Anda di halaman 1dari 5

1

PANGGILAN HIDUP SEBAGAI UMAT ALLAH


KD 3.1. Memahami panggilan hidupnya sebagai umat Allah (Gereja) dengan menentukan
langkah yang tepat dalam menjawab panggilan hidup tersebut.

TANTANGAN DAN PELUANG UNTUK MEMBANGUN KELUARGA YANG DICITA-CITAKAN


Untuk hidup dan bertumbuh dengan baik, suatu lembaga, apa pun namanya, membutuhkan
perencanaan. Tanpa perencanaan lembaga itu akan hancur berantakan. Demikian pula dengan keluarga
sebagai suatu lembaga. Maka itu, kita berbicara tentang KB.
Pelaksanaan KB sungguh-sungguh suatu tuntutan moral masa kini yang sangat penting untuk
diperhatikan oleh semua pihak yang bertanggung jawab, baik dalam bidang kependudukan secara luas,
maupun dalam inti sel masyarakat, yaitu keluarga. Hanya dengan menjalankan KB, khususnya pengaturan
kelahiran sesuai dengan aspirasi setiap manusia, akan tercipta suatu hidup yang makmur dan bahagia.
Namun, KB tidak lepas dari masalah moral. Dalam melaksanakan KB kita hendaknya berpegang
teguh pada prinsip-prinsip moral kita, yaitu moral Katolik.
1. Pandangan Gereja mengenai KB pada umumnya
Gereja merasa mempunyai tanggung jawab untuk mendukung dan melaksanakan KB pada saat ini.
Secara khusus, Gereja Indonesia melalui uskup-uskupnya menegaskan: “Bukan hanya pemerintah yang
bertugas menyelesaikan persoalan ini. Gereja merasa terlibat juga dan ikut bertanggung jawab untuk
mengusahakan pemecahan.”
Pimpinan Gereja di Indonesia sepakat menyatakan perlunya pengaturan kelahiran demi
kesejahteraan keluarga dan karena itu merasa penting membina sikap bertanggung jawab di bidang ini
(Presiden Pastoral Keluarga, 1976 no. 22 - 23).
a. Alasan-alasan Mengapa KB sangat Urgen dan Penting
1) Alasan Kesejahteraan Keluarga
Alasan pertama mengapa KB harus dipromosikan kesejahteraan keluarga sebagai sel yang
paling kecil dari masyarakat. Dengan KB, “mutu kehidupan” dapat diselamatkan dan ditingkatkan.
Bagaimana hal itu terjadi ?
a) Dengan KB kesehatan ibu bisa agak dijamin. Kesehatan disini dimengerti secara fisik maupun
psikis. Setiap persalinan dan kehamilan dan persalinan yang terus-menerus dapat menguras
daya jasmani rohani ibu, khususnya jika gizi ibu kurang diperhatikan.
b) Dengan KB relasi suami istri bisa semakin kaya. Kalau kehamilan dan kelahiran terjadi secara
terus-menerus, tuga utama suami istri seolah-olah hanya terpaut pada urusaan pengadaan dan
pendidikan anak. Waktu untuk membangun keintiman dan kasih sayang diantara keduanya
menjadi sangat terbatas.
c) Dengan KB taraf hidup yang lebih pantas dapat dibangun. Semakin banyak anak berarti
semakin banyak mulut dan kepala yang meme rlukan makanan, pakaian, rekreasi, perawatan
kesehatan, dan sebagainya. Pengeluaran kesejahteraan keluarga.
d) Dengan KB pendidikan anak dapat lebih terjamin. Semua orang tua yang mencintai anak-anak
pasti ingin memberikan pendidikan yang sesuai dengan masa modern ini supaya nasib anak-
anak kita harus mempertaruhkan segala-galanya, apalagi kalau memiliki banyak anak.
2) Kepentingan masyarakat dan umat manusia
KB bukan saja bisa menjamin kesejahteraan keluarga, tetapi juga kesejahteraan masyarakat
dan umat manusia. Menurut pendapat para ahli, pelaksanaan KB merupakan salah satu sarana yang
penting untuk mengantar suatu bangsa dari keterbelakangan, kemiskinan dan ketidakadilan.
Kemajuan di berbagai bidang akan sia-sia kalau ledakan penduduk tidak dihambat. Ledakan
penduduk membawa banyak problem : problem lapangan kerja, papan, sandang, pangan,
kesehatan, dan sebagainya .
b. Siapa yang Bertanggung Jawab dalam Hal KB ?
Tidak boleh diragukan bahwa semua orang d ewasa, kawin atau tidak kawin, bertanggung jawab
dalam hal KB ini. Selanjutnya, akan disebut beberapa kelompok orang yang biasanya dianggap sangat
bertanggung jawab dalam hal KB ini.
1) Para Pasutri (Pasangan Suami Istri). Yang mempunyai tanggung jawab terbesar dalam hal KB
adalah pasangan suami istri sendiri, yang memiliki potensi vital untuk mengadakan anak.
2) Pemerintah. Pemerintah jelas mempunyai hak dan kewajiban sekitar masalah kependudukan di
negaranya, dalam batas wewenangnya.
3) Pimpinan agama. Akhirnya, pimpinan semua agama sebagai instansi yang berkepentingan
menanamkan nilai-nilai luhur dan ilahi juga bertanggung jawab untuk menyuluh, membimbing dan
mendampingi para penganut agamanya, khususnya pasutri, dalam pelaksanaan KB yang wajar.

