Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

TESI NOVIANA

2114901074

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PROFESI NERS

2021/2022
A. Masalah Utama: Risiko Perilaku Kekerasan
1. Pengertian Perilaku Kekerasan
a. Bereisko membahayakan secara fisik, emosi, dan/atau seksual pada diri sendiri
atau orang lain, SDKI (2016).
b. Risiko perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan melukai
seseorang, baik secara fisik maupun psikologis (Keliat, 2010).
c. American Psychological Association (Townsend, 2009, dalam Satrio, dkk,
2015) mengemukakan bahwa kekerasan/kemarahan adalah keadaan emosional
yang bervariasi dalam intensitas ringan hingga kemarahan yang intens (berat),
hal ini disertai dengan perubahan fisiologis dan biologis, seperti peningkatan
denyut jantung, tekanan darah dan kadar hormon epinerphrine dan
norepinerphine.
d. Stuart, (2009 dalam Satrio, dkk, 2015) mengemukakan perilaku agresif adalah
suatu kondisi dimana seseorang mengabaikan hak orang lain, dia menganggap
bahwa harus berjuang untuk kepentingannya dan mengharapkan perilaku yang
sama dari orang lain, bagi dia hidup adalah pertempuran yang dapat
mengakibatkan kekerasan fisik atau verbal, perilaku agresif sering terjadi akibat
kurang kepercayaan diri.
e. Perilaku agresif adalah suatu fenomena komplek yang dapat terjadi pada klien
dengan skizoprenia, gangguan mood, gangguan kepribadian borderline,
gangguan perilaku dan ketergantungan obat (Fontaine, 2009 dalam Satrio, dkk,
2015).
f. Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai tindakan kekuatan fisik dimaksudkan
untuk menyebabkan kerugian bagi seseorang atau obyek, agresif dan perilaku
kekerasan merupakan sebuah rentang kontinum dari perilaku yang
mencurigakan kepada tindakan ekstrim yang mengancam keselamatan orang
lain atau mengakibatkan cedera atau kematian (Herper&Reimer, 1992 dalam
Videback, 2008).
g. Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan individu
tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual kepada
orang lain (NANDA-I, 2012-2014, Herdman, 2012 dalam Satrio, dkk, 2015)

Dari semua pernyataan diatas maka perilaku kekerasan atau agresifitas dapat
didefinisikan sebagai perilaku mencederai orang lain, diri sendiri dan lingkungan
yang bervariasi dari intensitas ringan sampai berat/ intens, dilakukan baik secara
verbal, fisik, dan emosional yang akan mengakibatkan perusakan harta benda,
perampasan hak, kerugian dan bahkan kematian.
2. Tahapan Risiko Perilaku Kekerasan
Tahapan perilaku agresif atau risiko perilaku kekerasan: (Fontaine, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015)
a. Tahap 1: Tahap Memicu
Perasaan : Kecemasan
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindari kontak
Tindakan perawat: Mengidentifikasi faktor pemicu, mengurangi kecemasan,
memecahkan masalah bila memungkinkan.

b. Tahap 2: Tahap Transisi


Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi meningkat
Tindakan Perawat: Jangan tangani marah dengan amarah, menjaga
pembicaraan, menetapkan batas dan memberikan pengarahan, mengajak
kompromi, mencari dampak; meminta bantuan.

c. Tahap 3: Krisis
Perasaan : Peningkatan kemarahan dan agresi
Perilaku : Agitasi, gerakan mengancam, menyerang orang
disekitar, berkata kotor; berteriak
Tindakan Perawat: Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam lipatan ruang pribadi,
hangat (tidak mengancam) konsekuensi, cobalah untuk menjaga komunikasi

d. Tahap 4: Perilaku Merusak


Perasaan : Marah
Perilaku : Menyerang; merusak
Tindakan Perawat: Lindungi klien lain, menghindar, melakukan pengekangan
fisik

e. Tahap 5: Tahap Lanjut


Perasaan : Agresi
Perilaku : Menghentikan perilaku terang-terangan destuctive,
pengurangan tingkat gairah
Tindakan Perawat: Tetap waspada karena perilaku kekerasan baru masih
memungkinkan, hindari pembalasan atau balas dendam

f. Tahap 6: Tahap Peralihan


Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir
Tindakan Perawat: Lanjutkan fokus mengatasi masalah utama

3. Faktor Resiko RPK Menurut SDKI (2016)


a. Pemikiran waham/delusi
b. Curiga pada orang lain
c. Halusinasi
d. Berencana bunuh diri
e. Disfungsi sistem keluarga
f. Kerusakan kognitif
g. Disorientasi atau konfusi
h. Kerusakan kontrol implus
i. Persepsi pada lingkungan tidak akurat
j. Alam perasaan depresi
k. Riwatar kekerasan pada hewan
l. Kelainan neurologis
m. Lingkungan tidak teratur
n. Penganiayaan atau pengabaian anak
o. Riwayat atau ancaman kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain
p. Impulsif
q. Ilusi

4. Rentang Respon Risiko Perilaku Kekerasan


Perilaku Kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan dapat
berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptif (Keliat & Sinaga, 1991 dalam
Satrio, dkk, 2015). Rentang respon marah menurut Stuart dan Sundeen (1995 dalam
Satrio, dkk, 2015) dijelaskan dalam skema 2.2 dimana agresif dan amuk (perilaku
kekerasan) berada pada rentang respon yang maladaptif.

Skema 2.2 Rentang Respon Marah Menurut Stuart dan Sundeen (1995 dalam Satrio,
dkk, 2015)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Frustrasi Agresif Amuk

a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti dan
merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang asertif
berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihat norma dari individu
lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat berbicara kontak mata
langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam berbicara tidak
mengancam. Postur tegak dan santai, kesan keseluruhan adalah bahwa
individu tersebut kuat tapi tidak mengancam. Individu yang asertif dapat
menolak permintaan yang tidak beralasan dan menyampaikan rasionalnya
kepada orang lain dan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak
merasa bersalah bila permintaannya di tolak orang lain. Individu yang asertif
ingat untuk mengungkapkan kasih sayang kepada siapa saja yang dekat, pujian
diberikan sepatutnya. Permintaan masukan yang positif juga termasuk perilaku
asertif ( Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

