Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

DI RUANG PAV VI

RSAL DR RAMELAN SURABAYA

Oleh :

AMIN WIYONO

NIM : 1620005B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN D III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA

2018/2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

DI RUANG PAV VI RSAL DR RAMELAN

SURABAYA

Surabaya,……………………...2018
Mahasiswa

……………………………
Mengetahui
Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

…………………………… ..…………………………

2
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. Masalah Utama: Resiko Perilaku Kekerasan


1. Pengertian Perilaku Kekerasan
a. Resiko perilaku kekerasan adalah suatu bentuk prilaku maupun bertujuan melukai
seseorang, baik secara fisik maupun psikologis(keliat,2010)

b. American Psychological Association (2006 dalam Townsend, 2009) mengemukakan


bahwa kekerasan/kemarahan adalah keadaan emosional yang bervariasi dalam intensitas
ringan hingga kemarahan yang intens (berat), hal ini disertai dengan perubahan fisiologis
dan biologis, seperti peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan kadar hormone
epinerphrine dan norepinerphine.

c. Stuart, (2009) mengemukakan perilaku agresif adalah suatu kondisi dimana


seseorang mengabaikan hak orang lain, dia menganggap bahwa harus berjuang untuk
kepentingannya dan mengharapkan perilaku yang sama dari orang lain, bagi dia hidup
adalah pertempuran yang dapat mengakibatkan kekerasan fisik atau verbal, perilaku agresif
sering terjadi akibat kurang kepercayaan diri.

d. Perilaku agresif adalah suatu fenomena komplek yang dapat terjadi pada klien dengan
skizoprenia, gangguan mood, gangguan kepribadian borderline, gangguan perilaku dan
ketergantungan obat (Fontaine, 2009).

e. Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai tindakan kekuatan fisik dimaksudkan untuk


menyebabkan kerugian bagi seseorang atau obyek, agresif dan perilaku kekerasan
merupakan sebuah rentang kontinum dari perilaku yang mencurigakan kepada tindakan
ekstrim yang mengancam keselamatan orang lain atau mengakibatkan cidera atau
kematian (Herper&Reimer, 1992 dalam videback, 2008).

3
f. Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan individu
tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual kepada orang lain
(NANDA-I, 20012-2014, Herdman, 2012).

Dari semua pertanyaan diatas maka perilaku kekerasan atau agresif dapat didefisinikan
sebagai perilaku mencederai orang lain, diri sendiri dan lingkungan yang bervariasi dari intensitas
ringan sampai berat/ intens, dilakukan baik secara verbal, fisik, dan emosional yang akan
mengakibatkan perusakan harta benda, perampasan hak, kerugian dan bahkan kematian.

2. Tahapan Resiko Perilaku Kekerasan


Tahapan perilaku agresif atau resiko perilaku kekerasan: (Fontaine, 2009)
a. Tahap 1: Tahap memicu
Perasaan : Kecemasan
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindari kontak
Tindakan perawat: Mengidentifikasi factor pemicu, mengurangi kecemasan, memecahkan
masalah bila memungkinkan.

b. Tahap 2: Tahap Transisi


Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi meningkat
Tindakan perawat : Jangan tangani marah dengan amarah, menjaga pembicaraan, menetapkan
batas dan memberikan pengarahan, mengajak kompromi, mencari dampak agitasi; meminta
bantuan.

c. Tahap 3: Krisis
Perasaan : Peningkatan kemarahan dan agresi
Perilaku : Agitasi, gerakan mengancam, menyerang orang disekitar, berkata kotor;
berteriak
Tindakan perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam menjaga jarak pribadi, hangat (tidak
mengancam) konsekuensi, cobalah untuk menjaga komunikasi

4
d. Tahap 4: Perilaku merusak
Perasaan : Marah
Perilaku : Menyerang; merusak
Tindakan perawat : Lindungi klien lain, menghindar, melakukan pengekangan fisik

e. Tahap 5: Tahap lanjut


Perasaan : Agresi
Perilaku : Menghentikan perilaku terang-terangan destruktif, pengurangan tingkat gairah
Tindakan perawat : Tetap waspada karena perilaku kekerasan baru masih memungkinkan, hindari
pembalasan atau balas dendam

f. Tahap 6: Tahap peralihan


Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir
Tindakan perawat : Lanjutkan fokus mengatasi masalah utama

3. Rentang Respon Resiko Perilaku Kekerasaan


Perilaku kekerasaan merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan dapat berfluktrusi dalam
rentan adaptif sampai maladaptif (Keliat & Siaga, 1991). Rntan respon marah menurut Stuart dn
Sundeen (1995) dijelaskan dalam skema 2.2 dimana agresif dan amuk (perilaku kekerasan) berada
pada rentan respon yang maladaptif.

