KUPANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha esa karena berkat rahmat dan karunianya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ABORSI DALAM
PANDANGAN GEREJA” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah Pendidikan agama katolik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang aborsi bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan teima kasih kepada kepada semua pihak yang telah membantu
saya dalam mengerjakan makalah ini sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
PENDAHULUAN
Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari
tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Frekuensi terjadinya
aborsi sangat sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi
tanpa dilaporkan, kecuali jika terjadi komplikasi sehingga perlu perawatan di Rumah
Sakit. Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan
ibu. WHO memperkirakan 10-50 persen kematian ibu disebabkan oleh aborsi.
Diperkirakan di seluruh dunia, setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi , 70.000 wanita
meninggal akibat aborsi, dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi. Di Asia
tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di antaranya
750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Risiko kematian akibat aborsi di wilayah
Asia diperkirakan antara 1 dari 250, negara maju hanya 1 dari 3700. Angka tersebut
memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar.
Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak
pada kesakitan dan kematian ibu. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan
komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan
sebagai pendarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini, aborsi masih
merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di satu pihak, aborsi dianggap ilegal
dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian
aborsi.Realitas di atas semakin berkembang ketika kemajuan teknologi medis memberi
sumbangan yang berarti bagi cara/proses tindakan tersebut. Dengan berbagai
kemudahan, ditawarkan aneka cara praktis cepat dan cekatan tanpa melihat aspek-aspek
pertimbangan moral dari cara tersebut. Atas dasar itu, wacana mengenai aborsi dalam
Gereja Katolik semakin penting. Ada desakan sangat kuat dari berbagai pihak agar
Gereja Katolik mengambil bagian dalam menyikapi maslah aborsi. Desakan terjadi
karena Gereja Katolik sejak awal sampai saat ini tetap mempertahankan pandangannya
bahwa Aborsi harus dilarang. Karena tidak sesuai dengan kehendak Allah di mana
Allah menghendaki kehidupan bukan kematian.
Dalam berita-berita televisi, sering disiarkan kasus-kasus aborsi yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan kurang kesadaran akan
penghargaan terhadap nilai-nilai kehidupan dalam upaya memelihara kehidupan dan
ciptaan Tuhan. Tindakan aborsi merupakan tindakan yang sangat kejam terhadap orang
yang sangat lemah, tindakan tidak bermoral yang membuat dan menyebabkan kematian
orang lain. Aborsi yang disengaja atau dengan campur tangan manusia, merupakan
perbuatan yang melanggar hukum, etika dan moral. Banyak alasan mengapa orang
melakukan aborsi, salah satunya ialah alasan ekonomi. Faktanya bahwa aborsi bukan
saja dilakukan oleh kalangan anak muda, tetapi justru lebih banyak dilakukan oleh ibu-
ibu yang mengalami masalah ekonomi dan kegagalan KB. Situasi bingung membuat
orang tidak dapat berpikir jernih dan tidak dapat mengambil keputusan dengan lebih
baik, akhirnya jalan satu-satunya adalah terpaksa melakukan aborsi tanpa mau tahu
akibat dan resiko-resiko dari tindakannya. Rendahnya tingkat kesadaran orang untuk
menghargai kehidupan, sehingga janin yang masih dalam rahim tidak diakui sebagai
manusia yang harus dirawat dan dipelihara. Gereja Katolik sangat menghargai
kehidupan, hal ini termuat dalam Dokumen Gerejawi Familiaris Consortio art. 30 yang
menyatakan bahwa, manusia itu adalah Gambar Allah yang adalah cinta kasih,
Keputusan melakukan aborsi atau tidak, merupakan pilihan yang tidak mudah, apalagi
dalam kasus-kasus tertentu, misalnya kasus pemerkosaan. Anak yang dikandung akibat
perkosaan sering dianggap sebagai aib bagi keluarga dan menimbulkan trauma yang
berkepanjangan bagi korban perkosaan tersebut. Namun aborsi bukanlah jalan terbaik
untuk menghilangkan pengalaman tersebut dan rasa malu yang ditanggung oleh korban.
