Anda di halaman 1dari 141

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/332440112

Islam Isme-Isme Aliran dan Paham Islam di Indonesia

Book · September 2014

CITATIONS READS

6 1,223

1 author:

Syarif Hidayatullah
Universitas Gadjah Mada
28 PUBLICATIONS   21 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Journal View project

All content following this page was uploaded by Syarif Hidayatullah on 22 April 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Syarif Hidayatullah, M.Ag., M.A.

,*€

AIiran dan Paham lslam


,,,.n^,^^ di lndonesia
TSLA/VT
.,ISME-ISME,,
Syarif Hidayarultrah, M"Ag", M.A.

..
ISME-ISME,,
Aliran dan Paham lslam
di Indonesia
Itut 'ilrt-trrI:
fft*til E*r Ptt*x;sl,rt El rro0rtsn
Pamutlr : Byarlf Hldayatullah, l,t.Ag., M.A.
kein Corys : l'la{hnryd-la*J
Fenata Al('ila : leadrc Yuniarto
PdncrtklaAkgara : Rh. V{tdada

Cet*kan II, Sqrtember 201it

Penerbit:
Hlsir*r* PfLenn
Celeh*n Timtr uH III/54S hsyi*arta 55f67
T,elp. {0?74} 381542, Fax. {027a} 383083
S-ruait: Srssl*peiaFr@telkorn.net

r5tsfi 978-602-S764-70-4
UGIPIIITTRI]MM$il

lhamdulillah, karena Penulis telah menyelesaikan


naskah buku ini. Buku ini diperuntukkan bagi para
mahasisw4 dosen, peneliti, dan masyarakat peminat kajian
keislaman pada umumnya.
Dalam kesempatan ini saya juga ingin menyampaikan
ungkapan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Pimpinan, dosery karyawary dan mahasiswa Fakultas
Filsafat UGM Yogyakarta.
2. Orang tua dan mertua kami: almarhum Bapak KH.
Drs. Ahmad Zahuri dan Ibu Hj. Siri'ah, almarhum
Bapak Muhammad Thoyyib dan almarhumah Ibu
Casriyah. Sangat spesial kepada istri tercinta, Siti
Rahayu, S.Ag., dan anak-anakku yang hebat dan
pintar; Kak Fikri, Mas Azka, dan De Naufal.
3. Pimpinan dan staf penerbit Pustaka pelajar, yang
bersedia untuk menerbitkan naskah buku ini.

l'
lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di Indonesio
Penulis menvadari, masih terlalu banvak kekurangan
dan kelemahan dalam buku ini, karena itu Penulis me-
moiron maaf 1r;1ng sebesar-besarnya.
Penr-rtis berharap, semoga apa ,vang tlisajikan dalam
buku ini dapat bermanfaat di dunia akhirat dan memenuhi
harapan selnllit pihak, terutama bagi para petrgabdi ilmu
pengetahuan. Selamat memanfaatkan buku ini!
Yogyakarta, hlaret 20 t0
Pcnulis,

Syarif Hidayatuliah

SyorifHidcyotulloh, M Ag., lM
YI
IIITTAR ISI

Ucopon lerimo l(osih .- v


Ddtor Isi.- yli

Bob l. Pendohuluol -- I
Bob 2. Seioroh don Perkembongon lslom di Indonesio .- 13
Bob 3. llircr*o Gedor dm nentdrnnr Miun bLrn .- 27
Bob 4. Alirun don Pohom lslorn di lndonesio .- 17

1.. Islam Tradisional.- 47


2. Pribumisasi Islam .- 50
3. Islam Liberal -- 55
4. Islam Post-Tradisional .- 66
5. Islam Radikal, Islam Fundamentalis, dan Islam
Literul * 72
6. Islam Transformatif .- 90
7. Isiam Modernis, Islam Moderat .- 96
8. Islam Neo-Modernis .- 107

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom 0i lndonesio


Yil
9. Islam Inklusif .- 110
Bob 5. Penulup: toso Depon don lrend Pemikiron Iteishu
di lndonesio l15
-
Doltor hrtol(o .- l2l
Biodrr! Penulis .- 137

Syorif Hidoprulloh, M.fo .,,llA


U!II
PT]IIIAIIUIUA]I

uku ini merupakan kajian sederhana secara deskriptif


tentang studi agama, dalam hal ini Islam, sebagai se-
buah disiplin ilmu akademik. Di antara tujuan ditulisnya
buku ini adalah agar para pembaca, baik mahasiswa mau-
pun peminat disiplin ilmu ini, akan mendapatkan wawasan
awal yang kendatipun belum begitu mendalam namun
cukup memadai untuk merambah ke belantara kajian yang
berupaya menyingkap fenomena aliran dan pemahaman
umat Islam di Indonesia yang pada kenyataan telah terpolari-
sasi berdasarkan kecenderungan dan metodenya masing-
masing.
Dengan tujuan seperti ini maka'dalam buku ini akan
diurai dari titik pijak secara substansial diawali pada bab
kedua dari buku ini dengan pemaparan tentang sejarah
dan perkembangan Islam di lndonesia, agar pembaca dapat
gambaran awal tentangsetting sosial mengenai munculnya
dan berkembangnya Islam di republik ini.

lslom "isme isme", Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


Dengan demikian, pembaca dapat lebih mudah dalam
memahami kajian-kajian pada bab berikutrya. Tentang sejarah
masuknya Islam ke Indonesi4'terdapat beberapa pendapat
yangberkembang. Sebagian atrli sepakatbahwa lslam sudah
masuk ke lndonesia sejak abad pertama Hijriyah atau abad
ke-7 dan ke-8 Masehi langsung dari Arab. Sementara ahli
Iain menyatakan bahwa lslam masuk ke Indonesia baru abad
ke-13 M atau tahun M melalui tanah India dan baru
1200
abad ke-17 mereka berkenalan dengan sumber aslinya di
Mekah.
Di masa penjajahan Belanda, Islam di Indonesia men-
dapatkan tantangan baru dengan hadimya agama Kristiani
yang masuk secara sembunyi dan membonceng kolonial-
isme Belanda. Keduanya memang saling membutuhkan.
Bagi kolonialisme Belanda proyek Kristenisasi ini dipandang
sebagai faktor penting untuk mendukung dan melanggeng-
kan proses penjajahannya di Indonesia. Sebab, penjajah
Belanda melihatbahwa penguasaan dan pengendalian ter-
hadap perkembangan Islam di tengah bangsa Indonesia
adalah sebuah hal yang signifikan mengingat "semua yang
menguntungkan Islam di kawasan ini akan merugikan ke-
kuasaan pemerintahan Belanda di Indonesia.
Setelah kemerdekaan, muncul tantangan baru lain-
nya berupa kesepakatan anak bangsa untuk menjadikan
Pancasila sebagai landasan bernegara dan berbangsa. Kare-
nanya, kelompok Muslim Indonesia harus mampu hidup
berdampingan dengan Pancasila. Namun, terjadi perkem-
bangan yang kurang menguntungkan dihadapi kelompok
Islam karena rezim Orde Baru (Orba) menjalankan politik
"Islam pobhia" dengan proyek-proyek rekayasa unfuk me-

Syorrf ilidovotuiloh, M Ag, iM


nyudutkan masvarakat Islam.
Jadilah Islam terpinggirkan dari wilayah negara sehingga
mengakibatkan munculnya masa-masa genting yang mem-
pertaruhkan kemesraan hulrnngan Islam dan negara.
Situasi yang tidak harmonis ini sangat mempengaruhi
perkembangan Islam pada masa-masa selanjutnya. Seperti
pendulum yang bergerak menuju keseimbangannya, akhir-
nya menjelang akhir 1980-an mulai tampak adanya peru-
bahan kebijakan politik dari rezim Orba dari "Islam pho-
bia" menjadi lebih memilih kebijakan "akomodasi Islam".
Pada bab ketiga dibahas tentang dinamika gerakan
dan pernbaruan pemikiran Islam. Pada masa pemerintahan
Demokrasi Terpimpin di bawah rezim Soekarno mauplrn
era Orde Baru-nya Soeharto, banyak katrangan menganggap
bahwa kedua rezim ini tidak apresiatif terhadap Islam.
Namun, kebijakan otoriter dari pernerintah ini juga bisa
dilihat sebagai hikmah terselubung, karena pengalarnan
politik yang terpinggirkan dapat memberi kearifan baru
di sisi lain. Sebab, ia juga mendorong cendekiawan Islarn
untuk merumuskan berbagai alternatif perjuangan.
Tidakiah mengherankan jika pada masa Orba, Islam
justru menemukan mornenturn untuk lebih banyak ber-
kiprah dalam bidang keagamaan dan kebuc{ayaan, seperti
pengembangan r"r^asyarakat, pendidikan, ataupun pe-
ngembangan kegiatan keagarnaan, walaupun pada saat vang
bersamaan umat Islam secara politik sedang terpinggirkan.
Sebagai bukti, kebangkitan Islam secara budaya ditandai
dengan adanya kecenderungan Muslim kelas menengah
dan atas untuk "rnemperbarui" keirnanan.
Pembaruan ini sangat nampak dari maraknya kajian

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesro


keislaman yang diadakan baik lembaga kajian, lingkungan
perguruan tinggi, lembaga pemerintah, maupun lembaga
swasta. Klimaknya, diwarnai oleh eksistensi cendekiawan
Muslim baik di birokrasi maupun dunia bisnis. Tidaklah
mengejutkan jika kemudian umat Islam menjadi kelom-
pok yang mempunyai kekuatan politis yang sangat besar,
terutama di masa akhir kekuasaan rezim Soeharto.
Perkembangan yang lebih semarak pada tataran ke-
agamaan dan budaya tidak terlepas dari usaha cendekiawan
muda dalam merumuskan teologi keislaman yang sesuai
dengan realitas sosial, politik, dan budaya. Gagasan pem-
baruan pemikiran Islam yang dipelopori kaum muda sedikit-
nya disemangati satu hal mendasar, yakni tidak memadai-
nya respon umat Islam, terutama mereka yang masih terbawa
romantisme partai Islam pada 1950-an, terhadap kebijakan
politik Orba.
Mulai periode tahun 7970-an muncul suara-suara yanpi
menyerukan arti penting 'Pembaruan Pemikiran Islam'.
Gerakan intelektual ini dimotori oleh orang-orang yang
memiliki latar belakang tradisonalis, namun menaruh
perhatian pada gagasan-gagasan modernisme yang berasal
dari Muhammad Abduh dan para pengikutnya. Oleh karena
itu, neo-Modemisme dapat dipandang sebagai perkem-
bangan kemudian dari Modernisme Islam yang bergerak
lebih jauh dengan mengawinkan semangat modernisme
awal, kesarjanaan tradisional dan klasik serta metode-metode
analitik modern (Barat). Istilah neo-Modernis pun mulai
merebak sebagai hasil ret-leksi unhlk menducluktrn gc,rakan
pembaruan ini ke dalam bingkai yang lebih global.
Neo-Modemisme mulai dihembuskan sekitar akhir

Syrrif Hidoyoiulloh, t\l Ag., liA


1.960-an/awal 1970-an oleh tokoh-tokoh yang secara geo-
grafis agak berjauhan. Di Jakarta, Nurcholish Madjid, yang
akrab dipanggil Cak Nur, tampil dengan seruan pembarlran
Islam sebagai sebuah agenda yang mendesak. Sebuah
gebrakan yang pada akhimya membuat Cak Nur dipandang
sebagai tokoh yang berbahaya oleh para pemimpin eks-
Masyumi.
Sementara di Yogyakarta, Djohan Effendi dan Ahmad
Wahib berusaha membongkar wacana lslam dengan meng-
upayakan sebuah pencarian rasional yang kontinyu serta
tidak terikat pada batasan-batasan tabu dan kebiasaan
dogmatik. Di luar ketiga tokoh ini, terdapat Abdurrahman
Wahid yang ketika pada akhir 1960-an sedang berada di
luar negeri. Namun, pada akhir 7970-an mulai menjadi
pilar penting dari lingkaran'Pembaruan Pemikiran Islam'
di |akarta.
Awal1970-an merupakan periode yang penting bagi
perkembangan Islam di Indonesia setelah Cak Nur me-
lontarkan gagasan yang kemudian memicu kontroversi di
kalangan umat lslam di saat-saat mereka menyongsong
diadakannya Pemilu pertama di era Orde Baru. Di sini Cak
Nur, menggarisbawahi perlunya pembaruan pemikiran
dalam Islam, dengan terpusat pada dua inti gagasarL yaitu,
pertama, gagasar:r sekularisasi dan, kedua, penolakan terhadap
dijadikannya Islam sebagai ideologi politik dengan pemya-
taannya yang silngat terkenal "Islam Yes, Partai Islam No".
Gagasan Cak Nur ini bergulir cepat karena mendapatkan
respon yang baik, setidaknya, di dua kota penting: Jakarta
dan Yogyakarta.
Setelah Cak Nur, KH. Abdurrahman Wahid adalah

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


tokoh lainnya yang bisa dipandang paling berperan dalam
pembaruan gerakan dan pemikiran Islam di Indonesia.
Gus Dur, demikian sapaan akrab sang kyai "nyeleneh" dari
Jombang Jawa Timur ini, terkenal dengan gagasannya
tentang perlunya "pribumisasi lslam" sebagai bentuk atau
cara memahami dan menjalankan ajaran Islam agar Islam
dapat sesuai dan berkomunikasi dengan proses modern-
isasi di Indonesia.
Gus Dur adalah salah satu dari sedikit warga NU yang
ikut terlibat secara langsung dalam menarik gerbong pem-
baruan teologi di Indonesia karena wacana tentang pem-
baruanteologi ini pada awah:rya diidominasi oleh kelompok
modernis seperti PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI
(Himpunan Mahasiswa Isiam). Selain gagasan "pribumi-
sasi Islam", tokoh yang seringkali kontroversial ini juga me-
nyuarakan pandangan bah"vva islam adalah komplementer
bagi kehidupan sosial, budaya, dan politik masyarakat
Indonesia.
Pergesekan yang berlangsung lama antara kalangan
Tradisionalis dan Modernis, baik dalam tataran teologi
maupun praksis politik, telah menjadi salah satu latar sosial
dari munculnya sebuah kesadaran baru yang menggr.rlir-
kan 'Pembaruan Pemikiran Islam'. Pergesekan tersebut
sebenamya sempat mereda pada masa penjajahan Jepang.
Namun setelah kemerdekaan, pertarungan di antara kedua
kelompok ini kembali terjadi dan mengakibatkan keluar-
nya kalangan Tradisionalis dari Masyumi, sebagai sayap
modernis saat itu.
Bab keempat mendeskripsikan secara tematik tentang
aliran dan paham Islam sejak awal tumbuhnya hingga ber-

Syori{ llidoyotulloh, A1 Ag , [\A


kembangnya gerakan pemikiran Islam di Indonesia. Di antara-
nya, akan dibahas tentang aliran Islam Tradisional, Islam
Pribumi, Islam Liberal, Islam post-Tradisionalis, Islam
Radikal/Islam Fundamentalis/Islam Literal, Islam Trans_
formatif, Islam Modemis/Islam Moderat, Islam neo-Mo-
dernis dan Islam Inklusif.
Tentang Islam Tradisionaf terjadi karena pola pikir
tradisionalisme dalam Islam di Indonesia dilatarbelakangi
oleh kondisi umum masyarakat yang ketika Islam masuk
adalah masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, sehing-
ga tidak memungkinkan Islam untuk berkembang secara
lebih rasional dan modern. Benteng utama pendukung
tradisionalisme ini adalah, dengan mengecualikan bebe_
rapa kyai modernis di dalamnya, kelompok kyai NU yang
mendirikan pesantren sebagai basis penyebaran paham_
paham keagamaan yang dianutnya.
Sementara Islam Pribumi atau ,,pribumisasi Islam ada_
lah gagasan yang orisinal dari Gus Dur. Gus Dur melontar_
kan gagasan ini dengan maksud untuk mencairkan pola dan
karakter Islam sebagai suatu yang nornatif dan praktik kea-
gamaan menjadi sesuatu yangkontekstual. Dalam gagasan
ini tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang
berasal dari ruhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan
yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya
masing-masing.
Islam Liberal, akhir-akhir ini banyak dipropagandakan
oleh para pendukungnya, terutama, aktivis dan intelektual
mtrda Muslim yang bergabung dalam
Jaringan Islam Li_
beral (JIL), sebuah lembaga independen yang digagas oleh
uli I Abshar-Abdalla Luthfi e as-syaukani, dan kawan-kawan.

lstcnr "isme-iylc": Alirnn don Pohonr lslonr Di lndonesio

t'
]aringan Islam Liberal dan propaganda gagasan "Islam
Liberal"nya sangat mengundang perhatian dari masyarakat,
baik yang pro mauPun yang kontra. Gagasan ini sangat kon-
troversial, karena ada kesan yang tertanam dalam sebagian
orang bahwa istilah "liberal" dalam Islam Liberal mem-
pr.rnyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetara-
kan dengan sikap permisif, ibahiyah, atau sikap yang meno-
lerir setiap hal tanpa batas yang pasti.
Dengan cara pandang sePerti itu maka Islam Liberal
dipandang banyak kalangan sebagai ancaman terhadap
keberagamaan yang sudah terlenrbaga. Padahal, Islam Liberal
yang diperjuangkan oleh JIL adalah dimensi kebebasan
dalam Istam yang jangkamya adalah " rriat" atau dorongan-
dorongan emotif-subjektil dalam manusia sendiri' Karenanya,
kata liberal dalam "Islam Liberal" semestinya dipahami
dalam kerangka semacam itu sehingga tidak ada sangkut
pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap per-
misif yang melawan kecenderungan "instrinsik" dalam akal
manusia ifu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi
kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada
fokus penghayatan keagarnaan, maka kita telah memulihkan
integritas wahyu dan Islam itu sendiri.
Islam post-Tradisionalis, adalah gerakan pemikiran
yang bersemangat mengusung pemikiran liberal, men-
dobrak ortodoksl membebaskan diri dari keterkungkungan
teks keagamaan, dan menerima sekularisasi' Yang membeda-
kannya dari Islam Liberal adalah bahwa post-Tradisio-
nalisme menimba kearifan itu dari proses kritis (dekonstruksi)
terhadap tradisi (turats) Islam zaman Nabi Muhammad
hingga dinasti Andalusia. wacana post-Tradisionalisme lebih

Syorif tlidoyotulloh, M Ag., ruA


banyak dipromosikan orang-orang muda NU. post-Tradisio-
nalisme dapat dipahami sebagai suatu gerakan ,,lompat
tradisi", karena ia berangkat dari suatu tradisi yang secara
terus-menerus berusaha memperbarui tradisi tersebut
dengan cara mendialogkan dengan modernitas. Inilah yang
membedakannya dengan gagasan "pribumisasi Islam,,-nya
Gus Dur, yang justru mendialogkan Islam dengan tradisi
lokal yang orisinal dankurangtertarik untuk mendialogkan
dengan modemitas. Karena intensifnya berdialog dengan
kenyataan modemitas, maka terjadilah "loncatan tradisi,,
yang dilakukan post-Tradisionalisme dalam kerangka
pembcntukan tra disi b aru (neut tr a ditions) yang sama sekali
berbeda dengan tradisi sebelumnya. Di satu sisi memang ter-
dapat kontinuitas namun dalam banyak bidang lain terdapat
diskontinuitas dari bangunan tradisi lamanya. Secara umum,
bersamaan dengan pengembangan pemikiran, dalam post-
Tradisionalisme terjadi juga nuansa,,liberasi pemikiran,,.
Islam Radikal, sering disebut Islam Fundamentalis atau
Islam Literal, beberapa tahun belakangan gencar menyua-
rakan isu "Khilafah Islamiyah". Fenomena radikalisme
agama semacam yang disuarakan gerakan ini bisa dilihat
berakar dari benturan antara modernitas dan nilai-nilai
agama. Kecenderungan itu dapat dinilai sebagai radikalisme
karena mereka berupaya mengganti tatanan negara yang
sudah ada dengan konsep yang lain, yakni Islam. Label Islam
Fundamentalis muncul sebagai manifestasi awal atas gerak-
an sosial ntnssif yangmengartikulasikan agama dan aspirasi
peradaban dan mempertanyakan isu-isu di seputar moralitas
teknologi, distribusi ala kapitalis, Iegitimasi non-negara, dan
paradigma non-negara bangsa.

ldonr "isme-isnre": Aiiron don Pohom ldom [)i lndoneyo

t'
Islam Transformatif adalah gerakan pemikiran Islam
yang dipopulerkan dan dikembangkan oleh Moeslim
Abdurrahman dan beberapa tokoh lainnva, seperti Kunto-
wijoyo, M. Dawam Rahardjo, dan Adi Sasono. Dalam
konteks aksi transformasi sosial, keterlibatan M" Dawam
Rahardjo danAdi Sasot-to adalah sangat penting, terutama
dalam perumusan Islam Transformatif ini. Sedangkan di
level wacana, Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijovo,
adalah dua tokoh yang paling menonjol. Moeslim Abdur-
rahman melontarkan Sagasan "Teologi Tratrsformatif " dan
sedangkan Kuntowijoyo memPerkenalkan konsep "Ilmu
Sosial Profetik", sebagai perbaikan istilah yang diluncurkan
Moeslirn. Kedua tokoh ini, melalui gagasan transf ornr a tif n va,
menginginkan adanya "penafsiran terhadap reaiitas sosiai
dan kernasyarakatan dalam perspektif ketuhanan". l"4ereka
menekankan penggunaan nilai al-Quran untuk menielaskan
permasalahan empiris masyarakat sel-ringga niiai a-gama dapat
mendorong percepatan transformasi mcnuju cita-cita ke-
nabian dan ketuhanan.
Islam Nlodernis aiau Islam Moderai muncui di Indo-
nesia seiring dengan munculnva gelornbang pembaruan
pemikiran Islam di Timur Tengah pada awal abad ke-19
Masehi" Organisasi yang paling menjadi icoir bagi gerakan
pemikiran lslan-r ini adalah Muhammaciiyah, vang meruPa-
kan salair saf"r dari ormas Islarn yang menerima dan rnengern-
i:angkan ide-ide pembaruan tersebut. Gerakan pembaruar-i
pemikiran ini berangkat ciari bagai.man.l mernposisikar.
ciiri dalarn meresPons probiern modernitas.
Sedangkan neo-N4odernisme adalah sebuah serakan
pemikiran Isiam urogresif yanEl muncul riari mociernismc'

Syrrii iiidoycblloh, [i Ag , t!14


l0
Islam namun mencakup juga aspek-aspek tradisionalisme
Islam. Karenany4 gerakan ini memiliki empat ciri pokok,
yaitu: pertama, penafsiran al-Qur'an yang sistematis dan
komprehen sif; kedua, pengguna;m metode heremeutika dan
kritik historis; ketiga, melakukan pembedaan secara jelas
antara normativitas Islam dan historisitas Islam; dan,
keempnt, penggabungan unsur-unsur tradisionalisme dan
modernisme Islam.
Neo-modernisme ini diperkenalkan di Indonesia oleh
dua murid Fazlur Rahman di Chicago University, Amerika
Serikat yaitu: Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafii Maarif,
ketika keduanya kembali ke tanah air pada awal 1980-an.
Sejak kedatangan keduanya, pemikiran neo-Modemisme
yang diperkenalkan pertama kali secara sistematis oleh
Fazlur Rahman ini mulai terasa pengaruhnya dan sangat
"mengusik" kemapanan tatanan berpikir unnat Islam [rdo-
nesia saat ifu
Yang terakhir dikupas dalam bab ini adalah gerakan
Islam Inklusif. Salah satu pengembang gagasanlslam trnklusif
adalahAlwi Shihab, di mana ia mengemukakan bahwa yang
menyebabkan perselisihan yang telah mewujud dalam
sejarah hubungan Muslim-Kristen sejak kedatangannya
di Indonesia pada dasarnya terletak pada sejarah panjang
saling tidak percaya dan ketiadaan sikap sating terbuka,
Shihab menyarankan, agar ada kesiapan unfuk membuka
ruang dialog. Sebab, dialog ini akan memperkaya wawasan
kedua pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan
yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu
masyarakat.
Pada bab penutup, dijelaskan tentang masa d*pan dan

islom'isrrre-irfle": Aliron don Pchom lslom [ti lndonesio

l"
trend pemikiran keislaman di Indonesia. Dalam konteks
ini intelektual Muslim kontemporer dituntut harus merumus-
kan kembali kajian-kajian keislaman yang dikembangkan,
agar adaptif terhadap modernitas dengan bersifat toleran
dan siap memasuki sebuah budaya global yang multikul-
tural, namun tanpa harus tercerabut dari normativitas kewah-
yuarmya. Dengan demikian, gerakan pembaruan pemikiran
lslam di Indonesia sangat mungkin memunculkan para
pelaku yang memiliki kesadaran lintas kultural. Pola-pola
semacam ini, dapat dipandang sebagai fenomena berkem-
bangnya pr:rcses "integrasi kulturall' di antara umat Islam sendiri'
Di masa depary fenomena "lintas aliran dan kulfural" ini
akan semakin memperoleh peluang besar dalam menjalani
tahap-tahap kristalisasi gerakan dan pembaruan pemikiran
Islam di Indonesia.