5
a. Asertif
Prilaku asertif adalah menyampaikan suatu persaan diri dengan paasti dan merupakan
komunikasi untuk menghormati orang lain . individu yang asertif berbicara dengan jujur dan jelas.
Mereka dapat melihat normal dari individu lainnya dengantepat sesuai dengan setuasi pada saat
berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu,intonasi sura dalam berbicara tidak
mengancam ,postur tegak dan santai, kesan keseluruhan adalah bahwa individu tersebut kuat tapi
tidak mengancam. Permintaan masukan yang positif juga termasuk perilaku asertif ( Stuart &
Laraia, 2005; Stuart, 2009).

b. Pasif
Individu yang sering pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya terhadap hak
orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah makan dia akan berusaha menutupi kemarahannya
sehingga meningkatkan tekanan pada dirinya (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009). Perilaku pasif
dapat diekspresikan secara nonverbal, seseorang yang pasif biasanya bicara pelan, sering dengan
cara kekanak-kanakan dan kontak mata yang sedikit. Individu tersebut mungkin dalam posisi
membungkuk, tangan memegang tubuh dengan dekat ( Stuart, 2009)

c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang kurang realistis atau
hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart & Laraia, 2005). Frustasi adalah kegagalan individu
dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Frustasi akan bertambah berat jika keinginan yang tidak
tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Keliat & Sinaga, 1991).

d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu harus merasa bersaing
untuk mendapatkan apa yang diinginkanya seorang yang agresif didalam hidupnya selalu
mengarah pada kekerasan fisik dan perbal .berlaku agresif pada dasarnya disebabkan karena
menutupi kurangnya rasa percaya diri ( bushman & baumeister,1998 dalam stuart &
laraia,2005;stuart,2009 ) prilaku agresif juga ditunjukkan secara non perbal,seseorang

6
yangagresif melanggar batas orang lain ,bicaranya keras dan lantang,biasanya kontak mata yang
berlebihan dan mengganggu ,postur kaku dan tanpak mengancam ( stuart,2009).
e. Amuk
Amuk atau prilaku kekerasan adalah perasaan marah dan permusuhan yang kuat dan
disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat merusak diri,orang lain dan lingkungan(
melihat keliat & sinaga,1991). Menurut stuart dan laraya (2009)prilaku kekerasan berplukstuasi
dari tingkat rendah sampai tinggi yaiyu yang disebut dengan hirarki prilaku agresi dan kekerasan
(gambar 2.1 )

Gambar 2.1 hirarki prilaku pada klien dengan prilaku kekerasan.

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa prilaku kekerasan mempunyai


tingkatberdasarkan prilakunya mulai dari yangterendah yaitu memperlihatkan permusuhan pada
tingkat rendah sampai pada tingkatan yang tertiggi yaitu melukai dalam tingkat serius dan
membahayakan.

7
A. Proses terjadinya masalah

Prilaku kekerasan merupakan salah satu respon mal akdatif dari marah .
Marah adalah emosi yang kuat;ketika di tolak atau dipendam dapat memicu masalah fisik seperti
sakit kepala migren ,ulcer,radang usus bahkan penyakit jantung koroner.marah dapat merubah
menjadi kebencian yang sering dimanifestasikan dengan prilaku diri yangnegatif dari pasif sampai
agresif ( tounsend,2009).

Kemarahan terjadi ketika individu mengalami prustasi,terluka atau takut (vidback,2008 ).


Kesulitan dalam jiwa (koh,kim & park,2002 dalam vidhback,2008).prilaku kekerasan adalah
akibat dari kemarahan yang ekstrim atau ketakutan (panic) alas an khusus dari prilaku agresif
berfariasi dari setiap orang( stuart & laraya,2005;stuart,2009)

Penyebab kemarahan atau resiko prilaku kekerasan secara umum adalah : kebutuhan yang
tidak menyinggung harga diri dan harapan tidak sesuai dengan kenyataan .model stress adaftasi
stuart dari keperawatan jiwa memandang prilaku manusia dalam perspektif yang holistic terdiri
atas biologis,psikologis dan sosio cultural dan aspek aspek tersebut saling berintegrasi dalam
keperawatan komponen biopsikososial dari model tersebut termasuk dalam factor
predisposisi,presipitasi,penilaian terhadap stressor,sumber koping dan mekanisme koping ( stuar
& laraya,2005;sturt,2009). Menurut stuart( 2009 ),

masalah prilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan psikodinamika masalah


keperawatan jiwa seperti sekema 2.1 dibawah ini.

