Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. Masalah Utama: Resiko Perilaku Kekerasan


1. Pengertian Perilaku Kekerasan
a. Resiko perilaku kekerasan adalah suatu bentuk prilaku maupun bertujuan
melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis(keliat,2010)
b. American Psychological Association (2006 dalam Townsend, 2009)
mengemukakan bahwa kekerasan/kemarahan adalah keadaan emosional yang
bervariasi dalam intensitas ringan hingga kemarahan yang intens (berat), hal
ini disertai dengan perubahan fisiologis dan biologis, seperti peningkatan
denyut jantung, tekanan darah dan kadar hormone epinerphrine dan
norepinerphine.
c. Stuart, (2009) mengemukakan perilaku agresif adalah suatu kondisi dimana
seseorang mengabaikan hak orang lain, dia menganggap bahwa harus
berjuang untuk kepentingannya dan mengharapkan perilaku yang sama dari
orang lain, bagi dia hidup adalah pertempuran yang dapat mengakibatkan
kekerasan fisik atau verbal, perilaku agresif sering terjadi akibat kurang
kepercayaan diri.
d. Perilaku agresif adalah suatu fenomena komplek yang dapat terjadi pada klien
dengan skizoprenia, gangguan mood, gangguan kepribadian borderline,
gangguan perilaku dan ketergantungan obat (Fontaine, 2009).
e. Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai tindakan kekuatan fisik
dimaksudkan untuk menyebabkan kerugian bagi seseorang atau obyek, agresif
dan perilaku kekerasan merupakan sebuah rentang kontinum dari perilaku
yang mencurigakan kepada tindakan ekstrim yang mengancam keselamatan
orang lain atau mengakibatkan cidera atau kematian (Herper&Reimer, 1992
dalam videback, 2008).
f. Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan individu
tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual kepada
orang lain (NANDA-I, 20012-2014, Herdman, 2012)
Dari semua pertanyaan diatas maka perilaku kekerasan atau agresif dapat
didefisinikan sebagai perilaku mencederai orang lain, diri sendiri dan
lingkungan yang bervariasi dari intensitas ringan sampai berat/ intens,
dilakukan baik secara verbal, fisik, dan emosional yang akan mengakibatkan
perusakan harta benda, perampasan hak, kerugian dan bahkan kematian.
2. Tahapan Resiko Perilaku Kekerasan
Tahapan perilaku agresif atau resiko perilaku kekerasan: (Fontaine, 2009)
a. Tahap 1: Tahap memicu
Perasaan : Kecemasan
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindari kontak
Tindakan perawat: Mengidentifikasi factor pemicu, mengurangi
kecemasan, memecahkan masalah bila memungkinkan.

b. Tahap 2: Tahap Transisi


Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi meningkat
Tindakan perawat : Jangan tangani marah dengan amarah, menjaga
pembicaraan, menetapkan batas dan memberikan pengarahan, mengajak
kompromi, mencari dampak agitasi; meminta bantuan.

c. Tahap 3: Krisis
Perasaan : Peningkatan kemarahan dan agresi
Perilaku : Agitasi, gerakan mengancam, menyerang orang
disekitar, berkata kotor; berteriak
Tindakan perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam menjaga jarak
pribadi, hangat (tidak mengancam) konsekuensi, cobalah untuk menjaga
komunikasi

d. Tahap 4: Perilaku merusak


Perasaan : Marah
Perilaku : Menyerang; merusak
Tindakan perawat : Lindungi klien lain, menghindar, melakukan
pengekangan fisik

e. Tahap 5: Tahap lanjut


Perasaan : Agresi
Perilaku : Menghentikan perilaku terang-terangan destruktif,
pengurangan tingkat gairah
Tindakan perawat : Tetap waspada karena perilaku kekerasan baru masih
memungkinkan, hindari pembalasan atau balas dendam
f. Tahap 6: Tahap peralihan
Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir
Tindakan perawat : Lanjutkan fokus mengatasi masalah utama

3. Rentang Respon Resiko Perilaku Kekerasaan


Perilaku kekerasaan merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan dapat
berfluktrusi dalam rentan adaptif sampai maladaptif (Keliat & Siaga, 1991).
Rntan respon marah menurut Stuart dn Sundeen (1995) dijelaskan dalam
skema 2.2 dimana agresif dan amuk (perilaku kekerasan) berada pada rentan
respon yang maladaptif.

