Anda di halaman 1dari 39

Rabu/ 9 September 2020

Tugas 1

MAKALAH
FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
“Pendahuluan Filsafat ”

OLEH :
ERLINA YUSLIANI
(19175003)

DOSEN PEMBIMBING :
Dr. Fatni Mufit, S.Pd., M.Si
Pakhrur Razi, S.Pd, M.Si, Ph.d

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah Filsafat Ilmu Pendidikan” Pendahuluan Filsafat”.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak menemui kendala.
Namun berkat bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikanmakalah
ini dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu khususnya dosen pembimbing mata kuliah Filsafat Ilmu
Pendidikan, Ibu Dr. Fatni Mufit, S.Pd., M.Si dan Bapak Pakhrur Razi, S.Pd, M.Si,
Ph.d
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini untuk kedepannya. Semoga makalah ini bisa
dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Padang, September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR ..........................................................................................i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................1
A. Latar Belakang ..................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................3
C. Tujuan Penulisan ..............................................................................3
D. Manfaat Penulisan ............................................................................3
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................4
A. Pengertian Filsafat ............................................................................4
B. Objek Studi dan Metode Filsafat ......................................................7
C. Bidang Kajian Filsafat: Ontologi, Epistomologi dan Aksiologi ......8
D Aliran dalam Filsafat ......................................................................16
E. Cabang-cabang Filsafat ..................................................................27
BAB III PENUTUP ......................................................................................27
A. Kesimpulan .....................................................................................34
B. Saran ...............................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................36

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk istimewa yang diciptakan Allah SWT.
Keistimewaan manusia terletak pada potensi-potensi yang Allah berikan
kepadanya. Baik itu potensi yang berupa fisik ataupun non-fisik. Semua potensi
fisik manusia memiliki fungsi yang sangat luar biasa kegunaannya bagi
keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, begitupun dengan potensi non-fisik
yang terdiri atas: jiwa (psyche), akal (ratio) dan rasa (sense). Dengan potensi
akalnya, manusia mampu menjadi mahluk yang lebih mulia kedudukannya
daripada mahluk lain. Allah telah mengaruniai manusia sebuah anugerah yang
mampu menjadikan manusia mahluk yang berbudaya. Berbeda dengan hewan
yang tidak mampu berbudaya dikarenakan hewan tidak memiliki akal. Dengan
akalnya ini pula manusia mampu berfikir, bernalar dan memahami diri serta
lingkungannya, berefleksi tentang bagaimana ia sebagai seorang manusia
memandang dunianya dan bagaimana ia menata kehidupannya.
Sebagaimana dalam surat Al-baqarah:164

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya


malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa
air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya
dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin
dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat)

1
2

tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang


memikirkan.”
Dengan kemampuan dalam menggunakan nalarnya, manusia dapat
mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia-rahasia kekuasaan-Nya.
Contohnya para ilmuwan muslim seperti Al-khawarizmi (825M) yang mampu
menyusun buku matematika aljabar dan arimetika yang kemudian di Eropa
menjadi jalan pembuka untuk menggunakan angka desimal yang menggantikan
cara penulisan dengan angka romawi. Ibnu Sina (980-1037) adalah bapak
kedokteran modern, ia menulis buku Al-Qonuun fi Ath-Thib (The Canon of
Medicine) dan Kitab Asy-Syifa’ (The Book of Healing) yang telah dijadikan
bahan rujukan ahli-ahli kedokteran modern. Ibnu al-Haitam (965-1040) seorang
cendikiawan multidisiplin ilmu yang menghasilkan karya besar Al-Manadhir (The
Optic). Ibnu Ismail Al-Jaziri (1136-1206), tokoh besar bidang mekanik dan
industri ini berhasil mengembangkan prinsip hidrolik untuk menggerakkan mesin
yang dikenal sebagai mesin robot.
Di dunia baratpun dikenal tokoh-tokoh ilmuwan yang telah menorehkan
sejarah emasnya bagi generasi penerus mereka. Sebut saja Newton (1643-1727)
yang berhasil menciptakan teori gravitasi, teorinya memberikan penjelasan yang
luas sekali tentang peristiwa-peristiwa fisika mulai dari ukuran molekuler sampai
ukuran astronomis. Selain itu, Newton juga berhasil menyusun perhitungan
kalkulus yang disebut diferensial integral. Alexander Abraham Bell (1847), sang
penemu telepon. Wilhelm Konrad Roentgen (1895) yang telah menemukan sinar
X. Thomas Alva Edison (1827-1931), penemu lampu pijar dan 3000 penemuan
lainnya yang sampai sekarang kegunaannya dapat kita rasakan. Dan masih banyak
tokoh-tokoh yang lainnya.
Lalu, Bagaimana mereka mampu melakukan hal besar itu semua? Semua
itu tentunya mampu mereka capai karena mereka dapat mengoptimalkan potensi
akal yang Allah SWT berikan kepada mereka dan tentunya kepada kita juga.
Salah satu bidang keilmuan yang membelajarkan manusia untuk dapat
mengoptimalkan akalnya adalah Ilmu Filsafat. Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu
yang membutuhkan refleksi dan pemikiran sistematis-metodis dengan secara aktif
menggunakan intelek dan rasio kita. Oleh karena itu, melalui makalah ini akan
3

coba dipaparkan sebuah pengantar filsafat sebagai bekal dalam menuju dan
mengungkap rahasia terbesar yang tersimpan dalam akal kita.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat?
2. Apa saja objek studi dan metode filsafat?
3. Apa saja bidang kajian filsafat: Ontologi, Epistomologi dan Aksiologi?
4. Apa saja aliran dalam filsafat?
5. Apa saja cabang-cabang filsafat?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian filsafat
2. Untuk mengetahui objek studi dan metode filsafat
3. Untuk mengetahui bidang kajian filsafat: Ontologi, Epistomologi dan
Aksiologi
4. Untuk mengetahui aliran dalam filsafat
5. Untuk mengetahui cabang-cabang filsafat

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Guru/Tenaga pendidik sebagai tambahan wawasan mengenai pengertian
filsafat, objek studi dan metode filsafat, bidang kajian filsafat
2. Sumber ide dan referensi bagi penulis lain.
3. Penulis, sebagai modal dasar untuk mengembangkan diri dalam bidang
penulisan, menambah pengetahuan dan pengalaman.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Filsafat
Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua. Kata filsafat berasal dari
kata Yunani, yaitu philosophia, terdiri dari kata philos yang berarti cinta atau
sahabat dan kata sophia yang berarti kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan.
Jadi, philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran,
dalam hal ini kebenaran ilmu pengetahuan. Dalam penggunaan populer, filsafat
dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu) dan dapat juga disebut
sebagai pandangan masyarakat (masyarakat).
Selain itu, masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok.
Oleh karena manusia itu makhluk sosial, maka dalam hidupnya ia akan hidup
bermasyarakat dengan berpedoman pada nilai-nilai hidup yang diyakini bersama.
Inilah yang disebut filsafat atau pandangan hidup. Bagi bangsa Indonesia,
Pancasila merupakan filsafat bangsa. Henderson sebagaimana dikutip oleh Uyoh
Sadulloh (2007:16) mengemukakan: Populerly, philosophy menans one’s general
view of lifeof men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy
of life”.
Di Jerman dibedakan antara filsafat dengan pandangan hidup
(Weltanscahuung). Filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat
mendalam sampai ke akar-akarnya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat
Magnis Suseno (1995:20) bahwa filsafat sebagai ilmu kritis. Dalam pengertian
lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting
atau apa yang berarti dalam kehidupan. Di pihak lain ada yang beranggapan
bahwa filsafat sebagai cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan yang tidak
memiliki kegunaan praktis. Ada pula yang beranggapan bahwa para filsuf
bertanggung jawab terhadap cita-cita dan kultur masyarakat tertentu. Seperti
halnya Karl Marx dan Fredrich Engels yang telah menciptakan komunisme.
Thomas Jefferson dan John Stuart Mill telah mengembangkan suatu teori yang
dianut dalam masyarakat demokratis. John Dewey adalah peletak dasar kehidupan
pragmatis di Amerika.

4
5

Sidi Gazalba (1974:7) mengatakan bahwa filsafat adalah hasil kegiatan


berpikir yang radikal, sistematis, universal. Kata radikal berasal dari bahasa Latin
radix yang artinya akar. Filsafat bersifat radikal, artinya permasalahan yang dikaji,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diberikan bersifat
mendalam sampai ke akar-akarnya yang bagi orang awam mungkin dianggap hal
biasa yang tidak perlu dibahas lagi, tetapi filsafat ingin mencari kejelasan makna
dan hakikatnya. Misal: Siapakah manusia itu? Apakah hakikat alam semesta ini?
Apakah hakikat keadilan?
Filsafat adalah sikap terhadap hidup dan alam semesta (Philoshophy is an
attitude toward life and universe). Filsafat merupakan sikap berfikir yang
melibatkan usaha dalam usaha memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari
semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dan alam semesta
sebagaimana adanya dan mencoba untuk melihatnya secara keseluruhan hubungan
(Warsito dkk, 2012).
Filsafat bersifat sistematis artinya pernyataan-pernyataan atau kajian-
kajiannya menunjukkan adanya hubungan satu sama lain, saling berkait dan
bersifat koheren (runtut). Di dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran
besar yang menjadi titik tolak dan inti pandangan terhadap berbagai pertanyaan
filsafat. Misal: aliran empirisme berpandangan bahwa hakikat pengetahuan adalah
pengalaman. Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada pengetahuan. Pengalaman
diperoleh karena ada indera manusia yang menangkap objek-objek di
sekelilingnya (sensasi indera) yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh
akal sehingga menjadi pengetahuan.
Filsafat bersifat universal, artinya pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-
jawaban filsafat bersifat umum dan mengenai semua orang. Misalnya: Keadilan
adalah keadaan seimbang antara hak dan kewajiban. Setiap orang selalu berusaha
untuk mendapatkan keadilan. Walaupun ada perbedaan pandangan sebagai
jawaban dari pertanyaan filsafat, tetapi jawaban yang diberikan berlaku umum,
tidak terbatas ruang dan waktu. Dengan kata lain, filsafat mencoba mengajukan
suatu konsep tentang alam semesta (termasuk manusia di dalamnya) secara
sistematis.
6

Filsafat sering juga dapat diartikan sebagai ―berpikir reflektif dan kritis‖
(reflective and critical thinking). Namun, Randall dan Buchler sebagaimana
dikutip oleh Uyoh Sadulloh (2007:17) memberikan kritik terhadap pengertian
tersebut, dengan mengemukakan bahwa definisi tersebut tidak memuaskan,
karena beberapa alasan, yaitu: 1) tidak menunjukkan karakteristik yang berbeda
antara berpikir filsafati dengan fungsi-fungsi kebudayaan dan sejarah, 2) para
ilmuwan juga berpikir reflektif dan kritis, padahal antara sains dan filsafat
berbeda, 3) ahli hukum, ahli ekonomi juga ibu rumah tangga sewaktu-waktu
berpikir reflektif dan kritis, padahal mereka bukan filsuf atau ilmuwan.
Dalam Al-Quran dan budaya Arab terdapat istilah “hikmat‖ yang berarti
arif atau bijak. Filsafat itu sendiri bukan hikmat, melainkan cinta yang sangat
mendalam terhadap hikmat. Dengan pengertian tersebut, maka yang dinamakan
filsuf adalah orang yang mencintai dan mencari hikmat dan berusaha
mendapatkannya. Al-Syaibani (1979) mengatakan bahwa hikmat mengandung
kematangan pandangan dan pikiran yang jauh, pemahaman dan pengamatan yang
tidak dapat dicapai oleh pengetahuan saja. Dengan hikmat filsuf akan mengetahui
pelaksanaan pengetahuan dan dapat melaksanakannya.
Seorang filsuf akan memperhatikan semua aspek pengalaman manusia.
Pandangannya yang luas memungkinkan ia melihat segala sesuatu secara
menyeluruh, memperhitungkan tujuan yang seharusnya. Ia akan melampaui batas-
batas yang sempit dari perhatian yang khusus dan kepentingan individual. Harold
H. Titus (1959) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit maupun
dalam arti luas. Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai ilmu yang berkaitan
dengan metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna.
Filsafat diartikan sebagai science of science‖ yang bertugas memberi analisis
secara kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep ilmu, mengadakan
sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih
luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda
dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup
dan makna hidup. Ada beberapa definisi filsafat yang dikemukakan Harold Titus,
yaitu:
(1) Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta;
7

(2) Filsafat adalah suatu metode berpikir reflektif dan penelitian penalaran;
(3) Filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah;
(4) Filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berpikir.
Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang memiliki peran
penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini
manusia akan berusaha untuk mencapai kearifn dan kebajikan. Kearifan
merupakan hasil dari filsafat dari usaha mencapai hubungan-hubungan antara
berbagai pengetahuan dan menentukan implikasinya, baik yang tersurat maupun
yang tersurat dalam kehidupan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat merupakan
kegiatan berpikir yang khas, yaitu radikal, sistematis dan universal untuk mencari
kearifan, kebenaran yang sesungguhnya dari segala sesuatu. Berfilsafat berarti
berpikir merangkum (sinopsis) tentang pokok-pokok atau dasar-dasar dari hal
yang ditelaahnya.

B. Objek Studi dan Metode Filsafat


Objek dibedakan menjadi dua macam, yaitu objek material dan objek
formal. Setiap ilmu mempunyai objek material dan objek formal masing-masing.
Objek material filsafat meliputi segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu itu adalah
Tuhan, alam dan manusia. Bandingkanlah dengan ilmu empiris dan ilmu agama.
Objek ilmu empiris hanya manusia dan alam. Ilmu empiris tidak
mempermasalahkan atau mengkaji tentang Tuhan, tetapi ilmu-ilmu agama
(teologi) sebagian besar berisi kajian tentang ketuhanan ditinjau dari perspektif
dan interpretasi manusia terhadap wahyu atau ajaran para Nabi. Ilmu filsafat
mengkaji tentang alam, manusia dan Tuhan. Sepanjang sejarah filsafat, kajian
tentang alam menempati urutan pertama, kemudian disusul kajian tentang
manusia dan Tuhan. Pada abad pertengahan di Eropa ketika filsafat menjadi abdi
teologi, banyak kajian-kajian filsafati tentang Tuhan. Setelah masuk zaman
modern, fokus kajian filsafat adalah manusia.
Objek formal (sudut pandang pendekatan) filsafat adalah dari sudut
pandang hakikatnya. Filsafat berusaha untuk membahas hakikat segala sesuatu.
Hakikat artinya kebenaran yang sesungguhnya atau yang sejati, yang esensial,
8

bukan yang bersifat kebetulan. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini.


Manusia sebagai objek kajian ilmu dan filsafat dapat dikaji dari berbagai sudut
pandang. Manusia dapat dikaji dari sudut interaksinya dalam hidup
bermasyarakat. Inilah sudut pandang sosiologi. Manusia juga dapat ditinjau dari
sisi kejiwaannya. Inilah sudut pandang psikologi. Manusia dapat ditinjau dari
perilakunya dalam memenuhi kebutuhan hidup yang cenderung tidak terbatas
dihadapkan dengan benda-benda yang terbatas. Inilah sudut pandang ilmu
ekonomi. Tetapi, manusia dapat pula dibahas dari sudut pandang yang hakiki.
Inilah sudut pandang filsafat. Pertanyaan mendasar adalah: Siapakah manusia itu
sebenarnya?. Ada berbagai macam jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Salah
satu jawaban yang terkenal dari Aristoteles bahwa manusia adalah animal
rationale (binatang yang berpikir).

