Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

Disusun Oleh :
TUMARINAH

NIM : 149012018074

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROFESI (NERS)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)
MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2019
LAPORAN PENDAHULUAN

RISIKO PERILAKU KEKERASAN

A. KASUS/ MASALAH UTAMA : Risiko Perilaku Kekerasan

1. Pengertian

Risiko perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan melukai

seseorang, baik secara fisik maupun psikologi Keliat (2010) dalam Satrio K.L dkk

(2015).

American Psychologycal Association Townsend (2009) dalam Satrio K.L dkk (2015)

Mengemukakan bahwa kekerasan/kemarahan adalah keadaan emosional yang bevariasi

dalam intensitas ringan hingga kemarahan yang intens (berat), hal ini disertai dengan

perubahan fisiologis dan biologis, seperti peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan

kadar hormone epinephrine dan norepineprine.

Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan individu tersebut

dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual kepada orang lain Herdman

(2012) dalam Satrio K.L dkk (2015).

2. Tahapan Risiko Perilaku Kekerasan

Tahapan risiko agresif atau risiko perilaku kekerasan : Fontaine (2009) dalam Satrio K.L

dkk (2015)

1. Tahap 1 : Tahap Memicu

Perasaan : Kecemasan

Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindari kontak.


Tindakan perawat :Mengidentifikasi factor pemicu, mengurangi kecemasan,

memecahkan masalah bila memungkinkan.

2. Tahap 2 : Tahap Transisi

Perasaan : Marah

Perilaku : Agitasi meningkat

Tindakan perawat :Jangan tangani marah dengan amarah, membaca

pembicaraan, menetapkan batas dan memberikan pengarahan, mengajak kompromi,

memicu dampak agitasi, maminta bantuan.

3. Tahap 3 : Krisis

Perasaan : peningkatan kemarahan dan agresi.

Perilaku : Agitasi, gerakan mengancam, menyerang orang disekitar, berkata

kotor; berteriak.

Tindakan perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam menjaga jarak

pribadi, hangat (tidak mengancam) konsekuensi, cobalah untuk menjaga

komunikasi.

4. Tahap 4 : Perilaku Merusak

Perasaan : Marah

Perilaku : menyerang; merusak

Tindakan perawat : lindingi klien lain, menghindar, melakukan pengekangan

fisik.

5. Tahap 5 : Tahap Lanjut

Perasaan : Agresi
Perilaku : menghentikan perilaku terang-terangan dekstruktif, pengurangan

tingkat gairah.

Tindakan perawat :tahap waspada karena perilaku kekerasan baru masih

memungkinkan, hindari pembalasan atau balas dendam.

6. Tahap 6 : Tahap peralihan

Perasaan : Marah

Perilaku : Agitasi, mondar-mandir

Tindakan perawat : lnjutkan focus mengatasi masalah utama.

3. Rentang Respon Risiko Perilaku Kekerasan

Skema rentang respon marah menurut stuart dan sundeen (1995) dalam Satrio K.L dkk

(2015)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Frustasi Agresif Amuk

ch
1. Asertif

Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti dan

merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang asertif

berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihat norma dari individu lainnya

dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat berbicara kontak mata langsung tapi

tidak mengganggu, intonasi suara dalam berbicara tidak mengancam. Postur tegak

dan santai, kesan keseluruhan adalah bahwa individu tersebut kuat tapi tidak

mengancam. Individu yang asertif dapat menolak permintaan yang tidak beralasan

dan menyampaikan rasionalnya kepada orang lain dan sebaliknya individu juga dapat

menerima dan tidak merasa bersalah bila permintaannya ditolak orang lain. Individu

yang asertif ingat untuk mengungkapkan kasih sayang kepada siapa saja yang dekat,

pujian diberikan sepatutnya. Permintaan masukan yang positif juga termasuk perilaku

asertif (Stuart dan Laraia,2005;Stuart,2009).

2. Pasif

Individu yang pasif yang sering menyampingkan haknya dari persepsinya

terhadap orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia akan berusaha

menutupi kemarahannya sehingga mengingatkan tekanan pada dirinya. Pola interaksi

seperti ini dapat menyebabkan gangguan perkembangan interpersonal (Stuart dan

Laraia,2005;Stuart,2009). Perilaku pasif dapat diekspresikan secara nonverbal,

seseorang yang pasif biasanya bicara pelan, sering dengan cara kekanak-kanakan dan

kontak mata yang sedikit. Individu tersebut mungkin dalam posisi membungkuk,

tangan memegang tubuh dengan dekat (Stuart,2009).


3. Frustasi

Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang kurang

realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart dan Laraia,2005). Frustasi

adalah kegagalan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan frustasi akan

bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam

kehidupan (Keliat dan Sinaga,1991).

4. Agresif

Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa harus

bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang yang agresif di

dalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan verbal. Perilaku agresif

pada dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya diri (Bushman

dan Baumeister,1998 dalam Stuart dan Laraia,2005;Stuart,2009). Perilaku agresif

juga dapat ditunjukkan secara nonverbal, seseorang yang agresif melanggar batas

pribadi orang lain, bicaranya keras dan lantang, biasanya kontak mata yang

berlebihan dan mengganggu, postur kaku dan tampak mengancam (Stuart,2009).

5. Amuk

Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat

yang disertai kehilangan kontrol diri sehingga individu dapat merusak diri sendiri,

orang lain dan lingkungan (Keliat dan Sinaga,1991). Menurut Stuart dan Laraia

(2009) perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi yaitu yang

disebut dengan hirarki perilaku agresif dan kekerasan.


B. PROSES TERJADINYA MASALAH

Kemarahan terjadi ketika individu mengalami frustasi, terluka atau takut Videback (2008)

dalam Satrio K.L dkk (2015). Kesulitan dalam mengepresikan kemarahan sering dikaitkan

dengan gangguan jiwa Koh, Kim & Park (2008) dalam Satrio K.L dkk (2015). Perilaku

kekerasan adalah akibat dari kemarahan yang ekstrim atau ketakutan (panik). Alas n khusus

dari perilaku kekerasan agresif bervariasi dari setiap orang Stuart & Laraia; Stuatr (2009)

dalam Satrio K.L dkk (2015).

Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan menggunakan

konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi.

1. Faktor predisposisi

Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan, meliputi:


a. Faktor biologis

Factor biologis secara alamai dapat menjadi satu factor penyebab (predisposisi)

atau menjadai factor pencetus (presepitasi) terjadinya perilaku kekerasan pada

individu. Factor predisposisi yang berasal dari biologis dapat dilihat sebagai suatu

keadaan atau factor risiko yang apat mempengaruhi pera manusia dalam

menghadapi stressor. Adapun yang termasuk dalam factor biologis adalah:

1) Struktur otak (neuroanatomi)

2) Genetic

3) Neurotransmiter

4) Imunovirologi

b. Faktor psikologis

Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam Satrio K.L dkk (2015) yang termasuk

dalam factor psikologi diantaranya kepribadan, pengalaman, masa lalu, konsep

diri, dan pertahaan psikologi.

c. Faktor social budaya

Factor social budaya juga merupakn factor predisposisi terjadinya perilaku

kekerasan pada individu. Karakteristik yang termasuk pada social budaya seperti

: usia, jenis kelamin, ras, atau perkawinan, pendidikan tingkat sosial ekonomi

Stuart & Laraia (2009) dalam Satrio K.L dkk (2015).


2. Faktor presipitasi

a. Faktor Biologi

Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai tantangan,

ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi perilaku kekerasan dari faktor biologi

dapat disebabkan oleh gangguan umpan balik diotak yang mengatur jumlah dan

waktu dalam proses informasi. Stimuli penglihatan dan pendengaran pada awalnya

di saring oleh hipotalamus dan dikirim untuk diproses oleh lobus frontal dan bila

informasi yang disampaikan terlalu banyak pada suatu waktu atau jika informasi

tersebut salah, lobus frontal mengirimkan pesan overload ke ganglia basal dan

diingatkan lagi hipotalamus untuk memperlambat transmisi kelobus frontal.

Penurunan fungsi dari lobus frontal menyebabkan gangguan pada proses umpan

balik dalam penyampaian informasi yang menghasilkan proses informasi overload

Stuart dan Laraia, (2005); Stuart (2009) dalam Satrio K.L dkk (2015).

b. Faktor Psikologis

Pemicu perilaku kekerasan dapat di akibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang

rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsive dan membayangkan atau

secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan.

Dalam ruang perawatan perilaku kekerasan dapat terjadi karena provokasi petugas,

perilaku kekerasan klien terjadi pada setting ini dimana petugas merasa memiliki

sikap otoriter dan cenderung mengatur/controlling; mengatur apa yang dapat dan

tidak dapat dilakukan oleh klien; menahan klien bertentangan dengan keinginan

klien dan memaksa untuk minum obat, semua itu berkontribusi terjadi konflik

petugas dan klien Fontaine, (2009) dalam Satrio K.L dkk (2015). Perilaku agresif
atau kekerasan dapat terjadi karena beberapa perasaan seperti marah, ansietas, rasa

bersalah, frustasi atau kecurigaan Townsend ( 2009) dalam Satrio K.L dkk (2015).

c. Faktor Sosial Budaya

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden kekerasan lebih besar

terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar, penuh sesak, kurang

privasi atau tidak bebas. Menurut Fagan-Pyor et al., (2003 dalam Stuat, 2009)

petugas mungkin secara sengaja atau tidak sengaja memicu perilaku klien untuk

melakukan kekerasan, ketidak pengalaman petugas, provokasi petugas, menejemen

lingkungan yang buruk, ketidak pahaman petugas, pertemuan fisik yang terlalu

dekat, penetapan batasan yang tidak konsisten dan budaya kekerasan

mempengaruhi perilaku kekerasan klien. Akhirnya pemahaman terhadap situasi

dan penerimaan lingkungan, kognitif dan stress komunikasi serta respon afektif

klien perlu diidentivikasi oleh petugas, Stuart dan Laraia (2005) dalam Satrio K.L

dkk (2015).

3. Penilaian Stressor

Model stress diatesis dalam sebuah karya klasik oleh Liberman dan rekan (1994)

menjelaskan bahwa gejala skizofrenia berkembang berdasarkan pada hubungan antara

jumlah stress dalam pengalaman seseorang dan toleransi internal terhadap ambang

stress. Ini adalah model penting karena mengintegrasikan faktor budaya biologis,

psikologis dan sosial, cara ini mirip dengan Stress Adaptasi Model Stuart yang

digunakan sebagai kerangka kerja konseptual Stuart, (2009) dalam Satrio K.L dkk

(2015).
4. Sumber Koping

Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit yang menakutkan dan sangat

menjengkelkan yang memerlukan penyusuaian baik bagi klien dan keluarga. Proses

penyesuaian pasca psikotik terdiri dari 4 fase :

(1) Disonansi Kognitif (Psikosis Aktif)

(2) Pencapaian wawasan

(3) Stabilitas dalam semua aspek kehidupan (ketetapan kognitif )

(4) Bergerak tehadap prestasi kerja atau tujuan pendidikan (Ordinariness). Proses

multifase penyesuaian dapat berlangsung 3-6 tahun (moller,2006 dalam stuart, 2009) :

a. Efikasi atau kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi gejala

dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama memakan waktu 6-

12 bulan.

b. Awal pengenalan diri sebagai proses mandiri melakukan pemeriksaan realitas

yang dapat diandalkan. Pencapaian keterampilan ini memakan waktu 6-12 bulan

dan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan dukungan yang berkelanjutan.

c. Setelah mencapai pengenalan diri, proses pencapaian kognitif meliputi

keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan reengaging dalam

kegiatan sesuai dengan usia yang berkaitan dengan sekolah dan bekerja. Fase ini

berlangsung 1-3 tahun.

d. Ordinariness / kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan

kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat dalam

kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-hari

mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal 2 tahun.


Sumber daya keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap penyakit,

keuangan, ketersediaan waktu dan energi dan kemampuan untuk menyediakan

dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi jalannya penyesuaian

postpsychotic.

5. Mekanisme koping

Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri

dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang disebabkan

oleh penyakit mereka . Regresi adalah berkaitan dengan masalah informasi

pengolahan dan pengerluaran sejumlah besar energi dalam upaya untuk mengelola

kegelisahan,menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup sehari-hari. Proyeksi adalah

upaya untuk menjelaskan persepsi membingungkan dengan menetapkan

responsibility kepada seseorang atau sesuatu. Penarikan diri ini berkaitan dengan

masalah membangun kepercayaan dan keasyikan dengan pengalaman internal .

Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari kali

diagnosis relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi ketika seseorang

menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan kecemasan. Hal ini

memungkinkan watu seseorang untuk mengumpulkan sumber daya internal dan

eksternal dan kemudia beradaptasi dengan stressor secara bertahap. Pada klien

penyesuaian postpschotic proses aktif menggunakan mekanisme koping adaptif juga.

Ini termasuk kognitif, emosi , interpersonal, fisiologis, dan spiritual strategi

penanggulangan yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan intervensi

keperawatan Stuart, (2009) dalam Satrio K.L dkk (2015).


C. DAFTAR MASALAH KEPERWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

1. Masalah keperawatan : Diagnosa keperawatan NANDA-1 rentang respon neurobiologist,

skizofrenia dan gangguan psiokotik Stuart, (2009) dalam Satrio K.L dkk (2015).

- Anxiety

- Impaired Verbal Communication*

- Confusion, Acute

- Compromised family coping

- Ineffective coping

- Decisional conflict

- Hopelessness

- Impaired memory

- Noncompliance

- Distribed personal identity

- Ineffective role performance

- Self care deficit (bathting/ hyegiene, dreesing/grooming)

- Distrurbed sensory perception*

- Impaired social interaction*

- Social isolation

- Risk for suicide’ineffective therapeutic regiment menegement

- Disturbed thought proceses*

(*diagnose keperawatan primer rentang respon neurobiologist, skizofrenia dan

gangguan psikotik).
2. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan perilaku kekerasan.

Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan

didukung hasil observasi.

a) Data Subjektif :

1) Ungkapan berupa ancaman

2) Ungkapan kata-kata kasar

3) Ungkapan ingin memukul/melukai

b) Data Objektif :

1) Wajah memerah dan tegang

2) Pandangan tajam

3) Mengatupkan rahang dengan kuat

4) Mengepalkan tangan

5) Bicara kasar

6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak


D. POHON MASALAH

1. Pohon Masalah

Menurut Keliat dkk (2005) dalam Satrio K.L dkk (2015) pohon masalah perilaku

kekerasan adalah sebagai berikut :

Risiko Mencederai Diri Sendiri Risiko Mencederai Orang Lain dan lingkungan

Risiko Perilaku Kekerasan

Harga Diri Rendah

Pohon Masalahh Pada Masalah Risiko Perilaku Kekerasan (Keliat,2005)

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Diagnosis Keperawatan :Risiko Perilaku Kekerasan

2. Diagnosis Medis : Skizofrenia


F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Diagnose SP/ Kemampuan Klien SP/ kemampuan Keluarga


Keperawatan
Risiko perilaku SP 1 SP 1
kekerasan - Identifikasi tanda dan gejala, - Diskusikan masalah yang
RPK yang dilakukan, akibat dirasakan dalam merawat
RPK pasien
- Jelaskan cara mengontrol - Jelaskan oengertian, tanda
RPK : fisik, obat, verbal, & gejala dan proses
spiritual, terjadinya PK (gunakan
- Latihan cara mengontrol RPK blooket)
: tarik nafas dalam, dan pukul - Jelaskan cara merawat PK
bantal - Latih cara mrawat PK
- Masukkan pada jadwal dengan melakukan kegiatan
kegiatan latihan fisik fisik : tarik nafas dalam, dan
SP2 pukul bantal
- Evaluasi latihan fisik, beri - Anjurkan membantu pasien
pujian sesuai jadwal dan berikan
- Latihan cara mengontrol RPK pujian
dengan obat (jelaskan 6 benar: SP 2
jenis,guna, dosis, frekuensi, - Evaluasi kegitan keluarga
cara kontuitas minum obat) dalam merawat/ melatih
- Masukkan untuk latihan fisik pasien fisik, beri pujian
minum obat - Jelaskan 6 benar cara
- Evaluasi kegiatan latihan fisik minum obat
dan obat, beri pujian - Latih cara memberikan/
SP 3 membimbing minum obat
- Latihan cara mengontrol RPK - Anjurkan membantu pasien
secara verbal (3 cara yaitu : sesuai jadwal dan beri
mengungkapkan, meminta, pujian
menolak dengan benar) SP 3
- Memasukkan pada jadwal - Evaluasi kegiatan keluarga
kegiatan untuk latihan fisik dalam merawat/ melatih
minum obat dan verbal pasien fisik dan memberikan
SP 4 obat, beri pijian
- Evaluasi kegiatan fisik, obat - Latih cara membimbing :
dan verbal. beri pujian cara bicara yang baik
- Latih cara mengontrol - Latih cara membimbing
spiritual (2 kegiatan) kegiatan spiritual
- Masukkan dalam jadwal - Anjurkan membantu pasien
kegiatan untuk latihan fisik, sesuai jdwal dan member
minum obat, verbal dan pujian
spiritual SP 4
- Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat/ melatih
pasien fisik ,memberikan
obat, dan latih bicara yang
baik dan kegiatan spiritual.
beri pijian
- Jelaskan follow up ke RSJ/
PKM, tanda kambuh,
rujukan
- Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal dan berikan
pujian
G. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN SPESIALIS :

- Terapi individu : terapi perilaku, CBT, REBT, RECBT, ACT

- Terapi kelompok : psikoedukasi kelompok, terapi suportiv, SHG

- Terapi keluarga : triangle terapi, Psikoedukasi keluarga

- Terapi komunitas : assertive, community theraphy

H. RENCANA TINDAKAN MEDIS

1. Anti Psikotik

- Chlorpromazine (Promatctile,Largactile)

- Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)

- Stelazine

- Clozapin (Clorazil)

- Risperidone (Risperdal)

2. Anti Parkinson

- Thihexphenidile

- Arthan
DAFTAR PUSTAKA

Damaryanti,Mukhripah,Iskandar,S.Kep.,Ns.2012.Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda:

PT.Refika Aditama.

Keliat Budi Ana,2006, Pera serta keluargta dalam perawatan klien gangguan jiwa Jakarta :

EGC.

Lelono, S.K. 2015. Buku AjarKeperawatan jiwa. Lampung: IAIN Raden Intan

Sulastri,2013.Keperawatan Kesehatan Jiwa.Lampung: Poltekkes Kemenkes Tanjung

karang Jurusan Keperawatan.

Stuart GW, Sundeen, 1995, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).

St.Louis Mosby Year Book.

Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku

Kedokteran,EGC;Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai