Anda di halaman 1dari 26

ABORSI DALAM PANDANGAN GEREJA KATOLIK

NAMA : JESICA AVINDRYANI PRATAMA


UDIN
NIM : 1909010022

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha esa karena berkat rahmat dan karunianya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ABORSI DALAM
PANDANGAN GEREJA” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah Pendidikan agama katolik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang aborsi bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan teima kasih kepada kepada semua pihak yang telah membantu
saya dalam mengerjakan makalah ini sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Kupang, 15 September 2019


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari
tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Frekuensi terjadinya
aborsi sangat sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi
tanpa dilaporkan, kecuali jika terjadi komplikasi sehingga perlu perawatan di Rumah
Sakit. Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan
ibu. WHO memperkirakan 10-50 persen kematian ibu disebabkan oleh aborsi.
Diperkirakan di seluruh dunia, setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi , 70.000 wanita
meninggal akibat aborsi, dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi. Di Asia
tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di antaranya
750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia. Risiko kematian akibat aborsi di wilayah
Asia diperkirakan antara 1 dari 250, negara maju hanya 1 dari 3700. Angka tersebut
memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar.
Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak
pada kesakitan dan kematian ibu. Akan tetapi, kematian ibu yang disebabkan
komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian, tetapi dilaporkan
sebagai pendarahan atau sepsis. Hal itu terjadi karena hingga saat ini, aborsi masih
merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di satu pihak, aborsi dianggap ilegal
dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian
aborsi.Realitas di atas semakin berkembang ketika kemajuan teknologi medis memberi
sumbangan yang berarti bagi cara/proses tindakan tersebut. Dengan berbagai
kemudahan, ditawarkan aneka cara praktis cepat dan cekatan tanpa melihat aspek-aspek
pertimbangan moral dari cara tersebut. Atas dasar itu, wacana mengenai aborsi dalam
Gereja Katolik semakin penting. Ada desakan sangat kuat dari berbagai pihak agar
Gereja Katolik mengambil bagian dalam menyikapi maslah aborsi. Desakan terjadi
karena Gereja Katolik sejak awal sampai saat ini tetap mempertahankan pandangannya
bahwa Aborsi harus dilarang. Karena tidak sesuai dengan kehendak Allah di mana
Allah menghendaki kehidupan bukan kematian.
Dalam berita-berita televisi, sering disiarkan kasus-kasus aborsi yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan kurang kesadaran akan
penghargaan terhadap nilai-nilai kehidupan dalam upaya memelihara kehidupan dan
ciptaan Tuhan. Tindakan aborsi merupakan tindakan yang sangat kejam terhadap orang
yang sangat lemah, tindakan tidak bermoral yang membuat dan menyebabkan kematian
orang lain. Aborsi yang disengaja atau dengan campur tangan manusia, merupakan
perbuatan yang melanggar hukum, etika dan moral. Banyak alasan mengapa orang
melakukan aborsi, salah satunya ialah alasan ekonomi. Faktanya bahwa aborsi bukan
saja dilakukan oleh kalangan anak muda, tetapi justru lebih banyak dilakukan oleh ibu-
ibu yang mengalami masalah ekonomi dan kegagalan KB. Situasi bingung membuat
orang tidak dapat berpikir jernih dan tidak dapat mengambil keputusan dengan lebih
baik, akhirnya jalan satu-satunya adalah terpaksa melakukan aborsi tanpa mau tahu
akibat dan resiko-resiko dari tindakannya. Rendahnya tingkat kesadaran orang untuk
menghargai kehidupan, sehingga janin yang masih dalam rahim tidak diakui sebagai
manusia yang harus dirawat dan dipelihara. Gereja Katolik sangat menghargai
kehidupan, hal ini termuat dalam Dokumen Gerejawi Familiaris Consortio art. 30 yang
menyatakan bahwa, manusia itu adalah Gambar Allah yang adalah cinta kasih,
Keputusan melakukan aborsi atau tidak, merupakan pilihan yang tidak mudah, apalagi
dalam kasus-kasus tertentu, misalnya kasus pemerkosaan. Anak yang dikandung akibat
perkosaan sering dianggap sebagai aib bagi keluarga dan menimbulkan trauma yang
berkepanjangan bagi korban perkosaan tersebut. Namun aborsi bukanlah jalan terbaik
untuk menghilangkan pengalaman tersebut dan rasa malu yang ditanggung oleh korban.
Dalam situasi seperti ini memang peran moral perlu dipertanyakan. Orang yang
menjadi korban pemerkosaan perlu bimbingan dan arahan dari orang lain. Situasi
bingung sering membuat orang kehilangan kendali dan akal sehat, sehingga seringkali
orang yang hamil tanpa diinginkan terpaksa melakukan aborsi, karena bagi pelakunya
aborsi merupakan jalan keluar satu-satunya yang memang terpaksa harus dilakukan,
tidak mudah menerima situasi dimana orang tidak menginginkan hal-hal yang buruk
terjadi dalam dirinya. Hidup apa pun bentuknya perlu disyukuri, dijaga, dirawat dan
dipelihara karena seburuk apa pun hidup, sehat atau sakit, cacat atau normal, semua itu
adalah anugerah terbesar yang diberikan oleh Sang Pencipta kehidupan. Sebagai
manusia yang diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangan hendaklah
memelihara dan mensyukuri kehidupan yang dipercayakan kepadanya. Para kaum
muda (mahasiswi) merupakan pribadi yang memiliki rasa penasaran yang begitu tinggi
sehingga selalu ingin mencoba hal-hal yang bersifat baru dan kadang-kadang tanpa
memikirkan akibatnya bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain. Tidak jarang dijumpai
kaum muda yang terjerumus dalam permasalahan-permasalahan yang tidak diinginkan
misalnya, narkotika, tawuran, perkelahian dan seks bebas. Budaya yang begitu bebas
dan pengaruh arus zaman yang selalu menggoda tersebut, terkadang membuat kaum
muda kurang menyadari tugas dan tanggung jawab mereka, misalnya sebagai seorang
pelajar/mahasiswi sebagai warga masyarakat dan sebagai warga Gereja.

Kondisi aborsi di Indonesia menyatakan bahwa aborsi diatur oleh UU No.1


Tahun 1946, tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ”dengan
alasan apa pun aborsi adalah tindakan melanggar hukum”, sampai saat ini masih
diterapkan. UU No. 7 Tahun 1984, tentang pengesahan konvensi penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan. UU No. 23 Tahun 1992, tentang kesehatan:
”dalam kondisi tertentu bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi)”, sampai saat
ini masih diterapkan Sementara dalam pasal 15 (1) UU Kesehatan Nomor 23/1992
disebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Sedangkan pada ayat
2 tidak disebutkan bentuk dari tindakan medis tertentu itu, hanya disebutkan syarat
untuk melakukan tindakan medis tertentu. Oleh karena itu penulis membuat makalah
ini dengan judul “Aborsi Dalam Pandangan Gereja Katolik”.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa Definisi Aborsi ?
2. Apa Jenis-jenis Aborsi ?
3. Apa alasan melakukan aborsi?
4. Bagaimana Resiko. Aborsi ?
5. Bagaimana Aborsi dan UU yang mengaturnya ?
6. Bagaimana pandangan gereja tentang aborsi ?

