Anda di halaman 1dari 15

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK

INDONESIA POLTEKKES KEMENKES


TANJUNGKARANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
TANJUNGKARANG
Bandar Lampung
Jl. Soekarno Hatta No. 1 Hajimena Bandar Lampung

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Kasus (Masalah Utama)


Risiko Perilaku Kekerasan

II. Proses Terjadinya Masalah

A. Pengertian
Resiko perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang
bertujuan melukai seseorng, baik secara fisik maupun psikologis
(keliat,,2010)
Stuart (2009), mengemukakan perilaku agresif adalah suatu kondisi
dimana seseorang mengabaikan hak orang lain, dia menganggap bahwa
harus berjuang untuk kepentingannya dan mengharapkan perilaku yang
sama dari orang lain, bagi dia hidup adalah pertempuran yang dapat
mengakibatkan kekerasan fisik atau verbal, perilaku agresif sering terjadi
akibat kurang kepercayaan diri.
Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
memperlihatkan individu tersebut dapat mengancam secara fisik,
emosional dan atau seksual kepada orang lain (Herdman, 2012).
Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan :
1. Respon emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang
meningkat dan dirasakan sebagai ancaman (di ejek atau dihina)
2. Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan
(kecewa, keinginan tidak tercapai, tidak puas).
3. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal diarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan.

B. Tahapan Risiko Perilaku Kekerasan


Tahapan risiko agresif atau risiko perilaku kekerasan : (Fontaine, 2002)
1. Tahap 1 : Tahap Memicu
Perasaan : Kecemasan
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindari kontak.
Tindakan perawat:Mengidentifikasi factor pemicu, mengurangi
kecemasan, memecahkan masalah bila memungkinkan.

2. Tahap 2 : Tahap Transisi


Perasaan :
Marah
Perilaku : Agitasi meningkat
Tindakan perawat:Jangan tangani marah dengan amarah, membaca
pembicaraan, menetapkan batas dan memberikan pengarahan,
mengajak kompromi, memicu dampak agitasi, maminta bantuan.

3. Tahap 3 : Krisis
Perasaan : peningkatan kemarahan dan agresi.
Perilaku : Agitasi, gerakan mengancam, menyerang orang
disekitar, berkata kotor; berteriak.
Tindakan perawat: Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam menjaga jarak
pribadi, hangat (tidak mengancam) konsekuensi, cobalah untuk
menjaga komunikasi.

4. Tahap 4 : Perilaku
Merusak Perasaan :
Marah
Perilaku : menyerang; merusak
Tindakan perawat: lindingi klien lain, menghindar, melakukan
pengekangan fisik.

5. Tahap 5 : Tahap Lanjut


Perasaan : Agresi
Perilaku :menghentikan perilaku terang-terangan dekstruktif,
pengurangan tingkat gairah.
Tindakan perawat:tahap waspada karena perilaku kekerasan baru
masih memungkinkan, hindari pembalasan atau balas dendam.
6. Tahap 6 : Tahap peralihan
Perasaan :
Marah
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir
Tindakan perawat: lnjutkan focus mengatasi masalah utama.

C. Tanda dan Gejala


1. Tanda dan Gejala Fisik :
a. Muka merah
b. Pandangan tajam
c. Otot tegang
d. Nada suara tinggi
e. Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak
f. Memukul jika tidak senang
2. Tanda dan gejala Emosional:
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan
terhadap penyakit (rambut botak karena terapi).
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri
sendiri).
c. Gangguan hubungan sosial (menarik diri).
d. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan).
e. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai
harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri
kehidupannya.
(Budiana Keliat, 1999)
3. Tanda dan Gejala Sosial:
a. Memperlihatkan permusuhan
b. Mendekati orang lain dengan ancaman
c. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
d. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
e. Mempunyai rencana untuk melukai
4. Tanda dan Gejala Intelektual :
a. Mendominasi
b. Cerewet
c. Cenderung suka meremehkan
d. Berdebat
e. Kasar
5. Tanda dan Gejala Spiritual:
a. Merasa diri kuasa
b. Merasa diri benar
c. Keragu-raguan
d. Tak bermoral
e. Kreativitas terhambat

D. Rentang Respon Risiko Perilaku Kekerasan


Skema rentang respon marah menurut stuart dan sundeen (1995)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Frustasi Agresif Amuk

1. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan
pasti dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain.
Individu yang asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat
melihat norma dari individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi.
Pada saat berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu,
intonasi suara dalam berbicara tidak mengancam. Postur tegak dan
santai, kesan keseluruhan adalah bahwa individu tersebut kuat tapi
tidak mengancam. Individu yang asertif dapat menolak permintaan
yang tidak beralasan dan menyampaikan rasionalnya kepada orang lain
dan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa
bersalah bila permintaannya ditolak orang lain. Individu yang asertif
ingat untuk mengungkapkan kasih sayang kepada siapa saja yang
dekat, pujian diberikan sepatutnya. Permintaan masukan yang positif
juga termasuk perilaku asertif (Stuart dan Laraia,2005;Stuart,2009).
2. Pasif
Individu yang pasif yang sering menyampingkan haknya dari
persepsinya terhadap orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah
maka dia akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga
mengingatkan tekanan pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat
menyebabkan gangguan perkembangan interpersonal (Stuart dan
Laraia,2005;Stuart,2009). Perilaku pasif dapat diekspresikan secara
nonverbal, seseorang yang pasif biasanya bicara pelan, sering dengan
cara kekanak-kanakan dan kontak mata yang sedikit. Individu tersebut
mungkin dalam posisi membungkuk, tangan memegang tubuh dengan
dekat (Stuart,2009).
3. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan
yang kurang realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart dan
Laraia,2005). Frustasi adalah kegagalan individu dalam mencapai
tujuan yang diinginkan frustasi akan bertambah berat jika keinginan
yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Keliat
dan Sinaga,1991).
4. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu
merasa harus bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Seseorang yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada
kekerasan fisik dan verbal. Perilaku agresif pada dasarnya disebabkan
karena menutupi kurangnya rasa percaya diri (Bushman dan
Baumeister,1998 dalam Stuart dan Laraia,2005;Stuart,2009). Perilaku
agresif juga dapat ditunjukkan secara nonverbal, seseorang yang
agresif melanggar batas pribadi orang lain, bicaranya keras dan
lantang, biasanya kontak mata yang berlebihan dan mengganggu,
postur kaku dan tampak mengancam (Stuart,2009).
5. Amuk
Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat yang disertai kehilangan kontrol diri sehingga
individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat
dan Sinaga,1991). Menurut Stuart dan Laraia (2009) perilaku
kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi yaitu yang
disebut dengan hirarki perilaku agresif dan kekerasan.
E. Etiologi
Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan
dengan menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor
dari faktor predisposisi dan presipitasi.
1. Faktor predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan,
meliputi:
a. Faktor biologis
Hal yang di kaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor
herediter mengalami gangguan jiwa, riwayat penyakit atau trauma
kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA.
b. Faktor psikologis
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. perilaku
kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. frustasi
terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu
menemui kegagalan atau terhambat, seperti kesehatan fisik yang
terganggu, hubungan social yang terganggu. Salah satu kebutuhan
manusia adalah “Berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak
dapat dipenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka yang akan
muncul adalah individu tersebut berperilaku destruktif.
c. Faktor sosiokultural
Fungsi dan hubungan social yang terganggu disertai lingkungan
social yang mengancam kebutuhan individu, yang mempengaruhi
sikap individu dalam mengekspresikan marah. Norma budaya
dapat mempengaruhi individu untuk berespon asertif atau agresif.
Perilaku kekerasan dapat di pelajari secara langsung melalui
proses sosialisasi (social learning theory), merupakan proses
meniru dari lingkungan yang menggunakan perilaku kekerasan
sebagai cara menyelesaikan masalah.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan
pada setiap individu bersifat unik, berbeda satu orang dengan orang
yang lain. Stressor tersebut dapat merupakan penyebab yang bersifat
faktor eksternal maupun internal dari individu.
Faktor internal meliputi keinginan yang tidak terpenuhi, perasaan
kehilangan dan kegagalan akan kehidupan (pekerjaan, pendidikan, dan
kehilangan orang yang dicintai), kekhawatiran terhadap penyakit fisik.
Faktor eksternal meliputi kegiatan atau kejadian sosial yang
berubah seperti serangan fisik atau tindakan kekerasan, kritikan yang
menghina, lingkungan yang terlalu ribut, atau putusnya hubungan
sosial/kerja/sekolah.
a. Faktor Biologi
Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai
tantangan, ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi perilaku
kekerasan dari faktor biologi dapat disebabkan oleh gangguan
umpan balik diotak yang mengatur jumlah dan waktu dalam proses
informasi. Stimuli penglihatan dan pendengaran pada awalnya di
saring oleh hipotalamus dan dikirim untuk diproses oleh lobus
frontal dan bila informasi yang disampaikan terlalu banyak pada
suatu waktu atau jika informasi tersebut salah, lobus frontal
mengirimkan pesan overload ke ganglia basal dan diingatkan lagi
hipotalamus untuk memperlambat transmisi kelobus frontal.
Penurunan fungsi dari lobus frontal menyebabkan gangguan pada
proses umpan balik dalam penyampaian informasi yang
menghasilkan proses informasi overload (Stuart dan Laraia, 2005;
Stuart, 2009).
b. Faktor Psikologis
Pemicu perilaku kekerasan dapat di akibatkan oleh toleransi
terhadap frustasi yang rendah, koping individu yang tidak efektif,
impulsive dan membayangkan atau secara nyata adanya ancaman
terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan. Dalam ruang
perawatan perilaku kekerasan dapat terjadi karena provokasi
petugas, perilaku kekerasan klien terjadi pada setting ini dimana
petugas merasa memiliki sikap otoriter dan cenderung
mengatur/controlling; mengatur apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukan oleh klien; menahan klien bertentangan dengan keinginan
klien dan memaksa untuk minum obat, semua itu berkontribusi
terjadi konflik petugas dan klien (Fontaine, 2009). Perilaku agresif
atau kekerasan dapat terjadi karena beberapa perasaan seperti
marah, ansietas, rasa bersalah, frustasi atau kecurigaan (Townsend,
2009).
c. Faktor Sosial Budaya
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden
kekerasan lebih besar terjadi ketika klien dipindahkan dalam
kelompok yang besar, penuh sesak, kurang privasi atau tidak bebas.
Menurut Fagan-Pyor et al., (2003 dalam Stuat, 2009) petugas
mungkin secara sengaja atau tidak sengaja memicu perilaku klien
untuk melakukan kekerasan, ketidak pengalaman petugas, provokasi
petugas, menejemen lingkungan yang buruk, ketidak pahaman
petugas, pertemuan fisik yang terlalu dekat, penetapan batasan yang
tidak konsisten dan budaya kekerasan mempengaruhi perilaku
kekerasan klien. Akhirnya pemahaman terhadap situasi dan
penerimaan lingkungan, kognitif dan stress komunikasi serta respon
afektif klien perlu diidentivikasi oleh petugas.
F. Penilaian Stressor
Model stress diatesis dalam sebuah karya klasik oleh Liberman dan
rekan (1994) menjelaskan bahwa gejala skizofrenia berkembang
berdasarkan pada hubungan antara jumlah stress dalam pengalaman
seseorang dan toleransi internal terhadap ambang stress. Ini adalah model
penting karena mengintegrasikan faktor budaya biologis, psikologis dan
sosial, cara ini mirip dengan Stress Adaptasi Model Stuart yang digunakan
sebagai kerangka kerja konseptual (Stuart, 2009). Menurut Wuerker (2000)
Model adaptasi ini membantu menjelaskan stress dengan skizofrenia,
meskipun tidak ada penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa stress
menyebabkan skizofrenia, namun semakin jelas bahwa skizofrenia adalah
gangguan yang tidak hanya menyebabkan stress, tetapi juga diperparah
oleh stress (Jones dan Fernyhougi, 2007 dalam Stuart, 2009 ). Penelitian
seseorang tentang stressor, dan masalah yang terkait dengan kopping untuk
mengatasi stress dapat memprediksi timbulnya gejala.
G. Sumber Koping
Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit yang menakutkan dan
sangat menjengkelkan yang memerlukan penyusuaian baik bagi klien dan
keluarga. Proses penyesuaian pasca psikotik terdiri dari 4 fase : (1)
Disonansi Kognitif (Psikosis Aktif) (2) Pencapaian wawasan (3) Stabilitas
dalam semua aspek kehidupan (ketetapan kognitif ) dan (4) Bergerak
tehadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan (Ordinariness). Proses
multifase penyesuaian dapat berlangsung 3-6 tahun (moller,2006 dalam
stuart, 2009 ) :
1. Efikasi atau kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten
mengurangi gejala dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode
pertama memakan waktu 6-12 bulan.
2. Awal pengenalan diri sebagai proses mandiri melakukan pemeriksaan
realitas yang dapat diandalkan. Pencapaian keterampilan ini memakan
waktu 6-12 bulan dan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan
dukungan yang berkelanjutan.
3. Setelah mencapai pengenalan diri, proses pencapaian kognitif meliputi
keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan reengaging
dalam kegiatan sesuai dengan usia yang berkaitan dengan sekolah dan
bekerja. Fase ini berlangsung 1-3 tahun.
4. Ordinariness / kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat
dalam kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-
hari mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal
2 tahun. Sumber daya keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap
penyakit, keuangan, ketersediaan waktu dan energi dan kemampuan
untuk menyediakan dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi
jalannya penyesuaian postpsychotic.

