Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Tasawuf merupakan sisi mistik di dalam agama Islam dimana tujuan kaum
sufi sebagai pelakunya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
melihat Tuhan dan bahkan lebih dari itu. Salah satu ajaran yang sangat penting
dari Ilmu Tasawuf adalah ma’rifat. Ma’rifat merupakan perjalanan ruhani yang
didambakan oleh setiap sufi, namun tidak semua sufi mampu mencapainya.
Dalam perbincangan di kalangan sufi terdapat dua pandangan tentang
ma’rifat, yang pertama dianggap sebagai maqam1, dan yang kedua dianggap
sebagai bagian dari haal atau ahwal2. Dalam kajian ini ma’rifat juga akan dibahas
berkaitan dengan pelopor pemikirannya. Dengan demikian diharapkan mampu
mengungkapkan konsep ma’rifat sesuai dengan kajian dalam dunia tasawuf.3

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian ma’rifat?
2. Bagaimana konsep ma’rifat?
3. Siapa tokoh pelopor pemikiran tentang ma’rifat?

1
Maqam merupakan jalan panjang yang harus dilalui oleh sufi untuk berada dekat dengan Allah. Lihat
M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus Sufi (Yogyakarta: Teras, 2008) hal.129
2
Haal atau ahwal merupakan suatu keadaan mental seperti perasaan takut (al-khauf), rendah hati
(tawadlu’), patuh (taqwa) dan lain-lain. Hal ini berlainan dengan maqam, bukan diperoleh melalui
usaha yang panjang melainkan didapat sebagai anugerah Tuhan dan sifatnya hanya sementara datang
dan pergi. Ibid. Hal. 130
3
Ibid. hal.129-131

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MA’RIFAT
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka
istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai maqam dalam
Tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan:
ِ ‫َّص ًفا بِسائِ ِر الْ َكالِم‬
ِ ‫ب الْموجو ِد مت‬ ِ ِ
‫ات‬ َ َ ُ ْ ُ ْ َ ِ ‫ْب بِ ُو ُج ْود ال َْواج‬
ِ ‫ال َْم ْع ِرفَةُ َج ْز ُم الْ َقل‬

"Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang


wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
‫اصلَ ِة اأْل َْن َوا ِر‬
َ ‫ْب بِ ُم َو‬ َ ‫ال َْم ْع ِرفَةُ طُلُ ْوعُ ال‬
ُ ‫ َو ُه َو الْ َقل‬,ِّ‫ْحق‬
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi)... dalam keadaan
hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad
bin Abdillah yang mengatakan:
ِ ِ ‫َن ال ِْعل‬ ِ ‫الس ِك ْينَةَ فِي الْ َقل‬ ِ
‫ت‬ َ ‫ت َم ْع ِر َفتُهُ ا ْز َد‬
ْ ‫اد‬ َ ‫ فَ َم ِن ا ْز َد‬,‫الس ُك ْو َن‬
ْ ‫اد‬ ُّ ‫ب‬ َ َّ ‫ْب َك َما أ‬
ُ ‫ْم ُي ْوج‬ َّ ‫ب‬ُ ‫ال َْم ْع ِرفَةُ ُي ْوج‬

ُ‫َس ِك ْينَتُه‬
"Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat
ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)." 4

4
H.A. Mustofa, Akhlak-Tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia, 1997) Hal. 251-252

2
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat mencapai pada
tingkatan ma’rifah. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah memiliki
tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun al-Mishri yang mengatakan
bahwa ada beberapa tanda yang dimiliki oleh sufi bila sudah sampai pada tingkatan
ma’rifah, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara’5 selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata,
karena hal-hal yang nyata menurut tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak untuk dirinya, karena hal itu
bisa membawa dirinya kepada perbuatan yang haram.6

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga asy-Syeikh Muhammad
bin al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifah yang dimiliki Sufi cukup dapat
memberikan kebahagiaan batin padanya karena merasa selalu bersama-sama
Tuhannya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhannya ketika mencapai tingkat


ma’rifah, maka ada beberapa Ulama’ yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawim mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, ia
bagaikan berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat lagi
dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul7) dalam Tuhannya. Maka
tiada lain yang dilihatnya dalam cermin kecuali hanya Allah SWT. saja.

