net/publication/332440112
CITATIONS READS
6 1,223
1 author:
Syarif Hidayatullah
Universitas Gadjah Mada
28 PUBLICATIONS 21 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Syarif Hidayatullah on 22 April 2019.
,*€
..
ISME-ISME,,
Aliran dan Paham lslam
di Indonesia
Itut 'ilrt-trrI:
fft*til E*r Ptt*x;sl,rt El rro0rtsn
Pamutlr : Byarlf Hldayatullah, l,t.Ag., M.A.
kein Corys : l'la{hnryd-la*J
Fenata Al('ila : leadrc Yuniarto
PdncrtklaAkgara : Rh. V{tdada
Penerbit:
Hlsir*r* PfLenn
Celeh*n Timtr uH III/54S hsyi*arta 55f67
T,elp. {0?74} 381542, Fax. {027a} 383083
S-ruait: Srssl*peiaFr@telkorn.net
r5tsfi 978-602-S764-70-4
UGIPIIITTRI]MM$il
l'
lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di Indonesio
Penulis menvadari, masih terlalu banvak kekurangan
dan kelemahan dalam buku ini, karena itu Penulis me-
moiron maaf 1r;1ng sebesar-besarnya.
Penr-rtis berharap, semoga apa ,vang tlisajikan dalam
buku ini dapat bermanfaat di dunia akhirat dan memenuhi
harapan selnllit pihak, terutama bagi para petrgabdi ilmu
pengetahuan. Selamat memanfaatkan buku ini!
Yogyakarta, hlaret 20 t0
Pcnulis,
Syarif Hidayatuliah
SyorifHidcyotulloh, M Ag., lM
YI
IIITTAR ISI
Bob l. Pendohuluol -- I
Bob 2. Seioroh don Perkembongon lslom di Indonesio .- 13
Bob 3. llircr*o Gedor dm nentdrnnr Miun bLrn .- 27
Bob 4. Alirun don Pohom lslorn di lndonesio .- 17
t'
]aringan Islam Liberal dan propaganda gagasan "Islam
Liberal"nya sangat mengundang perhatian dari masyarakat,
baik yang pro mauPun yang kontra. Gagasan ini sangat kon-
troversial, karena ada kesan yang tertanam dalam sebagian
orang bahwa istilah "liberal" dalam Islam Liberal mem-
pr.rnyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetara-
kan dengan sikap permisif, ibahiyah, atau sikap yang meno-
lerir setiap hal tanpa batas yang pasti.
Dengan cara pandang sePerti itu maka Islam Liberal
dipandang banyak kalangan sebagai ancaman terhadap
keberagamaan yang sudah terlenrbaga. Padahal, Islam Liberal
yang diperjuangkan oleh JIL adalah dimensi kebebasan
dalam Istam yang jangkamya adalah " rriat" atau dorongan-
dorongan emotif-subjektil dalam manusia sendiri' Karenanya,
kata liberal dalam "Islam Liberal" semestinya dipahami
dalam kerangka semacam itu sehingga tidak ada sangkut
pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap per-
misif yang melawan kecenderungan "instrinsik" dalam akal
manusia ifu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi
kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada
fokus penghayatan keagarnaan, maka kita telah memulihkan
integritas wahyu dan Islam itu sendiri.
Islam post-Tradisionalis, adalah gerakan pemikiran
yang bersemangat mengusung pemikiran liberal, men-
dobrak ortodoksl membebaskan diri dari keterkungkungan
teks keagamaan, dan menerima sekularisasi' Yang membeda-
kannya dari Islam Liberal adalah bahwa post-Tradisio-
nalisme menimba kearifan itu dari proses kritis (dekonstruksi)
terhadap tradisi (turats) Islam zaman Nabi Muhammad
hingga dinasti Andalusia. wacana post-Tradisionalisme lebih
t'
Islam Transformatif adalah gerakan pemikiran Islam
yang dipopulerkan dan dikembangkan oleh Moeslim
Abdurrahman dan beberapa tokoh lainnva, seperti Kunto-
wijoyo, M. Dawam Rahardjo, dan Adi Sasono. Dalam
konteks aksi transformasi sosial, keterlibatan M" Dawam
Rahardjo danAdi Sasot-to adalah sangat penting, terutama
dalam perumusan Islam Transformatif ini. Sedangkan di
level wacana, Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijovo,
adalah dua tokoh yang paling menonjol. Moeslim Abdur-
rahman melontarkan Sagasan "Teologi Tratrsformatif " dan
sedangkan Kuntowijoyo memPerkenalkan konsep "Ilmu
Sosial Profetik", sebagai perbaikan istilah yang diluncurkan
Moeslirn. Kedua tokoh ini, melalui gagasan transf ornr a tif n va,
menginginkan adanya "penafsiran terhadap reaiitas sosiai
dan kernasyarakatan dalam perspektif ketuhanan". l"4ereka
menekankan penggunaan nilai al-Quran untuk menielaskan
permasalahan empiris masyarakat sel-ringga niiai a-gama dapat
mendorong percepatan transformasi mcnuju cita-cita ke-
nabian dan ketuhanan.
Islam Nlodernis aiau Islam Moderai muncui di Indo-
nesia seiring dengan munculnva gelornbang pembaruan
pemikiran Islam di Timur Tengah pada awal abad ke-19
Masehi" Organisasi yang paling menjadi icoir bagi gerakan
pemikiran lslan-r ini adalah Muhammaciiyah, vang meruPa-
kan salair saf"r dari ormas Islarn yang menerima dan rnengern-
i:angkan ide-ide pembaruan tersebut. Gerakan pembaruar-i
pemikiran ini berangkat ciari bagai.man.l mernposisikar.
ciiri dalarn meresPons probiern modernitas.
Sedangkan neo-N4odernisme adalah sebuah serakan
pemikiran Isiam urogresif yanEl muncul riari mociernismc'
l"
trend pemikiran keislaman di Indonesia. Dalam konteks
ini intelektual Muslim kontemporer dituntut harus merumus-
kan kembali kajian-kajian keislaman yang dikembangkan,
agar adaptif terhadap modernitas dengan bersifat toleran
dan siap memasuki sebuah budaya global yang multikul-
tural, namun tanpa harus tercerabut dari normativitas kewah-
yuarmya. Dengan demikian, gerakan pembaruan pemikiran
lslam di Indonesia sangat mungkin memunculkan para
pelaku yang memiliki kesadaran lintas kultural. Pola-pola
semacam ini, dapat dipandang sebagai fenomena berkem-
bangnya pr:rcses "integrasi kulturall' di antara umat Islam sendiri'
Di masa depary fenomena "lintas aliran dan kulfural" ini
akan semakin memperoleh peluang besar dalam menjalani
tahap-tahap kristalisasi gerakan dan pembaruan pemikiran
Islam di Indonesia.
Syori{ Hidoyotulloh, M Ag , MA
t2
sfflnlH Bfft
PEMIfiilB[lIG[lI ISI.IM
DI ITDII]IESIA
DASAR PETBANGUNAI{
FAKTOR PENYEBAB
LAIN:
- Sejarah masa lalu
/tt*,,,^,,.*,)
- Oomlnasi ABRI \
'abang an'
- Cristhian ruling eliie -'o'tPol.'i _/
- Tekanan dari Barat
- Anggapan yang salah
lentang agama RESPONSI ISLAI:
- Ketidaksediaan umat - ReakS Positif
lslam - Reaksi Negatif
I-------'
I AKOMODA! tslAi, i
Keterangan:
t6 Syorif Hidoyotulloh, M Ag , MA
Indonesia juga mempunyai corak yang beragam. M.C.
Ricklefs (1999:33), misalnya, membagi Islamisasi di In-
donesia ke dalam tiga tahap: tahap konversi agama (abad
ke-14 hingga ke-18); tahap pembedaan penganut yang
"komited" dan yang tidak "komited,, (abad ke-19); dan,
tahap pemurnian orang Islam (abad ke-20). Sementara
A.H. Johns (1999:34 ) melihat dalam perspektif yang lebih
luas untuk memberikan gambaran yang cukup jelas tentang
jawaban umat Islam terhadap proses Islamisasi, yakni
melalui: kesetiaan pada ajaran fundamentalis, perluasan
"teosofi" sinkritisme, penyerapan unsur-unsur Islam ke dalam
agama yang telah ada sejak dahulu, ,,ekleteisisme,, intelek_
fual, dan campuran dari semuanya ini.
Dengan mengutip Landon, Karim menyimpulkan
keislaman orang Indonesia bersifat khas jika dibandingkan
dengan masyarakat Muslim manapun di dunia ini, karena
keislaman mereka tidak mempengaruhi atau mengubah
praktik kehidupan sehari-hari. Bahkary wama lokal justru
sangat menentukan corak keislaman masyarakatnya se_
hingga akan dijumpai ada kawasan yang sangat dipenga_
ruhi ajaran sufistik, sementara yang lainnya tidak.
]adi, Islam
bagi masyarakat Muslim Indonesia bukanlah identitas yang
homogen.
Penelitian Karel A Steenbrink (19g4: 15-26) sangat meng_
gambarkan heterogenitas dan kekuatan wama lokal yang
mempenganrhi identitas Muslim hrdonesia pada abad ke-19.
Beberapa peristiwa penting dipaparkan steenbrink dalam
penelitiannya ini, mulai peristiwa perang yang dilakukan
Pangeran Diponegoro d ijawa,perang padri di Minangkabau,
sumatera-yang dilakukan oleh ruanku Nan Rencetu Tuanku
32 Syorif Hidoyotulloh, M Ag , MA
Tema-tema ini dielaborasi oleh Cak Nur dan dikom-
binasikan dengan ijtihad yang menempatkan al-eur,an
sebagai kebenaran yang kekal. Menurut Barton, di sini
sebenarnya kita tidak menemukan orientasi liberal seperti
yang ditemukan di dunia Barat. Namury dibandingkan dengan
kalangan Modernis awal, gagasan Madjid menurut Barton
jauh lebih berani dan bebas (Huliselan, htt?:l/berilhuliselan.
r nultiply.com I j o u r n al I i t em / 9).