C. Bidang kajian Filsafat: Ontologi, Epistomologi dan Aksiologi


1. Ontologi
Apa yang dimaksud dengan ontologi? Mengapa kajian ontologi begitu
penting? Kajian ini merupakan kajian filsafat paling awal dan paling besar
secara keseluruhan. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu: “On” yang
berarti being, dan “Logos” yang berarti logik. Jadi Ontologi adalah The theory of
being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Ontologi
merupakam kajian filsafat tertua yang berupaya mencari inti yang ada pada
setiap kenyataan atau realitas yang sebenarnya. Ontologi memiliki objek telaah
yaitu Being (yang ada). Jadi ontologi membahas tentang apa saja yang ada yang
tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu yang bersifat universal. Jadi, ontologi
merupakan suatu kajian pada bidang filsafat yang terfokus untuk membahas
segala realitas yang ada (Being) secara total tanpa terikat oleh satu perwujudan
tertentu yang bersifat universal dan bersifat hakiki. Atau secara dasarnya dapat
dikatakan ontologi adalah “The theory of being qua being (teori tentang
keberadaan sebagai keberadaan).”
Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab
“apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan
ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
9

On=being, dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua
Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). [Amsal Bakhtiar,
2007:132)
Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas
apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan
lain suatu pengkajian mengenai yang “ada”. [Jujun S. Suriasumantri, 1985:5]
Jadi dapat disimpulkan bahwa:
➢ Menurut bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu
On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Ontologi adalah ilmu tentang
hakikat yang ada.
➢ Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan Kenyataan yg asas, baik yang
berbentuk jasmani / konkret, maupun rohani / abstrak.
Ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun
1636 M yang menamai teori tentang hakikat yang ada bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya, Christian Wolff (1679 – 1754 M) membagi metafisika
menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum
dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Sedang metafisika khusus masih
dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi dan teologi.[Amsal Bahtiar, 2004:135].
Objek kajian ontologi adalah hakikat seluruh kenyataan. Yang nantinya, objek
ini melahirkan pandangan-pandangan (point of view) / aliran-aliran pemikiran
dalam kajian ontologi antara lain: Monoisme, Dualisme, Pluralisme, Nihilisme,
dan Agnotisisme.
Namun demikian, kajian ontologi telah mendapatkan serangan keras
bukan hanya dari tokoh agama, melainkan oleh sebagian filsuf sendiri. Meski
demikian, ia masih tetap eksis karena adanya kebutuhan manusia terhadapnya.
Ilmu pengetahuan hanya mampu menyediakan sejumlah proposisi dan hukum
yang berkaitan dengan fenomena-fenomena dan tidak bisa memberikan sebuah
penafsiran yang komprehensif tentang alam. Ilmu pengetahuan seperti kita
ketahui hanya membahas peristiwa dan fenomena yang dapat ditangkap
pancaindra. Ada banyak hal yang lebih dalam daripada itu yang tidak bisa
dikajinya. Misalnya, tentang “prinsip pertama” dan “sebab pertama” dari segala
10

sesuatu. Dalam ontologi ini, terdapat dua bagian penting, yakni (1) metafisika
umum dan (2) metafisika khusus. Persoalan metafisika umum antara lain sebagai
berikut.
a. Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan, atau eksistensi itu?
b. Bagaimana penggolongan dari yang ada, keberadaan, atau eksistensi?
c. Apa sifat dasar, kenyataan, atau keberadaan?
Sementara itu, metafisika khusus mempersoalkan hakikat yang ada pada
tiga bagian penting berikut.
a. Kosmologi mempersoalkan hakikat alam semesta, termasuk segala isinya,
kecuali manusia. Persoalan-persoalan kosmologi (alam) bertalian dengan
hal-hal berikut.
1) Asal mula, perkembangan, dan struktur atau susunan alam.
2) Jenis keteraturan apa yang ada di alam?
3) Apa hakikat hubungan sebab akibat?
4) Apakah ruang dan waktu itu?
b. Antropologi, yakni bidang ilmu yang mempersoalkan hakikat manusia.
Persoalan yang ada antara lain menyangkut hal-hal berikut.
1) Bagaimana terjadinya hubungan badan dan jiwa?
2) Apa yang dimaksud dengan kesadaran?
3) Manusia sebagai makhluk bebas atau tidak bebas?
c. Teologi, yaitu bidang yang mempersoalkan hakikat Tuhan. Ini merupakan
konsekuensi terakhir dari seluruh pandangan filsafat. Tema-tema yang
dibicarakan berkisar pada kesucian, kebenaran, keadilan, dan sifat-sifat
Tuhan.
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu
mempunyai beberapa manfaat, di antaranya sebagai berikut:
1. Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai
bangunan sistem pemikiran yang ada.
2. Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai
eksisten dan eksistensi.
11

3. Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai


ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika.[
Farina Anis, 2007]

2. Epistomologi
Ontologi dan ilmu-ilmu lain didasarkan pada asumsi bahwa dengan
kemampuannya, manusia dapat mengetahui hakikat segala sesuatu dan
mengetahui berbagai karakter terkait hal-hal eksistensial. Hal ini kemudian
mendorong munculnya pertanyaan dan perdebatan dari para filsuf yang tidak
mau menerima sebuah konsep, pendapat, atau hakikat, kecuali setelah
mengadakan kajian dan klarifikasi. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan objek
kajian epistemologi (teori pengetahuan).
Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme
berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan
sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur,
metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Pengertian lain, menyatakan
bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah
hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan
Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha
yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat
pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan
kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
12

Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas diungkapkan


Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat
yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.
Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai
“ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan
validitas ilmu pengetahuan”.
Epistemologi adalah suatu kajian filsafat yang mendasari dasar-dasar
pengetahuan dan teori pengetahuan manusia bermula. Dengan kata lain,
epistemologi adalah suatu pemikiran mendasar dan sistematik mengenai
pengetahuan, dan merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode
atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan.Bisa
dikatakan bahwa epistemologi adalah salah satu kajian cabang dari filsafat yang
mendasari dasar – dasar tentang bagaimana ilmu pengetahuan bermula. Jadi
adalah pemikiran sistematik yang mendasar mengenai pengetahuan, dan
membahas tentang bagaimana asal mula pengetahuan, metode atau cara
memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan.
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber
dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu
hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M
Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus
dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya,
bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu,
mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan
sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi
dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih
banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan
secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi
banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah.
Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan
epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.
13

Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan


pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode
pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode
pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara
sistemik, seserorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga
memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek
pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa
berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif. Padahal
sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan
wilayah epistemologi.
Beberapa pertanyaan yang diajukan dalam filsafat tentang teori
pengetahuan sebagai berikut.
a. Apakah manusia mampu mengetahui hakikat-hakikat dan dapat meyakini
keabsahan dan kebenaran pengetahuan-pengetahuannya? Apakah
kemampuan pengetahuannya masih memiliki celah keraguan? Jika
pengetahuan itu bersifat probable, seberapa jauh batas kapasitasnya?
Apakah ia merupakan pengetahuan yang bersifat probabilitas atau
meyakinkan?
b. Apakah pengetahuan itu muncul dari dalam atau dari luar? Dengan cara
apa kita bisa mendapatkan pengetahuan? Dengan akal (rasionalis) atau
dengan indra (empiris)? Dengan kedua-duanya secara bersamaan?
Dengan intuisi yang merupakan jenis pencapaian langsung? Apakah
setiap cara mempunyai batasan-batasan? Apakah akal mampu
mengetahui Tuhan dan sifat wajib yang melekat pada diri-Nya?
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia.
Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi
mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu
sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan
koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu suatu kesatuan yang merupakan
hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu dipandang dari keyakinan, kepercayaan
dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan
teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena
14

didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada


bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan
teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi
modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-
pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun
teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata
teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan
berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk
teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis,
yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara
mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk
mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya.

3. Aksiologi
Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi Berasal dari bahasa Yunani Axios
(layak, pantas) dan Logos (Ilmu). Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai
suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam
menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam. (Cece Rakhmat,
2010).
Aksiologi adalah cabang filsafat yang secara khusus mengkaji cita-cita,
sistem nilai, atau nilai-nilai mutlak (tertinggi), yaitu nilai-nilai yang dianggap
sebagai “tujuan utama”. Nilai-nilai ini dalam filsafat adalah al-haq (kebenaran),
kebaikan, dan keindahan. Aksiologi disebut juga sebagai dengan teori nilai, yaitu
sesuatu yang diinginkan, disukai, atau yang baik. Aksiologi membahas tentang
tujuan ilmu pengetahuan, untuk apa pengetahuan itu digunakan; Bagaimana
keterkaitannya antara cara penggunaan ilmu tersebut sesuai kaidah moral;
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan – pilihan moral;
15