Dalam situasi seperti ini memang peran moral perlu dipertanyakan. Orang yang
menjadi korban pemerkosaan perlu bimbingan dan arahan dari orang lain. Situasi
bingung sering membuat orang kehilangan kendali dan akal sehat, sehingga seringkali
orang yang hamil tanpa diinginkan terpaksa melakukan aborsi, karena bagi pelakunya
aborsi merupakan jalan keluar satu-satunya yang memang terpaksa harus dilakukan,
tidak mudah menerima situasi dimana orang tidak menginginkan hal-hal yang buruk
terjadi dalam dirinya. Hidup apa pun bentuknya perlu disyukuri, dijaga, dirawat dan
dipelihara karena seburuk apa pun hidup, sehat atau sakit, cacat atau normal, semua itu
adalah anugerah terbesar yang diberikan oleh Sang Pencipta kehidupan. Sebagai
manusia yang diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangan hendaklah
memelihara dan mensyukuri kehidupan yang dipercayakan kepadanya. Para kaum
muda (mahasiswi) merupakan pribadi yang memiliki rasa penasaran yang begitu tinggi
sehingga selalu ingin mencoba hal-hal yang bersifat baru dan kadang-kadang tanpa
memikirkan akibatnya bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain. Tidak jarang dijumpai
kaum muda yang terjerumus dalam permasalahan-permasalahan yang tidak diinginkan
misalnya, narkotika, tawuran, perkelahian dan seks bebas. Budaya yang begitu bebas
dan pengaruh arus zaman yang selalu menggoda tersebut, terkadang membuat kaum
muda kurang menyadari tugas dan tanggung jawab mereka, misalnya sebagai seorang
pelajar/mahasiswi sebagai warga masyarakat dan sebagai warga Gereja.
PEMBAHASAN
Aborsi berasal dari bahasa latin Abortio ialah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus
secara prematur pada umur dimana janin itu belum bisa hidup di luar kandungan. Secara medis
janin bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Secara medis aborsi berarti
pengeluaran kandungan sebelum berumur 24 minggu sehingga mengakibatkan kematian;
sedangkan pengeluaran janin sesudah berumur 24 minggu dan mati tidak disebut aborsi tetapi
pembunuhan bayi (infanticide). Sedangkan menurut pandangan moral dan hukum, aborsi
berarti pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang
mengakibatkan kematian. Aborsi adalah berakhirnya kehamilan dapat terjadi secara spontan
akibat kelainan fisik wanita atau akibat penyakit biomedis internal atau mungkin disengaja
melalui campur tangan manusia. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meminum obat-obatan
tertentu dengan tujuan mengakhiri kehamilan atau mengunjungi dokter dengan tujuan meminta
pertolongannya untuk mengakhiri kehamilan, baik mengosongkan isi rahim melalui proses
penyedotan atau dengan melebarkan leher rahim dan menguret isinya. Tetapi bila kehamilan
telah berada dalam tahap lanjut, maka digunakan metode lain. Contohnya, cairan amniotik,
cairan ketuban yang berfungsi sebagai alat untuk menggugurkan kandungannya.
Setiap aborsi spontan yang terjadi karena faktor-faktor biomedis internal disebut
sebagai keguguran yang demikian ini tidak menjadi kotroversi. Etika, agama, hukum
mempersoalkan aborsi yang terjadi akibat campur tangan manusia secara langsung, apakah
dengan cara menyakiti diri atau cara lain. Semua ini memiliki implikasi agama, etika dan
hukum. Karena itu, dari definisi di atas harus dipahami bahwa aborsi sebenarnya adalah setiap
tindakan yang diambil dengan tujuan meniadakan janin dari rahim wanita sebelum akhir dari
masa alamiah kehamilan. Dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian
kehamilan setelah tertanamnya telur, atau sel telur yang diproduksi oleh wanita (ovum), yang
telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 8 minggu sampai
kelahirannya. Di Indonesia, belum ada batasan resmi mengenai aborsi. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia (Prof. Dr. JS. Badudu dan Prof. Sutan Mohammad Zain, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1996) abortus didefinisikan sebagai melakukan pengguguran (dengan
sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu).
Untuk lebih memperjelas maka berikut ini akan saya kemukakan defenisi para ahli
tentang aborsi, yaitu:
Alasan Medis
Adakalanya kelainan pada janin yang dapat membahayakan jiwa si ibu jika ia
terus mempertahankan kehamilannya, misalnya penyakit jantung.. Jika hal itu terjadi
dokter dihadapkan kepada pilihan menolong jiwa si ibu dengan menggugurkan
kandungan ataukah membiarkan janin tumbuh menjadi bayi, ibu meninggal. Adapun
alasan-alasan menggugurkan kandungan karena alasan medis ialah :
untuk menyelamatkan jiwa si ibu/wanita
untuk menjaga kesehatan ibu/wanita
untuk mencegah gangguan yang berat dan tetap terhadap kesehatan
wanita
untuk mencegah bahaya terhadap kesehatan fisik atau mental
wanita atau salah satu anak dalam keluarga
untuk mencegah bahaya terhadap jiwa atau kesehatan wanita
untuk mencegah kelahiran dengan fisik atau mental yang berat
dari alasan-alasalasan tersebut di atas banyak Negara-negara yang melegalisasinnya,
antara lain Negara Prancis, Swiss, Kanada, Pakistan, dan Thailand, sebagai alasan
untuk memperbolehkan aborsi .