b. Pasif
Individu yang pasif sering mengenyampingkan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia akan
berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatan tekanan pada dirinya.
Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan gangguan perkembangan
interpersonal (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009). Perilaku pasif dapat
diekpresikankan secara nonverbal, seseorang yang pasif biasanya bicara pelan,
sering dengan cara kekanak-kanakan dan kontak mata yang sedikit. Individu
tersebut mungkin dalam posisi membungkuk, tangan memegang tubuh dengan
dekat (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
c. Frustasi
Frustrasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang kurang
realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart & Laraia, 2005).
Frustrasi adalah kegagalan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan
Frustrasi akan bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai memiliki
nilai yang tinggi dalam kehidupan (Keliat & Sinaga, 1991 dalam Satrio, dkk,
2015).
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa harus
bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang yang agresif
di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan verbal. Perilaku
agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya
diri (Bushman& Baumeister, 1998 dalam Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).
Perilaku agresif juga dapat di tunjukkan secara nonverbal, seseorang yang
agresif melanggar batas pribadi orang lain, bicaranya keras dan lantang,
biasanya kontak mata yang berlebihan dan menganggu, postur kaku dan
tampak mengancam (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

e. Amuk
Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang
kuat yang disertai kehilangan kontrol diri sehingga individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain dan lingkungan ( Keliat & Sinaga, 1991). Menurut Stuart
dan Laraia (2009) perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai
tinggi yaitu yang disebut dengan hirarki perilaku agresif dan kekerasan
(Gambar 2.1)
Gambar 2.1 Hirarki perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan

Melukai dalam tingkat serius dan berbahaya


Tinggi
Melukai dalam tingkat yang tidak berbahaya
Mengucapkan kata-kata ancaman dengan rencana
melukai
Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut
Memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah
Rendah

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku kekerasan


mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya mulai dari yang terendah yaitu
memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah sampai pada tingkatan yang
tertinggi yaitu melukai dalam tingkat serius dan membahayakan.

B. Proses Terjadinya Masalah

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon maladaptif dari marah. Marah adalah
emosi yang kuat; ketika ditolak atau dipendam dapat memicu masalah fisik seperti
sakit kepala migrain, ulcers, radang usus dan bahkan penyakit jantung koroner; ketika
ditujukan kedalam diri sendiri, marah dapat mengakibatkan depresi dan harga diri
rendah; ketika diungkapkan tidak dengan tepat, dapat memperburuk hubungan; ketika
ditekan/supresi, marah dapat berubah menjadi kebencian yang sering dimanifestasikan
dengan perilaku diri yang negatif dari pasif sampai agresif (Townsend, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).

Kemarahan terjadi ketika individu mengalami frustasi, terluka atau takut (Videback,
2008). Kesulitan dalam mengekspresikan kemarahan sering dikaitkan dengan
gangguan jiwa (Koh, Kim & Park, 2002 dalam Videback, 2008). Perilaku kekerasan
adalah akibat dari kemarahan yang ekstrim atau ketakutan (panik). Alasan khusus dari
perilaku agresif bervariasi dari setiap orang (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).
Penyebab kemarahan atau risiko perilaku kekerasan secara umum adalah: kebutuhan
yang tidak terpenuhi, menyinggung harga diri dan harapan tidak sesuai dengan
kenyataan. Model Stress Adaptasi Stuart dari keperawatan jiwa memandang perilaku
manusia dalam perspektif yang holistik terdiri atas biologis, psikologis dan
sosiokultural dan aspek- aspek tersebut saling berintegrasi dalam perawatan.
Komponen biospikososial dari model tersebut termasuk dalam faktor predisposisi,
presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan mekanisme koping (Stuart
& Laraia, 2005; Stuart, 2009). Menurut Stuart (2009 dalam Satrio, dkk, 2015),
masalah Risiko perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan
psikodinamika masalah keperawatan jiwa seperti skema 2.1 dibawah ini.

Faktor predisposisi

Biologi Psikologi Sosialkultural

Stresor presipitasi

Nature Origin Timing Number

Penilaian terhadap stresor

Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial

Sumber koping

Kemampuan person Dukungan sosial Aset material Keyakinan positif

Mekanisme koping

Konstruktif Destruktif

Rentang respon koping

Respon adaptif Respon


Maladaptif

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Skema 2.1. Psikodinamika Masalah Keperawatan Jiwa
(Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015)

Model Stress Adaptasi Stuart


1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Biologi
Faktor biologis secara alami dapat menjadi salah satu faktor penyebab
(predisposisi) atau menjadi faktor pencetus (presipitasi) terjadinya perilaku
kekerasan pada individu. Faktor predisposisi yang berasal dari biologis
dapat dilihat sebagai suatu keadaan atau faktor risiko yang dapat
mempengaruhi peran manusia dalam menghadapi stressor. Adapun yang
termasuk dalam faktor biologis ini adalah:
1) Struktur otak (Neuroanatomi)
Penelitian telah difokuskan pada tiga area otak yang diyakini
terlibat dengan perilaku agresif adalah sistem limbik, lobus frontal,
dan hipothalamus. Neurotransmitter juga diusulkan memiliki peran
dalam munculnya perilaku kekerasan atau penekanan perilaku
kekerasan (Niehoff, 2002; Hoptman , 2003 Stuart & Laraia, 2005;
Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

Kerusakan struktur pada sistem limbik dan lobus frontal serta lobus
temporal otak dapat mengubah kemampuan individu untuk
memodulasi agresif sehingga menyebabkan perilaku agresif/
kekerasan (Videbeck, 2008). Penelitian telah menemukan bahwa
epilepsi pada daerah lobus temporal dan frontal ada pada klien
episodik agresif dan perilaku kekerasan, tumor di otak terutama di
sistem limbik dan lobus temporal serta trauma otak menjadi
predisposisi agresif dan perilaku kekerasan (Townsend, 2009;
Fontaine, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

Sistem limbik dikaitkan dengan mediasi dorongan dasar dan


ekspresi emosi serta tingkah laku manusia seperti: makan, agresi
dan respon sexual, termasuk proses pengolahan informasi dan
memori. Sintesis informasi ke dan dari area lain di otak mempunyai
pengaruh pada emosional dan perilaku. Perubahan dalam sistem
limbik dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan perilaku
agresif. Secara khusus amigdala bagian dari sistem limbik menjadi
mediasi ekspresi kemarahan dan ketakutan (Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).