Syori{ Hidoyotulloh, M Ag , MA
t2
sfflnlH Bfft
PEMIfiilB[lIG[lI ISI.IM
DI ITDII]IESIA

erdapat beberapa pendapat yang berkembang tentang


sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Sebagai misal,
dalarn seminar beriema sejarah masuknya Islam di indo-
nesia yang diselenggarakan di Medan pada 797 6 dandi Aceh
pada 1980 para sejarawan Muslim menyepakati bahwa Islam
sudah masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau
pada abad ke-7 dan ke-8 h,fasehi langsung dari Arab. Iren-
lain yang L'rerkembang ciari F'rara orientaiis tsarat, C.
clap;,.t
Snouck Fiorgronje mi.qalnva, menyatakan bahwa Islam
masuk ke Indone,ija barr,r pada abad ke-i3 M atau tahun
1200 1\4 melalui tanah India dan baru sejak abad ke-17
m.ereka berkenalan dengan sumber aslinya di Mekah. Teori
Barat ini berdasarkan ada masa berdirinya suafu kerajaan se-
bagai titik tolak masutro-rya Islam di L:rdonesia. Pada umumnya
mereka mengajukan bukti penemuan batu nisan al-Malik
al-Saleh, raja Mtrslin-r pertama, di Pasai, Aceh (Suminto,
1993: 313).

lslorn "isme isrne": Aliron don Pohorn lsiorn Di lndonesio


r3
lslam awal yang berkembang di lndonesia ini bersifat
sinkretis. Ada dua faktor yang mempengaruhi corak sin-
kretisme ini, yakni: pertama, sebelum kedatangan Islam,
masyarakat nusantara telah dipengaruhi secara dominan oleh
agama Hindu, agama Budha dan kepercayaan animisme
dan dinamisme, yang terlebih dahulu berkembang. Kedun,
Islam yang masuk melalui jalur India, sebagai wilayah asal
agama Hindu yang kental dengan tradisi animistik dan dina-
mistik, juga sangat membuka peluang tumbuh suburnya
Islam sinkretis ini. Proses purifikasi atau pemumian kembali
ajaran Islam orisinal terjadi seiring dengan makin b anyakny a
dan mudahnya orang Indonesia yang pergi Hafi ke Mekah
(Suminto, 7993:314).
Di masa penjajahan Belanda Istam di Indonesia menda-
patkan tantangan baru dengan hadirnya agama Kristiani
yang masuk melalui proyek Kristenisasi secara sembunyi
sebagai faktor penting untuk mendukung proses penjajahan
Belanda di [rdonesia. Sebab penjajah Belanda melihat bahwa
penguasaan dan pengendalian terhadap perkembangan Islam
di tengah bangsa lndonesia adalah sebuah hal yang signifi-
kan mengingat "semua yang menguntungkan Islam di ka-
wasan ini" akan merugikan kekuasaan pemerintahan Belanda
di Indonesia.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada 77
Agustus 1,945 kemudian muncul tantangan baru lainnya,
yakni, kesepakatan anak bangsa untuk menjadikan Panca-
sila sebagai landasanbemegara dan berbangsa. Dengan demi-
kian, Islam di hrdonesia mau tidak mau harus mamPu hidup
berdampingan dengan Pancasila yang pada sila pertama-
nya berisi tentang pengakuan atas Ketuhanan yang Maha

Syorif tlidoyotulloh, M.Ag., /tM


Esa. Silainilah yang menjadi pengikat dan pemersatu umat
Islam dengan umat agama-agama lain di lndonesia.
Pada tahun 1965 terladi perkembanganbaru yang seka-
ligus menjadi tantangan baru lainnya yang dihadapi Islam
di Indonesia berupa terjadinya peristiwa pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberontakan ini berhasil
ditumpas atas kerja sama bahu-membahu antara ABRI (kini
TNI) yang berada di belakang Rezim Orde Baru (Orba) dengan
segenap kekuatan umat Islam Indonesia. Namury setelah
kedatangan Dr. Stenly Spectoq, terjadi kerenggangan hubung-
an mesra yang telah terbangun antara umat Islam dengan
rezirn Orde Baru, antara Islam dan negara. Penyebabnya ada-
lah rezim Orba sangat terpengaruh oleh pernyataan sang
doktor dari Amerika Serikat ini bahwa setelah berhasil
menumpas komunisme atau PKI ini maka Islam harus di-
singkirkan dari wilayah negara karena akan menjadi peng-
halang bagi pembangunan.
Pendapat ini tampaknya banyak didengar dan dianut
oleh pimpinan rezim Orba yang kemudian meresponsnya
dengan melakukan proyek-proyek rekayasa untuk menyu-
dutkan masyarakat Islam. Contohnya, proyek Komando
Jihad, yang berhasil menjaring tokoh dan umat tslam untuk
dipenjarakan (Suminto, 193: 31L16). Jadilah Islam dipinggir-
kan dari wilayah negara sehingga mengakibatkan munculnya
masa-masa genting yang mempertaruhkan kemesraan
hubungan Islam dan negara. Situasi yang tidak harmonis
ini sangatmempengaruhi perkembangan Islam pada masa-
masa selanjubrya.
Proses peminggiran Islam dari konstalasi negar4 hingga
perubahan kebijakan akomodasi terhadap Islam, di Indone-

lslonr "isme-isme": AIiron don Pohom lslom Di lndonesio


t5
disusun
sia digambarkansecara gamblang dalam skemayang
oleh almarhum M. Rusli Karim (1999:32) di bawah ini:

Skema Corak Hubungan Agama (Islam) dan


Negara di Indonesia

DASAR PETBANGUNAI{

+Pelaksana: Non-kelompok lslam santd


+ Orientasi : Pedumbuhan ekonomi dan slabilitas politik
+ Kebiiakan:
A Kebijakan Politik: Birokratisasi, Militerisasi,
Jawaniisasi/Nativisasi, Deparpolbasi, DeiJmlogisasi
B. Kebijakan Non+olitik: Keluarga Berencana, Lokalisasi
WTS, Perjudian, SOSB, Mhas, dan Pelaranganjilbab.

FAKTOR PENYEBAB
LAIN:
- Sejarah masa lalu
/tt*,,,^,,.*,)
- Oomlnasi ABRI \
'abang an'
- Cristhian ruling eliie -'o'tPol.'i _/
- Tekanan dari Barat
- Anggapan yang salah
lentang agama RESPONSI ISLAI:
- Ketidaksediaan umat - ReakS Positif
lslam - Reaksi Negatif

I-------'
I AKOMODA! tslAi, i

Keterangan:

tl-- : Era setelah 1980-an

diadopsi dari M. Rusli Karim , 7999, Negara dan Peminggirnn lslsm


Politik,\ogyakarta: Tiara Wacana Yogya, hal. 32.

Menurut Karim, keberadaan lslam di Lrdonesia telah


mempunyai sejarah yang panjang sehingga memberi
peluang bagi munculnya banyak tafsiran yang berbeda-
beda. Demikian pula dalam proses pengislaman penduduk

t6 Syorif Hidoyotulloh, M Ag , MA
Indonesia juga mempunyai corak yang beragam. M.C.
Ricklefs (1999:33), misalnya, membagi Islamisasi di In-
donesia ke dalam tiga tahap: tahap konversi agama (abad
ke-14 hingga ke-18); tahap pembedaan penganut yang
"komited" dan yang tidak "komited,, (abad ke-19); dan,
tahap pemurnian orang Islam (abad ke-20). Sementara
A.H. Johns (1999:34 ) melihat dalam perspektif yang lebih
luas untuk memberikan gambaran yang cukup jelas tentang
jawaban umat Islam terhadap proses Islamisasi, yakni
melalui: kesetiaan pada ajaran fundamentalis, perluasan
"teosofi" sinkritisme, penyerapan unsur-unsur Islam ke dalam
agama yang telah ada sejak dahulu, ,,ekleteisisme,, intelek_
fual, dan campuran dari semuanya ini.
Dengan mengutip Landon, Karim menyimpulkan
keislaman orang Indonesia bersifat khas jika dibandingkan
dengan masyarakat Muslim manapun di dunia ini, karena
keislaman mereka tidak mempengaruhi atau mengubah
praktik kehidupan sehari-hari. Bahkary wama lokal justru
sangat menentukan corak keislaman masyarakatnya se_
hingga akan dijumpai ada kawasan yang sangat dipenga_
ruhi ajaran sufistik, sementara yang lainnya tidak.
]adi, Islam
bagi masyarakat Muslim Indonesia bukanlah identitas yang
homogen.
Penelitian Karel A Steenbrink (19g4: 15-26) sangat meng_
gambarkan heterogenitas dan kekuatan wama lokal yang
mempenganrhi identitas Muslim hrdonesia pada abad ke-19.
Beberapa peristiwa penting dipaparkan steenbrink dalam
penelitiannya ini, mulai peristiwa perang yang dilakukan
Pangeran Diponegoro d ijawa,perang padri di Minangkabau,
sumatera-yang dilakukan oleh ruanku Nan Rencetu Tuanku

lslom "isme-isme", Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


t7
Nan Tuo, dan Tuanku Imam Boniol,Iihad di Cilegon (9-30
]uli 1888), hingga |ihad di Aceh (1873 dan seterusnya).
Beberapa peran ulama lokal pada abad ini juga diungkap
oleh Steenbrink, seperti Syeikh Mohammad Arsyad al-
Baniari (7710-1812), Haji Ahmad Rifangi dari Kalisalak,
Batang, ]awa Tengah (1786-1875), Syekh Nawawi al-Bantani,
Banteru dan SyekhAhmad Khatib Minangkabau (1850-1915).
Steenbrink juga memaparkan tentang perkembangan
kehidupan keagamaan pada masa itu, seperti pertumbuh-
an lembaga-Iembaga pendidikan pesantren di Jawa dan
Sumatera; perkembangan tarekat sufi, misalnya, Tarekat
Alawiyatr, Tarekat Syatariyah, Tarekat Naqsabandiyah,
Tarekat Akmaliyah Kyai Nurhakim, Serat Centini, Serat
Cibolek, Serat Darmogandul dan Babad Kediri, dan Suluk
Gatoloco. HaI yang terakhir dibahas dalam penelitiannya
ini adalah tentang kebiiakan pemerintah Hindia Belanda
pada kurun abad ke-19 ini. Kebijakan-kebijakan tersebut
meliputi tentang: Pengaditan agam4 hakim agama dan
penghulu mesjid, masalah hajl dan perkara surat Wasiat'
Apa yang dtemukan dalam penelitian Clifford Geertz
(1962t 6-9 ) di Mojokerto, fawa Timur, selama enam tahun
yang telah mengklasifikasikan umat Islam ke dalam tiga
varian: Abangan, santri, dan priyayi, merupakan juga contoh
yang baik untuk menggambarkan heterogenitas identitas
masyarakat Muslim di Lrdonesia, setelah memasuki abad
ke,20. Abangan,menurutnya, mewakili suatu titikberat pada
aspek animistis dari sinkritisme |awa yang meliputi semua-
nya dan secara luas dihubungkan dengan elemen santri'
Hangkan santri,mewakili suafu titikberatpada aspek Islam
dari sinkritisme itu dan pada umumnya dihubungkan dengan

Syorif Hidoyotulloh, M.Ag., llll


elemen dagang (dan kepada elemen tertentu di kalangan
petani juga). Sementara priyayi dihubungkan dengan
elemen birokratik dan menekankan titik berat pada aspek-
aspek Hindu.
Di awal abad ke-20ilprla menurutM.Atho Mudzhar
(Karim, 7999: 41), kita menyaksikan Islam menjadi sebab
bangkitnya solidaritas nasionalisme Indonesia ditandai
dengan berdirinya Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911,
sebagai suatu unsur yang mempersatukan kebangkitan
nasional. Namun pada era demokrasi terpimpin di bawah
kepimimpinan rezirn Orde Lama, Presiden Soekarno,
kedudukan kelompok Islam nasionalis beranjak melemah
seiring dengan semakin dominannya pengaruh pKI dan
meluasnya proyek "sekularisasi" pendidikan di hrdonesia.
Ketika Orde Lama ini tumbang dan berganti dengan ke-
kuasaan rezim Orde Baru, di bawah pimpinan presiden
Soeharto, Islam mengalami perkembangan yang dinamis
dan transformatif, sebagaimana yang dapat dicermati dari
skema M. Rusli Karim di atas.
Menurut Karim (7999:42),Orde Baru bukan saja baru
dalam orientasi dan perancangan pembangunanny4 namun
juga baru dalam hal orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Yang memerankan perantul penting dalam rezim Orba ini
adalah kalangan ABRI dan kelompok Abangan. Selain
pengaruh Dr. Stenly Spector di atas, hal ini dikarenakan
orientasi pembangunan pada Orde Baru diarahkan untuk
membangun ekonomi dan menciptakan stabilitas politik.
Untuk memperkuat kedudukanny4 Soeharto juga mela_
kukan proses 'Javanisasi", yaifu dominasi elite oleh kelompok
Jawa berpaham "abangan". Soeharto sendiri pada awalnya ,.

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


adaLah penganut setia aliran kepercayaan. Sebab itu, para
mmteri yang ingin dipandang loyal kepada Soeharto mestilah
menyesuaikan diri dengan menjadi pendukung setia aliran
kepercayaan tersebut.
Dominannya perpaduan unsur Jawa-Abangan ini ter-
indikasikan dengan munculnya tokoh-tokoh yang paling
dominan di sekitar Soeharto, atau yang olehJenkins disebut
"inner circle", seperti Ali MoertoPo, Yoga Sugama, Sudomo,
dan Berury Murdani, yang ditambah dengan Amir Machmud
dari kalangan pragmatik.
Sementara dari "outer circle" muncul nama-nama,
seperti: Panggabean, Widodo, M. Jusuf, Sutopo fuwono,
dan Darjatmo. Dalam rangka Perencanaan pembangunan
ekonomi dan stabilitas Politik, Soeharto juga merekrut
para ekonom dan teknokrat, yang kebanyakan dari kaum
sosialis. Dengan demikian, di masa awal rezimnya ini,
Soeharto dikelilingi oleh kelompok-kelompok " anti Islam",
yakni terdiri dari: tentara abangan, nasionalis, ekonom dan
teknokrat sosialis, dan Katolik. Kuatnya dominasi kelom-
pok "anti Islam" ini menyebabkan tersingkirnya Alamsjah
Ratuperwiranegara dari kabinet Soeharto, yang kemudian
di'dubes'kan oleh Soeharto ke negara Belanda (Karim, 1999: M)'
Sedikitnya tokoh Islam yang terlibat dalam fase awal
Orba ini, menurut Karim (1999:45), disebabkan dua faktor,
yaitu: putama, oleh karena pimpinan tertingginya sendiri
memang bukan dari kalangan santri, dan, kedua, keterba-
tasan jumlah sumber daya manusia dari kalangan santri
yang layak untuk ditantik sebagai tokoh yang dapat diseja-
jarkan dengan tokoh-tokoh kelompok sosialis, nasionalis,
dan Kristiani.

Syorifllidovotullch, M Ag, itM


Selain kedua problem internal tersebut, kelompok
Islarn fuga dihadapkan pada tarrtangan eksternal dengan
ber-upa serangail dari tokoh-tokoh nasionalis yang anti Islan-r.
Hadisubeno misalnl,a, seorang tokoh vang sangat gencar
rlelontar gagasan bahwa kelompok santri adalah musuh
P.mcasila. Virus "lslam phobia" ini merasnk juga di tubuh militer
Indonesia. Sebuah seminar Angkatan Darat di Bandung
pada 1966 akhirnya menyimpulkan bahwa Islarn dan umat
lslam adalah ancaman terhadap Pancasila.
Tantangan eksternal iainnva adalah peminggiran Islam
L)olitik oleh rezim Orba dengan dua kebijakan "depar-
polis;tsi", yakni: Ttertnnttt, menduknng Golkar (Colongan
Karya) sebagai mitra kerja sama satu-safunya dan sekaligus
sebagai partai pemerintah. Kedun, melakukan "monopoli-
tisasi" ideologi, baikbagi partai politik maupun h;igi organisasi
kemasvarakatan (ormas) sesuai lima trndan6-undang cli
bidang poiitik, yar-rg melegitirnasi rezim rri:':r rk membubar-
kan partai atalr ormas vang tidak men'raiul'rinya, yakni
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunvil ;1zits organisasi-
nya atau yang sering dikenal dengan kebijakan "azas funggal".
Dampaknya, ada sejrrmlah partai poiitik dan ormas Islam
i,anB dibubarkan. Secara non-politik, Islam dan umat Islam
juga mengalami peminggiran oleh rezim Orba ini, misalnya,
melalui kebijakan program Keluarga Berencana, mem-
bangun lokalisasi perjudian dan prostitusi, clan pelarangan
jilbab di sekolah (Karim, 7999: 46-8\.
Menjelang akhir 1980-an mulai tampak adanva penr-
bahan kebijakan poiitik dari rezim Orba dari "Islam pirotria"
menjadi lebih membuka kebijakan "akomodasi Islam".
Pembentukan Kabinet Pembangunan Lima (KP ft; inenun-

isiom "isine-isme": Aliron rion Pchom lslom 0i lndonesio 2l


jukkan perubahan ini secara menonjol. Salah satu peristiwa
yang mendahului pembentukan KP V ini adalah pember-
hentian Jenderal Berury Moerdani, tokoh kelompok militer
Kristiani, dari kursi Panglima ABRI dan digantikan oleh
Jenderal Try Sutrisno, tokoh militer dari kalangan Muslim,
yang pada masa selanjutnya dituniuk oleh Soeharto men-
jadi Wakil Presiden RI.
fucara perlatran kelompok "Islam phobia" ini justru se-
makin tersingkir seiring dengan semakin menguatnya ke-
lompok santri di tubuh Kabinet Pembangunan Kelima ini.
Pergeseran ini akhirnya terjadi juga di dalam tubuh Golkar,
sebagai partai pemerintah, dengan muncul nama-nama
dari kalangan santri pada fase 1983-1988, seperti Akbar
Tar,jur,g, Mohammad Tarmudji, Ibrahim Hasan, AnangAde-
nansi, dan Qodratullah. Perubahan yang paling menonjol
adalah ketika pada fase 1993-7998 ada campur tangan yang
dilakukan oleh Prof. Habibie, orang yang terdekat di ling-
karan Soeharto saat ifu, dalam penyusunan pengurus Golkar,
di mana'dari 45 pengurusnya hanya empat orang saja yang
berasal dari kalangan Kristiani (Karim, 7999:227-9).
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya
kebijakan akomodasi Islam ini. Menurut Karim, secara eks-
ternal dapat ditemukan dua faktor yang mempengaruhi-
nya setelah dipicu oleh situasi kehancuran blok sosialis/
komunis di Eropa Timur pada '1,989, yaitu: pertama,
menguatnya arus tuntutan demokratisasi dari kalangan
umat Islam, sehingga tidak memungkinkan lagi melanggeng-
kan politik "penindasan" terhadap kelompok mayoritas
yang dilakukan oleh kelompok minoritas yang selama ini
menguasai arena kekuasaan "lslam phobia". Kedua,negara-

Syorif Hidoyotulloh, M.Ag , MA


negara "donor" vang selama ini banvak membantu per,r-
biavaan pembangunan di Indonesia mengalihkan kekatraan
mereka kepada negara-negara Eropa Timur, yang baru saja
merirrtis demokratisasi setelah kejatr.rhar, rezirn sosialis-
konttrnis di negaranva masing-masing. Demi kelangsungan
pembangrrnan perekonomiannya akhirnya rezim Soehartcr
"terpaksa" merangkui Timur Tengah sebagai altematif
snrnber pinjaman keuangan untuk rnembiavai pemba-
ngunan di negeri ini. Olel-l sebab itu, rezim harus melong-
garkan sekat terl-Laclap kelompok Islam, bahkan rnerangkul
merc.ka ke dalam lingkaran kr-kuasaar politik (1999:2294A).
Secara internal, menurut Karim (7999: 232-3), ter-
dapat faktor vang sangat mendukung, 'rraitu:
Partttttn, berakhirnya masa penentangan kelompok
Islam terhadap Pancasila setelah umat Isla,n me.nerima
Pancasila sejak tal-rtrn 1985.
Kedun, keberadaarr dua tokoh Isiam \/eir',H !Ltngat dekat
dengan Soc'harto, r,'akni: Habibie dan h4ur-ialvir Syadzali.
Keduanva berhasil meyakinkan Soeharic trahwa kelom-
pok Isiam sesungguhnya bukan merupakan ancarnan ter-
hadap Prncasila dan rezim.
Ketign, meningkatnya kesadaran keagama;rn di tengah
umat Islam sekalipun selama ini mengaiami ketertindasan
dan justru mempersubur kehidupan keaS;amaan mereka
cli tengah kr-raLn_ya arus penindasan dari kelompok anti Isiam
selama ini.
munculnya kebangkitan cendekiarvan atau
Kcernpat,
intelektual Muslim, yang salah satunya adalah terbentuk-
n_va lkatan Cendekiawarr Muslim Indonesia (ICMI) dan
sejumlah nama terkemuka lairutva, seperti Gus Ilur (KH.

lslom "isme-isme": Aiiron don Pchom lslom Di lndonesio


23
Abdurrahman Wahid, Cak Nur (Nurcholish Madjid), Cak
Nun (Emha Ainun Najib), M. Amien Rais, dan lain-lain.
Kelimn, pribadi Soeharto sendiri yang semakin tua dan
ingin "mandito" dan mengakhiri masa jabatannya dengan
sikap arif dan tidak menyakiti kelompok Islam. Bahkan
pada tahun 1990 ia untuk pertama kalinya menunaikan
ibadah haji; sebuah tindakan yang pada waktu itu bisa di-
anggap sebagai upaya membangun kredensialnya seba-
gai seorang Muslim dan menimbulkan kegembiraan di
kalangan masyarakat Islam (Rizal Sukma dan Clara
loewono, 2007:7).
Kecnam, pertolongan dari Allah SWT atau yang disebut
cileh Kuntor,r,ijoyo sebagai "Blessing in disguise", sebab meng-
ganti sebuah "grand strategy" bukanlah sesuafu yang mudah
sehingga umat Islam meyakini bahwa berkat inayah (per-
tolongan)-Nyalah maka ketertindasan mereka akhirnya
[-risa diatasi.
Terlepas dari proses ketegangan mauPun rekonsiliasi
selama kekuasaan rezim Soeharto, atau dalam ungkapan
M. Rusli Karim di atas, "peminggiran" hingga "akomodasi"
lsl.rm, menurut Rizal Sukma dan Clara Joewono (2007: 8-9)
ada hal vang patut menjadi catatan yakni kemampuan arus
besar (rrni r stream) Islam Indonesia untuk tetap eksis tanpa
h.rnrs terlaln tergantung kepada Negara. Kendati Pun menga-
lami diskriminasi oleh rezim, namun organisasi-organisasi
lslam tertrs berkembang dan memainkan Peranan signi
,-t p.,,, 5gl).rgai orgar-risasi kemasyarakatan dengan dukungan

llcrr rremiliki akar yang kuat dalam masyarakat serta bekeria


nrrtuk kepentingan publik ketimbang kepentingan Pe-
nELrasa.