Skema2.2 rentang respon marah menurut stuart dan sudden (1995)

Respon adaptif Respon mal


adaptif

asertif pasif frustasi agresif amuk

a. Asertif
Prilaku asertif adalah menyampaikan suatu persaan diri dengan paasti dan
merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain . individu yang asertif
berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihat normal dari individu
lainnya dengantepat sesuai dengan setuasi pada saat berbicara kontak mata
langsung tapi tidak mengganggu,intonasi sura dalam berbicara tidak
mengancam ,postur tegak dan santai, kesan keseluruhan adalah bahwa
individu tersebut kuat tapi tidak mengancam. Permintaan masukan yang
positif juga termasuk perilaku asertif ( Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).
b. Pasif
Individu yang sering pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah makan dia akan
berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan tekanan pada
dirinya (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009). Perilaku pasif dapat
diekspresikan secara nonverbal, seseorang yang pasif biasanya bicara pelan,
sering dengan cara kekanak-kanakan dan kontak mata yang sedikit. Individu
tersebut mungkin dalam posisi membungkuk, tangan memegang tubuh
dengan dekat ( Stuart, 2009)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang kurang
realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart & Laraia, 2005).
Frustasi adalah kegagalan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Frustasi akan bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai memiliki
nilai yang tinggi dalam kehidupan (Keliat & Sinaga, 1991).
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu harus merasa
bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkanya seorang yang agresif
didalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan perbal .berlaku
agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya
diri ( bushman & baumeister,1998 dalam stuart & laraia,2005;stuart,2009 )
prilaku agresif juga ditunjukkan secara non perbal,seseorang yangagresif
melanggar batas orang lain ,bicaranya keras dan lantang,biasanya kontak mata
yang berlebihan dan mengganggu ,postur kaku dan tanpak mengancam (
stuart,2009)
e. Amuk
Amuk atau prilaku kekerasan adalah perasaan marah dan permusuhan yang
kuat dan disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat merusak
diri,orang lain dan lingkungan( melihat keliat & sinaga,1991). Menurut stuart
dan laraya (2009)prilaku kekerasan berplukstuasi dari tingkat rendah sampai
tinggi yaiyu yang disebut dengan hirarki prilaku agresi dan kekerasan (gambar
2.1 )
Gambar 2.1 hirarki prilaku pada klien dengan prilaku kekerasan

Tinggi Melukai dalam tingkat serius dan berbahaya


Melukai dalam tingkat tidak berbahaya
mengucapkan kata kata ancaman dengan rencana melukai
Menyentuh orang laindengan cara menakutkan
Mengucapkan kata kata ancaman tanpa melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut

RENDAH Memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa prilaku kekerasan


mempunyai tingkatberdasarkan prilakunya mulai dari yangterendah yaitu
memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah sampai pada tingkatan yang
tertiggi yaitu melukai dalam tingkat serius dan membahayakan.
B. Proses terjadinya masalah
Prilaku kekerasan merupakan salah satu respon mal akdatif dari marah .
Marah adalah emosi yang kuat;ketika di tolak atau dipendam dapat memicu
masalah fisik seperti sakit kepala migren ,ulcer,radang usus bahkan penyakit
jantung koroner.marah dapat merubah menjadi kebencian yang sering
dimanifestasikan dengan prilaku diri yangnegatif dari pasif sampai agresif (
tounsend,2009).Kemarahan terjadi ketika individu mengalami prustasi,terluka
atau takut (vidback,2008 ).

Kesulitan dalam jiwa (koh,kim & park,2002 dalam vidhback,2008).prilaku


kekerasan adalah akibat dari kemarahan yang ekstrim atau ketakutan (panic)
alas an khusus dari prilaku agresif berfariasi dari setiap orang( stuart &
laraya,2005;stuart,2009)
Penyebab kemarahan atau resiko prilaku kekerasan secara umum adalah :
kebutuhan yang tidak menyinggung harga diri dan harapan tidak sesuai
dengan kenyataan .model stress adaftasi stuart dari keperawatan jiwa
memandang prilaku manusia dalam perspektif yang holistic terdiri atas
biologis,psikologis dan sosio cultural dan aspek aspek tersebut saling
berintegrasi dalam keperawatan komponen biopsikososial dari model tersebut
termasuk dalam factor predisposisi,presipitasi,penilaian terhadap
stressor,sumber koping dan mekanisme koping ( stuar &
laraya,2005;sturt,2009). Menurut stuart( 2009 ),masalah prilaku kekerasan
dapat dijelaskan dengan menggunakan psikodinamika masalah keperawatan
jiwa seperti sekema 2.1 dibawah ini.
……………………… Faktor presdiposisi …………………………

Biologis psikososial sosialkultural

Stressor presipitasi
Nature origin Timing Number

Penilaian terhadap stressor


Kognitif afektif fisiologis prilaku social

Sumber koping
Kemampuan person dukungan social asset material keyakinan positif

Mekanisme koping
Konstruktif destruktif

Rentang respon koping


..................................... ....……………….......
Respon adaptif Responmaladatif

1 Faktor Fredisposisi
a. Faktor biologi
Faktor biologi secara alami dapat menjadi salah satu faktor penyebab
(predisposisi) atau menjadi faktor pencetus (presipitasi) terjadinya perilaku
kekerasan pada individu. Fraktor predisposisi yang berasal dari biologis dapat
dilihat sebagai suatu keadaanatau faktor risiko yang dapat mempengaruhi peran
dalam menghadapi stressor adapun yang termasuk dalam faktor biologis ini
adalah :
1). Struktur otak (neuroanatomi)
Penelitian telah di fokuskan pada tiga area otak yang diyakini terlibat dengan
perilaku agresif adalah sistem limbik ,lobus frontal,dan
hiphotalamus.Neurotransmiter juga di usulkan memiliki peran dalam munculnya
prilaku kekerasan atau penekanan prilaku kekerasan
(Niehoff,2002;Hoptman,2003 Stuart & Laraia ,2005;Stuart & laraia,2005;Stuart
,2009)

Kerusakan struktur pada limbik dan lobus frontal serta lobus temporal otak
dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasiagresif sehingga
menyebabkan perilaku agresif sehingga menyebabkan perilaku agresif/kekerasan
(Videback,2008).Penelitian telah menemukan bahwa pada epilepsi pada daerah
lobus temporal dan frontal ada pada klien episodik agresif dan perilaku kekerasan
(townsend,2009;Fontaine;2009
Sistem limbik di kaitkan dengan mediasi dorongan dasar dan ekspresi emosi serta
tingkah laku manusia seperti :makan ,agresi,dan respon sexual,termasuk proses
pengolahan informasi dan memori. Sintesis informasi ke dan dari area lain otak
mempunyai pengaruh pada emosional dan perilaku .perubahan dalam sistem
limbik dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan perilaku agresif .Secara
khusus amigdala bagian dari sistem limbik menjadi mediasi ekpresi kemarahan
dan ketakutan (Stuart,2009).
Lobus Frontal berperan penting dalam mediasi tingkah laku yang berarti dan
berfikir rasional. Lobus ini merupakan bagian dari otak dimana pikiran dan emosi
beriinteraksi. Kerusakan pada lobus frontal dapat mengakibatkan gangguan
penilaian,perubahan kepribadian ,masalah pengambilan
keputusan,ketidaksesuaian dalam berhubungan dan ledakan agresif.Hipotalamus
di dasar otak berfungsi sebagai sistem alarm/peringatan otak. Kondisi stress
menaikan jumlah steroid,hormon yang di keluarkan oleh kelenjar adrenal,saraf
reseptor untuk hormon ini menjadi kurang sensitif dalam upaya mengkompensasi
peningkatan steroid dan hipotalamus merangsang kelenjar pituitari untuk
menghasilkan lebih banyak steroid. Setelah stimulasi berulang sistem berespon
lebih kuat terhadap provokasi. Ini menjadi salah satu alasan mengapa stress
traumatik pada anak secara permanen dapat meningkatkan potensi seseorang
untuk melakukan kekerasan (Stuart,2009).
2) Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang
mempredisposisikan individu mengalami skizofrenia (Copel,2007). Sedangkan
Buchana dan Carpenter (2000,dalam Stuart & Laraia,2005;Stuart,2009)
menyebutkan bahwa kromosom yang berperan dalam menurunkan skizofrenia
adalah kromosom 6. Sedangkan kromosom lain yang juga berperan adalah
kromosom 4,8,15 dan 22,Craddok et al (2006 dalam Stuart,2009 ).
Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1 yang bertanggung jawab
memproduksi GABA ,dimana pada klien skizofrenia tidak dapat meningkat
secara normal sesuai perkembangan pada daerah frontal,dimana bagian ini
berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan keputusan Hung et al,(2007
dalam Stuart ,2009).
Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak kembar yang
menunjukan anak kembar identik beresiko mengalami skizofrenia sebesar,
sedangkan pada kembar nonidentik/fraternal beresiko 15% mengalami
skizofrenia. Risiko 15% jika salah satu orang tua menderita skizofrenia. Angka
ini meningkat 40% - 50% jika kedua orangtua biologis menderita skizofrenia
(Cancro & Lehman,2000;Videback,2008;Stuart,2009;Townsend
,2009;Fontaine,2009).
Semua penelitian ini menunjukan bahwa faktor genetik dapat menjadi penyebab
terjadinya skizofrenia dan perlu menjadi perhatian untuk mengetahui risiko
seseorang mengalami skizofrenia dilihat dari faktor keturunan.
3) Neurotransmiter
Neurotransmiter adalah zat kimia otak yang di transmisikan dari dan ke seluruh
neuron sinapsis,sehingga menghasilkan komunikasi antara otak dan struktur otak
lain. Peningkatan atau penurunan zat ini dapat mempengaruhi prilaku ,perubahan
keseimbanagn zat ini dapat memburuk atau menghambat prilaku agresif .
Beberapa penelitian menunjukan bahwa berbagai neurotransmiter
(epineprin,norepineprin,dopamine,acetylcolin dan serotinin) berperan dalam
fasilitasi dan inhibisi rangsangan agresif (Sadock&Sadock,2007 dalam
Townsend,2009) Rendahnya neurotransmiter serotonin di kaitkan dengan prilaku
iritabilitas,Hipersensitifitas terhadap provokasi,dan prilaku amuk. Individu
dengan prilaku inpulsif, bunuh diri, dan melakukan pembunuhan,mempunyai
serotononin dengan jumlah rendah daripada rata-rata jumlah asam 5-
hidroxynoleacetik (5-HIAA)/produk serotonin (Stuart,2009).