Hamil Karena Perkosaan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, industrialisasi, modernisasi
disertai globalisasi, telah menyebabkan dampak negatif dalam kehidupan manusia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri sebenarnya bebas nilai (tidak bernilai buru
k atau baik). Yang membuat menjadi berakibat buruk adalah manusia itu sendiri
seperti media cetak dan elektronik. Kedua media itu dapat bernilai baik bila
digunakan untuk maksud- maksud yang baik pula. Namun akan menjadi buruk jika
digunakan untuk meyebarluaskan pornografi. Majunya teknologi dan ilmu pengetahuan
baik dibidang komunikasi transformasi dan telematika ada membawa dampak negatif
bagi kehidupan masyarakat, seperti televisi, internet dan lain sebagainya. Kemajuan
di bidang komunikasi dan transformasi kadagkala banyak disalahgunakan oleh
masyarakat terutama dikalangan anak muda sehingga banyak memberikan dampak
yang sangat buruk di dalam kehidupan bermasyarakat. Akibat dampak negatip dari
semuanya itu adalah meningkatnya kejahatan dikalangan masyarakat terutama para re
maja, terutama kejahatan seks.
Bila hal ini berlangsung terus dikwatirkan rusaknya moral pemuda kita yang n
antinya diharapakan sebagai generasi penerus perjuangan bangsa. Kita tidak heran
lagi mendengar berita-berita tentang perkosaan akhir akhir ini terhadap seorang
wanita. Diantara kasus-kasus perkosaan yang sering terjadi seringkali yang
menjadi korban adalah gadis dibawah umur. Ada lagi juga dilakukan oleh ayah terhad
ap anak kandungnya sendiri. Semua itu mengajak kita untuk senantiasa waspada dan
mawas diri. Apabila perbuatan- perbuatan tersebut diatas menyebabkan hamilnya
wanita yang bersangkutan bagaimana bayi dalam kandungan tersebut?
Akankah diminta pertanggung jawaban dari orang yang melakukan perbuatan itu? mu
ngkin, maka jalan yang ditempuh adalah melakukan aborsi. Yang menjadi pertanyaan
lain adalah haruskah seorang yang menjadi korban perkosaan yang hamil melakukan
aborsi terhadap janin yang dikandungnya. Hal tersebut kembali kepada korban
tersebut, untuk itu sebelum mengambil sikap untuk menggugurkan kandungan korba
n perlu mendapatkanperhatian yang lebih, terutama dari konsultan ataupun dukungan
moril dari keluarga. Karena aborsi diharapakan dapat menjadi jalan terakhir dari perm
asalahan tersebut. Karena bagaimanapun bayi yang dikandung akibat perkosaan tidak
bersalah.
Bayi yang dikandung cacat
Kemajuan teknologi kedokteran telah memungkinkan manusia mengetahui janin s
ejak masih dalam kandungan. Bukan saja tentang jenis kelaminnya saja, tetapi juga te
ntang apakah janin tersebut menderita cacat atau tidak. Salah satu cacat berat yang da
pat dideteksi sejak dini adalah kelainan fisik atau mental yang disebut sebagi sindrom
down.
Pada kelainan ini, selain terdapat kelainan fisik yang berat, juga terdapat
kelainan perkembangan mental yang sangat terlambat (idiot). Dimana anak tersebut
jika lahir kedunia akan selalu tergantung pada orang lain. Selain sindroma Down,
adanya kepala tidak berkembang (anensefali) atau cairan otak tersumbat
(hidrosefalus) juga dapat dideteksi sejak janin masih di dalam kandungan. Dalam
keadaan seperti ini, dokter tidak dapat mengelakkan diri dari keharusan
memberitahukan hal itu kepada orangtuanya, agar mereka siap mental menghadapi
serta dapat menentukan rencana kedepan. Ada kemungkinan pasangan orangtua itu
lebih memilih untuk mengugurkan kandungannya
Sosial ekonomi
Tidak dapat kita pungkiri kebutuhan manusia semakin lama semakin
meningkat. Sedangkan untuk memuaskan kebutuhan tersebut kadangkala terdapat
banyak keterbatasan. Berdasarkan survey yang telah dilakukan maka salah satu
penyebab aborsi adalah karena kemiskinan, dimana seseorang melakukan aborsi
karena tidak sanggup untuk membiayai kehidupan anak tersebut kelak, sehingga jalan
yang diambil adalah dengan melakukan aborsi.
Hamil diluar nikah
Kemajaun zaman yang terus berkembang pada saat ini membuat pergaulan
diantara masyarakat terutama anak muda semakin tidak terkontrol. Perlakuan dan
tingkah negatip yang dilarang dalam norma-norma dalam masyarakat pun menjadi
tren dikalangan anak muda saat ini. Salah satunya adalah seks bebas diantara anak
muda yang nantinya akan menyebabkan kehamilan diluar nikah. Salah satu jalan yang
ditempuh ketika seseorang wanita hamil diluar nikah adalah aborsi. Aborsi
dilakukan karena tidak adanya kesiapan untuk mempunyai anak dan rasa malu kepada
masyarakat karena hamil diluar nikah.
1. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau
2. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun
HANYA DAPAT dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan
diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang. Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal
diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi;
“setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.”
Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang
dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja
melakukannya.
Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal juga diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana(“KUHP”). Ketentuannya antara lain sebagai berikut:
Pasal 299
Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati,
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya
dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan
perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan
atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka
dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
Pasal 348
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.
Pada praktiknya, bila ada dokter yang melakukan aborsi, maka masyarakat dapat
melaporkan dokter tersebut ke kepolisian untuk diselidiki. Selanjutnya, bila memang ada bukti
yang cukup dokter tersebut dengan sengaja telah melakukan aborsi ilegal terhadap pasien(-
pasien)nya, maka proses pidana akan dilanjutkan oleh penyidik dan jaksa sebelum melalui
proses di pengadilan.
Pandangan Aristotelian tentang penundaan pemerolehan jiwa ini telah ditinggalkan sejak
abad ke-17, mengiringi unggulnya keyakinan bahwa jiwa telah hadir sejak saat pembuahan,
serta pembuktian ilmiah pada tahun 1827 mengenai keberadaan sel telur perempuan dan pada
tahun 1875 mengenai keterlibatan penyatuan sel gamet dari masing-masing orang tua dalam
pembuahan menjatuhkan spekulasi tentang suatu perubahan substansial yang tertunda.
Walaupun Decretum Gratiani, yang tetap menjadi dasar hukum kanon Katolik sampai
digantikan oleh Kitab Hukum Kanonik 1917, membedakan antara aborsi fase-awal dan fase-
akhir, pembedaan kanonik tersebut dihapuskan oleh bulla Effraenatam yang dikeluarkan Paus
Sikstus V pada tahun 28 Oktober 1588, dan bertahan selama tiga tahun setelah itu. Bulla
Effraenatam menetapkan beragam penalti terhadap segala bentuk aborsi tanpa membeda-
bedakannya. Dengan menyebut aborsi sebagai pembunuhan, dekret itu menyatakan bahwa
siapa saja yang melakukan aborsi janin, entah telah beroleh hidup atau belum, berbentuk atau
belum berbentuk (tam animati, quam etiam inanimati, formati, vel informis) perlu menerima
hukuman yang sama seperti "para pembunuh sesungguhnya yang benar-benar dan memang
melakukan pembunuhan" (veros homicidas, qui homicidium voluntarium actu, re ipsa
patraverint). Selain menyatakan hukuman-hukuman tersebut bagi para penduduk Negara
Gereja, tempat ia menjadi pemegang kewenangan sipil, Paus Sikstus juga menjatuhkan
hukuman rohani ekskomunikasi otomatis kepada para pelakunya (bagian 7). Penerusnya,
Paus Gregorius XIV, menyadari bahwa hukuman tersebut tidak menghasilkan dampak yang
diharapkan sehingga ia mencabutnya, memberlakukan hukuman tersebut sebatas pada aborsi
janin yang "berbentuk".Melalui bulla Apostolicae Sedis moderationi, Paus Pius IX pada
tahun 1869 mencabut kembali pengecualian terhadap janin 'yang belum beroleh hidup'
berkenaan dengan hukuman spiritual ekskomunikasi, menyatakan bahwa mereka yang
melakukan aborsi efektif terkena ekskomunikasi yang hanya dapat dilepaskan oleh para
uskup atau ordinaris. Sejak saat itu penalti ini dikenakan secara otomatis dengan
dilakukannya aborsi pada semua tahap kehamilan, yang bahkan sebelum saat itu memang
tidak pernah dipandang sebagai dosa ringan semata. Dalam hal lain hukum kanon Katolik
pada saat itu tidak mengalami perubahan, bahkan setelah tahun 1869, dengan
mempertahankan perbedaan antara aborsi janin yang "telah terbentuk" dan yang "belum
terbentuk". Sebagaimana diindikasikan di atas dalam kutipan dari Thomas Aquinas,
seseorang yang melakukan aborsi janin yang "telah beroleh hidup" dipandang "irregular",
yang berarti bahwa ia didiskualifikasi dari kesempatan untuk menerima ataupun
mempraktikkan Tahbisan. Paus Sikstus V memperluas penalti ini hingga mencakup aborsi
fase-awal (bulla Effraenatam bagian 2), tetapi Paus Gregorius XIV kembali membuat
pembatasan atasnya. Paus Pius IX tidak membuat keputusan dalam hal ini, sehingga penati
irregularitas masih terbatas pada aborsi fase-akhir hingga saat dibuatnya artikel "Aborsi"
dalam Catholic Encyclopedia 1907. Pada akhirnya Kitab Hukum Kanonik 1917 menghapus
pembedaan tersebut.