Syorif Hidoyotulloh, M.Ag , rtM


24
Tetapi, Isianr bukanlah kekuatan 1,;1ng bersifat mono-
litik. Keragaman dan pluralitas dalam umat justru menjadi
karakteristik utama dari Islarn di indonesia. Kendati ada
keragaman, deskripsi Lln.ium terhadap Islam di Indonesia
bisa clisederhan;rkan kepad.r karakteristik ad.rnya dua aliran
besar (sc/rool ol thouqht), yakni Islam modernis, denp;arr
representasi utama pada Muharnmad.ivah (berdiri pada
1912) dan Isl.rm traclisionalis, de.ngau representasi trtarn.r
.rdalah NU, varrg berc-liri pada 1926.
Pengg.rmbaran Islam cli Inc'lonesia ke dalam kategori
modernis cjan tradisionalis ini telal-r menjadi kei-iasaan baik
cli kalirug.rn peng,lncrt nraupun t nai Islam ittr serrrliri.
Nalrnun, sej.rk berakhirntra e,-ra Orde Banr clengan memastiki
era Reformasi pacla 1998 rnaka penggambararr ke dal.rm
cltra katepSc'rri sernacam ini tidak Iag;i n-rencerrninkar-l realit.rs
sebeuarnva Vang sem.ikin kornpieks. Di c"i h Li tl--rr,, a tekanan
dan pembatasarr politik oleh negara tela!: :-,,.i;:l",uka ruang
bagi proses rnanifestasi berbagai raganl i'"
",i-,in dan pemi-
kiran dalarn kcmtrnitas Islam di Indonr.-;. ,
Pasca rezim Orba tumbang terjadi perkemhangan elan
perubahrrn secar;i tlir-ramis dan ekspresif di tengah rimat
Isiam, diiendai dengan be.berapa hal, sepc't ti: pertil,n(!,
lahirnrra sejumlal-r p.trtai politik vang secara forrnal me-
ngusung ideologi dan cita-cita Islam, vang sebeluillnva
dilarang secara tegas ttleh rezim Orba. Fenomena ini meng-
indikasikan bangkiinya kernbali kekr_raian-kekuatan Islarn
politik cii Inclonesia. Kad.rm, tampilnya berbagai gerakan-
gerakan selarna masa Orba kurang dikenal oleh nraslra-
",ang
rakat, dan, kctign, kelahiran organisasi-organisasi Islam
baru. Ciri dan lingktrp kegiatan organisasi-organi,asi Islam

l:irm "isne isine": Aliron doit Pchom lslcrn Di lndone:io


25
yang baru ini sangat beragam dan luas. Akibatnya, wajah
Islam di Indonesia meniadi semakin beragam dan kompleks,
sehingga penggambaran yang hanya menekankan pada
eksistensi, aktivitas, dan pemikiran Islam mainstrenm, moder-
nis dan tradisionalis, tidak lagi memberikan pemahaman
yang menyeluruh dan utuh terhadap kehidupan Islam di
Indonesia.
Natr, pada'bagian-bagian selanjutnya buku ini akan
mengupas berbagai wajah Islam di Indonesia tersebut untuk
memberikan wawasan yang lebih komprehensif kepada
para pembaca untuk mengetahui pemahaman dan aliran
pemikiran yang sangat variatif ini.

25 Syorif Hidoyotulloh, l',1fo., [tI


Dlllltrlliln GH[mll
DIT PTTTBIRUIil
Pttttil0nlt Isliltt

f)rau masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin di


I bawah rezim Soekamo maupun _era Orde Baru-ny_a
- Soeharto, banyak kalangan menganggap bahwa kedua
rezim ini tidak apresiatif terhadap Islam. Bahkan, kedua
rezim ini dipandang telah melakukan proses peminggiran
aspirasi umat Islam di lndonesia. Namun, bagi ]amhari
(2002:345), kebijakan otoriter dari pemerintah ini juga
bisa dilihat sebagai hikmah terselubung. Sebab, pengalaman
politik yang terpinggirkan bukan saja memberi kearifan
baru namun juga mendorong cendekiawan lslam unfuk
merumuskan berbagai alternatif perjuangan.
Tidaklah mengherankan jika pada masa Orba, Islam
justru menemukan momentum untuk lebih banyak ber-
kiprah dalam bidang keagamaan dan kebudayaan, seperti
pengembangan masyarakat, pendidikao ataupun pengem-
bangan kegiatan keagamaary walaupun pada saat yang ber-
samaan umat Islam secara politik sedang sangat ter-

lslom "iyne-isme": Aliron don Pohonr lslom Di lndonesio


pinggirkan. Jamhari menunjuk bukti nyata dari kebang-
kitan Islam secara budaya adalah dengan adanya kecen-
derungan Muslim kelas menengah dan atas untuk "mem-
perbarui" keimanan. Pembaruan ini sangat nampak dari
maraknya kajian keislaman yang diadakan baik lembaga
kajian, Iingkungan perguruan tinggi, lembaga pemerintah,
maupun lembaga swasta. Puncaknya dari perkembangan
ini adalah dengan kemunculan cendekiawan Muslim baik
di birokrasi maupun dunia bisnis. Tidaklah mengejutkan
jika kemudian umat Islam menjadi kelompok yang mem-
punyai kekuatan politis yang sangat besar, terutama di masa
akhir kekuasaan rezim Soeharto.
Perkembangan yang lebih semarak pada tataran keaga-
maan dan budaya tidak terlepas dari usaha cendekiawan
muda dalam merumuskan teologi keislaman yang sesuai
dengan realitas sosial, politik, dan budaya. Gagasan pem-
baruan pemikiran Islam yang dipelopori kaum muda se-
dikihrya disemangati satu hal mendasar, yakni tidak memadai-
nya respon umat Islam, terutama mereka yang masih ter-
bawa romantisme partai Islam pada 1950-an, terhadap
kebijakan politik Orba (Jamhari, 2002: 346). Menurut
Bahtiar Effendy (2001: 7-9), hal ini terjadi akibat belum ada-
nya rumusan teologis yang mencoba untuk membuat sin-
tesis antara Islam dengan realitas sosial-budaya Indonesia
sejak awal kemerdekaan hingga awal kekuasaan rezim
Soeharto.
Sementara, menurut Jamhari, awal 1970-an merupakan
periode yang penting bagi perkembangan Islam di Indo-
nesia setelah Nurcholis Madjid melontarkan gagasan yang
kemudian memior kontroversi di kalangan umat Islam di Saat-

2E Syorif Hidoyonrlloh, M Ag , l\{A


sa.rt mereka llrrnvongsong diaclakannva Pemilu pertama di
c'ra C)rde Bam. Cagasan yang disampaikan dalam ceramah
cli Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada2l Oktober
1972 rr-remang tidak secara langsung terkait dengan pelak-
sanaan Pen-rilu tersebut namun cukup penting dari sudut
politik. Di sini Nurcholish Madjid menggarisbawahi perlu-
nya pembartran prerlikiran dalarn Islam, dengan terpusat
pada dua inti gagasan, yaitu, ltcrtnnn, gaBasan sekularisasi
dan, kedun, penolakan terhadap dijadikannya Islarn sebagai
ideologi politik dengan pernvataannya vang sangat terkenal
"lslam Yes, Partai lslam No".
Cagasan Cak Nur rni bergulir cepat karena rnendapat-
kan respor-i yang baik, setidaknya, di dua kota penting: |akarta
dan Yogr.akart.-r. Di Yogl'akarta, para aktivis Himpunan
lVfahasisw'a Islam (HMI) menggelar diskusi intensif tentang
penyegaran pemikiran Islarn, sebagai resp(ln r:rendukung
gagasan Cak Nur tersebut. iviasih di kota tr"nr pai berdirinya
HMI pacla 5 Febrr-rari 1947 ini terseleng5.;:r"a ;uga diskusi
mendalam )/anB dilakukan oleh sekelompok aktivis rnud.r
yang menamakan eliri "Limited Group" (1967-1,977)
tentang berbagari persoalan keagamaan, sosial, budaya, dan
politik. Di antara anggota "Lirnited Group" ini adalah
Sr.u'bah Asa, Saihrllah N4ahyuddin, D1'auhari Muhsiru Kur,to-
wijoyo, SyamsuddinAbdullah, Muin Umar, Kamal Mukhtar,
Simuh, dan \Azadjiz Anwar.
Nur ini menemu-
Sernentara di {akarta, gagasan Cak
kan momenturnnya dengan mendapatkan respon yang
sangat luas, baik yang pro maupun yang kontra. Gagasan
pembaruan ini sangat menggema di Jakarta karena Cak
Nur lah \/ang secara artikulatif, baik melalui tuli:ran rnau-

lsinni "isnre-isme" Aliion don Pohorn tslom Ci indonesic 29


pun ceramah ilmiah, menyampaikan gagasan-gagasannya.
Di samping posisi Cak Nur sendiri sebagai ketua umum
HMI selama dua periode berturut-turut (1965-1970) dan
berada di Jakarta, sebagai kota pusat pemerintahan dan
akses informasi yang paling penting di negeri ini (2002:
347-8). Gagasan-gagasan pembaruan ini, menurut Huli-
selan (htto:l lberilhuliselan.multialu.com/ iournall iteml9\.
sebenarnya sudah mulai bergulir dalam Limited Group sejak
terbentuknya pada tahun 1967 itv. Kelompok diskusi ini
dimotori oleh Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan M. Dawam
Raharjo yang bertujuan untuk menggulirkan proses penca-
rian rasionalitas secara terus-menerus dalam rangka meng-
upayakan pembaruan Islam. Sementara kelompok di Yogya-
karta inibergulat di dalam LimitedGroup mereka, diJakarta
terjadi sebuah gejolak besar sebagai akibat makalah yang
dibawakan Nurcholish Madjid pada 3 Januari 1970 yang
berjudul 'Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat'.
Makalah ini kemudian menimbulkan kemarahan besar
dari kalangan Modernis lainnya. Dalam makalah tersebut,
Cak Nur mencoba melakukan evaluasi kritis terhadap
posisi intelektual kalangan Modernis yang cenderung
bersifat reaksioner-dogmatis dan sinis terhadap pembaruan
umat. Bagi Cak Nur, dinamika sangat diperlukan apabila
kita ingin melihat pembaruan umat. Hal ini menuntut di
dalamnya keharusan gerakan pembaruan pemikiran Islam
yang radikal. Sebuah gerakan yang menggusur segala bentuk
kegemaran atau tradisi yang cenderung bersikukuh pada
dirinya sendiri. Di sinilah Cak Nur memunculkan istilah
'sekularisasi' dan'desakralisasi' yang kemudian menjadi

30 Syori{ Hidoyotulloh, M.Ag , r\M


sebtrah perdebatan panjang. Bagi Cak Nur, 'sekularisasi'
dan 'clesakralisasi' adtrlah sebuah keharusan bagi pemba-
ruan Islam di mana rasionalitas akan mendapat perhatian
penting. ini semua dilakukannya bukan untuk meniadakan
dimensi transeden. Sebaliknya, justrtr untuk meletakkan
'yang sakral' dan'yang tidak sakral' pada tempat semestirlya.
Dengan demikian, segala bentuk pemberhalaan ter-
haclap ortodoksi-dogmatis dapat dilrindarkan dan ruang ba gi
rasionalitas semakin terbr-rka. Terbukanya ruang yang lebar
bagi rasionalitas menuntut di dalamnya kebebasan berpikir.
Kemandekan Islam dalam mata Cak Nur cenderung diakibat-
kan oleh hilangnva ruang kebebasan tersebut. Ini bisa dilihat
dari p'rernyataannya, sebagaimana dikutip oleh Barton:
"...urnat trslam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif
yang selalu direbut oleh orang lain, sehingga pcsisi strategis
di bidang pemikiran dan ide berada dalam t;:lqm-, niereka."..
Dalam hai inilah kita melihat kelemalr;;:i ury;at Isian-i ....
akibat tiadanva kebebasan berpikir, kacar-r,; .. i'ri:"arki dT'rtirrG
nilai-nilai vang rtkltrnzli dan yang dunia!",,r, :.i:-:+m berpikir
yang masih terlalu peka diliputi oleh ta.i:u serta aprirtri,
d an se Lei"r:sn),a. " (FIu li selarl

i t-t t t t' t n' I I i t,: ti t 9\.


"
Baqi Barton, pemikiran Nurcholish iV{adjid di dai;r*a
'KtharLtsalr Pemlraruan Pa-r:rikiran trslarn da;r fuIasalal: hit-,-
g;:;:si Umai' tidak l:err:rri bah'wa ia telah berputar h:lu.:n
sebagailt::na diicntarkarr oleh kalangan Modernis. Ap;ihii;,
ri;i;a n d ii-rgkan rienga n r:' aka lah yang C itrarrrakannya. pr.-:!.r
tahurr tr968 den8.ln judul 'Modernisasi ialah Rasia;i,,ir;.;sr
Buk.:r; \Vr:stenis":si', memang agak terasa mransa ap.rleE:clik-
n'.,a. Cleh karena iiu, rr-lelalui makalah ini C::,k ,rrl,rr i:";,qirii

lslcnr "isme-rsme": Aliron dtrr Pohom lsiom 0i lrdonesio 3l


banyak mendapat pujian dari kalangan Modernis. Salah
satu tema sentral yang diangkat pada tahun 1968 adalah
mengenai modemisasl, yang sudah memperlihatkan secara
samar arah orientasi pemikiran Cak Nur.
KesalahankalanganModernis, dicermati Bartory juga
terletak pada ketidakmampuan mereka membaca arah
orientasi intelektual Cak Nuryang sudahbisa ditelusuri sejak
makalah tahun 1968 tersebut. Dalam makalah ini, Cak Nur
menekankan pentingnya konsepsi Ketuhanan sebagai
kekuatan moral yang berperan menjadi pilar utama sebuah
peradaban. Cak Nur di sini menggunakan logika kalangan
Modernis-konservatil dalam melakukan penolakan ter-
hadap sekularisme, 1lang dipandangnya berkaitan dengan
kemunculan sistim yang tirani dan otoriter;.- '
Berkaitan dengan makalah ini, menarik memperhati-
kan analisa Barton terhadap tulisan Cak Nur yang tampak
bernuansa apolegetik tersebut: "....apolegetik Nurcholish
Madjid....tidak pemah semata-mata membela posisi Islam
dengan bermain di luar lapangan, melainkan membela
Islam sambil melempar ga1asan-Bagasan baru....Muatan-
muatan seperti itulah yang dikandung dalam makalah
'Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westernisasi'....".
Modernisasi, rasionalisasi dan kebebasan berpikir menjadi
sesuatu yang menonjol dalam arah intelektualitas Cak Nur.
Pada arah inilah Cak Nur senantiasa berusaha masuk dalam
kajian-kajian yang membahas lslam dalam kaitan dengan
perkembangan yang sedang berlangsung baik di tingkat lokal
maupun global. Tema-tema seperti'rasionalitas dan iman'
atau 'Islam dan masyarakat modem' senantiasa bergulir
dari gagasan-Bagasannya.

32 Syorif Hidoyotulloh, M Ag , MA
Tema-tema ini dielaborasi oleh Cak Nur dan dikom-
binasikan dengan ijtihad yang menempatkan al-eur,an
sebagai kebenaran yang kekal. Menurut Barton, di sini
sebenarnya kita tidak menemukan orientasi liberal seperti
yang ditemukan di dunia Barat. Namury dibandingkan dengan
kalangan Modernis awal, gagasan Madjid menurut Barton
jauh lebih berani dan bebas (Huliselan, htt?:l/berilhuliselan.
r nultiply.com I j o u r n al I i t em / 9).
Tokoh lain yang berperan dalam pembaruan gerakan dan
pemikiran Islam di Indonesia adalah KH. Abdurrahman
Wahid, tokoh muda dan, ju.ga, cucu dari pendiri NU. Gus
Dur, demikian sapaan akrab sang kyai ,,nyeleneh,, d.ari
Jombang Jawa Timur ini, terkenal dengan gagasannya tentang
perlunya "Pribumisasi Islam" sebagai bentuk atau cara
memahami dan menjalankan ajaran Islam agar Islam dapat
sesuai dan berkomunikasi dengan proses modernisasi di
Indonesia. Gus Dur adalah salah satu dari sedikit warga NU
yang ikut terlibat secara langsung dalam menarik gerbong
pembaruan teologi di Indonesia karena wacana tentang
pembaruan teologi ini pada awalnya didominasi oleh
kelompok modernis seperti pil (persatuan pelajar Indone-
sia, 4 Mei 1,947-7987) dan HMI (Himpunan Mahasiswa
Indonesia, berdiri 5 Februari 7947), kedua organisasi ini
didirikan di Yogyakarta.
Selain gagasan "Pribumisasi Islam,,, tokoh yang sering
kali kontroversial ini juga menyuarakan pandangan bahwa
Islam adalah komplementer bagi kehidupan sosiaf btdaya,
dan politik masyarakat Indonesia (Jamhari, 2002: 349_SO).
Bahkan, menurut Greg Barton (7999: 427), banyak tema
utama pemikiran pembaruan yang dikandung dalam tulisan_

lslcrr "isme tsm,"" Aiiron dcir Pthuir, lsicnr Di lrrdonesio


33
fulisan mantan ketua umum NU ini. Di antara tema utama
yang muncul adalah penekanannya pada perlunya kesiapan
dan kesangguPtlrl umat Islam, terutama kalangan pesantren,
untuk menerima perubahan sebagai Proses yang terus-
menerus harus diberlakukan kapan dan di mana pun. Pan-
dangannya tentang konsep perubahan yang terus-menerus
ini kemudian ia sebut dengan "dinamisasi".
Bagi Gus Duq, "dinamisasi" ini menggambarkan kualitas
mendasar yang memungkinkan Islam untuk diperbarui
secara berkesinambungan dan selamanya relevan, tanpa
menjadi kering rnaupun doktriner dalam legalisme; di mana
menurutly4 legalisme ini telah gagal dalam menggairahkan
masyarakat maupun dalam bagaimana melayani masyarakat'
Di awal pertengahanlgT}-an secara khusus Gus Dur me-
nulis dan membuat jelas bahwa gerakan pembaruan pemi--
kiran Islam yang didengungkan Nurdrolish Madjid meruPa-
kan langkah-langkah maju.
Arti penting pembaruan di dalam Islam digulirkan
Gus Dur dengan konsep' dinamisasi'. Baginya,' dinamisasi'
adalah syarat mutlak zuPaya Islam tidak terjerumus men-
jadi kering dan legalisme. Melalui konsep'dinamisasi', Gus
Dur mencoba merefleksikan dan menggulirkan wajah adaptif
dan fleksibel dari Islam Tradisional. Bersamaan dengan itu,
berusaha melakukan perlawanan terhadap anggapan bahwa
agama merupakan salah satu elemen sosial yang sulit ber-
ubah.
Perlawanan Gus Dur dikembangkan dengan tokoh-
tokoh seperti Weber, Gandhi dan Geertz untuk menunjuk-
kan daya transforrnatifnya agama. Daya transformatif ini
dikaitkan dengan salah satu corak dari Tradisionalis untuk