1.3 . Tujuan masalah


1. Untuk mengetahui definisi Aborsi
2. Untuk mengetahui jenis- jenis aborsi
3. Untuk mengetahui alasan seseorang melakukan Aborsi
4. Untuk mengetahui bagaimana akibat melakukan aborsi
5. Untuk mengetahui undang- undang yang mengatur tentang Aborsi
6. Untuk mengetahui pandangan gereja tentang Aborsi
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Aborsi

Aborsi berasal dari bahasa latin Abortio ialah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus
secara prematur pada umur dimana janin itu belum bisa hidup di luar kandungan. Secara medis
janin bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Secara medis aborsi berarti
pengeluaran kandungan sebelum berumur 24 minggu sehingga mengakibatkan kematian;
sedangkan pengeluaran janin sesudah berumur 24 minggu dan mati tidak disebut aborsi tetapi
pembunuhan bayi (infanticide). Sedangkan menurut pandangan moral dan hukum, aborsi
berarti pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang
mengakibatkan kematian. Aborsi adalah berakhirnya kehamilan dapat terjadi secara spontan
akibat kelainan fisik wanita atau akibat penyakit biomedis internal atau mungkin disengaja
melalui campur tangan manusia. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meminum obat-obatan
tertentu dengan tujuan mengakhiri kehamilan atau mengunjungi dokter dengan tujuan meminta
pertolongannya untuk mengakhiri kehamilan, baik mengosongkan isi rahim melalui proses
penyedotan atau dengan melebarkan leher rahim dan menguret isinya. Tetapi bila kehamilan
telah berada dalam tahap lanjut, maka digunakan metode lain. Contohnya, cairan amniotik,
cairan ketuban yang berfungsi sebagai alat untuk menggugurkan kandungannya.

Setiap aborsi spontan yang terjadi karena faktor-faktor biomedis internal disebut
sebagai keguguran yang demikian ini tidak menjadi kotroversi. Etika, agama, hukum
mempersoalkan aborsi yang terjadi akibat campur tangan manusia secara langsung, apakah
dengan cara menyakiti diri atau cara lain. Semua ini memiliki implikasi agama, etika dan
hukum. Karena itu, dari definisi di atas harus dipahami bahwa aborsi sebenarnya adalah setiap
tindakan yang diambil dengan tujuan meniadakan janin dari rahim wanita sebelum akhir dari
masa alamiah kehamilan. Dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian
kehamilan setelah tertanamnya telur, atau sel telur yang diproduksi oleh wanita (ovum), yang
telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 8 minggu sampai
kelahirannya. Di Indonesia, belum ada batasan resmi mengenai aborsi. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia (Prof. Dr. JS. Badudu dan Prof. Sutan Mohammad Zain, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1996) abortus didefinisikan sebagai melakukan pengguguran (dengan
sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu).

Untuk lebih memperjelas maka berikut ini akan saya kemukakan defenisi para ahli
tentang aborsi, yaitu:

 Eastman: Aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus


belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila
fetus itu beratnya terletak antara 400 – 1000 gr atau kehamilan kurang dari 28
minggu
 Jeffcoat:Aborsi yaitu pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28 minggu,
yaitu fetus belum viable by law
 Holmer: Aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu ke-16 dimana
plasentasi belum selesai

Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:


 Aborsi spontan / alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan
disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma,
 Aborsi buatan / sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia
kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan
disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter,
bidan atau dukun beranak).
 Aborsi terapeutik / medis adalah pengguguran kandungan buatan yang
dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil
tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang
parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang
dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan
tidak tergesa-gesa
2.2. Jenis-jenis Aborsi
Secara umum, aborsi dapat dibagi dalam dua macam, yaitu pengguguran spontan
(spontanueous aborsi) dan pengguguran buatan atau sengaja (aborsi provocatus yang terdiri
dari:
 Aborsi/ Pengguguran kandungan Procured Abortion/ Aborsi Prvocatus/
Induced Abortion, yaitu penghentian hasil kehamilan dari rahim sebelum janin
bisa hidup diluar kandungan.
 Miscarringe/ Keguguran, yaitu terhentinya kehamilan sebelum bayi hidup di
luar kandungan (viabilty).
 Aborsi Therapeutuc/ Medicalis, adalah penghentian kehamilan dengan indikasi
medis untuk menyelamatkan nyawa ibu, atau tubuhnya yang tidak bisa
dikembalikan.
 Aborsi Kriminalis, adalah penghentian kehamilan sebelum janin bisa hidup di
luar kandungan dengan alasan-alasan lain, selain therapeutik, dan dilarang oleh
hukum.
 Aborsi Eugenetik, adalah penghentian kehamilan untuk meghindari kelahiran
bayi yang cacat atau bayi yang mempunyai penyakit ginetis. Eugenisme adalah
ideologi yang diterapkan untuk mendapatkan keturunan hanya yang unggul saja
 Aborsi langsung-tak langsung, adalah tindakan (intervensi medis) yang
tujuannya secara langsung ingin membunuh janin yang ada dalam rahim sang
ibu. Sedangkan aborsi tak langsung ialah suatu tindakan (intervensi medis)
yang mengakibatkan aborsi, meskipun aborsinya sendiri tidak dimaksudkan
dan bukan jadi tujuan dalam tindakan itu.
 Selective Abortion. Adalah penghentian kehamilan karena janin yang dikandu
ng tidak memenuhi kriteria yang diiginkan. Aborsi ini banyak dilakukan
wanita yang mengadakan ”Pre natal diagnosis” yakni diagnosis janin ketika ia
masih ada di dalam kandungan.
 Embryo reduction(pengurangan embryo), pengguguran janin dengan menyisa
hkan satu atau dua janin saja, karena dikhawatirkan mengalami hambatan
perkembangan, atau bahkan tidak sehat perkembanganya.
 Partial Birth Abortion, merupakan istilah politis/hukum yang dalam istilah m
edis dikenal dengan nama dilation and extaction.
Cara ini pertama-tama adalah dengan cara memberikan obat-
obatan kepada wanita hamil, tujuan agar leher rahim terbuka secara prematur.
Tindakan selanjutnya adalah menggunakan alat khusus, dokter memutar posisi
bayi, sehingga yang keluar lebih dahulu adalah kakinya. Lalu bayi ditarik
ke luar, tetapi tidak seluruhnya, agar kepala bayi tersebut tetap berada dalam t
ubuh ibunya. Ketika di dalam itulah dokter menusuk kepala bayi dengan alat y
ang tajam. Dan menghisap otak bayinya sehingga bayi mati. Sesudah itu baru
disedot keluar.