Pada Abad Pertengahan, Gereja mengutuk semua aborsi dan pada abad ke-14, seorang
Dominikan bernama Yohanes dari Napoli dilaporkan sebagai orang pertama yang
mengeluarkan pernyataan eksplisit bahwa jika tujuannya adalah menyelamatkan hidup sang
ibu, aborsi sebenarnya diizinkan, asalkan belum sampai fase "pemerolehan jiwa". Pandangan
ini mendapat dukungan maupun penolakan dari para teolog lainnya. Pada abad ke-16, kendati
Thomas Sanchez mendukung pendapat tersebut, Antoninus de Corduba membuat perbedaan
yang sejak saat itu diterima secara umum di antara para teolog Katolik, yaitu bahwa
pembunuhan janin secara langsung tidak dapat diterima, tetapi tindakan untuk
menyembuhkan sang ibu perlu dilakukan sekalipun akan secara tidak langsung
mengakibatkan kematian janin. Pada abad ke-17, ketika Francisco Torreblanca menyetujui
aborsi yang ditujukan sekadar untuk menyelamatkan nama baik seorang wanita, Biro Suci
(yang sekarang disebut Kongregasi Ajaran Iman), yang pada waktu itu dipimpin oleh Paus
Innosensius XI, mengutuk proposisi tersebut yang menyatakan bahwa "adalah sah melakukan
aborsi sebelum pemerolehan jiwa pada janin agar jangan seorang perempuan, yang didapati
hamil, dibunuh atau tercemar reputasi baiknya”.Terkadang dikatakan kalau Alfonsus Liguori
dari abad ke-18 berpendapat bahwa aborsi, meski secara umum salah secara moral, dapat
diterima dalam kondisi-kondisi seperti ketika kehidupan sang ibu berada dalam bahaya,
karena ketidakpastian mengenai kapan jiwa memasuki janin. Namun, ia jelas menyatakan
bahwa tidak pernah dibenarkan menggunakan suatu obat dengan tujuan membunuh janin,
walaupun diperbolehkan untuk memberikan seorang ibu berpenyakit ekstrem suatu
pengobatan yang hasil langsungnya adalah keselamatan hidup sang ibu, sekalipun secara
tidak langsung menyebabkan keluarnya janin. Liguori menyebutkan pembedaan antara janin
yang "hidup" dan "belum hidup", namun ia menjelaskan bahwa tidak ada kesepakatan
mengenai kapan jiwa "dimasukkan", di mana menurutnya banyak kalangan meyakini bahwa
hal itu terjadi pada saat pembuahan. Ia juga mengatakan bahwa Gereja berbaik hati mengikuti
opini 40-hari tersebut dengan menerapkan penalti irregularitas dan ekskomunikasi hanya bagi
mereka yang dengan sengaja berhasil melakukan aborsi janin "hidup".Pada tahun 1930, Paus
Pius XI tidak memperbolehkan perbuatan yang ia sebut "pembunuhan langsung orang yang
tidak bersalah" sebagai suatu cara untuk menyelamatkan ibunya. Dan Konsili Vatikan II
menyatakan: "Kehidupan harus dilindungi dengan kepedulian sepenuhnya dari saat
pembuahan: aborsi dan infantisida adalah kejahatan-kejahatan mengerikan."