8
9
1. faktor predisposisi
A. Faktor biologi
Faktor biologi secara alami dapat menjadi salah satu faktor penyebab (predisposisi) atau
menjadi faktor pencetus (presipitasi) terjadinya perilaku kekerasan pada individu. Fraktor
predisposisi yang berasal dari biologis dapat dilihat sebagai suatu keadaanatau faktor risiko yang
dapat mempengaruhi peran dalam menghadapi stressor adapun yang termasuk dalam faktor
biologis ini adalah :

1). Struktur otak (neuroanatomi)


Penelitian telah di fokuskan pada tiga area otak yang diyakini terlibat dengan perilaku
agresif adalah sistem limbik ,lobus frontal,dan hiphotalamus.Neurotransmiter juga di usulkan
memiliki peran dalam munculnya prilaku kekerasan atau penekanan prilaku kekerasan
(Niehoff,2002;Hoptman,2003 Stuart & Laraia ,2005;Stuart & laraia,2005;Stuart ,2009)

Kerusakan struktur pada limbik dan lobus frontal serta lobus temporal otak dapat
mengubah kemampuan individu untuk memodulasiagresif sehingga menyebabkan perilaku agresif
sehingga menyebabkan perilaku agresif/kekerasan (Videback,2008).Penelitian telah menemukan
bahwa pada epilepsi pada daerah lobus temporal dan frontal ada pada klien episodik agresif dan
perilaku kekerasan (townsend,2009;Fontaine;2009)

Sistem limbik di kaitkan dengan mediasi dorongan dasar dan ekspresi emosi serta tingkah
laku manusia seperti :makan ,agresi,dan respon sexual,termasuk proses pengolahan informasi dan
memori. Sintesis informasi ke dan dari area lain otak mempunyai pengaruh pada emosional dan
perilaku .perubahan dalam sistem limbik dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan perilaku
agresif .Secara khusus amigdala bagian dari sistem limbik menjadi mediasi ekpresi kemarahan dan
ketakutan (Stuart,2009).

10
Lobus Frontal berperan penting dalam mediasi tingkah laku yang berarti dan berfikir
rasional. Lobus ini merupakan bagian dari otak dimana pikiran dan emosi beriinteraksi. Kerusakan
pada lobus frontal dapat mengakibatkan gangguan penilaian,perubahan kepribadian ,masalah
pengambilan keputusan,ketidaksesuaian dalam berhubungan dan ledakan agresif.Hipotalamus di
dasar otak berfungsi sebagai sistem alarm/peringatan otak.

Kondisi stress menaikan jumlah steroid,hormon yang di keluarkan oleh kelenjar


adrenal,saraf reseptor untuk hormon ini menjadi kurang sensitif dalam upaya mengkompensasi
peningkatan steroid dan hipotalamus merangsang kelenjar pituitari untuk menghasilkan lebih
banyak steroid. Setelah stimulasi berulang sistem berespon lebih kuat terhadap provokasi. Ini
menjadi salah satu alasan mengapa stress traumatik pada anak secara permanen dapat
meningkatkan potensi seseorang untuk melakukan kekerasan (Stuart,2009).

2) Genetik
Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang mempredisposisikan
individu mengalami skizofrenia (Copel,2007). Sedangkan Buchana dan Carpenter (2000,dalam
Stuart & Laraia,2005;Stuart,2009) menyebutkan bahwa kromosom yang berperan dalam
menurunkan skizofrenia adalah kromosom 6. Sedangkan kromosom lain yang juga berperan
adalah kromosom 4,8,15 dan 22,Craddok et al (2006 dalam Stuart,2009 ).

Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1 yang bertanggung jawab memproduksi
GABA ,dimana pada klien skizofrenia tidak dapat meningkat secara normal sesuai perkembangan
pada daerah frontal,dimana bagian ini berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan keputusan
Hung et al,(2007 dalam Stuart ,2009).

Penelitian yang paling penting memusatkan pada penelitian anak kembar yang
menunjukan anak kembar identik beresiko mengalami skizofrenia sebesar, sedangkan pada
kembar nonidentik/fraternal beresiko 15% mengalami skizofrenia. Risiko 15% jika salah satu
orang tua menderita skizofrenia. Angka ini meningkat 40% - 50% jika kedua orangtua biologis
menderita skizofrenia
(Cancro & Lehman,2000;Videback,2008;Stuart,2009;Townsend ,2009;Fontaine,2009).

11
Semua penelitian ini menunjukan bahwa faktor genetik dapat menjadi penyebab terjadinya
skizofrenia dan perlu menjadi perhatian untuk mengetahui risiko seseorang mengalami skizofrenia
dilihat dari faktor keturunan.

3) Neurotransmiter
Neurotransmiter adalah zat kimia otak yang di transmisikan dari dan ke seluruh neuron
sinapsis,sehingga menghasilkan komunikasi antara otak dan struktur otak lain. Peningkatan atau
penurunan zat ini dapat mempengaruhi prilaku ,perubahan keseimbanagn zat ini dapat memburuk
atau menghambat prilaku agresif . Beberapa penelitian menunjukan bahwa berbagai
neurotransmiter (epineprin,norepineprin,dopamine,acetylcolin dan serotinin) berperan dalam
fasilitasi dan inhibisi rangsangan agresif (Sadock&Sadock,2007 dalam Townsend,2009)
Rendahnya neurotransmiter serotonin di kaitkan dengan prilaku iritabilitas,Hipersensitifitas
terhadap provokasi,dan prilaku amuk. Individu dengan prilaku inpulsif, bunuh diri, dan melakukan
pembunuhan,mempunyai serotononin dengan jumlah rendah daripada rata-rata jumlah asam 5-
hidroxynoleacetik (5-HIAA)/produk serotonin (Stuart,2009).