2.3. Alasan Seseorang Melakukan Aborsi

 Alasan Medis
Adakalanya kelainan pada janin yang dapat membahayakan jiwa si ibu jika ia
terus mempertahankan kehamilannya, misalnya penyakit jantung.. Jika hal itu terjadi
dokter dihadapkan kepada pilihan menolong jiwa si ibu dengan menggugurkan
kandungan ataukah membiarkan janin tumbuh menjadi bayi, ibu meninggal. Adapun
alasan-alasan menggugurkan kandungan karena alasan medis ialah :
 untuk menyelamatkan jiwa si ibu/wanita
 untuk menjaga kesehatan ibu/wanita
 untuk mencegah gangguan yang berat dan tetap terhadap kesehatan
wanita
 untuk mencegah bahaya terhadap kesehatan fisik atau mental
wanita atau salah satu anak dalam keluarga
 untuk mencegah bahaya terhadap jiwa atau kesehatan wanita
 untuk mencegah kelahiran dengan fisik atau mental yang berat
dari alasan-alasalasan tersebut di atas banyak Negara-negara yang melegalisasinnya,
antara lain Negara Prancis, Swiss, Kanada, Pakistan, dan Thailand, sebagai alasan
untuk memperbolehkan aborsi .
 Hamil Karena Perkosaan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, industrialisasi, modernisasi
disertai globalisasi, telah menyebabkan dampak negatif dalam kehidupan manusia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri sebenarnya bebas nilai (tidak bernilai buru
k atau baik). Yang membuat menjadi berakibat buruk adalah manusia itu sendiri
seperti media cetak dan elektronik. Kedua media itu dapat bernilai baik bila
digunakan untuk maksud- maksud yang baik pula. Namun akan menjadi buruk jika
digunakan untuk meyebarluaskan pornografi. Majunya teknologi dan ilmu pengetahuan
baik dibidang komunikasi transformasi dan telematika ada membawa dampak negatif
bagi kehidupan masyarakat, seperti televisi, internet dan lain sebagainya. Kemajuan
di bidang komunikasi dan transformasi kadagkala banyak disalahgunakan oleh
masyarakat terutama dikalangan anak muda sehingga banyak memberikan dampak
yang sangat buruk di dalam kehidupan bermasyarakat. Akibat dampak negatip dari
semuanya itu adalah meningkatnya kejahatan dikalangan masyarakat terutama para re
maja, terutama kejahatan seks.
Bila hal ini berlangsung terus dikwatirkan rusaknya moral pemuda kita yang n
antinya diharapakan sebagai generasi penerus perjuangan bangsa. Kita tidak heran
lagi mendengar berita-berita tentang perkosaan akhir akhir ini terhadap seorang
wanita. Diantara kasus-kasus perkosaan yang sering terjadi seringkali yang
menjadi korban adalah gadis dibawah umur. Ada lagi juga dilakukan oleh ayah terhad
ap anak kandungnya sendiri. Semua itu mengajak kita untuk senantiasa waspada dan
mawas diri. Apabila perbuatan- perbuatan tersebut diatas menyebabkan hamilnya
wanita yang bersangkutan bagaimana bayi dalam kandungan tersebut?
Akankah diminta pertanggung jawaban dari orang yang melakukan perbuatan itu? mu
ngkin, maka jalan yang ditempuh adalah melakukan aborsi. Yang menjadi pertanyaan
lain adalah haruskah seorang yang menjadi korban perkosaan yang hamil melakukan
aborsi terhadap janin yang dikandungnya. Hal tersebut kembali kepada korban
tersebut, untuk itu sebelum mengambil sikap untuk menggugurkan kandungan korba
n perlu mendapatkanperhatian yang lebih, terutama dari konsultan ataupun dukungan
moril dari keluarga. Karena aborsi diharapakan dapat menjadi jalan terakhir dari perm
asalahan tersebut. Karena bagaimanapun bayi yang dikandung akibat perkosaan tidak
bersalah.
 Bayi yang dikandung cacat
Kemajuan teknologi kedokteran telah memungkinkan manusia mengetahui janin s
ejak masih dalam kandungan. Bukan saja tentang jenis kelaminnya saja, tetapi juga te
ntang apakah janin tersebut menderita cacat atau tidak. Salah satu cacat berat yang da
pat dideteksi sejak dini adalah kelainan fisik atau mental yang disebut sebagi sindrom
down.
Pada kelainan ini, selain terdapat kelainan fisik yang berat, juga terdapat
kelainan perkembangan mental yang sangat terlambat (idiot). Dimana anak tersebut
jika lahir kedunia akan selalu tergantung pada orang lain. Selain sindroma Down,
adanya kepala tidak berkembang (anensefali) atau cairan otak tersumbat
(hidrosefalus) juga dapat dideteksi sejak janin masih di dalam kandungan. Dalam
keadaan seperti ini, dokter tidak dapat mengelakkan diri dari keharusan
memberitahukan hal itu kepada orangtuanya, agar mereka siap mental menghadapi
serta dapat menentukan rencana kedepan. Ada kemungkinan pasangan orangtua itu
lebih memilih untuk mengugurkan kandungannya

 Sosial ekonomi
Tidak dapat kita pungkiri kebutuhan manusia semakin lama semakin
meningkat. Sedangkan untuk memuaskan kebutuhan tersebut kadangkala terdapat
banyak keterbatasan. Berdasarkan survey yang telah dilakukan maka salah satu
penyebab aborsi adalah karena kemiskinan, dimana seseorang melakukan aborsi
karena tidak sanggup untuk membiayai kehidupan anak tersebut kelak, sehingga jalan
yang diambil adalah dengan melakukan aborsi.
 Hamil diluar nikah
Kemajaun zaman yang terus berkembang pada saat ini membuat pergaulan
diantara masyarakat terutama anak muda semakin tidak terkontrol. Perlakuan dan
tingkah negatip yang dilarang dalam norma-norma dalam masyarakat pun menjadi
tren dikalangan anak muda saat ini. Salah satunya adalah seks bebas diantara anak
muda yang nantinya akan menyebabkan kehamilan diluar nikah. Salah satu jalan yang
ditempuh ketika seseorang wanita hamil diluar nikah adalah aborsi. Aborsi
dilakukan karena tidak adanya kesiapan untuk mempunyai anak dan rasa malu kepada
masyarakat karena hamil diluar nikah.