Kehamilan ektopik (kehamilan yang terjadi di luar rahim) merupakan salah satu dari sedikit
kasus dimungkinkannya kematian embrio yang tak terelakkan, karena kasus ini dikategorikan
sebagai aborsi tidak langsung. Pandangan ini juga dikemukakan pada tahun 1953 oleh Paus
Pius XII dalam suatu sambutan kepada Asosiasi Urologi Italia.
Umat Katolik yang melakukan suatu aborsi terkena ekskomunikasi secara otomatis dan
langsung (latae sententiae). Itu berarti bahwa ekskomunikasi tersebut tidak perlu dinyatakan
atau dijatuhkan seperti halnya penalti ferendae sententiae ("masih harus diputuskan");
Hukum kanon menyatakan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu "pelaku pelanggaran tidak
terkena penalti latae sententiae", dan sebagai gantinya akan diberikan suatu penitensi atau
silih; di antara 10 kondisi yang tercantum dalam hukum kanon terdapat klausul delik yang
dilakukan oleh orang yang belum berusia 16 tahun, orang yang bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya tidak mengetahui adanya penalti tersebut, dan "orang yang terpaksa bertindak
karena ketakutan berat, kendati hanya relatif berat, ataupun karena kebutuhan mendesak atau
kesusahan berat".
Kitab suci
Kitab Suci perjanjian Lama dengan keras melarang orang melakukan pembunuhan
“Jangan membunuh” (Kel. 20:13; Ul. 5:17). Ini berarti kehidupan sangat dihormati
dan perlu dijaga agar tidak mengalami kematian baik secara alami maupun campur
tangan pihak lain. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama tidak disebutkan secara
langsung kata “aborsi”. Kita hanya melihat teks-teks Kitab suci yang sering
digunakan sebagai dasar argumen bila berbicara soal aborsi. Semua orang setuju
bahwa membunuh itu tidak baik dan tidak boleh. Tetapi persoalan yang muncul ialah
bagaimana dengan aborsi? Gereja Katolik melihat bahwa aborsi adalah perbuatan
terkutuk, sebab janin adalah manusia. Aborsi selalu digolongkan sebagai suatu aksi
yang terkutuk sehingga pembunuhannya masuk klasifikasi pembunuhan manusia.[13]
Apalagi pembunuhan itu dilakukan secara sengaja dengan berbagai motif misalnya
ekonomi, dll. Jadi, pembunuhan janin adalah pembunuhan manusia yang adalah
Gambar Allah sendiri. Dalam rahim ibu Allah berdiam. Ini sesuai dengan apa yang
tertulis dalam Kitab Suci, “ Sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya
sendiri” (Kej. 9:6b). Maka, barang siapa melakukan tindakan yang merugikan orang
lain terutama aborsi adalah melawan hukum Allah dan dari padanya akan dituntut
nyawa juga. Hidup manusia itu keramat dan tidak dapat diganggu gugat. Hanya Dia
yang boleh mengambil.[14]
Dalam kitab Suci Perjanjian Baru sebagai dasar kehidupan umat Kristiani atau
disebut Injil Kehidupan merupakan inti amanat Yesus. Kelahiran Yesus merupakan
kabar gembira. Kabar gembira ini adalah dasar untuk pemenuhan kegembiraan pada
tiap anak yang lahir di dunia Perjanjian baru pun tidak berbicara secara langsung
mengenai aborsi. Larangan melakukan aborsi adalah konsekuensi langsung dari
permenungan akan harkat dan martabat manusia yang selalu diperjuangkan Yesus
dalam ajaran-Nya dan yang telah diwartakan oleh para murid-Nya. Dapat kita lihat
dalam Kitab Suci bahwa kehamilan tidak pernah menjadi sebuah masalah atau beban.
Ini terlihat pada Injil Lukas 1: 46 “Jiwaku memuliakan Tuhan”. Anak selalu
dimengerti sebagai anugerah dari pencipta kehidupan yakni Allah sendiri. Ketika
mulai ada kehidupan dalam rahim ibu, di sanalah terletak karya penciptaan Allah.
Maka, keluarga selalu bahagia atas kehamilan dan kelahiran anak. Manusia
mempunyai keistimewaan karena berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah dalam
prokreasi yakni, melangsungkan kehamilan dan kelahiran anak. Manusia adalah
“pembantu” Allah dalam menciptakan manusia baru. Maka, penghentian paksa atas
kehamilan (aborsi) bukan hanya berarti berbuat kekejaman terhadap sesama ciptaan
tetapi juga merusak karya ciptaan Allah seperti dikatakan oleh rasul Paulus dalam
suratnya kepada jemaat di Korintus: “Yang daripadanya berasal segala sesuatu dan
yang untuk Dia kita hidup” (1Kor. 8:6). Membunuh anak adalah perbuatan yang
melanggar perintah Allah karena bayi adalah manusia lemah tak berdaya. Ia tidak
mampu membela diri. Allah selalu berpihak pada orang lemah dan tertindas. Maka, Ia
tidak menghendaki kematiannya “Bulu yang patah terkulai tidak akan diputuskan-
Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya” (Mat. 12:20).