Penelitian ini telah menunjukan adanya hubungan antara agresif inpulsif dengan
rendahnya level neurotransmiter serotonin Hasil temuan menyatakan bahwa
serotonin berperan sebagai inhibitor utama prilaku agresif,dengan demikian kadar
serotonin yang rendah dapat menyebabkan peningkatan prilaku agresif, selain itu
peningkatan aktiitas dopamine dan norepineprin di otak di kaitkan dengan prilaku
kekerasan yang inpulsif (Kavousi et al.1997 dalam Videback,2008;Frandle et al,
2005;. Perusse & Gendreu,2005; Pihl & Benkelfat ,2005 dalam Fontaine,2009).

Neurotransmiter lain yang berkaitan dengan prilaku agresif adalah


dopamine,norepineprin, dan acetylcolin serta asam amino Gamma-aminobutyric
acid (GABA). Korteks prefrontal juga berperan penting dalam menghambat
prilaku agresif.Area spesifik pada korteks prefrontal adalah Region obitofrontal.
Stimulasi pada area ini mencegah marah dan agresif. Lesi pada area ini
menyebabkan prilaku infilsiuf (stuart & laraia, 20005. Stuart 2009).

4. Imunovirologi
Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan prilaku kekerasan adalah
riayat penggunaan obat NAPZA dan frekuensi dirawat. Penggunaan napza akan
mempengaruhi fungsi otak, mempengaruhi terapi dan perawatan yang diberikan
(Dyha,2009). Frekuensi dirawat menunjukan seberapa sering individu dengan
prilaku kekerasan mengalami kekambuhan. Prilaku kekerasan pada skezoprenia
sering terjadi karena penyakit yang tidak terkontrol, putus obat, kecemasan karena
kegagalan dalam mengerjakan sesuatu atau situasi yang menciptakan prilaku
kekerasan (stuart & laraia, 2005; stuart, 2009). Secara umum dua populasi klien
akan meningkatkan resiko kekerasan yaitu klien dengan gejala psikotik aktif dan
penyalah gunaan zat (Nolan et al. 2003 dalam stuart, 2009). Prilaku kekerasan
juga meningkat pada klien penyalah gunaan zat, skizoprenia dan tidak mengambil
obat yang diresepkan, hidup bersama dalam orang yang mengalami gangguan
jiwa ( Citrome dan Volavka, 1999 dalam Videback, 2008).
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan salah satu predisposisi atau presipitasi dalam
proses terjadinya perilaku agresif/ kekerasan. Menurut stuart dan Laraia (2005) yang
termasuk dalam faktor psikologis diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu,
konsep diri, dan pertahanan psikologi diantaranya kepribadian, pengalaman masa
lalu, konsep diri, dan pertahanan psikologi.
1) Teori psikoanalitik
Suatu pandangan psikologi tentang perilaku agresif menyatakan bahwa
pentingnya mengetahui predisposisi faktor perkembangan atau
pengalaman hidup yang membatasi kemampuan individu untuk memilih
mekanisme yang bukan perilaku kekerasan. Faktor perkembangana atau
pengalaman hidup yang membatasi mekanisme koping nonviolence
menurut Stuart dan Laraia (2009) sebagai berikut:
gangg uan otak organik, mental reterdasi, ketidakmampuan belajar karena
kerusakan kapasitas bertindak secara efektif terhadap anak, orang tua yang
terlalu penyayang dan berkontribusi pada kurang rasa percaya dan harga
rendah diri; mengalami kekerasan bertahun-tahun, korban child abuse atau
sering melihat kekerasan dalam keluarga dapat menanamkan pola
oenggunaan kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah.