Maka aksiologi merupakan suatu bagian cabang filsafat yang mendeskripsikan


tentang kegunaan dan manfaat dari hasil yang diperoleh melalui pemikiran –
pemikiran saat memikirkan objek yang dipikirkan, aksiologi juga mengacukan
bagaimana dan seperti apakah nilai – nilai atau etika(moralitas)serta keindahan
dari pengetahuan yang diperoleh dapat diterapkan dalam kehidupan manusia
sesuai dengan kaidah.
Aksiologi ini memiliki tiga cabang sebagai berikut.
a. Logika, yakni suatu disiplin filsafat yang membahas nilai kebenaran yang
membantu kita untuk berkomitmen pada kebenaran dan menjauhi
kesalahan serta menerangkan bagaimana seharusnya berpikir secara benar
itu.
b. Etika, yakni disiplin filsafat yang membahas nilai kebaikan dan berusaha
membantu kita dalam mengarahkan perilaku. Ia mengarahkan kita kepada
apa yang seharusnya dilakukan, membatasi makna kebaikan, keburukan,
kewajiban, perasaan, serta tanggung jawab moral.
c. Estetika, yakni disiplin filsafat yang membahas nilai keindahan dan
berusaha membantu kita dalam meningkatkan rasa keindahan dan
membatasi tingkatan-tingkatan yang menjadi standar dari sesuatu yang
indah.
Oleh karena itu, persoalan-persoalan dalam aksiologi berkisar pada hal-hal
berikut.
a. Apa yang dimaksud baik atau buruk secara moral?
b. Apa syarat-syarat perbuatan dikatakan baik secara moral?
c. Bagaimana hubungan antara kebebasan dan perbuatan susila?
d. Apa yang dimaksud kesadaran moral?
e. Bagaimana peran suara hati dalam setiap perbuatan manusia?
f. Apakah keindahan itu?
g. Keindahan bersifat objektif atau subjektif?
h. Apa yang merupakan ukuran keindahan?
i. Apa peranan keindahan dalam kehidupan manusia?
j. Bagaimana hubungan keindahan dengan kebenaran?
16

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu
agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Nilai
kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat
ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga
hal, yaitu:
a. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi
dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu
ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem
kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya
mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-
teori filsafat ilmu.
b. Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima
kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai
pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani
kehidupan.
c. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
d. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan
pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu
masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu
dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari
cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan
amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara
tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua
masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.

D. Aliran dalam Filsafat


Beberapa aliran-aliran dalam filsafat ilmu yang akan kita jelaskan lebih
lanjut adalah: Materialisme, Dualisme, Empirisme, Rasionalisme, Kritisisme,
Idealisme, Renaissance, Eksistensialisme, Fenomenologi, Intuisionalisme,
17

Tomisme, Pragmatisme, Filsafat Analitik, Strukturalisme, Poststrukturalisme,


Dekonstruksionisme.
1. Materialisme
Materialisme merupakan faham atau aliran yang menganggap bahwa di
dunia ini tidak ada selain materi atau nature (alam) dan dunia fisik adalah abad
pertama masehi dan pemahaman ini tidak mendapat tanggapan yang serius dan
pada abad pertengahan, orang masih menganggap asing terhadap faham ini, baru
pada zaman Aufklarung (pencerahan), materialisme mendapat tanggapan dan
penganut yang penting di Eropa Barat, pada abad ke-19 pertengahan, aliran ini
tumbuh subur di barat disebabkan, dengan faham ini, orang-orang merasa
mempunyai harapan-harapan yang besar atas hasil-hasil ilmu pengetahuan alam.
Selain itu, faham materialisme ini praktis tidak memerlukan dalil-dalil
yang muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan-
kenyataan yang jelas dan mudah dimengerti, kemajuan aliran ini mendapat
tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama di mana-mana, hal ini
disebabkan bahwa faham ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya Tuhan
(ateis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat, pada masa ini, kritik pun
muncul di kalangan ulama-ulama barat yang menentang materialisme adapun
beberapa kritik yang dilontarkan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Materialisme menyatakan bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya
dari chaos (kacau balau). Kata Hegel, kacau balau yang mengatur bukan lagi
balau namanya itu Tuhan.
b. Materialisme menerangkan bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum alam.
Padahal pada hakikatnya hukum alam ini adalah perbuatan ruhani juga.
c. Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal
benda itu sendiri. Padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber dari luar itu
sendiri yaitu Tuhan.
d. Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian ruhani yang paling
mendasar sekalipun.
Diantara tokoh-tokoh aliran ini adalah Anaximenes (585-528),
Anaximandros (610-545 SM), Thales (625-545 SM), Demokritos (460-545 SM),
18

Thomas Hobbes (1588-1679 M), Lamettrie (1709-1775 M), Feuerbach (1804-


1877 M), Spencer (1820- 1903 M), dan Karl Marx (1818-1883M).
2. Dualisme
Dualisme adalah ajaran atau faham yang memandang alam ini terdiri atas
dua macam hakikat yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, Kedua macam
hakikat itu masing-masing bebas berdiri sendiri samadengan asasi dan abadi,
perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam, contoh
yang paling jelas tentang adanya kerjasama kedua hakikat ini adalah terdapat
dalam diri manusia, tokoh-tokoh aliran ini antara lain adalah Plato (427-347
SM), Aristoteles (384-322 SM), Descartes (1596-1650 M), Fechner (1802-1887
M), Arnold Gealinex, Leukippos, Anaxagoras, Hc. Daugall dan A.
Schopenhauer (1788-1860 M).
3. Empirisme
Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan, aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dengan cara observasi penginderaan. Pengalaman merupakan faktor
fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan
manusia.
Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lian akibat
suatu objek yang merangsang alat-alat indrawi yang kemudian dipahami di
dalam otak, dan akibat dari rangsangan tersebutlah tanggapan-tanggapan
mengenaiobjek telah merangsang alat-alat indrawi tersebut, empirisme
memegang perananyang amat penting bagi pengetahuan, penganut aliran ini
menganggap pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan dasar pengetahuan,
pengalman indrawi sering di anggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Empirisme berasal dari kata Yunani ”empiris” yang berarti pengalaman
indrawi, karena itu, empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang
menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia, pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dengan rasionalisme.
19

4. Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham atau aliran yang berdasar rasio, ide-ide yang
masuk akal, selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki, zaman
rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke-XVII sampai akhir abad ke-
XVIII, pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan
yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran, ternyata,
penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu
pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu
alam.
Sebagai aliran dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk memperoleh
pengetahuan dan kebenaran, rasonalisme selalu berpendapat bahwa akal
merupakan faktor fundamental dalam suatu pengetahuan, dan menurut
rasionalisme pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenran hukum “sebab-
akibat” karena peristiwa yang tak terhingga dalam kejadian alam ini tiadak
mungkin dapat di observasi, bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme
disebabkan kelemahan alat indra itu dan dapat di koreksi sendainya akal
digunakan.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan Indra dalam memperoleh
pengetahuan, pengalaman indra digunakan untuk merangsang akal dan
memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, akan tetapi
akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak didasarkan bahan indra
sama sekali, jadi akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang
betul-betul abstrak.
Indra dan akal yang bekerja sama belum juga dapat dipercaya mampu
mengetahui bagian-bagian tertentu tentang suatu objek, manusi mampu
menangkap keseluruhan objek beserta intuisinya, jika yang bekerj hanya rasio
yang menjadi andalan rasionlisme maka pengatahun yang diperoleh ialh
pengatahuan filsafat dan pengatahuan filsafat itu sendiri ialah pengatahuan logis
tanpa didukung data empiris, jadi pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang
sifatnya logis saja.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Rene Descartes (1596-1650 M), Nicholas
Malerbranche (1638-1775 M), B. De Spinoza (1632-1677 M), G.W.Leibniz
20

(1646-1716 M), Christian Wolff (1679-1754M), dan Blaise Pascal (1623-1662


M).
5. Kritisisme
Kehadiran aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolah belakang
dari tujuan semula, Pada satu sisi landasan aliran rasionalisme yang bertolak dari
rasio dan di lain sisi empirisme yang lebih mendasarkan pada pengalaman seolah
sudah sempurna, padahal kedua tawaran tersebut bukan jawaban yang tepat,
tokoh yang paling menolak kedua pandangan di atas adalah Immanuel Kant
(1724-1804 M).
Kant berusaha menawarkan perspektif baru dan berusaha mengadakan
penyelesaian terhadap pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan
kritisisme, untuk itulah ia menulis tiga bukunya berjudul: Kritik der Reinen
Vernunft (kritik rasio murni), Kritik der Urteilskraft, dan lainnya. Bagi Kant,
dalam pengenalan indrawi selalu sudah ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan
waktu, kedua-duanya berakar dalam struktur subjek sendiri, memang ada suatu
realitas terlepas dari subjek yang mengindra, tetapi realitas tidak pernah
dikenalinya, kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesis antara
yang diluar (aposteriori) dan ruang waktu (a priori).
6. Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik
hanya dapat dipahami kaitannya dengan jiwa dan ruh, istilah idealisme diambil
dari kata idea, yakni seseuatu yang hadir dalam jiwa, idealisme mempunyai
argumen epistemologi tersendiri, oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang
mengajarkan bahwa materi bergantung kepada spirit tidak disebut idealis karena
mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh
idealisme.
Pada zaman Aufklarung para filsuf yang mengakui aliran serbadua, seperti
Descartes dan Spinoza, yang mengenal dua pokok yang bersifat keruhanian dan
kebendaan maupun keduanya, mengakui bahwa unsur keruhanian lebih penting
daripada kebendaan selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat
digolongkan kepada penganut idealisme yang paling setia sepanjang masa,
walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam, puncak
21

zaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19, yaitu saat Jerman sedang
memiliki pengaruh besar di Eropa.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah : Plato (477-347), B. Spinoza (1632-1677
M), Liebniz (1685-1753 M), Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant(1724-1881
M), J. Fichte (1762-1814 M), F.Schelling (1755-1854 M), dan G. Hegel (1770-
1831 M).
7. Renaissance
Dalam periodisasi sejarah filsafat Barat, istilah renaissance digunakan
untuk menandai masa-masa antara abad ke-13 dan akhir abad ke 15, istilah
Renaissance sendiri berasal dari bahasa Perancis yang berarti kebangkitan
kembali oleh sejarawan istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan berbagai
periode kebangkitan intelektual, khususnya Eropa. ciri filsafat Renaissance ada
pada filsafat modern, yaitu menghidupkan kembali rasionalisme Yunani.
Berbeda dengan abad sebelumnya, yakni abad pertengahan yang lebih
menitikberatkan pada aspek ajaran agama Kristen di mana gereja menjadi
simbol kejayaan dan kekuasaan dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam
pemikiran, orientasi pemikiran di abad ini lebih bersifat teosentris ketimbang
filosofis murni, maka tak heran bila segala sesuatunya dikembalikan kepada
Tuhan sehingga akhirnya gereja sangat mendominasi dan siapa pun tidak bisa
mengganggu gugat kekuasaan dan otoritasnya. \
Situasi preode ini judtru berbeda dengan abad pertengahan memiliki
semangat kebebasan, spirit kebebasn ilnilah yang pernah terjadi di zaman
sebelumnya hilang akibat sistem teokrasi ynag membelenggu dan memberangus
kebebasan hingga ahirnya kembali dihirup dan dinikmati di era kebngkitan ini.
Beberapa tokoh pemikir era ini adalah Dante Alighieri (1265-1321 M) dari
Italia, Ia merupakan tokoh kritis yang berani menentang minoritas gereja pada
saat itu, paus Bonaface VIII yang berkuasa saat itu ditentang akibat ambisi
politiknya yang besar dan seharusnya tidak begitu. Tetapi, bukan berarti ia benci
terhadap ajaran agama Kristen.
8. Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata
exist itu sendiri berasal dari bahasa ex keluar dan sister berdiri jadi, eksistensi
22

berdiri dengan keluar dari diri sendiri, Filsafat eksistensi tidak samapersis
dengan filsafat eksistensialisme, filsafat eksistensialisme lebih sulit ketimbang
eksistensi.
Dalam filsafat dibedakan antara esesia dan eksistensi, esensia membuat
benda, tumbuhan, binatang dan manusia oleh esensia, sosok dari sgala yang ada
mendapatkan bentuknya, oleh sensia, kursi menjadi kursi, pohon manga menjadi
pohon manga, hari mau menjadi hari mau, manusia menjadi manusia, namun
dengan esensia saja segala yang ada belum tentu berbed, kita dapat
membayangkan kursi, pohon manga, hari mau atau manusia, namun belum pasti
apakah semua itu sungguh ada, sungguh tanapil, sungguh hadir, disinilah peran
eksistensia.
Eksisitensia membuat yang ada dan ber sosok jelas bentuknya, mampu
berbeda, eksis , oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat, pohon manga
dapat tertanam, tumbuh dan berkembang, hari mau dapat hidup dan merajai
hutan, manusia dapat hidup bekerja, berbakti, dan berbentuk kelompok bersama
orang lain, selama masih ber eksisitensia, segala yang ada menjadi tidak ada,
tidak hidup, tidak tanpil, tidak hadir, kursi lenyap, pohon mangga menjadi kayu
mangga, hari mau menjadi bangkai manusia mati, itulah pentingnya peranan
eksistensia, olehnya, segala dapat nyata ada hidup, tanpil, dan berperan,
tanpanya segala sesuatu tidak nyata ada apalagi hidup dan berperan
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia, para
pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada
karena memang sudah ada dan tak ada persoalan, kursi adalah kursi, pohon
mangga adalah pohon manga, harimau adalah harimau, manusia adalah manusia,
namun mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa
berada, oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tentang
eksistensia. Dengan mencaricara berada dan eksis yang sesuai pun akan ikut
terpengaruhi.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Immanuel Kant, Jean Paul Sartre, S.
Kierkegaard (1813-1855 M), Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), Karl Jaspers
(1883-1969 M), Martin Heidegger (1889-1976 M), Gabriel Marcel (1889-1973
M), Ren LeSenne dan M. Merleau Ponty (1908-1961 M).
23

9. Fenomenologi
Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham
yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan
dan kebenaran, seorang fenomenalisme suka melihat gejala, dia berbeda dengan
seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi,
serta membuat hukumhukum dan teori, fenomenalisme bergerak di bidang yang
pasti, hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang
evidensi yang langsung, fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran “a way
of looking at things”. Gejala adalah aktivitas, misalnya gejala gedung putih
adalah gejala akomodasi, konvergensi, dan fiksasi dari mata orang yang melihat
gedung itu, ditambah aktivitas lain yang perlu supaya gejala itu muncul,
fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan
objek menjadi satu secara dialektis, tidak mungkin ada hal yang melihat, inti dari
fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal yang disebut
konstitusi.
Menurut intensionalisme (brentano), manusia sebagai entreaumude
(mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu, manusia mengkonsitusi
alamnya untuk melihat Sesuatu hal, saya harus mengkonversikan mata,
mengkomodasikan lesa dan menfiksasikan hal yang mau dilihat, anak yang baru
lahir belum bisa melakukan sesuatu hal sehingga benda dibawa ke mulutnya.
10. Intuisionalisme
Intuisionalisme adalah suatu aliran atau faham yang menganggap bahwa
intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan pembenaran, intuisi
termasuk salah satu kegiatan berpikir yang tidak didasarkan pada penalaran, jadi
intuisi adalah nonanalitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berpikir tertentu
dan sering bercampur aduk dengan perasaan,tokoh-tokoh aliran ini adalah
Plotinos (205-270 M) dan Henri Bergson (1859-1994).
11. Tomisme
Nama aliran ini disandarkan kepada thomas Aquinas, salah seorang tokoh
intelektual termasyur skolastik Barat yang hidup pada tahun 1225-1274 M. ada
yang berpendapat bahwa thomas hanya menyesuaikan Aristoteles dengan ajaran
Katolik, hal ini tidaklah betul, iIa memang menyerap ajaran Aristoteles tetapi ia
24

menyusun sistem yang berlainan dari sistem Aristoteles. Thomas dilahirkan


dekat kota Aquino pada tahun 1225. Karenanya, ia akrab disebut Thomas
Aquinas, ia menjadi murid Albertus di Paris, warisan buku-bukunya sangat
banyak dan sampai sekarang masih dipelajari orang dan malahan menjadi
pedoman dalam aliran yang masih sangat banyak penganutnya, teologi dan
filsafat adalah dua hal yang banyak dikaji dan ditelaahnya. Bagi Thomas, kedua
disiplin ilmu tersebut tidak bisa dipisah malah saling berkait dan mempengaruhi.
12. Pragmatisme
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang artinya
perbuatan atau tindakan, “Isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang
lainnya, yaitu aliran atau ajaran atau paham dengan demikian, pragmatisme
berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan, kriteria
kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”, suatu teori atau hipotesis
dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil.
Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori dapat
diaplikasikan), pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan
suatu usahausaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat
dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia, sehubungan
dengan usaha tersebut, pragmatisme akhrinya berkembang menjadi suatu metode
untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-
hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat
sejak zaman Yunani Kuno (Guy W. Stroh: 1968).
13. Filsafat Analitik
Selain aliran di atas, masih ada lagi aliran yang menyibukkan diri dengan
analisis bahasa dan analisis atas konsep-konsep, aliran ini disebut aliran filsafat
analitik, dalam berfilsafat aliran ini berprinsip bahwa jangan katakan jika hal itu
tidak dapat dikatakan, “Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku”, soal-
soal falsafi seyogyanya dipecahkan melalui analisis bahasa, untuk mendapatkan
atau tidak mendapatkan makna di balik bahasa yang digunakan, hanya dalam
ilmu pengetahuan alam pernyataan memiliki makna, karena pernyataan itu
bersifat factual, pencetus aliran ini adalah Ludwig Wittgenstein (1899-1952 M),
belakangan, tepat sejak tahun 1960 berkembang aliran strukturalisme yang
25

menyelidiki pola-pola dasar yang tetap yang terdapat dalam bahasa-bahasa,


agama-agama, sistem-sistem dan karya-karya kesusasteraan.
14. Strukturalisme
Strukturalisme adalah suatu metode analisis yang dikembangkan oleh
banyak semiotisian berbasis model linguistik suassure, strukturalis bertujuan
untuk mendeskripsikan keseluruhan pengorganisasian sistem tanda sebagai
bahasa – seperti yang dilakukan Levi-Strauss dan mitos, ketentuan hubungan
dan totemisme, Lacan dan alam bawah sadar; serta Barthes dan Gremais dengan
’grammar’ pada narasi, mereka melakukan suatu pencarian untuk suatu “struktur
yang tersembunyi” yang terletak di bawah ’permukaan yang tampak’ dari suatu
fenomena. Social Semiotics kontemporer telah bergeser di bawah konsentrasi
pada strukturalis yang menemukan relasi internal dari bagian-bagian di antara
apa yang terkandung dalam suatu sistem, melakukan eksplorasi penggunaan
tanda-tanda dalam situasi tertentu, teori semiotik modern suatu ketika disatukan
dengan pendekatan Marxis yang diwarnai oleh aturan ideologi.
Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi
manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang
mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud,
keinginan, maupun tujuan manusia, bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi
Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya adalah
bahasa, Kesemuanya mendahului subjek manusia individual atau human agent
dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan.
15. Post-Strukturalisme
Istilah post-strukturalisme sebenarnya jarang digunakan, post-
strukturalisme sebenarnya lebih ditujukan pada munculnya pemikiran-pemikiran
yang mengembangkan strukturalisme lebih jauh, Beberapa yang dikategorikan
post-strukturalis antara lain Jacques Derrida, Michel Foucault sempat
dikategorikan sebagai post-strukturalis namun kemudian orang menggolongkan
sebagai beyond structuralist.
Jacques lacan memunculkan konsep bahwa nirsadar adalah ranah yang
terstruktur layaknya bahasa, konsep ini berbeda dari freud yang menganggap
bahwa nirsadar berisi hal-hal instingtif, Lacan bahkan melihat bahwa nirsadar
26

hadir bersama dengan bahasa lacan melihat bahasa adalah suatu sistem
pengungkapan yang tak pernah mampu secara utuh menggambarka konsep yang
diekspresikannya ada cermatan bahwa pada kenyataannya, sistem linguistik
berada di luar manusia yang menjadi subjek, memakai bahasa terpisah secara
radikal dari sistem tanda, ada jarak lebar antara yang mereka rasakan dan
bagaimana sebuah sistem kebahasaan memungkinkan seorang pemakai bahasa
memanfaatkan untuk mengekspresikan perasaan tersebut.
Semisal, laki-laki yang ingin mengekspresikan kecantikan seorang gadis,
mungkin dia akan mengatakan “Kau secantik bidadari”, namun, tetap saja
terdapat hal yang tidak terekspresikan, “Bidadari” hanyalah tanda yang dianggap
mewakili namun sebenarnya meredusir perasaan abstrak si laki-laki terhadap
kecantikan si gadis, bagi Lacan, hal itu merupakan faktor penting yang
menunjukkan bahwa manusia sebagai subjek, pertama-tama terpisah dari
peranti-peranti representasi, namun pada saat bersamaan, keberadaan dirinya
sebagai subjek juga dibentuk oleh peranti-peranti tersebut, oleh Lacan, algoritma
atau diagram Saussure tentang pertanda / penanda digunakan untuk
menunjukkan pengandaian-pengandaian yang dibuat kaum strukturalis mengenai
hubungan manusia dengan tanda. Menurut Lacan, yang primer justru konsep
(petanda) dan karena itu berada di atas diagram. Sementara entitas (penanda),
yakni yang sekunder, berada di bagian dasar diagram, sebuah ide dapat berdiri
sendiri, lepas dari segala bentuk mediasi, anak hanya dapat menangkap gagasan
tentang “anjing” setelah orangtuanya (others) menjelaskan bahwa makhluk yang
dia tanyakan itu bernama “anjing”, anak dapat memahami konsep “anjing”
karena “anjing” memang telah hadir sebelumnya sebagai elemen bangunan besar
langue yang mendahului kelahiran bayi sebagai individu.
16. Dekonstruksionisme
Jacques Derrida menolak permaknaan tentang pemaknaan tanda yang
dianggap sebagai proses murni dan sederhana. Derrida menawarkan suatu proses
pemaknaan dengan cara membongkar (to dismantle) dan menganalisis secara
kritis. Bagi Derrida, hubungan antara penanda dan petanda mengalami
penundaan untuk menemukan makna lain atau makna baru, makna tidak dapat
terlihat dalam satu kali jadi, melainkan pada waktu dan situasi yang berbeda-
27

beda dengan makna yang berbeda-beda pula. Proses dekonstruksi ini bersifat
tidak terbatas.
Derrida mengemukakan bahwa nilai sebuah tanda ditentukan sepenuhnya
oleh perbedaannya dengan tanda-tanda lain yang terwadahi dalam konsep
difference, namun konsep tersebut juga menegaskan bahwa nilai sebuah tanda
tidak dapat hadir seketika, nilainya terus ditunda (deffered) dan ditentukan
bahkan juga dimodifikasi oleh tanda berikutnya dalam satu aliran sintagma.
Derrida mengambil contoh stigma sebuah lagu Inggris: Ten green bottles
standing on a wall, maka berlangsunglah modifikasi tahap berikutnya, Kini
sepuluh botol hijau” disertai pula informasi tambahan “diatas dinding” (standing
on a wall) sehingga jawaban terhadap pertanyaan “sepuluh apa?” tertunda lagi,
saat membaca kata terakhir yaitu “dinding” (wall), maka kata “dinding” bukan
lagi tanda yang berdiri sendiri, Karena “dinding” tersebut adalah “dinding” yang
di atasnya terpajang sepuluh botol bir.

E. Cabang-Cabang Filsafat
Sidi Gazalba (1973) mengemukakan bidang permasalahan filsafat terdiri
atas:
1) Metafisika, dengan pokok-pokok masalah: filsafat hakikat atau ontologi,
filsafat alam atau kosmologi, filsafat manusia, dan filsafat ketuhanan atau
teodyce.
2) Teori pengetahuan atau epistemologi, yang mempersoalkan: hakikat
pengetahuan, dari mana asal atau sumber pengetahuan, bagaimana
membentuk pengetahuan yang tepat dan yang benar, apa yang dikatakan
pengetahuan yang benar, mungkinkah manusia mencapai pengetahuan
yang benar dan apakah dapat diketahui manusia, serta sampai di mana
batas pengetahuan manusia.
3) Filsafat nilai atau aksiologi yang membicarakan: hakikat nilai, di mana
letak nilai, apakah pada bendanya atau pada perbuatannya atau pada
manusia yang menilainya; mengapa terjadi perbedaan nilai antara
seseorang dengan orang lain, siapakah yang menentukan nilai, mengapa
perbedaan ruang dan waktu membawa perbedaan penilaian
28

Louis O. Kattsoff (1987: 74-82) membagi cabang-cabang filsafat menjadi


dua bagian besar, yaitu cabang filsafat yang memuat materi ajar tentang alat dan
cabang filsafat yang memuat tentang isi atau bahan-bahan dan informasi. Cabang
filsafat yang merupakan alat adalah Logika, termasuk di dalamnya Metodologi.
1. Logika
Logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari
suatu perangkat bahan tertentu. Kadang-kadang Logika didefinisikan sebagai
ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan. Logika dibagi dalam dua
cabang utama, yakni logika deduktif dan logika induktif.
Logika deduktif berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat
dipergunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan
dari satu premis tertentu atau lebih. Memperoleh kesimpulan yang bersifat
keharusan itu yang paling mudah ialah bila didasarkan atas susunan proposisi-
proposisi dan akan lebih sulit bila yang diperhatikan ialah isi proposisi-proposisi
tersebut. Logika yang membicarakan susunan-susunan proposisi dan
penyimpulan yang sifat keharusannya berdasarkan atas susunannya, dikenal
sebagai logika deduktif atau logika formal.
Logika induktif mencoba untuk menarik kesimpulan tidak dari susunan
proposisi-proposisi, melainkan dari sifat-sifat seperangkat bahan yang diamati.
Logika induktif mencoba untuk bergerak dari suatu perangkat fakta yang diamati
secara khusus menuju ke pernyataan yang bersifat umum mengenai semua fakta
yang bercorak demikian, atau dari suatu perangkat akibat tertentu menuju
kepada sebab atau sebab-sebab dari akibat-akibat tersebut. Bagi logika deduktif
ada suatu perangkat aturan yang dapat dikatakan hampir-hampir otomatis; bagi
logika induktif tidak ada aturan-aturan yang demikian itu, kecuali hukum-hukum
probabilitas. Yang termasuk pertanyaan-pertanyaan terpokok di dalam logika
ialah:
a. Apakah aturan-aturan bagi penyimpulan yang sah?
b. Apakah ukuran-ukurannya bagi hipotesis yang baik?
c. Apakah corak-corak penalaran yang logis itu?
d. Apakah yang menyebabkan tersusunnya sebuah definisi yang baik.
29

2. Metodologi
Metodologi ialah ilmu pengetahuan tentang metode dan khususnya metode
ilmiah. Tampaknya semua metode yang berharga dalam menemukan
pengetahuan mempunyai garis-garis besar umum yang sama. Metodologi
membicarakan hal-hal seperti sifat observasi, hipotesis, hukum, teori, susunan
eksperimen dan sebagainya.
Sedangkan cabang filsafat yang merupakan isi adalah:
1. Metafisika
Metafisika adalah cabang filsafat mengenai yang ada. Aristoteles
mendefinisikan metafisika sebagai ilmu mengenai yang ada sebagai yang ada,
yang dilawankan dengan yang ada sebagai yang digerakkan dan yang ada
sebagai yang dijumlahkan. Istilah metafisika sejak lama digunakan di Yunani
untuk menunjukkan karya-karya tertentu Aristoteles. Maka, istilah
metafisikapun berasal dari bahasa Yunani: meta ta physika yang berarti ―hal-
hal yang terdapat sesudah fisika‖. Dewasa ini metafisikan dipergunakan baik
untuk menunjukkan filsafat pada umumnya maupun untuk menunjukkan cabang
filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Metafisika juga
sering disamakan artinya dengan ontologi. Sebenarnya, ontologi adalah bagian
dari metafisika. Secara sederhana metafisika dapat didefinisikan sebagai cabang
filsafat atau bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan
mengenai hakikat ada yang terdalam.
Pada umumnya orang mengajukan dua pertanyaan yang bercorak
metafisika, misalnya : (1) Apakah saya ini tidak berbeda dengan batu karang?
Apakah roh saya hanya merupakan gejala materi? (2) Apakah yang merupakan
asal mula jagad raya? Apakah yang menjadikan pusat jagad raya dan bukannya
suatu keadaan yang bercampur aduk? Apakah hakikat ruang dan waktu itu?
Pertanyaan jenis pertama termasuk ontologi, pertanyaan kedua termasuk
kosmologi. Perkataan kosmologi‖ berasal dari perkataan Yunani, cosmos (alam
semesta yang teratur) dan logos (penyelidikan tentang, azas-azas rasional dari).
Jadi, kosmologi berarti penyelidikan tentang alam semesta yang teratur.
Perkataan ontologi‖ berasal dari perkataan Yunani ontos yang berarti yang ada
dan logos yang berarti penyelidikan tentang. Jadi, ontologi diartikan sebagai
30

penyelidikan tentang yang ada. Ontologi berusaha untuk mengetahui esensi yang
terdalam dari yang ada, sedangkan kosmologi berusaha untuk mengetahui
ketertibannya serta susunannya. Contoh pandangan ontologis adalah
materialisme. Materialisme ialah ajaran ontologi yang mengatakan
bahwa yang ada yang terdalam bersifat material. Evolusi sebagai teori
kefilsafatan merupakan teori kosmologi, karena teori ini memberitahukan
kepada kita bagaimana timbulmya ketertiban yang ada sekarang. Apakah
kenyataan itu mengandung tujuan atau bersifat mekanis (artinya, bersifat
teleologis atau tidak) merupakan suatu pertanyaan penting di bidang ontologi.
2. Epistemologi
Menurut Kattsoff, epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki
asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Pertanyaan yang
mendasar ialah: Apakah mengetahui itu? Apakah yang merupakan asal mula
pengetahuan kita? Bagaimanakah cara kita membedakan antara pengetahuan
dengan pendapat? Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu? Corak-
corak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimanakah cara kita memperoleh
pengetahuan? Apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah kesalahan itu?
3. Biologi Kefilsafatan
Biologi kefilsafatan membicarakan persoalan-persoalan mengenai
biologi, menganalisa pengertian hakiki dalam biologi. Ia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mengenai pengertian hidup, adaptasi, teleologi, evolusi
dan penurunan sifat-sifat. Biologi kefilsafatan juga membicarakan tentang
tempat hidup dalam rangka segala sesuatu, dan arti pentingnya hidup bagi
penafsiran kita tentang alam semesta tempat kita hidup. Seorang filsuf dapat
menghubungkan bahan-bahan yang ditemukan oleh ilmuwan biologi dengan
teori-teori yang dikemukakan untuk menerangkan bahan-bahan tersebut. Ia dapat
menolong seorang ahli biologi untuk bersifat kritis, bukan hanya terhadap
istilah-istilahnya, melainkan juga terhadap metode-metode dan teori-teorinya.
4. Psikologi Kefilsafatan
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam bidang psikologi kefilsafatan
adalah: Apakah yang dinamakan jiwa itu? Apakah jiwa tiada lain dari kumpulan
jalur urat-urat syaraf, ataukah sesuatu yang bersifat khas? Apakah kita harus
31

mengadakan pembedaan antara jiwa (mind) dengan nyawa (soul)? Apakah


hubungan antara jiwa dan tubuh, bila kedua hal itu dianggap berbeda? Apakah
yang dimaksud dengan ego? Apakah yang merupakan kemampuan-kemampuan
yang menyebabkan ego itu berfungsi? Bagaimanakah susunan jiwa itu?
Bagaimana halnya dengan perasaan dan kehendak? Apakah keduanya
merupakan bagian dari jiwa ataukah merupakan kemampuan yang terpisah?
Apakah akal itu dan bagaimana hubungannya dengan tubuh?
Demikianlah di dalam lapangan psikologi, seorang filsuf mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat hakiki. Dan apa yang pada suatu ketika
dulu semuanya merupakan bagian filsafatm dibagi dalam dua lapangan
psikologi, yaitu psikologi sebagai ilmu dan psikologi kefilsafatan. Kedua hal ini
tidak pernah terpisah, melainkan hanya segi-segi yang berbeda dari masalah
yang sama.
5. Antropologi Kefilsafatan
Antropologi kefilsafatan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang
manusia. Dimulai sejak abad kelima sebelum Masehi, setelah melalui
penyelidikan yang lama, Socrates tampil ke depat dengan semboyannya:
―Kenalilah dirimu sendiri!‖. Artinya, filsafat tidak cukup hanya membicarakan
tentang alam saja, tetapi yang tak-kalah penting adalah bertanya dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang manusia itu sendiri. Apakah hakikat terdalam
manusia itu ? Ada pilihan penafsiran apa sajakah mengenai hakikat manusia?
Yang manakah yang lebih mendekati kebenaran?
Antropologi kefilsafatan juga membicarakan tentang makna sejarah
manusia dan arah kecenderungan sejarah. Sejarah juga dikaji dalam
hubungannya dengan ilmu-ilmu alam, atau dengan nafsu-nafsu atau dogma
keagamaan, atau perjuangan untuk kelangsungan hidup. Telah banyak
penjelasan yang diberikan mengenai hal ini.
6. Sosiologi Kefilsafatan
Sosiologi kefilsafatan merupakan istilah lain untuk filsafat sosial dan
filsafat politik. Di dalam filsafat sosial dan filsafat politik, biasanya
dikemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat masyarakat dan hakikat
negara, lembaga-lembaga yang terdapat di masyarakat dan hubungan manusia
32

dengan negaranya. Jadi, kita mengadakan perenungan masalah sosiologi dan


ilmu politik. Perenungan filsafati mengadakan pertanyaan-pertanyaan:
Bagaimanakah praanggapan kedua ilmu tersebut mengenai metode-metode yang
digunakan? Apa makna hakiki dari istilah-istilah yang digunakan? Masalah-
masalah ideologi juga dipertanyakan. Misalnya, ideologi manakah yang lebih
dapat diterima di masa depan dan ideologi manakah yang dapat menimbulkan
malapetaka?
7. Etika
Di dalam melakukan pilihan, manusia mengacu kepada istilah-istilah
seperti baik, buruk, kebajikan, kejahatan dan sebagainya. Istilah-istilah ini
merupakan predikat-predikat kesusilaan (etik). Cabang filsafat yang membahas
masalah ini adalah etika. Dalam kondisi yang bagaimanakah kita mengadakan
tanggapan-tanggapan kesusilaan? Ukuran-ukuran apakah yang dipakai untuk
menguji tanggapan-tanggapan kesusilaan?
Tujuan pokok etika adalah menemukan norma-norma untuk hidup
dengan baik. Berkaitan dengan itu muncul pertanyaan-pertanyaan: Apakah yang
menyebabkan suatu perbuatan yang baik itu adalah baik secara etik?
Bagaimanakah cara kita melakukan pilihan di antara hal-hal yang baik? Itulah
beberapa contoh pertanyaan di dalam penyelidikan etika.
8. Estetika
Dua istilah pokok telah digunakan di dalam kajian filsafat, yakni
kebenaran‖ dan kebaikan‖. Kebenaran merupakan tujuan yang hendak dicapai
dalam pembicaraan kita tentang epistemologi dan metodologi. Kebaikan
merupakan masalah yang diselidiki dalam etika. Pada hal-hal ini kita tambahkan
unsur ketiga dari ketritunggalan besar yang mendasari semua peradaban, yakni
keindahan‖. Cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan dan peranan
keindahan, khususnya di dalam seni, dinamakan estetika. Pertanyaan-pertanyaan
filsafati di dalam perbincangan estetika adalah: Apakah keindahan itu? Apa
hubungan antara yang indah dengan yang benar dan yang baik? Apakah ada
ukuran yang dapat dipakai untuk menanggapi suatu karya seni dalama rti yang
objektif? Apakah fungsi keindahan dalam hidup kita? Apakah seni itu ? Apakah
seni hanya sekedar reproduksi alam kodrat belaka, ataukah suatu ungkapan
33

perasaaan seseorang, ataukah suatu penglihatan ke dalam kenyataan yang


terdalam?
9. Filsafat Agama
Jika kita ingin mengetahui sesuatu di dalam kepercayaan agama tertentu,
maka tanyalah kepada para ahli agama atau ulama-ulamanya. Sedangkan bagi
seorang filsuf, ia akan membicarakan jenis-jenis pertanyaan yang berbeda
mengenai agama. Pertama-tama ia mungkin akan bertanya: Apakah agama itu?
Apakah yang dimaksud dengan istilah ―Tuhan‖ itu? Apakah bukti-bukti tentang
adanya Tuhan itu sehat menurut logika? Bagaimanakah cara kita mengetahui
Tuhan? Apakah makna ―eksistensi‖ bila istilah ini dipergunakan dalam
hubungannya dengan Tuhan?
Filsafat agama tidak berkepentingan dengan apa yang orang percayai.
Tetapi kepada makna istilah-istilah yang dipergunakan, keruntutan di antara
kepercayaan-kepercayaan, bahan-bahan bukti bagi kepercayaan, dan hubungan
antara kepercayaan agama dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Yang
erat hubungannya dengan kepercayaan agama adalah kepercayaan mengenai
keabadian hidup. Meskipun masalah ini tidak monopoli milik agama, tetapi
merupakan masalah terpenting bagi penganut-penganutnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Berfilsafat merupakan kegiatan berpikir yang khas, yaitu radikal,
sistematis dan universal untuk mencari kearifan, kebenaran yang
sesungguhnya dari segala sesuatu. Berfilsafat berarti berpikir merangkum
(sinopsis) tentang pokok-pokok atau dasar-dasar dari hal yang ditelaahnya
2. Objek dibedakan menjadi dua macam, yaitu objek material dan objek
formal. Setiap ilmu mempunyai objek material dan objek formal masing-
masing. Objek material filsafat meliputi segala sesuatu yang ada. Objek
formal (sudut pandang pendekatan) filsafat adalah dari sudut pandang
hakikatnya.
3. Ontologi merupakan suatu kajian pada bidang filsafat yang terfokus untuk
membahas segala realitas yang ada (Being) secara total tanpa terikat oleh
satu perwujudan tertentu yang bersifat universal dan bersifat hakiki.
Epistemologi adalah suatu kajian filsafat yang mendasari dasar-dasar
pengetahuan dan teori pengetahuan manusia bermula.Aksiologi adalah
cabang filsafat yang secara khusus mengkaji cita-cita, sistem nilai, atau
nilai-nilai mutlak (tertinggi), yaitu nilai-nilai yang dianggap sebagai
“tujuan utama”.
4. Beberapa aliran-aliran dalam filsafat ilmu adalah: Materialisme, Dualisme,
Empirisme, Rasionalisme, Kritisisme, Idealisme, Renaissance,
Eksistensialisme, Fenomenologi, Intuisionalisme, Tomisme, Pragmatisme,
Filsafat Analitik, Strukturalisme, Poststrukturalisme, Dekonstruksionisme.
5. Cabang-cabang filsafat menjadi dua bagian besar, yaitu cabang filsafat
yang memuat materi ajar tentang alat dan cabang filsafat yang memuat
tentang isi atau bahan-bahan dan informasi. Cabang filsafat yang
merupakan alat adalah Logika, dan Metodologi. Sedangkan cabang filsafat
yang merupakan isi adalah: Metafisika, Epistemologi, Biologi

34
35

Kefilsafatan, Psikologi Kefilsafatan, Antropologi Kefilsafatan, Sosiologi


Kefilsafatan, Etika, Estetika & Filsafat Agama.

B. Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca agar memahami filsafat ilmu
.Tujuannya agar dapat menerapkannya dengan baik.Dan untuk pemahaman lebih
lanjut maka penulis memberikan saran, Perlunya penambahan materi untuk
perluasan pemahaman karena penulis menyadari makalah ini masih banyak
kekuranganan penulis.
DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Gutek, Gerald L. 1988. Philosophical and ideological perspectives on education.


New Jersey: Prentice Hall Inc.
Imam Barnadib. 1996. Filsafat Pendidikan – Sistem dan Metode. Yogyakarta:
AndiOffset.
Jamaluddin & Abdullah Idi.1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
Kuntjojo. 2009. Filsafat Ilmu. Kediri:Program Studi Pendidikan Bimbingan dan
Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri
Kattsoff, Louis O.1987. Pengantar filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Penerjemah: Soejono Soemargono
Kneller, George F. 1971. Introduction to the philosophy of education. New York:
John Wiley & Sons, Inc.
Knight, George R. 1982. Issues and alternatives in educational philosophy.
Michigan: Andrews University Press.
O‘neil, William F. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Salam, Burhannudin. 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

Sartre. 1946. Existensialism as Humanism. Dalam


http://www.marxists.org/reference Diunduh tgl. 06 September 2020.
Sidi Gazalba. 1973. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
S. Suriasumatri, J. 2003. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Sonny Keraf, A & Dua, M. 2001. Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Kanisius.

Tafsir, A. 2009. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

36

Anda mungkin juga menyukai