Keberpihakan Allah pada orang lemah juga menjadi sikap Yesus yang bisa kita
temukan dalam perikop Kitab Suci, “Barang siapa menyesatkan salah satu dari anak
kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada
lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut” (Mrk. 9:42). Mengenai penyesatan terhadap
anak kecil, Yesus memberi hukuman yang sangat berat dan Dia tidak membicarakan
hal yang sama bagi yang menyesatkan orang dewasa. Mengapa demikian? Karena
orang dewasa mempunyai kemampuan untuk membela diri. Oleh karena itu,
membunuhan orang yang paling lemah adalah berlawanan dengan sikap dan kehendak
Allah yang ingin melindungi orang yang lemah tak berdaya Warta Injil diterima oleh
Gereja penuh kasih dan harus diwartakan dengan kesetiaan penuh keberanian sebagai
warta kebaikan kepada umat manusia pada tiap zaman dan pada tiap kebudayaan.
Warta itu adalah amanat dari Yesus bahwa manusia mempunyai nilai pribadi yang
tiada bandingnya. Hidup manusia itu keramat karena sejak awal mulanya melibatkan
”tindakan kreativitas Allah” dan untuk selamanya tetap ada dalam naungan Sang
Pencipta, satu-satunya tujuannya. Hanya Dialah awal dan akhir tujuan hidup.
Dalam Gaudium Et spes ditegaskan bahwa dalam situasi apapun aborsi adalah
kejahatan yang mengerikan. Apalagi pembunuhan bermotif banyaknya anak, ekonomi
dan ketidakharmonisan keluarga. Pembunuhan anak melanggar hukum ilahi. Sebab
Allah, Tuhan kehidupan telah mempercayakan kepada manusia tugas luhur
memelihara kehidupan. Dengan demikian suami istri harus hormat terhadap
kehidupan manusia melampaui hal-hal yang pada derajat-derajat kehidupan yang
lebih rendah. Maka, sejak pembuahan kehidupan harus dilindungi dengan perawatan
yang baik karena anak adalah ciptaan Allah menurut gambar-Nya.
Kongregasi ajaran iman dalam berbicara mengenai aborsi merujuk pada Kitab
Suci. “Allah tidak menciptakan kematian dan tidak bergembira atas kebinasaan apa
yang hidup” (Keb. 1: 13). “Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang
hidup” (Mat. 22:32). Perikop di atas menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan
manusia dan yang dikehendaki-Nya adalah kehidupan. Ia menciptakan manusia
menurut gambar-Nya agar manusia menjadi mahkota dunia. Maka, aborsi adalah
melawan kehendak Allah.
Ensiklik
Para pemimpin Gereja tidak berdiam diri melihat kasus aborsi yang dilakukan
oleh keluarga-keluarga kristiani. Mereka sebagai pemimpin tertinggi Gereja dan
pengajar ajaran moral yang benar sangat prihatin atas masalah aborsi. Aborsi menjadi
masalah yang cukup serius yang harus dibahas tuntas karena aborsi menyangkut
pembunuhan dan ini melawan ajaran Gereja yang tertuang dalam Kitab Suci..
“Pada saat suatu hukum positif merampas satu kategori manusia dari perlindungan
yang sepatutnya diberikan kepada mereka oleh undang-undang sipil, negara menyangkal
kesetaraan semua orang di hadapan hukum. Ketika negara tidak menempatkan
kekuasaannya untuk melayani hak-hak setiap warga, dan terutama mereka yang lebih
lemah, maka landasan-landasan utama suatu negara yang berdasarkan hukum terkikis
secara perlahan. ... Sebagai konsekuensi dari penghormatan dan perlindungan yang harus
dijamin bagi anak yang tidak terlahirkan sejak saat pembuahannya, hukum harus
memberikan sanksi-sanksi pidana untuk setiap pelanggaran yang disengaja terhadap hak-
hak sang anak."