2. Pandangan Gereja Mengenai Metode KB pada Khususnya


Gereja Katolik sebagai suatu komponen kehidupan sosial masyarakat, khususnya masyarakat
Indonesia, harus berusaha dan turut mendukung Program Keluarga Berencana RI dalam rangka
menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bagi umat manusia, khusus manusia-manusia
Indonesia. Namun, Gereja Katolik seperti agama-agama lain hanya dapat menasihati para penganutnya
untuk mengikuti program tersebut sejauh metode-metode yang diusulkan tidak bertentangan dengan
Materi Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas XII Semester Ganjil KD 3.1
2

ajaran ahama sendiri. Hak masing-masing agama untuk berpegang pada pandangan itu secara jelas
diakui oleh Pemerintah RI, misalnya sesuai dengan GBHN 1983 ; ‘Jumlah peserwta keluarga b erencana
perlu makin ditingkatkan atas dasar kesadaran dan secara sukarela, dengan mempertimbangkan nilai-nilai
agama dan kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa” (Bab IV Sub-Agama ets ... No. 6:
Kependudukan dan Keluarga Berencana.1)
a. Penilaian Moral tentang Metode pada Umumnya
Walaupun ajaran Gereja pada umumnya hanya mengakui metode KB alamiah, namun Gereja
Indonesia melalui uskup-uskupnya mengatakan bahwa dalam keadaan terjepit para suami istri dapat
menggunakan metode lain, asalkan memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1) Tidak merendahkan martabat istri atau suami. Misalnya, suami istri tidak boleh pernah dipaksa
untuk menggunakan salah satu metode.
2) Tidak berlawanan dengan hidup manusia. Jadi, metode-metode yang bersifat abortif jelas ditolak.
3) Dapat dipertanggungjawabkan secara medis, tidak membawa efek samping yang menyebabkan
kesehatan atau nyawa ibu berada dalam bahaya.
b. Penilaian Moral untuk Masing-Masing Metode
1) Gereja sangat menganjurkan metode KB alamiah seperti :
a) Metode kalender
b) Metode pengukuran suhu basal (metode temperatur)
c) Metode Ovulasi Billings; dan
d) Metode Simptotermal (gabungan)
2) Metode yang dilarang Gereja karena bersifat abortif, antara lain :
a) Abortus provocatus : pengguguran dengan sengaja;
b) Spiral; dan
c) Pil mini
3) Metode yang boleh digunakan asal memenuhi tiga persyaratan di atas:
a) Kondom atau diafragma
b) Spermasid
c) Senggama terputus
d) Pil anti hamil
e) Suntikan anti hamil
f) Susuk
g) Sterilisasi, dan lain-lain
Disini akan dikemukan dua tantangan dalam kehidupan perkawinan, baik tantangan yang bersifat dari
dalam atau tantangan yang bersifat dari luar. Kita akan membicarakannya satu persatu.
1. Tantangan yang Bersifat dari Dalam