Tokoh lain yang berperan dalam pembaruan gerakan dan
pemikiran Islam di Indonesia adalah KH. Abdurrahman
Wahid, tokoh muda dan, ju.ga, cucu dari pendiri NU. Gus
Dur, demikian sapaan akrab sang kyai ,,nyeleneh,, d.ari
Jombang Jawa Timur ini, terkenal dengan gagasannya tentang
perlunya "Pribumisasi Islam" sebagai bentuk atau cara
memahami dan menjalankan ajaran Islam agar Islam dapat
sesuai dan berkomunikasi dengan proses modernisasi di
Indonesia. Gus Dur adalah salah satu dari sedikit warga NU
yang ikut terlibat secara langsung dalam menarik gerbong
pembaruan teologi di Indonesia karena wacana tentang
pembaruan teologi ini pada awalnya didominasi oleh
kelompok modernis seperti pil (persatuan pelajar Indone-
sia, 4 Mei 1,947-7987) dan HMI (Himpunan Mahasiswa
Indonesia, berdiri 5 Februari 7947), kedua organisasi ini
didirikan di Yogyakarta.
Selain gagasan "Pribumisasi Islam,,, tokoh yang sering
kali kontroversial ini juga menyuarakan pandangan bahwa
Islam adalah komplementer bagi kehidupan sosiaf btdaya,
dan politik masyarakat Indonesia (Jamhari, 2002: 349_SO).
Bahkan, menurut Greg Barton (7999: 427), banyak tema
utama pemikiran pembaruan yang dikandung dalam tulisan_
ply. comljourtm ).
Bagi kalangan neo-Modernis, salah satu kegagalan
Modernisme awal adalah terlalu terobsesinya mereka
dengan Negara Islam. Oleh karena itu, hal ini cenderung
dijauhkan oleh gerakan neo-Modernis. Barton mengguna-
kan istilah neo-Modernisme unfuk membahasakan gerakan
tersebut. Sebuah istilah yang diyakininya lebih memadai,
baik untuk membedakan gerakan baru ini dengan gerakan
Modemisme dan Tradisionalisme yang telah muncul sebe-
lumnya di Indonesia, maupun untuk menggambarkan
Sycrif liirioyorulloh, M Ag , MA
identitas Muslim dalam mendukung kebijakan pemerintah."
Selain NU, bagi Barton kemampuan surtsiae seperti
itu juga dimiliki oleh HMI di mana corak pragmatis ikut
mewamai kiprah gerakan mhhasiswa ini. Corak pragmatis,
pluralistik dan penempatan Islam sebagai yang lebih utama
daripada politik kepartaian, mengakibatkan HMI semenjak
kelahirannya (tahun 1947) selalu mengalami ketegangan
dengan Masyumi. Hal ini misalnya tampak pada dukungan
HMI pada tahun 1953 terhadap negara sekuler daripada
negara Islam.
Barton melukiskan kesetaraan daya suraiae antara NU
dengan HMI sebagai berikut:
" ....pnrn pemhnpin HMI adalah orang-orilng yang mempunyai
sudut pandang sama dengan para pemimpin Nl.l di sepanjang
periode ini, karena kedua kelompok tersebut memperhatikan
t an g gun g j nzu ab mer eka y an g t erb e s ar un tuk....p e n didikan d sn
stabilitas umat Islam."
Hal ini membawa Barton untuk menempatkan HMI
sebagai salah satd tanda-tanda awal berkembangnya se-
buah bentuk baru dari Modemisme Islam di Indonesia.
Apabila NU dan HMI memiliki daya surztiae, di pihak
Iain kalangan Modemis seperti Masyumi pada akhirnya
kehilangan posisi tawar dalam konstalasi politik di tanah
air. Hal ini diakibatkan oleh kekakuan mereka, baik di
dalam teologi maupun praksis politik. Meredupnya d,aya
jetajah kaum Modemis ini berjaian seiring dengan muncul-
nya sebuah bentuk Modemisme baru yang kemudian di-
kenal dengan nama neo-Modemisme. Oleh karena ifu, neo-
Modernisme juga dipandang Barton sebagai hasil sebuah
proses evolusi dari Modernisme Islam awal yang mulai
meredup di tanah air (Hulisel an, http:l lberilhuliselan.muhiply.
Syorif |"1iCoyotulloh. M Ag , lM
00
kerahiman dan kemurahan hati Tuhar; tetapi juga lebih
berbuat selaras dengan kerahimian serta kemurahan Tuhan
tersebut."
Dalam pemikiran Effendi, antara rahmat dan kemanu-
siaan manusia ditempatkan sebagai dua hal yang saling
kait mengkait. Rahmat Tuhan dikaitkan Effendi dengan
kemanusiaan manusia yang bergerak dalam kebebasan.
Di pihak lain, di dalam kemanusiaannya manusia menjadi
agen-agen bebas yang berperan sebagai rahmat Tuhan bagi
dunia. Dalam konteks kehidupan bangs4 kerangka seperti
ini menggiring Effendi pada penekanan akan arti penting
teologi kerukunan. Sebuah penekanan yang memberikan
ruang yang besar bagi realitas plural bangsa Indonesia.
Di sini Effendi menolak segala absolutisasi agama yang
dipandangnya bertentangan dengan kenyataan dasar manusia
sendiri. Di dalam kemanusiaanny4 setiap individu pada
dasamya memiliki keterbatasan unfuk menjangkau kebe-
naran secara keseluruhan. Oleh karena ini, penghargaan
terhadap realitas plural bangsa ini terkait dengan kesadaran
manusia akan keterbatasannya menggapai kebenaran serta
keterbukaan terhadap pandangan keagamaan yang moderat
dan liberal. Di sini dialog menjadi hal yang sangat penting,
sebuah sarana yang bagi Effendi menjembatani kompleksitas
bangsa dengan berbagai beban sejarah yang ada di belakang_
nya serta realitas plural yang mengintarinya. Dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara, komitmen Effendi
terhadap pluralisme ini terartilkulasi dengan dukungannya
terhadap Pancasila. Sebuah dukungary yang dalam penelu_
suran Barton, sudah muncul darinya semenjak akhir 1960_
an. Dukungan ini didasarkan atas kenyataan plural bangsa
l.'
ini, di mana Pancasila dapat berfungsi sebagai kerangka
konseptual yang berperan dalam membingkai kemajemu-
kan serta meimberikan iati diri non-sektarian bagi bangsa
ini. Tampaktya aPa yang dipertaruhkan Effendi di sini
tidak lain dari ruang yang besar bagi kebebasan dan keru-
kunan beragama.
Ahmad Wahib, dalam Sagasan pembaruannya, sangat
mempercayai kekuatan akal untuk menanggulangi segala
kekurangan dalam Islam termasuk untuk era modem, di
mana terdapat kekeliruan dalam memahami ajaran [slam
yang benar. Wahib iuga melontarkan otokritik dengan me-
nyatakan bahwa meskipun kita mengatakan diri sebagai
penganut Islam namun belum tenfu telah berjalan sesuai
dengan Islam itu sendiri. Sering kali kita telah berpikir
sejalan-derrgan ide-ide lain. Hal ini terjadi, demikian Wahib,
karena kevakuinan filsafat lslam. Akibatnya, kita hanya
menjadi Muslim emosional. Wahib juga menulis keyakinan-
nya bahwa pembaruan adalah sebuah ke-butuhan bagi umat
islam karenanya tidak boleh diberhentikan. Member-
hentikan pembaruan walaupun sebentar, baginya, berarti
sebuah kegagalan (Barton, 1999: 3001).
Sebagai rekan Effendi dalam kelompok diskusi Limited
Group,Ahmad Wahib juga memperlihatkan suatu orientasi
yung rasio sebagai hal yang utama dalam Islam.
^".,"*patkan
HaI ini berarti bahwa kebebasan berpikir merupakan hal
yang mendasar dalam Islam. Rasio dan kebebasanberpikir
dirumuskan Wahib dengan menemPatkannya dalam
keterkaitartdengan eksistensi Tuhan. Tuhan dalam pan-
dangan Wahib adalah sepenuhnya rasional, dan dalam rasio-
naiitas-Nya tersebut ta meniadikan manusia. Karena itu,
t4 Syori{ Hiciavotulloh, [1 Ag MA
Oleh karena itq rasanya tidak berlebihan kalau Barton
dan tokoh seperti Wahib meyakini bahwa gerakan ini
memiliki prospek masa depan yang baik. Ini belum lagi
ditambah daya lentur neo-Modernisme yang membuatnya
sanggup berakselerasi dengan pergeseran-pergeseriu:t sosio-
kultural Namun daya gedor neo-Modemisme tidak sampai
menyentuh apa yang disebut Madjid sebagai wilayah ukhrawi
(transendental). Oleh karena ifu, corak neo-Modernisme
praktis berbeda dari radikalisasi kalangan Liberal (Barat)
yang bergerak sampai menggugat otoritas transendental
dengan berbagai kritik mereka (Htrliselan, http: I /berilhuliselan.
mu It iolu. c om I io ur n al I i t em / 9\.
Harun Nasution adalah tokoh lainnya yang sangat
penting dalam gerbong pembaruan pemikiran Islam di
Indonesia. Harun Nasution. Nasutiory mantan rektor IAIN
(kini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini, menyuarakan
pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, terutama tentang
cara agar gasasan Islam dapat berkomunikasi dengan proses
modernisasi di Indonesia. Menurut Jamhari ((2002: 350),
gagasan yang dikembangkan Nasution berlatar belakang
-,,
kekecewaannya pada materi pengajaran Islam di perguruan
tinggi, khususnya IAIN, yang hanya terbatas pada satu
paham atau madzhab saja, sehingga mahasiswa terbiasa
berpikir sempit dan tidakmenerima perbedaan pandangan.
Karenanya ia mengusulkan unfuk merumuskan "pengenalan
Studi Islam", yang melihat Islam dari berbagai aspeknya.
Nasution juga menentang kecenderungan fatalistik
umat Islam, yang disebabkan keterbatasan pemahaman
umat lslam Indonesia hanya pada satu aliran dalam ilmu
kalam, yaitu Asy'ariyah. Walaupun menolak anggapan
t. lslom frudislonel
Menurut Fachry Ali dan Bahtiar Effendy (19g6:47),
pola pikir tradisionalisme dalam Islam di Indonesia dilatar.
belakangi oleh kondisi urnum masyarakat yang ketika Isram
masuk adalah masyarakat petani yang tinggal di pedesaan,
sehingga tidak memungkinkan Islam untuk berkembang
secara lebih rasional dan modem. Karenanya paham syafiiyatr,
sebagai paham yang dianutkalanganlslam tradisional yang
berkembang di Indonesia lebih menekankan aspek loyalitas
terhadap pemuka agama, seperti ulama dan kyai, daripada
kepada substansi ajaran Islam yang bersifat rasionalistis.
Sejalan dengan hal ini maka yang berkembang kemudian
di kalangan Islam tradisionalis adalah stkap taqlid (mengekor)
sehingga pada taraf tertentu menimbulkan sikap patuh dan
taat tanpa syarat kepada para ulama dan kyai yang diikuti_
nya.
Yang menjadi ciri khas yang menonjol dari kelompok
Syorif Hidoyotulloh, M Ag , [M
48
sional ini tinggal di daerah pedesaary yang pada umumnya
sangat mengabaikan persoalan duniawi, hidup dalam se-
mangat asketisme sebagai akibat keterlibatan mereka dalam
kehidupan sufisme dan tarekat, dan mempertahankan diri
dari pengaruh modemitas, serta cenderung mempertahankan
apa yang telah mereka miliki di mana kesemuanya itu me-
reka pusatkan dalam dunia pesantren. Sikap keimanan dan
militansi mereka yang tradisional rnerupakan faktor utama
untuk menarik diri dari urusnn duniawi dan, sikap inilah,
yang menjiwai semangat mereka dalam melakukan per-
lawanan terus-menerus terhadap kekuasaan kolonialisme
di Indonesia pra kemerdekaan,
Namun demikian, diakui keduanya tidak berarti bahwa
kelompok Islam tradisional ini sama sekali berpaling dari
kehidupan duniawi. Kehidupan duniawi bagi mereka ada-
lah sangat penting maknanya, terutarna sebagai persiapan
yang lebihbaik untuk mengejar kesuksesan hidup di akhirat.
Persiapan yang lebih baik tersebut termasuk memiliki
kekayaan guna dipakai untuk menjalankan ajaran-ajaran
Islam, seperti membayar zakat, shadaqah, d an menunaikan
haji.
Adapun ciri ideologi dari kelompok Islam tradisional
ini adalah keterikatan mereka pada paham Ahlussunnas
wal lamaah yang dipahami secara khusus dan sangat mem-
pengaruhi seluruh tingkah laku keagamaary politik, sosial
kemasyarakatan mereka. Keterikatan mereka pada paham
ini menjadi semakin ketat dan berfungsi menjadi ideologi
tandingan bagi perkembangan pemikiran kalangan modemis
yang berusaha melakukan penyegaran pemikiran lslam
dan menganjurkan umat untuk tidak terlalu terbelenggu
2. Pribumisasi lelnm
"Pribumisasi Islam", adalah gagasan Yang palir-rg orisinal
dari KH. Abdurr:ahman lVahid (Cus Dur) Cus Dur melontar-
kan g;rgasan ini adalah dimaksudkan untuk mencairkan
pola cian karakterr Islarr sebagai suatu \rang norlrtatif dan
praktik keaganraa:'r inenjadi sestlatu vang kontekstuirI
(Rahrnat,2003: xx). Dalam Bagasan ini tergan':bar bagaimana
Islam sebagai ajaran norrnatif yang berasal dari Tuhan
diakonrodasikan ke dalam kebuda-vaan Yang berasal dari
manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-rnasing.
"Pribumisasi Islam", bagi Gus Dur, bukan rlpava untuk
menghindarkan hmbuhrya perlawianan dari kekuatan budaya-
budaya seterrrpat, namun jusiru untuk memelihara dari
kesirnaannya akibat kehadiran islarn. ilengan dernikian.
"Pri'burnisasi Islam" meri-tprakan keb,utr-rhan bukan unhlk
rnenghindari polarisasi antara agalna dan kebudayaan, sebab
poiarisasi semacam ini Lragi Cus D'-rr rnemang tidak bisa
dihindarkan.
\,{. imdadun Rahrnat (2003;xx) beranggapan bahwa
"Islani prribumi" sebap;aihasil clari "F:i-bumisasi Islam" ini
pada konteks selarjuhrya perlu digerakkan sebagai jar,r'aban
cla;:i "islarn Otentik" dan "Politik lder-rtitas isiarn" yang ingin
melakukan pro-vek Arabisasi; sebuah provek -vang oieh Gus
l"
gaan pada tradisi lama yang baik, karena sesungguhnya Islam
tidak memusuhi tradisi lokal. Bahkan, tradisi lokal ini iustru
menjadi sarana vitalisasi Islam, sebab nilai-nilai Islam ter-
sebut perlu kerangka yang akrab dengan kehidupan masya-
rakatnya.
praktik keaga-
Keempat, progresif; dengan perubahan
maan di mana Islam menerima aspek progresif dari ajaran
dan realitas yang dihadapinya. Dengan demikian, Islam akan
siap dengan lapang dada berdialog dengan tradisi pemikiran
orang lain kendatipun dari Barat.
Kelima, membebaskan; Islam menjadi ajaran yang
dapat menjawab problem-problem nyata kemanusiaan
secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik.
Dengan semangat pembebasannya, Islam tidak kehilangan
kemampuan untuk memikul Peran rahmatan lil 'nlamin
(rahmat bagi seluruh alam), seperti melawan penindasan,
kemiskinan, keterbelakangan, anarki sosial, dan lain-lain.
Tanpa banyak orang yang menyangka, menurut Zainal
Arifin Thoha, muara dari gagasan Gus Dur tentang pribu-
misasi Islam adalah sekularisasi kebemegaraan. Jika kita lacak
dari hulu hingga ke muara, Gus Dur memang konsisten
mengembangkan gagasan serta pemikirannya. Baik pribumi-
sasi Islam maupun sekularisasi kebemegaraan intinya adalah
sama. Aksentuasinya yang berbeda. Gagasan mengenai
sekularisasi kebemegaraan itu, dilemparkan Gus Dur dalam
sebuah diskusi politik di )akarta pada 4 Februari 1999. Me-
nurut Gus Dur, Indonesia harus menentukan sikap menjadi
negara sekuler atau negara theokrasi. Ia iuga memetakan
perihal tiga kelompok politik di Indonesia. Kelompok per-
tama, menginginkan peran militer dalam kehidupan politik.
58 Syori{ Hidoyotulloh, A1 Ag , MA
ciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manu-
siawi.
Seiring dengan semakin semaraknya fenomena radi-
kalisme agama di tengahumat islam di era reformasi, maka
mengakibatkan semakin menjamurlah perbincangan
seputar gagasan liberalisme Islam, sebagai bentuk respons
atas fenomena tersebut. Geloranya banyak diprakarsai
anak-anak muda usia, 20-35 tahun. Untuk kasus Jakarta,
mereka umumnya para mahasiswa,peneliti,atau iurnalis
yang berkiprah di beberapa lembaga, semisal Paramadina,
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU), IAIN Syarif Hidayahr I I a h,
atau Lrstitut Studi Arus Informasi. Komtrnitas itu makin meng-
kristal, sehingga pada Maret 2001 lalu mereka ment-
organisasikan diri dalam |IL.
Kegiatan awal dilakukan dengan menggelar kelompok
diskusi maya (milis). Sefak 25 Juni 2001, fIL mengisi saru
halaman Jawa Pos Minggu, berikut 51 koran jaringannva,
dengan artikel dan wawancara seputar perspektif Islam
liberal. Tiap Kamis sore,JIL menyiarkan wawancara langsung
dan diskusi interaktif dengan para kontributor Islam liberal,
lewat kantor berita radio 68 H dan 10 radio jaringannya.
Situs islamlib.coru diluncurkan, dua pekan kemudiar-r.
Beberapa nama pemikir muda, seperti Luthfi Assyaukanie
(Universitas Paramadina Mulya), Ulit Abshar-Abdalla
(Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam),
terlibat dalam pengelolaan JIL. Luthfi Assyaukanie, editor
slttts islamlib.com, menyatakan bahwa lahimya JIL sebagai
respons atas bangkitnya "ekstremisme" dan "fundamen-
talisme" agama di Indonesia. Ifu ditandai oleh munculnya
60 Syorit ilidoyotulloh, M Ag , MA
kultur Nahdlatul Ulama. Markasnya di LakpesdamJakarta
dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), yo$yakarta.
Label mereka merujuk pada judul terjemahan buku
Muhammad Abed Al-]abiri, pemikir Maroko, yang diter-
bitkan LKiS. Rumadi, seorang pejuang postra, menilal ada
dua kelemahan paradigma tslam liberal. pertama, kurang
empati pada tradisi lokal. Kedua, mengabaikan dinamika
spiritualitas. Luthfi yakin, paham keagamaan yang membe-
baskan manusia dari belenggu, sekaligus menghargai aspek
lokal, akan lebih dekat dengan perasaan kemanusiaan.
Lahimya sejumlah media penyuara aspirasi "Islam militan,,,
serta penggunaan istilah "jihad" sebagai dalil serangan.
Menurutnya, kelompok militan itu sebenamya tidak
banyak, tetapi, mereka lebih pintar menggunakan alat
komunikasi modem untuk mempengaruhi pendapat umum.