2.4 Akibat Aborsi


Berikut ini resiko yang terjadi jika melakukan aborsi khususnya remaja:
 Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
 Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
 Sobeknya rahim (Uterine Perforation)
 Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya.
 Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
 Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
 Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
 Kanker hati (Liver Cancer)
 Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya.
 Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)
 Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)
 Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
 Infeksi alat reproduksi karena melakukan kuretase (secara medis) yang
dilakukan secara tak steril. Hal ini membuat remaja mengalami kemandulan
dikemudian hari setelah menikah.
 Pendarahan sehingga remaja dapat mengalami shock akibat pendarahan dan
gangguan neurologist. Selain itu pendarahan juga dapat mengakibatkan
kematian ibu maupun anak atau keduanya.
 Resiko terjadinya reptur uterus atau robeknya rahim lebih besar dan
menipisnya dinding rahim akibat kuretase. Kemandulan oleh karena robeknya
rahim, resiko infeksi, resiko shock sampai resiko kematian ibu dan anak yang
dikandungnya.
 Terjadinya fistula genital traumatis adalah suatu saluran atau hubungan antara
genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan yang secara normal tidak
ada.

2.5. Bagaimana Aborsi dan UU yang Mengaturnya


Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, baik teknologi maupun hukum sampai saat
ini, para dokter kini harus berhadapan dengan adanya hak otonomi pasien. Dalam hak
otonomi ini, pasien memiliki hak dalam menentukan sendiri tindakan apa yang hendak
dilakukan dokter terhadap dirinya, maupun memiliki hak dalam menolaknya. Sedangkan jika
tidak puas, maka pasien akan berupaya untuk menuntut ganti rugi atas dasar kelalaian
(malapraktek) yang dilakukan dokter tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
aborsi adalah pengguguran kandungan. Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan
aborsi berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU
Kesehatan”).Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan hanya dalam 2
kondisi berikut:

1. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau
2. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.

Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun
HANYA DAPAT dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan
diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang. Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal
diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi;

“setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.”

Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang
dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja
melakukannya.

Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal juga diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana(“KUHP”). Ketentuannya antara lain sebagai berikut:

Pasal 299

 Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati,
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya
dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
 Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan
perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan
atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
 Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka
dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 347

Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang


wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 348

Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang


wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.

Pasal 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.

Pada praktiknya, bila ada dokter yang melakukan aborsi, maka masyarakat dapat
melaporkan dokter tersebut ke kepolisian untuk diselidiki. Selanjutnya, bila memang ada bukti
yang cukup dokter tersebut dengan sengaja telah melakukan aborsi ilegal terhadap pasien(-
pasien)nya, maka proses pidana akan dilanjutkan oleh penyidik dan jaksa sebelum melalui
proses di pengadilan.

2.6. Pandangan Gereja Tentang Aborsi


a. Pandangan Gereja pada zaman dahulu
Gereja Katolik menentang segala bentuk prosedur aborsi atau pengguguran
kandungan yang tujuannya adalah untuk menghancurkan embrio, blastosis, zigot atau janin
(fetus), karena berpegang pada keyakinan bahwa "kehidupan manusia harus dihormati dan
dilindungi secara mutlak sejak saat pembuahannya. Sejak saat pertama keberadaannya,
seorang manusia insani harus diakui hak-haknya sebagai seorang pribadi, di antaranya adalah
hak untuk hidup yang tidak dapat diganggu gugat yang dimiliki setiap makhluk tak bersalah.
Namun, Gereja Katolik juga mengakui bahwa tindakan-tindakan tertentu yang secara tidak
langsung mengakibatkan kematian janin dapat dibenarkan secara moral, seperti ketika tujuan
langsung tindakannya adalah pengangkatan rahim dengan sel kanker. Selain mengajarkan
bahwa aborsi adalah tidak bermoral, Gereja Katolik juga kerap mengeluarkan pernyataan-
pernyataan publik dan melakukan tindakan-tindakan untuk menentang legalitasnya.
Menurut Penghormatan bagi Kehidupan Manusia yang Belum Terlahir: Ajaran
Tetap Gereja, sebuah dokumen yang dirilis oleh Komite Aktivitas Pro-Kehidupan Konferensi
Uskup Katolik Amerika Serikat, Gereja Katolik telah mengutuk "abortus procurato" sebagai
perbuatan amoral sejak abad ke-1. Karya tulis Kristen awal yang menentang aborsi misalnya
Didache, Surat Barnabas, Apokalipsis Petrus, serta karya-karya penulis awal seperti
Tertulianus, Athenagoras dari Athena, Klemens dari Aleksandria, dan Basilius Agung.
Undang-undang Gereja yang paling awal tidak membedakan antara janin "berbentuk" dan
"belum berbentuk". Pada abad ke-4 dan ke-5, sejumlah penulis seperti Gregorius dari Nyssa
serta Maximus sang Pengaku Iman menyatakan bahwa kehidupan manusia telah dimulai
sejak saat pembuahan, beberapa penulis seperti Laktansius mengikuti pandangan Aristoteles
menyatakan bahwa jiwa manusia "dimasukkan" dalam periode empat puluh hari atau lebih,
dan beberapa penulis seperti Hieronimus serta Agustinus dari Hippo menyerahkan misteri
waktu "pemasukan" tersebut kepada Allah. Agustinus dari Hippo dengan gigih mengutuk
praktik aborsi langsung yang disengaja sebagai suatu kejahatan, dalam tahap kehamilan
apapun, kendati ia menerima perbedaan antara janin "berbentuk" dan "belum berbentuk"
yang disebutkan dalam Keluaran 21:22-23 terjemahan Septuaginta, serta tidak
mengklasifikasikan aborsi janin "belum berbentuk" sebagai pembunuhan karena ia berpikir
bahwa belum dapat dikatakan secara pasti apakah sang janin telah menerima jiwanya. Para
penulis setelahnya seperti Yohanes Krisostomus dan Sesarius dari Arles serta konsili-konsili
Gereja kemudian (misalnya Lerida dan Braga II) juga mengutuk aborsi sebagai perbuatan
yang "sama sekali salah", tanpa membedakan antara janin "berbentuk" dan "belum
berbentuk" ataupun mendefinisikan secara tepat pada tahap kehamilan mana kehidupan
manusia dimulai. Mengikuti pandangan Aristoteles, terdapat pandangan umum di antara
beberapa "pemikir Katolik terkemuka" dalam sejarah awal Gereja bahwa manusia jiwa tidak
seketika ada pada saat pembuahan atau konsepsi, tetapi baru beberapa minggu setelahnya.
Aborsi tetap dipandang sebagai suatu dosa, kendati bukan pembunuhan, hingga embrio
dihidupkan atau dianimasi oleh jiwa insaninya, Anselmus dari Canterbury (1033–1109)
mengatakan bahwa "tidak ada intelek kemanusiaan yang menerima pandangan bahwa
seorang bayi memiliki jiwa rasionalnya sejak saat pembuahan".Beberapa dekade setelah
wafatnya Anselmus, hukum kanon Katolik, dalam Decretum Gratiani, menyatakan bahwa
"bukanlah seorang pembunuh ia yang mendatangkan aborsi sebelum jiwa berada dalam
tubuhnya." Bagaimanapun, kendati dahulu hukum Gereja menerapkan sanksi berbeda pada
aborsi fase awal dan lanjut, sejalan dengan teori yang saat itu umum diterima mengenai
pemerolehan jiwa yang tertunda, aborsi pada setiap tahap kehamilan tetap dipandang sebagai
suatu kejahatan serius. Karenanya Thomas Aquinas, yang menerima teori Aristotelian bahwa
jiwa manusia dimasukkan setelah 40 hari untuk janin laki-laki, 90 hari untuk janin
perempuan, senantiasa memandang aborsi janin yang belum berjiwa sebagai tindakan yang
tidak etis, suatu kejahatan serius, suatu dosa berat, suatu kelakuan yang jahat dan
bertentangan dengan kodrat. Ia menuliskan: "Dosa ini, meskipun berat dan perlu
diperhitungkan di antara kelakuan-kelakuan jahat serta melawan kodrat,adalah hal yang
bukan seperti pembunuhan kecuali seseorang melakukan aborsi janin yang telah terbentuk."

Pandangan Aristotelian tentang penundaan pemerolehan jiwa ini telah ditinggalkan sejak
abad ke-17, mengiringi unggulnya keyakinan bahwa jiwa telah hadir sejak saat pembuahan,
serta pembuktian ilmiah pada tahun 1827 mengenai keberadaan sel telur perempuan dan pada
tahun 1875 mengenai keterlibatan penyatuan sel gamet dari masing-masing orang tua dalam
pembuahan menjatuhkan spekulasi tentang suatu perubahan substansial yang tertunda.

Walaupun Decretum Gratiani, yang tetap menjadi dasar hukum kanon Katolik sampai
digantikan oleh Kitab Hukum Kanonik 1917, membedakan antara aborsi fase-awal dan fase-
akhir, pembedaan kanonik tersebut dihapuskan oleh bulla Effraenatam yang dikeluarkan Paus
Sikstus V pada tahun 28 Oktober 1588, dan bertahan selama tiga tahun setelah itu. Bulla
Effraenatam menetapkan beragam penalti terhadap segala bentuk aborsi tanpa membeda-
bedakannya. Dengan menyebut aborsi sebagai pembunuhan, dekret itu menyatakan bahwa
siapa saja yang melakukan aborsi janin, entah telah beroleh hidup atau belum, berbentuk atau
belum berbentuk (tam animati, quam etiam inanimati, formati, vel informis) perlu menerima
hukuman yang sama seperti "para pembunuh sesungguhnya yang benar-benar dan memang
melakukan pembunuhan" (veros homicidas, qui homicidium voluntarium actu, re ipsa
patraverint). Selain menyatakan hukuman-hukuman tersebut bagi para penduduk Negara
Gereja, tempat ia menjadi pemegang kewenangan sipil, Paus Sikstus juga menjatuhkan
hukuman rohani ekskomunikasi otomatis kepada para pelakunya (bagian 7). Penerusnya,
Paus Gregorius XIV, menyadari bahwa hukuman tersebut tidak menghasilkan dampak yang
diharapkan sehingga ia mencabutnya, memberlakukan hukuman tersebut sebatas pada aborsi
janin yang "berbentuk".Melalui bulla Apostolicae Sedis moderationi, Paus Pius IX pada
tahun 1869 mencabut kembali pengecualian terhadap janin 'yang belum beroleh hidup'
berkenaan dengan hukuman spiritual ekskomunikasi, menyatakan bahwa mereka yang
melakukan aborsi efektif terkena ekskomunikasi yang hanya dapat dilepaskan oleh para
uskup atau ordinaris. Sejak saat itu penalti ini dikenakan secara otomatis dengan
dilakukannya aborsi pada semua tahap kehamilan, yang bahkan sebelum saat itu memang
tidak pernah dipandang sebagai dosa ringan semata. Dalam hal lain hukum kanon Katolik
pada saat itu tidak mengalami perubahan, bahkan setelah tahun 1869, dengan
mempertahankan perbedaan antara aborsi janin yang "telah terbentuk" dan yang "belum
terbentuk". Sebagaimana diindikasikan di atas dalam kutipan dari Thomas Aquinas,
seseorang yang melakukan aborsi janin yang "telah beroleh hidup" dipandang "irregular",
yang berarti bahwa ia didiskualifikasi dari kesempatan untuk menerima ataupun
mempraktikkan Tahbisan. Paus Sikstus V memperluas penalti ini hingga mencakup aborsi
fase-awal (bulla Effraenatam bagian 2), tetapi Paus Gregorius XIV kembali membuat
pembatasan atasnya. Paus Pius IX tidak membuat keputusan dalam hal ini, sehingga penati
irregularitas masih terbatas pada aborsi fase-akhir hingga saat dibuatnya artikel "Aborsi"
dalam Catholic Encyclopedia 1907. Pada akhirnya Kitab Hukum Kanonik 1917 menghapus
pembedaan tersebut.

Pada Abad Pertengahan, Gereja mengutuk semua aborsi dan pada abad ke-14, seorang
Dominikan bernama Yohanes dari Napoli dilaporkan sebagai orang pertama yang
mengeluarkan pernyataan eksplisit bahwa jika tujuannya adalah menyelamatkan hidup sang
ibu, aborsi sebenarnya diizinkan, asalkan belum sampai fase "pemerolehan jiwa". Pandangan
ini mendapat dukungan maupun penolakan dari para teolog lainnya. Pada abad ke-16, kendati
Thomas Sanchez mendukung pendapat tersebut, Antoninus de Corduba membuat perbedaan
yang sejak saat itu diterima secara umum di antara para teolog Katolik, yaitu bahwa
pembunuhan janin secara langsung tidak dapat diterima, tetapi tindakan untuk
menyembuhkan sang ibu perlu dilakukan sekalipun akan secara tidak langsung
mengakibatkan kematian janin. Pada abad ke-17, ketika Francisco Torreblanca menyetujui
aborsi yang ditujukan sekadar untuk menyelamatkan nama baik seorang wanita, Biro Suci
(yang sekarang disebut Kongregasi Ajaran Iman), yang pada waktu itu dipimpin oleh Paus
Innosensius XI, mengutuk proposisi tersebut yang menyatakan bahwa "adalah sah melakukan
aborsi sebelum pemerolehan jiwa pada janin agar jangan seorang perempuan, yang didapati
hamil, dibunuh atau tercemar reputasi baiknya”.Terkadang dikatakan kalau Alfonsus Liguori
dari abad ke-18 berpendapat bahwa aborsi, meski secara umum salah secara moral, dapat
diterima dalam kondisi-kondisi seperti ketika kehidupan sang ibu berada dalam bahaya,
karena ketidakpastian mengenai kapan jiwa memasuki janin. Namun, ia jelas menyatakan
bahwa tidak pernah dibenarkan menggunakan suatu obat dengan tujuan membunuh janin,
walaupun diperbolehkan untuk memberikan seorang ibu berpenyakit ekstrem suatu
pengobatan yang hasil langsungnya adalah keselamatan hidup sang ibu, sekalipun secara
tidak langsung menyebabkan keluarnya janin. Liguori menyebutkan pembedaan antara janin
yang "hidup" dan "belum hidup", namun ia menjelaskan bahwa tidak ada kesepakatan
mengenai kapan jiwa "dimasukkan", di mana menurutnya banyak kalangan meyakini bahwa
hal itu terjadi pada saat pembuahan. Ia juga mengatakan bahwa Gereja berbaik hati mengikuti
opini 40-hari tersebut dengan menerapkan penalti irregularitas dan ekskomunikasi hanya bagi
mereka yang dengan sengaja berhasil melakukan aborsi janin "hidup".Pada tahun 1930, Paus
Pius XI tidak memperbolehkan perbuatan yang ia sebut "pembunuhan langsung orang yang
tidak bersalah" sebagai suatu cara untuk menyelamatkan ibunya. Dan Konsili Vatikan II
menyatakan: "Kehidupan harus dilindungi dengan kepedulian sepenuhnya dari saat
pembuahan: aborsi dan infantisida adalah kejahatan-kejahatan mengerikan."

Kehamilan ektopik (kehamilan yang terjadi di luar rahim) merupakan salah satu dari sedikit
kasus dimungkinkannya kematian embrio yang tak terelakkan, karena kasus ini dikategorikan
sebagai aborsi tidak langsung. Pandangan ini juga dikemukakan pada tahun 1953 oleh Paus
Pius XII dalam suatu sambutan kepada Asosiasi Urologi Italia.

Umat Katolik yang melakukan suatu aborsi terkena ekskomunikasi secara otomatis dan
langsung (latae sententiae). Itu berarti bahwa ekskomunikasi tersebut tidak perlu dinyatakan
atau dijatuhkan seperti halnya penalti ferendae sententiae ("masih harus diputuskan");
Hukum kanon menyatakan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu "pelaku pelanggaran tidak
terkena penalti latae sententiae", dan sebagai gantinya akan diberikan suatu penitensi atau
silih; di antara 10 kondisi yang tercantum dalam hukum kanon terdapat klausul delik yang
dilakukan oleh orang yang belum berusia 16 tahun, orang yang bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya tidak mengetahui adanya penalti tersebut, dan "orang yang terpaksa bertindak
karena ketakutan berat, kendati hanya relatif berat, ataupun karena kebutuhan mendesak atau
kesusahan berat".

B. Pandangan Gereja Pada Masa Sekarang


Untuk mengerti mengapa Gereja Katolik menolak Aborsi dibawah ini dasar yang
menunjukkan alasan Gereja Katolik menolak aborsi. Berdasarkan alasan dari berbagai
dokumen dan ajaran para pemimpin tertinggi Gereja serta Kitab Suci sebagai dasar utama
kehidupan umat Kristiani, Gereja dengan tegas menolak aborsi. Karena berdasarkan sumber
di atas manusia adalah hasil ciptaan Allah menurut Gambar dan rupa-Nya. Maka, manusia
sejak awal adalah kudus.

 Kitab suci

Kitab Suci perjanjian Lama dengan keras melarang orang melakukan pembunuhan
“Jangan membunuh” (Kel. 20:13; Ul. 5:17). Ini berarti kehidupan sangat dihormati
dan perlu dijaga agar tidak mengalami kematian baik secara alami maupun campur
tangan pihak lain. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama tidak disebutkan secara
langsung kata “aborsi”. Kita hanya melihat teks-teks Kitab suci yang sering
digunakan sebagai dasar argumen bila berbicara soal aborsi. Semua orang setuju
bahwa membunuh itu tidak baik dan tidak boleh. Tetapi persoalan yang muncul ialah
bagaimana dengan aborsi? Gereja Katolik melihat bahwa aborsi adalah perbuatan
terkutuk, sebab janin adalah manusia. Aborsi selalu digolongkan sebagai suatu aksi
yang terkutuk sehingga pembunuhannya masuk klasifikasi pembunuhan manusia.[13]
Apalagi pembunuhan itu dilakukan secara sengaja dengan berbagai motif misalnya
ekonomi, dll. Jadi, pembunuhan janin adalah pembunuhan manusia yang adalah
Gambar Allah sendiri. Dalam rahim ibu Allah berdiam. Ini sesuai dengan apa yang
tertulis dalam Kitab Suci, “ Sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya
sendiri” (Kej. 9:6b). Maka, barang siapa melakukan tindakan yang merugikan orang
lain terutama aborsi adalah melawan hukum Allah dan dari padanya akan dituntut
nyawa juga. Hidup manusia itu keramat dan tidak dapat diganggu gugat. Hanya Dia
yang boleh mengambil.[14]

Dalam kitab Suci Perjanjian Baru sebagai dasar kehidupan umat Kristiani atau
disebut Injil Kehidupan merupakan inti amanat Yesus. Kelahiran Yesus merupakan
kabar gembira. Kabar gembira ini adalah dasar untuk pemenuhan kegembiraan pada
tiap anak yang lahir di dunia Perjanjian baru pun tidak berbicara secara langsung
mengenai aborsi. Larangan melakukan aborsi adalah konsekuensi langsung dari
permenungan akan harkat dan martabat manusia yang selalu diperjuangkan Yesus
dalam ajaran-Nya dan yang telah diwartakan oleh para murid-Nya. Dapat kita lihat
dalam Kitab Suci bahwa kehamilan tidak pernah menjadi sebuah masalah atau beban.
Ini terlihat pada Injil Lukas 1: 46 “Jiwaku memuliakan Tuhan”. Anak selalu
dimengerti sebagai anugerah dari pencipta kehidupan yakni Allah sendiri. Ketika
mulai ada kehidupan dalam rahim ibu, di sanalah terletak karya penciptaan Allah.
Maka, keluarga selalu bahagia atas kehamilan dan kelahiran anak. Manusia
mempunyai keistimewaan karena berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah dalam
prokreasi yakni, melangsungkan kehamilan dan kelahiran anak. Manusia adalah
“pembantu” Allah dalam menciptakan manusia baru. Maka, penghentian paksa atas
kehamilan (aborsi) bukan hanya berarti berbuat kekejaman terhadap sesama ciptaan
tetapi juga merusak karya ciptaan Allah seperti dikatakan oleh rasul Paulus dalam
suratnya kepada jemaat di Korintus: “Yang daripadanya berasal segala sesuatu dan
yang untuk Dia kita hidup” (1Kor. 8:6). Membunuh anak adalah perbuatan yang
melanggar perintah Allah karena bayi adalah manusia lemah tak berdaya. Ia tidak
mampu membela diri. Allah selalu berpihak pada orang lemah dan tertindas. Maka, Ia
tidak menghendaki kematiannya “Bulu yang patah terkulai tidak akan diputuskan-
Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya” (Mat. 12:20).
Keberpihakan Allah pada orang lemah juga menjadi sikap Yesus yang bisa kita
temukan dalam perikop Kitab Suci, “Barang siapa menyesatkan salah satu dari anak
kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada
lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut” (Mrk. 9:42). Mengenai penyesatan terhadap
anak kecil, Yesus memberi hukuman yang sangat berat dan Dia tidak membicarakan
hal yang sama bagi yang menyesatkan orang dewasa. Mengapa demikian? Karena
orang dewasa mempunyai kemampuan untuk membela diri. Oleh karena itu,
membunuhan orang yang paling lemah adalah berlawanan dengan sikap dan kehendak
Allah yang ingin melindungi orang yang lemah tak berdaya Warta Injil diterima oleh
Gereja penuh kasih dan harus diwartakan dengan kesetiaan penuh keberanian sebagai
warta kebaikan kepada umat manusia pada tiap zaman dan pada tiap kebudayaan.
Warta itu adalah amanat dari Yesus bahwa manusia mempunyai nilai pribadi yang
tiada bandingnya. Hidup manusia itu keramat karena sejak awal mulanya melibatkan
”tindakan kreativitas Allah” dan untuk selamanya tetap ada dalam naungan Sang
Pencipta, satu-satunya tujuannya. Hanya Dialah awal dan akhir tujuan hidup.

 Dokumen Konsili Vatikan II: Gaudium Et Spes

Dalam Gaudium Et spes ditegaskan bahwa dalam situasi apapun aborsi adalah
kejahatan yang mengerikan. Apalagi pembunuhan bermotif banyaknya anak, ekonomi
dan ketidakharmonisan keluarga. Pembunuhan anak melanggar hukum ilahi. Sebab
Allah, Tuhan kehidupan telah mempercayakan kepada manusia tugas luhur
memelihara kehidupan. Dengan demikian suami istri harus hormat terhadap
kehidupan manusia melampaui hal-hal yang pada derajat-derajat kehidupan yang
lebih rendah. Maka, sejak pembuahan kehidupan harus dilindungi dengan perawatan
yang baik karena anak adalah ciptaan Allah menurut gambar-Nya.

 Kongregasi Ajaran Iman: Pernyataan tentang Aborsi.

Masalah aborsi hampir di mana-mana menjadi bahan diskusi alot. Melihat


masalah ini kongregasi suci ajaran iman terdorong untuk mengeluarkan pernyataan
tentang aborsi. Kongregasi ini menyadari bahwa tugas Gereja adalah melindungi
manusia terhadap segala aspek yang dapat merusak atau melecehkannya dan
memajukan iman dan moral di seluruh Gereja. Maka, mengenai masalah aborsi
Gereja tidak tinggal diam

Kongregasi ajaran iman dalam berbicara mengenai aborsi merujuk pada Kitab
Suci. “Allah tidak menciptakan kematian dan tidak bergembira atas kebinasaan apa
yang hidup” (Keb. 1: 13). “Allah bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang
hidup” (Mat. 22:32). Perikop di atas menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan
manusia dan yang dikehendaki-Nya adalah kehidupan. Ia menciptakan manusia
menurut gambar-Nya agar manusia menjadi mahkota dunia. Maka, aborsi adalah
melawan kehendak Allah.

Hormat terhadap hidup manusia adalah suatu kewajiban karena manusia


bebas. Ia bebas menentukan nasibnya dan berkuasa atas dirinya. Manusia diciptakan
oleh Allah dan dalam Allah ia menemukan pemenuhannya. Ketika manusia
dinyatakan sebagai persona, ia sudah bebas. Ia sudah menjadi orang lain bagi ibu dan
ayahnya

 Ensiklik

Para pemimpin Gereja tidak berdiam diri melihat kasus aborsi yang dilakukan
oleh keluarga-keluarga kristiani. Mereka sebagai pemimpin tertinggi Gereja dan
pengajar ajaran moral yang benar sangat prihatin atas masalah aborsi. Aborsi menjadi
masalah yang cukup serius yang harus dibahas tuntas karena aborsi menyangkut
pembunuhan dan ini melawan ajaran Gereja yang tertuang dalam Kitab Suci..

 Pernyataan terbaru mengenai posisi Gereja

Gereja mengajarkan bahwa "kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi


secara mutlak sejak saat pembuahannya. Sejak saat pertama keberadaannya, seorang
manusia insani harus diakui hak-haknya sebagai seorang pribadi, di antaranya adalah hak
untuk hidup yang tidak dapat diganggu gugat yang dimiliki oleh setiap makhluk tak
bersalah”.Sejak abad pertama, Gereja telah menegaskan bahwa setiap aborsi langsung
adalah kejahatan moral, suatu ajaran yang Katekismus Gereja Katolik nyatakan "belum
berubah dan tetap tidak dapat berubah”Gereja mengajarkan bahwa hak yang tidak dapat
dicabut atas kehidupan, yang dimiliki setiap individu manusia yang tak bersalah,
merupakan suatu elemen pokok dalam masyarakat sipil dan perundang-undangannya.
Dengan kata lain, masyarakat terikat pada kewajiban untuk secara hukum melindungi
kehidupan mereka yang belum terlahir.

 Perdebatan politik atas legalisasi aborsi

“Pada saat suatu hukum positif merampas satu kategori manusia dari perlindungan
yang sepatutnya diberikan kepada mereka oleh undang-undang sipil, negara menyangkal
kesetaraan semua orang di hadapan hukum. Ketika negara tidak menempatkan
kekuasaannya untuk melayani hak-hak setiap warga, dan terutama mereka yang lebih
lemah, maka landasan-landasan utama suatu negara yang berdasarkan hukum terkikis
secara perlahan. ... Sebagai konsekuensi dari penghormatan dan perlindungan yang harus
dijamin bagi anak yang tidak terlahirkan sejak saat pembuahannya, hukum harus
memberikan sanksi-sanksi pidana untuk setiap pelanggaran yang disengaja terhadap hak-
hak sang anak."

Karena Gereja Katolik memandang aborsi langsung adalah sama sekali salah,
maka Gereja Katolik merasa wajib untuk mengurangi penerimaannya oleh masyarakat
dan dalam undang-undang sipil. Meski umat Katolik dilarang mendukung aborsi
langsung dalam bidang apapun, menurut Frank K. Flinn, diakui juga bahwa umat Katolik
dapat menerima kompromi-kompromi yang, ketika membiarkan terjadinya aborsi
langsung, menurunkan prevalensi dengan cara-cara seperti melarang beberapa bentuknya
atau menetapkan berbagai solusi terhadap kondisi-kondisi yang menimbulkan
peningkatan prevalensi. Flinn mengatakan bahwa dukungan dapat diberikan kepada suatu
platform politik yang mengandung sebuah klausul yang berpihak pada aborsi tetapi juga
berisi unsur-unsur yang secara aktual mengurangi jumlah aborsi, daripada suatu platform
anti-aborsi yang mengarah pada peningkatan jumlahnya.