5
Wara’ adalah meninggalkan segala yang ada di dalamnya terdapat syubhat (keragu-raguan) tentang
halalnya sesuatu. Baik dalam makanan atau yang lainnya. Lihat Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1999) hal. 66
6
Ibid. 252
7
Hulul adalah ajaran al-Hallaj yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia
tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat
kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu. Lihat M. Al-Fatih Suryadilaga,
Miftahus ... hal. 170

3
b. Al-Junaid al-Baghdadi mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat bagaikan sifat air dalam gelas yang selalu menyerupai warna
gelasnya. Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu
menyerupai sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa
seorang Sufi selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu saat
ingatannya kepada Allah terputus walaupun hanya sekejap mata.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah
keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan
dengan Tuhannya. Sehingga keadaan itu membawa dia lupa akan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran tasawuf
harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syari’at, Tarikat, Hakikat dan Ma’rifat.
Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak
akan mengalami kegagalan tan tidak pula mengalami kesesatan.8

B. PAHAM MA’RIFAT

Puncak dari ma’rifat (pengenalan akan Allah) yang sebenarnya adalah kita
meyakini sepenuh jiwa dan raga bahwa Allah ada (maujud), beserta nama-nama-Nya
yang indah tak tertandingi, yang jumlahnya tidak kurang dari 99 buah yang Maha
Kuasa, Maha Esa, Maha Agung, yang tak tergantung pada alam semesta dan
sebagainya. Untuk ma’rifat kepada Allah, pemahaman dan pengertian akan makna
dari nama-nama-Nya yang indah itu haruslah kita hayati sebagai bagian integral dari
pengenalan diri kepada Allah.

Seyogyanya kita memahami bahwa manusia di tengah semesta hanyalah titik


noktah di antara semua makhluk Allah. Namun, justru dari keberadaan manusia yang
kecil itu tersembunyi rahasia kemuliaan Ilahi yang telah menyebabkan manusia
menjadi khalifah di atas bumi, lengkap dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan
kekuatan akalnya, manusia diberi kekuasaan oleh Allah untuk menentukan pilihan-
8
H.A. Mustofa, Akhlak... hal. 253

4
pilihan dalam rangka menjadi khalifah yang baik di dalam memenuhi hak dan
kewajibannya atau menjadi makhluk yang mengebaikan hak dan kewajibannya. Ini
berarti keberadaan manusia sebagai khalifah adalah ibarat seorang hamba yang
dipercaya untuk mengelola dan memelihara keserasian hidup di muka bumi, yang
untuk memenuhi tugas tersebut hamba itu selain wajib berdisiplin dalam membuat
laporan dan meminta petunjuk juga wajib memenuhi perintah dan menghindari setiap
larangan dari tuannya.
Ada segolongan orang Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifat.
Mereka mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
1) Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata
kepalanya tertutup dan waktu inilah yang dilihat hanya Allah.
2) Ma’rifat adalah cermin. Apabila seorang yang arif melihat ke arah cermin
maka yang dilihatnya hanya Allah.
3) Orang arif baik di waktu tidur dan bangun yang dilihat hanyalah Allah.
4) Seandainya ma’rifat itu materi, maka semua orang yang melihat akan mati
karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua
cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang-
gemilang. 9

Dzun Nun al-Mishriyah mengatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan itu ada
tiga macam:
1. Pengetahuan Awam
Memberikan pengetahuan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan
syahadat.
2. Pengetahuan Ulama
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
3. Pengetahuan Sufi
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara hati sanubari.

9
M. Faiz al-Math. Puncak Ruhani kaum Sufi (khazanah Spiritual terpendam Para Tokoh Sufi). 1996.
Surabaya: Pustaka Progresif. Hal. 41-42

5
Bahwasanya pengetahuan Awam dan Ulama di atas belum dapat memberikan
pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehingga kedua pengetahuan tersebut baru
disebut “Ilmu” dan belum disebut “Ma’rifah”. Akan tetapi pengetahuan yang disebut
ma’rifat adalah pengetahuan Sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan, sehingga
ma’rifah hanya dapat diperoleh pada kaum Sufi. Mereka sanggup melihat Tuhan
dengan cara melalui hati sanubarinya. Di samping juga mereka di dalam hatinya
penuh dengan cahaya. Pengetahuan seperti ini disebut dengan ‘irfan dan dalam istilah
lain disebut dengan diagnosis dari teosofi hellenistik.10

Semakin tinggi ilmu seseorang dalam upaya mengenal Allah semakin sadarlah ia,
bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik Allah. Tak ada satupun yang ia bawa
ketika ajal merenggutnya. Oleh sebab itu hari-harinya dihabiskan untuk menjalin tali
pengikat antara dirinya dengan Allah dalam komunikasi pribadi. Mereka yang
mencapai ma’rifat menyadari bahwa setiap gerak dan langkahnya senantiasa di awasi
Allah. Bahkan dalam ma’rifat itu ia dapat menghayati betapa Allah adalah Dzat yang
maha mengampuni bagi mereka yang mau bertaubat dan membalas bagi mereka yang
mencintainya serta murka kepada mereka yang ingkar dan suka berbuat maksiat.11

10
M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus ... hal. 138
11
M. Faiz al-Math ..... hal. 42

6
C. JALAN MA’RIFAT

Kaum sufi untuk mendapatkan suatu Ma’rifat melalui jalan yang ditempuh
dengan mempergunakan suatu alat yang disebut Sir (‫لس ُر‬
ِّ َ‫ )ا‬12. Menurut al-Qusyairi ada
tiga, yaitu:

1. Qalb(‫ْب‬
ُ ‫)اَلْ َقل‬
13
: untuk mengetahui sifat Tuhan.

2. Ruh(‫ح‬
ُ ‫)اَ ُّلر ْو‬ : untuk mencintai Tuhan

3. Sir (‫لس ُر‬


ِّ َ‫)ا‬ : untuk melihat Tuhan

Kedudukan Sir lebih halus dari ruh dan qalb. Dan ruh lebih halus dari qalb. Qalb
di samping sebagai untuk merasa juga sebagai alat untuk berpikir. Bedanya qalb
dengan ‘aql ialah kalau ‘aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat
Tuhan, tetapi qalb dapat mengetahui Hakikat dari segala yang ada. Dan manakala
dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.

Posisi sir bertempat di dalam ruh. Dan ruh sendiri berada di dalam qalb. Sir akan
dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci,
kosong dan tidak berisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan
menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). Dan sebaliknya, mereka yang
melakukannya yang dilihat hanyalah Allah.

Pada kedudukan tersebut Sufi telah berada pada tingkat Ma’rifat. Sifat dari
Ma’rifat Tuhan bagi seorang sufi adalah kontinyu (terus menerus). Semakin banyak
mendapat Ma’rifat Tuhan semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia

12
Harun Nasution, Falsafat ... hal. 75
13
Qalb artinya tidak sama dengan heart (bahasa inggris) karena qalb selain sebagai alat merasa juga
alat berfikir. Bedanya qalb dengan ‘aql (akal) adalah akal tidak bisa memperoleh pengetahuan dalam
arti yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb yang mendapatkan cahaya Tuhan bisa
mengetahui Tuhan. Dan untuk mendapatkan cahaya tersebut harus melalui proses takhalli, tahalli dan
tajalli. Ketiganya merupakan sesuatu yang saling terkait, merupakan bentuk dari usaha membersihkan
diri dari yang kotor, menguasai sifat-sifat yang baik dan yang terakhir merupakan adanya penampakan
secara nyata dengan melihat segala sesuatu yang gaib termasuk terhadap Tuhan. Lihat M. Al-Fatih
Suryadilaga, Miftahus ... hal.140

7
Tuhan. Namun, untuk memperoleh Ma’rifat yang penuh tentang Tuhan mustahil,
sebab manusia bersifat terbatas sedangkan Tuhan bersifat tidak terbatas.14

Langkah awal yang harus diambil oleh ahli ma’rifat adalah kebingungan,
kemudian sesudah itu kebutuhan, sesudahnya penyatuan dan sesudahnya
kebingungan. Kebingungan yang pertama ialah pada tindakan-tindakan dan karunia-
karunia Tuhan terhadap dirinya sebab dia merasa bahwa syukurnya kepada Tuhan
tidaks esuai dengan karunia yang diberikan-Nya. Sedangkan kebingungan yang kedua
ialah di dalam keliaran tanpa penyatuan yang tidak terarah (lenyap dan akalnya
mendut di hadapan kebesaran, kekuasaan, pesona dan keagungan Tuhan).

Sedangkan langkah terakhir terhadap ma’rifat adalah ketika dia tetap seperti dia
sebelumnya di hadapan sesuatu yang dihadapi sebelumnya. Dan hal ini dimaksudkan
dengan perenungan terhadap Tuhan dan tidakan-tindakan-Nya, bukan merenungkan
dirinya sendiri dan tindakannya.15

D. TOKOH PELOPOR PEMIKIRAN MA’RIFAT

Tokoh pelopor pemikiran Ma’rifat yang juga disebut-sebut sebagai Bapak Paham
Ma’rifat adalah Dzun An-Nun Al-Mishri. Dzun An-Nun adalah nama julukan bagi
seorang sufi yang nama lengkapnya Abu al-Faid Tsauban bin Ibrahim ia dilahirkan di
Ikhmim, Mesir Hulu, pada tahun 180 H/796 M dan wafat pada tahun 246 H/856 M. 16
Dia putra seorang Nubia, sebuah suku yang tinggal di Nubah wilayah timur laut
Afrika.17 Sedangkan nama julukannya diperoleh dalam sebuah kisah yang
menyebutkan bahwa suatu ketika Dzun Nun menumpang sebuah kapal saudagar
kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan permata yang amat berharga. Dzun Nun
dituduh mencurinya. Dzun Nun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk
mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia

14
M. Faiz al-Math, Puncak Ruhani ... Hal. 255-256
15
M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus ... hal.141-142
16
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf (Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas). (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2007) hal. 96
17
M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus ... hal. 131

8
menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdo’a “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang
Maha Tahu”. Kemudian serta merta muncullah ribuan ekor ikan Nun ke permukaan
air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih besar dan indah di mulut
masing-masing ikan. Dzun Nun lalu mengambil salah satu permata dan
menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa itu ia diberi gelar Dzun Nun,
artinya yang mempunyai ikan Nun.18

Dzun Nun merupakan orang Mesir pertama yang membahas masalah ahwal dan
maqamat. Beliau juga sosok yang pertama kali memperkenalkan konsep ma’rifat
yang khas dalam dunia tasawuf. Sebelum era Dzun Nun, konsep ma’rifat memang
beberapa kali muncul, namun Dzun Nun-lah orang yang mula-mula memperkenalkan
konsep ma’rifat versi khas tasawuf.19

Al-Misri berhasil memperkenalkan konsep baru tentang ma’rifat dalam bidang


sufisme Islam, yakni:
1. Dia membedakan antara ma‘rifat sufiah dengan ma‘rifat aqliyah. Ma‘rifat
sufiah menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi,
sedangkan ma‘rifat aqliyah menggunakan pendekatan akal yang biasa
digunakan para teolog.
2. Menurutnya, ma‘rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian
hati), sebab ma‘rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali.
3. Teori-teori ma’rifat Al-Misri menyerupai gnosisme20 ala Neo-Platonik. Teori-
teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat

18
Ibid. 133-134
19
Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi: Tauladan Kehidupan yang Saleh. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001) hal. 135-136
20
Gnostisisme merujuk pada bermacam-macam gerakan keagamaan yang beraliran sinkretisme pada
zaman dahulu kala. Gerakan ini mencampurkan pelbagai ajaran agama, yang biasanya pada intinya
mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap di dalam alam semesta
yang diciptakan oleh tuhan yang tidak sempurna. Secara umum dapat dikatakan Gnostisisme
adalah agama dualistik, yang dipengaruhi dan memengaruhi filosofi Yunani, Yudaisme,
dan Kekristenan. Istilah gnōsis merujuk pada suatu pengetahuan esoteris yang telah dipaparkan. Dari
sana manusia melalui unsur-unsur rohaninya diingatkan kembali akan asal-muasal mereka dari Tuhan
yang superior. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gnostisisme retrieved at April, 20th 2015

9
asy-syuhud21 dan ittihad. Ia juga dipandang sebagai orang yang pertama kali
memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.22

Untuk memperoleh ma’rifat tentang Tuhan, Dzun Nun mengatakan bahwa:


‫ت َربِّي‬
ُ ْ‫لماَ َع َرف‬ ِ
َ ‫ت َربِّي ب َربِّ ْي َول َْواَل َربِّي‬
ُ ْ‫َع َرف‬
Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak
akan tahu Tuhan.23

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa ma’rifat hanya diperoleh lewat


pemberian Tuhan, bukan hasil pemikiran. Pemberian ini dapat dicapai setelah seorang
sufi terlebih dahulu mengabdikan diri sebagai hamba Allah. 24 Seperti halnya menurut
analisa Dr. Harun Nasution bahwa: “Ini menggambarkan bahwa ma’rifat tidak
diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian dari Tuhan (A direct knowledge of god
based on revelation). Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung
kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi
yang sanggup menerimanya.” 25

Sedangkan al-Ghazali mengemukakan ma’rifat dengan sebuah ungkapan:

ُ‫ف َربَّه‬
َ ‫ف َن ْف َسهُ َف َق ْد َع َر‬
َ ‫ َو َم ْن َع َر‬,ُ‫ف َن ْف َسه‬
َ ‫ف َقلْبَهُ َف َق ْد َع َر‬
َ ‫َم ْن َع َر‬
Barang siapa mengenali hatinya, maka ia mengenal dirinya. Dan barang siapa
mengenali dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.26

Ma’rifat ini diterima oleh Ahli Sunnah wal Jamaah. Al-Ghazali yang membuat
tasawuf menjadi halal bagi kaum syari’at, sesudah kaum ulama’ memandangnya

21
Paham ini juga dikenal dengan sebutan wahdatul wujud, merupakan paham dikemukakan oleh Ibnu
‘Arabi yang menyebutkan bahwa wujud yang hakiki itu hanyalah satu, walaupun ada banyak macam
penampakan keluarnya. Artinya bahwa makhluk adalah aspek lahirnya, sedangkan aspek batin dari
segala sesuatu ini adalah Allah. Dengan demikian, dari segi hakikat tidak ada perbedaan antara khaliq
dan makhluk. Lihat Jamil, Cakrawala ... hal. 173
22
Ibid. hal. 97
23
H.A Mustofa. Akhlak ... hal. 254
24
Jamil, Cakrawala ... hal. 99
25
H.A Mustofa. Akhlak ... hal. 254
26
M. Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus... hal. 185

10
sebagai hal yang menyeleweng dari Islam, yaitu tasawuf sebagaimana yang diajarkan
al-Bistami dan al-Hallaj, Ittihad27 dan hulul.

