PROGRAM KB
PIEERE A AMALO
ABSTRAKSI :
Gereja Katolik berada dalam era yang penuh dengan kemajuan. Kemajuan itu ada
yang bermanfaat, namun ada pula yang menjadi sumber permasalahan, salah
satunya ialah ledakan penduduk beserta segala masalah sosial yang mengintarinya.
Pemerintah sebagai pihak yang mengatur segala urusan masyarakat mengambil
jalan keluarnya melalui pelaksanaan program KB dengan menggunakan kontrasepsi
untuk mengatur kelahiran (birth control). Pelaksanaan program KB, terutama
melalui kontrasepsi ini, dipandang sangat bertentangan dengan ajaran Gereja
mengenai hidup perkawinan suami-istri yang terbuka sepenuhnya pada prokreasi.
Namun Gereja di satu sisi juga tetap memperhatikan kebutuhan dan kesulitan yang
dialami suami-istri terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan hidup keluarga
dengan atau tanpanya anak-anak, sehingga dibutuhkan penilaian moral yang dapat
mengakomodasikan mereka.
Kata-Kata Kunci: Perkawinan, KB, Kontrasepsi, Ajaran Moral Gereja.
PENDAHULUAN
Keluarga pada zaman modern ini merupakan kelompok paling terdampak oleh pesat
perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat di segala bidang. Dalam
menghadapi situasi yang demikian, masih banyak keluarga yang memiliki peganggan terhadap
nilai-nilai tradisional dan agama sebagai dasar dari lembaga keluarga dalam menuntun mereka
menghadapi situasi carut-marut kehidupan akibat kemajuan iptek. Namun, tidak sedikit juga
keluarga-keluarga yang justru mengalami kehilangan fondasi hidup lembaga keluarganya,
sehingga mereka mengalami keraguan dan kebingungan mengenai peran mereka. Bahkan ada
keluarga-keluarga yang mulai tidak sadar lagi akan makna serta kebenaran yang terdalam
mengenai hidup berkeluarga, hidup pasangan suami-isteri, serta hidup orangtua bersama anak-
anak.
Salah satu permasalahan dunia modern yang menyebabkan situasi carut-marut kehidupan
keluarga ialah mengenai persoalan program KB atau keluarga berencana. Secara politik dan
ekonomi, adanya program KB gunanya untuk menekan laju populasi demi ketersediaan sumber
daya bagi kesejahteraan hidup banyak orang. Akibat penekanan tersebut terjadi perubahan pola
pikir masyarakat terhadap hidup berkeluarga. Masyarakat mulai enggan untuk hidup berkeluarga
atau mempunyai anak karena dianggap nanti menyusahkan, menghabiskan sumber daya, dan
buang-buang waktu saja, sehingga membuat masyarakat menggunakan berbagai alat kontrasepsi
untuk mencegah kehamilan. Selain itu pelaksanaan program KB menyebabkan komersialisasi
alat kontrasepsi di tengah masyarakat yang berimbas pada penggunaan alat-alat tersebut secara
luas tanpa batasan. Menariknya, justru penggunaan kontrasepsi lebih banyak digunakan oleh
pasangan yang belum menikah ketimbang pasangan yang sudah menikah.
Masalah ini menjadi fokus Gereja saat ini khususnya di Indonesia. Indonesia merupakan
negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar menempati urutan keempat di dunia
setelah Tiongkok, India, dan Amerika serikat. Dengan jumlah penduduk sebesar 269 juta jiwa
atau sekitar 3,49% dari total populasi dunia ini membuat kewalahan pemerintah Indonesia untuk
mengatur negara, sehingga pemerintah berusaha dengan keras untuk menekan laju ledakan
penduduk ini dengan program KB. Gereja Indonesia berada dalam situasi yang demikian
sehingga membuat Gereja harus menyingkapi persoalan ini dalam terang Injil dan moral supaya
pelaksananaan program KB ini tidak bertentangan dengan etika dan moral kristiani.