Syorif Hidoyotulloh, M.Ag., llrlA


senantiasa melihat ke arah'semangat hukum' daripada'fulisan
hukum'. Orientasi pada 'semangat hukum' membuat kalangan
Tradisional memiliki sifat yang adaptif dan fleksibel, diban-
dingkan kalangan Modemis yang cenderung kaku (legal-
formalistik). Namun ini tidak berarti bahwa kalangan Tradi-
sional tidak memiliki cacat sama sekali.
Baginya, baik Tradisionalis maupun Modernis sama-
sama tidak bebas dari penyakit. 'Dinamisasi', bagi Gus Dur,
justru hadir pada kelompok yang ketiga, yakni gerakan pem-
baruan Islam yang saat itu mulai bergulir. Pertimbangan
Gus Dur adalah: "...gerakan ini, mengembalikan persoalan
pada titik pusatnya, yaitu merumuskan tempat manusia
daiam kehidupan dan menarik garis pemikiran keagamaan
dari pusat tersebut. Ia bukan pengkotak-katikkan.. melain-
kan penataan kembali semua dasar yang digunakan dalam
pemikiran keagamaan."
Nurcholish Madjid dengan wacana'sekularisasi' dan
'desakralisasi'-nya dipandang Gus Dur memberikan pengaruh
terhadap dinamisasi pemikiran keagamaan Islam. Dinami-
sasi ini pada gilirannya akan memberikan nrang kebebasan
untuk merumuskan ulang hubungan manusia danAllah, se-
suafu yang bagi Gus Dur merupakan persoalan fundamen-
tal, namun ia menjadi persoalan yang sebelumnya telah
mengalami tumpang-tindih dan membeku ke dalam orientasi
legal-formalistik.
Dalam kasus Nurcholish Madjid, ruang duniawi dan
ukhrawi (transedental) direnungkan kembali dan diletakan
pada kedudukan masing-masing sebagaimana mestinya.
Hal ini juga yang turut menghiasi gagasan-gagasan dari tokolr-
tokoh awal pendorong pembaruan pemikiran Islam. Dina-

hlom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


misasi seperti ini, dalam keyakinan Gus Dur, akan membuka
ruang yang besar bagi pluralisme dan modernitas
(Huliselan . ilhul isel an.mult iol u. c ortt I i ou r nal I i t ent I 9\.
h t to : I I b er

Dalam cermatan Huliselan, pembaruan pemikiran Islam


tampaknya lahir dari sebuah kegelisahan dan perenungan
yang berangsur-angsur menjelma menjadi kekuatan sosio-
kultural yang berusaha memecahkan kebuntuan internal
di dalam Islam maupun menjawab tantangan modernisasi'
dan globalisasi dari Barat. Kegelisahan ini melahirkan suatu
gerakan intelektual yang dipandang Greg Barton bercorak
moderat, liberal dan progresif, seperti yang dilakukan oleh
kelompok neo-Modernis ini. Sebuah gerakan yang sangat
menekankan arti penting Islam yang kontekstual dan
substansial, serta tidak menceburkan diri dalam politik
kepartaian. Barton dalam konteks ini mengatakan: "Neo-
Modernisme... berpaham pcr:risahan antara gereja dan
negara, dengan pandangan bahwa keterlibatan langsung
kelompok-kelompok agama ke dalam partai politik... me-
nimbulkan ketegangan-ketegangan sektarian dan polarisasi
berdasarkan aliran-aliran keagamaan (http:l lberilhuliselnn.m ult i-

ply. comljourtm ).
Bagi kalangan neo-Modernis, salah satu kegagalan
Modernisme awal adalah terlalu terobsesinya mereka
dengan Negara Islam. Oleh karena itu, hal ini cenderung
dijauhkan oleh gerakan neo-Modernis. Barton mengguna-
kan istilah neo-Modernisme unfuk membahasakan gerakan
tersebut. Sebuah istilah yang diyakininya lebih memadai,
baik untuk membedakan gerakan baru ini dengan gerakan
Modemisme dan Tradisionalisme yang telah muncul sebe-
lumnya di Indonesia, maupun untuk menggambarkan

36 Svoril Hrriovctullon. l,1 An , A,\A


sebuah sintesis baru antara pemikiran Islam dengan pemi-
kiran dunia modem di Barat.
Neo-Modemisme, dalam pandangan Barton, adalah
sebuah sintesis yang menunjukkan vitalisasi di dalam Islam
yang berperan dalam menjembatani pergesekan antara
kalangan Modemis dan Tradisionalis, serta menunjukkan
sebuah perkembangan yang bergerak melampaui semangat
Modernisme yang ditawarkan oleh organisasi seperti Mu-
hammadiyah atau Masyumi. Barton meyakini bahwa ge-
rakan ini memiliki masa depan yang lebih menjanjikan,
mengingat kontekstualisasi dan pluralisme mendapat ruang
yangbesar di dalamnya. Dantentuny4 vitalisasi ini bergerak
keluar dari pertarungankepenti.g* di dalam politik kepar-
taian yang sering kali mewamai kebangkitan di dunia Islam.
Neo-Modernisme berawal dari sebuah gerakan inte-
lektual, mulai periode tahun 1970-aninr, yang menyerukan
arti penting'Pembaruan Pemikiran Islam'. Gerakan intelek-
tual ini dimotori oleh orang-orang yang memiliki latarbela-
kang Tradisionalis, namun menaruh perhatian pada gagasan-
Bagasan Modernisme yang berasal dari Muhammad Abduh
dan para pengikutnya. Neo-Modemisme dapat dipandang
sebagai perkembangan kemudian dari Modemisme Islam
yang bergerak lebih jauh dengan mengawinkan semangat
Modernisme awal, kesarjanaan tradisional dan klasik serta
metode-metode analitik Modem (Barat). Istilah neo-Modernis
pun mulai merebak sebagai hasil refleksi untuk mendu-
dukan gerakan pembaruan ini ke dalam bingkai yang lebih
global.
Neo-Modernisme mulai dihembuskan sekitar akhir
7960-anl aw al \97 }-ar:. oleh tokoh-tokoh yang secara geografis

ls onr "isme isme", Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


agak berjauhan. Di Jakarta, Nurcholish Macljid tampil
dengan seruan pembaruan Islam sebagai sebuah agenda
yang mendesak. Sebuah gebrakan yang pada akhimya mem-
buat Cak Nur dipandang sebagai tokoh vang berbahaya
oleh para pemimpin eks-Masyumi. Sementara di Yogvakarta,
Djohan Effendi dan Ahmad Wahib berusahar membongkar
wacana Islam dengan mengtlPayakan sebuah pencarian
rasional yang kontinvu serta tidak terikat pada batasan-
batasan tabu dan kebiasaan dogmatik. Di luar ketiga tokoh
ini, terdapat Abdurrahman Wahid yang pada akhir 1960-
an justru sedang berada di iuar negeri. Natnutt, pada akhir
7970-an muiai menjadi pilar penting dari lingkaran'Petn-
baruan Pemikiran Islam' di Jakarta.
Pergesekan yangberlangsung lama antara kalangan Tradi-
sionalis dan Modernis, baik dalam tatarar. teologi mauPun
praksis politik, telah menjadi salah satu socln/ scttirrg dari
munculnya sebuahkesadaran baru YanB menggulirkan 'Pem-
baruan Femikiran Islam'. Pergesekan tersebut sebenaruva
sernpat rnereda pacla masa penjajahan iepa-ng' Narnun setelah
kernerdekaarl pertarungan di aniara keclua keiompok inr
kembali terjarli dan mengakibatkan keir-rarnya kaiangan
Tradisionaii s da ri Masynmi. Kaiangan Tra'-l i sion aiis, vang di-
H.akili ol,:h r'vadah NU, p'3gj.r akhirnva' lebih meiniliki da1'a
stn'ai'oe 1'ang lebih baik dil-randingkai: k;:i;:n5;an Modemis'
F{al ini terkaii clengail corak pragmaris ciall srkap hati-hati
yang ciijariankar-r oleh k;riarrgan Tradisionaiis daierrn meln-
baca,,r,ac.rna cian i--,r,aksis politik cii tanah air. Bartc''n meltikis-
kan orj.en'rasi tersebut sel-agai berjkut: "l{l tidak men'raksa-
j

kan diri untuk'bersiteguh pada prinsip'" l"lU lebih memilih


menaia tanpa ... mengorbankan integritas mereka mauplln

Sycrif liirioyorulloh, M Ag , MA
identitas Muslim dalam mendukung kebijakan pemerintah."
Selain NU, bagi Barton kemampuan surtsiae seperti
itu juga dimiliki oleh HMI di mana corak pragmatis ikut
mewamai kiprah gerakan mhhasiswa ini. Corak pragmatis,
pluralistik dan penempatan Islam sebagai yang lebih utama
daripada politik kepartaian, mengakibatkan HMI semenjak
kelahirannya (tahun 1947) selalu mengalami ketegangan
dengan Masyumi. Hal ini misalnya tampak pada dukungan
HMI pada tahun 1953 terhadap negara sekuler daripada
negara Islam.
Barton melukiskan kesetaraan daya suraiae antara NU
dengan HMI sebagai berikut:
" ....pnrn pemhnpin HMI adalah orang-orilng yang mempunyai
sudut pandang sama dengan para pemimpin Nl.l di sepanjang
periode ini, karena kedua kelompok tersebut memperhatikan
t an g gun g j nzu ab mer eka y an g t erb e s ar un tuk....p e n didikan d sn
stabilitas umat Islam."
Hal ini membawa Barton untuk menempatkan HMI
sebagai salah satd tanda-tanda awal berkembangnya se-
buah bentuk baru dari Modemisme Islam di Indonesia.
Apabila NU dan HMI memiliki daya surztiae, di pihak
Iain kalangan Modemis seperti Masyumi pada akhirnya
kehilangan posisi tawar dalam konstalasi politik di tanah
air. Hal ini diakibatkan oleh kekakuan mereka, baik di
dalam teologi maupun praksis politik. Meredupnya d,aya
jetajah kaum Modemis ini berjaian seiring dengan muncul-
nya sebuah bentuk Modemisme baru yang kemudian di-
kenal dengan nama neo-Modemisme. Oleh karena ifu, neo-
Modernisme juga dipandang Barton sebagai hasil sebuah
proses evolusi dari Modernisme Islam awal yang mulai
meredup di tanah air (Hulisel an, http:l lberilhuliselan.muhiply.

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


39
com I j onr n nl I itetnl 9).
Apabila Cak Nur bergulat dengan tema-tema besar
seperti modernisasi, sekularisasi dan kehamsau rasionali-
sasi dalam Islam, Djohan Effendi lebih men1fokuskan cliri
pada problematika kemanusiaan' Pendekat;rn vang dikem-
bangkan, dalam batas.an tertenttt, dipandang berctlrak
humanistik dengan menempatkan l'asio paida posisi yar-ig
ti.gp di dalam Islam. Namun, corak humanistik ini tidak ber-
arti bahwa pemikiran Effendi bersifat anti-teistik. sebalik-
nya, otoritas transedental tetap memiiiki tempat vang Lltama
di dalarn gagasan-gagasan yang digulirkannva' Penempatan
arti penting manusia oleh Effe,ndi terlihat sekali ketika ia
berusaha melawan kecenderungan fatalistik l,ang terkadang
menghiasi wajah Islam.
Gagasan Effendi rnengenai takdir iustr.u dikaitkanr-ry'r
dengan apa yang disebut kehendak bebas. Di sini Effendi
berusaha untuk tidak mereduksi otoritas transedental ber-
kaitan dengan kehidupan manusia. Narnun baginya, otoritas
transedental tersebut diletakkan dalam keterikatan vang
kuat ,Jengan tanggung jawab manusia sebagai individu'
Dalan-t kebebasan (kehendak bebas) dan kesadarannva
(rasio), manusia mernilih un buk tunduk pada otoritas Tuhan.
.Iunduk pada otoritas Tuhan dirumuskan Effendi sebagai
sesuatu yang aktif, di mana manusia menempatkan rasiona-
litasnya untuk mengubah dunia sesuai dengan sifat Tuhan.
Di sinilah anugerahTuhan dipergunakan oleh manusia
dengan sebaik-baiknya. Hal ifd tampak pada uraian Barton
mengenai posisi aktif manusia yang ada dalam Sagasan
Effen,li: "Dan kita tidak hanya memohon keadilan tetapi
lebihberusaha untuk menggapainya. Kita tidak hanya memuii

Syorif |"1iCoyotulloh. M Ag , lM
00
kerahiman dan kemurahan hati Tuhar; tetapi juga lebih
berbuat selaras dengan kerahimian serta kemurahan Tuhan
tersebut."
Dalam pemikiran Effendi, antara rahmat dan kemanu-
siaan manusia ditempatkan sebagai dua hal yang saling
kait mengkait. Rahmat Tuhan dikaitkan Effendi dengan
kemanusiaan manusia yang bergerak dalam kebebasan.
Di pihak lain, di dalam kemanusiaannya manusia menjadi
agen-agen bebas yang berperan sebagai rahmat Tuhan bagi
dunia. Dalam konteks kehidupan bangs4 kerangka seperti
ini menggiring Effendi pada penekanan akan arti penting
teologi kerukunan. Sebuah penekanan yang memberikan
ruang yang besar bagi realitas plural bangsa Indonesia.
Di sini Effendi menolak segala absolutisasi agama yang
dipandangnya bertentangan dengan kenyataan dasar manusia
sendiri. Di dalam kemanusiaanny4 setiap individu pada
dasamya memiliki keterbatasan unfuk menjangkau kebe-
naran secara keseluruhan. Oleh karena ini, penghargaan
terhadap realitas plural bangsa ini terkait dengan kesadaran
manusia akan keterbatasannya menggapai kebenaran serta
keterbukaan terhadap pandangan keagamaan yang moderat
dan liberal. Di sini dialog menjadi hal yang sangat penting,
sebuah sarana yang bagi Effendi menjembatani kompleksitas
bangsa dengan berbagai beban sejarah yang ada di belakang_
nya serta realitas plural yang mengintarinya. Dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara, komitmen Effendi
terhadap pluralisme ini terartilkulasi dengan dukungannya
terhadap Pancasila. Sebuah dukungary yang dalam penelu_
suran Barton, sudah muncul darinya semenjak akhir 1960_
an. Dukungan ini didasarkan atas kenyataan plural bangsa

lslonr "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio

l.'
ini, di mana Pancasila dapat berfungsi sebagai kerangka
konseptual yang berperan dalam membingkai kemajemu-
kan serta meimberikan iati diri non-sektarian bagi bangsa
ini. Tampaktya aPa yang dipertaruhkan Effendi di sini
tidak lain dari ruang yang besar bagi kebebasan dan keru-
kunan beragama.
Ahmad Wahib, dalam Sagasan pembaruannya, sangat
mempercayai kekuatan akal untuk menanggulangi segala
kekurangan dalam Islam termasuk untuk era modem, di
mana terdapat kekeliruan dalam memahami ajaran [slam
yang benar. Wahib iuga melontarkan otokritik dengan me-
nyatakan bahwa meskipun kita mengatakan diri sebagai
penganut Islam namun belum tenfu telah berjalan sesuai
dengan Islam itu sendiri. Sering kali kita telah berpikir
sejalan-derrgan ide-ide lain. Hal ini terjadi, demikian Wahib,
karena kevakuinan filsafat lslam. Akibatnya, kita hanya
menjadi Muslim emosional. Wahib juga menulis keyakinan-
nya bahwa pembaruan adalah sebuah ke-butuhan bagi umat
islam karenanya tidak boleh diberhentikan. Member-
hentikan pembaruan walaupun sebentar, baginya, berarti
sebuah kegagalan (Barton, 1999: 3001).
Sebagai rekan Effendi dalam kelompok diskusi Limited
Group,Ahmad Wahib juga memperlihatkan suatu orientasi
yung rasio sebagai hal yang utama dalam Islam.
^".,"*patkan
HaI ini berarti bahwa kebebasan berpikir merupakan hal
yang mendasar dalam Islam. Rasio dan kebebasanberpikir
dirumuskan Wahib dengan menemPatkannya dalam
keterkaitartdengan eksistensi Tuhan. Tuhan dalam pan-
dangan Wahib adalah sepenuhnya rasional, dan dalam rasio-
naiitas-Nya tersebut ta meniadikan manusia. Karena itu,

Syorif Hidoyotulhh, totAg., tutl


Tuhan pada dasamya mencintai rasio dan kebebasan.
Di sini menarik memperhatikan apa yang dikatakan
oleh Wahib, sebagaimana dikutip oleh Barton: " Saya percaya
pada Tuhan, tapi Tithnrr bukanlah daerah terlarang bagi pemi-
kiran, Tuhan ada bukan untuk tidnk dipikirkan 'adanya'.
Tuhan bersifat wujud bukan untuk kebal dari sorotan kritik,
sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tetapi menolak
berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan."
Atas dasar rasio dan kebebasan berpikir, Wahib mem-
persoalkan kalangan Modernis yang dipandangnya cen-
derung subjektif dan menyerang gagasan-gagasan pemba-
ruan yang bermunculan sekitar tahun 1970-an. HaI ini ber-
arti bertentangan dengan rasio dan kebebasan berpikir.
Dan tentunya, bertentangan dengan Islam sendiri yang di-
yakininya memiliki spirit pembaruan. Spirit pembaruan
,
ini dikaitkan dengan misi dan kiprah Nabi Muhammad
sebagai seorang inouator dan reformer. Esensi dari pesan
Nabi Muhammad, baginya, terletak pada upaya pembaruan
dan modernisasi dunia sosial dan intelektual pada masanya.
Pembaruan yang dilakukan Nabi Muhammad adalah
pembaruan yang kontekstual, sesuai dengan pergulatan
zamannya
Atas dasar inilah Wahib menekankan ijtihad
yang kontekstual sebagai sebuah keharusan dalam mewu-
judkan pembaruan Islam. Dalam kerangka ijtihad yang kon-
tekstual ini, sejarah kehidupan Nabi Muhammad mendapat
tempat yang penting dalam pemikiran Wahib. Al-Qur'an
dan Hadits sendiri bagi Wahib harus dipahami dengan menem-
patkannya dalam konteks kehidupan Nabi Muhammad.
Kehidupan Nabi Muhammad tampaknya, dalam

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


pandanuan Wahib, menjadi sumber utama dari ajaran Isiam.
Inilah yang harusnya menjadi terang bagi misi umat [s!anr.
di dunia rnodern. i{al ini bisa dilihat langstrng pada uraian
Wahib yang diangkat oleh Barton: ",,,nrcletnkkmr Sejnrnlr
Mrhnrmnnd dnn perjunrtgalmya sehngot sunfucr ajnrnr lslntrL
moka....mqnusin lvIuslint terlibnt dnlnm /rrgas historical clirec-
tton ttntuk nttnghisnp dnri sejarnlt Multnuutrnd itu scbn5qni
sumlter terang ho,4i ntasn kiui."
Di sinilah titik sentral dari gagasan pembaruan vatug
ditiup'rkan oleh lVahib. di mar-ra kolaborasi antara rasio, kebe-
basan dan ijtihnd vane konteksttral melebttr dalam gcrgasan
pembaruannya. Salah satu hal vang menarik clari tokol-r se-
kelas Wahib, dia memiliki keberanian dan kebebasan clalam
melakukan eksplorasi lerhadap Islam. Ini bisa dilihat dari
upavanya untuk menjalankan kr:jujuran intelektual:
"krthu suntu golottgntt niau unnnnnva uttrnt Islntrt leutLilt...
.dengarr cepnt orntrg-ornug berkata bahutn tlarg snlnlt ndalnl;
ornnp; lslntrr, bukatr lsktmnya.... Ormtg tnkut trtttuk rrLuttytcr-
tinrbr.rtgkart kunurgkinnn nrlantta krilik terhadnl: lslntrt...
Attnktth tidnl.; rrtunqkin lslLtrtr itu sentliri nteitgtuldtuig kL'lt-
tttLtltsn? S.rTLt sendiri snuryni sckwrng nto-sih ltcrtnrtvn-ttnt1t...." .

Sebuah artikulasi kejujuran vangS ben"rr-benar bebas


dan tampakn),a rnenjadi ciri khas kiprah irrtelektual Wahib.
Neo-Modernisme tampil de;rgitLi mt'nonjclkan Fen-
tingnya iitihad yang konternporer di mana akseierasi clengan
perkernbangor-r Z;1111ot1 nrenjadi sesuatu yang tidak bisa
elitarvar-tawar. Sel-.r-rah ijtihnd vang menrbuka ruang bagi
rasiolra littrs, kekreir a san dan kontekstu a Ii sasi. Pluralisme d an
demokrasi berangsur-angsur rnttlai merr,bentuk rt'ajah Is-
Iam seiring belkerr'.bangnva gerakan Pembaruan Pemikiran
Islam.

t4 Syori{ Hiciavotulloh, [1 Ag MA
Oleh karena itq rasanya tidak berlebihan kalau Barton
dan tokoh seperti Wahib meyakini bahwa gerakan ini
memiliki prospek masa depan yang baik. Ini belum lagi
ditambah daya lentur neo-Modernisme yang membuatnya
sanggup berakselerasi dengan pergeseran-pergeseriu:t sosio-
kultural Namun daya gedor neo-Modemisme tidak sampai
menyentuh apa yang disebut Madjid sebagai wilayah ukhrawi
(transendental). Oleh karena ifu, corak neo-Modernisme
praktis berbeda dari radikalisasi kalangan Liberal (Barat)
yang bergerak sampai menggugat otoritas transendental
dengan berbagai kritik mereka (Htrliselan, http: I /berilhuliselan.
mu It iolu. c om I io ur n al I i t em / 9\.
Harun Nasution adalah tokoh lainnya yang sangat
penting dalam gerbong pembaruan pemikiran Islam di
Indonesia. Harun Nasution. Nasutiory mantan rektor IAIN
(kini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini, menyuarakan
pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, terutama tentang
cara agar gasasan Islam dapat berkomunikasi dengan proses
modernisasi di Indonesia. Menurut Jamhari ((2002: 350),
gagasan yang dikembangkan Nasution berlatar belakang
-,,
kekecewaannya pada materi pengajaran Islam di perguruan
tinggi, khususnya IAIN, yang hanya terbatas pada satu
paham atau madzhab saja, sehingga mahasiswa terbiasa
berpikir sempit dan tidakmenerima perbedaan pandangan.
Karenanya ia mengusulkan unfuk merumuskan "pengenalan
Studi Islam", yang melihat Islam dari berbagai aspeknya.
Nasution juga menentang kecenderungan fatalistik
umat Islam, yang disebabkan keterbatasan pemahaman
umat lslam Indonesia hanya pada satu aliran dalam ilmu
kalam, yaitu Asy'ariyah. Walaupun menolak anggapan

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom ldom Di lndonesio


bahr.ta dirinya adalah orang Mu'tazilah namun Nasution
menggarisbar.t ahi kesesuaian bebererpa aspek dari ajararr
aliran teologi ini bagi usaha manusia hrdonesia dalam mengern-
bangkan masyarakatnya"
Menurut paham Mu'tazilah vang ia sepakati, akal
manusja rnemiiiki kew'enangau untuk ineniiai baik dar',
buruknyra suatu tindakan rvalaupun man'-tsia tersebr.il
belurn kedatangan lvahyu. Den-g,an akalny;i nranttsia clapat
rnernilih sehingga hidayah tent'ujud karena l-rasil usaha
manusia mencari dan tidak tergantung pada pernberian
Tuhan. Ba15inva, tanpa usaha manusia maka hidavah tidak
akan mungkin diberikan Tuhan.
Intelektuai Muslim yrmg lahir di Pematang Siantar Sttrn a -
tera Utara pada 23 September 1919 ini akhirn-va mengajukan
gagasan master piece-nya, yakni Islam Rasional; sebttah
gagasan vang berpijak pada asumsi bahwa manusia se-
sungguhnya makhluk yang sangat rasionai, sehingga dengan
rasionalitasnva itu ia akan menemukan Tuhannya \1995,
13e).
Di samping tokoh-tokoh yang telah djkemukan di atas,
sesungguhnva masih ada sederet nama vang layak dima-
sukkan ke dalarn gerbong pembarua;r pemikiran dan
gerakarr Isiam di trndonesia, seperii: Moeslim Abdurrahman,
M. Dawam Raha{o, M. Arnien Rais, Ahrnad Syafii Maarif,
N{. Amin Abdul}ah, Abdr-rl N4unir Mulkhan, Az-vumardi
Azra, Komarudclin Hidavat, Kuntowijol'o, dan Bahtiar
EfenCh,v. Para tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan
Islam ini merniliki pendekatan dan konsentrasi masing-
masing.