Pada tahun 2004, Joseph Kardinal Ratzinger, Prefek Kongregasi Ajaran Iman,
menyatakan: "Seorang Katolik bersalah saat bekerja sama secara formal dalam kejahatan,
dan sangat tidak layak hadir untuk menerima Komuni Kudus, apabila ia dengan sengaja
memilih seorang kandidat justru karena sikap permisif sang kandidat dalam hal aborsi
dan/atau eutanasia. Ketika seorang Katolik tidak menyetujui sikap kandidat yang
mendukung aborsi dan/atau eutanasia, tetapi memilih kandidat itu karena alasan-alasan
lain, maka hal itu dianggap kerja sama material yang tak terkait, yang dapat
diperkenankan dengan adanya alasan-alasan proporsional."

Terdapat kontroversi seputar perlakuan terhadap para politisi Katolik yang


mendukung legalisasi aborsi. Dalam kebanyakan kasus, para pejabat Gereja mengancam
untuk tidak memberikan Komuni Kudus kepada politisi-politisi tersebut. Pastor Richard
John Neuhaus termasuk salah seorang pendukung utama tindakan itu. Dalam beberapa
kasus, mereka menyatakan bahwa para politisi tersebut seharusnya menahan diri untuk
tidak menerima komuni; dalam kasus yang lain, kemungkinan dijatuhkannya
ekskomunikasi pernah dikemukakan

 Pandangan Gereja Katolik tentang Aborsi karena Indikasi Medis

Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari
tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Frekuensi terjadinya
aborsi sangat sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa
dilaporkan, kecuali jika terjadi komplikasi sehingga perlu perawatan di Rumah
Sakit. Tidak ada data yang pasti tentang besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan
ibu.WHO memperkirakan 10-50 persen kematian ibu disebabkan oleh aborsi (tergantung
kondisi masing-masing negara). Diperkirakan di seluruh dunia, setiap tahun dilakukan 20
juta aborsi tidak aman, 70.000 wanita meninggal akibat aborsi tidak aman, dan 1 dari 8
kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Di Asia tenggara, WHO memperkirakan
4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di
Indonesia. Risiko kematian akibat aborsi tidak aman di wilayah Asia diperkirakan antara
1 dari 250, negara maju hanya 1 dari 3700. Angka tersebut memberikan gambaran bahwa
masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar.

 Pengampunan bagi wanita yang melakukan aborsi

Terlepas dari indikasi dalam hukum kanon bahwa ekskomunikasi otomatis tidak
berlaku pada wanita yang melakukan aborsi karena rasa takut yang berat atau karena
kesusahan berat, Gereja Katolik, di luar pembedaan tersebut, menjamin dimungkinkannya
pengampunan bagi para wanita yang telah melakukan aborsi. Paus Yohanes Paulus II
menuliskan:

Sekarang saya ingin menyampaikan suatu perkataan khusus bagi para wanita yang
telah melakukan aborsi. Gereja menyadari adanya banyak faktor yang mungkin telah
mempengaruhi keputusan Anda, dan ia tidak ragu bahwa dalam banyak kasus hal itu
mungkin suatu keputusan yang menyakitkan dan bahkan sangat menggelisahkan. Luka di
dalam hati Anda mungkin belum tersembuhkan. Tentu saja apa yang telah terjadi adalah
dan tetap sangat keliru. Namun, jangan menyerah pada keputusasaan dan jangan
kehilangan harapan. Berusahalah untuk lebih memahami apa yang telah terjadi dan
hadapilah dengan jujur. Apabila Anda belum melakukannya, serahkanlah diri Anda pada
kerendahan hati dan percayalah pada penyesalan. Bapa yang penuh belas kasihan siap
memberikan Anda pengampunan dan damai sejahtera-Nya dalam Sakramen Rekonsiliasi.

Dalam kesempatan Yubileum Luar Biasa Kerahiman pada tahun 2015, Paus
Fransiskus mengumumkan bahwa semua imam (selama tahun Yubileum – yang berakhir
pada tanggal 20 November 2016), melalui Sakramen Tobat, diizinkan untuk melepaskan
sanksi ekskomunikasi atas tindakan aborsi, yang sebelumnya wewenang itu hanya
dikhususkan bagi para uskup dan imam tertentu yang diberi mandat tersebut oleh
uskupnya. Kebijakan ini dijadikan permanen melalui sebuah surat apostolik berjudul
Misericordia et misera (Kerahiman dan Penderitaan), yang dikeluarkan pada tanggal 21
November 2016.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pengajaran Alkitab dan Gereja Katolik menyatakan, “Kehidupan manusia adalah


sakral karena sejak dari awalnya melibatkan tindakan penciptaan Allah”. Kehidupan,
seperti halnya kematian adalah sesuatu yang menjadi hak Allah, dan manusia tidak
berkuasa untuk ‘mempermainkannya’. Perbuatan aborsi menentang hukum alam dan
hukum Allah, maka tak heran, perbuatan ini mengakibatkan hal yang sangat negatif
kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Aborsi adalah tindakan pembunuhan
manusia, walaupun ada sebagian orang yang menutup mata terhadap kenyataan ini.
Gereja Katolik tidak pernah urung dalam menyatakan sikapnya yang “pro-life“/
mendukung kehidupan, sebab, Gereja menghormati Allah Pencipta yang memberikan
kehidupan itu. Tindakan melindungi kehidupan ini merupakan bukti nyata dari iman kita
kepada Kristus, yang adalah Sang Hidup (Yoh 14:6) dan pemberi hidup itu sendiri.Mari,
di tengah-tengah budaya yang menyerukan “kematian”/ culture of death, kita sebagai
umat Katolik dengan berani menyuarakan “kehidupan”/ culture of life. Mari kita melihat
di dalam setiap anak yang lahir, di dalam setiap orang yang hidup maupun yang
meninggal, gambaran kemuliaan Tuhan Pencipta yang telah menciptakan manusia sesuai
dengan gambaran-Nya. Dengan demikian, kita dapat menghormati setiap orang, dan
memperlakukan setiap manusia sebagaimana mestinya demi kasih dan hormat kita kepada
Tuhan yang menciptakannya.Mari bersama kita mewartakan Injil Kehidupan, yang
menyatakan kepenuhan kebenaran tentang manusia dan tentang kehidupan manusia.
Semoga kita dapat memiliki hati nurani yang jernih, sehingga kita dapat mendengar
seruan Tuhan untuk memperhatikan dan mengasihi sesama kita yang terkecil, yakni
mereka yang sedang terbentuk di dalam rahim para ibu. Sebab Yesus bersabda, “Apa
yang kau lakukan terhadap saudaramu yang paling kecil ini, engkau lakukan untuk
Aku…”

Anda mungkin juga menyukai