Lobus frontal berperan penting dalam mediasi tingkah laku yang


berarti dan berpikir rasional. Lobus ini merupakan bagian dari otak
dimana pikiran dan emosi berinteraksi. Kerusakan pada lobus
frontal dapat mengakibatkan gangguan penilaian, perubahan
kepribadian, masalah pengambilan keputusan, ketidaksesuaian
dalam berhubungan dan ledakan agresif. Hipotalamus di dasar otak
berfungsi sebagai sistem alarm/peringatan otak. Kondisi stress
menaikkan jumlah steroid, hormon yang di keluarkan oleh kelenjar
adrenal, saraf reseptor untuk hormon ini menjadi kurang sensistif
dalam upaya mengkompensasi peningkatan steroid dan hipotalamus
merangsang kelenjar pituitari untuk menghasilkan lebih banyak
steroid. Setelah stimulasi berulang sistem berespon lebih kuat
terhadap provokasi. Ini menjadi salah satu alasan mengapa stress
traumatik pada anak secara permanen dapat meningkatkan potensi
sesorang untuk melakukan perilaku kekerasan (Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).

2) Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang
mempredisposisiskan individu mengalami skizofrenia (Copel,
2007). Sedangkan Buchanan dan Carpenter (2000, dalam Stuart &
Laraia, 2005; Stuart, 2009) menyebutkan bahwa krornosom yang
berperan dalam menurunkan skizofrenia adalah kromosom 6.
Sedangkan kromosom lain yang juga berperan adalah kromosom 4,
8, 15 dan 22, Craddock et al (2006 dalam Stuart, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015).

Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1 yang bertanggung


jawab memproduksi GABA, dimana pada klien skizofrenia tidak
dapat meningkat secara normal sesuai perkembangan pada daerah
frontal, dimana bagaian ini berfungsi dalam proses berfikir dan
pengambilan keputusan Hung et al, (2007 dalam Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).

Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak


kembar yang menunjukkan anak kembar identik berisiko
mengalami skizofrenia sebesar 50%, sedangkan pada kembar non
identik/ fraternal berisiko 15% mengalami skizofrenia. Risiko 15 %
jika salah satu orang tua menderita skizofrenia, angka ini
meningkat 40% - 50% jika kedua orangtua biologis menderita
skizofrenia (Cancro & Lehman, 2000; Videbeck, 2008; Stuart,
2009; Townsend, 2009; Fontaine, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
Semua penelitian ini menunjukkan bahwa faktor genetik dapat
menjadi penyebab terjadinya skizofrenia dan perlu menjadi
perhatian untuk mengetahui risiko seseorang mengalami skizofrenia
dilihat dari faktor keturunan.

3) Neurotransmiter
Neurotransmiter adalah zat kimia otak yang ditransmisikan dari dan
ke seluruh neuron sinapsis, sehingga menghasilkan komunikasi
antara otak dan struktur otak yang lain. Peningkatan atau
peneurunan zat ini dapat mempengaruhi perilaku, perubahan
keseimbangan zat ini dapat memperburuk atau menghambat
perilaku agresif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa berbagai
neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, acetylcholine
dan serotinin) berperan dalam fasilitasi dan inhibisi rangsangan
agresif (Sadock&Sadock, 2007 dalam Townsend, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015). Rendahnya neurotransmiter serotonin dikaitkan
dengan perilaku yang iritabilitas, hipersensitivitas terhadap
provokasi, dan perilaku amuk. Individu dengan perilaku impulsif,
bunuh diri, dan melakukan pembunuhan, mempunyai serotonin
dengan jumlah lebih rendah daripada rata-rata jumlah asam 5-
hidroxyinoleacetik (5-HIAA)/ produk serotonin (Stuart, 2009 dalam
Satrio, dkk, 2015).

Penelitian ini telah menunjukkan adanya hubungan antara agresif


impulsif dengan rendahnya level neurotransmitter serotonin. Hasil
temuan menyatakan bahwa serotonin berperan sebagai inhibitor
utama perilaku agresif, dengan demikian kadar serotonin yang
rendah dapat menyebabkan peningkatan perilaku agresif, selain itu
peningkatan aktivitas dopamine dan norpenefrin di otak dikaitkan
dengan peningkatan perilaku kekerasan yang impulsif (Kavoussi et
al., 1997 dalam Videbeck, 2008; Franlde et al, 2005;. Perusse &
Gendreau, 2005; Pihl & Benkelfat, 2005 dalam Fontaine, 2009
dalam Satrio, dkk, 2015).

Neurotransmitter lain yang berkaitan dengan perilaku agresif adalah


dopamine, norpenefrin, dan acetylcholine serta asam amino
Gamma-aminobutyric acid (GABA). Korteks prefrontal juga
berperan penting dalam menghambat perilaku agresif. Area spesifik
pada korteks prefrontal adalah region orbitofrontal. Stimulasi pada
area ini mencegah marah dan agresif. Lesi pada area ini
menyebabkan perilaku impulsif (Stuart & Laraia, 2005; Stuart,
2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

4) Imunovirologi
Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan perilaku
kekerasan adalah riwayat penggunaan obat NAPZA dan frekuensi
di rawat. Penggunaan NAPZA akan mempengaruhi fungsi otak,
mempengaruhi terapi dan perawatan yang diberikan (Dyah, 2009).
Frekuensi dirawat menunjukkan seberapa sering individu dengan
perilaku kekerasan mengalami kekambuhan. Perilaku kekerasan
pada skizoprenia sering terjadi karena penyakit yang tidak
terkontrol, putus obat, kecemasan karena kegagalan dalam
mengerjakan sesuatu atau situasi yang menciptakan perilaku
kekerasan (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk,
2015). Secara umum dua populasi klien akan meningkatkan risiko
kekerasan yaitu klien dengan gejala psikotik aktif dan
penyalahgunaan zat (Nolan et al., 2003 dalam Stuart, 2009).
Perilaku kekerasan juga meningkat pada klien penyalahgunaan zat,
skizofrenia dan tidak mengambil obat yang diresepkan, hidup
bersama dalam orang yang mengalami gangguan jiwa (Citrome &
Volavka, 1999 dalam Videbeck, 2008).