KB DAN KONTRASEPSI
Sedangkan term kontrasepsi berasal dari dua kata, yakni contra yang berarti melawan dan
conception yang berarti pembuahan. Jadi, kontrasepsi berarti perlawanan terhadap pembuahan.
Kontrasepsi dalam peraktiknya merupakan alat atau cara yang bertujuan untuk menggagalkan
pembuahan dalam janin. Pembuahan yang seharusnya terjadi sebagai akibat perpaduan sel
sperma dan sel telur tidak terjadi akibat penggunaan cara/alat kontrasepsi ini.
PANDANGAN GEREJA TERHADAP PROGRAM KB
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik sangat menekankan dua aspek penting dalam
perkawinan Kristen, yakni kesetiaan kasih pasangan suami-istri dan prokreasi. Konsili Vatikan II
mengoreksi padangan dari masa lampau yang hanya menganggap keturunan sebagai tujuan
utama dalam perkawinan. Bagi Gereja Katolik saat ini hal yang terpenting dari perkawinan
adalah hubungan pribadi antar suami-istri yang terbuka terhadap adanya keturunan atau
prokreasi. Prokreasi bukan lagi tujuan tunggal atau utama perkawinan, namun tetap merupakan
suatu tugas luhur dari perkawinan di samping tugas-tugas luhur lainnya.
Sebagai tujuan luhur perkawinan, prokreasi bukan lagi hanya sebagai peristiwa alamiah,
melainkan peristiwa pribadi yang dijalankan dengan penuh tanggung jawab sebagai seorang
manusia dan juga sebagai orang Kristen dengan penuh hormat dan taat pada Allah. Dalam kaitan
dengan hal tersebut, setiap pasangan perlu berembug dan berusaha bersama membangun
pendirian yang sehat, sambil mempertimbangkan kerukunan dan kesejahteraanya sendiri, masa
depan bersama anak-anak, Gereja, dan masyarakat. Dalam mempertimbangkan semua itu,
mungkin akan timbul konflik antara perbagai kepentingan misalnya, keinginan untuk
mempunyai anak di satu sisi dengan kemampuan ekonomi keluarga, kesehatan fisik dan psikis
sang ibu serta keadaan lingkungan, politik dan masyarakat di sisi lain. Lebih lagi, dapat timbul
konflik antara kenginan mengungkapkan kasih dalam perkawinan dan tanggung jawab untuk
tidak menambah jumlah anak. Dalam konflik yang demikian, banyak orang yang mencari jalan
keluarnya dengan memakai alat atau obat yang mencegah kehamilan atau kontrasepsi.
Praktik penggunaan alat-alat kontrasepsi atau pelaksanaan program KB dalam artian yang
sempit memang dianggap bertentangan dengan ajaran Gereja tentang perkawinan. Namun
penilaian terhadap hal tersebut tidak selalu serta merta salah secara moral. Pertimbangan moral
suatu tindakan itu harus selalu disertai dengan pada kondisi, kesadaran dan intensi dari subyek
yang melakukan tindakan tersebut, misalnya oleh karena kesehatan sang istri sehingga ia tidak
diperbolehkan hamil, maka pasangan suami-istri yang hendak mengekspresikan cinta mereka
melalui hubungan seksual menggunakan alat-alat kontrasepsi yang mencegah kehamilan.
Tindakan tersebut memang tidak sesuai dengan ajaran Gereja mengenai prokreasi, namun di satu
sisi Gereja juga tidak bisa melarang pasutri tersebut untuk tidak mengekspresikan cintanya
melalui hubungan seksualitas hanya karena untuk mencegah kehamilan yang dapat
membahayakan kesehatan sang istri, sebab jika demikian pasutri tersebut dapat kehilangan
makna hidup perkawinannya dan juga jatuh dalam etika peraturan atau moral heteronomi
Imanuel Kant. Karena itu dalam kasus yang demikian penggunaan alat-alat kontrasepsi secara
moral dapat dibenarkan demi keutuhan cinta dan kebahagiaan hidup bekeluarga yang bagi
mereka wajib dilakukan sebagai orang-orang kristiani.
PENUTUP