2) Teori pembelajaran
Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku agresif
dipelajari melalui proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran
internal dan eksternal. Pembelajaran internal terjadi selama individu
mendapat penguatan pribadi ketika melakukan perilaku agresif
kemungkinan sebagai kepuasan dalam mencapai tujuan atau pengalaman
merasa penting, mempunyai kekuatan dan control terhadap orang lain.
Pembelajaran eksternal terjadi selama observasi medel peran seperti
peran sebagai orang tua, teman sebaya, saudara, oleh raga dan tokoh
hiburan (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).
Menurut teori pembelajaran sosial, perilaku imitasi/meniru perilaku
agresif sebagai perilaku yang dapat diterima untuk memecahkan masalah
dan sesuai status sosial. Peran pemodelan merupakan salah satu bentuk
pembelajaran terkuat, model perilaku anak-anak pada fase awal adalah
orang tua, bagaimana orang tua atau orang terdekat mengekspresikan
marah menjadi contoh anak dalam ekspresi marahnya (Townsend, 2009)
Role model/contoh tidak selalu dirumah, penelitian membuktikan bahwa
acara kekersan ditelevisi sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
(American Psychological Assocation,2006, dalam Townsend, 2009).
Menurut American Psychological Assocation,, (2006, dalam Townsend,
2009) menyarankan pentingnya pengawasan terhadap apa yang anak lihat
dan peraturan tentang acara kekerasan dimedia untuk mencegah
pemodelan kekerasan. Faktor psikologis lain dapat berupa kegagalan,
kegagaglan dapat berakibat frustasi (Stuart & Laraia, 2005).
Kegagalan sering diartikan oleh individu oleh ketidakmampuan, respon
yang mucul pada saat individu mengalam kegagalan dapat berupa
penyalahan terhadap diri sendiri, atau orang lain yang ditunjukan dengan
perilaku kekerasan (Dyah, 2009).

c. Faktor Sosial Budaya


Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadi perilaku
kekerasan pada individu. Karakteristik yang termasuk pada sosial budaya
seperti: usia, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pendidikilaku dan
tingkat sosial ekonomi (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009), riwayat
perilaku kekerasan di masa lalu (Stuart, 2009). Faktor lingkungan dan
situasi perawatan bias sebagai memicu perilaku kekerasan klien, faktor ini
meliputi fasilitas fisik, keberadaan petugas dank lien lain. Beberapa
penelitian telah menemukan bahwa jumlah inseden kekerasan lebih besar
terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar, penuh sesak,
kurang privasi atau tidak bebas.
1) Jenis kelamin
Berdasarkan pendapat diatas disampaikan bahwa jenis kelaim
merupakan salah satu karakteristik sosial budaya. Jenis kelamin
adalah ciri fisik, karakter dan sifat yang berbeda. Laki-laki lebih sering
melakukan perilaku agresif (Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan hasil
penelitian dinyatakan bahwa karakteristik jenis kelamin berhubungan
dengan kejadian perilaku kekerasan verbal (p value 0,001) dank lien
laki-laki dua kali lipat lebih banyak dari klien perempuan, serta usia
yang paling banyak 30 tahun kebawah (Keliat, 2003).
Namun berdasarkan penelitian Keliat dkk, (2008) pada penelitian
karakteristik klien yang dirawat dibangsal MPKP menyebutkan ada
63,9% berjenis kelamin laki-laki, 82,5% terdapat pada golongan umur
dewasa yaitu umum33 tahun sampai 55 tahun.
2) Tingkat sosial ekonimi
Kondisi sosial lain yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan
seperti : kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutruuhan
hidup, masalah perkawinan, keluarga single parent, pengangguran,
kesulitan mempertahankan hubungan interpersonal dalam keluarga,
struktur keluarga, dan control sosial (Stuart & Laraia, 2005; Stuart,
2009; Tardiff, 2003 dalam Townsend, 2009).
Kepercayaan (spiritual), nilai dan moral mempengaruhi ungkapan
marah individu (Keliat & Sinaga, 1991). Aspek spiritual adalah
komponen kehidupan individu yang terkait dengan falsafah hidup,
nilai, keyakinan dan religi ( Rawlins, et. al, 1993 dalam keliat, 2003).
Faktor lain yang berhubungan dengan kekerasan secara sosial
termasuk kurangnya dukungan sosial, kesulitan pekerjaan, atau
masalah keuangan, akses yang mudah ke senjata dan kecenderungan
budaya Amerika Serikat untuk memanfaatkan perilaku kekerasan
sebagai solusi untuk pemecahan masalah (Woodside & McClum, 2006
dalam Fontaine, 2009).
3) Ras/ Suku
Faktor sosiokultural lainnya adalah norma budaya yang dapat
membantu mengartikan makna ekspresi marah dan dapat mendorong
untuk mengekspresikan marah secara asertif sehingga membantu
menjaga kesehatan diri. Norma yang mereinforcement perilaku
kekerasan akan berakibat ekspresi marah dan cara destruktif. Sindroma
ikatan dua budaya mencangkup perilaku agresif, Bouffee delirante
suatu kondisi yang terlihat pada masyarakat Afrika Barat dan Haiti,
ditandai dengan ledakan perilaku agresif dan agitasi secara tiba-tiba,
kebingungan yang nyata dan psychomotor excitement, episode ini
dapat mencakup halusinasi pendengaran dan penglihatan serta pikiran
panaoid yang menyerupai episode psikotik singkat (Mezzich et al.,
2000 dalam videbeck, 2008)
2. Faktor Presipitasi
a. Faktor Biologi
Stressor presipitasi adalah stimuli yang di terima individu sebagai
tantangan,ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi prilaku kekerasan dari faktor
biologi dapat di sebabkan oleh gangguan umpan balik di otak yang mengatur jumlah
dan waktu dalam proses informasi.Stimuli penglihatan dan pendengaran pada
awalnya di saring oleh hipotalamus dan di kirim untuk di proses oleh lobus frontal
dan bila informasi yang di sampaikan terlalu banyak pada suatu atau jika informasi
tersebut salah,lobus frontal akan mengirimkan pesan overload ke ganglia basal dan di
ingatkan lagi hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal
menyebabkan gangguan pada proses umpan balik dalam penyampaian informasi yang
menghasilkan proses informasi overload (Stuard & Laraia,2005 ;Stuard,2009).