H. Mekanisme koping
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme
pertahanan diri dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman
menakutkan yang disebabkan oleh penyakit mereka . Regresi adalah
berkaitan dengan masalah informasi pengolahan dan pengerluaran sejumlah
besar energi dalam upaya untuk mengelola kegelisahan,menyisakan sedikit
untuk aktivitas hidup sehari-hari. Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan
persepsi membingungkan dengan menetapkan responsibility kepada
seseorang atau sesuatu. Penarikan diri ini berkaitan dengan masalah
membangun kepercayaan dan keasyikan dengan pengalaman internal .
Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka
mempelajari kali diagnosis relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang
terjadi ketika seseorang menerima informasi yang menyebabkan rasa takut
dan kecemasan. Hal ini memungkinkan watu seseorang untuk
mengumpulkan sumber daya internal dan eksternal dan kemudia
beradaptasi dengan stressor secara bertahap. Pada klien penyesuaian
postpschotic proses aktif menggunakan mekanisme koping adaptif juga. Ini
termasuk kognitif, emosi , interpersonal, fisiologis, dan spiritual strategi
penanggulangan yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan
intervensi keperawatan (Stuart,2009).
I. Daftar Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
NO. DATA MASALAH
1. DS : Risiko Perilaku
1. Ungkapan berupa ancaman Kekerasan
2. Ungkapan kata-kata kasar
3. Ungkapan ingin memukul/melukai

DO :
1. Wajah memerah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Bicara kasar
6. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
7. Mondar-mandir

J. Pohon Masalah
Menurut Keliat dkk (2005) pohon masalah perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut :
Risiko Mencederai Diri Sendiri Risiko Mencederai Orang Lain dan
lingkungan

Risiko Perilaku Kekerasan

Halusinasi, Isolasi Sosial, HDR, Mekanisme Koping Tidak Effektif

I. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


A. Perilaku Kekerasan.
B. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
C. Perubahan persepsi sensori.
D. Harga diri rendah kronis.
E. Isolasi sosial.
F. Berduka fungsional.
G. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
H. Koping keluarga inefektif.

II. Diagnosa Keperawatan


Risiko Perilaku Kekerasan
III. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (Individu,Keluarga,dan Kelompok)
A. Individu
Sp 1. Pengkajian,latihan nafas dalan dan memukul bantal dan kasur
Sp 2. Mengontrol perilaku kekerasan dengan Latihan patuh minum
obat Sp 3. Mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal atau
sosial
Sp 4. Mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual
B. Keluarga
Sp 1. Cara merawat pasien dan latih fisik 1(latihan nafas dalam dan mukul bantal kasur)
Sp 2. Latihan cara patuh minum obat
Sp 3. Latihan cara verbal atau sosial
Sp 4. Latihan cara spiritual
C. Terapi aktivitas kelompok
Sesi 1. Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
Sesi 2. Mencegah perilaku kekerasan fisik
Sesi 3. Mencegah perilaku kekerasan sosial
Sesi 4. Mencegah perilaku kekerasan spiritual
Sesi 5. Mencegah perilaku kekerasan patuh minum obat.
DAFTAR PUSTAKA
Sulastri,2013.Keperawatan Kesehatan
Jiwa.Lampung:Poltekkes Kemenkes Tanjungkarang
Jurusan Keperawatan.
Damaryanti,Mukhripah,Iskandar,S.Kep.,Ns.2012.Asuhan Keperawatan
Jiwa.Samarinda:PT.Refika Aditama.
Keliat Budi Ana, 1999, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa,
Edisi I, Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen, 1995, Principles and Practice of Psykiatric
Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby Year Book.
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri,
Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran,EGC;Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai