Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kalām, Filsafat dan Tasawuf Tematis
Dosen pengampu: Drs. Abdul Muthalib, M.A., Ph.D.
Disusun oleh:
Zulfadhli 21220331000022
Ade Syanti Widiyanti 21220331000007
Agus Juliyanto 21220331000003
Abdul Wahab 21220331000006
PENDAHULUAN
Sejarah epistemologi dimulai sejak zaman kuno di Yunani ketika para filsuf seperti
Plato dan Aristoteles mempertanyakan asal dan sifat pengetahuan. Kemudian, pada abad
ke-17, René Descartes dan John Locke mengembangkan teori-teori penting dalam
epistemologi, seperti rasionalisme dan empirisme.
Saat ini, epistemologi tetap menjadi topik yang penting dalam filsafat dan disiplin
ilmu lainnya, karena pentingnya memahami sifat dan batas pengetahuan dalam berbagai
konteks dan disiplin ilmu. Epistemologi membantu kita mempertanyakan asumsi-asumsi
yang mendasar tentang pengetahuan, mengeksplorasi bagaimana pengetahuan diproduksi
dan dievaluasi, serta mengidentifikasi sumber-sumber pengetahuan yang berbeda. Hal ini
sangat penting dalam membantu kita memahami bagaimana kita memperoleh pengetahuan
dan bagaimana kita dapat mengandalkan pengetahuan itu.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat kita tentukan Rumusan
Masalah berikut:
2
2. Bagaimanakah yang dimaksud dengan Epistemologi Abstraksi?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat kita dapat kesimpulan dari tujuan
masalah berikut:
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Epistemologi
a. Pengertian
Epistemologi adalah cabang dari filsafat yang berfokus pada pengetahuan.
Epistemologi mencoba untuk memahami asal usul, sifat, kriteria, dan batas-batas
pengetahuan manusia. Dalam epistemologi, terdapat beberapa konsep utama, seperti
rasionalisme, empirisme, dan skeptisisme.
Rasionalisme merupakan pandangan yang menekankan bahwa akal dan pemikiran
merupakan sumber utama dari pengetahuan. Rasionalisme percaya bahwa manusia
memiliki kemampuan alami untuk memahami dunia dan mencapai pengetahuan yang benar
melalui akal budi.
Empirisme, di sisi lain, merupakan pandangan yang menekankan pengalaman
sebagai sumber utama dari pengetahuan. Empirisme percaya bahwa manusia hanya bisa
memperoleh pengetahuan melalui pengamatan dan pengalaman empiris.
Skeptisisme adalah pandangan yang meragukan kemampuan manusia untuk
mencapai pengetahuan yang benar dan objektif. Skeptisisme percaya bahwa manusia tidak
bisa memperoleh pengetahuan yang pasti dan absolut.
Sumber-sumber pengetahuan dalam epistemologi meliputi pengalaman, akal,
otoritas, dan intuisi. Pengalaman dapat berasal dari pengalaman langsung atau pengalaman
yang didapat dari orang lain. Akal digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang tidak
dapat diperoleh melalui pengalaman langsung. Otoritas digunakan sebagai sumber
pengetahuan yang diperoleh dari sumber-sumber yang dianggap memiliki otoritas dan
kepercayaan seperti agama, sains, atau hukum. Intuisi digunakan sebagai sumber
pengetahuan yang berasal dari pengalaman batiniah atau perasaan yang dirasakan oleh
individu.
Epistemologi sangat penting karena pengetahuan memiliki dampak besar pada
kehidupan manusia. Memahami cara-cara untuk memperoleh pengetahuan yang benar dan
dapat dipercaya sangatlah penting dalam banyak aspek kehidupan, seperti dalam bidang
sains, teknologi, bisnis, politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, epistemologi merupakan
topik yang sangat relevan dan terus berkembang hingga saat ini.
4
b. Perdebatan mengenai Pengetahuan
Ada dua pertanyaan besar dalam periode Islam yang terkait dengan pengetahuan
manusia:
1. Apakah pengetahuan manusia mengurangi atau menyerupai pengetahuan
Tuhan?
2. Apa peran orang yang memiliki pengetahuan?
3. Kedua pertanyaan di atas digunakan sebagai kerangka acuan untuk memahami
sebagian besar perdebatan akal tual di lingkungan Islam mengenai masalah
pengetahuan1.
Pertanyaan pertama berkaitan dengan keyakinan bahwa.
1. Pengetahuan adalah salah satu sifat utama Tuhan dan
2. Bahwa pengetahuan sejati hanya dapat dicapai melalui pengetahuan tentang
penyebab atau rahasia Tuhan dari alam semesta.
Secara ringkas, ada dua keyakinan bahwa sifat khas dari Tuhan adalah
pengetahuan-Nya, dan pengetahuan sejati adalah tentang Tuhan. Jika manusia dapat
mencapai pengetahuan sejati, itu berarti (1) mereka dapat memperoleh kemampuan yang
dimiliki Tuhan, dan (2) Tuhan dapat menjadi manusia yang hampir sama dengan manusia
dalam hal pengetahuan (meskipun ada perbedaan ontologis). Untuk memahami implikasi
dari ini, kita perlu memahami ketegangan dan kekhawatiran di antara para akal tual yang
berdebat tentang hal ini.
terdapat dua pandangan mengenai kemampuan manusia untuk mencapai
pengetahuan sejati tentang Tuhan dan alam semesta. Pandangan pertama menyatakan
bahwa kemampuan itu bisa dicapai melalui filosofi atau mistisisme, sementara pandangan
kedua menyatakan bahwa manusia terbatas dalam kemampuannya dan hanya dapat
mencapainya melalui iman dalam wahyu dan nubuat. Pandangan kedua juga menganggap
teks Al-Qur'an sebagai sangat penting secara harfiah, sementara pandangan pertama
menganggapnya sebagai simbolis.
Pertanyaan kedua, mengenai peran dan fungsi orang yang memiliki pengetahuan
dalam masyarakat dalam konteks Islam. Orang yang dianggap memiliki pengetahuan dapat
berupa seorang filsuf, sufi, khotib, atau pakar tafsir Al-Quran. Pemikir Islam memiliki
pandangan yang berbeda-beda tentang peran dan fungsi orang yang memiliki pengetahuan
1
Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, Routledge History of World Philosphies Volume 1, History of
Islamic Philosophy Part II (London. by Routledge) 2016. h. 824
5
tersebut dalam masyarakat. Ada yang menganggap bahwa mereka harus berperan sebagai
pemimpin, sedangkan yang lain menganggap bahwa mereka harus berperan sebagai
penasehat yang bersifat reclusive (tertutup). Tensi muncul ketika mereka yang sepakat
bahwa orang bijak harus menjadi penguasa tetapi tidak sepakat siapa yang seharusnya
dianggap sebagai orang bijak. Teks Fasl al-maqal oleh Ibn Rushd (Averroes) membahas
tentang konflik kekuasaan antara ahli hukum dan filsuf dalam konteks negara yang berbasis
agama. Bagi Ibn Rushd, penyelesaian konflik antara wahyu dan akal bukan hanya usaha
memperbaiki hubungan antara keduanya, tetapi juga upaya memperbaiki posisi politik
filsuf dalam negara yang berbasis agama2.
2
Ibid. h 825
3
perluasan data di luar data yang tersedia, tetapi tetap mengikuti pola kecenderungan data yang
tersedia itu https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ekstrapolasi. Jadi Pendekatan ekstrapolasi adalah metode dalam
filsafat yang melibatkan penggunaan data dan informasi yang ada untuk membuat asumsi atau prediksi tentang
apa yang mungkin terjadi di masa depan atau dalam situasi yang belum teruji. Pendekatan ini melibatkan
pengambilan kesimpulan berdasarkan pola atau tren yang terlihat pada data yang ada dan kemudian
memperluasnya untuk menghasilkan prediksi atau kesimpulan yang lebih umum
4
Ibid. h 826
6
keterbatasan, dan oleh karena itu harus berserah diri kepada iman. Dalam kerangka
referensi ini, domain latihan akal tual epistemik terbatas pada teks Al-Qur'an, baik melalui
pengetahuan langsung dan komprehensif maupun melalui pengembangan keterampilan
yang diperlukan untuk diekstrapolasi darinya. Keterampilan terakhir (analogi, atau س
ٌ )ِﻗﯿَﺎ
dikembangkan oleh para ahli hukum, yang dipanggil untuk membuat keputusan atas
peristiwa-peristiwa tertentu yang hanya dicakup secara umum dalam Al-Qur'an. Analogi
menjadi keterampilan untuk menerapkan prinsip pada situasi yang baru muncul.
Dalam karakterisasinya tentang aliran pemikiran akal tual Islam, Ibn Khaldun
menggambarkan tren ini sebagai kategori "pengetahuan-melalui-dalil" ()اﻟﻌُﻠُْﻮم اﻟﻨﱠْﻘِﻠﯿﱠﺔ, dan ia
memasukkan semua keterampilan yang terkait langsung dengan pengetahuan Al-Qur'an,
seperti para ahli tafsir, ahli hukum, ahli tatabahasa, dan ahli bahasa. Seseorang harus
mengasumsikan bahwa para praktisi ilmu-ilmu ini, dan lingkungan umum tempat mereka
berada, merupakan arus utama pemikiran pada periode Islam. Secara politis, merekalah
yang mendominasi panggung.
Kedua, Pendekatan yang lebih bersemangat terhadap penggunaan akal manusia
diadopsi oleh praktisi kalām atau teologi. Menurut Ibn Khaldun, pendekatan epistemik ini
ditempatkan bersama dengan ilmu-ilmu yang ditransmisikan sebelumnya. Meskipun teks
Alquran menjadi kerangka acuan bagi teolog dalam menggunakan akalnya, kalām memiliki
karakteristik besar yang sama dengan ilmu-ilmu yang disebarluaskan5.
Kalām dipahami sebagai teologi defensif atau seni polemik yang tujuannya secara
eksplisit didefinisikan sebagai pertahanan doktrin Islam terhadap mereka yang ingin
meruntuhkannya, baik agnostik atau teolog agama lain.
Jika ahli fikih menggunakan kekuatan pemikirannya dengan menangani
pertanyaan-pertanyaan baru yang timbul dari kebutuhan untuk menjaga relevansi langsung
Alquran terhadap peristiwa-peristiwa sehari-hari yang berkembang, teolog melangkah
lebih jauh untuk menangani pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari kerangka acuan
teologi dan filsafat yang benar-benar berbeda. Hal ini menjadikan area operasi teolog yang
lebih luas.
Keterampilan dialektikal yang dikembangkan oleh para teolog dalam upaya
mereka untuk menangani berbagai tantangan ideologis melibatkan tidak hanya melibatkan
seperangkat hubungan logis yang unik (misalnya, interpretasi yang khas terhadap
hubungan sebab-akibat) tetapi juga sebuah lingkup bahasa yang khas (yaitu, kosakata atau
5
. Ibid. h 827
7
terminologi khusus yang mengandung referensi pada item atau objek yang tidak umum
ditemukan dalam disiplin lain, seperti َﻣْﻌﻨَﻲ, َﺣﺎٌل, ﺿْﻮِﻋﻲ
ُ َﻣْﻮ, dll.). Keterampilan polemik ini,
yang diabstraksi dari materi subjek tertentu yang mungkin diterapkan padanya, mendekati
menjadi logika atau metode penalaran yang unik. Memang, jika kita mengabstraksi dari
doktrin atau posisi tertentu yang diadopsi oleh dua aliran utama kalām (Mu'tazilah dan
Ash'ariah), ita menemukan bahwa yang umum bagi keduanya adalah logika yang unik ini
(hubungan sebab-akibat dan objek-objek diskursus).
Ciri khas metodologi kalām adalah pendekatan dialektis, berbeda dengan
pendekatan "deduktif" dari ahli logika "Klasik" dalam Islam. Namun, tidak selalu jelas apa
yang dimaksud dengan ciri khas tersebut. Para praktisi kalām tidak beranggapan bahwa
jawaban akhirnya tidak diketahui, dan literatur kalām bersifat argumentatif untuk
menjelaskan, bukan untuk mengeksplorasi. Argumen-argumen untuk doktrin kalām
dirumuskan, dibahas, dan diruntuhkan. Tugas pembaca saat ini adalah merekonstruksi
posisi umum para praktisi kalām dalam berbagai hal dengan basis argumen, tetapi ini lebih
merupakan masalah gaya bahasa daripada masalah logika substantif. Ciri khas yang
membedakan adalah wacana alam semesta yang disebutkan, baik item ontologis maupun
relasi, dan bagaimana hal ini berbeda dari pendekatan logis "Klasik" dari sekolah
Aristotelian. Namun, ciri kedua yang berkaitan dengan disiplin kalām adalah ontologinya:
bahwa dunia pada akhirnya terdiri dari atom-atom primer, tak terpisahkan dan tak dapat
dibedakan, yang disatukan melalui sebab eksternal. Tetapi, sebagian orang menduga bahwa
teori ini juga memberikan landasan ontologis bagi mereka yang menyatakan bahwa esensi
sebuah objek adalah kebetulan baginya. dan karena itu disebabkan oleh faktor eksternal
(Tuhan)6.
Oleh karena itu, ketika setiap orang membaca wacana al-Ghazzali (wafat
505/1111) tentang bagaimana Tuhan dapat mengintervensi alam semesta sedemikian rupa
sehingga membuat api, sebagai api, tidak mampu membakar benda yang mudah terbakar
(atau bagaimana Tuhan dapat mengintervensi bukan hanya dalam menentukan apakah
sesuatu itu ada, tetapi juga, mengingat apa adanya, dalam penjelasan mukjizat) bahwa ia
pasti dipengaruhi oleh gurunya, al-Juwayni (wafat 478/1085). Tentu saja teori atomis (tidak
seperti teori Aristotelian Klasik tentang ketidakterbatasan materi), jauh lebih dapat diterima
oleh keyakinan akan kemahakuasaan ilahi, karena teori ini memberikan lebih banyak ruang
untuk campur tangan Tuhan di alam semesta, termasuk cukup untuk terjadinya mukjizat.
6
Ibid. h. 828
8
Sebagian orang menduga bahwa mungkin teori inilah yang menjadi landasan bagi sejumlah
teori para filsuf Klasik tentang identitas atau keesaan (Tuhan). seperti teori al-Kindi dan
Ibnu Sina. Kedua filsuf ini mengungkapkan pandangan yang terlihat mengindikasikan
adanya perbedaan antara hakikat dan wujud, atau wujud yang tidak disengaja pada suatu
hal yang merupakan suatu hal, suatu individu, dan oleh karena itu menjadi apa adanya.
Ketiga, pendekatan Filsafat tau falsafah, dan diasumsikan sebagai disiplin ilmu
yang terpisah dari lingkungan Islam, dan lebih dipengaruhi oleh ilmu-ilmu "asing" dari
Yunani, Sebagian besar praktisi dari disiplin ilmu ini yang menjadi objek penghinaan dan
kritik oleh aliran pemikiran akal tual arus utama (Teolog). Mereka dipersatukan oleh
sebuah pandangan yang sama dengan para filsuf Yunani, bukan oleh keyakinan tertentu.
Ibnu Khaldun menyebut mereka sebagai pengikut metode "pengetahuan berdasarkan akal",
yang memisahkan mereka dari bidang-bidang lain yang mengandalkan "pengetahuan
berdasarkan wahyu". Secara teori, mereka adalah pemuja akal tanpa batas. Namun, dalam
praktiknya, mereka dibatasi oleh karya-karya filosofis dan ilmiah Yunani dan Syria yang
mereka terima. Klaim falsafah sebagai pemegang kebenaran sejati dikritik oleh para
pemikir Muslim seperti al-Ghazzali dan Ibnu Taimiyah. Falsafah hanya berkembang di
dalam komunitasnya sendiri dan tidak berpengaruh bagi masyarakat Islam7.
Sulit untuk mengatakan bahwa semua filsuf memiliki keyakinan yang sama,
terlepas dari apa yang dipikirkan oleh penentang mereka. Selain itu, individu-individu
utama dalam filsafat Islam memiliki perbedaan yang jelas. Misalnya, Färäbi & Ibnu Sina
dikaitkan dengan aliran pemikiran Yunani dan neo-Hellenistik, seperti Aristotelian,
Neoplatonik, dll. Terdapat kesenjangan yang besar di antara para filsuf ini, bahkan dalam
hal teori-teori epistemologi. Dalam konteks falsafah, teori-teori yang berbeda membedakan
para filsuf satu sama lain. Al-Ghazzali mengkritik al-Färäbi dan Ibnu Sina karena
keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang spesifik.
Meskipun ada kemungkinan kesadaran akan teori Ibnu Sina tentang hal ini, al-Ghazzali
tidak membedakan antara al-Färäbi dan Ibnu Sina. Falsafah sering dilihat sebagai disiplin
yang homogen, mengabaikan perbedaan individu dan pengaruh pra-Islam. Sayangnya, para
filsuf Muslim seringkali tidak mendapatkan pengakuan yang sepantasnya.
Para praktisi falsafah mencoba memadukan pengetahuan mereka dengan kaum
tradisionalis, yang menghasilkan wacana epistemic. Dengan menggunakan “gambaran gua
7
Ibid. h. 829
9
Platonis”8 dan ayat-ayat Al-Qur'an yang mengakui pentingnya gambaran, para filsuf
memperdebatkan tingkatan kebenaran yang berbeda, dengan kebenaran rasional sebagai
realitas tertinggi dan semua kebenaran lainnya yang merupakan gambarannya, termasuk
kebenaran agama. Hal ini tidak memuaskan para ahli agama, tetapi memuaskan para filsuf
yang mencari kompromi.
Keempat, Pendekatan sufisme atau tasawuf. Ada berbagai aliran dan corak
pengetahuan Sufi, tetapi yang umum bagi mereka semua adalah klaim bahwa bahasa
menghalangi, bukan mengkomunikasikan, pemahaman. Bagi mereka, pengetahuan adalah
sebuah bentuk "rasa" individu. Bagi mereka, pengetahuan adalah sebuah bentuk "rasa"
individu. Ini adalah perbedaan antara kemampuan untuk memberikan definisi ilmiah yang
tepat tentang kesehatan dan kesejahteraan, atau secara medis "mengetahui" apa yang
dimaksud dengan mabuk dan mengalami kemabukan, atau antara mengetahui detail
penampilan sebuah kota dan berjalan melewatinya. Teori-teori mereka dikomunikasikan
melalui metafora dan citra, bukan melalui mekanisme linguistik yang pasti. Puisi dan cerita
digunakan untuk menyampaikan makna daripada eksposisi langsung, dan metode mereka
menggunakan citra yang digunakan oleh para filsuf untuk mendamaikan "kebenaran"
mereka dengan para praktisi ilmu-ilmu agama9.
d. Konsep Epistemologi Kalām
Epistemologi kalām adalah bidang studi dalam filsafat Islam yang berfokus pada
pencarian pengetahuan tentang Tuhan dan agama. Namun, ada dua masalah utama yang
dihadapi saat mencoba memberikan garis besar tentang epistemologi kalām. Masalah
pertama adalah keragaman pandangan yang berbeda di antara dua aliran klasik, yaitu
Mu'tazilah dan Ash'ariah, serta antara pengikut aliran yang sama. Masalah kedua adalah
teknis, karena belum ada penjelasan yang lengkap dan konsensus tentang teori pengetahuan
kalām.
Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan di antara para pemikir, terdapat
beberapa konsep utama yang menjadi bahasa diskusi dalam epistemologi kalām, yaitu
disposisi ()ﺣﺎل, generasi ()ﺗﻮﻟﯿﺪ, dan ketenangan ()ﺳﻜﻮن اﻟﻨﻔﺲ. Disposisi merujuk pada
keadaan seseorang yang memiliki pengetahuan, generasi adalah operasi rasional yang
8
Perumpamaan Gua Plato terdapat di bukunya yang terpenting dan berjudul Politeia ("negeri") yaitu
pada buku VII ayat 514a-520a. Perumpamaan ini merupakan pemikiran dasar dan fondasi daripada filsafat
Plato. Cerita ini diakukan oleh Plato kepada Sokrates https://id.wikipedia.org/wiki/Perumpamaan_gua_Plato
9
Ibid. h. 830
10
menghasilkan pengetahuan, dan ketenangan adalah keadaan psikologis pikiran yang terkait
dengan disposisi.10
Terdapat perbedaan antara berbagai pemikir, namun garis besar dan arti dari
interpretasi yang berbeda hanya dapat dipahami sepenuhnya melawan seluruh kerangka
acuan akal tual yang digunakan oleh para pemikir yang berbeda. Misalnya, untuk
menghargai mengapa pemikir tertentu mengklaim bahwa pengetahuan adalah atau tidak
bisa menjadi disposisi, seseorang harus memiliki pandangan yang lebih lengkap tentang
kerangka referensi akal tualnya.
Oleh karena itu, pembahasan berikut ini harus dilihat hanya sebagai pengantar
sementara terhadap wacana diskursus dalam epistemologi kalām, dan bukan sebagai garis
besar final dari mazhab-mazhab tertentu dalam wacana tersebut.
Bagaimana hal ( )ﺣﺎلberhubungan dengan pengetahuan? hal ( )ﺣﺎلdapat dilihat
sebagai suatu keadaan yang dikaitkan dengan suatu subjek, mirip dengan bagaimana
pengetahuan dapat dikaitkan dengan seseorang. Hal ( )ﺣﺎلdapat digambarkan sebagai
makhluk yang berada dalam keadaan tertentu. Beberapa pemikir percaya pada keberadaan
kategori ini untuk wujud makhluk hidup dan benda mati. Mereka memperdebatkan apakah
sebuah aksiden atau substansi memiliki kedudukan yang sama dengan keadaan makhluk
hidup. Sebagian orang berpendapat, misalnya, bahwa aksiden ( )ﻋﺮضadalah sebuah
aksiden ()ﻋﺮض, atau substansi adalah wujud atau bahkan aksiden ( )ﻋﺮضadalah sebuah
warna, semuanya setara dengan makhluk hidup yang hidup, makhluk hidup yang
mendengar, atau makhluk hidup yang mengetahui. Mereka yang menganggap hal ()ﺣﺎل
memiliki kedudukan yang terpisah akan menegaskan bahwa hal ( )ﺣﺎلhanya berlaku untuk
makhluk hidup. Secara umum, mereka yang ingin memberikan status yang berbeda pada
hal dalam kerangka acuan akal tual mereka akan berargumen bahwa hal (( )ﺣﺎلjamaknya
)أ َْﺣَﻮاٌلdapat dikatakan hanya berkaitan dengan subjek yang hidup. Selebihnya lebih baik
digambarkan sebagai sifat, atau paling baik jika penjelasan lebih lanjut diperlukan - sebagai
( أ َْﻛَﻮاٌنjamak dari )َﻛْﻮٌن, yang merupakan sifat/kejadian spesifik dari gerakan, istirahat,
gabungan dan pemisahan.
Namun, dengan membuat pembedaan ini sebagai pembedaan yang, pada analisis
akhir, tampaknya merupakan pembedaan kategori-kategori ontik (factual) yang berbeda
dari aksiden (ض
ٌ ﻋَﺮ
َ ), hanya berarti memperkenalkan berbagai macam variasi perbedaan
rumit yang digunakan dalam disiplin ini. Namun, pada dasarnya, secara umum disepakati
10
Ibid. h. 831
11
bahwa keadaan (sikap disposisi) yang diatribusikan pada subjek hidup harus memenuhi
spesifikasi tertentu yang berkaitan dengan modus kausalitasnya. Oleh karena itu,
masalahnya adalah, mengingat subjek ('pelaku') dan disposisi (keadaan mengetahui), dalam
arti apa kita dapat memahami kemunculan disposisi dalam subjek? Keberadaan-putih dari
sebuah meja adalah sebab, dan keberadaan-dalam-tataran-mengetahui juga adalah sebab,
tapi tentu saja cara-cara sebab-akibat dalam kedua contoh itu berbeda. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan inilah konsep penciptaan (tawlid) tampaknya telah berevolusi,
sebagai sebuah jenis implikasi kausalitas yang spesifik11.
Untuk merangkum: untuk mengetahui sesuatu, atau "mengetahui sesuatu" adalah
kejadian yang berkaitan dengan suatu subjek. Namun, aksiden memiliki kategori yang
berbeda. Jika aksiden yang dimaksud adalah sikap disposisi yang berkaitan dengan sesuatu
yang hidup, maka itu bisa disebut hal. Meskipun demikian, perbedaan masih dapat dilihat
di antara berbagai sub-kelompok sikap disposisi tersebut. Sebagai contoh, berada dalam
keadaan sakit, atau merasakan sakit, tidak sama dengan berada dalam keadaan
pengetahuan, atau berada dalam keadaan percaya ini dan itu: dalam contoh pertama, rasa
sakit dapat dirasakan di area tertentu (َﻣَﺤﱞﻞ, atau lokasi, di mana َﺣﺎٌلtersebut berada dan
dapat diidentifikasi secara fisik), sedangkan dalam contoh kedua, َﻣَﺤﱞﻞpengetahuan/
kepercayaan dikatakan sebagai orangnya (jumlah) secara keseluruhan, bukan lokasi fisik
tertentu pada orang tersebut. Berada dalam keadaan berhasrat (berhasrat ini dan itu) dapat
dianalogikan dengan contoh rasa sakit dapat dikatakan berhubungan setidaknya dalam
beberapa hal dengan lokasi ragawi: Dengan demikian, mengatakan "Saya tahu ini dan itu",
atau "Si Fulan berada dalam keadaan percaya ini dan itu" tidaklah sama dengan mengatakan
"Saya merasa ini dan itu" atau "Si Fulan berada dalam keadaan berkeinginan/merasakan ini
dan itu" karena seseorang tidak dapat atau tidak boleh mengidentifikasi lokasi fisik sebagai
subjek dari kondisi pengetahuan/kepercayaan, sedangkan seseorang setidaknya dapat
mengidentifikasi lokasi fisik di mana keinginan/perasaan tersebut dialami. Mungkin, untuk
melihat perbedaan dalam istilah yang lebih jelas atau lebih kontemporer, seseorang dapat
menunjukkan bahwa adalah mungkin dalam satu kasus untuk mengatakan di mana itu
menyakitkan (seseorang merasakan sakit), atau bagian mana dari tubuh yang merasakan,
katakanlah, rasa lapar, sedangkan lokalisasi seperti itu dalam kasus pengetahuan kurang
tepat untuk dibuat.
11
Ibid. h. 832
12
Sebagian kecil dari perbedaan ini menyoroti sifat operasional dari pengetahuan
sebagai suatu keadaan disposisi yang aktif, dan bukannya pasif atau netral. Secara
keseluruhan, pengetahuan dicirikan sebagai keadaan disposisi. Tidak seperti para ahli
epistemologi kalām, para filsuf dan sufi memandang pengetahuan sebagai kondisi akhir
atau produk akhir dari sebuah proses12. Mereka percaya bahwa pengetahuan diperoleh
melalui pikiran atau jiwa, bukan orangnya. Pengetahuan dipandang sebagai kualitas yang
terpisah dari seseorang yang dapat diperoleh sebagian atau seluruhnya. Hal ini membuat
pengetahuan menjadi objektif, tidak seperti deskripsi kalām yang mengaitkannya dengan
keadaan subjektif. "Harap pastikan bahwa Anda meninjau semua informasi yang diberikan
dalam dokumen ini secara menyeluruh untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang topik yang sedang dibahas dan untuk mencegah potensi kesalahpahaman atau
kesalahan."
Keadaan disposisional ( )ﺣﺎلadalah keadaan di mana seseorang merasa memiliki
pengetahuan dan mampu membedakan dirinya berada dalam keadaan tersebut atau tidak.
Kemampuan untuk membedakan ini dapat dirasakan langsung oleh subjek. Oleh karena itu,
pertanyaan "Apa itu pengetahuan?" atau "Apa itu mengetahui sesuatu?" dapat dijawab
dengan mengacu pada keadaan disposisional yang dapat dirasakan langsung oleh orang
yang mengalaminya.
Untuk menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh keadaan disposisional, para
pemikir kalām memperkenalkan konsep generasi (tawlid) sebagai suatu proses penalaran
yang mengarah pada pengetahuan. Mereka berpendapat bahwa keadaan mengetahui hanya
dapat diperoleh jika seseorang menerapkan proses metodis dari mempertimbangkan bukti
yang tepat dengan cara yang tepat. Dalam pandangan ini, kegagalan untuk memperoleh
keadaan disposisional disebabkan oleh salah satu kondisi, yaitu tidak menerapkan
penalaran metodis, tidak mempertimbangkan bukti yang tepat, atau tidak menggunakan
cara yang tepat dalam mempertimbangkan bukti.
Dalam pandangan ini, mengingat kembali kebenaran atau belajar dari orang lain
tidak dapat dianggap sebagai memperoleh pengetahuan. Hanya orang yang terlibat secara
metodis dalam penalaran tentang bukti yang tepat yang dapat menemukan dirinya dalam
keadaan mengetahui sesuatu. Dalam kondisi normal, hanya penalaran yang mengarah ke
bukti yang tepat yang dapat membawa seseorang ke dalam keadaan disposisional.
12
Ibid. h. 833
13
Konsep operatif ketiga wacana pengetahuan yaitu ketenangan jiwa ()ﺳﻜﻮن اﻟﻨﻔﺲ,
yaitu keyakinan psikologis dalam keadaan pengetahuan bahwa apa yang diyakini benar.
Para Teolog secara eksplisit menggambarkan bahwa pengetahuan merupakan keyakinan
yang diperoleh secara metodis dan dirasakan oleh seseorang terkait kriteria psikologis.13
Literatur kalām kurang memperhatikan hubungan korespondensi antara subjek dan
objek serta keyakinan seseorang. Pengetahuan lebih difokuskan pada sikap disposisi dan
dijelaskan secara tepat. Pertama, pengetahuan dibedakan dari disposisi dan pikiran lainnya.
Setelah dijelaskan sebagai sikap pikiran, pengetahuan dijelaskan dalam keyakinan dan
metode yang digunakan untuk memperolehnya.
e. Konsep Epistemologi Falsafah
Pemikir kalam terlihat lebih berakar pada budaya setempat, sedangkan para filosof
beroperasi dalam kerangka sistem yang telah ditransmisikan sebelumnya, dan kontribusi
atau orisinalitas mereka dapat dipahami dalam konteks ini. Secara garis besar, ada dua
aliran utama dalam epistemologi falsafah, yang masing-masing diwakili oleh al-Färäbi dan
Avicenna. Secara banyak hal, epistemologi Avicenna lebih dekat dengan kalam, sedangkan
al-Färäbi lebih dekat dengan sistem Neoplatonik. Dalam pandangan al-Färäbi, urutan
pengetahuan mencerminkan atau sesuai dengan urutan ontologis. Dunia dijelaskan secara
rapi dalam hal urutan terestrial dan ekstraterestrial. Urutan ekstraterestrial terdiri dari
ontologi yang semakin meningkat dari benda langit dan pikiran (akal) yang puncaknya
adalah Gerak Pertama atau Tuhan. Urutan terestrial terdiri dari ontologi yang semakin
mundur dari benda hidup dan mati yang mencapai keempat unsur utama. Di puncak urutan
ontologis terestrial berdiri manusia, sedangkan di awal urutan ekstraterestrial, bulan terkait
dengan Akal Aktif, hubungan Tuhan dengan dunia terestrial. Segala sesuatu di dunia terdiri
dari materi dan bentuk, esensi dan makna setiap objek adalah bentuknya. Bentuk terestrial
berasal dari Akal Aktif dan tetap ada di sana selamanya, hampir tidak ada perbedaan
epistemik antara totalitas bentuk yang berasal dari Akal Aktif sebagai objek pengetahuan
dan Akal Aktif itu sendiri sebagai subjek kognitif yang selalu aktif. Manusia berusaha
mencapai kesempurnaan (kebahagiaan, kekekalan) melalui pengejaran pengetahuan,
karena semakin banyak manusia mengenal dan mengumpulkan bentuk, semakin mirip ia
dengan Akal Aktif. Kesamaan ini, yang hampir mencapai total penyatuannya, merupakan
fungsi dari kesamaan bentuk sebagai objek pengetahuan dalam kedua kasus, dan sebagian
13
Ibid. h. 834
14
dari prinsip yang dianut oleh al-Färäbi bahwa dalam tindakan pengetahuan, subjek dan
objek pengetahuan menyatu menjadi satu.14
perjalanan epistemik menuju penyatuan dengan Akal aktif dan pencapaian
kebahagiaan dimulai dari tingkatan dasar dengan sebuah akal materi (akal pasif) yang siap
untuk mengenal bentuk-bentuk material, tetapi belum melakukannya. Setelah sebuah
bentuk diketahui, akal menjadi akal aktif dan dapat mengetahui bentuk tersebut. Akal
aktif tersebut masih bersifat material karena bentuk yang diketahuinya masih bersifat
materi. Namun, ketika akal melebihi bentuk-bentuk materi dan mulai mengenal bentuk-
bentuk imaterial melalui serangkaian abstraksi, maka ia menjadi akal imaterial. Perjalanan
epistemik memiliki tujuan akhir yaitu memperoleh semua atau hampir semua bentuk yang
mungkin diketahui. Pada tahap ini, akal manusia memiliki data yang sama dengan Akal
aktif dan terjadi penyatuan antara keduanya, dijelaskan oleh prinsip penyatuan subjek dan
objek pengetahuan. Meskipun ada beberapa perbedaan halus pada tahap ini, akal manusia
dapat mencapai penyatuan dengan Akal aktif dan dengan demikian memperoleh
karakteristik keabadian dan kebahagiaan.