Stressor presipitasi yang lain adanya abnormal pada pintu mekanisme adalah proses
elektrik yang melibatkan elektrolit,hal ini memicu penghambatan saraf dan rangsang
aksi dan umpan balik yang terjadi pada sistem syaraf.penurunan pintu mekanisme
/gating proses ini di tunjukan dengan ketidakmampuan individu dalam memilih
stimuli secara selektif (Hong et al;2007 dalam Stuart, 2009). Menjadi faktor biologi
lainyayang merupakan predisposisi dapat menjadi presipitasi dengan memperhatikan
asal stressor,baik internal lingkungan eksternal individu.waktu dan frekuensi
terjadinya stressor prilaku untuk di kaji (Stuart & Laraia ,2005).

b. Faktor Psikologis
Pemicu prilaku kekerasan dapat di akibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang
rendah ,koping individu yang tidak efektif,impulsive dan membayangkan atau secara
nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya ,tubuh atau kehidupan .dalam
ruang perawatan .prilaku kekerasan dapat terjadi karena provokasi petugas, prilaku
kekerasan terjadi pada setting ini dimana petugas merasa memiliki sikap otoriter dan
cenderung mengatur apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh klien ,menahan
klien bertentangan dengan keinginan klien dan memaksa untuk minum obat ,semua
itu prilaku agresif /kekerasan dapat terjadi karena beberapa perasaan seperti marah
,ansietas rasa bersalah ,frustasi atau kcurigaan (Townsend,2009)

c. Faktor Sosial Budaya


Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden kekerasan lebih besar
terjadi ketika klien di pindahkan dalam kelompok besar terjadi ketika klien di
pindahkan dalam kelompok yang besar ,penuh sesak ,kurang privasi atau tidak bebas
.Menurut Fagan-Pyor et al .(2003 dalam Stuart,2009) petugas mungkin secara sengaja
atau tidak sengaja memicu prilaku klien untuk melakukan kekerasan ,ketidak
pengalaman petugas,provokasi petugas ,menejemen lingkungan yang buruk ,ketidak
pahaman petugas ,pertemuan fisik yang terlalu dekat ,penetapan batasan yag tidak
konsisten dan budaya kekerasan mempengarungi prilaku kekerasan klien .akhirnya
pemahaman terhadap situasi dan penerimaan lingkungan ,kognitif dan stess
komunikasi serta respon afektif klien perlu di identifikasi oleh petugas.selanjutnya
perlu di kaji asal stressor sosiokultural ,waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor
psikologis yang terjadi dalam suatu waktu (Stuart & Laraia ,2005 ) Dengan demikian
banyak sekali stressor sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan menjadi penyebab
ataupun pencetus prilaku kekerasan.

3. Penilaian Stressor
Model stress Diatesis dalam sebuah karya klasik oleh Liberman dan rekan (1994)
menjelaskan bahwa gejala sskizofrenia berkembang berdasarkan pada hubungan
antara jumlah stress dalam pengalaman seseorang dan toleransi internal terhadap
ambang stress. Ini adalah model penting karena mengintegrasikan faktor budaya
biologis ,psikologis,dan social ,cara ini mirip dengan stress adaptasi model stuart
yang di guinakan sebagai kerangka kerja konseptual (Stuart ,2009). Menurut Wuerker
(2000) model adaptasi ini membantu menjelaskan hubungan stress dengan
skizofrenia ,meskipun tidak ada penelitian ilmiah telah menunjukan bahwa stress
menyebabkan skizofrenia ,namun semakin jelas bahwa skizofrenia adalah gangguan
yang tidak hanya menyebabkan stress ,tetapi juga di perparah oleh stress (Jones dan
Fernyhougi ,2007 dalam Stuart ,2009). Penilaian seseorang tentang stressor ,dan
masalah yang terkait dengan koping untuk mengatasi stress dapat memprediksi
timbulnya gejala.