Gerakan mereka lebih agresif dan bahasanya sederhana,
sehingga mudah dieerna awam. fika pandangan mereka
dominan, kata Luthfi, bisa menghambat demokratisasi
Indonesia dan mempersulit tatanan koeksistensi damai
antar kelompok beragama. Demokrasi, menurut Luthfi,
membutuhkan pandangan keagamaan yang terbuka, plu-
ral, dan humanis. Sayangnya, suara kelompok ini makin
lirih, karena hanya menjadi konsumsi elite. Bahasanya sulit
dicema awam. Gerakannya kurang gereget. Untuk mencegah
dominasi kaum militan, Luthfi mengatakary harus ada
kampanye militan tentang gagasan keagamaan pluralis-
humanis. Islam liberal ini datang sebagai protes dan
perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks itu.
Luthfi memaknai istilah Islam liberal sebagai identitas
untuk merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern
com.komp as cet akl 0L1Ll 23 I op ini I isla}4.htm), sej arah panj ang
dalam Islam diwarnai tiga tradisi. Tradisi pertama disebut
"Islam adat" (customary lslam) yang ditandai pencampur-
adukan antara "tradisi lokal" (little tradition) dengantradisi
besar (6reat tradition)yang diandaikan sebagai "Islam yang
asli" dan "Islam yang murni". Islam yang sudah bercamPur
dengan berbagai tradisi lokal dianggap sebagai Islam yang
penuh bid'ah dan khurafat. Atas dasar itu muncul arus
tradisi kedua yang disebut "Islam revivalis" (reoiaalist Islam)
yang bisa mengambil bentuk pada fundamentalisme dan
wahabisme. Tradisi ini berupaya melakukan purifikasi
(pemurnian) terhadap Islam yang bercamPu*tradisi lokal
yang dianggap tidak Islami dan sebagai penyimpangan
terhadap doktrin Islam "yun1 murni" dengan jargon
"kembali kepada al-Qur'an dan hadis". Arus tradisi ketiga
disebut sebagai "Islam Iiberal".
Dalam pandangan Kurzman, sebagaimana prcndu-
kung revivalis, Islam liberal mendefinisikan dirinya ber-
beda secara kontras dengan Islam adat dan berseru keuta-
maanlslam pada periode awal untuk menegaskanketidak-
absahan praktik-praktik keagamaan masa kini. Islam liberal
menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan mo-
dernitas, sedangkan Islam revivalis menegaskan mo-
dernitas atas nama masa lalu. Meski diakui ada banyak
versi tentang liberalisme Islam, namun, menurut Kurzmary
+ lclom Poclfrudlsionol
Syorrf Hidoyorulloh, M Ag , MA
Liberal (totttw. I sl nntl ib. c ont), dan berm acam diskusi. Gairah
itu tampak pula di seminar "Mendialogkan Post-Tradisio-
nalisme Islam dan Islam Liberal dalam Gairah Baru Pemi-
kiran Islam di Indonesi a" ,yangdiselenggarakan mahasiswa
IAIN Syarif Hidayatullah dilakarta, pada 2001 lalu. Sekitar
500 orang mengikuti seminar yang menghadirkan intelek-
tual muda Islam seperti UlilAbsharAbdalla, Saiful Mujani,
Ahmad Sahal, LuthfiAssyaukani, Ahmad Baso, dan Rumadi
itu. Sebagian besar pembicara mencoba menangkap sosok
yang disebut Islam liberal. Maklum, kata sifat liberal mengan-
dung gradasi "keliberalan"-nya dan sejarah yang panjang
(Majalah Tempo, No. 38lXXXl19 - 25 November 2001).
Menurut Charles Kurzman, Islam liberal berakar pada
Syah Waliyullah (1703-7762) di India dan muncul di antara
gerakan-gerakan pemumian Islam ala Wahabi pada abad
ke-18. Bersirma dengan berkembangnya Islam liberal, muncul
tokoh-tokohnya pada tiap zaman. )amaluddin Alafghani
di Afganistan, Sayyid Ahmad Khan di tndi4 dan Muhammad
Abduh di Mesir - ketiganya hidup pada abad ke-19. Adapun
pada abad 20 terdapat antara lain Abdullah Ahmed Naim,
Mohammad Arkoury Fazlur Rahmary dan Fatima Memissi.
Nurcholish Madjid, cendekiawan Indonesia yang mengi-
barkan teologi inklusif, juga disebut. Istilah liberal, menurut
Luthfi Assyaukani, dosen Universitas Paramadina Mulya,
antara lain bermakna pembebasan dari cara berpikir dan
berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan.
Islam liberal, menurut Luthfi, tidak bisa dipertentang-
kan dengan Islam model lama semacam tradisionalis, revivalig
atau modemis, juga dengan model baru seperti neo-Modemis
dan post-modemis. Sebab, gagasan Islam liberal sesungguh-
Syorif Hidoyotrlloh, M AE , MA
70
bela kubu masing-masing. Namun, jarak ifu melebur se-
telah Ahmad Sahal dan Saiful Mujani menyatakan bahwa
secara substansi antara Islam liberal dan post-tradisionalisme
sama. Misalnya, menyangkut ide tentang negara demokrasi.
Dengan kesamaan substansial ini, maka kedua aliran ini,
Islam liberal dan post-tradisionalisme, bisa bekerja sama
dalam merespons kemunculan Islam liberal yang semakin
nnssif dan semarak ini. Islarn literal, menurut Ahmad
Sahal, adalah sebutan lain untuk kaum fundamentalis atau
kalangan Islam garis keras. Kalangan yang menurutAbdul
Mun'im D.2., pembicara dari LP3ES, memperjuangkan
penerapan hukum Islam yang ketat dan menunfut pen-
ciptaan masyarakat muslim yang eksklusif. Berbeda dengan
agenda Islam liberal, yang ingin menciptakan masyarakat
multikultur. Dengan demikian, Mun'im. Mengingatkan,
gagasan Islam liberal dan post-tradisionalisme secara nyata
akan berhadapan dengan gerakan Islam garis keras ini
(Majalah Tenrpo, No. 38/XXX/1.9 - 25 November 2001).
Post-tradisionalisme, menurut Marzuki Wahid (2000:
19-27), salah intelektual muda NU yang berada di garda
aliran pemikiran ini, dapat dipahami sebagai suatu gerakan
"lompat tradisi", karena ia berangkat dari suafu tradisi yang
secara terus-menerus berusaha memperbarui
tradisi ter-
sebut dengan cara mendialogkan dengan modernitas.
Inilah yang membedakannya dengan gagasan "pribumisasi
Islam"-nya Gus Dur di atas yang justru mendialogkan Islam
dengan tradisi lokal yang orisinal dan kurang tertarik untuk
mendialogkan dengan modernitas. Karena intensifnya ber-
dialog dengan kenyataan modernitas, maka terjadilah lon-
catan tradisi yang dilakukan post-tradisionalisme dalam
Syori{ Hidoyofulloh, M Ag , MA
gerakan lokal. Ia beraksi dan bereaksi melingkupi negara-
bangsa tlan tatanan dunia. Ia mempersoalkan tak hanya isu
dan zrspirasi vang berclimensi lokal, tetapi juga regional dan
trniversal.
fiundamentalisn-re ittr sendiri bisa bersifat nroclerat dan
r"ad ika 1. " Ba gi ftrn clanr e.ntal isme ra d i kal, menj a dikan tauh id
sebagai pembenaran bagi pendorninasian terhadap yang
I arn; (a d apun) fu ndamen talisme moderat, menjad ikan t.ru hid
Syorif Hidoyotulloh, M Ag , MA
80
bertindak represif terhadap gerakan Islam garis keras. Jadi
ada kesan bahwa pemerintahlah yang sebetuJrrya di belakang
gerakan tarbiyah ini. Pola seperti ini sebetulnya tidak aneh
dan dipraktikkan oleh beberapa negara untuk mengontrol
gerakan-gerakan ekstrim. Melalui studi kalangan intelejen
di beberapa negara, penumpasan jaringan ekstrim hanya
akan menciptakan ketidakstabilan karena akan mencipta-
kan kelompok-kelompok baru yang dengan struktur dan
pola organisasi yang beragam dan berbeda dengan sebe-
lumnya sehingga akan lebih sulit untuk diatasi, karena
itulah pola penumpasan secara keras ini dirubah dengan
strategi lunak di mana kelompok-kelompok ekstrim tersebut
dibiarkan tumbuh dan berkembang bahkan dengan pesat
tapi berada dalam kontrol pemerintah
Kepemimpinan gerakan Tarbiyah sendiri masih gelap.
Siapa sebetulnya ideolog dan pemimpin gerakan ini tidak
diketahui bahkan oleh anggotanya sendiri. Sebagian me-
ngarah kepada Bang Imad (Dr. Ir. Immaduddin Abdul-
rachim, M.Sc.), yang mempelopori pola pembinaan remaja
masjid, tapi gerakan ini tidak berpusat di Bandung me-
lainkan di Bogor terutama ketika periode pencetakan kader-
kader militan dengan memanfaatkan kampug aksi perebutan
kekuasaan di masjid Salman ITB tahun 1994 sendiri men-
dapat komando dari Bogor melalui perantaraan gerombolan
Batak. Di Bogor kampus IPB saat ini bisa dikatakan dikuasai
total oleh gerakan ini, kegiatan"tidak islami" seperti musik
diharamkan di lingkungan kamput selain itu stand partai
Keadilan selalu ada pada acara penerimaan mahasiswa baru.
Dan yang lebih menguatkan hal ini adalah penunjukkan
K.H Didin Hafifu ddin dari Bogor sebagai Capres dari partai
Syorif Hidoyotulloh, M Ag , MA
88
hati dalam menyikapi sebuah persoalan. Kesalahan dalam
membuat kebijakan akan berakibat terkikisnya legitimasi
politik di mata rakyat. Itulah sebabnya mengapa kekerasan
yang dilakukan oleh sebuah ormas agama terhadap tempat
hiburan sering kali tidak ditindak oleh aparat kepolisian.
Meskipun secara hukum perusakan terhadap tempat-
tempat tersebut adalah melanggar hukum, namun reaksi
pemerintah sangat minim mengenai hal itu. Pengambilan
kebijakan senantiasa mempertimbangkan untung-ruginya
terhadap dinamika politik ke depan.
Para pakar mengatakan bahwa Indonesia masih pada
tahap demokrasi prosedural, belum ke demokrasi substantif.
Kekerasan dan perusakan yang masih mewamai aksi unjuk
rasa sepanjang era reformasi ini menggambarkan bahwa
masyarakat belum sepenuhnya menghayati demokrasi.
Menguatnya radikalisme agama juga menjadi salah satu
indikasi tersebut. Sepanjang tahun 1999 hingga2005 masih
ditemukan fenomena kekerasan dalam ritual berdemo-
krasi. Kekerasan ifu menggambarkan bahwa masyarakat
Indonesia masih berada pada suasana eforia. Masa transisi
sering kali menimbulkan eforia politik. Eforia tersebut sebenar-
nya merupakan sebuah kewajaran semata.
Dalam pemerintahan non-demokratig kebebasan rakyat
dipasung sedemikian rupa. Sehingga hampir tidak ada suatu
ormas agama yang berani melakukan kritik terhadap pe-
merintah. Sedangkan di era transisi, keran kebebasan mulai
dibuka. Tidak ada lagi pembungkaman dan penangkapan
terhadap kritisisme. Karena itu, ruang kebebasan tadi tengah
dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Ekspresi dalam
ruang kebebasan itu seperti bandul jam, ketika ditarik pada
plm?id4528 0 3 l!-Mll).
6- tslom fransformstif
Isiam Transformatif 1,,:*iah gerakan pernikiran lslatil
Transformatif vang dipopui,,'i.:er-l dan dikembangkan oieh
Moeslim Abdurrahman. Gerakan vrilEi rnengalami Penve-
-garan kembali melalui Jaringan Intelektual N4trda Muham-
madiyah (]IMM) ini, merepresentasikan mazhab kritis te'r-
hadap modernitas, di mana teori-teori sosial kritis itu di-
pinjam dari Barat" Penggunaan teori-teori sosial kritis --vang
digabungkan den65an hermeneutika teks dan sosial itu,
digunakan sebagai pisau analisis dalam mendialogkan
doktrin Islam dengan problem modemitas. IJasilnya, Islam
Transformatif lebih menyuarakan kepentingan kelompok
yang termarjinalkan dan teraniava akibat modernisasi, ke-
timbang mempromosikan modernisasi.
Terlepas dari ciri khas dan perbedaan gerakan penrikiran
masing-masing-Islam Modemis, Neo-Moderms, Islam Liberal,
Post-Tradisionalis, dan Islam Transformatif-semuanya
Syorrf Hidoyoiulloh, M Ag , MA
90
mempromosikan moderatisme Islam, ),akni mediasi dari
ektrimisme Islam revivalis atau fundamentalis dengan seku-
Iarisme. Moderatisme menjadi karakter umum yanpI mema-
_yungi gerakan Islam progresif. Tradisi darr modemitas tidak
diletakkan dalam dua kutub yang saling berlarvanan dan ber-
musulian. Keduanva rJitempatkan pada porsinya masing-
masing, lalu drdialogkan secara elegan. Kadar tradisi dan
rnoderniias pada nrasing-masing gerakar pemikiran itu
memilikj perl-rerlaan, lr-ang pasti perterrLrar., Lradisi dan
ini:iierniias mern;;ilndung rnakna mendia1ogkan dua pera-
*ialr.rn r('V\l,irlil tor.t..fhp?ii:
455:L_L i 2t) l/!L4).
Transformasi asama menjadi bagian dari pengayaan
sisi historisitas i:lam. Upaya ini bermerksud membumikar"i
ajaran agama pada rtrlayah ranah sosial dan kesejarahan
umat rianLrsia. L-terbagai persoalan pelik yang sedang di-
hadapi masvarakat memerlukan tanggapan positif agama.
Dengan demikian, perlu dihadirkan pernbacaan atama
vang kritis terhaciap konteks sosial-masyarakat, sehingga
pemahaman val-rg Cihasilkannva pun tidak lagi han_va
rnc.ng.rndalkan peninggalan lvarisan tradisi rnasa lalu, tapi
berupa prociuk nalar agama yang baru dan disesuaikan
pada masaiah-rnasaiah konternporer. Selama ini sering
dipahami bahrva fungsi agarna hanya sebagai media peng-
hambaan pada Tlihan (teosentrik) saja. Kita perlu mere-
volusi pandangan teoiogis ini dengan lebih melihat kenya-
taan sosiaiyang ada. Beragama jugti sangat terkait dengan
proses tli mana keberagamaan itu diorientasikan untuk
kemanusiaan. Apa yang menjadi kebutuhan manusia hari
ini perlu diperhatikan dalam prinsip keberagamaan kita.
320M14).
Menurut Bahtiar Effendy, seperti yang dikutip ]amhari
(2002:352), berdasarkan cita-cita yang diusung gerakan
Islam transformatif ini dapat dibedakan menjadi dua bentuk:
pertama, gagasan Islam transformatif yang bergerak pada
tataran teologis dan pemahaman keagamaan, yang dilatar-
belakangi ketidakberhasilan perjuangan politik formal,
ataubisa disebut "IslamAksi" . Kedua, gagasan transformasi
yang bersiap menyiapkan wacana intelektual sesuai de4gan
perubahan sosial yang diharapkan atau yang bisa disebut
"Ilmu Sosial Profetik".
Gagasan Isiam Aksi sangat penting dalam membentuk
corak dan warna kegiatan keislaman di masa berikutnya.
Semaraknya kegiatan keislaman yang bercorak sosial se-
perti pengembangan sumber daya di pesantren dan ke-
giatan sosial di kalangan remaja masjid di perkotaan adalah
salah satu akibat dari orientasi sosial pemikiran lslam Aksi.
Kecenderungan ini merupakan jawaban terhadap kondisi
masyarakat pada 1960-an yang sangat memprihatinkan
secara sosial. Menurut ]arnhari, dalam konteks ini maka
keterlibatan M. Dawam Rahardjo sangat penting dalam
Syorii Hidoyotulloh. M Ao , MA
Neo-Revivalis cenderung merespon modernitas secara
negatif, maka Islam Modernis, Neo-Modemis, Islib, dan
Post-Tradisionalis meresponnya secara positif. Perbedaan
pada masing-masing sayap pemikiran tersebut terletak
pada entry point danlarrdasarurya, sehingga masing-masing
memperlihatkan kadar genuinitas dan kekhasannya masing-
masing. Sedangkan output-nya tidak terlalu berbeda (http:/
lwww.cmru.or.idlcmm-ind more.php?id=455g 0 3 20 ML4).
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kesenjangan antara
ajaran Islam dan modemitas. Hal ini disebabkan ajaran Is-
lam merupakan produk dari konstruksi pengetahuan
beberapa abad lalu. Sedangkan modemitas adalah produk
akal budi di masa kontemporer. Menegaskan bahwa Islam
lebih modern ketimbang modernitas itu sendiri adalah
sebuah kekeliruan. Modernitas justru anak kandung dari
periode modern. Rasionalitas dan metode empiris yang
merupakan salah safu dari ukuran periode modem justru
menjadi alat dalam membangun modemitas. Kesenjangan
antara Islam dan modernitas terletak pada perbedaan pa-
rameter dalam mengukur dan menilai manusia dan Tuhan-
nya. Bagi Islam, orientasi aktivitas manusia adalah untuk
Tuhan, sehingga kebaikan senantiasa dinilai dari seberapa
besar kualitas ibadahnya kepada Tuhan. Hal ini mengandung
pengertian bahwa amal kebaikan itu harus bemuansa pe-
nyembahan dan pengagungan kepada Tuhan. pandangan
seperti ini dapat ditemukan dalam hampir seluruh aliran
teologi Islam, terutama Asy'ariyah.
Bahkan dalam pandangan politik pun para ulama me-
nyatakan bahwa negara merupakan alat unfuk menegak-
kan hukum Tuhan. Sebuah kitab yang sangat masyhur di
Syorif Hidoyotulloh, M Ag , MA
98
agama dari ruang politik dan publik bukanlah solusi yang
tepat. Menurut Robert D. Putnam, Ilmuwan politik dari
Amerika, prestasi dalam memodernisasi sebuah bangsa
sangat tergantung pada sumber daya lokal (1993). Dengan
kata lain, nilai-nilai tradisi yang sudah mengakar dalam
kehidupan masyarakat harus dilibatkan dalam proses
modernisasi tersebut. Karena ifu, sekularisme justru menjadi
bumerang bagi modemisasi. Sekularisme berarti memo-
tong sumber daya lokal yang sangat dibutuhkan dalam per-
ubahan sosial.
Namun sejarah perjalanan umat Islam di Indonesia
tidak sepenuhnya memprihatinkan. Bahkan, lndonesia dapat
disebut sebagai teladan bagi bangsa Muslim lain dalam
mendialogkan lslam dan modemitas. Menurut Bassam Tibi,
Indonesia adalah sebuah tempat yang paling cocok untuk
dialog antara peradaban [slam dan Barat (2003: 124). Islam
di Indonesia menampilkan keterbukaan dan toleransi,
karena itu mampu mendialogkan doktrin agama dengan
modemitas. Karakteristik lslam yang toleran ini, menurut
Tibi, dapat menciptakan kondisi yang mendukung untuk
kebangkitan lslam. Tampaknya penilaian Tibi itu tidak ber-
lebihan, melihat realitas umat Islam di Timur Tengah dan di
wilayah lainnya yang mengalami kegagapan dalam men-
dialogkan Islam dengan persoalan-persoalan modemitas dan
kemanusiaan. Meskipun pemikiran pembaruan Islam telah
muncul lebih awal di Timur Tengah, namun gerakan pemi-
kiran tersebut belum sampai pada tingkat yang signifikan.
Berbeda halnya dengan di Indonesia. Perubahan arah dari
gelombang Islamisasi negara yang dimainkan oleh ke-
kuatan lslam politik menjadi de-lslamisasi negara yang
45400330M14).
Meskipun ada peningkatan kemunculan kelompok-
kelompok radikal di Indonesia, secara keseluruhan bssic
landscape Islam di Indonesia adalah moderat, tidak mono-
litik, dan demokratis. Hal tersebut antara lain tercermin
dari hasil pemilihan umum legislatif dan presiden Pemilu
2004lalu. Selain itu, gaung kampanye nilai-nilai Islam yang
substantif, seperti pembasmian korupsi dan pembelaan
terhadap kaum miskin menyebar ke seluruh pelosok tanah
air. Fenomena tersebut rnenuniukkan, Muslim di Indo-
nesia tak pemah ragu menerima dan menyeraP nilai-nilai
demokrasi yang sudah sejak lama diperjuangkan bukan
hanya oleh para pendiri bangsa, tetapi juga oleh organisasi
Islam mainstreamyang terus menggagas Islam yang konteks-
tual, yaitu yang mampu meresPons persoalan masa kini.
Dalam seminar lnternational Center for lslam and Plu-
ralism flCIP) di Jakarta Lily Munir menyebutkan, ada pihak-
pihak yang lebih menekankan implementasi ajaran Islam
dalam bentuk simbol-simbol-misaLrya saja dalam pemakaian
nama yang berbau Arab dan contoh lairurya, ketimbang pada
substansi ajaran, yaitu bagaimana mengatasi problem
kemanusiaan yang sudah akut di Indonesia, seperti kemis-
kinan, penanggulangan korupsi, kekerasan terhadap pe-
rempuar; dan masalah lainnya.
Masyarakat Muslim Indonesia tampaknya sangat haus
l,,'
responsif terhadap perkembangan kemanusiaan. Juga Islam
yang berwajah moderat, sebuah aliran lslam yang terbuka,
ramatL menghargai pluralisme, dan kedamaian.
Keberadaan Islam aliran keras, radikal, dan militan
memang ada sejak lama di Indonesia, tetapi usaha mereka
selalu gagal. Selain karena adanya tindakan represif militer,
mereka juga tidak pemah mendapatkan dukungan kelompok
Islam mayoritas yang cenderung moderat. Nah, sekarang
ini muncul lagi, sejak jatuhnya Soeharto di mana era demo-
kratisasi, Iiberalisasi, dan masa kebebasan berhembus. Oleh
sebab itu, kelompok radikal ini muncul leblh aisible, lebih
militan, dan vokal juga. Apalagi kemudian media massa,
khususnya media elektronik seperti TV, banyak meliput.
Akhimya mereka lebihaisible. Paling tidak untuk menyam-
paikanvisimereka tampil di depan publikitu lebihbanyak.
Tidak seperti zaman Soeharto dulu, sekarang mereka bisa
demo atau menampilkan diri daiam isu-isu yang terkait
dengan isu nasional. Misalnya ketika mau Sidang Tahunan
MPR. Artinya dimungkinkan oleh perkembangan politik
kita yang lebih liberal dan demokratis. Karena justifikasi
dalam alQur'an, Muslim [rdonesia tidak ragu-ragu menerima
demokrasi. KH Achmad Dahlan, misalnya, tak pernah
memperoleh pendidik at:r B ar at, namun mengambil penge-
tahuan ini dari al-Qur'an. Contoh ini sudah lebih dari cukup
untuk menunjukkan, implementasi hak mayoritas bukan
hal asing dalam tata bahasa Islam Indonesia. lde demokrasi
dalam masyarakatlndonesia tetap turnbuh subur walaupun
mengalami masa "naik-turun" dalam perjalanan politik
sejarah Indonesia. Dalam pemerintahan Soekarno dan
Soeharto, semangat ini direpresi melalui istilah "Demokrasi
Svorif Hidcvotulloh, M Aq , MA
Islam moderat juga bertugas mengerem tindakan fatal
kelompok fundamentalisme-radikal. Meski sesungguhnya
dominan, kelompok Islam moderat di Indonesia, kurang
memiliki daya greget, dan seolah kurang mampu menjawab
banyak pertanyaan seputar realitas dinamika keislaman
dan keindonesiaan belakangan, kecuali lewat wacana-wacana
semata. Inilah yang membuat kelompok fundamentalis-
radikal mengerucut, seolah mengambil-alih hal-hal yang di
lapangan tidak dilakukan kalangan moderat. Maka, dalam
konteks ini perlu ada agenda nyata dari kalangan moderaf
tak sekadarbergelut di dataran wacana, tetapi juga aksi nyata
di lapangan. Mereka lebih dulu harus merapatkan barisan,
antara sesama elemen Islam moderat, mengingat tugas bera!
meneguhkan peran positif Islam dalam merajut keharmo-
nisan dalam konteks multikulturalisme Indonesia. Kehi-
dupan agamayang bersanding manis dengan negara Qnott-
ern natiort-state) mencerminkan bahwa nilai-nilai agama
selaras dengan kemajuan.
Terkait dengan itu, moderasi beragama yang selama
beberapa tahun belakangan gencar dilakukan oleh tokoh-
tokoh agama di Indonesia, merupakan upaya untuk lebih
mempromosikan nilai-nilai agama, terutama yang berkaitan
dengan semangat berbangsa dan bernegara. Kesalehan
dalam beragama tidak semata ditunjukkan dengan tingkat
kera;'inan membaca al-Qur'an, melainkan juga kepedulian
terhadap masalah bangsa. Jika saja moderasi ini mendapat
dukungan besar dari seluruh lapisan masyarakat baik yang
beragama Islam ataupun non-Islam, maka agama akan se-
makin berkorelasi positif dengan kemaslahatan dan kema-
juan sebuah bangsa. Maka, dalam konteks ini perlu ada
8. lslcm llco-todernis
Islam Neo-modernis adalah sebuah gerakan pemikiran
Islam yang diperkenalkan pertama kali secara sistematis
oleh Fazlur Rahman, seorang tokoh pembaru pemikiran
Islam kontemporer asal Pakistan. Menurut Syarif Hidayatullah
(2000: xvii-viii), neo-Modemisme yang di-launchins F azlur
Rahman ini adalah sebuah gerakan pemikiran Islam progresif
yang muncul dari modernisme Islam namun mencakup
juga aspek-aspek tradisionalisme Islam. Karenanya, gerakan
ini memiliki empat ciri pokok, yaitu: pertama, penafsiran
al-Qur'an yang sistematis dan komprehensif; kedua, PenS-
gunaan metode heremeneutika dan kritik historis; ketiga,
melakukan pembedaan secara jelas antara normativitas
Islam dan historisitas Islam; dary keempat, penggabungan
unsur-unsur tradisionalisme dan modernisme Islam.
Neo-modernisme ini diperkenalkan di Indonesia oleh
dua murid Fazlur Rahman di Chicago, AS, yaitu: Nurcholish
Madjid danAhmad Syafii Maarif, ketika keduanya kembali
l''
ke tanah air pada awal 1980-an. Menurut Muhammad
Azhar (1996:52), sejak kedatangan Nurcholish Madjid dan
Ahmad Syafii Maarif maka pemikiran neo-Modernisme
Fazlur Rahman ini mulai terasa pengaruhnya dan sangat
"mengusik" kemapanan tatanan berpikir umat Islam Indo-
nesia saat itu. Namun menurut Greg Barton (1999:447),
Fazlur Rahman bukanlah pencetus atau penggagas awal
dari neo-Modemisme di Indonesia. Sebab, jika dilacak akar
historisnya maka dasar-dasar neo-Modemisme Indonesia
ini telah dibangun di akhir tahun 1969.Pada1970, pemba-
ruan pemikiran Islam telah lahir dengan mendapat respon
yang keras dari masyarakat, dan di sekitar akhir 1972,
pertempuran kian mengeras setelah berkembang di arena
publik. Baru pada 1973 ketika pertama kali Fazlur Rahman
berkunjung ke [:rdonesi4 maka Nurcholish Madjid dan bebe-
rapa pemikir muda lainnya, seperti Djohan Effendi dan
Ahmad Wahib, mulai mengetahui fenomena pemikiran
yang dikembangkan intelektual asal Pakistan yang ber-
mukim di Amerika ini.
Kendati pun tak pemah sekalipun mengaku sebagai
pengikut Fazlur Rahman ini, namun menurut Barton,
pengaruh Fazlur Rahman dalam gerakan pemikiran
Nurcholish Madjid cukup jelas, terutama dalam mengan-
tarkannya untuk kembali mempertimbangkan warisan
klasik kesarjanaan Islam ketika melakukan proyek pem-
baruan pemikiran lslam. Rahman lah yang mendorong
Madjid untuk mengambil gelar Ph.D dalam kajian-kajian
keislaman, daripada pilihan pertamanya, tentang ilmu politik.
Rahman juga menyediakan diri untuk menjadi pembim-
bing riset Nurcholish Madjid tentang Ibnu Taymiyah.
I
I
Selain Cak Nur, Ahmad Syafii Maarif adalah nama
lain yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rahman ini.
Bahkan, bagi Barton, Maarif adalah lebih tepat dikatakan
sebagai pengikut Rahman dibanding Nurcholish Madjid
sendiri (7999: 447). Syafli Maarif dalam penilaian Barton
adalah tokoh yang rnemisahkan diri dari indonesia sebagai
seorang 'skeptik' untuk belajar di bawah asuhan Rahman
di Chicago namun kemudian kembali ke Indonesia sebagai
seorang' mu'allaf ' terhadap gaya pemikiran guruny a, F azlur
Rahman. Meskipun demikian, menurut penilaian penulis,
publik Indonesia lebih mengenal Nurcholish Madjid seba-
gai perintis dan pengembang Islam neo-Modernis di Indo-
nesia, ketimbang Syafii Maarif yang kemudian hari iebih
dikenal sebagai salah satu "icorr" pengembang Islam moderat
di bumi rrusantara ini.
Cagasan neo-Modernisme Islam di lndonesia secara
pasti mendapatkan tempat yang memadai di kalangan
intelektual mucla sejak era awai 1980-an hingga akhir 1990-
an, bahkan, hingga memasuki abad ke-21 sekarang ini.
I)ada era ini banvak bermunculan karya fulis vang diluncur-
kar-l inielektual rnuda Indonesia untuk mengapresiasi
gagasan Islam neo-Modernis ini. Taufik AdnanAmal, misal-
nva, meirLncuikan tiga karyanya vang terkait dengan Fazlur
Itahrnan ilan gagasan n-eo-Modernisnya ini, yaitu: (1)buku
bertair-rk Mctttdt, dLtn Aitennti.f I'leo-ntodenisme lslam Fazlur
Rtthtrrntt, yang diterbitkan Penerbrt Mizan pada 7987; (2)
nr.rkalah seminar st,hari berludul "Fazlur Ilahman Tentang
Etika al-Qur cin" \1ano drselenggarakan I-SAF pada 1988;
dair, (i) Lrrrku islnut Jat i1-ttrttutgnn MttdemitLts: Sttdi ntns
Parnikirtut Hrtkutrr t'nzlur Rttl:Limn, yang diterbitkan Penerbit
,. lrhm lnHusif
Salah satu pengembang gagasan Islam Inklusif adalah
A,lwi Shihab, pemegang dua gelar doktor dari Universitas
Ain Syams, Mesir, dan Universitas Temple, AS., terutama
ketika ia meluncurkan buku pada 7997 berjudtr I lsl nn t lnkl u sif
Menuju Sikop Terhuka Dalam Berngamn (Mizan: 7999).
Dalam buku yang dalam waktu 15 bulan sudah naik cetak
lima kali ini, Shihab (7999:3\ mengemukakan bahwa
yang menyebabkan perselisihan yang telah mewujud dalam
sejarah hubungan Muslim-Kristen sejak keciatangannya di
lndonesia pada dasamya terletak pada sejarah panjang saling
tidak percaya dan ketiadaan sikap saling terbuka. Secara
umum, masing-masing memahami dirinya sebagai agama
+ang fnutlak, yang tidak bisa mengakui bahwa agama lain
di samping dirinya mempunyai nilai yang sama. Masing-
masing bersikukuh bahwa agamanyalah yang unik, supe-
rior, normatif, membawa keselamatan, dan sahr-satunya
Syorif Hidovotulloh, M Ag , lM
"'l
wahyu yang sah dari Tuhan.
Terlepas dari sifatuniversal agama Kristen, yang dengan
itu ia mengukuhkanbahwa kebenarannya tidak dimaksud-
kan hanya untuk umat Kristen tetapi untuk semua umat
manusia dan harus dimiliki bersama, seorang misionaris
Kristery atau bahkan seorang Kristen mana pun yang terlibat
dalam pekerjaan misi selalu dipandang oleh kaum Mrrslim
sebagai pembuka luka lama. Bahkan, kendati seseorang
bekerja untuk tidak tujuan membuat orang pindah agama,
namun betul-betul karena ruh kasih sayang dan pelayanan
kepada yang lain punmasih diragukan. Pelayanan orang Kristen
di lingkungan yang non-Kristen dianggap sebagai cara ter-
selubung untuk menjalankan tugas misionaris. Luka yang
ditinggalkan oleh cara penguasa Belanda ini terlalu dalam
untuk dapat disembuhkan, sehingga butuh cara penanganan
yang cermat dan tekun.
Hal yang memperburuk keadaan adalah sikap evangelis
sebagian besar gereja di Indonesia. Sikap mereka ini yang
tumbuh lebih kuat dan bersuara lebih melengking serta
menekankan pentingnya misi supaya orang bisa datang
untuk penyelamatan semakin fenomenal ditunjukkan oleh
membumbungnyaiumlah gereja dan jemaat yang terorganisir
di negeri ini. Fenomena ini sering kali dianggap oleh kompe-
titomya dari aktivis dakwah Muslim sebagai bentuk ke dalam
penetrasi Kristen dalam kehidupan nyata masyarakat Indo-
nesia. Di pihak lain, umat Kristen sendiri sangat tertarik
dengan keinginan kebanyakan Muslim untuk melembaga-
kan syariat pada aspek-aspek tertentu kehidupan masyarakat
seperti hukum perkawinan, warisarl dan mahar. Bagi umat
Kristen, hukum-hukum ini dianggap bisa menjadi simbol
l,,'
meningkablya kesadaran dan pengertianbaru tentang iden-
titas Islam bagi mayoritas Muslim Indonesia. Hal ini juga
dipandang sebagai satu langkah dalam Proses Islamisasi
bangsa L:rdonesia. Karenanya, kalangan Kristiani menjadi
tertarik untuk mempertanyakan apakah sebagai minoritas
di Indonesia akan mendapatkan standar yang sama dalam
keamanary kesejahteraan ekonomi, dan Persamaan sosial
dalam lingkungan politik dan agama.
Pada lingkungan di mana kedua kelompok masyarakat-
nya saling menuduh satu sama lainnya sebagai yang tidak
tolerarL keduanya mengalami tantangan konsep "toleransi
beragama". Karenanya, Shihab (1999: 35) menyarankan
kedua kelompok harus mempunyai kernauan untuk saling
mendengarkan safu sama lain tanpa harus mengorbankan
prinsip-prinsip keagamaan masing-masing. Hal yang penting
lainnya adalah kenyataan bahwa kedua kelompok harus
kritis pada diri sendiri dan lebih sadar dengan tanggung
jawab bersama mengingat kekuatan-kekuatan kafir, sinisme,
ketidakadilan, kemerosotan moral di lingkungan budaya
dan sosial, Shihab berpandangan bahwa hanya dengan
kesediaan kedua belah pihak untuk melepaskan Perasaan
benci historis mereka dan bersama-sama terlibat dalam
menganjurkan nilai-nilai dasar yang sama-sama dipijak oleh
kedua agama tersebut, maka persoalan ini dan problem
lainnya dapat diselesaikan. Shihab juga menyarankan, dari
sudut ideologis, para pemimpin kedua kelompok agama
harus mencari landasan teologis yang valid untuk mendiri-
kan toleransi di atasnya. Sedangkan dari sudut sosial, ke-
duanya harus menentukan agar Para pengikutnya bisa mene-
rapkan keimanannya seraya menumbuhkan toleransi ber-
l"'
keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Kedua,bahwa pluralisme harus dibedakan dengan kosmo-
politanisme, sebab kosmopolitanisme menunjuk kepada
suafu realita di mana aneka ragam agama, ras, danbangsa
hidup berdampingan di suatu lokasi, namun interaksi positif
di antara merek4 khususnya dibidangagama sangatmini-
mal, bahkan tidak ada. Ketiga, bahwa konsep pluralisme
tidak dapat disamakan dengan relativisme, karena paham
relativisme ini berkonsekuensi bahwa doktrin agama aPa
pun harus dinyatakan benar, atau "semua agama adalah
sama". Tentu saja, konsep pluralisme tidak menganjurkan
ke arah pengakuan bahwa "semua agama adalah sama"
tersebu! namun hanya sebatas pengakuan terhadap realitas
agama lain dan umahrya di luar diri mereka . Keempat, bahwa
pluralisme juga bukan sinkretisme, yakni menciptakan
suafu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau
sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadi-
kan bagian integral dari agama baru tersebfi (1999:41'-2)'
"'l
5yorif Hidovotuiloh. [1 Ag . MA
antara umat Islam sendiri. Pada tahap ini para pelaku pem-
baruan pemikiran Islarn tidak lagi peduli dari golongan Islam
mana dan dari latar belakang keislaman apa seseorang ifu
berasal, namun lebih peduli pada makna-makna apa dan
tindakan apa yang dilakukannya untuk manusia. Di masa
depan, fenomena "lintas aliran dan kultural" ini akan semakin
memperoleh peluang besar dalam menjalani tahap-tahap
kristalisasi gerakan dan pembaruan pemikiran Islam di In-
donesia.
Dalam konteks rekonstruksi pemikiran Islam kontem-
porer perlu dipertimbangkan suatu asumsi bahwa apabila
krisis masyarakat membawa pada kritik pemikiran dan
kebudayaan maka krisis kebudayaan ifu sendiri membawa
pada kritik nalar, atau paling tidak membawa pada kritik
terhadap dirinya sendiri, yaitu mengkritisi kaidah-kaidah
nalar dan mekanisme pikiran serta logika pembahasan dan
metode pengabsahan (tahqiq). Interpretasi terhadap teks-
teks agama, baik al-QurErn maupun hadits nabi, bagi wacana
agama merupakan salah safu mekanisme yang penting unfuk
melontarkan konsep-konsep atau pandangan-pandangan
pembaruan pemikiran Islam. lnterpretasi yang sejati adalah
interpretasi yang menghasilkan makna teks dan menuntut
pengungkapan makna melalui analisis atas berbagai level
konteks. Sfudi teks dalam wacana Islam kontemporer dan
masa depan hendaklah diarahkan pada dua hal, yaitu:
pertama, membongkar fenomena pengabaian konteks dalam
wacana agama dan, kedua, mengungkap dampak dari
fenomena tersebut pada wilayah pemikiran dan sosial.
Oleh sebab itu, dekonstruksi terhadap teks-teks ke-
agamaan adalah suatu keniscayaan. Upaya dekontruksi ini
l"'
dapat dilakukan dengan memusatkan perhatian pada dua
topik utama dalam wacana agam4 yakni: pertam4 interpre-
tasi "saintifik" atas teks agama, suafu topik yang berusaha
menyingkapkan betapa konteks budaya diabaikan. Kedua
topik terrtang "otoritarianisme" atau alhakimiyah, yang
menyingkapkan betapa konteks historis dinafikan. Konteks
narasi linguistik dari teks yang menjadi obiek penafsiran
juga dikesampingkan. Padahal, dalam kajian filologi, teks-
teks apa pun termasuk teks-teks keagamaan tidak muncul
dari langitbegitu saja atau dari "ruang hampa" kebudayaan,
|ika totalitas "agama" dan dominasi teks yang meng-
akibatkan konsep tradisi (turats) menjadi sempit dan terbatas
pada tradisi keagamaan, maka mekanisme "produksi teks"
memiliki andil dalam menjadikan tradisi keagamaan sebagai
satu-satunya kerangka otoritas nalar Arab. Proses pemba-
caan teks yang'pada intinya adalah mengurai kode (decod-
ing), bukan semata-mata konteks ekstemal sekunder yang
disandarkan pada teks. Karena ekspresi teks(encodirzg) tidak
akan terealisir kecuali melalui aktivitas pembacaan itu
sendiri.
Dari sinilah maka, menurut Mahmud Adnan, dkk.
(2005; xi), pembicaraan tentang pembaca imajiner men-
dapatkan legitimasinya. Artinya aktivitas pembacaan terealisir
dalam struktur teks sebagai peristiwa atau kejadian. Sebab,
pembaca adalah penutur teks atau pengirim Pesan yang
melanggengkan pembacaan ketika menciptakan atau
menyampaikan pesan seraya beralih dari pesan pengirim
kepada kesan penerima.Apabila demikian konteks pemba-
caan awal dalam struktur teks secara umum maka sesung-
guhnya kehadiran pembaca imajiner tampak lebih jelas
A BUKU
l"'
Jakarta : Paramadir-ra & Pustaka Antara, Yavasa n A tl ika r-ya
Ikapi, dan the Ford Founclation'
Geertz, Clifford, 7962: ALtattgnn, Sntttri, Priyayi dnltrrr
Masyarakat Jnu,tt, lakarta: Pustaka Java.
Ghazali, Abdul Moqsith, 2005, ljtihnd Islant Liltarnl Ul'0,!lt.'
Merttmttsknn Kcltcrngfintaafi ynng Dinnirtis, Jakarta:
Jaringan Islam Liberal.
Gibb, H.A.R., 7992., Aliran Alirnn Modarrt dnltttt lslttn,
]akarta: Rajawali Press.
Hakim, Sudarnoto Abdul, dkk., 1995, Islntrt Btrbngni
Pcrspektif, Yogyakarta: LPMI.
Hidayatullah, Syarif, 2000. lntelektunlisne tlnltun Parspaktii
I'leo-Modunisme, Yogynknrtn : Tiara Wacana Yogva.
Jabali, Fuad dan Arif Subhan,:2007, "Intelektual Muslim
dan Lahirnva Ilumusan Baru Islam Indonesia" clalarn
Rizal sukma dan Clara Joervono, Gernkrtrt E Parnikirnrt
lslam hdottcsin Kotttettporcrt Jakarta: CSIS, hal' 69-70'
Jamhari, 2002, "Islam Di Indonesia" dalam Taufik
Abdullah,
dkk., Errsliktt7tedin Tetnntis Dwin lslnm, Jakarta: PT'
Ikhtiar Van Hoeve, hal 345-375.
Kuntowijoyo, 1991, Pnrntligrntt lslnm Interpretnsi urttrk Aksi,
Bandung: Mizan.
Karim, M. Rusli, 1999, Negnrtt dm Penitrygiran Islntn Politik,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogva.
Mudzhar, M. Atho, 1998, Pcndekntat Stutli lslnrtt, Yogl'a-
karta: Pustaka Pelajar.
Nasution,1995, Islnm rnsitmnl: Gagasnn tlnn Petnikirnn Prtt.f'
Dr. Hnrun Nnsutittrt, Bandung: Mizan.
Nasution, Harun, 7992, Penrhaharunn dnlnrn Islnttr Scinrtlr
Pcnikirm dnn Garttktur, Jakarta: Bulan Bintang'
I
I
Rahmat M. Imdadun, et al., 2003, lslam Pribumi Mendialog-
kan Agama Memhaca lkalitas, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Shihab, Alwi, 7999, lslant lnklusif Menuju Sikap Terbuka
dalam Beragama, Bandung: Mizan.
Steenbrink, Karel A, 1984, Beberapa Aspek Tentang lslanr
di lndonesia Abad ke-L9, |akarta: Bulan Bintang.
Sukma, Rizal dan Clara Joewono (eds.), 2007. Gerakan €t
Pemikiran lslom lndonesia Kontemporer, lakarta: Centre
for Strategic Arld Intemational Studies.
Suminto, Aqib, 7993, "lslam lndonesia Sejnrah", dalam
Abdurrahman, Burhanuddin Daya, dan Djam'anuri,
Agama dar Masyarakat, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press.
Wahid, KH. Abdurrahmary dkk., 1991, Kontrooersi Pemikiran
lslnm di lndonesin, Bandung: Remaja Rosdakarya.
l"'
ind more.oha?id=4594 0 3 70 M1.4,26-lulv-2007.
2007, "lslam, Modernitas, dan Peradaban",
htto:l lwww.cmm.or.idlcmm-ind more.php?id=4540 0 3
30 M1.41..7 J1u]i 2007.
2007, "Islam Moderat dalam Gelombang
-
DemokrasT",
id=4606 0 3 70 ML4. 30 [uli 2007.
- 2007, "Moderatisme, Antara Tradisi dan
Modemitas",
id-4559 0 3 20 M14. 20 Jtrli 2007
2}D7,"Berharap pada Teologi Moderat", http:I
/www.cmm.or.idlcmm-ind more.php?id=4616 0 3 10
M74. Sl Jtrli 2007.
2007,"'Agama, Modernisasi, dan Radikal-
isme" .' httr:l /www.cmm.or.idl cmm-ind more..phn? id=
-
4574_0 3 20 M1.4.24luli 2007.
2007, "Teologi Eksklusif dan Keberagamaan
Radikal"hf to:l lwww.cmm.or.idl cmm-ind more.olto? id=
4502 0 3 1.0 M14, 27 lwli 2007.
, 2007,"Islam Bukan Agama Radikal dan
Liber al" .ht to I I zowto. ctn m. or. i dl cmm - i n d m or e. oho ? i d=
:
0117 I 2 3 I oo in i / isla}4.ht m.
Thoha, Zainal Arifin, "Gus Dur, dari Pribumisasi ke
Sekularisas 1", http I Igr o ult s. go o gle. co.idlsro up I so c. cul tur e.
:
l'"
Wahid, Marzuki, 2000, "Post-Tradisonalisme Islam: Gairah
Baru Pemikiran Islam di Indonesia", Taslnttitul Afkar,
edisi N0. 10 Tahun 2000, Jakarta: LAKPESDAM NU'
l"'
mika teologi Muslim", artikel iurnal llmiah Al-Ghazali, Uni-
versitas Sriwijaya Palembang (1998), "Pengembangan
Pendidikan Islam: Suatu Telaah Epistemologis", artikel
jurnal llmiah al-Jami'ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
(1998), "Diskursus Tafsir al-Quran Modern", buku terje-
mahan, Penerbit Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta (1998),
"Rekonstruksi Pemikiran Islam: Altematif Wacana Baru",
artikel pada buku Marzuki Wahid" dkk (ed,), Pesantren Masa
depan, Penerbit Pustaka Hidayatr, Bandung (1999), Buku
lntelektualisme Islam dalam P er sp ektif N eomo dernisme, Penerbit
Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta (2000), "Landasan Etik
al-Quran bagi Peran Publik Peremptan{' , artikel pada buku,
Waryono Abdul Ghofur dan Muh, Isnanto (ed,), Gender
dan lslam: Teks dan Konteks, penerbit Pustaka Pelajaa Yogya-
karta (2001), "Gender and Religion: An Islamic Perspectif",
artikel pada lurnal llmiah al-Jamiah, Yogyakarta (2002),
"Agamadan Pemberdayaan Masyarakat Sipil Suatu Peng-
abdian dan Penelitian Terapan", artikel pada jurnal Ilmiah
Gerbang lnoaasi, Lembaga Pengabdian UGM, Yogyakarta
(2003), "IJmat Islam dan Konsep Negara-Bangsa Indonesia",
artikel pada jumal ilmiah Pusat studi Pancasila Fakultas
Filsafat Uclvl,Yogyakarta (2003), "Reorientasi Pendidikan
Islam: Problem dan Solusi", artikel pada jurnal llmiah lPl
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (2003)'
"Sains Islam dan Filsafat Ilmu: Suatu Upaya Pengemb angarf ' ,
artikel pad a I urnal llmiah Visi lslam,Yayasan AR-RAHMAH'
Yogyakarta (2003), "Pluralisme Agama", artikel resensi buku
pada I urnal F ilsafat, F alaltas Filsafat UGlvI, Yogyakarta (2003)'
"Pluralisme Agama dalam Pendidikan Islam", l urnal Lektur
STAINCirebon(2004),BukuPendidikanAgamalslam,Buku
l"'
Sejalan dengan bergulirnya Reformas , kita menyaksikan
gencarnya kemunculan berbagai organisasi dan gerakan
pemikiran Islam dengan orientasi ideologis masing-masing. Dari
yang moderat hingga yang paling radikal, mereka semua berebut
mempengaruhi masyarakat muslim. Oleh karenanya, berbagai
aliran dan pemikiran Islam itu bukan saja mendapat rantangan
eksternal, pemerintah atau masyarakat luas misalnya, melainkan
juga internal. Di antara berbagai kelompok dan aliran itu sendiri
terjadi perdebatan, pertenrangan, bahkan friksi karena perbedaan
orientasi ideologi mereka.
-
Kondisi yang demikian itu menuntut masyarakat muslim, u
-!r
terutama kalangan pemimpin dan intelektualnya dalam berbagai --
tataran, untuk dapat melihat kontestasi wacana berikut imbas --
praktisnya dengan perspektif yang luas dan kejernihan pikir.
-
U
Dengan demikian, maraknya berbagai gerakan itu tidak
-
konraproduktif bagi kemaslahatan umat Islam, dan masl,arakar -)ir-
pada umumnya. Buku ini hadir untuk membantu masyarakat
u -
memperoleh perspektif seperti itu. Oleh karena itu, apa yang
--
tersaji di dalamnya benar-benar layak dibaca oleh masyarakat F-
tt
muslim secara umum, bukan saja kalangan eliteny'a seperri para :
t
c0
-t
0 7
!
m
Penerbit Pustaka Pelajar T
Celeban Timur UH lll/548
Yogyakarta 551 67
2
e-mai : pustakapelajar@telkom net v