Syorif Hidoyotulloh, M.Ag., MA


t6
RUB[]|D[ltmmil
rsl[th l[ IflD0lttsn

t. lslom frudislonel
Menurut Fachry Ali dan Bahtiar Effendy (19g6:47),
pola pikir tradisionalisme dalam Islam di Indonesia dilatar.
belakangi oleh kondisi urnum masyarakat yang ketika Isram
masuk adalah masyarakat petani yang tinggal di pedesaan,
sehingga tidak memungkinkan Islam untuk berkembang
secara lebih rasional dan modem. Karenanya paham syafiiyatr,
sebagai paham yang dianutkalanganlslam tradisional yang
berkembang di Indonesia lebih menekankan aspek loyalitas
terhadap pemuka agama, seperti ulama dan kyai, daripada
kepada substansi ajaran Islam yang bersifat rasionalistis.
Sejalan dengan hal ini maka yang berkembang kemudian
di kalangan Islam tradisionalis adalah stkap taqlid (mengekor)
sehingga pada taraf tertentu menimbulkan sikap patuh dan
taat tanpa syarat kepada para ulama dan kyai yang diikuti_
nya.
Yang menjadi ciri khas yang menonjol dari kelompok

lslom "isme-isme", Aliron don pohom lslom Di lndonesio


ini adalah upayanYa yang sangat kuat unturk mempertahan-
kan tradisi, kendatipun disadari mereka bahlta pikiran-
pikiran tradisional yang mereka miliki tidak sesuai lagi
dengan perkernbangan zaman. Sementara rnereka tetap
menyatakan sebagai pemeiuk vang taat aliran madzhab
Syafiiyah namun pada kenyataannya mereka juga melaku-
kan kegiatan ritural yang berakar pada tradisi paganistik yang
terlebjh dahtrlu teiah berkembang di tengah masyarakat
Indonesia pra Islam.
Benteng utarna pendukung tradisionalisme ini adaiah,
tlengan mengecualikan beberapa kyai modemis di datrtrnr-
nva, kelompcrk kyai NU yang mendirikan pesatriren se-
bagai basis peni'ebaran paham-paham keagamilan yang
dianuinya. Di lr.rar dugaan ban,vak pengamat, pandangan
tradisional dan konservatif para kyai ini jr-rstru tidak men-
ciptakan sistem yang statis namun justru melahirkan sistem
yang dinamis, di mana terjadi perubahan-perubahan yerng
temyata ciengan cara yang sangat sulit untuk diamati' Tetapi,
Fachry Ali da.n Bahtiar Effendv mencerlnati, sepanjang
menyar-lgkut persoalan ajaran, dalam pengertian memPer-
bami pemahaman keagarnaan yang mengarah pada pele-
pasan diri dari pengaruh mistisisme, tarekat, sikap tnqlid
berlebihan, dan pada gilirannya nanti dapat memberikan
perspektif pemaharna.n keagamaan baru, nyaris tidak ac1'-l'
Dengan demikiary keterikatan kalangan tradisionalis kepada
para uiama fiqih abad pertengahan tidak pernah berubah"
Inilah vang dianggap banvak kalangan sebagai salah satu
ciri tradisionalisme (1986: 50)"
Ciri lain yang diamati Fachrv Ali clan Bahtiar Effendy
(1985: 50-1) adalah bahwa malzoritas penganut Islam tradi-

Syorif Hidoyotulloh, M Ag , [M
48
sional ini tinggal di daerah pedesaary yang pada umumnya
sangat mengabaikan persoalan duniawi, hidup dalam se-
mangat asketisme sebagai akibat keterlibatan mereka dalam
kehidupan sufisme dan tarekat, dan mempertahankan diri
dari pengaruh modemitas, serta cenderung mempertahankan
apa yang telah mereka miliki di mana kesemuanya itu me-
reka pusatkan dalam dunia pesantren. Sikap keimanan dan
militansi mereka yang tradisional rnerupakan faktor utama
untuk menarik diri dari urusnn duniawi dan, sikap inilah,
yang menjiwai semangat mereka dalam melakukan per-
lawanan terus-menerus terhadap kekuasaan kolonialisme
di Indonesia pra kemerdekaan,
Namun demikian, diakui keduanya tidak berarti bahwa
kelompok Islam tradisional ini sama sekali berpaling dari
kehidupan duniawi. Kehidupan duniawi bagi mereka ada-
lah sangat penting maknanya, terutarna sebagai persiapan
yang lebihbaik untuk mengejar kesuksesan hidup di akhirat.
Persiapan yang lebih baik tersebut termasuk memiliki
kekayaan guna dipakai untuk menjalankan ajaran-ajaran
Islam, seperti membayar zakat, shadaqah, d an menunaikan
haji.
Adapun ciri ideologi dari kelompok Islam tradisional
ini adalah keterikatan mereka pada paham Ahlussunnas
wal lamaah yang dipahami secara khusus dan sangat mem-
pengaruhi seluruh tingkah laku keagamaary politik, sosial
kemasyarakatan mereka. Keterikatan mereka pada paham
ini menjadi semakin ketat dan berfungsi menjadi ideologi
tandingan bagi perkembangan pemikiran kalangan modemis
yang berusaha melakukan penyegaran pemikiran lslam
dan menganjurkan umat untuk tidak terlalu terbelenggu

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


dengan aiaran-ajaran fiqih empat madzhab. Dengan paham
Ahhlssttrutns utnl lamaah yang dipahami secara khusus ini
telah menempatkan mereka pada posisi berbeda dary bal-r-
kan, berlah'anan dengan pal-ram keagamaan kalangan
pembaru atau modernis (Fachry Ali dan Bahtiar Effendl;
1986:51).

2. Pribumisasi lelnm
"Pribumisasi Islam", adalah gagasan Yang palir-rg orisinal
dari KH. Abdurr:ahman lVahid (Cus Dur) Cus Dur melontar-
kan g;rgasan ini adalah dimaksudkan untuk mencairkan
pola cian karakterr Islarr sebagai suatu \rang norlrtatif dan
praktik keaganraa:'r inenjadi sestlatu vang kontekstuirI
(Rahrnat,2003: xx). Dalam Bagasan ini tergan':bar bagaimana
Islam sebagai ajaran norrnatif yang berasal dari Tuhan
diakonrodasikan ke dalam kebuda-vaan Yang berasal dari
manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-rnasing.
"Pribumisasi Islam", bagi Gus Dur, bukan rlpava untuk
menghindarkan hmbuhrya perlawianan dari kekuatan budaya-
budaya seterrrpat, namun jusiru untuk memelihara dari
kesirnaannya akibat kehadiran islarn. ilengan dernikian.
"Pri'burnisasi Islam" meri-tprakan keb,utr-rhan bukan unhlk
rnenghindari polarisasi antara agalna dan kebudayaan, sebab
poiarisasi semacam ini Lragi Cus D'-rr rnemang tidak bisa
dihindarkan.
\,{. imdadun Rahrnat (2003;xx) beranggapan bahwa
"Islani prribumi" sebap;aihasil clari "F:i-bumisasi Islam" ini
pada konteks selarjuhrya perlu digerakkan sebagai jar,r'aban
cla;:i "islarn Otentik" dan "Politik lder-rtitas isiarn" yang ingin
melakukan pro-vek Arabisasi; sebuah provek -vang oieh Gus

Syorif Hidoyotulloh, r\1 Ag, lM


Dur dianggap akan membuat kita akan tercerabut dari akar
budaya sendiri. Dengan demikian, "Islam pribumi" dimaksud-
kan untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman
interpretasi dalam praktik kehidupan beragama Islam di
setiap wilayah yang berbeda-beda, sehingga Islam tidak lagi
dipandang secara tunggal melainkan majemuk. Dengan
pribumisasi Islam ini maka Islam ala Timur Tengah, atau
Arabisme, tidak lagi dianggap sebagai Islam yang murni
danpalingbenar karena Islam sebagai agama yang diturun-
kan ke bumi akan mengalami historisitas yang terus berjalan.
Menurut Rahmat (2003:xxi-ii), ada beberapa karakter
yang melekat dalam gagasan "Pribumisasi Islam" atau ,,Islam
pribumi" ini, yaifu:
Pertanm, kontekstual, yakni lslam dipahami sebagai
ajaran yang terkait dengan zaman dan tempat. Dengan
demikiar; Islam akan mampu terus memperbarui diri dan
dinamis dalam merespon perubahan zaman serta dengan
lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang
berbeda-beda untuk melakukan proses adaptasi kritis
sehingga Islam benar-benar shalih li kulli zaman wa makan
(relevan dengan perkembangan zarnan dan tempat).
Kedua, toleran; gagasan pribumisasi Islam akan me-
numbuhkan kesadaran untuk bersikap toleran terhadap
perbedaan penafsiran Islam, karena realitas konteks keindo-
nesiaan yang plural menuntut pula pengakuan tulus bagi
kesederajatan agama-agama dengan segala konsekuensi-
nya. Semangat keragaman inilah yang menjadi pilar lahimya
Indonesia.
Ketiga, menghargai tradisi; sebagai kesadaran bahwa
Islam pada masa Nabi saw pun dibangun di atas penghar-

klom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio

l"
gaan pada tradisi lama yang baik, karena sesungguhnya Islam
tidak memusuhi tradisi lokal. Bahkan, tradisi lokal ini iustru
menjadi sarana vitalisasi Islam, sebab nilai-nilai Islam ter-
sebut perlu kerangka yang akrab dengan kehidupan masya-
rakatnya.
praktik keaga-
Keempat, progresif; dengan perubahan
maan di mana Islam menerima aspek progresif dari ajaran
dan realitas yang dihadapinya. Dengan demikian, Islam akan
siap dengan lapang dada berdialog dengan tradisi pemikiran
orang lain kendatipun dari Barat.
Kelima, membebaskan; Islam menjadi ajaran yang
dapat menjawab problem-problem nyata kemanusiaan
secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik.
Dengan semangat pembebasannya, Islam tidak kehilangan
kemampuan untuk memikul Peran rahmatan lil 'nlamin
(rahmat bagi seluruh alam), seperti melawan penindasan,
kemiskinan, keterbelakangan, anarki sosial, dan lain-lain.
Tanpa banyak orang yang menyangka, menurut Zainal
Arifin Thoha, muara dari gagasan Gus Dur tentang pribu-
misasi Islam adalah sekularisasi kebemegaraan. Jika kita lacak
dari hulu hingga ke muara, Gus Dur memang konsisten
mengembangkan gagasan serta pemikirannya. Baik pribumi-
sasi Islam maupun sekularisasi kebemegaraan intinya adalah
sama. Aksentuasinya yang berbeda. Gagasan mengenai
sekularisasi kebemegaraan itu, dilemparkan Gus Dur dalam
sebuah diskusi politik di )akarta pada 4 Februari 1999. Me-
nurut Gus Dur, Indonesia harus menentukan sikap menjadi
negara sekuler atau negara theokrasi. Ia iuga memetakan
perihal tiga kelompok politik di Indonesia. Kelompok per-
tama, menginginkan peran militer dalam kehidupan politik.

Syorif 11idoyotulloh, l,{ Ag , MA


52
Kelornpok kedua, menghendaki dominasi agama pada kehi-
dupan bernegara. Kelompok ketiga, menginginkan adanya
pemisahan peran antara agama dengan neg ara (http:l lgroups.
goo gle. co.id/ group I soc.culture.indonesia/browse _threadl thread 17 1).

Di antara tiga kelompok itu, Gus Dur menyatakan diri


sebagai pendukung kelompok yang menghendaki pemi-
sahan peran agama atas negara. Gus Dur menghendaki se-
buah bentuk negara sekuler bagi Indonesia, di mana agama
menjadi inspirasi dan motivasi moral bagi masyarakatnya.
Dengan posisinya ini maka Gus Dur menginginkan pribumi-
sasi Islam adalah bagian dari upaya dakwah. Namun upaya
amar ma'ruf nahi munkar dalam gagasan pribumisasi Islam,
secara holistik diselaraskan dengan konsep mabadi khoiru
umnnh (kemaslahatan umat). Pelaksanaan konkritny a, ada-
lah menasionalkan periuangan Islam, dengan harapan tak
ada lagi kesenjangan antara kepentingan nasional dengan
kepentingan Islam. Sebab, menurutnya, yangdibutuhkan
oleh umatlslam Indonesi4 adalah menyatukan aspirasi Islam
menjadi aspirasi nasional. Di mana Islam, sebagai salah satu
agama yang diakui di Indonesia selain agama-agama yang
lain, diaktualisasikan sebagai inspirasi spiritual bagi tingkah
laku kehiduparn seseorang atau kelompok, dalambermasya-
rakat dan bemegara.
Untuk menjalankan misi dakwahnya ini Gus Dur, yang
secara politik disebut oleh Douglas E. Ramage, peneliti dari
East West Center sebagai seorang'nasionalis sekuler'ifu,
menerapkan strategi dekonfensionalisasi -melalui NU - untuk
menghindari berulangnya disintegrasi politik berdasarkan
agama. Juga untuk menjamin Islam hrdonesia lepas dari ma-
nuver politik picik yang bisa merusak kepentingan umat.

lslom"isme-isme":Alirondon Pohom lslom Di lndonesio


Manuver seperti itu, menurut Gus Dur, bisa menciptakan
kecurigaanbahwa orang Islam tidak sepenuhnya menunjuk-
kan komitmen terhadap Pancasila dan negara. Sementara
ifu, melalui Forum Demokrasi, Gus Dur menerapkan stra-
tegi yang banyak menekankan pengembangan demokrasi,
tetapi dengan perhatian utama pada masyarakat yang toleran
secara keagamaan sebagai prasyarat bagi demokrasi' Bagi-
nya, hubungan antara Islam Indonesia yang toleran dan
negara demokrasi yang seha! tidak bisa dipisahkan. Dan
karena itu, Pancasila merupakan syarat yang niscaya bagi
masyarakat yang demokratis dan bebas secara keagamaan.
Yang diperlukan oleh Indonesia, menurut Gus Dur, ada-
lah konsep nasionalis demokrasi sekular, di mana ini memer-
lukan tiga syarat dasar, yang akan memungkinkan pengem-
bangan demokrasi sejati di Indonesia. Pertama, harus ada
pemisahan wilayah negara dan wilayah pemerintah. Hal
ini belum sepenuhnya ada dalam Orde Baru, karena Orde
Baru menganut visi totalitas negara organik yang diderivasi
ABRL Kedua, harus ada pemisahan antara ciail society dan
pemerintah. Pemisahan ini akan melahirkan otonomi cizril
society dan kebebasan-kebebasan dasar dalam berekspresi,
berserikat dan kebebasan bergerak. Ketiga, pembagian ke-
kuasaan dalam pemerintahan. Ini penting bagi penciptaan
demokrasi yang sesungguhnya. Karena ifu, secara internal
diperlukan sistem cek dan keseimbangan dalam pemerin-
tahan. Dengan demikiaru bagi Thoha, gagasan Gus Dur baik
pribumisasi Islam maupun sekularisasi kebemegaraaru sekali
lagi, pada intinya adalah sama, aksentuasinya saja yang ber-
beda. Pribumisasi lebih ditujukan bagi umat Islam, sedang-
kan sekularisasi ditujukan bagi kehidupan kebernegaraan.

5f Syorii Hidoyotullolr, lrrl Ag , MA


3. lslom Liberol
"lslam liberal" akhir-akhir ini merup.tkan salah satu
istilah yang sangat akrab di hadapari publik Muslim Indo-
nesia, apalagi setelah banyak dipropagandakan oleh para
pendtrkungnya, terut.rrna, aktir.is dan intelektual muda
N,luslim yang bergabung dalam faringan Islam Liberal (JIL),
sebuah lenrbaga independen yang digagas oleh Ulil Abshar-
Abdalia. ]aringan Islam Liberal dan propaganda gagasan
"Islam Liberal"nya sangat mengpndarrS; perhatian dari masya-
rakat, baik vang pro mauplill yang kontra. Gagasan ini sangat
kontroversial, menurut Abdalla (Ghazali, 2005: xv), karena
ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang bahwa istilah
"liberal" dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan
tanpa batas, atau bahkan disetarakan clengan sikap permisif,
ibnhitlnh; sikapr y21g menolerir setiap hal tanpa Lratas yang
pasti.
Dengan cara pandang seperti itu n:aka llrlam liberal
dipandang ban1z2( kalangan sebagai anca-.j.air irrhadap ke-
beragamaar-r \.ang strdah terlembaga. Sti;agai pendiri JIL,
Abc-lalla kembali menep;askan bahr,,.a, Islam liberal yang
cliperjuangk.rn olelr fIL adalah dimensi kebebasan dalam
lslam varg sangkamya adalah "riat" atau dorongan-dorongan
emotif-subjektif dalam manusia sendiri. Karenanl,a, kata
liberal dalarn "Islam liberal" semestinya dipahami dalam
kerangka semacam itu sehingga tidak ada sangkut pautnya
clengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap permisif vang
meialvan kecenderungan "instrir-rsik" dalam akal manusia
iiu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebe-
basan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus
penghayatan keagamaan, rriaka kita telah memulih.kan inte_

lslom "isme-isrne", trlimn don Pahom islonr Di lndonesio


gritas wahyu dan Islam itu sendiri'
Dalam website resminya, 71t4t71t.i5l 6n1lib.com, JIL mem-
publikasikan.sikapnya dalam mengembangkan Islam liberal
di Indonesia; dengan memaparkan bahwa "Islam Liberalf'
adalah suatu benfuk penafsiran tertentu atas Islam dengan.

a. Membuka pintu ijtihad pada sefluta difiensi lslam; lslam


Liberal percaya bahwa iitihad atau penalaran rasional
atas teks-teks keislarnan adalah prinsip utama yang
-"*.rr,gLioian Islam terus bisa bertahan dalam segala
cuaca. Penutupan pintu iitihad, baik secara terbatas-
atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam ifu
sendiri, seb ab dengan demikian Islam akan mengalqrni
pembusukan.'Islam Liberal Percaya bahwa ijtihad bisa'
diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat
' (interaksi sosial), ubudiyyaf (ritual), dan ilahiyyat
, (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna lite-
ral tek; ijtihad yang dikernbangkan oleh Islam Liberal
adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat
religio-etik Qtrr'an dan Sunnah Nabi, bukan menafsir-
kan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah
teks. Penafsiran yang literal hanya akan'melumpuhkan
Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat
religio-etik, lslam akan hidup dan berkembang secara
kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan
universal.
c. Mempercayai kebenaran uang relatif, terbuka dan plu'
ml; Islamliberal mendasarkan diri pada gagasan tentang
kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai se-

Syorif Hidoyolulloh, M.Ag , MA


slratu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah
kegiatan mur111slay,,i7ang terkungkung oieh konteks ter-
tentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran me-
ngandung kemungkinan salah, selain kemungkinan
benar; plural, sebab penafsirankeagamaan, dalam safu
dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang
penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-
ubah.
d Memihak padn yang minoritas dan tertindas.; Islam
Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak
kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggir-
kan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan
praktik ketidakadilan atas yang minoritas adalah ber-
lawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini di-
pahami dalam maknanya yang luas, mencakup mino-
ritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan
ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama; Islam Liberal meyakini
bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah
hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi.
Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (per-
sekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f Memisahkan otoritas duniaui dan ukhrawi, otoritas
keagamaan dan politik; Islam Liberal yakin bahwa
kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan.
Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam
Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi
kehidupan agama dan politik adalah negara yang me-
misahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah
sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan

islom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio 57


publik, tetapi agama tidak punyaluk suci untuk menen-
tukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada
di ruang privat, dan urusan publik harus diseleng-
garakan melalui proses konsensus.
Dengan enam landasan seperti dikemukakan di atas,
maka nama "Islam liberal" menggambarkan prinsip-
prinsip yang dianut para penganutnya, yaitu Islam yang
menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari
struktur sosial-politik yang menindas. "L7beral" di sini
bermakna dua kebebasan dan pembebasan Mereka percaya
bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenya-
taarurya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan penafsimya. Dalam konteks ini, mereka memilih
satu jenis tafsil, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap
Islam, yaitu "liberal". Unfuk mewujudkan lslam Liberal
inilah kemudian mereka membentuk Jaringan Islam Libe-
ral (JIL).
Tujuan mereka mendirikan lembaga ini adalah untuk
menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada
masyarakat. Untuk itu mereka memilih bentuk jaringan,
bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik.
JIL adalah wadah yang longgar untuk siapa pun yang memi-
liki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Uberal.
Misi jaringan ini adalah: pertama, mengembangkan penaf-
siran lslam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang
dianut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin
khalayak. Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dia-
log yang bebas dari tekanan konservatisme. Mereka vakin,
terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan
gerakan Islam yang sehat, dan, Ketiga, mengupayakan ter-

58 Syori{ Hidoyotulloh, A1 Ag , MA
ciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manu-
siawi.
Seiring dengan semakin semaraknya fenomena radi-
kalisme agama di tengahumat islam di era reformasi, maka
mengakibatkan semakin menjamurlah perbincangan
seputar gagasan liberalisme Islam, sebagai bentuk respons
atas fenomena tersebut. Geloranya banyak diprakarsai
anak-anak muda usia, 20-35 tahun. Untuk kasus Jakarta,
mereka umumnya para mahasiswa,peneliti,atau iurnalis
yang berkiprah di beberapa lembaga, semisal Paramadina,
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU), IAIN Syarif Hidayahr I I a h,
atau Lrstitut Studi Arus Informasi. Komtrnitas itu makin meng-
kristal, sehingga pada Maret 2001 lalu mereka ment-
organisasikan diri dalam |IL.
Kegiatan awal dilakukan dengan menggelar kelompok
diskusi maya (milis). Sefak 25 Juni 2001, fIL mengisi saru
halaman Jawa Pos Minggu, berikut 51 koran jaringannva,
dengan artikel dan wawancara seputar perspektif Islam
liberal. Tiap Kamis sore,JIL menyiarkan wawancara langsung
dan diskusi interaktif dengan para kontributor Islam liberal,
lewat kantor berita radio 68 H dan 10 radio jaringannya.
Situs islamlib.coru diluncurkan, dua pekan kemudiar-r.
Beberapa nama pemikir muda, seperti Luthfi Assyaukanie
(Universitas Paramadina Mulya), Ulit Abshar-Abdalla
(Lakpesdam NU), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam),
terlibat dalam pengelolaan JIL. Luthfi Assyaukanie, editor
slttts islamlib.com, menyatakan bahwa lahimya JIL sebagai
respons atas bangkitnya "ekstremisme" dan "fundamen-
talisme" agama di Indonesia. Ifu ditandai oleh munculnya

lslom "isme-isme", Aliron don Pohom lsicm Di indonesio


59
kelompok militan Islam, perusakan gereja, yang sudah
menjadi streotip dalam studi mengenai Islam dan demo-
krasi. "Islam selama ini dianggap halangan bagi demo-
krasi," kata lulusan Universitas Ohio, Amerika Serikat, itu'
Baginya, tak ada contoh berdirinya negara demokrasi yanS'
terkonsolidasi di negara mayoritas muslim. NamurL komu-
nitas Islam liberal dapat mmjadi embrio yang menyimpang
dari apa yang sudah menjadi stereotipe itu tersebut.
Penilaian pesimistis dilontarkan Sekretaris Jenderal
Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI),
Adian Husaini, bahwa Islam liberal tidak menjadi solusi,
tetapi malah menjadi problem. Adian mencurigai Islam
liberal sebagai proyek imperialis. Jargon-jarSon yang
diusung lslam liberal, seperti "menolak politisasi agama",
menurut Husaini, adalah kelanjutan jargon Snouck Hurgronje
dan yang dikembangkan Berury Moerdani di masa Orde
Baru. Penggunaan kata "Islarn ekstrim"unfuk menunjuk
"lawan" Islam liberal, menurutnya, juga khas Orde Baru.
Demokratisasi yang diperjuangkan Islam liberal dinilai-
nya sebagai demokrasi versi Barat. Islam liberal hanya
bertujuan menjinakkan gerakan Islam sehingga tunduk
pada Barat. Namun, juru bicara Darul Islam, Al Chaidar,
tidak melihat Islam liberal sebagai ancaman bagi garis
perjuangannya, karena dianggap tidak melanggar prinsip
Darul Islam yang diusung Al Chaidar, yang mengaku
mengikuti perkembangan Islam liberal.
Kritik mendasar Islam liberal justru berasal dari "mitra-
nya'i sesama"lawan" Islam militan, yaitu komunitas yang
menamakan diri "Post Tradisionalisme Islam" -biasa di-
singkat Postra. Kalangan ini umumnya berlatar belakang

60 Syorit ilidoyotulloh, M Ag , MA
kultur Nahdlatul Ulama. Markasnya di LakpesdamJakarta
dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), yo$yakarta.
Label mereka merujuk pada judul terjemahan buku
Muhammad Abed Al-]abiri, pemikir Maroko, yang diter-
bitkan LKiS. Rumadi, seorang pejuang postra, menilal ada
dua kelemahan paradigma tslam liberal. pertama, kurang
empati pada tradisi lokal. Kedua, mengabaikan dinamika
spiritualitas. Luthfi yakin, paham keagamaan yang membe-
baskan manusia dari belenggu, sekaligus menghargai aspek
lokal, akan lebih dekat dengan perasaan kemanusiaan.
Lahimya sejumlah media penyuara aspirasi "Islam militan,,,
serta penggunaan istilah "jihad" sebagai dalil serangan.
Menurutnya, kelompok militan itu sebenamya tidak
banyak, tetapi, mereka lebih pintar menggunakan alat
komunikasi modem untuk mempengaruhi pendapat umum.
Gerakan mereka lebih agresif dan bahasanya sederhana,
sehingga mudah dieerna awam. fika pandangan mereka
dominan, kata Luthfi, bisa menghambat demokratisasi
Indonesia dan mempersulit tatanan koeksistensi damai
antar kelompok beragama. Demokrasi, menurut Luthfi,
membutuhkan pandangan keagamaan yang terbuka, plu-
ral, dan humanis. Sayangnya, suara kelompok ini makin
lirih, karena hanya menjadi konsumsi elite. Bahasanya sulit
dicema awam. Gerakannya kurang gereget. Untuk mencegah
dominasi kaum militan, Luthfi mengatakary harus ada
kampanye militan tentang gagasan keagamaan pluralis-
humanis. Islam liberal ini datang sebagai protes dan
perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks itu.
Luthfi memaknai istilah Islam liberal sebagai identitas
untuk merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


6t
yang kritis, progresit dan dinamis." Dalam pengertian ini,
Islam liberal bukanlah sesuatu yang baru," katanya. Pon-
dasinya telah ada sejak awal abad ke-19. JIL mendaftar 28
orang kontributor domestik dan luar negeri sebagai "juru
kampanye" Islam liberal. Di antara mereka adalah Nurcholish
Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Said Agiel
Siradj, Azyumardi Azra, Goenawan Mohamad, Koma-
ruddin Hidaya! dan Rizal Mallarangeng. Beberapa kontri-
butor manca negara, misalnya, Edward Said (Palestina),
AsgharAli Engineer (Pakistan), Abdullahi Ahmed an-Na'im
(Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Charles
Kurzman (Amerika).
|IL menyediakan pentas-berupa koran, radio, book-
let, dan utebsite-bagi para kontributor itu untuk mengung-
kapkan pandangannya pada publik. Tema kajiannya berupa
soal-soal yang berada dalam iingkup agama dan demokrasi.
Misalnya jihad, penerapan syariat Islam, tafsir kritis, kea-
dilan gender, jilbab, atau negara sekuler. Perspektif yang
disampaikan berujung pada tesis bahwa Islam selaras
dengan demokrasi. Itu yang tergambar dalam wawancara,
kolom, dan diskusi fIL. Pengamat politik Denny J.A. me-
naruh harapan khusus pada Islam liberal. Ia amat tertarik
pada konsep keislaman |IL. Dari kepentingan politik
demokrasi, komunitas Islam liberal ini memberi harapan
baru, menurut Denny, komunitas ini menjadi sintesis
antara prinsip demokrasi dan agama Islam.
Namun diakui oleh Ruma di (htt!:l luutttt.konrytns.corrtl
A-trlrrrns-ccf nkl 0111, I 23 / otr i tr I i si t04.h t n t\. bah wa masih ad a
i

problem epistemologis dalam gagasan ini karena sejauh ini


belum ada penjelasan memadai mengenai basis epistimologis

62 Syorif Hidoyotulloh, M.Ag., MA


apa yang disebut Islam liberal. Paling tidak, menurutnya,
ada dua buku yang secara agak panjang lebar menjelaskan
hal ini, yaitu apa yang ditulis Leonard Binder, Islamic
Liberalisme: A Critique of Deaelopment ldeologies, (Chicago:
Tlrc Uniaersity of Chicago Press,1988); dan tulisan Charles
Kurzman dalam pengantar buku, Liberal Islam, A Sourcebook,
(Oxford: Oxford Uniaersity Press, 1998). pengertian Islamic
Liberalisnr-nya Leonard Binder dan Liberal Islamnya
Charles Kurzman sebenarnya mempunyai pengertian dan
sudut pandang berbeda. Sebagaimana diakui sendiri oleh
Kurzman, Binder menggunakan sudut pandang ,,Islam
bagian dari liberalisme" (a subset of liberalism), sedangkan
Kurzman menggunakan pendekatan bahwa,,liberalisme
sebagai bagian dari Islam" (a subset of lslnm). Konsekuensi
lebih jauh dari perbedaan cara pandang ini, jika Binder
berupaya melihat secara terbuka dialog Islam dengan Barat
dan membiarkannya berdialektika dalam serangkaian
proses take and gizte, termasuk dengan tradisi lokal (dalam
konteks ini tradisi Arab).
Sedangkan Kurzman mengambil posisi sebaliknya
dengan lebih menekankan pada konteks Islaminya, dengan
menguji pemikiran kaum muslim liberal dipandang dari
sudut tradisi Islam. Karena itu, jika Binder melihat seberapa
liberalkah kaum liberal Islam? Apakah varian-varian libe-
ral sesuai standar Barat? Maka, Kurzman mempertanyakary
apakah pikiran-pikiran liberal itu masih berada dalam
konteks Islami atau tidak? Akibat dari paradigma yang demi-
kian, maka Islam liberal menjadi kurang bisa menghargai
tradisi lokal, kepercayaan lokal, adat istiadat, dan seterus_
nya, karena dianggap bid'ah, inkretik, ,,tidak asli,,, kurang

lsiorn "rsnre rsme": Aliron don Pohonr lsloin Di lndonesio


"Islami", bahkan penyimpangan dari Islam itu sendiri.
Konsep ini jelas sekali tergambar dalam pikiran liberalis Islam
lewat Kurzman ketika menguraikan rentetan kelahiran
Islam liberal.
Menurut Kurzman (Rumadi, 2007, http I I www.komp as.
:

com.komp as cet akl 0L1Ll 23 I op ini I isla}4.htm), sej arah panj ang
dalam Islam diwarnai tiga tradisi. Tradisi pertama disebut
"Islam adat" (customary lslam) yang ditandai pencampur-
adukan antara "tradisi lokal" (little tradition) dengantradisi
besar (6reat tradition)yang diandaikan sebagai "Islam yang
asli" dan "Islam yang murni". Islam yang sudah bercamPur
dengan berbagai tradisi lokal dianggap sebagai Islam yang
penuh bid'ah dan khurafat. Atas dasar itu muncul arus
tradisi kedua yang disebut "Islam revivalis" (reoiaalist Islam)
yang bisa mengambil bentuk pada fundamentalisme dan
wahabisme. Tradisi ini berupaya melakukan purifikasi
(pemurnian) terhadap Islam yang bercamPu*tradisi lokal
yang dianggap tidak Islami dan sebagai penyimpangan
terhadap doktrin Islam "yun1 murni" dengan jargon
"kembali kepada al-Qur'an dan hadis". Arus tradisi ketiga
disebut sebagai "Islam Iiberal".
Dalam pandangan Kurzman, sebagaimana prcndu-
kung revivalis, Islam liberal mendefinisikan dirinya ber-
beda secara kontras dengan Islam adat dan berseru keuta-
maanlslam pada periode awal untuk menegaskanketidak-
absahan praktik-praktik keagamaan masa kini. Islam liberal
menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan mo-
dernitas, sedangkan Islam revivalis menegaskan mo-
dernitas atas nama masa lalu. Meski diakui ada banyak
versi tentang liberalisme Islam, namun, menurut Kurzmary

Syorif Hidoyotulloh, M.Ag, MA


ada benang merah yang dapat mempertemukan semuanya,
yaitu kritiknya terhadap tradisi "Islam adat" maupun "Islam
revi'u,alis". Dengan demikian, Islam liberal dibayangkan
sebagai counter atas dua arus sekaligus, Islam adat dan trslam
revivalis sekaligus.
Paradigma Islam liberai yang tidak ramah terhadap
tradisi lokal inilah 1,ang kemudian mendapat reaksi dari
"post tradisionalisme Islam" ("postra" ). Pada tingkat ini
ada titik temu sekaligus perbedaan antara "Islarn liberal"
dan "postra". Titik temuannya terletak pada sernangat
untuk mengusung pemikiran-pemikiran triberal, tidak
terjebak pada ortodoksi, rnembebaskan diri dari keterkung-
kungan teks keagamaan, sekularisasi, dan seterusnya,
rneski di dalamnya ada pernik-pernik pemikiran berbeda.
Sedangkarr yang meinbedakan adalah cara pandang masing-
masing terl-radap iokalitas, kepercavaan pinggiran, penge-
tahuan pinggiran, dan seterusnya. I'erbedaafl cara pandang
terhadap "lokalitas" ihr sebenarnya berawal dari perbedaan
dalam memandang rnodernitas. Jika "Islam liberal" meiitrat
rnodernitas sebagai rahmat yang harus disvukuri karena
eierigannya marrtrsia. clapat hidup iebih mudah dan efisien;
:,edarigkar poslra nreiihai modernitas lebih seb;rgai "iaknat"
meski aspek positifnya tidak dapat diingkari.
ivtcdernitas vang pada alt,alni,a merupakan gagasan
emansipaioris, namr.rn di Indotresia ia justru mengambii
bentuk sebaliknva seperti kolonialisme, imperialisme, cian
juga otoritarianisme. Karena itr-r, di satu pihak kalangar-r
postra iebih kritis terlradap modemitas, terutama pandangan-
nva terhadap tradisionalitas yang dipandang sebagai peng-
hambat kemajuar.r sehingga perlu disingkirkan. Namun, di

lslonr "isme'isme": Aliron cion Pohonr lslom 0i lndonesio


65
pihak lain aspek-aspek emansipatorisnya harus tetap di-
apresiasi.
Atas dasar itu, jika dalam paradigma lslam liberal
masih menekankan "otentisitas", "orisinalitas", dan "ke-
aslian" Islam, maka postra sudah melampaui ifu semua.
Dari sinilah postra bertemu dengan pemikiranArab modem
seperti Nasr Hamid, Abu hyd,Shahrur, al-Iribifl dan seterus-
nya, yarlg pemikirannya sering dijadikan sebagai rujukan
epistimologis. Dengan demikian, tidak berlebihan jika di-
katakaru post tradisionalisme lslam adalah "lslam liberal
plus", yaitu plus penghargaan atas hal-hal yang lokal dan
pinggiran. Rumadiberharap agai Islam liberal menjadikan
"lokalitas" dan hal-hal yang bersifat pinggiran menjadi
agenda liberalismenya, sehingga agenda lslam liberal dan
postra bisa bertern u (http / / www.komp as. com I komp a s- ce t ak I
:

011L l 23 I op ini I isla04.htm).

+ lclom Poclfrudlsionol

Ketika wacana post tradisionalisme lslam (selanjutnya


disebut postra) dimunculkan dalam belantika pemikiran
Islam di Indonesia maka bermunculanlah berbagai tan 91aParl,
mulai dari yang apresiatif, biasa-biasa saj+ sampai yang
sinis. Apresiatif karena wacana itu dianggap dapat meng-
gairahkan kembali dinamika pemikiran Islam di Indone-
sia yang diakui atau tidak seolah "berjalan di tempat",
tanpa perkembangan berarti. Biasa-biasa saja karena postra
dianggap belum maPan basis epistemologisny4 bahkan
tidak ada bedanya dengan arus pemikiran yang lain; dan
sinis karena wacana ini dianggap sebagai kelatahan anak-
anak muda NU untuk mempertegas identitasnya, bahkan

Syorif Hidoptulloh, M Ag, ilA


dilihat sebagai "primordialisme bartr,, yang dibungkus
dengan teori-teori yang canggih. Munculnya berbagai reaksi
itu merupakan hal wajar dan tidak perlu diperdebatkan.
Meski demikian-ini yang agak memprihatinkan-bila wacana
postra semata-mata dianggap untuk mempertegas identitas
kelompok, apalagi sebagai kelatahan, hal ini sebenarnya
agak keterlaluan, meski anggapan demikian juga tidak
dapat dianggap salah sama sekali.
Menurut Rumadi (2OOI, http :/ lwwzo.kompas.com/
komp a s c e t ak / 0111 I 2 3 I op in i / isla04.h t m.), ada beberapa alasan
yang mungkin dapat dijadikan argumen untuk mem_
benarkan hal ini. Pertama, wacana postra lebih banyak
disuarakan oleh komunitas yang sebagian besar afiliasi
kulturalnya adalah Nahdlatul Ulama (NU).Lembaga swa_
daya masyarakat (LSM) yang mempunyai perhatian ter_
hadap perkembangan pemikiran dan menyuarakan tema
postra, sebagian besar juga LSM yang afiliasi kulturalnya
ke NU, meski juga harus diakui, banyak aktivis Islam
libe_
ral yang afiliasi kulturalnya juga NIJ. Kedua,kata ,,tradisio_
nalisme" telah menjadi cap yang menghunjam kuat seba_
gai identitas "orang NIJ,,. Karena ifu, ketika muncul kata
"postra" maka orang akan dengan mudah mengatakan
bahwa "itu milik NU,'.
munculnya wacana postra beriringan dengan
Ketiga,
semangat "Islam liberal,, yang sedang menjadi gairah
intelektuaiisme islam belakangan ini dengan berbagai akti-
vitas pendukungnya. Dalam suasana demikian, postra
me
ngesankan seolah ingin membedakan dengan
Islam liberal
baik pada tingkat epistemologis maupun basis
gerakannya.
Meski prihatin, tetapi itulah realitas kita. Kata ,,tradisional_

lslom "isme-isme": Aliron don pohom lsionr Di lndonesio


67
modem" dan segala turunannya bukan saja telah meniadi
kategori akademik, tetapi lebih dari itu, telah menjadi iden-
titas kelompok yang di dalamnya diberi muatan "ideologi"
tertentu. Arus demikian juga begitu kuat terasa ketika
muncul arus neo-Modernisme dan Islam liberal di satu
pihak danpostra di pihaklain' Jika yang pertama dianggap
sebagai mitik kalangan "modemis" , f angkedua dianggap
milikkalangan "tradisionalis" NU. Harus diakui, ini sebenar-
nya hal yang tidak sehat dalam konteks perkembangan
pemikiran, karena pemikiran akan menjadi identitas
kelompok.
Bagaimanapun kelompok postra ini sepakat saling
bahu-membahu untuk menghadapi Islam liberal' Bahkaru
sebagian dari mereka menganggap Islam liberal sebagai
ancaman. Di satu pihak, tema Islam liberal sedang mem-
pesona sebagian kaum muda. Tati Wardi, 24 tahun, misalnya'
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri |akarta itu lahir
dari keluarga dengan tradisi kultural Nahdlatul Ulama dan
Masyumi. Kini gadis beriilbab itu melahap buku-buku
Islam liberal, juga post-tradisionalisme Islam' Salah satu
penyebab kecenderungan itu, dia tidak menyukai Islam
garis keras. "Mereka cenderung merasabenar sendiri"' kata
Tati. Tati hanya satu dari banyak kalangan muda yang ter-
tarik pada paham Islam yang terbuka, pluralis, dan hu-
manis.
Ketertarikan itu menemukan jawabannfa pada Islam
liberal yang belakanganrnenjadi perhatian sebagian publik
melalui penerbitan buku wacana lslam Liberal: Pemikiran
Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global karya sosiolog
Charles Kurzmarl pembukaan kios intemet Jaringan Islam

Syorrf Hidoyorulloh, M Ag , MA
Liberal (totttw. I sl nntl ib. c ont), dan berm acam diskusi. Gairah
itu tampak pula di seminar "Mendialogkan Post-Tradisio-
nalisme Islam dan Islam Liberal dalam Gairah Baru Pemi-
kiran Islam di Indonesi a" ,yangdiselenggarakan mahasiswa
IAIN Syarif Hidayatullah dilakarta, pada 2001 lalu. Sekitar
500 orang mengikuti seminar yang menghadirkan intelek-
tual muda Islam seperti UlilAbsharAbdalla, Saiful Mujani,
Ahmad Sahal, LuthfiAssyaukani, Ahmad Baso, dan Rumadi
itu. Sebagian besar pembicara mencoba menangkap sosok
yang disebut Islam liberal. Maklum, kata sifat liberal mengan-
dung gradasi "keliberalan"-nya dan sejarah yang panjang
(Majalah Tempo, No. 38lXXXl19 - 25 November 2001).
Menurut Charles Kurzman, Islam liberal berakar pada
Syah Waliyullah (1703-7762) di India dan muncul di antara
gerakan-gerakan pemumian Islam ala Wahabi pada abad
ke-18. Bersirma dengan berkembangnya Islam liberal, muncul
tokoh-tokohnya pada tiap zaman. )amaluddin Alafghani
di Afganistan, Sayyid Ahmad Khan di tndi4 dan Muhammad
Abduh di Mesir - ketiganya hidup pada abad ke-19. Adapun
pada abad 20 terdapat antara lain Abdullah Ahmed Naim,
Mohammad Arkoury Fazlur Rahmary dan Fatima Memissi.
Nurcholish Madjid, cendekiawan Indonesia yang mengi-
barkan teologi inklusif, juga disebut. Istilah liberal, menurut
Luthfi Assyaukani, dosen Universitas Paramadina Mulya,
antara lain bermakna pembebasan dari cara berpikir dan
berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan.
Islam liberal, menurut Luthfi, tidak bisa dipertentang-
kan dengan Islam model lama semacam tradisionalis, revivalig
atau modemis, juga dengan model baru seperti neo-Modemis
dan post-modemis. Sebab, gagasan Islam liberal sesungguh-

lslom "isme-isme"' Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


nva kombinasi unsur-unsur liberal yang ada dalam kelompok-
kelompok pemikiran modern itu. Perhatian Islam Iiberal
adalah pada hal-hal vang prinsip. "Islam liberal tak rnengu-
rusi jenggot atatt pembagian tempat dudtrk khusus bagi
wanita di bus kota," kata Ahmad Sahal memberi contoh.
Adapun hal prinsip misalnya negara demoklasi, emansipasi
wanita, dan kebebasan berpikir. Islam liberal bisa menerima
bentu.k rlegara sekuier, yang menurut Ulil Abshar Abdalla
Iebih unggul dari negara ala kaum fundarnentalis. "Sebab,
negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan
energi kemaksiatan sekaligtrs," kata Ulil, yang disambut
ledakan tawa peserta diskusi.
Di pihak lain, selain Islam liberal, sosok post-tradi-
sionalisme Islam 1,ang diperkenalkan cenc{ekiau'an Maroko,
Muhammad Abed Al Jabir, juga diteropong. Karva Al Jabir
dikumpulkan dan diterjemahkan Ahmad Baso, intelektual
NU, dalam bukr.r Post-tradisionalisme Islam. Kata pembicara
seminar Rumadi, seperti Islam liberal, postradisionalisme
bersemangat mengusung pemikiran liberal, mendobrak
ortodoksi, membebaskar-r diri dari keterkungkungan teks
keagamaan, dan menerima sekuiarisasi. Be-danva, post-tra-
disionalisme menimba kearifan itu clari Proses kriiis (de-
konstruksi) terl-radap tradisi (ttirats) Islarn zaman Nabi
Muhammad hingga dinasti Andalusia.
Wacana post-tradisionalisme lebih ban'r'ak dipromosi-
kan orang-orang NU. Kemunc.ulannya di hrdonesia, rnenurut
Rumadi, seiring dengan ngetren-nva wacana Islam liberal.
Terkesan kernunculan post-tradisionalisme adalah unjuk
identitas bagi sebagian orang NU. Kesan itu iuga muncul
dalam seminar ketika sebagian pembicara meniadi pem-