b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan salah satu predisposisi atau presipitasi
dalam proses terjadinya perilaku agresif/ kekerasan. Menurut Stuart dan
Laraia (2005 dalam Satrio, dkk, 2015) yang termasuk dalam faktor
psikologis diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri,
dan pertahanan psikologi.
1) Teori Psikoanalitik
Suatu pandangan psikologi tentang perilaku agresif menyatakan
bahwa pentingnya mengetahui predisposisi faktor perkembangan
atau pengalaman hidup yang membatasi kemampuan individu
untuk memilih koping mekanisme yang bukan perilaku kekerasan.
Faktor perkembangan atau pengalaman hidup yang membatasi
mekanisme koping nonviolence menurut Stuart dan Laraia (2009
dalam Satrio, dkk, 2015) sebagai berikut: Gangguan otak organik,
mental retardasi, ketidakmampuan belajar karena kerusakan
kapasitas bertindak secara efektif terhadap frustasi; Deprivasi
emosional yang berat atau penolakan terhadap anak, orang tua yang
terlalu penyayang dan berkontribusi pada kurang rasa percaya dan
harga diri rendah; Mengalami kekerasan bertahun-tahun, korban
child abuse atau sering melihat kekerasan dalam keluarga dapat
menanamkan pola penggunaan kekerasaan sebagai cara
menyelesaikan masalah.

2) Teori Pembelajaran
Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku agresif
dipelajari melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran
internal dan eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama individu
mendapat penguatan pribadi ketika melakukan perilaku agresif,
kemungkinan sebagai kepuasaan dalam mencapai tujuan atau
pengalaman merasakan penting, mempunyai kekuatan dan kontrol
terhadap orang lain. Pembelajaran eksternal terjadi selama
observasi model peran seperti peran sebagai orang tua, teman
sebaya, saudara, olah raga dan tokoh hiburan (Stuart & Laraia,
2005; Struat, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015). Menurut teori
pembelajaran sosial, perilaku imitasi/meniru perilaku agresif
sebagai perilaku yang dapat diterima untuk memecahkan masalah
dan sesuai status sosial. Senada dengan pernyataan diatas, Fontaine,
(2009 dalam Satrio, dkk, 2015) menyatakan bahwa ketika individu
belajar melakukan perilaku agresif akan membuat individu tersebut
merasa lega dan menjadi adiktif/kecanduan untuk melakukan
perilaku kekerasan/agresif sebagai cara untuk memecahkan masalah
dan mengatasi frustasi. Peran pemodelan merupakan salah satu
bentuk pembelajaran terkuat, model perilaku anak-anak pada fase
awal adalah orang tua, bagaimana orang tua atan orang terdekat
mengekpresikan marah menjadi contoh anak dalam ekpresi
marahnya (Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015)
Role model/contoh tidak selalu di rumah, penelitian membuktikan
bahwa acara kekerasan di televisi sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif (American Psychological Association, 2006, dalam
Townsend, 2009). Menurut American Psychiatric Association,,
(Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015) menyarankan
pentingnya pengawasan terhadap apa yang anak lihat dan peraturan
tentang acara kekerasan di media untuk mencegah pemodelan
kekerasan. Faktor psikologis lain dapat berupa kegagalan,
kegagalan dapat berakibat frustrasi (Stuart & Laraia, 2005).
Kegagalan sering diartikan oleh individu dengan ketidakmampuan,
respon yang muncul pada saat individu mengalami kegagalan dapat
berupa penyalahan terhadap diri sendiri, atau orang lain yang
ditunjukkan dengan perilaku kekerasan (Dyah, 2009).

c. Faktor Sosial Budaya


Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
perilaku kekerasan pada individu. Karakteristik yang termasuk pada sosial
budaya seperti: usia, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pendidikan
dan tingkat sosial ekonomi (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009), riwayat
perilaku kekerasan di masa lalu (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan gangguan jiwa
mempunyai faktor risiko melakukan kekerasan sama dengan individu
yang tidak mengalami gangguan jiwa seperti kepribadian psikopat dan
kepribadian antisosial (Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015). Faktor
lingkungan dan situasi perawatan bisa sebagai memicu perilaku kekerasan
klien, faktor ini meliputi fasilitas fisik, keberadaan petugas dan klien lain.
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden kekerasan
lebih besar terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar,
penuh sesak, kurang privasi atau tidak bebas.
1) Jenis Kelamin
Berdasarkan pendapat diatas disampaikan bahwa jenis kelamin
merupakan salah satu karakteristik sosial budaya. Jenis kelamin
adalah ciri fisik, karakter dan sifat yang berbeda. Laki-laki lebih
sering melakukan perilaku agresif (Stuart & Laraia, 2005 dalam
Satrio, dkk, 2015). Berdasarkan hasil penelitian dinyatakan bahwa
karakteristik jenis kelamin berhubungan dengan kejadian perilaku
kekerasan verbal (p value 0,001) dan klien laki-laki dua kali lipat
lebih banyak dari klien perempuan, serta usia yang paling banyak
30 tahun ke bawah (Keliat, 2003). Namun berdasarkan penelitian
Keliat dkk, (2008) pada penelitian karakteristik klien yang dirawat
di bangsal MPKP menyebutkan ada 63,9% berjenis kelamin laki-
laki, 82,5% terdapat pada golongan umur dewasa yaitu umur 33
tahun sampai 55 tahun. Selain itu penelitian yang dilakukan Keliat
(2003) menyebutkan karakeristik pendidikan, status perkawinan
dan pekerjaan mempengaruhi dalam kejadian perilaku kekerasan,
dimana sebahagian besar berpendidikan menengah dan rendah,
tidak bekerja, tidak kawin dan dirawat untuk pertama kali di rumah
sakit.

2) Tingkat sosial ekonomi


Kondisi sosial lain yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan
seperti : kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
hidup, masalah perkawinan, keluarga single parent, pengangguran,
kesulitan mempertahankan hubungan interpersonal dalam keluarga,
struktur keluarga, dan kontrol sosial (Stuart & Laraia, 2005; Stuart,
2009; Tardiff, 2003 dalam Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk,
2015). Kepercayaan (spiritual), nilai dan moral mempengaruhi
ungkapan marah individu (Keliat & Sinaga, 1991). Keyakinan akan
membantu individu dalam memilih ekspresi kemarahan yang
diperbolehkan. Aspek spiritual adalah komponen kehidupan
individu yang terkait dengan falsafah hidup, nilai, keyakinan dan
religi (Rawlins, et. al, 1993 dalam Keliat, 2003). Secara umum
seseorang menuntut kebutuhannya dari orang lain atau lingkungan
sehingga timbul frustrasi apabila tidak terpenuhi dan selanjutnya
timbul marah sehingga mempengaruhi kualitas spiritual seseorang.
Faktor lain yang berhubungan dengan kekerasan secara sosial
termasuk kurangnya dukungan sosial, kesulitan pekerjaan, atau
masalah keuangan, akses yang mudah ke senjata dan
kecenderungan budaya Amerika Serikat untuk memaafkan perilaku
kekerasaan sebagai solusi untuk pemecahan masalah (Woodside &
McClum, 2006 dalam Fontaine, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

3) Ras/ Suku
Faktor sosiokultural lainya adalah norma budaya yang dapat
membantu mengartikan makna ekspresi marah dan dapat
mendorong untuk mengekspresikan marah secara asertif sehingga
membantu menjaga kesehatan diri. Hukuman diterapkan terhadap
perilaku kekerasan melalui norma hukum atau adanya kontrol
sosial. Norma yang mereinforcement perilaku kekerasan akan
berakibat ekspresi marah dengan cara destruktif. Sindroma ikatan
dua budaya mencakup perilaku agresif, Bouffee delirante suatu
kondisi yang terlihat pada masyarakat Afrika Barat dan Haiti,
ditandai dengan ledakan perilaku agresif dan agitasi secara tiba-
tiba, kebingungan yang nyata dan psychomotor excitement, episode
ini dapat mencakup halusinasi pendengaran dan penglihatan serta
pikiran panaoid yang menyerupai episode psikotik singkat
(Mezzich et al., 2000 dalam Videbeck, 2008). Amok adalah episode
disosiatif yang ditandai dengan periode perenungan dan diikuti oleh
ledakan perilaku kekerasan, agresif atau pembunuhan yang
ditujukan pada orang lain dan benda-benda, perilaku ini dicetuskan
oleh suatu hinaan atau ejekan yang di persepsikan dan terlihat pada
pria, semula ditemukan pada orang Melayu, pola yang sama juga
ditemukan di Laos, Filipina, Papua Nugini, Polinesia, Puerto Riko
dan di antara orang Navajo (Mezzich et al., 2000 dalam Videbeck,
2008).

2. Faktor Presipitasi
a. Faktor Biologi
Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai tantangan,
ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi perilaku kekerasan dari faktor
biologi dapat disebabkan oleh gangguan umpan balik di otak yang mengatur
jumlah dan waktu dalam proses informasi. Stimuli penglihatan dan
pendengaran pada awalnya di saring oleh hipotalamus dan dikirim untuk
diproses oleh lobus frontal dan bila informasi yang sampaikan terlalu
banyak pada suatu waktu atau jika informasi tersebut salah, lobus frontal
mengirimkan pesan overload ke ganglia basal dan di ingatkan lagi
hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal. Penurunan
fungsi dari lobus frontal menyebabkan gangguan pada proses umpan balik
dalam penyampaian informasi yang menghasilkan proses informasi overload
(Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015).

Stessor presipitasi yang lain adanya abnormal pada pintu mekanisme pada
klien skizofrenia. Pintu mekanisme adalah proses elektrik yang melibatkan
elektolit, hal ini memicu penghambatan saraf dan rangsang aksi dan umpan
balik yang terjadi pada system saraf. Penurunan pintu mekanisme/gating
proses ini ditunjukkan dengan ketidakmampuan individu dalam memilih
stimuli secara selektif (Hong et al., 2007 dalam Stuart, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015). Faktor biologis lainnya yang merupakan predisposisi dapat
menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor, baik internal atau
lingkungan eksternal individu. Waktu dan frekuensi terjadinya stressor
perilaku kekerasan penting untuk dikaji (Stuart & Laraia, 2005 dalam Satrio,
dkk, 2015).

b. Faktor Psikologis
Pemicu perilaku kekerasan dapat diakibatkan oleh toleransi terhadap frustasi
yang rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsive dan
membayangkan atau secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan
dirinya, tubuh atau kehidupan. Dalam ruang perawatan perilaku kekerasan
dapat terjadi karena provokasi petugas, perilaku kekerasan klien terjadi pada
setting ini dimana petugas merasa memiliki sikap otoriter dan cenderung
mengatur/controlling; mengatur apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan
oleh klien; menahan klien bertentangan dengan keinginan klien dan
memaksa untuk minum obat, semua itu berkontribusi terjadi konflik petugas
dan klien (Fontaine, 2009). Perilaku agresif/kekerasan dapat terjadi karena
beberapa perasaan seperti marah, ansietas, rasa bersalah, frustasi atau
kecurigaan (Townsend, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015)

c. Faktor Sosial Budaya


Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden kekerasan
lebih besar terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar,
penuh sesak, kurang privasi atau tidak bebas. Menurut Fagan-Pyor et al.,
(2003 dalam Stuat, 2009 dalam Satrio, dkk, 2015) petugas mungkin secara
sengaja atau tidak sengaja memicu perilaku klien untuk melakukan
kekerasan, ketidak pengalaman petugas, provokasi petugas, manajemen
lingkungan yang buruk, ketidakpahaman petugas, pertemuan fisik yang
terlalu dekat, penetapan batasan yang tidak konsisen dan budaya kekerasan
mempengaruhi perilaku kekerasan klien. Akhirnya pemahaman terhadap
situasi dan penerimaan lingkungan, kognitif dan stress komunikasi serta
respon afektif klien perlu di identifikasi oleh petugas. Selanjutnya perlu
dikaji asal stressor sosiokultural, waktu terjadinya stressor dan jumlah
stressor psikologis yang terjadi dalam suatu waktu (Stuart & Laraia, 2005
dalam Satrio, dkk, 2015). Dengan demikian banyak sekali stresor
sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan menjadi penyebab ataupun
pencetus perilaku kekerasan.
3. Penilaian Stressor
Model Stres Diatesis dalam sebuah karya klasik oleh Liberman dan rekan (1994)
menjelaskan bahwa gejala skizofrenia berkembang berdasarkan pada hubungan
antara jumlah stres dalam pengalaman seseorang dan toleransi internal terhadap
ambang stres. Ini adalah model penting karena mengintegrasikan faktor budaya
biologis, psikologis, dan social, cara ini mirip dengan Stres Adaptasi Model
Stuart yang digunakan sebagai kerangka kerja konseptual (Stuart, 2009).
Menurut Wuerker (2000) model adaptasi ini membantu menjelaskan hubungan
stres dengan skizofrenia, meskipun tidak ada penelitian ilmiah telah
menunjukkan bahwa stres menyebabkan skizofrenia, namun semakin jelas
bahwa skizofrenia adalah gangguan yang tidak hanya menyebabkan stres, tetapi
juga diperparah oleh stres (Jones dan Fernyhougi, 2007 dalam Stuart, 2009
dalam Satrio, dkk, 2015). Penilaian seseorang tentang stressor, dan masalah yang
terkait dengan koping untuk mengatasi stres dapat memprediksi timbulnya
gejala.