Epistemologi Avicenna menolak prinsip fusi antara subjek dan objek pengetahuan,
dan mencoba untuk menggambarkan teori pengetahuan yang lebih subjektif. Bentuk-
bentuk dalam akal memiliki status ontologis yang berbeda dari dunia material, dan objek
akal tual yang langsung diakses bukanlah benda yang ada di dunia luar. Bahkan, kategori
objek logis pemikiran dan diskusi jauh berbeda dari objek mental/intelektual dan eksternal.
pengelompokan dari objek logis tidak didasarkan pada kebenaran yang sakral dan abadi di
dunia, tetapi merupakan akibat dari upaya intelektual untuk memahami dunia.. Selain itu,
Avicenna berpendapat bahwa esensi sebuah objek atau hubungan antar benda bukanlah
karena kodifikasi relasi esensi, melainkan merupakan produk kasual dan kontingen dari
Pemeliharaan Tuhan. Dalam model al-Färäbi, urutan formal dalam Akal Aktif menjadi
nyata di dunia eksternal dan kemudian dicetak sebagai urutan itu dalam akal manusia.
Dalam model Avicenna, bentuk-bentuk tidak memiliki urutan dalam Akal Aktif, dan
penampakan mereka dalam urutan tertentu di dunia eksternal atau pengategorian tertentu
oleh akal manusia hanyalah salah satu dari beberapa kemungkinan logis. Bentuk-bentuk
itu sendiri hanya ada di Akal Aktif dan bukan dalam dunia material. Karena itu,
pembentukan objek pengetahuan oleh akal manusia menjadi latihan non-definitif, yaitu
14
Ibid. h. 835
15
latihan dalam pembentukan opini bukan dalam akuisisi pengetahuan sejati. Oleh karena itu,
seperti pemikir kalām, Avicenna menempatkan pengetahuan dalam kategori kepercayaan.15
Dalam sistem epistemologi Avicenna, kemampuan intuitif (kemampuan untuk
terinspirasi) kemampuan intuitif memainkan peran penting. Akal bervariasi dalam
kemampuannya untuk menerima intuisi, dan variasi ini menjelaskan gerakan dari premis
ke kesimpulan (yaitu, perolehan pengetahuan). Kemampuan intuitif ini, pada puncaknya,
adalah kemampuan suci atau kenabian. Avicenna berpendapat bahwa sekali akal manusia
mencapai titik ini, tidak akan mustahil baginya untuk mulai mempersepsi gambar-gambar
dari peristiwa masa lalu atau bahkan masa depan. Namun, dalam kondisi umum, Avicenna
berpendapat bahwa akal manusia hampir selalu terbebani oleh hubungannya dengan
masalah-masalah jasmani dan oleh karena itu tidak dapat mencapai kesempurnaan
epistemik atau kebahagiaan sampai setelah melepaskan diri, sebagai jiwa, dari tubuh
manusia. Di sini, sekali lagi, Avicenna sepertinya memiliki pandangan yang berbeda
dengan al-Färäbi, dan lebih dekat dengan tradisi Islam.16
Menurut Avicenna, pengetahuan tentang sesuatu harus didasarkan pada penalaran
yang metodis, hasilnya harus terinspirasi, dan idealnya intelek harus menyadari proses
langkah demi langkah untuk benar-benar dikatakan memiliki pengetahuan. Namun,
pengetahuan tersebut dapat diingat kembali tanpa kesadaran rinci tentang langkah-langkah
yang mengarah kepadanya, dan dapat ditularkan kepada orang lain. Ada anggapan bahwa
variasi dalam kategori pengetahuan Avicenna mungkin terjadi karena kerangka
pengetahuan adalah bentuk kepercayaan, yang oleh karena itu dapat diwujudkan dalam
berbagai keadaan epistemik pikiran.
f. Pengetahuan Tuhan Akan Hal-Hal Khusus
Ada kontroversi yang muncul mengenai pengetahuan Allah terhadap dunia
material. Ada dua pandangan utama yang dibedakan di sini, yaitu pandangan "Klasik"
Färäbian yang berpendapat bahwa Allah tidak dapat mengetahui perincian, dan pandangan
Avicenna yang mencoba menjelaskan bagaimana Allah sebenarnya mengetahui perincian
melalui perantara spesies tertentu. Avicenna lebih dekat dengan tradisi Muslim/keagamaan
dalam mencoba menjelaskan bagaimana Allah mengetahui perincian secara universal
(bahwa tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya), dibandingkan dengan al-Färäbi.
15
Ibid. h. 836
16
Ibid. h. 837
16
Teori yang dikembangkan oleh Avicenna terdiri dari beberapa elemen, di mana
beberapa bagian dari teori tersebut memiliki kesamaan dengan Teori Deskripsi. Elemen
pertama dalam teori tersebut terkait dengan "pengetahuan sebab-akibat", atau pengetahuan
tentang efek-efek tertentu melalui pengetahuan tentang prinsip atau penyebab umum.
Karena Allah mengetahui prinsip-prinsip umum ini dan interaksinya satu sama lain, maka
Dia juga dapat mengetahui efek-efek tertentu yang dihasilkan dalam konteks waktu (yaitu,
kejadian di waktu tertentu). Pengetahuan sebab-akibat ini menurut Avicenna bersifat
universal (karena merupakan pengetahuan kondisional). Namun, Avicenna tampaknya
membedakan antara pengetahuan tentang suatu hal tertentu dan pengetahuan mengenai
suatu hal tertentu. Perbedaan ini tergantung pada apakah hal tersebut unik atau tidak. Jika
hal tersebut unik (misalnya seperti matahari), maka Allah dapat memiliki pengetahuan
tentangnya (melalui deskripsinya). Namun, jika hal tersebut tidak unik, maka Allah hanya
dapat mengetahuinya melalui deskripsi, tetapi tidak dapat disebutkan bahwa Allah
memiliki pengetahuan tentangnya, karena pengetahuan tentangnya hanya dapat diperoleh
melalui rujukan ostensif pada awalnya.17
Pentingnya teori ini terletak pada kemampuan merujuk (dan karena itu memiliki
pengetahuan tentang) sesuatu yang khusus dijelaskan melalui dua kebenaran atau item
pengetahuan "universal". Contoh yang digunakan Avicenna dalam konteks ini adalah
gerhana: dari setiap gerhana khusus, mungkin untuk memberikan (mengetahui) seluruh
deskripsi khusus (spasial dan temporal). Dalam kasus Tuhan, deskripsi ini mungkin terjadi
dalam arti kausal yang sudah disebutkan sebelumnya. Kondisi di sini adalah bahwa
deskripsi spasial dan temporal ini adalah bagian dari pengetahuan (predikat), dan bukan
parameter pembatas dari intelek yang memiliki pengetahuan (subjek). Avicenna
berpendapat, dalam konteks lain, bahwa bahkan pernyataan tertentu selalu benar jika
kekhususan dianggap sebagai fitur dari predikat, bukan kondisi eksternal dari pernyataan
atau karakterisasi subjek.
untuk mengetahui suatu objek atau peristiwa yang unik seperti gerhana, Avicenna
menggunakan dua konsep pengetahuan universal, yakni deskripsi dan pengetahuan bahwa
objek tersebut hanya ada satu. Dengan kombinasi kedua pengetahuan tersebut, dapat
dikatakan bahwa Tuhan mengetahui suatu objek atau peristiwa unik dengan mengetahui
deskripsi yang benar tentangnya dan mengetahui bahwa deskripsi tersebut hanya benar
untuk satu objek atau peristiwa tersebut. Namun, walaupun seseorang memiliki
17
Ibid. h. 838
17
pengetahuan tentang suatu objek atau peristiwa secara deskripsi, tidak selalu dapat
menentukan dengan pasti apakah objek atau peristiwa tersebut adalah yang dimaksud. Oleh
karena itu, pengetahuan berdasarkan ostensi (penginderaan) berbeda dari pengetahuan
berdasarkan deskripsi, namun keduanya dapat dikatakan sebagai pengetahuan tentang
objek atau peristiwa yang unik.18
18
Ibid. h. 839
18
(Bentuk-bentuk materi dibuat dapat dipahami oleh intelek, menjadi dapat dipahami
secara potensial. Akal memisahkan mereka dari materi yang dengannya mereka
memiliki keberadaan mereka, dan denga sendirinya membuat mereka dapat dipahami
dalam aktualitas dan intelek; [tetepi] mereka tidak seperti ini sebelumya atau karena
sifatnya sendiri. (Alexander dari Aphrodisias 1887: 108. 4-7, tr. 2004: 28)
Bagi intelek, memahami bentuk dari sesuatu yang dipikirkan dan memisahkanya dari
materi, keduanya membuat dapat dipahami dalam kenyataan dan dengan sendirinya
menjadi intelek dalam kenyataan. (Alexander dari Aphrodisias 1887: 185.1-6, 1971:
34.4-7)
Semetara kutipan terakir dari On the Intellect ini didasarkan pada catatan
Alexander tentang Aristoteles tentang Mytilene (Sharples 1987: 1211-12), ajaran tentang
abstraksi juga ditemukan dalam risalahnya On the Soul (misalnya Alexander of Aphrodisias
1897: 90: 90,9 ex aphraireseos), sebuah karya yang dikenal dalam bahasa Arab tetapi tidak
lagi ada dalam bahasa tersebut.
19
1985), penafsiran abstraksiois Alexander tetang Aristoteles dibaca ke dalam teks-teks
Aristoteles oleh para penerjemah dan filsuf dari tradisi Arab/Islam dan dikembangkan
dengan lebih rinci, seperti yang akan kita lihat di bawah ini. Sementara tiga pemikir utama
dari aliran rasionalis klasik dalam filsafat Islam; al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusd menolak
untuk mengikuti Alexander dalam mengidentifikasi prinsip bantuan intelek yang terpisah
dengan Penyebab Pertama atau Tuhan, masing-masing memegang peran penting untuk
Agen Intelek yang terpisah (al-‘aqal al’fa’al) dalam abstraksi sambil tetap memberikan
penjelasan yang berbeda mengenai sifat dan proses abstraksi (Dabidson 1992).
Gagasan abstraksi yang ditulis di sini merupakan gagasan al-Farabi yang koheren
dengan karya-karyanya. Meskipun demikian harus diakui bahwa kita tak mempunyai
pemahaman yang cukup kuat untuk menafsirkan secara tepat dan cepat terhadap karya-
karyanya tentang ajaran abstraksi secara khusus. Terlebih, berbagai karya terkadang hanya
memberikan catatan secara par’sial atau tidak jelas mengenai pemikirannya yang
membutuhkan interpretasi kontroversial yang diperdebatkan dengan penuh semangat da
keyakinan oleh beberapa sarjana terbaik dalam pemikirannya saat ini (lihat, misalnya,
Rashed 2009)19. Meskipun karya-karya al-Farabi tidak secara jelas dan tidak
mendifinisikan mengenai penggunaan abstraksi, tapi hal itu masih memungkinkan untuk
membuat sebuah penjelasan yang koheren dari pertimbangan yang seksama terhadap
beberapa tulisan utama.
19
Taylor, Richard D, The Epistimology of Abstraction . h. 275
20
Ibid. h. 275
20
dalam potensi (al-‘aql bi-l-quwah). Bagi manusia, penerimaan abstrak dari hal-hal yang
dapat terjadi hanya berkat daya penerimaan khusus yang diberikan kepada jiwa manusia
oleh akal aktif melalui emaasi: “Akal agen memeberikan hal ini kepadanya sehingga
dengan itu ia menjadi sebuah prinsip yang dengannya hal-hal yang dapat dipahami yang
terjadi bersifat potensial mejadai dapat dipahami dalam aktualitas bagi akal. Ia meulis
bahwa daya ini adalah “sesuatu yang esensinya siap dan cendrug untuk mengabstrasikan
(tantazi’u) esensi-esensi (mahiya-t) dan bentuk (suwar-ha) dari semua bentuk yang ada dari
hal-hal mereka sehingga menjadikan mereka semua sebagai bentuk atau bentuk-bentuk
baginya. Maka, bagi al-Farabi, kekuatan abstraksi atau pemisahan dicirikan sebagai potensi
manusia untuk mentransfer-naqal, istilah yang digunakan dalam karyanya, The Perfect
State (al-Farabi 1985: 185-200; lihat de Vaulx d’Aracy 2010) dan menerima yang dapat
dimegerti ke dalam dirinya sendiri melalui tindakannya sendiri. Artinya, manusia secara
individu harus berusaha dengan usaha pribadi mereka sendiri dalam pendidikan da
pembelajaran ilmiah, dengan menggunakan kekuatan ini berasala dari akal aktif bersama
dengan kekuatan sensasi dan pembentukan citra, untuk menjadi pengetahu yang cerdas dari
konten yang dapat dipahami dari dunia alamiah. Menurut abstraksi ini, inteligensi abstrak
tidak dipancarkan ke dalam jiwa manusia secara langsung dari agen inteligensi, melainka
diturunkan oleh para pemikir individu dari pengalaman mereka tentang hal-hal di dunia.
Melalui kekuatan pembentukan citra, isi pengalaman disajikan kepada intelek dalam
potensi untuk abstaksi atau pemindahan dari modus yang dapat dipahami dalam potensi ke
modus baru yag dapat dipahami dalam tindakan dalam intelek manusia.
Dua perubahan ontologis yang penting terjadi dalam proses abstraksi intelektual
bagi al-Farabi, satu mengenai yang dapat dipahami dan satu lagi mengenai manusia yag
mengetahui21. Mengenai yang pertama, al-Farabi menjelaskan dengan sangat jelas status
ontologis dari yang dapat dipahami yang diterima dalam tindakan dan melawan yang dapat
dalam potensi benda-benda. Ia menulis:
Ketika mereka menjadi sesuatu yang dapat dipahami dalam kenyataan, maka
wujud mereka (wujudu-ha), sejauh mereka adalah sesuatu yang dapat dipahami dalam
kenyataan, tidak sama dengan wujud mereka sejauh mereka adalah wujud-wujud dalam
benda-benda (s.uwar f-lmawa-dda). Dan eksistensi mereka dalam diri mereka sendiri tidak
21
Ibid. h. 276
21
sama dengan eksistensi mereka sejauh mereka adalah sesuatu yang dapat dipahami
(intelligbles) pada kenyataan. (al-Farabi 1983: 16, 16, 1973: 216)
Artinya, konten formal dari sesuatu yang dapat dipahami dalam potensi menjadi
memiliki realitas ontologis baru yang terpisah dari benda-benda di dunia. Perubahan
ontologis kedua terjadi pada pengetahu manusia yang ditransformasikan atau, lebih baik,
yang sam-pai pada aktualistas realitas penuh sebagai intelek ketika tingkat intelek yang
diperoleh tercapai (Taylor 2006). Dalam Rezim Politiknya (al-Siya-sa al-madaniyya) al-
Farabi memberikan apa yang telah tampak sebagai sebuah catatan yang berbeda, tetapi
kemungkinan merupakan catatan yang lebih lengkap tentang proses abstraksi (lihat Vallat
2004: 207).22 Di sana ia menulis:
Berkenanan dengan apa yang diberikan oleh Akal Pelaku kepada manusia, terdapat
kesamaan degnan apa yang terjadi pada benda-benda langit. Sebab, pertama-tama ia
memberikan kepada manusia sebuah kekuatan dan prisip yang dengannya ia mencapati atau
yang dengannya manusia mampu melalui jiwanya mencapai sisa kesempurnaan yang masih
tersisa bagi mereka. Prinsip ini adalah ilmu-ilmu pertama dan intelegensi pertama yang
muncul di bagian rasional jiwa. Karena [Akal Agen] memberikan pengertian-pengertian
dan pemahaman-pemahaman ini setelah ia hadir dalam diri manusia dan menjadikannya
sebagai bagian penginderaan pertama dari jiwa dan bagaian pertimbangan yang dengannya
dua sifat keinginan dan kebencian menjadi bagian dari jiwa. (al-Farabi 1964: 71-2; lihat al-
Farabi 2012: 132-3)
Prinsip yang diberikan oleh akal aktif, yang ia jelaskan sebagai “ilmu pengetahuan
pertama dan pemahaman pertama,” mengacu pada gagasan-gagasan utama dan umum yang
dapat dipahami (misalnya bahwa keseluruhan lebih besar daripada bagian-bagiannya dan
yang lainnya) yang juga ia rujuk dalam bukunya The Perpect State sebagaimana yang
dibutuhkan untuk pemenuhan manusia yang sempurna:
22
Ibid. h. 276
22
materi sebagai penopangnya, karena ia menjadi salah satu dari benda-benda yang tidak
berwujud dan salah satu dari zat-zat yang tidak berwujud dan satu dari zat-zat yang tidak
berwujud dan tetap berada dalam kondisi tersebut secara terus menerus selama-lamanya.
(al-Farabi 1985: 204-7)
Kekuatan yang diberikan oleh akal aktif adalah penerimaan intelek dalam potensi
yang memungkinkan abstraksi intelek menjadi mungkin. Kedua karunia atau emanasi
kepada jiwa maunusia oleh akal aktif ii memungkinkan individu-individu yang berbakat
secara filosofis dan ilmiah yang terlatih dalam dialektika dan logika Organon Aristoteles
untuk membentuk diri mereka sendiri – serangkaian intelek yang dapat dipahai dalam
tindakan yang dengannya mereka dapat mewujudkan diri mereka sepenuhya sebagai
substansi intelektual dengan intelek yang diperoleh23. Ketika mereka telah mengumpulkan
semua yang dapat dipahami dan tidak lagi membutuhka indera tubuh untuk kokntenn
pemahaman intelektual (lihat Aristoteles, De Anima 3.4), mereka meninggalkan tubuh di
belakang dan naik ke tingkat akal aktif dengan demikian mencapai akhirat (al-haya-al-a-
khira) sesuatu yang tidak terbuka dengan cara yang sama persis seperti ini bagi semua
manusia (al-Farabi, 1983:31).
Bagi Ibn Sina dunia alamiah dari eksistensi manusia muncul melalui pengaruh
emanasi benda-benda langit dan akal aktif di mana akal aktif itu mempunyai tingkatan,
23
Ibid. h. 277
23
yakni intelek yang terpancar, jiwa-jiwa dan tubuh-tubuh yang muncul secara abadi dari
Wujud yang diperlukan atau Tuhan sesuai Kehedak Tuhan (lihat J. Janseens dalam buku
yang sudah dikirimkan)24. Dalam kerangka Ontologis Ibn Sina semua etitas pada akhirnya
bergantung pada pancaran dari Makhluk Yang Diperlukan karena tidak ada makhluk lain,
yang tidak mempunyai material intelek atau komposit material, memiliki eksistesi dalam
dirinya sendiri tanpa mengacu pada hal lain di luarnya. Dalam kasus akal aktif yang
memiliki kekuasaan atas dunia alamiah sebagai “ pemberi bentuk” (Ibn Sina 1960: 2,
413.11 ; Arab 2005: 337.16), ketika konsituen-konsituen material disusun secara tepat,
esensi yang memancar datang untuk diinstansiasikan dalam materi dunia alamiah sebagai
suatu yang menentukan; entitas gabungan dari bentuk dan materi. Bagi Ibn Sina hal tersebut
merupakan salah satu dari dua cara dalam esensi yang bisa ada, sedangkan cara kedua
adalah intelek seseorang yang mengetahui25. Dalam kasus akal aktif juga, semua intelek
yang diberikannya kepada benda-benda di dunia sebagai bentuk-bentuk yang tersusun
dengan materi sudah terkandung dalam sifatnya sebagai intelek sebelum memancarkannya.
Namun, bagi rasionalitas jiwa manusia yang hadir dengan tubuh untuk digunakan sebagai
akhir dari pengembangan intelektual, ini adalah puncak dari sebuah proses yang muncul
melalui tubuh, indera, kekuatan otak serta kekuatan rasional jiwa dan keterlibatan agen
intelek yang terpisah dalam berbagai langkah dan melalui waktu.
Seperti al-Farabi, Ibn Sina juga menguraikan intelek yang berkaitan dengan
kekuatan jiwa rasional manusia menjadi empat jenis kecerdasan26. Namun, doktrin dan
istilah-istilah yang digunakannya berbeda sehingga memiliki makna yang bebeda dalam
konsepsi baru tentang pembentukan pemahaman intelektual manusia. Bagi Ibn Sina, analog
dengan peranannya sebagai “pemberi bentuk” pada alam, agen intelek (al-‘aql al-fa’a-l)
memberikan pemahaman secara khusus kepada jiwa rasional setelah jiwa manusia
dipersiapkan secara tepat dengan kerja keras dari pihak individu yang menggunakan
metode prinsip-prinsip utama yang diberikan kepada setiap orang dalam “intelek yang
dimiliki” (al-‘aql bi-l-malaka)27. Sementara itu, untuk menggambarkan intelek manusia
dalam proses langsung dari pemahaman intelektual tentang esensi, Ibnu Sina menggunakan
istilah “intelek yang diperoleh” (al-‘aql mustafa-d). Selanjutnya, ketika manusia mencapai
24
Ibid. h. 277
25
Ibid. h. 277
26
Ibid. h. 277
27
Ibid. h. 278
24
pemenuhan sebagai pengetahu intelektual tetang esensi, ia menggambarkan intelek tersebut
sebagai intelek aktual atau intelek dalam tindakan (al-‘aql bi-l-fi’l) sehingga kekuatan itu
bekerja sama dengan indra eksternal atau kekuatan otak sebagai bagian dari sistem alamiah
yang kompleks yang melibaktak abstraksi (tajr-id) atau pemisahan pengalaman esensi
tertentu dalam hal-hal di dunia dari konteks material mereka. Lebih lanjut, Ibnu Sina
menggambarkan bahwa intelektualisasi tersebut dikukuhkan oleh akal aktif di mana esensi-
esensi tersebut telah ada sebelumnya sebagaimana kutipan di bawah ini:
Hal di atas dapat dipahami secara tradisonal untuk mengaitkan peran abstraksi
dengan intelek agen yang berbeda dan tidak material sebagai memberikan esensi yang
terpisah atau abstraksi atau intelligibles dalam tindakan kepada intelek manusia dengan
cara yang dijelaskan oleh Ibn Sina melalui penggunaan metafora penggabungan (ittis.a-l)
dan emanasi (fayd) setelah jiwa rasional manusia melakukan persiapa yang sesuai melalui
penggunaan indera eksternal dan internal. Beberapa penafsiran baru-baru ini cendrung
melihat lebih sedikit peran agen intelek dan untuk meekankan kegiatan manusia yang
mengetahui saja dalam menghasilkan abstraksi dan pemahaman intelektual. Selanjutnya,
upaya persiapan oleh individu bahkan telah digambarkan sebagai empiris sejauh mereka
sepenuhnya didasarkan pada isi dari pengalaman persepsi indera meskipun haya jika
dilengkapi dengan refleksi manusia dan analisis logis dan wawasan tentang istilah-istilah
silogistik. Semetara beberapa catatan baru-baru ini mengakui sebuah empirisme dan
mempertahankan peran akal budi (Gutas 2013; Hasse 2013), yang lain mengabaikan peran
akal budi sama sekali dan menemukan kesejajaran dengan empirisme John Locke (Gutas
25
2012)28. Selanjutnya, Locke menyangkal definisi nyata dan spesies alamiah yang bagi
Aristoteles hal tersebut merupakan inti dari filsafat alam dan metafisika (Ayers 1981;
Mackie 1978; Jones 2014).
Seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina juga berpendapat bahwa pengalaman indrawi
dan akal manusia adalah kondisi yang diperlukan untuk pengetahuan, tetapi ini saja tidak
cukup untuk pembentukan pengetahua ilmiah yang bersifat demonstratif29. Sementara al-
Farabi mendirikan abstraksi yang diperlukan dan dapat dipahami tertentu dalam tindakan
berdasarkan daya reseptif yang diberikan kepada manusia oleh agen intelek. Ibn Sina
membumikan proses tersebut dalam hubungan satu agen intelek dengan manusia yang
mengetahui. Sejauh ini, realisme intelek dalam tindakan dalam Ibn Arabi mungkin berutang
pada Teologi samaran Arab Aristoteles (berasal dari versi Arab dari bagian-bagian Enneads
of Plotinus) dan catatannya yang dimodifikasi tentang Nous atau Akal yang memancar yang
dimiliki oleh semua makhluk yang berpikir. (d’Ancona 2008: 64-6; tetapi lihat Gutas 2012:
427-8).
28
Ibid. h. 279
29
Ibid. h. 279
26
d. Ibn Rusyd (w.1198)
Ibn Rusyd berusaha untuk mengikuti pemikiran Aristoteles tentang filsafat alam,
metafisika dan bidang-bidang filsafat lainnya secara dekat.30 Karenanya, meskipun ia
mempelajari karya-karya al-Farabi dan Ibn sina dan pemikir lainnya dari tradisi Yunani
dan Arab, Ibn Rusyd mempunyai pandangan yang berbeda dengan pandangan al-Farabi
dan Ibn Sina (Davidson 1992: 258; Taylor, pengantar dalam Avverous 2009). Ibn Rusyd
mengesampingkan peran agen intelek dalam konstitusi metafisika dunia alamiah, ia
menganut konsepsi alam semesta secara kekal dalam kesatuan struktur yang utuh dan
wujud segala sesuatu disebabkan oleh kausalitas final dan formal yang kekal dari Penyebab
Pertama, sesuatu yang disebutnya “penciptaan” (al-ikhtira-‘ Averrous 1938-1952: 1497,
1985: 108)31. Dalam penjelasannya, tidak ada emanasi bentuk-bentuk substansial dari
intelek agen yang terpisah untuk konstitusi benda-benda; sebaliknya, intelek age dan intelek
material reseptif dibahas hanya dalam kaitannya dengan penjelasan pemahaman intelektual
manusia, sebagaimana juga terjadi pada Aristoteles. Pandangan Ibn Rusyd berkembang
ketika ia mempelajari karya Aristoteles dan para penerusnya secara lebih mendalam dalam
tiga tafsir yang berbeda dalam De Anima, yang puncak tafsirnya memiliki dampak terbesar
dalam penerjemahan bahasa Latin di Eropa sejak awal abad ke-13 sampai masa Renaisans
(Akasoy dan Giglioni 2013).
Dalam Tafsir Singkatnya (Averrous 1950, 1985), Ibn Rusyd berada di bawah
pengaruh studinya tentang Aristoteles bersama dengan karya Alexander dan karya
pendahulunya dari Andalusia, Ibn Ba-jja/Avempace (wafat 1139), dan mengemukakan
sebuah pandangan baru yang juga tampak dalam Tafsirnya atas Parva Naturalia karya
Aristoteles pada priode yang kurang lebih sama (Averrous 1972: 73, 1961: 42)32. Di sini
“materi” kecerdasa adalah disposisi modal dari imajinasi individu manusia. Ketika melalui
sensasi dan kekuatan internal otak, imajinasi manusia membentuk gambaran-gambaran
terntang berbagai hal, ini hanya merupakan potensi yang dapat dipahami. Namun, intelek
agen mengabstrasikan ini dan dengan kecerdasannya mengaktualisasikan disposisi yang
menghasilkan intelligibles dalam tindakan demi pengetahuan ilmiah manusia. Meskipun
imajinasi manusia adalah kekuatan tubuh dan dengan demikian tidak memiliki intelligibles
30
Ibid. h. 280
31
Ibid. h. 280
32
Ibid. h. 280
27
immaterial dalam tindakan secara harfiah di dalamnya, imajinasi manusia dapat memiliki
gambar yang sekarang dipahami untuk mewakili intelligibles dalam tindakan berkat
perubahan disposisi karena kekuatan abstrak dari intelek agen. Meskipun ini merupakan
awal yang menjanjikan bagi pendekatan baru terhadap masalah-masalah tersebut, Ibn
Rusyd menginggalkannya dalam karyanya yang lain.
33
Ibid. h. 281
34
Ibid. h. 281
28
pernyataan satu intelek material tunggal sebagai substansi yang dimiliki oleh semua
pengetahuan manusia; yang terakhir berkonstribusi pada pandangan Ibn Rusyd bahwa
intelek material dan intelek agen secara berurutan merupakan subjek yang reseptif terhadap
intelek yang diabstrasikan dalam tindakan dan penyebab aktif yang efesien dari abstraksi
haruslah “di dalam jiwa” dalam beberapa cara. Ibn Rusyd juga mengacu pada al-Farabi
untuk pertimbangan bahwa keseluruhan isi dari konsep ilmiah manusia hanya berasal dari
pengalaman dunia.
Karena mengabstraksikan tidak lain adalah membuat niat yang dibayangkan dapat
dipahami dalam tindakan seteleh mereka [dapat dipahami] dalam potensi. Tetapi
memahami tidak lain adalah menerima maksud-maksud ini. Karena ketika kita menemukan
hal yang sama, yaitu niat yang dibayangkan, dipindahkan dalam keberadaannya dari satu
tatanan ke tatanan lainnya. Penerima, bagaimanapun adalah materi [akal] dan agennya
adalah [akal] yang mewujudkan ini. (Averrous 2009: 351-2, 1953: 439)
Dengan demikian, intelek agen mentransfer yang dapat dipahami dalam potensi ke
modalitas baru dan status ontologis dan mengaktualisasikan yang dapat dipahami dalam
tindakan dalam intelek material, sebuah tindakan yang dapat dipahami yang sama untuk
setiap manusia yang mengetahui yang telah melalui langkah-langkah ini dalam proses
mengumpulkan pengetahuan yang dimulai dari sensasi. Manusia yang mencapai hal ini
dikatakan telah mencapai tingkat intelek yang diperoleh berkat penggabungan (ittisa-l)
dengan akal yang terpisah, yang menghasilkan abstraksi sesuai dengan kehendak manusia
35
Ibid. h. 281
29
yang mengetahuinya. Sebagaimana halnya dengan al-Farabi dan Ibn Sina, pencapaian
pengetahuan ini sebagai pemahaman terhadap hal-hal yang dapat dipahami dalam tindakan
mengaitkan pemenuhan dan kebahagaiaan manusia. Namun tidak seperti kedua pemikir
tersebut, Ibn Rusyd tidak memiliki doktrin filosofis tentang keberadaan manusai setelah
kematian (Taylor 1998, 2012).
a. Pengantar
Dunia yang kita alami setiap hari dipenuhi dengan berbagai objek yang berbeda.
Kemampuan mental dan indera kita terus-menerus diminta untuk menerima informasi dari
dunia luar dan kita perlu setiap saat untuk mengklasifikasikan, menganalisis, dan
menguraikan. Untuk memahami apa yang terjadi di sekitar kita, untuk membuat
pilihan/keputusan, atau hanya untuk bertahan hidup (baik sebagai individu maupun sebagai
spesies), kita perlu berinteraksi dengan dunia, dan pada tingkat tertentu, menyesuaikannya.
Singkatnya, kita perlu mengenal dunia.36 Oleh karena itu, dalam studi ini kita perlu
mengetahui bagaimana konsep indera manusia dalam upaya mengenal dunia yang mana
pada dasarnya memiliki berbagai objek yang berbeda.
Dari sudut pandang biologis, manusia adalah binatang. Karena pada dasarnya
manusia dan binatang berakar pada dunia fisik dan material oleh tubuh mereka, yang terdiri
dari daging dan darah, dan oleh batasan yang dipaksakan oleh fisiologi mereka. Tetapi ada
yang berbeda dengan manusia, yaitu manusia tidak berhenti pada klasifikasi informasi
sensorik belaka. Manusia tidak berhenti pada "apa yang tampak bagi mereka", fenomena,
yaitu apa yang dapat diakses oleh manusia melalui penglihatan, suara, sentuhan, rasa, atau
bau, seperti halnya hewan lain yang memiliki organ indera.37 Sehingga, muncul pertanyaan
apakah pengetahuan dasar "binatang" ini, yang hanya dapat diproses dan diatasi oleh
manusia, benar-benar sama untuk semua hewan tingkat tinggi (yaitu mereka yang secara
fisiologis diberkahi dengan organ indera yang sama dengan manusia), atau, lebih tepatnya,
apakah pengetahuan manusia memiliki jalan yang berbeda? Apakah pengetahuan superior,
atau tersembunyi, yang disebut "intelektual/akal", yang diperjuangkan manusia berasal dari
dunia yang masuk akal? Singkatnya, apakah indera manusia dan indera hewan bekerja
36
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses. (New York: Routledge. 2016). h. 263
37
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 263
30
dengan cara yang sama dan memberikan hasil yang sama? Pada titik manakah dalam
perolehan pengetahuan manusia dan hewan berbeda?38
Ini adalah subjek kompleks yang kaya dengan implikasi etis, filosofis, dan religius
yang hingga saat ini masih sangat penting bagi mereka yang menyelidiki/meneliti
hubungan antara pikiran dan tubuh atau status manusia di dunia. Maka, tak heran jika
penulis artikel ini mengatakan kita perlu berinteraksi dengan dunia, dan pada tingkat
tertentu, menyesuaikannya.
Dalam On the Soul, teks dasar dari tradisi filosofis dan psikologis Yunani, Arab,
dan Yahudi, Aristoteles menjelaskan bahwa karena indera kita, kita mengetahui kualitas,
yang masuk akal "tepat/akurat" untuk setiap indra, dan kuantitas, yang "umum". Secara
kebetulan, indera dapat memastikan kualitas-kualitas ini melekat pada suatu substansi
individu. Misalnya, jika putra Cleon berkulit putih, dan jika kita menggunakan indera
penglihatan untuk memberi tahu kita tentang putra Cleon, kita mungkin secara tidak
sengaja mengetahui putra Cleon berkulit putih, dan bukan sebagai laki-laki, yang mana dia
adalah putra Cleon. Penglihatan kami hanya mengetahui kualitasnya, bukan esensi atau
identitasnya sebagai putra Cleon. Aristoteles juga memberi tahu kita panca indera
beroperasi pada objek yang masuk akal hanya ketika objek itu ada, dan hanya melalui
penggunaan organ jasmani. Panca indera pada dasarnya hanya mampu menangkap
karakteristik khusus dan material dari objek individu. Akan tetapi, pengetahuan bersifat
inkorporeal dan immaterial. Ranahnya adalah yang universal.39
Bagi Aristoteles, ada, antara persepsi dan pengetahuan, panca indera dengan
kemampuan untuk melestarikan dan mengolah data yang masuk akal, bahkan ketika objek
masuk akal asli tidak lagi hadir, namun tetap berada dalam ranah tertentu. Jika demikian
halnya, kita berurusan dengan imajinasi dan ingatan, topik dari Parva Naturalia karya
Aristoteles. Namun Aristoteles tidak secara eksplisit memberi nama pada ranah pasca-
indera ini. Namun demikian, dalam terjemahan dan komentar teks-teks psikologis
Aristoteles dalam bahasa Arab, Yahudi, dan Latin, arah ini disebut "indera internal" atau
"indera pikiran", yang bertentangan dengan lima indera eksternal atau jasmani. Hal ini
38
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 263
39
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 264
31
karena, indera eksternal menggunakan organ tubuh, misalnya; mata untuk melihat, telinga
untuk mendengar, dan lain-lain, sedangkan indera internal tidak memiliki organ. Namun,
mereka memiliki lokasi korporeal pusat. Letak ini adalah otak, sesuai dengan tradisi medis
Galenic, tetapi berbeda dengan tradisi Aristotelian, yang menempatkan asal sensasi di
dalam hati (Wolfson 1935; Di Martino 2008).40
Ibn Síná (atau Avicenna, 980-1037), penulis pertama yang memberikan doktrin
sistematis tentang indera internal, dan kemudian Ibn Rusyd (atau Averroes, 1126-1198),
muncul dengan dua teori indera internal yang sangat berbeda. Dalam penelitian mereka
tentang jiwa, mereka mengidentifikasi, antara lain, bahwa Aristoteles gagal
memperhitungkan persepsi kebetulan. Mereka menjadikan kegagalan ini sebagai kunci
untuk memahami perbedaan antara jiwa manusia dan jiwa hewani, minat utama mereka,
dan juga untuk mempelajari hubungan yang tepat antara pengetahuan yang masuk akal,
baik internal maupun eksternal, dan pengetahuan intelektual. Baik Ibnu Sina maupun Ibnu
Rusyd juga mengajukan pertanyaan yang tidak akan pernah dipikirkan oleh para pemikir
sebelumnya dan sebaliknya masih relevan sampai sekarang: misalnya, pertanyaan tentang
kecerdasan binatang. Di mana, apa yang kita sebut arah intelektual dimulai? Dari mana
asalnya? Apakah itu ada sebagai sumber, dalam istilah Aristoteles, "berpotensi", dalam jiwa
binatang atau tidak? Apakah umat manusia adalah hewan yang memiliki sesuatu yang lebih
dari hewan lain, kemampuan tambahan lebih lanjut, atau hewan yang secara radikal
"berbeda", hewan yang terstruktur dengan cara yang berbeda dan unik sejak pertama kali
bertemu dengan dunia?41
40
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 264
41
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 264
32
pengetahuan yang diperoleh manusia dan hewan lain tentang dunia melalui indera mereka
sama? Apakah hal-hal memiliki nilai dan makna yang sama bagi manusia seperti yang
mereka lakukan untuk hewan lain? Atau apakah ada perbedaan penting antara dua cara
mengetahui dari pengetahuan yang diperolehnya?42 Oleh sebab itu, pertanyaan-pertanyaan
seperti inilah yang membuat Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd akhirnya memberikan doktrin
sistematis tentang teori indera internal yang menurut mereka Aristoteles gagal dalam
memperhitungkan persepsi kebetulan.
c. Mengenal Dunia: Entitas yang Masuk Akal dan Tidak Masuk Akal
Namun, bagi Aristoteles dan seluruh tradisi Aristotelian, psikologi adalah cabang
fisika atau filsafat alam yang didefinisikan sebagai ilmu gerak. Studi tentang persepsi
dengan demikian adalah studi tentang jenis gerak tertentu. Dalam hal ini adalah studi
tentang pergerakan perubahan yang dihasilkan oleh objek indera pada organ indera. Objek
indra yang tepat mempengaruhi organ indera yang menjadi tujuan mereka, dan hanya yang
ini. Objek akal sehat mampu mengubah beberapa organ indera secara bersamaan. Namun,
"indra secara kebetulan", tidak dengan sendirinya mengubah organ tubuh apa pun, tetapi
hanya terkait "secara tidak sengaja" dengan perubahan sensorik yang dihasilkan oleh objek
indera. Misalnya, untuk mengatakan, "Saya melihat putra Diarès", anak laki-laki Diarès
42
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 265
43
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 265
33
harus secara tidak sengaja dihubungkan dengan warna putih, objek yang masuk akal yang
layak untuk dilihat (Sorabji 1995; Caston 2005).44
1. Setiap indera mempersepsikan dengan sendirinya suatu objek yang masuk akal yang
sesuai dengan dirinya sendiri, artinya, mendapatkan gerakan perubahan dari tindakan
objek, yang masuk akal dengan sendirinya;
44
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 265
45
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 265
46
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 266
34
2. Bahwa setiap indera mempersepsikan dengan sendirinya objek-objek indera yang
lazim, yang tidak sesuai dengan indera apa pun, artinya mereka tidak mempengaruhi
satu organ indera secara eksklusif, tetapi banyak organ indera;
3. Bahwa setiap indera merasakan secara tidak sengaja objek-objek inderawi yang sesuai
dengan indera lainnya, dari indera lain mana yang akan memiliki persepsi dengan
sendirinya;
4. Bahwa setiap indera merasakan secara tidak sengaja indra secara tidak sengaja, seperti
putra Cleon. Bukanlah yang masuk akal secara kebetulan, dalam dirinya sendiri, masuk
akal, tetapi turunnya secara tidak sengaja pada dasar panca indera karena mereka terkait
dengan kualitas yang masuk akal.47
Menurut Ibnu Sina, wujud objek yang tidak ditangkap oleh indera eksternal ini
menjadi jelas dari fakta bahwa pengetahuan yang masuk akal untuk hewan lebih luas dan
47
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 266
48
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 267
35
lebih kaya daripada pengetahuan yang diperoleh hanya melalui indera. Misalnya, ketika
seekor domba betina mempersepsikan seekor serigala, rantai persepsi yang beralih dari
indra luar ke akal sehat hanya mengidentifikasi seekor berbulu hitam berkaki empat.
Informasi ini tidak cukup untuk membuat domba betina melarikan diri (anjing hitam akan
memiliki sifat yang sama). Domba Betina melarikan diri karena merasakan bahaya. Bagi
Domba Betina, Serigala berarti "bahaya". Oleh karena itu "penandaan" Serigala, yang
dirasakan oleh Domba betina disebabkan oleh kemampuan yang oleh Ibnu Sina disebut
"kemampuan perkiraan". Kemampuan ini bertanggung jawab untuk "mengevaluasi" bahwa
berkaki empat-berbulu hitam adalah serigala dan untuk menarik kesimpulan tentang
kepentingan biologis utama yang harus dilarikan oleh domba betina. Dengan cara ini,
kemampuan estimatif tampaknya, pada pandangan pertama, sesuai dengan naluri (Black
1993, 2000). Dalam Kitab Jiwa Ibnu Sina mencurahkan banyak perhatian pada ma'na,
kemampuan estimasi, dan cara kerjanya pada manusia dan hewan lainnya. Dia memberikan
tiga definisi ma'na (Buku Jiwa 1, 5):49
1. Hal yang dirasakan jiwa dari dunia yang masuk akal, tanpa indera eksternal yang
melihatnya terlebih dahulu;
2. Apa yang tidak material pada hakikatnya, meskipun terkadang bisa ditemukan secara
tidak sengaja di dalam dunia material;
3. Apa yang tidak bisa kita rasakan oleh indera, baik:
a. karena sifatnya, itu sama sekali bukan objek yang masuk akal, atau,
b. karena, meskipun itu adalah objek yang masuk akal, kita tidak dapat merasakannya
pada saat memutuskan sesuatu [kata Arab hukm di sini menerjemahkan kata Yunani
krisis dan " penghakiman oleh indera" di sini dipahami dalam bahasa Aristoteles
sebagai persepsi].50
Dua definisi pertama mengacu kembali pada kasus serigala dan domba betina.
Untuk definisi ketiga ada dua contoh untuk diberikan:
Pertama, contoh pada bagian 3a, untuk hal-hal yang menurut sifatnya, tidak masuk
akal, seperti kebencian, kekejaman, atau keengganan yang ditangkap oleh domba betina
dalam bentuk serigala. Ini masih merupakan penjelasan dari definisi kedua dan sekali lagi
kita berurusan dengan contoh klasik: domba betina merasakan permusuhan serigala. Dalam
49
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 267
50
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 267
36
istilah Aristotelian, indera betina hanya akan merasakan permusuhan serigala secara
kebetulan, karena ma'na ini adalah objek yang tepat dari fakultas yang berbeda, dalam hal
ini fakultas estimatif, dan karena masing-masing indera merasakan dengan sendirinya
objek yang tepat untuk sendiri dan merasakan secara tidak sengaja objek yang sesuai
dengan indera lainnya. Ini sesuai dengan contoh Aristoteles tentang penglihatan yang
mempersepsikan rasa manis.
Kedua, contoh pada bagian 3b berbeda: 3b Adapun hal-hal yang masuk akal, kita
melihat misalnya sesuatu yang kuning, dan dengan demikian kita menilai bahwa itu adalah
madu, dan itu manis. Jadi, definisi 1, 2, dan 3a berkorespondensi dengan "kesadaran secara
kebetulan" Aristoteles, yang ditemukan dalam On the Soul, II, 6. Definisi 3b
berkorespondensi dengan dua kasus "persepsi oleh kebetulan" yang dipelajari oleh
Aristoteles dalam On the Soul, III, 1.51
Apakah madu, serigala, dan putra Cleon, jadi, ma'ani? Atau, apakah madu itu
manisnya, pahitnya empedu, kejamnya serigala, atau putihnya putra Cleon menjadi ma'ání?
Pada akhirnya, status objek yang diindera sebagai bentuk atau sebagai ma'ání tidak
mutlak, tetapi ditentukan oleh hubungan yang ada selama tindakan persepsi antara subjek
dan objek yang dirasakan. Dalam kasus yang melibatkan intensi dan kemampuan estimatif,
hubungan antara pancaindera dan objek tampak terbalik (Black 1996). Bukan lagi
pancaindera yang ditentukan oleh hubungannya dengan objeknya, seperti yang dinyatakan
Aristoteles. Sebaliknya, objek ditentukan oleh pancaindera yang memahaminya; objek
disebut ma'na ketika dirasakan oleh kemampuan estimasi.52
Ma'na adalah bentuk paling spiritual dari pengetahuan yang masuk akal dan
kemampuannya, ingatan manusia, tidak hanya memelihara, tetapi juga mengetahuinya.
Ma'na adalah salinan dari objek tertentu karena dapat ada di dalam jiwa, dilucuti dari semua
materi. Itu adalah substansi dari yang masuk akal, buah yang telah dilucuti dari kulitnya
oleh pancaindera lain, dengan potongan-potongan kulit menjadi sifat yang ada yang masuk
akal, yang pada gilirannya merupakan kualitas yang masuk akal dari suatu objek yang ada
di dunia (Black 1996).53
51
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 268
52
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 268
53
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 269
37
Setiap bentuk yang diimajinasikan, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Ibn
Rusyd, memiliki substratum, materi (sosoknya) dan bentuk (ma'nanya). Meskipun materi
dan bentuk dari sebuah citra tidak sesuai dengan materi dan bentuk dari objek fisik (pada
Aristoteles, lih. Black 1996), ma'na di sini tampaknya merupakan bentuk individual dalam
materi dalam sebuah objek dunia. Di mana ia ada diselimuti oleh sifat yang ada pada kulit
material. Dalam hal ini, ma'na hanya akan masuk akal karena tercakup oleh sifat-sifat yang
masuk akal. Dari sudut pandang Aristotelian Ibn Rusyd, itu akan "dirasakan secara tidak
sengaja" oleh indera, karena indra dan imajinasi melihatnya hanya melalui citranya.
Artinya, ma'ná, sebagai gambaran yang berasal dari hal tertentu yang diindera, adalah
subjek untuk kualitas-kualitas indrawi yang dapat dirasakan dalam tindakan di dalam jiwa.
Begitulah, sedangkan ma'na adalah objek yang tepat dari kemampuan lain, yaitu
kemampuan memori/ingatan khusus untuk manusia.54
Sedangkan bagi hewan, hewan tidak mampu mengingat jenis ingatan yang dimiliki
manusia, seperti yang dijelaskan Ibn Rusyd dalam banyak kesempatan. Sebaliknya, hewan
non-rasional hanya mampu mengingat jenis memori yang menyimpan data yang masuk
akal dalam imajinasi mereka dalam bentuk gambar, tetapi mereka tidak pernah mampu
memahami ma'na benda. Tingkat abstraksi ini tidak mereka ketahui. Maka, untuk pertama
kalinya, dinyatakan dengan jelas bahwa ada perbedaan struktural antara kepekaan manusia
dan binatang. Di sinilah letak inovasi besar Ibn Rusyd, tetapi juga revolusi berbahaya dalam
mempelajari dunia indrawi. Manusia dan hewan merasakan bentuk yang masuk akal
dengan cara yang sama melalui indera eksternal mereka, keduanya dapat menyimpan
pengetahuan yang masuk akal ini dalam bentuk gambar yang pada akhirnya dapat mereka
manipulasi sesuai keinginan. Namun hanya manusia yang mampu melampaui penampilan
untuk melihat apa yang ada di bawah cangkang yang masuk akal dari suatu objek, atau
untuk melihat apa yang tersembunyi di balik kualitas indera suatu objek.55 Demikian
argumentasi pemikiran dari para filusuf mengenai nilai dan makna pengetahaun yang
diperoleh melalui perasaan yang pada intinya adalah manusia memiliki kelebihan secara
khusus yang tidak dimiliki oleh hewan.
54
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 269
55
Carla Di Martino. Eksternal and Internal Human Senses…. h. 269
38
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan pertama yang bersumber pada artikel Seyyed
Hossein Nasr, Oliver Leaman. 2016. Routledge History of World Philosphies adalah
adanya perdebatan mengenai pengetahuan, cara memperoleh pengetahuan: Pendidikan.
Kemudian, menjawab persoalan mengenai Bagaimana konsep epistimologi kalam dan
falsafah. Sehingga pada akhirnya menjelaskan bagaimana pengetahuan Tuhan akan hal-hal
khusus. Secara ringkas, ada dua keyakinan bahwa sifat khas dari Tuhan adalah
pengetahuan-Nya, dan pengetahuan sejati adalah tentang Tuhan. Jika manusia dapat
mencapai pengetahuan sejati, itu berarti (1) mereka dapat memperoleh kemampuan yang
dimiliki Tuhan, dan (2) Tuhan dapat menjadi manusia yang hampir sama dengan manusia
dalam hal pengetahuan (meskipun ada perbedaan ontologis). Untuk memahami implikasi
dari ini, kita perlu memahami ketegangan dan kekhawatiran di antara para akal tual yang
berdebat tentang hal ini.
Kemudian, pada pembahasan kedua yang bersumber pada artikel Taylor, Richard
D, The Epistimology of Abstraction adalah Doktrin abstraksi intelektual dari hal-hal yang
dapat dipahami dalam tindakan untuk kedudukan manusia pertama kali dikemukakan oleh
Alexander daru Aphrodisias sebagai interpretasi teks-teks Aristoteles tentang pembentukan
pengetahuan ilmiah. Bagi tradisi filosofis Arab, penjelasan umum dari Alexander cukup
menarik sehingga dianggap benar-benar berasal dari Aristoteles oleh para filsuf dan
penerjemah. Namun, meskipun para flsuf yang dipertimbangkan di sini berpegang pada
abstraksi intelektual dengan peran penting bagi intelek agen yang ada secara terpisah,
masing-masing dari mereka mengisi catatan abstraksi yang kurang jelas yang diberikan
oleh Alexander dengan catatan filosofis yang unik, seperti halnya Alexander, baca kembali
ke dalam teks-teks Aristoteles.
Selanjutnya, pada pembahasan ketiga yang bersumber pada artikel Carla Di
Martino. Eksternal and Internal Human Senses adalah adanya pertentangan atau kritik oleh
penulis artikel dalam tradisi filsafat Aristotelian, para filsuf Arab bertanya pada diri mereka
sendiri tentang perbedaan struktural antara organ kognitif manusia dan hewan. Meskipun
benar bahwa manusia secara fisiologis tetaplah hewan, pengetahuan mereka tentang dunia
yang masuk akal berbeda sejak awal. Hewan dan manusia sama-sama memandang dunia
dengan cara yang sama, tetapi mereka merasakan dan menjalaninya dengan sangat berbeda.
39
Inilah yang memungkinkan manusia untuk pergi "melampaui hal-hal fisik" (dalam
pengertian metafisik), atau, lebih baik, untuk merasakan bahwa hal-hal yang tidak dapat
dipahami oleh indera memang ada, baik itu di luar, di bidang agama, atau dalam misteri
jiwa dan kehidupan batin.
40
DAFTAR PUSTAKA
Martino, Carla Di. Eksternal and Internal Human Senses. New York: Routledge. 2016
Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman. Routledge History of World Philosphies Volume 1,
History of Islamic Philosophy Part II. London and New York: Routledge. 1997
41