Penelitian ini telah menunjukan adanya hubungan antara agresif inpulsif dengan rendahnya
level neurotransmiter serotonin Hasil temuan menyatakan bahwa serotonin berperan sebagai
inhibitor utama prilaku agresif,dengan demikian kadar serotonin yang rendah dapat menyebabkan
peningkatan prilaku agresif, selain itu peningkatan aktiitas dopamine dan norepineprin di otak di
kaitkan dengan prilaku kekerasan yang inpulsif (Kavousi et al.1997 dalam Videback,2008;Frandle
et al, 2005;. Perusse & Gendreu,2005; Pihl & Benkelfat ,2005 dalam Fontaine,2009).

Neurotransmiter lain yang berkaitan dengan prilaku agresif adalah dopamine,norepineprin,


dan acetylcolin serta asam amino Gamma-aminobutyric acid (GABA). Korteks prefrontal juga
berperan penting dalam menghambat prilaku agresif.Area spesifik pada korteks prefrontal adalah
Region obitofrontal. Stimulasi pada area ini mencegah marah dan agresif. Lesi pada area ini
menyebabkan prilaku infilsiuf (stuart & laraia, 20005. Stuart 2009).

12
4. Imunovirologi
Karakteristik biologis lain yang berhubungan dengan prilaku kekerasan adalah riayat
penggunaan obat NAPZA dan frekuensi dirawat. Penggunaan napza akan mempengaruhi fungsi
otak, mempengaruhi terapi dan perawatan yang diberikan (Dyha,2009). Frekuensi dirawat
menunjukan seberapa sering individu dengan prilaku kekerasan mengalami kekambuhan. Prilaku
kekerasan pada skezoprenia sering terjadi karena penyakit yang tidak terkontrol, putus obat,
kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan sesuatu atau situasi yang menciptakan prilaku
kekerasan (stuart & laraia, 2005; stuart, 2009). Secara umum dua populasi klien akan
meningkatkan resiko kekerasan yaitu klien dengan gejala psikotik aktif dan penyalah gunaan zat
(Nolan et al. 2003 dalam stuart, 2009). Prilaku kekerasan juga meningkat pada klien penyalah
gunaan zat, skizoprenia dan tidak mengambil obat yang diresepkan, hidup bersama dalam orang
yang mengalami gangguan jiwa ( Citrome dan Volavka, 1999 dalam Videback, 2008).

B. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan salah satu predisposisi atau presipitasi dalam proses
terjadinya perilaku agresif/ kekerasan. Menurut stuart dan Laraia (2005) yang termasuk dalam
faktor psikologis diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan
psikologi diantaranya kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan psikologi.

1) Teori psikoanalitik
Suatu pandangan psikologi tentang perilaku agresif menyatakan bahwa pentingnya
mengetahui predisposisi faktor perkembangan atau pengalaman hidup yang membatasi
kemampuan individu untuk memilih mekanisme yang bukan perilaku kekerasan. Faktor
perkembangana atau pengalaman hidup yang membatasi mekanisme koping nonviolence menurut
Stuart dan Laraia (2009) sebagai berikut:

Gangguan otak organik, mental reterdasi, ketidakmampuan belajar karena kerusakan


kapasitas bertindak secara efektif terhadap anak, orang tua yang terlalu penyayang dan
berkontribusi pada kurang rasa percaya dan harga rendah diri; mengalami kekerasan bertahun-
tahun, korban child abuse atau sering melihat kekerasan dalam keluarga dapat menanamkan pola
oenggunaan kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah.

13
2) Teori pembelajaran
Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku agresif dipelajari melalui proses
sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran internal dan eksternal. Pembelajaran internal terjadi
selama individu mendapat penguatan pribadi ketika melakukan perilaku agresif kemungkinan
sebagai kepuasan dalam mencapai tujuan atau pengalaman merasa penting, mempunyai kekuatan
dan control terhadap orang lain. Pembelajaran eksternal terjadi selama observasi medel peran
seperti peran sebagai orang tua, teman sebaya, saudara, oleh raga dan tokoh hiburan (Stuart &
Laraia, 2005; Stuart, 2009).