Syorif Hidoyotrlloh, M AE , MA
70
bela kubu masing-masing. Namun, jarak ifu melebur se-
telah Ahmad Sahal dan Saiful Mujani menyatakan bahwa
secara substansi antara Islam liberal dan post-tradisionalisme
sama. Misalnya, menyangkut ide tentang negara demokrasi.
Dengan kesamaan substansial ini, maka kedua aliran ini,
Islam liberal dan post-tradisionalisme, bisa bekerja sama
dalam merespons kemunculan Islam liberal yang semakin
nnssif dan semarak ini. Islarn literal, menurut Ahmad
Sahal, adalah sebutan lain untuk kaum fundamentalis atau
kalangan Islam garis keras. Kalangan yang menurutAbdul
Mun'im D.2., pembicara dari LP3ES, memperjuangkan
penerapan hukum Islam yang ketat dan menunfut pen-
ciptaan masyarakat muslim yang eksklusif. Berbeda dengan
agenda Islam liberal, yang ingin menciptakan masyarakat
multikultur. Dengan demikian, Mun'im. Mengingatkan,
gagasan Islam liberal dan post-tradisionalisme secara nyata
akan berhadapan dengan gerakan Islam garis keras ini
(Majalah Tenrpo, No. 38/XXX/1.9 - 25 November 2001).
Post-tradisionalisme, menurut Marzuki Wahid (2000:
19-27), salah intelektual muda NU yang berada di garda
aliran pemikiran ini, dapat dipahami sebagai suatu gerakan
"lompat tradisi", karena ia berangkat dari suafu tradisi yang
secara terus-menerus berusaha memperbarui
tradisi ter-
sebut dengan cara mendialogkan dengan modernitas.
Inilah yang membedakannya dengan gagasan "pribumisasi
Islam"-nya Gus Dur di atas yang justru mendialogkan Islam
dengan tradisi lokal yang orisinal dan kurang tertarik untuk
mendialogkan dengan modernitas. Karena intensifnya ber-
dialog dengan kenyataan modernitas, maka terjadilah lon-
catan tradisi yang dilakukan post-tradisionalisme dalam

lslcm "isnre-isme" Aliion dcn Pohom lslom Di indonesio


7t
kerangka pembentukan tradisi baru (new traditions) yang
sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya' Di satu
sisi memang terdapat kontinuitas namun dalam banyak
bidang lain terdapat diskontinuitas dari bangunan tradisi
lamanya. Wahid juga menyepakati bahwa secara umum
bersamaan dengan pengembangan pemikiran post-tradisio-
nalisme teriadi juga nuansa "liberasi pemikiran"'

5. lslom Rodlkol, tslnm Fundomentolis, don lslom


lllersl
Beberapa tahun belakangan ini ormas Islam yang me-
nyuarakan Khilafah Islanu$rah semakin rhenguat. Melalui
seminar, buku, dan buletin mereka memPromosikan sistem
pemerintahan yang pemahberlaku pada masa Khulafa ar
Rasyidun dan Khilafah Tirrki Usmani' Bagi mereka nasio-
nalisme yang ada dalam konsep negara bangsa modern
(modern nation state) telahmenyalahi konsep IGilafah Islam.
Konsep Khilafah Islamiyah justru menyatukan seluruh negara
yang dipimpin oleh umat Islam' Mereka tidak dipisahkan
oleh kepentingan politik negara bangsa masing-masing'
Kita bisa melihat bahwa fenomena radikalisme agama
semacam itu berakar dari benfuran antara modernitas dan
nilai-nilai agama. Kecenderungan itu dapat dinilai sebagai
radikalisme karena mereka berupaya mengganti tatanan
negara yang sudah ada dengan yang lain' Apalagi kecen-
d.erungan tersebut juga diiringi dengan penolakan secara
menyeluruh terhadap semua produk pemikiran Barat
(kafir).
Oleh sebab itu, radikalisme hanya dapat dieliminasi
selama modemitas dapat diserap melalui ajaran agama'

Syorif Hidoyotulloh, fi1.A9, [{A


Pelajaran berharga dapat dipetik dari kasus negara-negara
vang tidak berupaya membangun modernitas melalui nilai-
nilai tradisi. Modernisasi yang terjadi justru menciptakan
alienasi bagi masyarakatnya. Lembaga-lembaga modern
dirasakan oleh mereka berubah menjadi a1amabaru yang
mengancam agama mereka. Sebagaimana disinggung oleh
Emile Durkheim bahwa negara dalam konsep sekularisme,
pada hakikatnya, adalah substitusi agama (CMM, http://
ututut. c m t n. o r. i d I cmm -in d mor e.php? i d:4 57 40 3 20 M1 4).
Kemuakan masyarakat Barat atas teologi eksklusif
yang dikembangkan dalam gerakan radikalisme di atas
diekspresikan dengan bersikap apatis terhadap agama,
bahkan banyak pula yang melakukan "pemberontakan".
Sungguh pun mereka tidak bisa menghilangkan kebutuh-
an spirifual, namun sebagian besar dari mereka tidak terlalu
peduli dengan ritualitas agama. Hal ini terlihat dari semakin
jarangnya masyarakat di sana yang mengikuti kebaktian
mingguan di Gereja. Sementara itu, kebutuhan spiritual
mereka terhadap Tuhan disalurkan melalui kegiatan-kegiatan
kerohanian yang lepas dari agama. Fenomena ini adalah
apa yang disebut sebagai spiritualisme, dr Barat dikenal se-
bagai gerakan New Age. Mereka menyelami spiritualitas
dan "bermesraan" dengan Tuhan tanpa terikat dengan sebuah
agama. Jika demikian, bagaimana dengan masa depan agama?
masih adakah agama-agama di masa depan?
Pada dasamya fenomena Nsat Age danapatismemasya-
rakat Barat, misalnya terhadap agama dilatari olehketidak-
sukaan terhadap klaim kebenaran dan keselamatan, ditambah
dengan radikalisme yang marak beberapa tahun belakangan
ini. Semua itu-tanpa bermaksud menghakimi-bersumber

lsiom "i:rne i!rre": Alir0n d0f Pohcrn lsionr Di lndonesio


73
dari keberagamaan eksklusif. Oleh sebab itu, teologi eks-
klusif adalah ancaman masa depan manusia dan agama
itu sendiri. Klaim kebenaran yang berujung pada pengha-
kiman terhadap orang yang berbeda sebagai "sesat" atau
"kaftit" menumbuhkan kebencian safu sama lain. Kebencian
itu pula yang pada gilirannya memicu radikalisme. Atas nama
kebenaran dan atas jihad suci yang diyakininya, tak segan-
segurt mereka melakukan tindak kekerasan yang tidak hanya
merusak fasilitas pubtik, tetapi merenggut nyawa oranS-
orang yang tak berdosa. Sungguh suatu tindakan irasional
(http : I I www. anm.or.id I cmm-indmore.php ? id46020 3 L0 ML4).
Islam memang mengajarkan untuk berani mengha-
dapi kematian dan sikap berani mati itu muasalnya bersumber
dari keyakinan bahwa kehidupan akhirat adalah tujuan akhir
yang paling indahbagi manusia. NamurL sikap bunuh diri
untuk mencapai akhirat itu dalam tingkat tertentu berten-
tangan dengan nilai-nilai Islam. Kalaulah seseorang memang
menginginkankehidupan di akhirattentunya ia tidak akan
menyia-nyiakan kehidupan di dunia dengan segala amal
yang mendatangkan kemaslahatan. Artinya, Islam mengajar=
kan untuk cinta kehiduPan, di mana setiap detik dan setiap
tarikan napas begitu berharga. Betapa citra Islam dalam per-
kembangan mutakhir ini sedemikian buruknya ini terjadi
tak lebih karena ada miskonsepsi dan salah paham tentang
Islam. Bom bunuh diri sebagai pilihan solusi terhadap
masalah duniawi yang kian tak kunjung usai merupakan
bagian dari fundamentalisme-radikal yang berujung pada
tindak terorisme.
Fundamentalisme dimaknai sebagai pemikiran hitam
putih yang tak ada ruang di antaranya. Profesor Antro-

Syorif Hidoyotulloh, M.fo , [M


pologi dari Universitas York, Toronto, Kanada, Dr Judith
Nagata, dalam sebual-, kunjungannya ke Indonesia me-
nvatakan, fundamentalismelah vang menvebabkan sese-
orang atau sekelompok orang melakukan tindak keke_
rasan atas kelompok lain. Mereka menganggap kelompok
lain bertentangan dengan kelompoknl,a. Ini bisa saja hidup
di benak suku bangsa atau ras tertentu juga pemeluk agama,
.rpa plrll a6lamanva. Memrrut Judith, kurang tepat jika kemu_
cliar, ftrndamentaiisme hanya disematkan kepada sebuah
agama tefter-itr-r (lffu;lhtl:lt
filhU+i. Bagrnva, turrdanrentalisme takhanrua ada di elalarr,
komunitas lslam, tapi juga di Kristen, Buddha, Katoiik,
Hindu, Yahucli, rnaupun Sikh. Ia mengungkapkan, funcla-
rner-rtalisme, khususnya fundamentaiisme .rgama, tak
hanya dipengaruhi oleh penafsiran atas tel:.s ;irci saja, me-
lainkan juga berkait kelindarr dengan k*t-::rkan peme-
rintah di mana sejumlah komunitas agali-.,. ie:sebut hidup
dalam masvarakat atau negara yang be51=i, r-,ii;r"al, terutama
terkait dengan kemauan politik dari sehuair
;)ernerirltahan.
r-r d ith n'rencr.rntohkan b a gaiman a pemerintah
.[ Kanada merni -
Iiki kemaLran poiitik vangbagus dalarn hal ini. fubagai sebuah
netara yang ;nultikuitur dan multikeyakinan, pemerintah
Kanada terus mendorong masvarakatnya r.,ang plural ter-
sebut unhlk memahami komunitas yang berbeda riengan
dirinva.
Komunitas yanpS rnajemuk itu dibiasakan untuk saling
ctenShcrmaij dan ment,adari adanl, aperbedaan. pacja saai
negara tak mendorong komunjtasnva mengakui Fer*r,rlaan,
maka inereka akan kesuiitan menyatakan identitasnya.
L)alarr, l<ebingur"rgannva ihr maka hai vang palirrq mungkin

isionr "isnre-isnre"' Aliron dcn Plhom islom Di lndonesio


75
untuk dilakukan adalah kembali kepada identitas tradisi-
onal yang mereka miliki.
Dalam komunitas Islam, munculnya istilah funda-
mentalisme-yang berasal dari Barat-sering kali dikecam.
Mantan Menteri.Agama, Tarmi zi Taher, mengatakan bahwa
pemeluk Kristen Protestanlah yang pertama kali mengguna-
kan istilah fundamentalisme. Mereka ingin kembali ke dasar
ajaran agama dengan menafsirkan kitab suci secara harfiah.
Bassam Tibi, dalam buku The Challettge of Fundamental-
ism: Political Isilam and the New World Disorder (1998)
memandang fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis
dari fenomena global yang baru dalam politik dunia, di
mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada ideo-
Iogi politik. Kelompok ini berpendapat, Barat telah gagal
dalam menata dunia. Karena itu, perlu diganti dengan tatanan
baru berdasar interpretasi politik Islam versi mereka. Namun,
selama ini, hal itu baru sebatas retorika. Mereka bisa saja
merancang terorisme dan kekacauan. Tetapi, Tibi meng-
ingatkary sebenarnya Islam fundamentalisme itu beragam
dan saling bersaing. Maka sulit membayangkan mereka bisa
menciptakan tatanan baru yang komprehensif secara eko-
nomi, politik, dan militer
Ahmad S Moussali dalam buku Moderate nnd Radi-
cal lslamic Fundamentnlisnr: The Quest for Modernity, Le-
gitimncy, and the Islamic State (1,999) menyebut, Islam
fundamentalis sebagai manifestasi awal atas gerakan sosial
masif yang mengart'rkulasikan agama dan aspirasi peradaban
dan mempertanyakan isu-isu di seputar moralitas teknologi,
distribusi ala kapitalis, legitimasi non-negara, dan paradigma
non-negara bangsa. Islam fundamentalis, lebih dari sekadar

Syori{ Hidoyofulloh, M Ag , MA
gerakan lokal. Ia beraksi dan bereaksi melingkupi negara-
bangsa tlan tatanan dunia. Ia mempersoalkan tak hanya isu
dan zrspirasi vang berclimensi lokal, tetapi juga regional dan
trniversal.
fiundamentalisn-re ittr sendiri bisa bersifat nroclerat dan
r"ad ika 1. " Ba gi ftrn clanr e.ntal isme ra d i kal, menj a dikan tauh id
sebagai pembenaran bagi pendorninasian terhadap yang
I arn; (a d apun) fu ndamen talisme moderat, menjad ikan t.ru hid

bukan untuk mendominasi vang lain," tegasnrza. Fr.rnda-


nrentalisme-radikal dapat dicegah seirins tumbuhnva ke-
r-lelvasaan umat beragama. Kecle\.vasaan umat treragama
itu akan tumbtrh jika nrereka mendapat pemahamaJr yang
memad;ri tentang pluralitas dan pentingnva toleransi ber-
agama. Sikap salir-rg menghargai dan rnenshor;:rati dalam
pe.rgaulan antaragama dan antarbangsa clalanr rLlasana \/ang
penuh persamaan clan persaudaraan lrarlr; t,-irnbuh clari
s eti a p j i wa u m a t b e r a g a m a. (ll$_,.Utc.!tt,.,
:, ti . E: L d r.gtr)llltll
ntort.lhl? itl=1105 !310 M14t.
Fenomena gerakan fundamentalis li Ir:i]unesia mulai
menarik perhatian para era reformasi. Kehadiran mereka
vang seakan-akan tiba-tiba rneng;ejutkan seiumiair pihak"
Kemunculan mereka jLrga diikuti ole.h kemunnrlan gerakan-
gerakan vang lebih radikal yang menggunakan media
kekerasan (bahkan terorisrne) dalan-r aksi-aksinva. padai-rai
gerakan fnr..damentalis di Indonesia sendiri sebetr_rlnya
srrdah berkernbang sejak akhir tahtrn 70-arr tapi kebera-
Caarnnya tersembunyi dan luput dari perhatian rnasvarakat.
FIal ini disebabkan karena gerakan fundamentalis isiam
Indonesia sebagian besarnva dibangun ala rnafi;r dengari
sistem sel terpisah, di rnana tiap sel walauprn-r nr',:,:uprakan

lskm "isme-isme": Alirnn dnn Pohont lsiarn 0i lnConesic


t7
satu kesatuan tidak saling mengenal satu sama lainnya.
]adi tidak mengherankan kalau bahkan para aktivisnya
tidak mengenal organisasinya sendiri.
Gerakan fundamentalis Islam terbesar di Indonesia
adalah gerakan Tarbiyah yang bergerak melalui jaringan
Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) kampus dan remaja-
remaja masjid. Pada mulanya gerakan ini cenderung moderat
hanya bergerak untuk meramaikan masjid dan membina
para remaja, tapi pada saat bersamaan gerakan ini juga
membina secara khusus sejumlah aktivis potensial yang
direkrut dari masjid masjid melalui kelompok-kelompok
kecil yang dinamakan usrah yang terdiri dari 8-L2 anggota
dan dipimpin oleh seorang ustadz pembimbing(tnursyid).
Pada akhir tahun 80 an dan awal 90 an terjadi perubahan
besar pada gerakan ini dan pertentangan antara kelompok
yang menginginkan dakwah kultural dan tetap pada misi
pembinaan remaja termasuk remaja bermasalah dengan
kelompok yang menginginkan pola pencetakan kader-
kader militan (dan radikal), pada akhimya kelompok kedua
lah yang menang, kemenangan ini juga ditandai dengan
perebutan kendali di masjid Salman ITB pada L994. Kelom-
pok ini di era reformasi bermetamorfosis menjadi partai
politik (Partai Keadilan), gerakan mahasiswa (KAMMI) dan
gerakan perempuan (Salimah).
Salah satu media penyebaran ide-ide dan doktrin
kelompok mereka adalah melalui penterjemahan buku-
buku karya pemimpin radikal Timur Tengah. Salah satu
penerbit buku radikal seperti Gema Insani Press (GIP),
misalnya, menjual buku-bukunya dengan harga sangat
murah, pada 1990 harga buku-buku terbitan penerbit ini

Syorif Hidoyotulloh, M,Ag , t\M


dijual dengan harga antara 900 rupiah sampai 5.500 rupiah
saja, harga yang sangat terjangkau oleh kantong mahasiswa
dan pelajar yang pas-pasan. Hal ini cukup mengherankan
karena selain pada masa itu pemerintah sedang keras-
kerasnya menindak gerakan ekstrim kanan, penerbitan
buku radikal malahan marak di tanah air tanpa ada tindakan
apa pun dari aparat.
Selain itu dalam industri buku nasional sendiri meng-
alami banyak masalah di antaranya adalah pajak dan PPn
berganda yang diterapkan pada industri buku nasional
menyulitkan penerbit menjual buku terbitannya dengan
murah. Tapi penerbit seperti GIP mampu menerbitkan
buku dengan harga sangat murah dengan kualitas sampul,
kertas dan cetakan yang sangat baik, penerbit buku lainnya
misal seperti CV Diponegoro; yang iuga menerbitkan buku-
buku keislaman, mensiasati harga dengan menurunkan
mutu cetakan (sampul, jenis kertas, dan penjilidannya),
Pustaka Mantiq; yang juga menerbitkan buku-buku dengan
ukuran tidak jauh berbeda dengan GIP menjual bukunya
lebih mahal dengan mutu cetakan yang lebih rendah.
Selain itu pada masa itu terjadi tekanan pada penerbit mau-
pun penulis buku-buku keislaman, bahkan penulis po-
puler seperti Hamka saja buku-bukunya tiba-tiba menghilang
pada tahun 90-an.
Selain GIP yang rata-rata menerbitkan buku-buku
ideologi lklnoanul Muslimin (IM) Mesir, penerbit fundamen-
talis lainnya yang cukup populer adalahAl Islahy press yang
menerbitkan buku-buku ideolog IM Jordania, dan Rabbani
Press yang menerbitkan buku-buku ideolog IM Timur
Tengah. Selain itu majalah berhaluan radikal Sabilimamptt

lslom "isme-isrne': Aliron don Pohonr lslom 0i lndonesio


79
terbit dengan jaringanpemasaran yang luas walaupun tanpa
SIUPP dalam jangka waktu yang cukup Iama (7987-7994)
padahal pada saat itu sebuah media tanpa SIUPP meru-
pakan sebuah keharaman di mana pihak penerbitnya bisa
berurusan dengan aparat keamanan. Dan majalah ini juga
berharga sangat murah hanya 600 rupiah saja padahal me-
dia seperti ini sangat minim iklan alias hanya mengandal-
kan omzet. Padahal tidak akan mungkin sebuah media
massa bisa hidup dengan harga iual sangat murah tapi minim
iklan.
Melihat betapa murah dan mudahnya ditemukan
buku-buku berhaluan radikal pada era 80-90 an menim-
bulkan tanda tanya besar. Penerbitan buku-buku seperti
ini pasti memiliki backittg yang sangat kuat dan berpengaruh
sehingga tidak terjamah tangan aParat, selain itu juga pas-
tilah didukung oleh sebuah lemb agafund yang sangat besar
dan kuat sehingga mampu membiayai dan mensubsidi
penerbitan dan penterjemahan buku-buku tersebut. Lem-
baga seperti ini tidak mungkin dibantu oleh organisasi
induk mereka di Timur Tengah karena mereka sendiri
mengalami kesulitan di negerinya. Tidak mungkin juga
negara-negara petro dolar di Timur Tengah karena paham
mereka dimusuhi pemerintah negara-negara tersebut. Satu-
satunya yang mungkin adalah pemerintah kita sendiri,
apalagi dominasi buku-buku Islam radikal pada era 80-
90- an sangat tidak wajar sehingga tanpak jelas ada tangan-
tangan pemerintah yang bermain di sini.
Selain itu aksi penyeragaman pola kaderisasi di organi-
sasi dakwahkampus di Indonesia iuga di organisasi-organi-
sasi remaja masjid berlangsung pada era di mana pemerintah

Syorif Hidoyotulloh, M Ag , MA
80
bertindak represif terhadap gerakan Islam garis keras. Jadi
ada kesan bahwa pemerintahlah yang sebetuJrrya di belakang
gerakan tarbiyah ini. Pola seperti ini sebetulnya tidak aneh
dan dipraktikkan oleh beberapa negara untuk mengontrol
gerakan-gerakan ekstrim. Melalui studi kalangan intelejen
di beberapa negara, penumpasan jaringan ekstrim hanya
akan menciptakan ketidakstabilan karena akan mencipta-
kan kelompok-kelompok baru yang dengan struktur dan
pola organisasi yang beragam dan berbeda dengan sebe-
lumnya sehingga akan lebih sulit untuk diatasi, karena
itulah pola penumpasan secara keras ini dirubah dengan
strategi lunak di mana kelompok-kelompok ekstrim tersebut
dibiarkan tumbuh dan berkembang bahkan dengan pesat
tapi berada dalam kontrol pemerintah
Kepemimpinan gerakan Tarbiyah sendiri masih gelap.
Siapa sebetulnya ideolog dan pemimpin gerakan ini tidak
diketahui bahkan oleh anggotanya sendiri. Sebagian me-
ngarah kepada Bang Imad (Dr. Ir. Immaduddin Abdul-
rachim, M.Sc.), yang mempelopori pola pembinaan remaja
masjid, tapi gerakan ini tidak berpusat di Bandung me-
lainkan di Bogor terutama ketika periode pencetakan kader-
kader militan dengan memanfaatkan kampug aksi perebutan
kekuasaan di masjid Salman ITB tahun 1994 sendiri men-
dapat komando dari Bogor melalui perantaraan gerombolan
Batak. Di Bogor kampus IPB saat ini bisa dikatakan dikuasai
total oleh gerakan ini, kegiatan"tidak islami" seperti musik
diharamkan di lingkungan kamput selain itu stand partai
Keadilan selalu ada pada acara penerimaan mahasiswa baru.
Dan yang lebih menguatkan hal ini adalah penunjukkan
K.H Didin Hafifu ddin dari Bogor sebagai Capres dari partai

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom klom Di lndonesio


Keadilan (PK) pada pemilu 1999latu.
Selain itu tertangkapnya Omar al Faruq yang ber-
mukim di Bogor, menguatkan indikasi bahwa Bogor dan
Yogyakarta merupakan basis gerakan radikal lslam di In-
donesia. Penunjukkan orang di luar partai sebagai Capres
ini juga menuniukkan bahwa PK sebetulnya cuma alat,
sementara tokoh-tokohnya tetap bergerak di luar' Kader
pimpinan partai ini cuma dipegang oleh kader lapisan dua
atau tiga dari gerakan bukan oleh para top leader-nya' Pada
'pengadilan'Nurcholis Madjid oleh gerakan radikal lslam
di Taman Ismail Marzuki Desember 1'993, presiden PK
saat itu yaitu Dr. Hidayat Nur Wahid dikenalkan sebagai
kader muda pergerakan oleh tokoh dari DDII, ini menun-
jukkan bahwa kedudukannya masih meniadi kader iunior
di lingl,ungan pergerakan di mana di atasnya masih ada tokoh-
tokoh yang lebih berpengaruh yang menyetir pergerakan
dari batik layar, bahkan bukan tidak mungkin bahwa yang
menyetir itu adalah orang yang berpengaruh pada masa
Orba melalui tangan-tangan intelijennya'
Kelompok Islam radikal atau Islam fundamentalis lain-
nya adalah bemama gerakan Salafy atau gerakan Wahaby
sebetulrrya pemah muncul di Indonesia pada abad 19' Di
Minang Kabau kemunculan kelompok ini menimbulkan
perang terbuka dengan kalangan Muslim lain yang tidak
sepaham yang dikenal dengan Perang Paderi yang kemu-
dian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Paham
ini dalam versinya yang lebih moderat dianut oleh ormas
keagamaan seperti Persatuan Islam (Persis) )'ang mem-
punyai basis di Bangil dan Bandung. Pada pertengahan
tahunS0-an,kelompokWahabyradikalmulaiberkembang.