Karena Gereja Katolik memandang aborsi langsung adalah sama sekali salah,
maka Gereja Katolik merasa wajib untuk mengurangi penerimaannya oleh masyarakat
dan dalam undang-undang sipil. Meski umat Katolik dilarang mendukung aborsi
langsung dalam bidang apapun, menurut Frank K. Flinn, diakui juga bahwa umat Katolik
dapat menerima kompromi-kompromi yang, ketika membiarkan terjadinya aborsi
langsung, menurunkan prevalensi dengan cara-cara seperti melarang beberapa bentuknya
atau menetapkan berbagai solusi terhadap kondisi-kondisi yang menimbulkan
peningkatan prevalensi. Flinn mengatakan bahwa dukungan dapat diberikan kepada suatu
platform politik yang mengandung sebuah klausul yang berpihak pada aborsi tetapi juga
berisi unsur-unsur yang secara aktual mengurangi jumlah aborsi, daripada suatu platform
anti-aborsi yang mengarah pada peningkatan jumlahnya.
Pada tahun 2004, Joseph Kardinal Ratzinger, Prefek Kongregasi Ajaran Iman,
menyatakan: "Seorang Katolik bersalah saat bekerja sama secara formal dalam kejahatan,
dan sangat tidak layak hadir untuk menerima Komuni Kudus, apabila ia dengan sengaja
memilih seorang kandidat justru karena sikap permisif sang kandidat dalam hal aborsi
dan/atau eutanasia. Ketika seorang Katolik tidak menyetujui sikap kandidat yang
mendukung aborsi dan/atau eutanasia, tetapi memilih kandidat itu karena alasan-alasan
lain, maka hal itu dianggap kerja sama material yang tak terkait, yang dapat
diperkenankan dengan adanya alasan-alasan proporsional."
Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari
tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Frekuensi terjadinya
aborsi sangat sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa
dilaporkan, kecuali jika terjadi komplikasi sehingga perlu perawatan di Rumah
Sakit. Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan
ibu.WHO memperkirakan 10-50 persen kematian ibu disebabkan oleh aborsi (tergantung
kondisi masing-masing negara). Diperkirakan di seluruh dunia, setiap tahun dilakukan 20
juta aborsi tidak aman, 70.000 wanita meninggal akibat aborsi tidak aman, dan 1 dari 8
kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Di Asia tenggara, WHO memperkirakan
4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di
Indonesia. Risiko kematian akibat aborsi tidak aman di wilayah Asia diperkirakan antara
1 dari 250, negara maju hanya 1 dari 3700. Angka tersebut memberikan gambaran bahwa
masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar.
Terlepas dari indikasi dalam hukum kanon bahwa ekskomunikasi otomatis tidak
berlaku pada wanita yang melakukan aborsi karena rasa takut yang berat atau karena
kesusahan berat, Gereja Katolik, di luar pembedaan tersebut, menjamin dimungkinkannya
pengampunan bagi para wanita yang telah melakukan aborsi. Paus Yohanes Paulus II
menuliskan:
Sekarang saya ingin menyampaikan suatu perkataan khusus bagi para wanita yang
telah melakukan aborsi. Gereja menyadari adanya banyak faktor yang mungkin telah
mempengaruhi keputusan Anda, dan ia tidak ragu bahwa dalam banyak kasus hal itu
mungkin suatu keputusan yang menyakitkan dan bahkan sangat menggelisahkan. Luka di
dalam hati Anda mungkin belum tersembuhkan. Tentu saja apa yang telah terjadi adalah
dan tetap sangat keliru. Namun, jangan menyerah pada keputusasaan dan jangan
kehilangan harapan. Berusahalah untuk lebih memahami apa yang telah terjadi dan
hadapilah dengan jujur. Apabila Anda belum melakukannya, serahkanlah diri Anda pada
kerendahan hati dan percayalah pada penyesalan. Bapa yang penuh belas kasihan siap
memberikan Anda pengampunan dan damai sejahtera-Nya dalam Sakramen Rekonsiliasi.
Dalam kesempatan Yubileum Luar Biasa Kerahiman pada tahun 2015, Paus
Fransiskus mengumumkan bahwa semua imam (selama tahun Yubileum – yang berakhir
pada tanggal 20 November 2016), melalui Sakramen Tobat, diizinkan untuk melepaskan
sanksi ekskomunikasi atas tindakan aborsi, yang sebelumnya wewenang itu hanya
dikhususkan bagi para uskup dan imam tertentu yang diberi mandat tersebut oleh
uskupnya. Kebijakan ini dijadikan permanen melalui sebuah surat apostolik berjudul
Misericordia et misera (Kerahiman dan Penderitaan), yang dikeluarkan pada tanggal 21
November 2016.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan