli dalam bidang filsafat dan tasawuf. Mengutip
3
Arqom Kuswanjono Al-Attas adalah tokoh Islamisasi ilmu dan ia yang pertama
kali memperkenalkan pentingnya Islamisasi ilmu pada World Confrence on
Islamic Education (Konfrensi Internasional tentang pendidikan Islam), di Mekkah
tahun 1977 dan di Islamabad, Pakistan tahun 1980 dan kemudian gagasan ini
dikembangkan dan dipopulerkan oleh Ismai Rajiq Al-Faruqi. Gagasan inilah yang
melambungkan nama Al-Attas dipanggung pemikiran pendidikan Islam
internasional, seorang keturunan Indonesia yang mendunia.
Latar belakang munculnya gagasan ini karena dalam pandangan Al-Attas dunia
Islam diselimuti oleh pemikiran sekularisme yang berusaha memisahkan hubungan
agama dan dunia, pada hal antara keduanya tidak terpisah, akar sekularisme telah
mencabut akar-akar keyakinan manusia kepada Allah. Dunia Kristen telah gagal
membendung arus sekularisme dan terjebak di dalamnya bahkan sekularisme
dipandang sebuah keharusan dalam keimanan. Untuk menghambat derasnya arus
sekularisme maka konsep yang dilontarkan oleh Al-Attas adalah pentingnya
pembersihan westernisasi yang telah menyusup ke dalam pendidikan Islam dan
diganti dengan otoritas wahyu dan intuisi (tasawuf). Dunia modern telah
mengabaikan kebenaran wahyu dan intuisi dan berpegang kuat kepada kebenaran
akal dan empiris serta meninggalkan kaidahkaidah agama atau moral. Al-Attas
menyebutnya ketiadaan adab. Maksud ketiadaan adab di sini yakni ketiadaan
pengenalan ilmu yang terkait dengan pemahaman tentang wahyu (Al-Quran).
4. Ismail Rajiq al-Faruqi. Lahir di daerah Jaffa, Palestina tahun 1921, sebuah negeri
yang tidak pernah merdeka dan dijajah oleh Israel hingga kini. Ia terkenal sebagai
ilmuan muslim, pendidik, dan pejuang Palestina yang gigih memperjuangkan
negerinya untuk merdeka. Karirnya dalam bidang pendidikan melejit setelah ia
hijrah ke Amerika pada tahun 1947 dan pada tahun 1949 ia memperoleh gelar
Magister di bidang filsafat di Universitas Indiana dan gelar Doktor diperoleh dari
universitas yang sama. Pemikiran Islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Al-
Faruqi diilhami oleh pemikiran Naquib Al-Attas, salah satu karya terbesarnya
ialah Islamization of Knowledge; General Principles and Workplan. Buku ini
merupakan salah satu rujukan tentang pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan di
dunia Islam terutama pada era tahun 1980-an. Karena itu, tidaklah heran dalam
pandangan M. Dawam Rahardjo tokoh utama Islamisasi ilmu adalah Ismail Rajiq
AlFaruqi, orang Malaysia menyebut ide itu “dicuri “oleh Ismail Rajiq Al-Faruqi
lalu dipopulerkannya. Latar belakang munculnya gagasan Islamisasi Ilmu
pengetahuan disebabkan tedapatnya dualisme sistem pendidikan Islam, yang satu
bercorak pendidikan agama dan kedua bercorak pendidikan umum, menurutnya
keduanya harus disatukan ke dalam paradigma Islam berdasar tauhid, tidak
memisahkan antara dalil naqal dan akal. Kedua dalil ini saling terkait tak terpisah,
kebenaran naqal bersifat mutlak dan kebenaran akal adalah bersifat nisbi (relatif)
4
F. Keterjalinan Ayat Qauliyah, Kauniyah dan Insaniyyah
Pada prinsipnya Ilmu pengetahuan termasuk filsafat pendidikan (Islam) di lihat
dari sumber asalnya hanya satu yakni Allah swt. Karena Dia yang menciptakan segala
sesuatu termasuk pengetahuan. Kemudian Tuhan memancarkan ilmu pengetahuan itu
kepada ayat-ayat-Nya berupa:
1. Ayat-ayat Ilahiyah yang tercantum dalam Alquran dan Sunnah.
2. Ayat-ayat Insaniyah berupa potensi-potensi dalam diri manusia.
3. Ayat-ayat kauniyah (kealaman) berupa sunnatullah (hukum keteraturan).
Alquran dan Sunnah merupakan sumber asasi bagi prinsip dimana ditegakkan
filsafat dan teori pendidikan sebab ia mengandung potensi yang menyeluruh, fleksibel
yang menyebabkannya memuat dan meliputi semua prinsip, nilai baik dan berguna
bagi kehidupan manusia yang berasal dari sumber-sumber lain.
Berkaitan dengan ayat-ayat Ilahiyah antara lain tercantum dalam QS. al-Nisa’
(4): 113 (…Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu,
dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui); QS. al-Baqarah
(2):31 (Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda- benda) seluruhnya,
…). Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah sebagai sumber dari segala sumber
pengetahuan termasuk filsafat pendidikan Islam.
Berkaitan dengan ayat-ayat Insaniyah adalah bersumber dari manusia sendiri
sebagaimana tersebut dalam QS. al-Maidah (5):31, QS. Asy-Syura (42):38, dan Ali
Imran (3):159. Ayat-ayat Insaniyah tersebut khususnya QS. al-Maidah (5):31) itu
menunjukkan bahwa Allah tidak memberikan ilmu kepada Kabil bagaimana cara
mengubur mayat saudaranya yang bernama Habil itu. Tapi karena Kabil melihat
contoh seekor burung gagak menggali-gali bumi untuk mengubur burung lain yang
telah mati, maka potensi akal kreatif Kabil muncul sehingga dia mendapatkan
pengetahuan baru yakni cara menguburkan mayat saudaranya itu. Demikian juga
manusia mengindera, berpikir ilmiah dan merasa tentang berbagai fenomena alam
kemudian dibahas oleh berbagai ahli yang disebut dengan musyawarah, diskusi,
workshop, seminar, dan seterusnya akan melahirkan berbagai jenis ilmu pengetahuan.
Sedangkan berkaitan dengan ayat-ayat Kauniyah berupa sunnatullah (hukum
keteraturan) yang di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan jika diteliti atau diadakan
eksperimen oleh ahlinya. Isyarat itu antara lain tersebut dalam QS. Yunus: 5, “Dialah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak (Maksudnya: Allah menjadikan semua yang
disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah/ilmu
pengetahuan). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang
5
yang mengetahui”. Fenomen-fenomena alam tersebut perlu diteliti untuk mendapat
ilmu pengetahuan tentang sistem sunnatullah.
Dari ayat-ayat Ilahiyah, Insaniyah, dan Kauniyah, kemudian manusia berpikir,
menganalisis, meneliti, dan melakukan eksperimen maka melahirkan berbagai cabang
ilmu pengetahuan termasuk sumber filsafat pendidikan (Islam).
6
Tuhan atau mengucap bismi rabbika allazi khalaq (membaca dan belajar dengan
nama Tuhanmu Yang Menciptakan). Jika ditelaah ada banyak ayat Al Quran
yang berbicara mengenai alam. Kurang lebih 750 ayat Al Quran berisi tentang
jagad raya beserta fenomenanya dan tersurat juga dalam Al Quran bahwa alam
ini diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia.
Oleh karena itu erat kaitannya antara Islam dengan Ilmu Pengetahuan.
Sebagaimana Islam hadir yang mendeklarasikan sebagai agama yang sempurna
maka Islam juga memiliki sudut pandang tersendiri dalam memaknai ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat mematahkan para kaum sekularis yang menganggap
ilmu pengetahuan dan agama dalam hal ini Islam tidak dapat berjalan beriringan.
2. Lapisan Bumi
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.
Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-
benar meliputi segala sesuatu.” (AtThalaq: 12).
Dari ayat ini kita bisa menyimpulkan bahwa maksud dari tujuh bumi
adalah tujuh lapisan pembentuk bumi. Pada zaman modern, terungkap fakta
ilmiah bahwa bumi mempunyai tujuh lapisan.
1) Atmosfer, yaitu udara yang menyelimuti planet bumi.
2) Hidrosfer, yaitu lapisan air yang berada di permukaan bumi dam meliputi
perairan tawar dan asin.
7
3) Lapisan Sial. Lapisan ini tersusun dari silisium dan alumunium. Disebut
juga kerak bumi yang bersifat bebatuan.
4) Lapisan Sima. Lapisan ini tersusun dari silisium dan magnesium.
5) Lapisan Sima berfasa besi.
6) Inti cair bumi.
7) Inti padat bumi
8
3. Implementasi Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-Qur’an
Seiring perkembangan zaman kompleksitas permasalahan turut
meningkat. Karakter ilmu pengetahuan secara epistomologis semakin bergeser
menjadi rasional-empiris-positivistik. Selain itu secara ontologis ilmu
pengetahuan modern bersifat materilistik. Sehingga menjadikan ilmu
pengetahuan menjadi tidak lagi mengenal nilia-nilai kemanusia. Pada dasarnya
ilmu pengetahuan merupakan hasil karya manusia dalam upaya untuk memenuhi
kebetuhunnya sekaligus menyelesaikan permasalahan yang ada secara positif.
Namun kenyataanya, ilmu pengetahuan hadir seperti koin yang memiliki dua sisi
yang saling bertolak belakang, disatu sisi pemahaman keilmuan tentang atom
dapat dikembangkan untuk menyembuhkan penyakit, pengawetan makanan, dll
yang berorientasi manfaat positif. Sedangkan disisi lain, pengembangan tentang
atom dapat dijadikan senjata mematikan yang dapat membahayakan manusia,
sebut saja bom atom.
Hadirnya dualitas tersebut menggerakkan sebagian saintis atau ilmuwan
untuk menghadirkan kembali atau mencari paradigma baru yang dapat
membangun relasi yang baik antara sains dengan agama dengan tidak
menafikkan salah satunya. Hal ini muncuk Karena kegelisahan mereka dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan pada akhirnya dapat menghadirkan kebaikan
maupun kemudharatan. Berdasarkan bahasan sebelumnya tantangan pun hadir
dari pahampaham kaum sekularis maka upaya memunculkan paradigm ini
menghadapi tantangan tersendiri selain dari permasalahan yang semakin
kompleks seiring perkembangan zaman. Hal inilah yang diupayakan
saintissaintis muslim yang mencoba memberikan solusi permasalahan yang ada
sekaligus melakukan pembuktian wahyu Illahi untuk mematahkan paham
sekularis yang saat ini berkembang.
Islam merupakan agama pengetahuan. Sumber utama ajaran agama Islam
–al-Qur`an dan al-Sunnah– menjelaskan ilmu pengetahuan dengan seluruh
aspeknya. Sekaligus menganjurkan dan mendorong umatnya untuk menggali,
mengkaji dan memformulasi ilmu pengetahuan yang ada, baik yang lafzhi
maupun kauny. Adapun proses yang digunakan, berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman. Dorongan dan perintah Islam tersebut tidak ada
manfaatnya bagi Allah, tapi bagi kehidupan manusia itu sendiri. Apa yang
disampaikan Islam bukanlah tanpa arti dan manfaat sama sekali. Sebab tidak ada
perintah dan larangan dalam Islam yang merugikan, malah menguntungkan bagi
seluruh alam.
Demikian halnya dengan perintah dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan. Arti dan manfaatnya akan kembali kepada manusia itu sendiri.
Manusia tidak akan mampu menguasai dunia, kalau bukan karena ilmu.
Demikian pula manusia tidak akan mampu untuk mendapatkan kebahagiaan
akhirat, kalau bukan karena ilmu. Dalam Islam iman, ilmu dan amal merupakan
satu keterpaduan yang total. Iman menjadi dasar dalam ilmu dan amal. Demikian
pula ilmu dan amal akan meningkatkan keimanan. Dengan demikian, dalam
9
Islam tidak akan terjadi “kepribadian terpecah” (split personality). Dengan
demikian barulah berlaku ganjaran Allah yang terdapat dalam surah al-Mujadilah
ayat 11 yang mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu.
Bentuk implementasi ilmu pengetahuan dan Islam dapat diwujudkan
dengan model integrasi dan interkoneksi keilmuan merupakan sebuah upaya
strategis untuk memosisikan kembali keberadaan ilmu pengetahuan dan agama
dalam kedudukan yang seimbang baik dalam upaya pencarian dan
pengembangan ilmu pengetahuan sekaligus pemanfaatnnya untuk ummat
manusia dan alam. Munculnya konsep integrasi dan interkoneksi keilmuan tidak
lain karena adanya realitas yang tidak proporsional, dimana modernisme dengan
paradigma positivismenya telah meletakkan ilmu-ilmu positif lebih dominan dari
pada ilmu-ilmu agama. Keadaan ini kemudian menimbulkan problem krusial
bagi peradaban manusia. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk melakukan
integrasi dan interkoneksi ilmu pengetahuan dan agama merupakan sebuah
keniscayaan dalam alam modern sekarang ini. Paradigma sains yang dibutuhkan
masa kini supaya dapat memberikan keleluasaan untuk membangun
kemaslahatan umat manusia, yaitu; paradigma sains yang meletakkan nilai
rasionalisme, empirisme, positivism dan nilai intuisi (realitas spiritual) sebagai
unsur epistemnya secara seimbang dan dialogis-kritis. Dengan ditambahnya
unsur intuisi, maka problem ontologis dan aksiologis dari sains modern bisa
dicari jalan keluarnya secara memadai.
10
DAFTAR PUSTAKA
11