4. Sumber Koping
Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan
yang memerlukan penyesuaian baik bagi klien dan keluarga .Proses penyesuaian
paska psikotik terdiri dari empat fase : (1). Disonansi kognitif (psikosis aktif) ,(2)
pencapaian wawasan, (3) stabilitas dalam semua aspek kehidupan (ketetapan
kognitif) dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan
(ordinariness). Proses multifase penyesuaian dapat berlangsung 3 samapi 6 tahun (
Moller 2006 ,dalam stuart ,2009) :
a. Efikasi /kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi gejala
dan menstabilkan disonasi kognitif setelah episode pertama memakan waktu 6
sampai 12 bulan.
b. Awal pengenalan diri/insight sebagai proses mandiri melakukan pemerikasaan
realitas yang dapat diandalkan .pencapaian keterampilan ini memakan waktu
6 sampai 18 bulan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan dukungan
yang berkelanjutan .
c. Setelah mencapai pengenalan diri/insight ,proses pencapaian kognitif meliputi
keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan reengaging dalam
kegiatan yang sesuai dengan usia yang berkaitan dengan sekolah dan bekerja
.fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d. Ordinariness/kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat dalam
kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari – hari
mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal 2
tahun.sumber daya keluarga,seperti pemahaman orang tua terhadap penyakit ,
keuangan ,ketersediaan waktu dan energi,dan kemampuan untuk menyediakan
dukungan yang berkelanjutan mempengaruhi jalanya penyeseuaian
postpsychotic.

5. Mekasnisme koping
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan
diri dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang di
sebabkan oleh penyakit mereka. Regresi adalah berkaitan dengan masalah
informasi pengolahan dan pengeluaran sejumlah besar energi dalam upaya
untuk mengelola kegelisahan ,menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup
sehari- hari. Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi
membingungkan dengan menetapkan reponsibility kepada seseorang atau
sesuatu .Penarikan diri ini berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan
dan keasyikan dengan pengalaman internal.

Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari


pertama kali diagnosis relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi
ketika seseorang menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan
kecemasan .hal ini memungkinkan waktu seseorang untuk mengumpulkan
sumber daya internal dan eksternal dan kemudian beradaptasi dengan stressor
secara bertahap. Pada klien penyesuaian postpsychikotik proses aktif
menggunakan mekanisme koping adaptif juga. Ini termasuk kognitif,
emosi,interpersonal,fisiologis,dan spiritual strategi penanggulangan yang
dapat berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan intervensi keperawatan (
Stuart ,2009).
C. Daftar Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
1. Masalah keperawatan: Diagnosis Keperawatan NANDA-I rentang respon
neurobilogis, skizofrenia dan gangguan psikotik (Stuart, 2009):
 Anxiety
 Imperaide Verbal Communication *
 Confusion,Acute
 Compromised family coping
 Ineffective coping
 Decisional
 Hopelessness
 Impaired memory
 Noncompliance
 Disturbed personal identity
 Ineffective role performance
 Self care deficit (bathing/ hygiene, dressing/ grooming)
 Disturbed sensory perception*
 Impaired social interaction*
 Social isolation
 Risk for suicide
 Ineffective therapeutic regiment management
 Disturbed thought processes*
 (*Diagnosis keperawatan primer rentang respon neurobiologis,
skizofrenia dan gangguan psikotik)
2. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatab perilaku kekerasan
Tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan
pasien dan dukungan hasil observasi
a. Data Subjektif:
a. Ungkapan berupa ancaman
b. Ungkapan kata-kata kasar
c. Ungkapan ingin memukul/ melukai

b. Data objektif:
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak (Kemenkes RI, 2012)
D. Pohon masalah
Menurut keliat dkk (2005) pohon masalah perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut :

Resiko menciderai diri sendiri resiko mencederai orang


lain dan lingk

Resiko prilaku kekerasan

Harga diri rendah

Pohon masalah pada masalah prilaku kekerasan (keliat 2005 )

E. Diagnosis
1.diagnosis keperawatan : risiko prilaku kekerasan
2. diagnosa medis : skizoprenia

F. Rencana tindakan
1. Rencana tindakan keperawatan generalis
Diagnosa Sp/kemampuan klien Sp/kemampuan keluarga
keperawatan
Resiko prilak Sp 1. Sp.1
u kekerasan  Identifikasi penyebab  Diskusikan masalah yang
tanda dan gejala ,pk yang dirasakan dalam merawat
di lakukan ,akibat pk klien
 Jelaskan cara mengontrol  Jelaskan pengertian
pk : ,tanda dan gejala dan
fisik,obat,verbal,spiritual proses terjadinya pk
 Latihan cara mengontrol (gunakan booklet)
pk secara fisik : tarik  Jelaskan cara merawat pk
napas dalam dan  Latih satu cara merawat
pukulkasur dan bantal. pk dengan melakukan
 Masukan pada jadwal kegiatan
kegiatan untuk latihan Fisik :tarik nafas dalam
fisik. dan pukul bantal
 Anjurkan membantu
pasien sesuai jadwal dan
memberi pujian
Sp.2 Sp.2
 Evaluasi kegiatan latihan  Evaluasi kegiatan
fisikn,beri pujian keluarga dalam merawat /
 Latih cara mengontrol pk melatih
dengan obat jelaskan 6  Jelaskan 6 benar member
benar obat : jenis,guna obat
dosis,frekuensi  Latih cara memberikan
,cara,kointuinitas minum /membimbing minum
obat obat
 Masukan pada jadwal  Anjurkan membantu
kegiatan untuk latihan pasien sesuai jadwal dan
fisik dan minum obat. beri pujian
Sp.3 Sp.3
 Evaluasi kegiatan latihan  Evaluasi kegiatan
fisik & obat,beri pujian keluarga dalam
 Latih cara mengontrol pk merawat/melatih pasien
secara verbal ( 3 cara fisik dan memberikan
yaitu mengungkapkan obat,beeri pujian
,meminta,menolak  Latih cara membimbing
dengan benar) ,cara bicara yang baik.
 Memasukkan pada  Latih cara membimbing
jadwal kegiatan untuk kegiatan spiritual
latihan fisik ,minum obat  Anjurkan membantu
dan verbal pasien sesuai jadwal dan
member pujian
Sp.4 Sp.4
 Evaluasi kegiatan latihan  Evaluasi kegiatan
fisik dan obat,verbal,beri keluarha dalam merawat
pujian /melatihpaisen
 Latihan cara mengontrol ,fisik,memberikan
spiritual ( 2 kegiatan ) obat,latihan bicara yang
 Masukkan pada jadwal baik dan kegiatan
kegiatan spiritual , beri pujian
untuk latihan fisik minu  Jelaskan follow up ke
m ,obat,verbal dan RSJ /pkm ,tanda kambuh
spiritual ,rujukan
 Anjurkan membanntu
pasien sesuai jadwal dan
memberikan pujian

2.Rencana tindakan keperawatan spesialis :


 Therapy individu : terapi prilaku ,CBT,REBT,RECBT,ACT.
 Therapy kelompok : psikoedukasi kelompok ,terapi suportif ,SHG
 Therapy keluarga : Triangle terapi,psikoedukasi keluarga
 Therapy komunitas : assertive community therapy

G. Rencana tindakan medis/psikofarmaka :


a.Anti spikotik
 Chlorpromazine (promactile,largactile )
 Haloperidol (Haldol,serenace,lodomer)
 Stelazine
 Clozapine (clozaril )
 Risperidon (risperdal )
b.Anti parkingson
 Trihexyphenidile
 Arthan

Prinsip Titrasi/Model Pengobatan Psikofarmaka: (Maslim, R, 2007)


 Respon terhadap obat bersifat individual dan perlu pengaturan
secara empiric (theraupetic trail)
 Pengaturan dosis biasanya dimulai dengan dosis awal (dosis
anjuran), dinaikkan secara cepat sampai mencapai dosis efektif
(dosis mulai berefek supresi gejala sasaran), dinaikan secara
gradual sampai mencapai dosis optimal (dosis mampu
mengendalikan gejala sasaran) dan dipertahankan untuk jangka
waktu tertentu sampai disertai terapi lain (non medikamentosa)<
kemudian diturunkan secara gradual sampai mencapai dosis
peralihan (maintenance dose) yaitu dosis terkecil yang masih
mampu mencegah kambuhnya gejala.
 Bila sampai jangka waktu tertentu dinilai sudah cukup mantap
hasil terapinya, dosis dapat diturunkan secara gradual sampai
berhenti pemberian obat (tapering off)
Prinsip Pemilihan Antipsikotik: (Maslim, R, 2007)
 Anti spikotik APG 1 (CPZ ,Trifluoperazine,Heloperidol)
memblokade dopamine pada reseptor pasca sinaps neuron di otak
khususnya disistem limbik dan system ekstrapimidal ( dopamine
D2 receptors antagonis) sehingga efektif untuk gejala positif
 Antipsikotik APG II (clozapine,resperidon,olazapine,qutiapine,zot
epine,ariparizole ziprasidone-( di Indonesia belum ada )
memblokade dopamine D2 reseptor terhadap serotonin 5 HT
reseptors sehingga efektif untuk gejala positif dan negative.
DAFTAR PUSTAKA

Dyah W (2009) .pengaruh assertive training terhadap perilaku Kekerasan pada klien
skizoprenia,tesis.jakarta.FIK UI.tidak dipublikasikan
Keliat,B.A,(2005).Modul Basic Course Community Mental Health Nursing.kejasama
FIK UI dan WHO
Keliat,B.A,&Akemat.(2005).keperawatan jiwa terapi aktivitas kelompok.jakarta
:EGC

Anda mungkin juga menyukai