a. Kebosanan dan Kejenuhan
b. Perbedaan Pendapat dan Pandangan
Perbedaan pandangan ini sering terjadi dalam bidang pendidikan anak, pengaturan kesejahteraan
keluarga, KB dan sebagainya.
c. Ketakserasian dalam hubungan Seksual
Hubungan seksual merupakan soal yang sangat peka pula. Kalau tidak bertenggang rasa, bisa
menimbulkan kerenggangan antara suami dan istri. Banyak suami yang jatuh ke pelukan wanita lain
atau pelacur karena dendam kepada istrinya atau untuk mendapat pelayanan seksual yang lebih
memuaskan daripada istrinya.
d. Perzinahan/Perselingkuhan
Sering kali, oleh suatu keadaan tertentu, suami dan istri tidak bisa melakukan hubungan seksual
untuk jangka waktu tertentu. Mungkin karena urusan tugas, urusan kesehatan, masa hamil tua,
minggu-minggu pertama sesudah persalinan, atau halangan-halangan lainnya. Kurangnya perhatian
dan pengertian yang diberikan kepada pasangan juga dapat meretakkan keluarga. Dalam situasi
semacam ini, salah seorang pasangan dapat merasa tergoda untuk menyeleweng dari kewajiban suci
perkawinanya: dia akan mencari kepuasan hubungan seks dengan seorang wanita atau laki-laki yang
lain.
Tentu saja, perzinahan adalah pelanggaran berat melawan kesucian dan kesetiaan perkawinan
yang mendatangkan penderitaan besar untuk semua anggota keluarga, termasuk pihak yang tidak
setia.
Gereja Katolik cukup tegas dalam menilai dosa perzinahan itu, namun Gereja tak pernah
mengizinkan perceraian. Jalan satu-satunya yang wajar untuk pasutri itu adalah bertobat, saling
mengampuni dan membarui cinta yang ikhlas demi kebahagiaan seluruh keluarga.
e. Kemandulan
Kalau salah satu pasangan ternyata mandul, sering kali timbul krisis dalam perkawinan.
Biasanya, satu pihak mempersalahkan pihak lain walaupun kemandulan bukanlah kesalahan pribadi.
Apa yang penting dalam situasi itu ialah janganlah berhenti saling mencintai, tetapi pakailah akal budi
dan cobalah memeriksakan diri dulu ke dokter. Bisa terjadi bahwa kemandulan tidak bersifat tetap,
tetapi dapat diatasi secara fisiologis atau psikologis.

Materi Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas XII Semester Ganjil KD 3.1
3

Akan tetapi, kalau ternyata salah seorang dari pasangan suami istri ini mandul tetap, mereka
harus menerima kenyataan pahit ini. Mereka tidak boleh percaya kepada pendapat kolot bahwa
perkawinannya tidak direstui oleh nenek moyang, dan dengan demikian boleh merencanakan
perceraian sebagai jalan keluar. Perkawinan kristen tetap mempunyai arti yang dalam, meski tanpa
kemungkinan untuk mendapat anak sendiri.

2. Tantangan yang Bersifat dari Luar


Yang dimaksud dengan tantangan yang bersifat dari luar ialah tantangan-tantangan yang
disebabkan oleh faktor-faktor di luar perkawinan itu sendiri. Kita akan menyebutkan dua contoh saja.
a. Pengaruh-pengaruh atau suasana negatif yang bisa mengganggu dan mengaburkan martabat lembaga
perkawinan. Pengaruh-pengaruh atau suasana negatif tersebut antara lain sebagai berikut :
1) Kawin cerai yang semakin banyak terjadi di dalam masyarakat kita sekarang ini. Dikatakan, lebih
dari 50% perkawinan di Indonesia berakhir dengan perceraian.
2) Suasana dan kebiasaan berpoligami, atau dengan gaya yang lebih modern : memiliki wanita
simpanan. Belum lagi penyelewengan-penyelewengan (sampai dengan kebiasaan tukar kunci)
yang semakin biasa di zaman ini. Akhir-akhir ini banyak koran mengungkapkan bahwa ternyata
sebagian besar bapak (suami) di kota-kota besar di Indonesia pernah menyeleweng. Ibu-ibu pun
ternyata mulai berperilaku yang sama.
3) Cinta bebas dan pelacuran dalam berbagai bentuk semakin meluas. Koran-koran menuliskan
bagaimana suasana mesum ini sudah melibatkan para pelajar, mahasiswi, ibu-ibu rumah tangga,
dokter, bahkan anak-anak di bawah umur. Suasana ini mungkin akan semakin mewabah.
4) Media massa dan sarana-sarana lain yang bersifat pornografis telah menyusup secara meluas ke
dalam masyarakat kita.
Semua hal yang disebutkan diatas tentu saja bisa merupakan godaan besar bagi pasangan suami istri
untuk mengkhianati kesetiaan perkawinan mereka.

b. Masalah-masalah lain yang tak terlalu langsung berhubungan dengan perkawinan, tetapi bisa
mempunyai akibat yang sukup besar untuknya.
Sekedar contoh, kita bisa menyebutkan satu di antaranya, yaitu keadaan ekonomi rumah tangga
yang morat-marit. Suatu rumah tangga yang selalu terbentur pada kesulitan ekonomi, bisa mengalami
kegagalan dalam kehidupan perkawinan. Kesulitan ekonomi rumah tangga bisa membuat seseorang
berprasangka buruk tentang teman hidupnya. Dalam keadaan semacam itu bapak atau ibu bisa mulai
berspekulasi, mencari peruntungan dalambentuk judi, korupsi, mencuri, dan sebagainya. Akibatnya
bisa lebih parah lagi. Menghadapi kesulitan-kesulitan itu, kiranya agak sulit untuk memberikan suatu
resep yang siap pakai. Akan tetapi, ada saran yang bersifat sangat umum tetapi penting, yaitu dalam
setiap kesulitan yang timbul, suami istri harus jujur dan terbuka satu sama lain. Banyak kesulitan dan
ketegangan dalam rumah tangga bisa semakin menumpuk dan berlarut-larut karena baik suami
maupun istri tidak berani berbicara secara terus terang tentang kesulitan-kesulitan yang dialami.
Padahal, sekali mereka berani membuka hati, segala kesulitan itu bisa tersingkir, atau setidak-tidaknya
menjadi lebih ringan.

3. Kesetiaan dalam cinta kasih.


Kesetiaan dalam cinta kasih terhadap pasangannya, seperti halnya Kristus setia terhadap Bapa dan
tugas perutusan-Nya, serta terhadap umat-Nya meskipun sering dikhianati, dapat menjadi dasar untuk
memaknai cinta suami-istri, sehingga apa pun permasalah atau gejolak dalam keluarga tidak perlu terjadi
konflik. Cinta dapat menjadi semangat, bahkan jaminan yang dapat membawa sukacita.
a. Pandangan tentang pacaran yang sehat dan bertanggungjawab dalam perspektif hidup berkeluarga
menurut tradisi Gereja Katolik.
Masa pacaran dan bertunangan menjadi penting, sebagai persiapan bagi kedua belah pihak. Pada
masa ini keduanya saling belajar mencintai dengan mengenal pribadi masing-masing, saling terbuka
dan menyesuaikan diri satu sama lain agar cinta mereka semakin tumbuh dewasa. Seiring dengan
pertumbuhan menuju kedewasaan cintanya itu, mereka dapat menghayati daya rahmat kasih Allah
yang telah mempertemukan mereka agar semakin menemukan rencana Allah menuju persatuan
dalam kasih-Nya dengan hati ikhlas dan terbuka.
1) Memaknai masa pacaran
Pacaran sebagai usaha untuk saling mengenal antara perempuan dan laki-laki melalui relasi dan
komunikasi yang efektif.
2) Saling mengenal pribadi
Saat-saat sedang menjalin relasi pacaran sebaiknya bersikap bijaksana dalam memilih pacar. Perlu
menentukan pilihan pada orang yang dikenal dan dipahami kepribadiannya, temperamennya,
tanggung jawabnya.
3) Perubahan pola pikir dan pola sikap
Dalam berpacaran, bila arah yang mau dicapai adalah saling mengenal dan memotivasi untuk
menuju pada relasi yang lebih khusus, misalnya akan menuju kejenjang pernikahan, masing-

Materi Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas XII Semester Ganjil KD 3.1
4

masing pribadi yang saling terlibat dalam relasi pacaran harus bersedia mengubah pola pikinya,
sekaligus juga pola sikapnya.
4) Belajar saling mencintai
Pada dasarnya pacaran adalah tahap relasi antara pria dan wanita yang bersifat personal. Relasi
yang terbangun secara khusus ini terjadi karena keduanya saling mencintai. Cinta yang mulai
tumbuh perlu terus-menerus dipupuk, dibina, dan dikembangkan secara bertanggung jawab.

b. Peluang untuk membangun keluarga yang dicita-citakan sesuai kehendak Tuhan


1) Sikap saling mengampuni
Dalam usaha memelihara hidup bersama dalam keluarga, lebih-lebih dalam menghadapi
situasi sulit, mereka dianjurkan terus-menerus membangun sikap saling mengampuni, bukan
sebaliknya.
2) Kesetiaan dalam cinta kasih
Adakalanya keluarga mengalami gejolak, terutama dalam menghadapi hal baru atau
mengalami perubahan situasi. Kelahiran si buah hati, di satu pihak mendatangkan kebahagiaan
yang luar biasa bagi pasangan suami-istri, tetapi pada saat tertentu dapat menimbulkan prolem
atau konflik suami-istri. Problem itu muncul, misalnya perbedaan cara mendidik, perlakuan yang
kurang adil, kecemburuan, dan sebagainya.
Apabila segala kepentingan ingin diupayakan oleh keluarga, baik yang menyangkut
kebutuhan intern maupun ekstern ditempatkan dalam semangat dan sikap dasr “demi dan atas
nama cinta” tidak perlu terjadi konflik. Cinta dapat menjadi semangat, bahkan jaminan yang dapat
mendatangkan sukacita, apabila diekspresikan melalui sikap: sabar, murah hati, tidak cemburu,
tidak sombong, adil, percaya dan penuh pengharapan. Dalam perkawinan, cinta yang dihayati
bukan lagi “untuk mencari pribadi yang cocok”, melainkan “menjadi pribadi yang cocok”. Untuk
mencapai hal itu dibutuhkan sikap dasar kesetiaan dalam cinta kasih terhadap pasangannya,
seperti halnya Kristus setia terhadap Bapa dan tugas perutusan-Nya, serta terhadap umat-Nya
meskipun sering dikhianati.

4. Persoalan kawin campur


Setiap perkawinan manghadapi berbagai tantangan yang dapat menggoyahkan keserasiannya.
Tantangan besar dapat timbul antara lain jika suami dan istri berbeda suku, tingkat pendididikkan, umur,
dan terutama agama. Akan tetapi, dalam masyarakat pluralis perkawinan campur merupakan hal yang
tak terhindarkan. Ada dua kepentingan yang bertentangan dalam hal perkawinan campur berbeda agama,
yaitu kepentingan menjaga kokohnya iman (kewajiban dasar) dan kepentingan hidup bersama dua orang
yang saling mencintai (hak asasi yang diakui KHK 1058).
a. Alasan Terjadinya Perkawinan Campur
Seperti dikatakan diatas, dalam masyarakat majemuk sangat mungin terjadi perkawinan campur.
Alasan terjadinya perkawinan campur tersebut antara lain sebagai berikut.
a) Jumlah umat yang terbatas pada suatu tempat sehingga muda-mudi Katolik sulit bertemu dengan
teman seiman. Pertemuan terus menerus dengan muda-mudi yang berbeda iman pasti bias
menimbulkan rasa suka satu sama lain. Jika saling jatuh cinta maka jalan menuju perkawinan
terbuka lebar.
b) Perkembangan usia, terutama untuk wanita. Jika usia sudah beranjak tua maka simpati dan lamaran
dari mana saja akan lebih gampang diterima.
c) Karakter, status sosial, dan jaminan sosial ekonomi. Seseorang yang mempunyai karakter atau
status sosial dan jaminan sosial ekonomi yang baik akan lebih gampang diterima. Pertimbangan
segi iman tidak lagi menjadi terlalu dominan.
d) Pergaulan sudah terlalu jauh sehingga harus dilanjutkan.
b. Akibat Perkawinan Campur
Problem perkawinan campur. Persoalan yang akan sering timbul antara lain:
1) Iman suami atau istri bias terguncang ;
2) Pendidikkan anak mungkin tak menentu ;
3) Banyak persoalan keluarga tidak bias dipecahkan karena keyakinan yang berbeda.
Namun, ada juga perkawinan campur yang rukun dan bahagia. Walaupun begitu, Gereja Katolik
tidak menganjurkan perkawinan campur sebab terlalu banyak kesulitannya, tetapi tidak mutlak
melarangnya. Gereja biasa memberi dispensasi dengan syarat-syarat tertentu.

c. Perkawinan Campur Beda Agama


Dalam hukum Gereja Katolik, perkawinan campur dapat berarti sebagai berikut.
1) Perkawinan antara seorang Kristen-Katolik dan seorang yang berbeda agama. Jadi, perkawinan
antara sorang yang dibaptis dan orang yang tidak dibabtis atau penganut agama lain. Misalnya,
agama Islam, Buddha, Hindu, dan sebagainya.
2) Perkawinan dua orang Kristen yang berbeda Gereja. Misalnya antara orang Katolik dan orang
Protestan atau Gereja-gereja Kristen lainnya. Kedua-duanya telah dibabtis.
Pandangan Katolik dan Islam tentang kawin campur
Materi Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas XII Semester Ganjil KD 3.1
5

1) Pandangan Katolik
a) Agama Katolik tidak mutlak melarang perkawinan campur antara orang Katolik dan orang yang
berbeda agama, tetapi juga tidak menganjurkannya. Perkawinan campur beda agama
memerlukan dispensasi dari Gereja supaya sah.dispensasi ini diberikan dengan persyaratan
sebagai berikut:
➢ Pernyataan tekad pihak Katolik untuk menjauhkan bahaya meninggalkan imannya dan
berjanji untuk sekuat tenaga mengusahakan pembabtisan dan pendidikkan anak-anak yang
akan lahir secara Katolik
➢ Pihak bukan Katolik harus diberi tahu mengenai janji pihak tersebut supaya sebelum
menikah ia sadar akan janji dan kewajiban pihak Katolik.
➢ Penjelasan kepada kedua belah pihak tentang tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan yang
tidak boleh disangkal agar perkawinan itu menjadi sah.
b) Perkawinan campur beda agama yang sah menurut Gereja Katolik tidak dapat diceraikan.
2) Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam perkawinan campur sulit dilakukan, bahkan tidak mungkin dilaksanakan.
a) Seorang pria Islam hanya akan menikah secara sah dengan wanita non islam, jika wanita itu
memeluk agam yang memiliki kitab suci (Kristen, Yahudi) dan pernikahan itu dilakukan secara
Islam, didepan wali nikah (wanita itu dapat tetap memeluk agamanya). Tanpa adanya wali
nikah untuk pihak wanita, perkawinan itu di anggap tidak sah secara Islam (Islam tidak
mengenal lembaga dispensasi).Dengan demikian, menurut pandangan Islam, pernikahan yang
dilaksanakan secara Katolik tidak sah dan hal itu juga berarti bahwa pria Islam itu hidup dalam
percabulan yang berkepanjangan dengan istrinya yang Kristen / Katolik.
b) Seorang wanita Islam tidak boleh menikah dengan pria yang bukan islam. Pria pemeluk agama
lain yang akan menikah dengannya harus meninggalkan agamanya dan memeluk agama islam.
c) Baik perkawinan campur maupun perkawinan yang biasa secara islam dapat diceraikan dengan
alasan-alasan yang sah. Kiranya cukup jelas bahwa dalam pandangan Islam perkawinan campur
sulit, bahkan tidak mungkin dilaksanakan, kalau seseorang mau berpegang teguh pada imannya
masing-masing.

d. Perkawinan Campur Beda Gereja


Menurut Teologi Kristen Protestan, suatu perkawinan adalah sah jika tekad nikah diungkapkan
secara umum sehingga upacara di Gereja hanya merupakan pemberian berkat dan pesan (Firman).
Perkawinan bukan merupakan suatu sakramen. Sementara, menurut keyakinan Katolik, jika salah satu
diantara kedua mempelai dibabtis di Gereja Katolik maka peneguhan.
Gerejanilah yang diperlukan supaya perkawinan itu sah. Perkawinan adalah suatu Sakramen.
Perkawinan campur antara dua orang Kristen, yaitu perkawinan orang Katolik dan orang Kristen
bukan Katolik ( perkawinan beda Gereja ) dilarang, jika dilakukan tanpa dispensasi. Meskipun
demikian , “perbedaan Gereja” bukan merupakan halangan yang menggagalkan perkawinan.
“Tanpa izin yang tegas dari yang berwenang, dilarang perkawinan antara dua orang yang sudah
dibaptis, yang diantaranya satu dibabtis dalam Gereja Katolik atau diterima didalamnya setelah
pembabtisan atau tidak meninggalkan secara resmi, sedangkan pihak lain tercatat pada Gereja atau
persekutuan Gerejani yang tidak bersatu penuh dengan Gereja Katolik “ (KHK 1124).
Izin yang dituntut kanon ini dapat diberikan oleh uskup setempat, jika ada alasan yang wajar dan
masuk akal. Namun, ia hanya boleh memberikan izin itu, jika syarat-syarat berikut ini terpenuhi.
1) Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan imannya dan berjanji
dengan jujur bahwa ia akan berusaha sekuat tenaga agar semua anaknya dibabtis dan dididik dalam
Gereja Katolik (kan1125, S1).
2) Mengenai janji yang wajib dibuat oleh pihak Katolik itu, pihak lain hendaknya diberi tahu pada
waktunya dan sedemikian rupa, sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban
pihak Katolik (1125, S2)
3) Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan dan sifat hakiki perkawinan, yang tidak
boleh ditiadakan oleh pihak manapun (KHK 1125, S3).
Pihak Katolik terikat pada tata peneguhan perkawinan, yaitu perkawinan dihadapan uskup atau
pastor paroki (atau imam maupu diakon yang diberi delegasi yang sah dan dihadapan dua orang
saksi). Akan tetapi, jika ada alasan yang berat, uskup berhak memberi dispensasi dari tata peneguhan
itu (lih. KHK 1127 & 1 dan 2). Jadi, peneguhan nikah dapat dilaksanakan didepan pendeta atau
pegawai catatan sipil asal mendapat dispensasi dari uskup. Pihak Katolik wajib memohon dispensasi
ini jauh sebelum peresmian perkawinan, bukan baru pada saat penyelidikkan Kanonik.
Kerena menurut pandangan Kristen upacara di Gereja hanya merupakan berkat, sedangkan
menurut pandangan Katolik merupakan peneguhan yang membuat perkawinan itu sah maka dalam
perkawinan ekumenis disarankan supaya pendeta membawa Firman dan Pastor memimpin peneguhan
atau kesepakatan nikah.

Materi Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas XII Semester Ganjil KD 3.1

Anda mungkin juga menyukai