Menurut teori pembelajaran sosial, perilaku imitasi/meniru perilaku agresif sebagai


perilaku yang dapat diterima untuk memecahkan masalah dan sesuai status sosial. Peran
pemodelan merupakan salah satu bentuk pembelajaran terkuat, model perilaku anak-anak pada
fase awal adalah orang tua, bagaimana orang tua atau orang terdekat mengekspresikan marah
menjadi contoh anak dalam ekspresi marahnya (Townsend, 2009)

Role model/contoh tidak selalu dirumah, penelitian membuktikan bahwa acara kekersan
ditelevisi sebagai faktor predisposisi perilaku agresif (American Psychological Assocation,2006,
dalam Townsend, 2009). Menurut American Psychological Assocation,, (2006, dalam Townsend,
2009) menyarankan pentingnya pengawasan terhadap apa yang anak lihat dan peraturan tentang
acara kekerasan dimedia untuk mencegah pemodelan kekerasan. Faktor psikologis lain dapat
berupa kegagalan, kegagaglan dapat berakibat frustasi (Stuart & Laraia, 2005).

Kegagalan sering diartikan oleh individu oleh ketidakmampuan, respon yang mucul pada
saat individu mengalam kegagalan dapat berupa penyalahan terhadap diri sendiri, atau orang lain
yang ditunjukan dengan perilaku kekerasan (Dyah, 2009).

14
C. Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial, budaya juga merupakan faktor predisposisi terjadi perilaku kekerasan pada
individu. Karakteristik yang termasuk pada sosial budaya seperti: usia, jenis kelamin, ras, status
perkawinan, pendidikilaku dan tingkat sosial ekonomi (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009),
riwayat perilaku kekerasan di masa lalu (Stuart, 2009). Faktor lingkungan dan situasi perawatan
bias sebagai memicu perilaku kekerasan klien, faktor ini meliputi fasilitas fisik, keberadaan
petugas dank lien lain. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah inseden kekerasan
lebih besar terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar, penuh sesak, kurang
privasi atau tidak bebas.

1. Jenis kelamin
Berdasarkan pendapat diatas disampaikan bahwa jenis kelaim merupakan salah satu
karakteristik sosial budaya. Jenis kelamin adalah ciri fisik, karakter dan sifat yang berbeda. Laki-
laki lebih sering melakukan perilaku agresif (Stuart & Laraia, 2005). Berdasarkan hasil penelitian
dinyatakan bahwa karakteristik jenis kelamin berhubungan dengan kejadian perilaku kekerasan
verbal (p value 0,001) dank lien laki-laki dua kali lipat lebih banyak dari klien perempuan, serta
usia yang paling banyak 30 tahun kebawah (Keliat, 2003).

Namun berdasarkan penelitian Keliat dkk, (2008) pada penelitian karakteristik klien yang
dirawat dibangsal MPKP menyebutkan ada 63,9% berjenis kelamin laki-laki, 82,5% terdapat pada
golongan umur dewasa yaitu umum33 tahun sampai 55 tahun.

2. Tingkat sosial ekonimi


Kondisi sosial lain yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan seperti : kemiskinan dan
ketidakmampuan memenuhi kebutruuhan hidup, masalah perkawinan, keluarga single parent,
pengangguran, kesulitan mempertahankan hubungan interpersonal dalam keluarga, struktur
keluarga, dan control sosial (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009; Tardiff, 2003 dalam Townsend,
2009).

15
Kepercayaan (spiritual), nilai dan moral mempengaruhi ungkapan marah individu (Keliat
& Sinaga, 1991). Aspek spiritual adalah komponen kehidupan individu yang terkait dengan
falsafah hidup, nilai, keyakinan dan religi ( Rawlins, et. al, 1993 dalam keliat, 2003).

Faktor lain yang berhubungan dengan kekerasan secara sosial termasuk kurangnya
dukungan sosial, kesulitan pekerjaan, atau masalah keuangan, akses yang mudah ke senjata dan
kecenderungan budaya Amerika Serikat untuk memanfaatkan perilaku kekerasan sebagai solusi
untuk pemecahan masalah (Woodside & McClum, 2006 dalam Fontaine, 2009).

3. Ras/ Suku
Faktor sosiokultural lainnya adalah norma budaya yang dapat membantu mengartikan
makna ekspresi marah dan dapat mendorong untuk mengekspresikan marah secara asertif
sehingga membantu menjaga kesehatan diri.

Norma yang mereinforcement perilaku kekerasan akan berakibat ekspresi marah dan cara
destruktif. Sindroma ikatan dua budaya mencangkup perilaku agresif, Bouffee delirante suatu
kondisi yang terlihat pada masyarakat Afrika Barat dan Haiti, ditandai dengan ledakan perilaku
agresif dan agitasi secara tiba-tiba, kebingungan yang nyata dan psychomotor excitement, episode
ini dapat mencakup halusinasi pendengaran dan penglihatan serta pikiran panaoid yang
menyerupai episode psikotik singkat (Mezzich et al., 2000 dalam videbeck, 2008)

2. Faktor Presipitasi
A. Faktor Biologi
Stressor presipitasi adalah stimuli yang di terima individu sebagai tantangan,ancaman atau
tuntutan. Stressor presipitasi prilaku kekerasan dari faktor biologi dapat di sebabkan oleh gangguan
umpan balik di otak yang mengatur jumlah dan waktu dalam proses informasi.

16
Stimuli penglihatan dan pendengaran pada awalnya di saring oleh hipotalamus dan di kirim
untuk di proses oleh lobus frontal dan bila informasi yang di sampaikan terlalu banyak pada suatu
atau jika informasi tersebut salah,lobus frontal akan mengirimkan pesan overload ke ganglia basal
dan di ingatkan lagi hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal menyebabkan
gangguan pada proses umpan balik dalam penyampaian informasi yang menghasilkan proses
informasi overload (Stuard & Laraia,2005 ;Stuard,2009).

Stressor presipitasi yang lain adanya abnormal pada pintu mekanisme adalah proses
elektrik yang melibatkan elektrolit,hal ini memicu penghambatan saraf dan rangsang aksi dan
umpan balik yang terjadi pada sistem syaraf.penurunan pintu mekanisme /gating proses ini di
tunjukan dengan ketidakmampuan individu dalam memilih stimuli secara selektif (Hong et al;2007
dalam Stuart, 2009). Menjadi faktor biologi lainyayang merupakan predisposisi dapat menjadi
presipitasi dengan memperhatikan asal stressor,baik internal lingkungan eksternal individu.waktu
dan frekuensi terjadinya stressor prilaku untuk di kaji (Stuart & Laraia ,2005).

B. Faktor Psikologis
Pemicu prilaku kekerasan dapat di akibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang rendah
,koping individu yang tidak efektif,impulsive dan membayangkan atau secara nyata adanya
ancaman terhadap keberadaan dirinya ,tubuh atau kehidupan .dalam ruang perawatan .prilaku
kekerasan dapat terjadi karena provokasi petugas, prilaku kekerasan terjadi pada setting ini dimana
petugas merasa memiliki sikap otoriter dan cenderung mengatur apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukan oleh klien ,menahan klien bertentangan dengan keinginan klien dan memaksa untuk
minum obat ,semua itu prilaku agresif /kekerasan dapat terjadi karena beberapa perasaan seperti
marah ,ansietas rasa bersalah ,frustasi atau kcurigaan (Townsend,2009)

C. Faktor Sosial Budaya


Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden kekerasan lebih besar terjadi
ketika klien di pindahkan dalam kelompok besar terjadi ketika klien di pindahkan dalam kelompok
yang besar ,penuh sesak ,kurang privasi atau tidak bebas .Menurut Fagan-Pyor et al .(2003 dalam
Stuart,2009)

17
Petugas mungkin secara sengaja atau tidak sengaja memicu prilaku klien untuk melakukan
kekerasan ,ketidak pengalaman petugas,provokasi petugas ,menejemen lingkungan yang buruk
,ketidak pahaman petugas ,pertemuan fisik yang terlalu dekat ,penetapan batasan yag tidak
konsisten dan budaya kekerasan mempengarungi prilaku kekerasan klien .akhirnya pemahaman
terhadap situasi dan penerimaan lingkungan ,kognitif dan stess komunikasi serta respon afektif
klien perlu di identifikasi oleh petugas.selanjutnya perlu di kaji asal stressor sosiokultural ,waktu
terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam suatu waktu (Stuart & Laraia
,2005 ) Dengan demikian banyak sekali stressor sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan
menjadi penyebab ataupun pencetus prilaku kekerasan.

3. Penilaian Stressor
Model stress Diatesis dalam sebuah karya klasik oleh Liberman dan rekan (1994)
menjelaskan bahwa gejala sskizofrenia berkembang berdasarkan pada hubungan antara jumlah
stress dalam pengalaman seseorang dan toleransi internal terhadap ambang stress. Ini adalah model
penting karena mengintegrasikan faktor budaya biologis ,psikologis,dan social ,cara ini mirip
dengan stress adaptasi model stuart yang di guinakan sebagai kerangka kerja konseptual (Stuart
,2009). Menurut Wuerker (2000) model adaptasi ini membantu menjelaskan hubungan stress
dengan skizofrenia ,meskipun tidak ada penelitian ilmiah telah menunjukan bahwa stress
menyebabkan skizofrenia ,namun semakin jelas bahwa skizofrenia adalah gangguan yang tidak
hanya menyebabkan stress ,tetapi juga di perparah oleh stress (Jones dan Fernyhougi ,2007 dalam
Stuart ,2009). Penilaian seseorang tentang stressor ,dan masalah yang terkait dengan koping untuk
mengatasi stress dapat memprediksi timbulnya gejala.

4. Sumber Koping
Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit menakutkan dan sangat menjengkelkan yang
memerlukan penyesuaian baik bagi klien dan keluarga .Proses penyesuaian paska psikotik terdiri
dari empat fase : (1). Disonansi kognitif (psikosis aktif) ,(2) pencapaian wawasan, (3) stabilitas
dalam semua aspek kehidupan (ketetapan kognitif) dan (4) bergerak terhadap prestasi kerja atau
tujuan pendidikan (ordinariness).

18
Proses multifase penyesuaian dapat berlangsung 3 samapi 6 tahun ( Moller 2006 ,dalam
stuart ,2009) :
a. Efikasi /kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi gejala dan menstabilkan
disonasi kognitif setelah episode pertama memakan waktu 6 sampai 12 bulan.
b. Awal pengenalan diri/insight sebagai proses mandiri melakukan pemerikasaan realitas yang
dapat diandalkan .pencapaian keterampilan ini memakan waktu 6 sampai 18 bulan tergantung pada
keberhasilan pengobatan dan dukungan yang berkelanjutan .
c. Setelah mencapai pengenalan diri/insight ,proses pencapaian kognitif meliputi keteguhan
melanjutkan hubungan interpersonal normal dan reengaging dalam kegiatan yang sesuai dengan
usia yang berkaitan dengan sekolah dan bekerja .fase ini berlangsung 1 sampai 3 tahun.
d. Ordinariness/kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan kemampuan untuk
secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat dalam kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap
dari kehidupan sehari – hari mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal 2
tahun.sumber daya keluarga,seperti pemahaman orang tua terhadap penyakit , keuangan
,ketersediaan waktu dan energi,dan kemampuan untuk menyediakan dukungan yang berkelanjutan
mempengaruhi jalanya penyeseuaian postpsychotic.

5. Mekasnisme koping
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri dalam
upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang di sebabkan oleh penyakit mereka.
Regresi adalah berkaitan dengan masalah informasi pengolahan dan pengeluaran sejumlah besar
energi dalam upaya untuk mengelola kegelisahan ,menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup sehari-
hari. Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi membingungkan dengan menetapkan
reponsibility kepada seseorang atau sesuatu .Penarikan diri ini berkaitan dengan masalah
membangun kepercayaan dan keasyikan dengan pengalaman internal.

Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari pertama kali


diagnosis relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi ketika seseorang menerima
informasi yang menyebabkan rasa takut dan kecemasan .hal ini memungkinkan waktu seseorang
untuk mengumpulkan sumber daya internal dan eksternal dan kemudian beradaptasi dengan
stressor secara bertahap.

19
Pada klien penyesuaian postpsychikotik proses aktif menggunakan mekanisme koping
adaptif juga. Ini termasuk kognitif, emosi,interpersonal,fisiologis,dan spiritual strategi
penanggulangan yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan intervensi keperawatan (
Stuart ,2009).

A. Daftar Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


1. Masalah keperawatan: Diagnosis Keperawatan NANDA-I rentang respon neurobilogis,
skizofrenia dan gangguan psikotik (Stuart, 2009):
§ Anxiety
§ Imperaide Verbal Communication
§ Confusion,Acute
§ Compromised family coping
§ Ineffective coping
§ Decisional
§ Hopelessness
§ Impaired memory
§ Noncompliance
§ Disturbed personal identity
§ Ineffective role performance
§ Self care deficit (bathing/ hygiene, dressing/ grooming)
§ Disturbed sensory perception
§ Impaired social interaction
§ Social isolation
§ Risk for suicide
§ Ineffective therapeutic regiment management
§ Disturbed thought processes
§ (Diagnosis keperawatan primer rentang respon neurobiologis, skizofrenia dan gangguan
psikotik).

20
2. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatab perilaku kekerasan
Tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan dukungan hasil
observasi
A. Data Subjektif:
a. Ungkapan berupa ancaman
b. Ungkapan kata-kata kasar
c. Ungkapan ingin memukul/ melukai

B. Data objektif:
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak (Kemenkes RI, 2012)

B. Pohon masalah
Menurut keliat dkk (2005) pohon masalah perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :

21
A. Diagnosis
1.diagnosis keperawatan : risiko prilaku kekerasan
2. diagnosa medis : skizoprenia
F. Rencana tindakan
1. Rencana tindakan keperawatan generalis
Diagnosa Sp/kemampuan klien Sp/kemampuan keluarga
keperawatan
Resiko prilaku Sp 1. Sp.1
kekerasan · Identifikasi penyebab tanda · Diskusikan masalah yang
dan gejala ,pk yang di lakukan dirasakan dalam merawat klien
,akibat pk · Jelaskan pengertian ,tanda
· Jelaskan cara mengontrol pk : dan gejala dan proses terjadinya pk
fisik,obat,verbal,spiritual (gunakan booklet)
· Latihan cara mengontrol pk · Jelaskan cara merawat pk
secara fisik : tarik napas dalam dan · Latih satu cara merawat pk
pukulkasur dan bantal. dengan melakukan kegiatan
· Masukan pada jadwal kegiatan Fisik :tarik nafas dalam dan pukul
untuk latihan fisik. bantal
· Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal dan memberi pujian
Sp.2 Sp.2
· Evaluasi kegiatan latihan · Evaluasi kegiatan keluarga
fisikn,beri pujian dalam merawat / melatih
· Latih cara mengontrol pk · Jelaskan 6 benar member
dengan obat jelaskan 6 benar obat : obat
jenis,guna dosis,frekuensi · Latih cara memberikan
,cara,kointuinitas minum obat /membimbing minum obat
· Masukan pada jadwal kegiatan · Anjurkan membantu pasien
untuk latihan fisik dan minum obat. sesuai jadwal dan beri pujian

22
Sp.3 Sp.3
· Evaluasi kegiatan latihan fisik · Evaluasi kegiatan keluarga
& obat,beri pujian dalam merawat/melatih pasien
· Latih cara mengontrol pk fisik dan memberikan obat,beeri
secara verbal ( 3 cara yaitu pujian
mengungkapkan ,meminta,menolak · Latih cara membimbing
dengan benar) ,cara bicara yang baik.
· Memasukkan pada jadwal · Latih cara
kegiatan untuk latihan fisik ,minum membimbing kegiatan spiritual
obat dan verbal · Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal dan member pujian

Sp.4 Sp.4
· Evaluasi kegiatan latihan fisik · Evaluasi kegiatan keluarha
dan obat,verbal,beri pujian dalam merawat /melatihpaisen
· Latihan cara mengontrol ,fisik,memberikan obat,latihan
spiritual ( 2 kegiatan ) bicara yang baik dan kegiatan
· Masukkan pada jadwal spiritual , beri pujian
kegiatan untuk latihan fisik minum · Jelaskan follow up ke RSJ
,obat,verbal dan spiritual /pkm ,tanda kambuh ,rujukan
· Anjurkan membanntu
pasien sesuai jadwal dan
memberikan pujian

2.Rencana tindakan keperawatan spesialis :


§ Therapy individu : terapi prilaku ,CBT,REBT,RECBT,ACT.
§ Therapy kelompok : psikoedukasi kelompok ,terapi suportif ,SHG
§ Therapy keluarga : Triangle terapi,psikoedukasi keluarga
§ Therapy komunitas : assertive community therapy

23
G. Rencana tindakan medis/psikofarmaka :
a.Anti spikotik
§ Chlorpromazine (promactile,largactile )
§ Haloperidol (Haldol,serenace,lodomer)
§ Stelazine
§ Clozapine (clozaril )
§ Risperidon (risperdal )
b.Anti parkingson
§ Trihexyphenidile
§ Arthan

Prinsip Titrasi/Model Pengobatan Psikofarmaka: (Maslim, R, 2007)


§ Respon terhadap obat bersifat individual dan perlu pengaturan secara empiric (theraupetic trail)
§ Pengaturan dosis biasanya dimulai dengan dosis awal (dosis anjuran), dinaikkan secara cepat
sampai mencapai dosis efektif (dosis mulai berefek supresi gejala sasaran), dinaikan secara
gradual sampai mencapai dosis optimal (dosis mampu mengendalikan gejala sasaran) dan
dipertahankan untuk jangka waktu tertentu sampai disertai terapi lain (non medikamentosa)<
kemudian diturunkan secara gradual sampai mencapai dosis peralihan (maintenance dose) yaitu
dosis terkecil yang masih mampu mencegah kambuhnya gejala.
§ Bila sampai jangka waktu tertentu dinilai sudah cukup mantap hasil terapinya, dosis dapat
diturunkan secara gradual sampai berhenti pemberian obat (tapering off)

Prinsip Pemilihan Antipsikotik: (Maslim, R, 2007)


§ Anti spikotik APG 1 (CPZ ,Trifluoperazine,Heloperidol) memblokade dopamine pada reseptor
pasca sinaps neuron di otak khususnya disistem limbik dan system ekstrapimidal ( dopamine D2
receptors antagonis) sehingga efektif untuk gejala positif
§ Antipsikotik APG II (clozapine,resperidon,olazapine,qutiapine,zotepine,ariparizole ziprasidon
e-( di Indonesia belum ada ) memblokade dopamine D2 reseptor terhadap serotonin 5 HT
reseptors sehingga efektif untuk gejala positif dan negative.

24
DAFTAR PUSTAKA

Dyah W (2009) .pengaruh assertive training terhadap perilaku Kekerasan pada


klien skizoprenia,tesis.jakarta.FIK UI.tidak dipublikasikan
Keliat,B.A,(2005).Modul Basic Course Community Mental Health Nursing.kejasama FIK UI dan
WHO
Keliat,B.A,&Akemat.(2005).keperawatan jiwa terapi aktivitas kelompok.jakarta :EGC
Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nurjannah, I. 2008. Penangan Klien Dengan Masalah Psikiatri Kekerasan. Yogyakarta:
MocoMedika.
Maramis, W.F. 2005 Catatan Ilmu Keperawatan Jiwa. Surabaya: Airlangga Universitas Press.
Stuart, G.W. and Laraia. 2005. Principles and Praktice of Psychiatric Nursing, St. Louis: Mosby
Year B
Stuart dan Sundeen, 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Videbeck, S. L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama.

25

Anda mungkin juga menyukai