4. Sumber Koping
Psikosis atau Skizofrenia adalah penyakit menakutkan dan sangat
menjengkelkan yang memerlukan penyesuaian baik bagi klien dan keluarga.
Proses penyesuaian pasca psikotik terdiri dari empat fase: (1) disonansi kognitif
(psikosis aktif), (2) pencapaian wawasan, (3) stabilitas dalam semua aspek
kehidupan (ketetapan kognitif), dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja atau
tujuan pendidikan (ordinariness). Proses multifase penyesuaian dapat
berlangsung 3 sampai 6 tahun (Moller, 2006, dalam Stuart, 2009 dalam Satrio,
dkk, 2015):
a. Efikasi/Kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi
gejala dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama
memakan waktu 6 sampai 12 bulan.
b. Awal pengenalan diri/insight sebagai proses mandiri melakukan
pemeriksaan realitas yang dapat diandalkan. Pencapaian keterampilan
ini memakan waktu 6 sampai 18 bulan dan tergantung pada
keberhasilan pengobatan dan dukungan yang berkelanjutan.
c. Setelah mencapai pengenalan diri/insight, proses pencapaian kognitif
meliputi keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan
reengaging dalam kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan
dengan sekolah dan bekerja. Fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d. Ordinariness/kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat
dalam kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-
hari mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal
2 tahun. sumber daya Keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap
penyakit, keuangan, ketersediaan waktu dan energi, dan kemampuan
untuk menyediakan dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi
jalannya penyesuaian postpsychotic.

5. Mekanisme Koping
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan
diri dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang
disebabkan oleh penyakit mereka. Regresi adalah berkaitan dengan masalah
informasi pengolahan dan pengeluaran sejumlah besar energi dalam upaya
untuk mengelola kegelisahan, menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup sehari-
hari. Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi membingungkan
dengan menetapkan responsibiIity kepada seseorang atau sesuatu. Penarikan
Diri ini berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan keasyikan
dengan pengalaman internal.
Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari
pertama kali diagnosis relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi
ketika seseorang menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan
kecemasan. Hal ini memungkinkan waktu seseorang untuk mengumpulkan
sumber daya internal dan eksternal dan kemudian beradaptasi dengan stressor
secara bertahap. Pada klien penyesuaian postpsychotic proses aktif
menggunakan mekanisme koping adaptif juga. Ini termasuk kognitif, emosi,
interpersonal, fisiologis, dan spiritual strategi penanggulangan yang dapat
berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan intervensi keperawatan (Stuart, 2009
dalam Satrio, dkk, 2015).

C. Pohon Masalah
Menurut Keliat dkk ( 2005 ) pohon masalah perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut :
Risiko Mencederai Diri Sendiri, Risiko Mencederai Orang Lain dan Lingkungan

Risiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah


Pohon Masalah pada Masalah Perilaku Kekerasan (Keliat, 2005)
D. Daftar Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
1. Masalah keperawatan: Diagnosis Keperawatan NANDA-I rentang respon
neurobiologis, skizofrenia dan gangguan psikotik (Stuart, 2009):
 Anxiety
 Impaired Verbal Communication *
 Confusion,Acute
 Compromised family coping
 Ineffective coping
 Decisional conflict
 Hopelessness
 Impaired memory
 Noncompliance
 Disturbed personal identity
 Ineffective role performance
 Self care deficit (bathing/ hygiene, dressing/ grooming)
 Disturbed sensory perception*
 Impaired social interaction*
 Social isolation
 Risk for suicide
 Ineffective therapeutic regiment management
 Disturbed thought processes *
(*Diagnosis keperawatan primer rentang respon neurobiologis, skizofrenia dan
gangguan psikotik)
2. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan perilaku kekerasan
Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan
didukung dengan hasil observasi.
a. Data Subjektif:
1) Ungkapan berupa ancaman
2) Ungkapan kata-kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/ melukai

b. Data Objektif:
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak (Kemenkes RI, 2012)

E. Diagnosis
1. Diagnosis Keperawatan: Risiko Perilaku Kekerasan
2. Diagnosis Medis : Skizofrenia

F. Rencana Tindakan
1. Rencana Tindakan Keperawatan Generalis :
Diagnosa SP /Kemampuan Klien SP/Kemampuan Keluarga
Keperawata
n
Risiko SP 1: SP 1:
Perilaku  Identifikasi penyebab, tanda  Diskusikan masalah yang dirasakan
Kekerasan & gejala, PK yang dalam merawat pasien
dilakukan, akibat PK  Jelaskan pengertian, tanda & gejala
 Jelaskan cara mengontrol dan proses terjadinya PK (gunakan
PK: fisik, obat, verbal, booklet)
spiritual  Jelaskan cara merawat PK
 Latihan cara mengontrol PK  Latih satu cara merawat PK dengan
secara fisik: tarik nafas melakukan kegiatan fisik: tarik nafas
dalam dan pukul kasur dan dalam dan pukul kasur dan bantal
bantal  Anjurkan membantu pasien sesuai
 Masukan pada jadwal jadwal dan memberi pujian
kegiatan untuk latihan fisik

SP 2: SP 2:
 Evaluasi kegiatan latihan  Evaluasi kegiatan keluarga dalam
fisik, beri pujian merawat/melatih pasien fisik, beri
 Latih cara mengontrol PK pujian
dengan obat (jelaskan 6  Jelaskan 6 benar cara memberikan
benar: jenis, guna, dosis, obat
frekuensi, cara, kontinuitas  Latih cara memberikan/membimbing
minum obat) minum obat
 Masukan pada jadwal  Anjurkan membantu pasien sesuai
kegiatan untuk latihan fisik jadwal dan beri pujian
dan minum obat
SP 3: SP 3:
 Evaluasi kegiatan latihan  Evaluasi kegiatan keluarga dalam
fisik & obat, beri pujian merawat/melatih pasien fisik dan
 Latih cara mengontrol PK memberikan obat, beri pujian
secara verbal (3 cara yaitu:  Latih cara membimbing: cara bicara
mengungkapkan, meminta, yang baik
menolak dengan benar)  Latih cara membimbing kegiatan
 Memasuan pada jadwal spiritual
kegiatan untuk latihan fisik,  Anjurkan membantu pasien sesuai
minum obat dan verbal jadwal dan memberi pujian
SP 4 : SP 4 :
 Evaluasi kegiatan latihan  Evaluasi kegiatan keluarga dalam
fisik & obat & verbal, beri merawat/melatih pasien fisik,
pujian memberikan obat, latihan bicara yang
 Latih cara mengontrol baik & kegiatan spiritual, beri pujian
spiritual (2 kegiatan)  Jelaskan follow up ke RSJ/PKM,
 Masukan pada jadwal tanda kambuh, rujukan
kegiatan untuk latihan fisik,  Anjurkan membantu pasien sesuai
minum obat, verbal dan jadwal dan memberikan pujian
spiritual

2. Rencana Tindakan Keperawatan Spesialis :


 Terapi individu : AT,CBT, REBT, RECBT, PMR
 Terapi kelompok : Psikoedukasi kelompok,
 Terapi keluarga : Supportive Therapi (ST) dan Self Help Group (SHG)
 Terapi komunitas ; Assertive community therapy
G. Rencana Tindakan RPK Menurut SIKI (2018)
1. Observasi
 Monitor adanya benda yang berpotensi membahayakan (mis. Benda tajam, tali)
 Monitor keamanan barang yang dibawa oleh pengunjung
 Monitor selama penggunaan barang yang dapat membahayakan (mis. Pisau
cukur)
2. Terapeutik
 Pertahankan lingkungan bebas dari bahaya secara rutin
 Libatkan keluarga dalam perawatan
3. Edukasi
 Anjurkn pengungjung dan keluarga untuk mendukung keselamatan pasien
 Latih cara mengungkapkan perasaan asertif
 Latih mengurangi kemarahan secara verbal dan nonverbal (mis. Bercerita,
relaksasi)
H. Rencana Tindakan Medis/Psikofarmaka :
a. Anti psikotik:
 Chlorpromazine (Promactile, Largactile)
 Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)
 Stelazine
 Clozapine (Clozaril)
 Risperidone (Risperdal)
b. Anti parkinson:
 Trihexyphenidile
 Arthan

Prinsif Titrasi/Model Pengobatan Psikofarmaka: (Maslim, R, 2007)


 Respon terhadap obat bersifat individual dan perlu pengaturan secara empirik
(theraupetic trial)
 Pengaturan dosis biasanya dimulai dengan dosis awal (dosis anjuran), dinaikkan
secara cepat sampai mencapai dosis efektif (dosis mulai berefek supresi gejala
sasaran), dinaikkan secara gradual sampai mencapai dosis optimal (dosis mampu
mengendalikan gejala sasaran) dan dipertahankan untuk jangka waktu tertentu
sambil disertai terapi lain (non medikamentosa), kemudian diturunkan secara
gradual sampai mencapai dosis pemeliharaan (maintenance dose) yaitu dosis
terkecil yang masih mampu mencegah kambuhnya gejala.
 Bila sampai jangka waktu tertentu dinilai sudah cukup mantap hasil terapinya,
dosis dapat diturunkan secara gradual sampai berhenti pemberian obat (tapering
off)

Prinsif Pemilihan Antipsikotik: (Maslim, R, 2007)


 Antipsikotik APG I (CPZ, Trifluoperazine, Haloperidol) memblokade dopamin
pada reseptor pasca sinaps neuron di otak khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (dopamine D2 receptors antagonis) sehingga efektif untuk gejala
positif.
 Antipsikotik APG II (Clozapine, risperidone, olazapine, qutiapine, zotepine,
aripiprazole, ziprasidone-(di Indonesia belum ada) memblokade dopamine D2
receptors juga terhadap serotonine 5 HT receptors sehingga efektif untuk gejala
positif dan negatif.
NRM : ..........................................................

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN KLIEN GANGGUAN JIWA Nama : ..........................................................


(Dilengkapi setelah dilakukan asesment oleh perawat)
Tanggal lahir: .........................................................
(Mohon diisi atau tempelkan stiker jika ada)
No Perencanaan
Tgl Dx Keperawatan
Dx Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi

RISIKO PERILAKU TUJUAN UMUM: Klien


KEKERASAN (RPK) mampu mengontrol
perilaku kekerasan yang
dialami

TUJUAN KHUSUS:
Pertemuan Pengkajian 1. Setelah … X pertemuan klien menunjukkan Identifikasi fokus masalah klien, dengan:
Klien mampu tanda-tanda percaya kepada perawat dan  Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
menunjukkan tanda- mengenali masalah yang dialami, dengan  Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan
tanda percaya kepada kriteria: perawat berinteraksi
perawat dan mengenali o Ekspresi wajah bersahabat.  Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien
masalah yang dialami o Menunjukkan rasa senang.  Tunjukkan sikap empati, jujur dan menepati janji setiap kali
o Ada kontak mata. berinteraksi
o Mau berkenalan.  Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dialami klien
o Bersedia menceritakan masalah yang  Buat kontrak interaksi yang jelas
dialami.  Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar
klien
 Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan masalah klien

Pertemuan I
Klien mampu 1. Setelah … X pertemuan klien menjelaskan Bantu klien mengidentifikasi perilaku kekerasan:
mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan, dengan  Motivasi klien untuk menceritakan penyebab rasa kesal atau
perilaku kekerasan dan kriteria: jengkelnya
mampu mengendalikan o Menceritakan penyebab perasaan  Dengarkan tanpa menyela atau memberi penilaian setiap
perilaku kekerasan yang jengkel/kesal baik dari diri sendiri ungkapan perasaan klien
dilakukan dengan cara maupun lingkungannya.  Motivasi klien menceritakan kondisi fisik (tanda-tanda fisik)
fisik o Menceritakan tanda-tanda saat terjadi saat perilaku kekerasan terjadi
perilaku kekerasan, baik tanda fisik,  Motivasi klien menceritakan kondisi emosinya (tanda-tanda
emosional dan sosial saat terjadi emosional) saat terjadi perilaku kekerasan
perilaku kekerasan.  Motivasi klien menceritakan kondisi hubungan dengan orang
o Menceritakan perilaku atau jenis lain (tanda-tanda sosial) saat terjadi perilaku kekerasan
ekpresi kemarahan yang telah  Motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindak kekerasan yang
dilakukan selama ini pernah dilakukannya.
o Menceritakan akibat tindakan  Diskusikan dengan klien akibat negatif (kerugian) cara yang
kekerasan yang dilakukan terhadap dilakukan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan
diri sendiri, orang lain dan lingkungan

2. Setelah … X pertemuan klien 1. Latih klien mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik:
mengendalikan perilaku kekerasan yang TND dan PB/PK
dilakukan dengan latihan cara fisik, dengan  Peragakan cara melaksanakan latihan fisik yang dipilih.
kriteria:  Tarik Nafas perlahan dan dalam melalui hidung, perut
o Mempraktekkan Tarik Nafas Dalam mengembang dan dada bergerak minimal, tahan beberapa
(TND). detik (4-5 hitungan), mulailah menghembuskan napas perlahan
o Mempraktekkan Pukul Bantal atau melalui mulut, sambil mengerucutkan bibir seolah-olah akan
Pukul Kasur (PB/PK). bersiul (Pursing Lips) 4-5 hitungan.
o Mempraktekkan Olah Raga untuk  Dengan tehnikyang sama, Tarik Nafas dalam sambil pejamkan
menyalurkan energi. mata, lakukan 1-3 siklus sampai klien rileks, setelah rileks
provokasi klien dengan penyebab perilaku kekerasan yang
dilakukan, tampak rasa jengkel klien muncul, lalu lampiaskan
rasa jengkel dan marah klien pada bantal atau kasur
 Anjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatih saat
jengkel/marah
 Masukan pada jadwal kegiatan untuklatihan cara fisik
Pertemuan II
Klien mampu 1. Setelah … X pertemuan klien 2. Latih klien mengendalikan perilaku kekerasan dengan
mengendalikan perilaku mengendalikan perilaku kekerasan yang memanfaatkan obat
kekerasan yang dilakukan dengan latihan memanfaatkan  Evaluasi kegiatan latihan fisik. Beri pujian
dilakukan dengan obat, dengan kriteria:  Latih cara mengontrol RPK dengan obat (jelaskan 6 benar:
memanfaatkan obat o Mengungkapkan prinsif 6 benar obat pasien, obat, dosis, waktu, cara dan kontinuitas minum obat)
o Menjelaskan prinsif: Benar  Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik dan minum
pasien,obat,dosis, waktu, cara obat
o Mengungkapkan kontinuitas minum
obat dan pengobatan.

Pertemuan III
Klien mampu 1. Setelah … X pertemuan klien 3. Latih klien mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara verbal
mengendalikan perilaku mengendalikan perilaku kekerasan yang  Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat. Beri pujian
kekerasan yang dilakukan dengan latihan cara fisik, dengan  Latih cara mengontrol RPK secara verbal (3 cara, yaitu:
dilakukan dengan cara kriteria: mengungkapkan, meminta, menolak dengan benar)
verbal/ asertif o Mengungkapkan perasaan  Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik, minum
kesal/jengkel pada orang lain tanpa obat dan verbal
menyakiti
o Mengungkapkan keingginan secara
asertif disertai alasan
o Mengungkapkan penolakan secara
asertif disertai alasan

Pertemuan IV
Klien mampu 1. Setelah … X pertemuan klien 4. Latih klien mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara
mengendalikan perilaku mengendalikan perilaku kekerasan yang spritual
kekerasan dengan cara dilakukan dengan latihan cara spiritual,  Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat & verbal. Beri pujian
spiritual dengan kriteria:  Latih cara mengontrol spiritual (2 kegiatan)
o Mengungkapkan kegiatan spiritual  Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan fisik, minum
yang dapat mengurangi rasa obat, verbal dan spiritual
jengkel/marah
o Melakukan wudhu, dzikir, berdoa,
meditasi
o Menjalankan ibadah sesuai agama
dan keyakinannya

Pertemuan V dst
Klien mampu 1. Setelah … X pertemuan klien 5. Latih klien mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik,
mengendalikan perilaku mengendalikan perilaku kekerasan yang obat, verbal dan spiritual
kekerasan dengan cara dilakukan dengan latihan cara fisik, obat,  Evaluasi kegiatan latihan fisik1,2 & obat & verbal & spiritual.
fisik, obat, verbal dan verbal dan spiritual, dengan kriteria: Beri pujian
spiritual o Mempraktekkan latihan fisik  Nilai kemampuan yang sudah mandiri
o Mempraktekkan latihan obat  Nilai apakah RPK sudah terkontrol
o Mempraktekkan latihan verbal
o Mempraktekkan latihan spiritual
DAFTAR PUSTAKA

Dyah W (2009). Pengaruh assertive trainning terhadap perilaku kekerasan pada klien
skizoprenia, Tesis. Jakarta. FIK UI. tidak dipublikasikan

Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing. 7th ed. New Jersey : Pearson Education, Inc.

Herdman, T.H. (2012), NANDA International Nursing Diagnoses Definition &


Classification, 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell

Keliat, B.A., (2006). Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa.
Jakarta : EGC

Keliat, B.A., dkk. (2005). Modul Basic Course Community Mental Health Nursing.
Kerjasama FIK UI dan WHO.

Keliat, B.A., & Akemat. (2005). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta :
EGC

Keliat, B.A., & Akemat. (2010). Model Praktek Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC

Kemenkes RI, (2012) Modul: Pelatihan Keperawatan Jiwa Masyarakat, Pusat Pendidikan
Tenaga Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Lelono, S.K. (2011). Efektivitas Cognitive Behaviour Therapy (CBT) dan Rational
Emotive Behaviour Therapy (REBT) Pada Perilaku Kekerasan, Halusinasi dan Harga
Diri Rendah di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis FIK-UI. Tidak
dipublikasikan.

Maslim, R (2007), Panduan Praktis : Obat Psikotropik, Edisi ketiga, FK Unika


AtmaJaya,Jakarta

Stuart, G.W. & Laraia, M.T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 8th ed.
Missouri : Mosby, Inc.

Stuart, G.W. (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 9th ed. Missouri :
Mosby, Inc.

Satrio, Damayanti, Ardinata (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2KM), IAIN Radin Intan Lampung, Lampung

Townsend, M.C. (2005). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. 3rd ed.
Philadelphia: F.A. Davis Company

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in


Evidence-Based Practice. 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company

Videbeck, S.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai