Anda di halaman 1dari 18

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Filsafat Ilmu Prof. Dr. Amril, M.A

PROSES EPISTEMOLOGI ISLAM


(Keterkaitan Ayat-ayat Qauliyah, Kauniyah dan Insaniyah)

Disusun Oleh:

M. Arif Surham

NIM 22290614765

PROGRAM PASCA SARJANA


JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji sukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan ilmu-
ilmuNya mengenai Al quran Yang Mulia untuk membantu dalam menafsirkan tanda-
tandaNya agar kita senantiasa bertambah keimanan serta kecintaan kepadaNya.
Salawat dan salam selalu tecurah kepada Nabi SAW.
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Dosen pengampu mata kuliah
Filsafat Ilmu , Bapak Prof. Dr. Amril, MA yang telah memberikan tugas pembuatan
review ini untuk melengkapi nilai selama di perkuliahan ini. Semoga ilmu yang telah
Bapak berikan bemanfaat untuk bekal kehidupan di kemudian hari.

Pekanbaru, 11 Juni 2023

Penulis

ii
A. Pendahuluan

Epistemologi merupakan salah satu cabang keilmuan dalam filsafat. Kajian


epistemologi memiliki tiga ranah kajian. Pertama, ilmu ini membahas tentang
sumber ilmu pengetahuan, asal pengetahuan itu sendiri, dan bagaimana cara
mengetahuinya. Kedua, pembahasan yang mengarahkan kita pada phenomena dan
neomena, yaitu pembahasan tentang sifat dasar pengetahuan. Ketiga,
pembahasan tentang kebenaran pengetahuan itu sendiri. Tiga persoalan ini
merupakan ranah kajian epistimologi dengan ilmu sebagai objek kajiannya.
Persoalannya adalah ketika ilmu sertametodologinya mulai berkembang di
dunia Eropa dan tumbuh berkembang lebih pesat, ilmu menjadikan manusia
penguasa atas manusia lainnya. Ilmu pengetahuan mulai menggantikan wahyu
Tuhan yang merupakan petunjuk bagi umat manusia. Sehingga,seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan, makamulailah menggeser keotentikan
agama,bahkan dikemudian hari dianggap sebagai pengganti agama.
Islam merupakan agama samawiy, agama yang ajarannya turun dari
langit
berdasarkan wahyu ilahi, memiliki kitab suci yaitu al-Qur‟an sebagai pedoman dan
pandangan hidup. Al-Qur‟an merupakan kalamullah(firman Allah) yang
diturunkan secara berangsur-angsur selama kurun waktu kurang lebih 23 tahun
kepada Nabi Muhammad salallahu „alaihi wasallam melalui perantara malaikat Jibril
‘alaihi salam. Hingga saat ini, selama 1400-an tahun al-Qur‟an tetap
terjaga
keotentikannya sebagaimana dahulu diturunkan kepada Nabi Muhammad
salallahu „alaihi wasallam. Al-Qur‟an terbukti berhasil melawati perubahan zaman
dan tetap relevan sesuai dengan perkembangan di setiap zaman. Maka tidak heran
jika al-Qur‟an sebagai kitab suci dikatakan shalihun fi kulli zamanin wa makanin
wa
ummah (kitab yang relevan disetiap zaman, sesuai distiap tempat dan bangsa).
Al-Qur‟an sejatinya adalah guidancebagi seluruh umat manusia bukan
hanya ditujukan kepada orang-orang Quraisy dan pengikut Muhammad
saja.Sebagai kitab yang didedikasikan untuk kehidupan ummat seutuhnya, al-
Qur‟an membicarakan hampir seluruh aspek kehidupan manusia,baik secara
langsung disebutkan dalam firman-Nya maupun tidak. Dengan demikian maka
seharusnya al-Qur‟an menjadi landasan keilmuan bagi umat manusia dalam
menjalankan kehidupan di dunia ini. Dalam hal ini Kuntowijoyo,dalam buku
Paradigma Islam:
Interprretasi untuk Aksi, menjelaskan bahwa al-Quran haruslah menjadi
landasan
dalam membentuk teori sosial,dimana perlu adanya transformasi pemahaman
oleh umat muslim di era global ini dari kesadaran normatif ke kesadaran
ilmiah.

iii
Lebih jauh lagi, Abdul Majid Muhammad Ali al-Ghaili mengatakan bahwa al-
Qur‟anditurunkan untuk memperbaiki umat seluruhnya karena berisi petunjuk
dan
memberikan penawaran kepada umat manusia tentang kehidupan yang baik dan
benar (Al-Isra‟:9).