Bagi al-Ghazali ma’rifat ialah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui


peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya ia menjelasakan
bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan yaitu (‘arif) tidak akan
mengatakan “Ya Allah” atau “Ya Rabbi”, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata
seperti itu manyatakan, bahwa Tuhan berada di belakang tabir, ma’rifat menurut al-
Ghazali juga memandang kepada wajah Allah.28

Sedangkan ma’rifat dan Mahabbah menurut al-Ghazali adalah tingkatan tinggi


bagi seorang sufi. Dan pengetahuan ma’rifat lebih baik kualitasnya dari pengetahuan
akal.29 Tentang mana yang lebih dahulu antara mahabbah dan ma’rifat, beliau
memandang bahwa ma’rifat datang sebelum mahabbah karena mahabbah timbul dari
ma’rifat. Sementara itu, al-Kalabadzi menjelaskan bahwa ma’rifat datang sesudah
mahabbah. Ada juga yang berpandangan bahwa ma’rifah dan mahabbah merupakan
kembar dua yang selalu disebut bebarengan. Keduanya menggambarkan keadaan
dekatnya hubungan Sufi dengan Tuhannya.30

27
Ittihad adalah tingkatan dalam tasawuf dimana seorang sufi telah merasa bahwa dirinya bersatu
dengan Tuhan, sehingga diantara keduanya memanggil dengan sebutan “aku”. Lihat Harun Nasution,
Falsafat ... hal. 81
28
Ibid. hal. 76
29
H.A. Mustofa, Akhlak... hal. 256-258
30
H.M. Jamil, Cakrawala... hal. 99

11
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ma'rifat ialah mengenal Allah ketika Sufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Untuk ma’rifat kepada Allah, pemahaman dan pengertian akan makna dari nama-
nama-Nya yang indah itu haruslah kita hayati sebagai bagian integral dari pengenalan
diri kepada Allah.

Kaum sufi untuk mendapatkan suatu Ma’rifat melalui jalan yang ditempuh
dengan mempergunakan suatu alat yang disebut Sir (‫لس ُر‬
ِّ َ‫)ا‬. Menurut al-Qusyairi ada
tiga, yaitu:
1. Qalb(‫ْب‬
ُ ‫)اَلْ َقل‬ : untuk mengetahui sifat Tuhan.

2. Ruh(‫ح‬
ُ ‫)اَ ُّلر ْو‬ : untuk mencintai Tuhan

3. Sir (‫لس ُر‬


ِّ َ‫)ا‬ : untuk melihat Tuhan

Tokoh pelopor pemikiran Ma’rifat adalah Dzun An-Nun Al-Mishri. Merupakan


orang Mesir pertama yang memperkenalkan konsep ma’rifat yang khas dalam dunia
tasawuf sehingga beliau disebut sebagai Bapak Paham Ma’rifat. Selain itu ada al-
Ghazali yang mengungkapkan konsep ma’rifat yang kemudian diterima oleh Ahlu
Sunnah wal Jamaah.

DAFTAR PUSTAKA

12
 H.A. Mustofa. Akhlak-Tasawuf. 1997. Bandung: Pustaka Setia.
 Al-Math, M. Faiz. Puncak Ruhani kaum Sufi (khazanah Spiritual terpendam
Para Tokoh Sufi). 1996. Surabaya: Pustaka Progresif
 M. Jamil. Cakrawala Tasawuf (Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas).
2007. Jakarta: Gaung Persada Press
 Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi: Tauladan Kehidupan yang Saleh. 2001.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
 Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. 1999. Jakarta: Bulan
Bintang
 Suryadilaga, M. Al-Fatih. Miftahus Sufi. 2008. Yogyakarta: Teras
 http://id.wikipedia.org/wiki/Gnostisisme

13

Anda mungkin juga menyukai