B. Epistemologi Dalam Ilmu Islam

Dalam bahasa Arab, kata epistemologi sering digunakan dari nazhariyah


alma'rifah, tetapi kata ma'rifah digunakan untuk menunjukkan penggunaan kata "ilm
(ilmu) yang berbeda". Ketika kehati-hatian diperlukan, kata ma'rifah berarti
pengetahuan manusia bisa menjadi ambigu, sedangkan kata 'ilm (ilmu) berarti
kejelasan.
Epistemologi Islam mengkaji pengetahuan dari perspektif Islam, karena
metodologinya telah terbukti keabsahannya. Dalam sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan, dan kebenarannya dapat diperoleh dari perspektif Islam atau usulan
(epistemologi), model epistemologi positivis telah terbentuk selama beberapa dekade
dan akhirnya menjadi filsafat sekitar 20 atau 30 tahun kemudian, hingga muncul
perkembangan baru.
Epistemologi Islam khusus ini telah dibahas dalam berbagai kajian yang
berkaitan dengan berbagai persoalan yang berkaitan dengan ilmu, pengetahuan,
pemahaman, proporsi, logika dan bentuk pemikiran, serta dalam berbagai hal yang
berkaitan dengan ego dan jiwa manusia.11 Sedangkan Ilmu dalam perspektif Islam
secara epistemologis adalah Ilmu Allah yang mencakup segala yang diciptakannya,
dan ilmu yang diperoleh (dianugerahkan kepada) manusia guna mengetahui hakekat
dirinya.
Dari perspektif epistemologi Islam, tidak dikenal dikotomi antara ilmu agama
dan ilmu non-agama (umum). Sains adalah ilmu, berasal dari sumber yang sama,
kemudian berkembang sesuai dengan bidang objeknya masing-masing, baik objek
material maupun objek formal. Terus-menerus dihadapkan pada fenomena alam,
manusia, dan apa pun selain itu. Melalui kaitan inilah ilmu pengetahuan terus
berkembang dalam ruang sejarah dari waktu ke waktu.
Dalam Islam, epistemologi tidak berpusat pada manusia, tetapi pada Allah,
yaitu Allah adalah sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Namun
demikian, bukan berarti posisi manusia tidak penting, melainkan manusia adalah
pencari ilmu.

C. Karakteristik Epistemologi Islam

Ilmu dari sudut pandang Islam tidak sepenuhnya bertentangan dengan sains
Barat. Hal ini menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan antara keduanya.

iv
Misalnya, ilmu diakui oleh Islam sebagai salah satu sarana komunikasi untuk
memperoleh pengetahuan, dan juga oleh Barat. Ada alasan menyertai, namun
keduanya tidak dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi manusia,
sehingga keduanya tidak mutlak.

Adapun Ciri-ciri atau karakteristik epistemologis yang ada di dunia Islam


adalah :

1. Bersandar pada kekuatan spiritual.


Kebenaran tidak terbatas pada empirisme, seperti yang diasumsikan
oleh positivisme , yang mengandalkan kekuatan mental. Manusia adalah
makhluk yang tidak hanya emosional, tetapi juga memiliki akal, hati nurani,
dan keyakinan. Kekuatan spiritual yang besar tersimpan dalam iman dan hati
nurani. Selain wahyu, kekuatan spiritual seperti intuisi juga telah ditekan oleh
keilmuan Barat. Di kalangan pemikir Islam, intuisi menempati posisi terbaik
sebagai pendekatan perolehan ilmu, dan intuisi diperoleh dengan berdoa
kepada Allah. Intuisi digunakan untuk menyempurnakan proses berpikir di
awal suatu masalah ilmiah. Artinya, para pemikir Islam terus menggunakan
akal dan nalarnya untuk berpikir tentang masalah pengetahuan, sehingga
mereka memiliki pendekatan intuisi.

2. Hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu


Isfahani menjelaskan hubungan timbal balik antara wahyu dan akal
dalam proses memperoleh pengetahuan dalam bahasa organik yang solid.
Menurut Isfahani, akal tidak boleh diturunkan tanpa wahyu, dan dalam
pengertian itu wahyu tidak dapat dicapai dengan jelas. Hal ini menunjukkan
pada bahwa keduanya saling melengkapi. Keharmonisan akal dan wahyu
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan Islam memiliki nilai-nilai transenden,
nilai tertinggi.

3. Interdependensi akal dengan intuisi


Dalam Islam, sains dibangun di atas kerja sama akal dan intuisi.
Intelek memiliki penalaran terbatas, yang kemudian dilengkapi dengan intuisi
yang diberikan atau dibantunya. Jika intuisi kita tidak sistematis, kita
memerlukan alasan untuk mensistematisasikan pengetahuan yang diberikan
kepada kita. Ini menunjukkan bahwa akal membutuhkan intuisi dan bahwa
intuisi membutuhkan akal. Menemukan pengetahuan memungkinkan Anda
untuk menggunakan akal dan intuisi, tetapi setiap pendekatan epistemologi
memiliki kekuatan dan kelemahannya, sehingga kombinasi keduanya
membuat pengetahuan yang diperoleh lebih sempurna. Kombinasi akal dan
intuisi dapat dicapai dengan pengetahuan ganda: praktis dan spiritual,

v
eksternal dan spiritual, empiris dan metafisik, atau fisik dan metafisik, sekuler
dan seterusnya.

4. Memiliki Orientasi Teosentris


Teosentris berasal dari bahasa Yunani Theos, tetapi dari sudut pandang
teoretis, Tuhan berarti gagasan bahwa semua proses kehidupan di planet ini
kembali kepada Tuhan. Ilmu dalam Islam didasarkan pada wahyu serta fakta
dan alasan empiris. Ilmu itu datangnya dari Allah, dan ilmu itu sangat menarik
bagi Allah. Ilmu Islam bersifat universal dan terintegrasi dengan Tuhan atau
nilai-nilai-Nya. Oleh karena itu, agama dan kepercayaan dalam ajaran Islam
termasuk menggambarkan tiga unsur yang ada dalam diri manusia: kesadaran,
pikiran, ucapan, dan perilaku yang saling melengkapi. Dalam Islam, sains
mengandung informasi dan pembahasan yang lebih detail daripada sains.
Karena ilmu mengumpulkan informasi dari Allah melalui wahyu di luar
proses biasa. Dengan kata lain, ada sesuatu dalam sains Islam yang tidak
dimiliki sains.

5. Terikat Nilai
Ilmu Islam adalah nilai batas, dipengaruhi oleh dimensi spiritual,
wahyu, intuisi dan berpusat pada ketuhanan. Hal ini sangat berbeda dengan
sains Barat karena menekankan bahwa sains bersifat netral, tidak berharga,
dan tidak terikat pada nilai tertentu. Pernyataan ilmiah yang netral (tidak
berharga) dan objektif akan menyebabkan manusia modern memandang
manusia dan lingkungan sebagai objek belaka.

D. Epistomologi Islam

Sementara itu, terkait dengan masalah sumber pengetahuan, Islam


memandang bahwa sumber (al-maşādir, al-‘adalah) utama ilmu pengetahuan
adalah Allah. Selanjutnya Allah memberikan kekuatan-kekuatan kepada
manusia. Secara terinci Islam mengakui, bahwa sumber atau saluran ilmu lebih
banyak dari yang diakui oleh ilmuwan Barat. Al-Syaibani mengatakan, bahwa
pengalaman langsung, pemerhatian dan pengamatan indera hanya sebagian dari
sumber-sumber tersebut, banyak lagi sumber lain dan barangkali yang paling
penting dan paling menonjol adalah percobaan-percobaan ilmiah yang halus
dan teratur, renungan pikiran dan pemikiran akal, bacaan dan telaah terhadap
pengalaman. Pengalaman orang-orang terdahulu, perasaan, rasa hati, limpahan dan
akal serta bimbingan Illahi. Namun sumber-sumber tersebut meskipun beragam
bentuk jenisnya dapat dikembalikan kepada lima sumber utama yakni indera, akal,
intuisi, ilham dan wahyu illahi.

vi
Naquib menyatakan bahwa sumber ilmu adalah datangnya dari Allah
sebagai karunia-Nya yang diberikan kepada manusia. Ilmu tersebut hanya dapat
diterima oleh insan dengan daya usaha kerja amal ibadah serta kesucian
hidupnya, yakni dengan keihsannanya dan hikmah sejati ibadah kepada Tuhan
dengan ridhanya dan yang mungkin dapat menerimanya tergantung kepada
kehendak dan karunia Allah juga.
Apa yang dikemukakan oleh Naquib sesuai dengan kesepakatan
dikalangan muslim yang telah memiliki landasan teologis, bahwa surah al-‘alaq ayat
1-5, diterima sebagai informasi bahwa Allah itulah sumber segala ilmu yang
kemudian diajarkan kepada manusia. Mereka meyakini asal (origin) ilmu itu
adalah Allah sendiri, pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-
Nya. Sedangkan ilmuan adalah peramu butiran-butiran ilmu dalam tataran
sistemik yang disebut manusia dalam nama-nama yang disepakati bersama demi
kemudahan menggalinya. Menurut Naquib hanya dengan hidayah (petunjuk)
Allah-lah sebuah kebenaran bisa diperoleh oleh manusia, bukan keraguan.
Pendapat Naquib ini sekaligus sebagai kritiknya terhadap epistemologi Barat
dengan ciri skeptis atau keragu-raguan (kesangsian). Aliran skeptisisme
(irtiyabiyah) ini untuk pertama kalinya di dunia Barat diperkenalkan oleh
Rene Descartes (1456-1658), dia mendapat gelar “bapak filsafat

vii
modern”. Bagi Descartes, filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui
melalui metode dengan menyangsikan segala-galanya.
Dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti, semuanya
dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga, kecuali
ilmu pasti. Pengetahuan Barat menurut Naquib seolah-olah benar, namun pada
dasarnya hanya menghasilkan kebingungan dan skeptisisme.Mengangkat keragu-
raguan dan meraba-raba ke derajat ilmiah dalam hal metodologi dan memandang
keraguan sebagai suatu unsur epistemologis yang istimewa dalam mengejar
kebenaran. Keraguan ditinggikan posisinya menjadi metode epistemologis.
Melalui metode inilah kaum rasionalis dan sekularis percaya bahwa mereka
akan mencapai kebenaran. Tidak ada bukti, bahwa keraguan, dan bahkan
sesuatu lainnya yang mengantarkan mereka berada pada
kebenaran.Sesungguhnya, tambah Naquib, yang mengantarkan kepada kebenaran
adalah hidayah Allah bukan keraguan.
Sumber epistemologi Islam kedua adalah Al-Qur’an. Al-Qur'an
merupakan sumber ajaran Islam, yang di samping berfungsi sebagai hudan
(petunjuk) juga sebagai furqan(pembeda). Sehingga ia menjadi tolak ukur dan
pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Termasuk dalam penerimaan dan
penolakan apa yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw. Menurut Ahmed
–dengan mengutip al-Qur'an surah al-‘Alaq ayat 1-5– mengatakan bahwa al-Qur’an
menetapkan nilai yang sangat tinggi bagi pencarian hikmah dan ilmu
pengetahuan. Nabi, baginya adalah illitera, sangat mencintai ilmu dan mendorong
para pengikutnya untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya sampai ke negeri Cina.
Kata iqra’dalam surah tersebut (Q.S: al-‘Alaq), merupakan kata kunci yang
digunakan al-Qur’an dalam usaha penguasaan ilmu pengetahuan. Kata ini
berasal dari kata qaraa dan terulang tiga kali dalam al- Qur’an (Q.S: 17:14;
96:1,3), sedangkan kata jadinya dalam berbagai bentuk terulang sebanyak tujuh
belas kali, selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak tujuh puluh kali. Iqra’
(qara’a) berarti menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya, yang semuanya dapat dikembalikan pada
artipokok kata-kata tersebut yakni penghimpun.
Berangkat dari pemahaman tersebut, maka para cendekia muslim
berpendapat, bahwa al-Qur’an dan sunah adalah sumber fundamental
metodologi Islam. Pengetahuan al-Qur’an dan hadis adalah pangkal (inti, dasar,
permulaan) metodologi Islam. Pangkal itu merupakan pusat pertumbuhan
pengetahuan. Pangkal itu juga memuat beberapa pengetahuan yang relevan dengan
setiap disiplin ilmu pengetahuan.
Wahyu (al-Qur’an), dengan demikian memiliki kedudukan yang paling tinggi. Hal
ini karena dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan Islam yang akan
dilakukan adalah menjadikan wahyu Illahi sebagai sumber kebenaran mutlak. Wahyu
mencakup pemberitaan yang tidak terjangkau oleh akal dan indera, sedangkan indera
beraktifitas sebatas yang dapat dilihat, diraba, dicium dan dirasa, dan akal
hanya bekerja pada sesuatu yang dapat dinalar dan dipikirkan. Di luar itu, akal tidak

1
mampu menjangkaunya. Posisi yang demikian, membawa konsekuensi bahwa
dalam pandangan Islam sumber pengetahuan seperti indera dan akal harus
tunduk pada wahyu. Cara untuk mengenal alam jagad yang menjadi
tumpuan perhatian pengetahuan yang dikenal dengan sains, adalah
melalui aktualisasi semua kemungkinan dalam akal itu. Namun aktualisasi itu
hanya mungkin jika akal tunduk pada kitab suci. Oleh karena itu, dapat dipahami
mengapa ulama-ulama Islam dahulu memandang pembersihan jiwa (tazkiyah al-nafs)
merupakan satu bagian integral dari metodologi ilmu. Mereka meyakini bahwa
ajaran-ajaran al-Qur’an seperti tazkiyah al- nafs dapat menghasilkan kebenaran yang
lebih berkualitas ketimbang kebenaran yang dicapai melalui akal, karena merupakan
petunjuk Allah.
Secara tekstual al-Qur’an hadir untuk melegitimasi kebenaran yang ada
pada agam-agama sebelumnya. Perbedaaan antara agama lain, menurut Dr. Sa’dun,
bukan berarti ada posisi salah dan benar melainkan ada di wilayah perbedaan
kondisi dan situasi yang melatarbelakangi hadirnya teks terebut.
Sumber epistemologi Islam ketiga adalah sunah. Sunah menurut para
ulama dipandang dari segi keberadaannya wajib diamalkan dari sumbernya, dari
wahyu
sederajat dengan al-Qur’an. Ia berada pada posisi setelah al-Qur’an dilihat dari
kekuatannya, karena al-Qur’an berkualitas qhat’iy baik secara global maupun
rinci. Sedangkan sunah berkualitas qhat’iy secara global saja tidak secara rinci. Di
samping itu al-Qur’an merupakan pokok, sedangkan sunnah merupakan
cabang, karena posisinya menjelaskan dan menguraikan.

E. Pelopor Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya bukanlah konsep baru tetapi


konsep lama yang kembali diaktualkan, mungkin hanya beda istilah saja. Namun,
ketika umat Islam berada pada posisi kemunduran dan ingin bangun dari kemunduran
gagasan Islamisasi ilmu dianggap baru, tepat dan membumi. Karena itu, tidaklah
mengherankan gagasan Islamisasi disambut positif oleh kalangan dunia Islam dan
para ilmuannya. Ada sejumlah tokoh yang telah berbicara tentang Islamisasi ilmu,
yaitu:

1. Al-Farabi, lahir di Turki di daerah Farab, dalam Filsafat Islam disebut guru kedua,
maksudnya Aristoteles disebut guru pertama, al-Farabi guru kedua. Ia terkenal
penganut filsafat emanasi yang diadopsi dari filsafat emanasi Aristoteles. Karya-
karyanya yang terkenal di antaranya yaitu Ihsha’ Al-Ulum (klasifikasi ilmu).
Seperti yang dijelaskan oleh Osman Bakar, klasifikasi ilmu menurut Al-Farabi
yaitu ilmu religious; tafsir, hadis, ushul fikih. Psikologi, ilmu kebahasaan dan
logika, ilmu-ilmu filosofis; matematika, ilmu alam, metafisika, ilmu politik,
yurispurdensi dan teologi.3 Klasifikasi ilmu ini pada dasarnya merupakan
kerangka berpikir untuk Islamisasi ilmu. Karena pada waktu itu terdapat

2
kebuntuan di kalangan ilmuan Islam mengenai dikotomi antara ilmu dan agama
(Islam). Sebagai solusinya maka Al-Farabi menciptakan klasifikasi ilmu.

2. Al-Ghazali, (1058-1111 M) gelar hujjatul Islam, filosof, fuqaha, teolog dan sufi,
lahir di Thus, sekarang masuk wilayah Khurasan. Karya-karyanya yang terkenal di
antaranya Ihya Ulumuddin, al-Munkiz min ad-dalal (penyelamat dari kesesatan),
dan Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat). Para pencari ilmu menurutnya dibagi
empat. 1). Para teolog. 2). Filosof. 3). Taklimiyah dan 4). Sufi. Sedangkan
klasifkasi ilmu menurutnya dibagi dua. Pertama, ilmu syar’iyah (naqliyah) dan
kedua ghairi syar’iyah (aqliyah). Pembagian ini sering juga disebut ilmu teoritis
dan praktis. Kelompok ilmu masuk syar’iyah yaitu:

1. Ilmu al-Ushul; ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, eskatologis (akhirat) dan
ilmu tentang sumber pengetahuan religious; Al-Quran dan Sunnah sebagai
sumber primer sedangkan ilmu sumber skunder yaitu ijmak dan atsar sahabat.
Ilmu ini dibagi kepada dua hal, yaitu ilmu-ilmu alat dan ilmu-ilmu pelengkap;
ulum Al-Quran, Ulum al-Hadis, ushul fikih, dan biografi para tokoh.

2. Ilmu tentang cabang-cabang (furuq); ilmu tentang kewajiban manusia kepada


Allah, ilmu tentang kewajiban kepada masyarakat; transaksi, qisas, dan hukum
keluarga serta Ilmu tentang akhlak.
Kelompok ilmu ghairi syar’iyah (aqliyah), yaitu :
1. Matematika; aritmatika, geometri, musik, astronomi dan astrologi.
2. Logika
3. Ilmu alam atau fisika; kedokteran, meteorologi mineralogi dan kimia.
4. Metafisika; ontologi, pengetahuan tentang esensi, sifat dan perbuatan Tuhan,
pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana (intelegensia) dan substansi-
subtansi malaikat.
5. Pengetahuan tentang alam ghaib
6. Ilmu tentang kenabian dan ilmu tentang mimpi.
7. Ilmu supernatural.

Klasifikasi ilmu yang diciptakan oleh Imam Al-Ghazali sebenarnya ingin


mendudukkan bahwa tidak terjadi dikotomi antara ilmu syar’iyah (naqliyah) dan
ilmu ghairi syar’iyah (aqliyah), perbedaannya ilmu syar’iyah (naqliyah) sumber
kebenarannya wahyu Allah dan ghairi syar’iyah (aqliyah) yaitu akal manusia,
kekuatan akal manusia adalah terbatas sedangkan kebenaran wahyu Allah bersifat
mutlak. Mengutip Amsal Bachtiar yang membedakannya hanya soal pembidangan
ilmu saja, ilmu naqliyah dan aqliyah.

3. Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas. Lahir di Bogor pada tahun 1931, ibunya
berasal dari Sunda dan ayahnya dari Johor, Malaysia. Ia dikenal seorang militer,
pendidik, intelektual muslim, ahli dalam bidang filsafat dan tasawuf. Mengutip

3
Arqom Kuswanjono Al-Attas adalah tokoh Islamisasi ilmu dan ia yang pertama
kali memperkenalkan pentingnya Islamisasi ilmu pada World Confrence on
Islamic Education (Konfrensi Internasional tentang pendidikan Islam), di Mekkah
tahun 1977 dan di Islamabad, Pakistan tahun 1980 dan kemudian gagasan ini
dikembangkan dan dipopulerkan oleh Ismai Rajiq Al-Faruqi. Gagasan inilah yang
melambungkan nama Al-Attas dipanggung pemikiran pendidikan Islam
internasional, seorang keturunan Indonesia yang mendunia.
Latar belakang munculnya gagasan ini karena dalam pandangan Al-Attas dunia
Islam diselimuti oleh pemikiran sekularisme yang berusaha memisahkan hubungan
agama dan dunia, pada hal antara keduanya tidak terpisah, akar sekularisme telah
mencabut akar-akar keyakinan manusia kepada Allah. Dunia Kristen telah gagal
membendung arus sekularisme dan terjebak di dalamnya bahkan sekularisme
dipandang sebuah keharusan dalam keimanan. Untuk menghambat derasnya arus
sekularisme maka konsep yang dilontarkan oleh Al-Attas adalah pentingnya
pembersihan westernisasi yang telah menyusup ke dalam pendidikan Islam dan
diganti dengan otoritas wahyu dan intuisi (tasawuf). Dunia modern telah
mengabaikan kebenaran wahyu dan intuisi dan berpegang kuat kepada kebenaran
akal dan empiris serta meninggalkan kaidahkaidah agama atau moral. Al-Attas
menyebutnya ketiadaan adab. Maksud ketiadaan adab di sini yakni ketiadaan
pengenalan ilmu yang terkait dengan pemahaman tentang wahyu (Al-Quran).

4. Ismail Rajiq al-Faruqi. Lahir di daerah Jaffa, Palestina tahun 1921, sebuah negeri
yang tidak pernah merdeka dan dijajah oleh Israel hingga kini. Ia terkenal sebagai
ilmuan muslim, pendidik, dan pejuang Palestina yang gigih memperjuangkan
negerinya untuk merdeka. Karirnya dalam bidang pendidikan melejit setelah ia
hijrah ke Amerika pada tahun 1947 dan pada tahun 1949 ia memperoleh gelar
Magister di bidang filsafat di Universitas Indiana dan gelar Doktor diperoleh dari
universitas yang sama. Pemikiran Islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Al-
Faruqi diilhami oleh pemikiran Naquib Al-Attas, salah satu karya terbesarnya
ialah Islamization of Knowledge; General Principles and Workplan. Buku ini
merupakan salah satu rujukan tentang pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan di
dunia Islam terutama pada era tahun 1980-an. Karena itu, tidaklah heran dalam
pandangan M. Dawam Rahardjo tokoh utama Islamisasi ilmu adalah Ismail Rajiq
AlFaruqi, orang Malaysia menyebut ide itu “dicuri “oleh Ismail Rajiq Al-Faruqi
lalu dipopulerkannya. Latar belakang munculnya gagasan Islamisasi Ilmu
pengetahuan disebabkan tedapatnya dualisme sistem pendidikan Islam, yang satu
bercorak pendidikan agama dan kedua bercorak pendidikan umum, menurutnya
keduanya harus disatukan ke dalam paradigma Islam berdasar tauhid, tidak
memisahkan antara dalil naqal dan akal. Kedua dalil ini saling terkait tak terpisah,
kebenaran naqal bersifat mutlak dan kebenaran akal adalah bersifat nisbi (relatif)

4
F. Keterjalinan Ayat Qauliyah, Kauniyah dan Insaniyyah
Pada prinsipnya Ilmu pengetahuan termasuk filsafat pendidikan (Islam) di lihat
dari sumber asalnya hanya satu yakni Allah swt. Karena Dia yang menciptakan segala
sesuatu termasuk pengetahuan. Kemudian Tuhan memancarkan ilmu pengetahuan itu
kepada ayat-ayat-Nya berupa:
1. Ayat-ayat Ilahiyah yang tercantum dalam Alquran dan Sunnah.
2. Ayat-ayat Insaniyah berupa potensi-potensi dalam diri manusia.
3. Ayat-ayat kauniyah (kealaman) berupa sunnatullah (hukum keteraturan).
Alquran dan Sunnah merupakan sumber asasi bagi prinsip dimana ditegakkan
filsafat dan teori pendidikan sebab ia mengandung potensi yang menyeluruh, fleksibel
yang menyebabkannya memuat dan meliputi semua prinsip, nilai baik dan berguna
bagi kehidupan manusia yang berasal dari sumber-sumber lain.
Berkaitan dengan ayat-ayat Ilahiyah antara lain tercantum dalam QS. al-Nisa’
(4): 113 (…Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu,
dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui); QS. al-Baqarah
(2):31 (Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda- benda) seluruhnya,
…). Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah sebagai sumber dari segala sumber
pengetahuan termasuk filsafat pendidikan Islam.
Berkaitan dengan ayat-ayat Insaniyah adalah bersumber dari manusia sendiri
sebagaimana tersebut dalam QS. al-Maidah (5):31, QS. Asy-Syura (42):38, dan Ali
Imran (3):159. Ayat-ayat Insaniyah tersebut khususnya QS. al-Maidah (5):31) itu
menunjukkan bahwa Allah tidak memberikan ilmu kepada Kabil bagaimana cara
mengubur mayat saudaranya yang bernama Habil itu. Tapi karena Kabil melihat
contoh seekor burung gagak menggali-gali bumi untuk mengubur burung lain yang
telah mati, maka potensi akal kreatif Kabil muncul sehingga dia mendapatkan
pengetahuan baru yakni cara menguburkan mayat saudaranya itu. Demikian juga
manusia mengindera, berpikir ilmiah dan merasa tentang berbagai fenomena alam
kemudian dibahas oleh berbagai ahli yang disebut dengan musyawarah, diskusi,
workshop, seminar, dan seterusnya akan melahirkan berbagai jenis ilmu pengetahuan.
Sedangkan berkaitan dengan ayat-ayat Kauniyah berupa sunnatullah (hukum
keteraturan) yang di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan jika diteliti atau diadakan
eksperimen oleh ahlinya. Isyarat itu antara lain tersebut dalam QS. Yunus: 5, “Dialah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak (Maksudnya: Allah menjadikan semua yang
disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah/ilmu
pengetahuan). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang

5
yang mengetahui”. Fenomen-fenomena alam tersebut perlu diteliti untuk mendapat
ilmu pengetahuan tentang sistem sunnatullah.
Dari ayat-ayat Ilahiyah, Insaniyah, dan Kauniyah, kemudian manusia berpikir,
menganalisis, meneliti, dan melakukan eksperimen maka melahirkan berbagai cabang
ilmu pengetahuan termasuk sumber filsafat pendidikan (Islam).

1. Pandangan Al- Qur’an Terhadap Ilmu Pengetahuan

Dalam al-Qur`an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia


dipandang lebih unggul ketimbang makhluk lain guna menjalankan fungsi
kekhalifahannya. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang
dijelaskan alQur`an pada Surat Al-Baqarah, 31-32:
“Dia mengajarkan kepada Adam namanama seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-
Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”.
Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari
apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Allah menampakkan tanda-tanda kebesarannya dalam pengalaman lahir batin.
Hal tersebut merupakan pengembaraan manusia dalam upaya memunculkan dan
memgembangkan potensi jiwa intelektual mereka yang bernuansa islami. Banyak
ayatayat Al-Qur’an yang menunjukkan kebesarannya melalui kejadian-kejadian
alam maupun keberagaman yang ada sehingga menggerakkan manusia untuk
mencari tahu melalui pengembangan intelektual mereka. Manusia diciptakan
Allah dengan potensi mencari tahu rahasia alam raya. Selain itu, Allah
menciptakan alam sehingga mengantarkan manusia untuk memanfaatkan alam
yang telah ditundukan Tuhan. Usaha untuk memanfaatkan alam tersebut kini kita
kenal dengan teknologi. Dalam bahasa Arab, alam berasal satu akar kata dengan
ilmu dan alamah (alamat, pertanda). Sehingga jagat raya dapat diartikan sebagai
pertanda adanya Allah SWT Yang Maha Pencipta.
Sebagai pertanda adanya Tuhan, jagat raya ini disebut ayat-ayat yang menjadi
sumber ajaran dan pelajaran bagi manusia. Pelajaran yang dapat diambil dari
pengamatan terhadap alam semesta ialah keserasian, keharmonisan, dan
ketertiban. Dalam sudut pandang ilmu pengetahuan, Al-Quran merupakan
sumber ilmu yang luar biasa. Ketika Al Quran pertama kali diturunkan, telah
menegur kekeliruan yang dilakukan manusia. Pada era Jahiliyah, berhala-berhala
banyak diciptakan dan disembah sebagai tuhan. Ketika informasi yang
bertentangan dengan keyakinan mereka muncul, masyarakat terkejut. Informasi
tersebut mengatakan manusia diciptakan secara berproses dari segumpal darah
kemudian diciptakan menjadi manusia yang kemudian lahir ke dunia. Agar
manusia belajar mencari dan mengembangkan ilmu dengan cara membaca,
mencoba, memperhatikan, menyelidiki dan merumuskan suatu teori, semuanya
haruslah dilakukan denganberdasa pada keimanan. Dengan menyebut nama

6
Tuhan atau mengucap bismi rabbika allazi khalaq (membaca dan belajar dengan
nama Tuhanmu Yang Menciptakan). Jika ditelaah ada banyak ayat Al Quran
yang berbicara mengenai alam. Kurang lebih 750 ayat Al Quran berisi tentang
jagad raya beserta fenomenanya dan tersurat juga dalam Al Quran bahwa alam
ini diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia.
Oleh karena itu erat kaitannya antara Islam dengan Ilmu Pengetahuan.
Sebagaimana Islam hadir yang mendeklarasikan sebagai agama yang sempurna
maka Islam juga memiliki sudut pandang tersendiri dalam memaknai ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat mematahkan para kaum sekularis yang menganggap
ilmu pengetahuan dan agama dalam hal ini Islam tidak dapat berjalan beriringan.

2. Ayat-ayat Al Qur’an yang Terkait Ilmu Pengetahuan

1. Penciptaan Alam Semesta


Al-Quran menunjukkan mengenai proses yang mendasari formasi alam
semesta yang menghasilkan komposisi planet yang terhampar di jagat raya ini
dalam firman berikut:
“kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu
Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut
perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab: “Kami
datang dengan suka hati.” Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang
Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS Fushshilat [41]: 11-12).
Selain itu, ada lagi petunjuk tentang proses penciptaan alam semesta
dalam firman berikut: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu,
kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS Al-
Anbiya [21]: 30)

2. Lapisan Bumi
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.
Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-
benar meliputi segala sesuatu.” (AtThalaq: 12).
Dari ayat ini kita bisa menyimpulkan bahwa maksud dari tujuh bumi
adalah tujuh lapisan pembentuk bumi. Pada zaman modern, terungkap fakta
ilmiah bahwa bumi mempunyai tujuh lapisan.
1) Atmosfer, yaitu udara yang menyelimuti planet bumi.
2) Hidrosfer, yaitu lapisan air yang berada di permukaan bumi dam meliputi
perairan tawar dan asin.

7
3) Lapisan Sial. Lapisan ini tersusun dari silisium dan alumunium. Disebut
juga kerak bumi yang bersifat bebatuan.
4) Lapisan Sima. Lapisan ini tersusun dari silisium dan magnesium.
5) Lapisan Sima berfasa besi.
6) Inti cair bumi.
7) Inti padat bumi

3. Bulan sebagai Penunjuk Waktu bagi Manusia


Allah berfirman, “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilahmanzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu).” (Yunus: 5).
“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan
(menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan….” (Al-An’am: 96).
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia…” (Al-Baqarah: 189).
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya
empat bulan haram.” (AtTaubah: 36).
Ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan matahari dan
bulan sebagai standar perhitungan waktu hari, bulan, dan tahun bagi manusia.
Dengan begitu, manusia dapat mengetahui posisi mereka, kapan dan dimana.
Penelitian-penelitian astronomis telah membuktikan bahwa bulan berputar
mengelilingi bola bumi sekali dalam sebulan. Ia juga berputar pada porosnya
dalam masa yang sama dengan masa revolusinya tersebut.
4. Proses Terjadinya Hujan
Dalam Surat An-Nur ayat 43, Allah SWT. Berfirman : “Tidakkah kamu
melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-
bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah
olehmu hujan keluar dari celahcelahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-
butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti)
gununggunung, maka ditimpakan-Nya (butiranbutiran) es itu kepada kepada
siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-
Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan” (An-
Nuur : 43).
Para peneliti bidang meteorologi menyebutkan bahwa fenomena awan
tebal bermula ketika angin menggiring atau mengarak kawanan awan kecil ke
convergence zone (tempat berkumpul) dari awan-awan tersebut. Pengarakkan
bagian-bagian ini menyebabkan bertambahnya kualitas jumlah uap air dalam
perjalanannya, terutama di sekitar convergence zone. Ketika uap air sudah
terlalu banyak, maka jatuhlah uap air tersebut ke permukaan bumi yang disebut
hujan.

8
3. Implementasi Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Al-Qur’an
Seiring perkembangan zaman kompleksitas permasalahan turut
meningkat. Karakter ilmu pengetahuan secara epistomologis semakin bergeser
menjadi rasional-empiris-positivistik. Selain itu secara ontologis ilmu
pengetahuan modern bersifat materilistik. Sehingga menjadikan ilmu
pengetahuan menjadi tidak lagi mengenal nilia-nilai kemanusia. Pada dasarnya
ilmu pengetahuan merupakan hasil karya manusia dalam upaya untuk memenuhi
kebetuhunnya sekaligus menyelesaikan permasalahan yang ada secara positif.
Namun kenyataanya, ilmu pengetahuan hadir seperti koin yang memiliki dua sisi
yang saling bertolak belakang, disatu sisi pemahaman keilmuan tentang atom
dapat dikembangkan untuk menyembuhkan penyakit, pengawetan makanan, dll
yang berorientasi manfaat positif. Sedangkan disisi lain, pengembangan tentang
atom dapat dijadikan senjata mematikan yang dapat membahayakan manusia,
sebut saja bom atom.
Hadirnya dualitas tersebut menggerakkan sebagian saintis atau ilmuwan
untuk menghadirkan kembali atau mencari paradigma baru yang dapat
membangun relasi yang baik antara sains dengan agama dengan tidak
menafikkan salah satunya. Hal ini muncuk Karena kegelisahan mereka dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan pada akhirnya dapat menghadirkan kebaikan
maupun kemudharatan. Berdasarkan bahasan sebelumnya tantangan pun hadir
dari pahampaham kaum sekularis maka upaya memunculkan paradigm ini
menghadapi tantangan tersendiri selain dari permasalahan yang semakin
kompleks seiring perkembangan zaman. Hal inilah yang diupayakan
saintissaintis muslim yang mencoba memberikan solusi permasalahan yang ada
sekaligus melakukan pembuktian wahyu Illahi untuk mematahkan paham
sekularis yang saat ini berkembang.
Islam merupakan agama pengetahuan. Sumber utama ajaran agama Islam
–al-Qur`an dan al-Sunnah– menjelaskan ilmu pengetahuan dengan seluruh
aspeknya. Sekaligus menganjurkan dan mendorong umatnya untuk menggali,
mengkaji dan memformulasi ilmu pengetahuan yang ada, baik yang lafzhi
maupun kauny. Adapun proses yang digunakan, berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman. Dorongan dan perintah Islam tersebut tidak ada
manfaatnya bagi Allah, tapi bagi kehidupan manusia itu sendiri. Apa yang
disampaikan Islam bukanlah tanpa arti dan manfaat sama sekali. Sebab tidak ada
perintah dan larangan dalam Islam yang merugikan, malah menguntungkan bagi
seluruh alam.
Demikian halnya dengan perintah dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan. Arti dan manfaatnya akan kembali kepada manusia itu sendiri.
Manusia tidak akan mampu menguasai dunia, kalau bukan karena ilmu.
Demikian pula manusia tidak akan mampu untuk mendapatkan kebahagiaan
akhirat, kalau bukan karena ilmu. Dalam Islam iman, ilmu dan amal merupakan
satu keterpaduan yang total. Iman menjadi dasar dalam ilmu dan amal. Demikian
pula ilmu dan amal akan meningkatkan keimanan. Dengan demikian, dalam

9
Islam tidak akan terjadi “kepribadian terpecah” (split personality). Dengan
demikian barulah berlaku ganjaran Allah yang terdapat dalam surah al-Mujadilah
ayat 11 yang mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu.
Bentuk implementasi ilmu pengetahuan dan Islam dapat diwujudkan
dengan model integrasi dan interkoneksi keilmuan merupakan sebuah upaya
strategis untuk memosisikan kembali keberadaan ilmu pengetahuan dan agama
dalam kedudukan yang seimbang baik dalam upaya pencarian dan
pengembangan ilmu pengetahuan sekaligus pemanfaatnnya untuk ummat
manusia dan alam. Munculnya konsep integrasi dan interkoneksi keilmuan tidak
lain karena adanya realitas yang tidak proporsional, dimana modernisme dengan
paradigma positivismenya telah meletakkan ilmu-ilmu positif lebih dominan dari
pada ilmu-ilmu agama. Keadaan ini kemudian menimbulkan problem krusial
bagi peradaban manusia. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk melakukan
integrasi dan interkoneksi ilmu pengetahuan dan agama merupakan sebuah
keniscayaan dalam alam modern sekarang ini. Paradigma sains yang dibutuhkan
masa kini supaya dapat memberikan keleluasaan untuk membangun
kemaslahatan umat manusia, yaitu; paradigma sains yang meletakkan nilai
rasionalisme, empirisme, positivism dan nilai intuisi (realitas spiritual) sebagai
unsur epistemnya secara seimbang dan dialogis-kritis. Dengan ditambahnya
unsur intuisi, maka problem ontologis dan aksiologis dari sains modern bisa
dicari jalan keluarnya secara memadai.

10
DAFTAR PUSTAKA

Agus Toni, Epistemologi Barat dan Islam, El Wasathiya;Jurnal Studi Agama,


Vol. 03, No. 1, 2015.

Afrahul Fadhila Daulai,


http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/analytica/article/viewFile/395/299

Hikmah, Epistemologi Ilmu Dalam Perspektif Islam, Vol. 15 No. 2 (2021).

Ramandha Rudwi Hantoro, Epitomologi Islam: Kajian Terhadap Teks Al


Qur’an Surah Al Alaq, Rushdiah Jurnal Pemikiran Islam, Vol 01, No 1, 2020.

Adhiguna, Bramastia, Pandangan Al-Qur’an Terhadap Ilmu Pengetahuan Dan


Implikasinya Dalam Pembelajaran Sains, Inkuiri: Jurnal Pendidikan Ipa Vol.
10, No. 2, 2021.

Hani Zahrani, Anwar Dhobith dan Rubini, Epistemologi Pendidikan Islam,


Al-Manar : Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Vol 11, No 2, 2022

Hani Zahrani, Anwar Dhobith, Rubini, Kajian Teoritis Epistemologi


Pendidikan Islam. Tanggal Submit: 1 Desember 2022 Tanggal diterima: 2
Desember 2022 Tanggal Terbit: 4 Desember 2022

11

Anda mungkin juga menyukai