SyorifHidoyotulloh, lrl Ag , ItM


Pada mulanya kelompok ini masih menyatu dengan gerakan
Tarbiyah, salah satu ideolog kelompok ini Abu Nida dikenal
juga sebagai tokoh gerakan Tarbiyah pada masa awal, dan
namanya juga sering muncul di majalah Sabili (verci lama).
Beberapa tokoh Partai Keadilan sendiri seperti diketahui
beberapa di antaranya adalah alumnus Arab Saudi dan
menganut aliran ini.
Pada awal 90-an, seiring dengan keretakan di tubuh
gerakan Tarbiyah, gerakan Salafy ini ikut memisahkan diri
dari gerakan Tarbiyah dan mendirikan gerakan tersendiri
yang lebih radikal. Tidak seperti kelompok Tarbiyah yang
berbasis di daerah Jawa Barat, kelompok ini mengambil
basis di Yogyakarta. Beberapa pesantren didirikan oleh ke-
lompok ini di sekitar Yogya dan Solo. Beberapa tokoh dan
anggotaAl Irsyad sebuah organisasi warga keturunanArab
dari golongan masaikhlnon-sayyid kemudian juga ikut
menggabungkan diri. Seperti diketahui paham Wahaby/
Salafy ini menjadi mazhab resmi di Arab Saudi dan se-
jumlah negara Teluk paska keruntuhan kerajaan Turki
Ottoman. Paham Salafy/Wahaby ini menyandarkan pemi-
kirannya pada paham yang dianut oleh Ibnu Taimiyah dan
Muhammad bin Abdul Wahab.
Dalam perkembangannya radikalisme yang berkembang
di lingkungan kelompok ini akhimya memancing keretakan
dan konflik horizontal di antara mereka sendiri. Dalam
tradisi Wahaby dikenal sebuah budaya yang dinamakan
nubahalahatau saling melaknat di antara dua orang/kelompok
yang saling berselisih. Perbedaan pendapat di kalangan ini
(bahkan yang kecil sekalipun) sering kali diselesaikan dengan
cara ini. Puncaknya terjadi pada pertengahan tahun 1995

lslom "isme-isme": Aiiron don Pohom lslom Di lndonesio


ketika Ja'far Umar Thalib ber'mubnhalah dengan syaikh
Syarif, dari pondok pesantren al Irsyad Tengaran yang
kemudian diikuti bermubahalah-nya Ja'far dengan Abu
Nida. Selain itu keretakan juga terjadi kaiena faktor ulama
rujukary antara kelompok Ja'far yang merujuk pada ulama
Saudi dengan Yazid Jawaz yang merujuk pada mazhab
Kuwait.
Seperti Tarbiyah, kelompok Salafy juga menerbitkan
buku-buku (tapi harganya relatif lebih mahal dari buku
IM yang murah meriah) juga majalah, majalah Salafy me-
rupakan corong utama fraksi ]a'far. Tapi selain itu kelompok
ini secara militan fuga menggunakan media rekaman kaset
ceramah/pidato tokoh-tokohnya yang disebarkan secara
internal dari tanganke tangan (dalam lingkungan gerakan)
sebagai metode dakwah. Metode inilah yang sering diguna-
kan untuk saling menjatuhkan antar imam-imam jama'ah
mereka, perseteruan ]a'far dan Yazid Jawaz diramaikan
dengan peredaran kaset hujatan ayah Ja'far kepada putranya
secara bergerilya terutama di daerah Jawa Timur. Kelom-
pok |a'far dikemudian hari kemudian mendirikan Forum
Komunikasi Ahlus Sunnah wal ]ama'ah (FKAW]) yang
terlibat aktif dalam konflik berdarah di Maluku dan Poso
(Sulawesi).
Selain dua kelompok di atas masih ada beberapa gerak-
an fundamentalis yang berkembang di Indonesia seperti
Hizbut Tahrir, NII, Majelis Muiahiddien Indonesia (yang
ditengarai punya hubungan dengan Al-Qaeda) dan lain-lain,
kebanyakan kelompok-kelompok ini mendompleng pola
pembinaan ala Tarbiyah yang diterapkan di mayoritas masiid-
masjid kampus. Tapi yang pasti seluruh gerakan funda-

syoil tlidoyotulloh, M.Ag., MA


mentalis ini punya hubungan dengan DDII (Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia) sebuah organisasi Islam radikal yang
merupakan kelanjutan dari Partai Masjumi yang dibubar-
kan pada masa Soekamo karena terlibat dalam pemberon-
takan PRRI/Permesta.
Jika ditilik lebih jauh ada indikasi keterlibatan samar
militer, intelijen dan penguasa rezim Orde Baru dalam per-
gerakan-pergerakan ini. Namun yang pasti adalah ke-
lompok-kelompok ini karena terjebak oleh radikalisme-
nya sering kali menimbulkan bentrok antar mereka sendiri
atau dengan kelompok lain. Kelompok-kelompok ini tidak
memiliki akar di lndonesia, mereka tidak memiliki hubungan
dan keterkaitan apa pun dengan kelompok muslim lairurya
terutama dengan NU dan Muhammadiyah; dua organisasi
Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia. paham
yang dianutmereka adalahpaham cangkokan dari ideolog-
ideolog radikal Timur Tengatr, hal inilah yang kemudian
sering kali menimbulkan friksi antara mereka dengan
kelompok muslim lain di Indonesia.
Media massa yang dikuasai kelompok fundamentalis
seperti Sabili, Suara Hidayatullah, Media Dakwah, Salafy
dan lainJain sering kali terjebak menjadi corong hujatan
kasar dan maki-makian terhadap organisasi Islam lain mau-
pun lembaga-lembaga keislaman yang berkembang di Indo-
nesia. Itulah sebabnya kelompok macam ini tidak bregitu
mendapat dukungan dari umat muslim di Indonesia. partai
berhaluan fundamentalis seperti partai Keadilan pada pemilu
7999 hanya mampu memperoleh 1,3 o/n suara, sebelum
akhirnya bertransformasi men;'adi partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok

lslom ''rsme-isme": Aliron don Pohcm lsicm Di Inclonesio


radikal semacam ini, saat itu, kurang mendapat simpati
dari masvarakat, bahkan sikap permusuhan mereka terhadap
kelompok muslim lain yang tidak sepaham akhirnya sering
kali menimbulkan reaksi balik yang merugikan mereka,
seperti pembakaran masjid As-Salafy di Riau beberapa
tahun lalu (He-Man ltttp:llttttou,.lp3b.or.id, 14 Auy 20C)3
20:08:08 -0700).
Pertanyaannva kemudian mengapa gerakan radikal
Islam di Indonesia selalu ada clan cenderung berkembang?
Padahal, sering kali menimbulkan ekses kontraproduktif
bagi keharmonisan kehidupan keagamaan, bahkan di tengah
umat Islam itu sendiri. Menurut Indonesianis asal Austra-
lia, Greg Barton, hal ini tidak terlepas karena seiarah Iirclo-
nesia cermin pergulatan kalangan Islamis dengan deinc-
kratis. Menurut pembacaannya, sejak 1940-an sampai 1950-
an, sudah ada persaingan antara mereka vang disebut
kaiangan Islamis dengan kalangan demokratis; dan itu tems-
menerus ada dalam sejarah indonesia. Jadi, [Sarton R'Ieva-
kini, gejala ini bukan sesuatu yang baru, dan tidak mungkin
dihilangkan dengan sendirinya.
Dengan memakai bahasa ilmiah, ini bisa disebut se-
bagai persaingan kelompok Islamis Yall8 Punva misi Politik
Ineng-
)ran8 didasarkan pemaha;nan Islam rtereka vang
haruskan penerapan hukunl syariat iewat negara, dengan
kelom.pok lain. Perjuangan itu mereka bavangkan akan
mencapai masyarakat dan negara Indon-esia yang ideal' Di
sisi iain, ada iuga keiompck y;ii-ttl Percan;a bahwa Cerno-
krasi dan pemikiran politik yang iiheral lebiir memunE!-
i":irikan perkembangan rnasyarakat Indonesia secara lebih
sehat. Kelompok kedua ir-ri percaya, tidak mungkin berde-

Syorif Hiricyotulloh, M Arl . MA


86
mokrasi tanpa ada penghargaan pada pluralisme. Tidak
mungkin juga ada demokrasi kalau kita menginginkan
semua orang harus beraspirasi sama, apalagi dicapai melalui
pendekatan yang cukup keras. Jadi, menurutnya, sikap-
sikap yang keras itu memang harus dihindari dan harus
ada kesepakatan bahwa itu bukan jalan keluar.
Menurut Bartory gagasan-gagasan Islam radikal, dalam
konteks global baru muncul sejak 1940-an lewat buku-
buku al-Maududi, Hasan al-Banna, Sayyid eutb, dan lain-
lain. Itu juga ditambah oleh ide-ide Wahabisme yang sudah
lama ada. Dalam konteks im, iklim dan ide Islam global ikut
mempengaruhi perkembangan Islam radikal di Lrdonesia.
Meskipun demikian, pengaruh itubukan sesuatu yang terus-
menerus ada di Indonesia. Faktor politik dan enaironment
atau lingkungan global sangat menentukan juga. Karena
isu-isu dan kondisi umat Islam di berbagai terrrpa! memang
jauh lebih gampang menyentuh hati. Kalau ada persepsi
bahwa ada pihak yang tertindas, dan seseorang secara pribadi
merasa putus asa atau merasa hidup mereka tidak ada arti_
nya lagi, radikalisme bisa terjadi. Itu sangat wajar. Dalam
suas€u:ta seperti itu, orang akan mencari kesempatan unfuk
memakai hidup dengan sesuafu yang dianggap bermakna.
Natr, hasilnya yang paling radikal adalah menyalurkannya
lewat bom bunuh diri. Tapi, juga tidak mudah bagi orang
untuk tertarik pada kelompok garis keras (ltttp:llwuw.
i aw ap o s. c o. id/ in d e x.p hp ? ac t= d e t ail c €t i d=22 8 8 9 0).
Kemunculan gerakan Islam yang berhaluan radikal
mengalami peningkatan pasca jatuhnya Orde Baru tahun
1998. Dari ormas yang berorientasi ,,penertiban,, tempat-
tempat maksiat, hingga yang mengupayakan s";lidaritas

lslom "isnie-i:me": Airron Con Poltnn: lsiom Ci lndoreyo


87
terhadap nasib muslim di Palestina. Gerakan tersebut tidak
hanya mempertontokan kekuatan massa, sebagaimana ter-
lihat dalam aksi menggalang solidaritas kepada dunia Islam,
melainkan juga mengekspresikan kekerasan, seperti yang
ditemukan pada penggerebekan dan perusakan tempat-
tempat hiburan malam. Namun demikian, pada dasamya,
gerakan Islam tersebut adalah suatu ekspresi yang berpijak
pada keimanan, sehingga aksi itu harus dipahami sebagai
sebuah fenomena keagamaan yang terkait dengan problem
kemasyarakatan. Seiring dengan itu, sistem politik yang ada
memungkinkan inereka untuk bertindak lebih jauh. Di era
reformasi, peran negara melemah. Negara tidak lagi memi-
liki kekuatan untuk menangkap dan menertibkan aksi
ormas-ormas aghma yang tidak sesuai denganhukum'-'
Salah satunya disebabkan pemerintah Reformasi berada
pada masa transisi, dari non-demokrasi menuju demokrasi.
Masa transisi itu' ditandai dengan menghilangnya lembaga-
lembaga negara'yang non-demokratik- Masa transisi me-
maksa negara untuk tidak mencampuri kehidupan masya-
rakat. Apalagl yang terkait dengan masalahkeyakinal:l agama.
Hal ini juga berpengaruh terhadap ekspresi keagamaan yang
. berkaitan dengan nahi nrunkar (.rnencegah kemungkaran),
di mana ajaran tersebut acapkali diekpresikan dengan jalan
kekerasan dan pemaksaan. Jadi, ketidakmampuan negara
lebih disebabkan oleh tidak adanya kekuatan politik yang
mendukungnya. Selain itu juga menguatnya posisi tawar
masyarakat terhadap negara, sehingga arah kebijakan pe-
merintah, sangatbergantung pada opini publik. Bagaimana
pun juga, pemerintah di masa transisi memerlukan dukungan
mayoritas rakyat. Karena itu, pemerintah lebih berhati-

Syorif Hidoyotulloh, M Ag , MA
88
hati dalam menyikapi sebuah persoalan. Kesalahan dalam
membuat kebijakan akan berakibat terkikisnya legitimasi
politik di mata rakyat. Itulah sebabnya mengapa kekerasan
yang dilakukan oleh sebuah ormas agama terhadap tempat
hiburan sering kali tidak ditindak oleh aparat kepolisian.
Meskipun secara hukum perusakan terhadap tempat-
tempat tersebut adalah melanggar hukum, namun reaksi
pemerintah sangat minim mengenai hal itu. Pengambilan
kebijakan senantiasa mempertimbangkan untung-ruginya
terhadap dinamika politik ke depan.
Para pakar mengatakan bahwa Indonesia masih pada
tahap demokrasi prosedural, belum ke demokrasi substantif.
Kekerasan dan perusakan yang masih mewamai aksi unjuk
rasa sepanjang era reformasi ini menggambarkan bahwa
masyarakat belum sepenuhnya menghayati demokrasi.
Menguatnya radikalisme agama juga menjadi salah satu
indikasi tersebut. Sepanjang tahun 1999 hingga2005 masih
ditemukan fenomena kekerasan dalam ritual berdemo-
krasi. Kekerasan ifu menggambarkan bahwa masyarakat
Indonesia masih berada pada suasana eforia. Masa transisi
sering kali menimbulkan eforia politik. Eforia tersebut sebenar-
nya merupakan sebuah kewajaran semata.
Dalam pemerintahan non-demokratig kebebasan rakyat
dipasung sedemikian rupa. Sehingga hampir tidak ada suatu
ormas agama yang berani melakukan kritik terhadap pe-
merintah. Sedangkan di era transisi, keran kebebasan mulai
dibuka. Tidak ada lagi pembungkaman dan penangkapan
terhadap kritisisme. Karena itu, ruang kebebasan tadi tengah
dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Ekspresi dalam
ruang kebebasan itu seperti bandul jam, ketika ditarik pada

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndcnesio


satu titik ekstrim kemudian dilepaskan, maka bandul itu akan
bergerak hingga titik ekstrim di seberangnya. Seperti itulah
kira-kira gambaran masa transisi. !adi, radikalisme agama
merupakan sebuah gerakan ekstrim dalam konfigurasi gerak
bandul jam tersebut. Bukan tidak mungkin pada saatnya
nanti, radikalisn'le agama akan melemah dan menemukan
titik keseimbangan baru seiring dengan pergulatan para
aktornya ciengan ai.itn demokrasi trhr dapat dia:'iikan bahrv.l
sernakin nr atal-lg penghay;-rtan ln asvar;rka t d.',lam be rci emo-
krasi, mak;i akan semakin mengkon,lisikan keberagamaan
g m o d erat (Ch,tN4, Ll p ll i.t:t:tt', c tt t rt t Li d tIJ!|f11iyi! :t t it tl:.
i' ar,. lt : . Lt

plm?id4528 0 3 l!-Mll).

6- tslom fransformstif
Isiam Transformatif 1,,:*iah gerakan pernikiran lslatil
Transformatif vang dipopui,,'i.:er-l dan dikembangkan oieh
Moeslim Abdurrahman. Gerakan vrilEi rnengalami Penve-
-garan kembali melalui Jaringan Intelektual N4trda Muham-
madiyah (]IMM) ini, merepresentasikan mazhab kritis te'r-
hadap modernitas, di mana teori-teori sosial kritis itu di-
pinjam dari Barat" Penggunaan teori-teori sosial kritis --vang
digabungkan den65an hermeneutika teks dan sosial itu,
digunakan sebagai pisau analisis dalam mendialogkan
doktrin Islam dengan problem modemitas. IJasilnya, Islam
Transformatif lebih menyuarakan kepentingan kelompok
yang termarjinalkan dan teraniava akibat modernisasi, ke-
timbang mempromosikan modernisasi.
Terlepas dari ciri khas dan perbedaan gerakan penrikiran
masing-masing-Islam Modemis, Neo-Moderms, Islam Liberal,
Post-Tradisionalis, dan Islam Transformatif-semuanya

Syorrf Hidoyoiulloh, M Ag , MA
90
mempromosikan moderatisme Islam, ),akni mediasi dari
ektrimisme Islam revivalis atau fundamentalis dengan seku-
Iarisme. Moderatisme menjadi karakter umum yanpI mema-
_yungi gerakan Islam progresif. Tradisi darr modemitas tidak
diletakkan dalam dua kutub yang saling berlarvanan dan ber-
musulian. Keduanva rJitempatkan pada porsinya masing-
masing, lalu drdialogkan secara elegan. Kadar tradisi dan
rnoderniias pada nrasing-masing gerakar pemikiran itu
memilikj perl-rerlaan, lr-ang pasti perterrLrar., Lradisi dan
ini:iierniias mern;;ilndung rnakna mendia1ogkan dua pera-
*ialr.rn r('V\l,irlil tor.t..fhp?ii:
455:L_L i 2t) l/!L4).
Transformasi asama menjadi bagian dari pengayaan
sisi historisitas i:lam. Upaya ini bermerksud membumikar"i
ajaran agama pada rtrlayah ranah sosial dan kesejarahan
umat rianLrsia. L-terbagai persoalan pelik yang sedang di-
hadapi masvarakat memerlukan tanggapan positif agama.
Dengan demikian, perlu dihadirkan pernbacaan atama
vang kritis terhaciap konteks sosial-masyarakat, sehingga
pemahaman val-rg Cihasilkannva pun tidak lagi han_va
rnc.ng.rndalkan peninggalan lvarisan tradisi rnasa lalu, tapi
berupa prociuk nalar agama yang baru dan disesuaikan
pada masaiah-rnasaiah konternporer. Selama ini sering
dipahami bahrva fungsi agarna hanya sebagai media peng-
hambaan pada Tlihan (teosentrik) saja. Kita perlu mere-
volusi pandangan teoiogis ini dengan lebih melihat kenya-
taan sosiaiyang ada. Beragama jugti sangat terkait dengan
proses tli mana keberagamaan itu diorientasikan untuk
kemanusiaan. Apa yang menjadi kebutuhan manusia hari
ini perlu diperhatikan dalam prinsip keberagamaan kita.

lsiom "isme-isme", Aliron don Pchom liiom Di lndonesio


9l
AI-Qur'an sering dijadikan sebagai bacaan simbolik untuk
peningkatan ibadah secara normatif. Dalam beberapa cera-
mah keagamaan misaLrya para dai sering menganjurkan
agar membaca al-Qur'an sebanyak-banyaknya. Padahal,
tidak cukup demikian saja. Pembacaan al-Qur'an juga perlu
dikaitkan dengan realitas sosial. Artinya, dalam gagasan
transformatif ini, kita mesti menghubungkem teks-teks naratif
al-Qur'an dengan konteks sosial masyarakat, karena al-
Qur'an adalah hamparan luas yang berbicara mengenai
berbagai macam problem kemanusiaan.
AI-Qur'an perlu dimaknai secara lebih mendalam agar
kita bisa menangkap pesan suci di balik bungkusan teks yang
tercermin dalam lembaran-lembaran ayatrya. Ayat pertama
al-Qur'an (QS al-Alaq196l: L-5) adalah perintah untuk
"membaca" (iqra'). Pesan itu juga diorientasikan unfuk
membaca realitas, baik itu realitas sosial mauPun realitas
alam. Pembacaan al-Qur'an atas realitas sosial menjadi
signifikan ketika kita perlu menghubungkan persoalan ke-
kinian dengan peran atau fungsi agama. Karena Proses
pembentukan tekstualitas al-Qur'an sangat terkait dengan
realitas dan budaya maka pembacaan kita atas al-Qur'an
masa sekarang ini pun juga perlu dihubungkan dengan
problem sosial yang ada. Pembacaan kritis atas realitas
sosial akhimya menuntut di mana pembacaan kita atas al-
Qur'an tidak cukup dengan memahaminya secara literal,
tapi perlu pendekatan kritis historis untuk memahami
kaitan antara teks dan realitas.
Sementara, pola pemahaman dan keberagamaan kaum
"radikalis agama" yang selalu merujuk pada al-Qur'an,
disebabkan oleh pembacaan mereka yang terlalu sempit

Syorif Hidoyotulloh, M.Ag, [[


dan normatif. Mereka hanya menjadikan al-Qur'an sebagai
bacaan yangtakenfor granted, yang diterima secara langsung
dan apa adanya, tidak perlu disertai pembacaan yang kritis
dan historis. Hal ini akan sangat berbahaya karena mereka
menjaga jarak dengan realitas sosial yang ada. Seolah-olah
ada anggapan: "yang penting menjalankan'perintah' al-
Qur'an, mereka dapat dikatakan telah melakukan'kebajikan'
dan akan mendapat pahala di sisi Tuhannya." Di sinilah
problem perilaku kekerasanyang dilakukan atas rurna agama.
Menjadi sebuah kebutuhan yang amat mendesakbagi kita
unfuk selalu menumbuhkan keberagamaiul secara moderat.
Moderasi ini juga ditopang dengan pemahaman agama
yang lentur dan sangat disesuaikan dengan pesan-pesan
kemanusiaan.
Problem kekerasan agamabisa dieliminasi sedikit demi
sedikit dengan "membongkar" konstruksi nalar agama dan
nalar al-Qur'an, yaitu dengan rnenghadirkan pembacaan
yang objektif, kritis, dan dihadapkan dengan realitassosial
yang ada. Peran agama adalah unfuk membebaskan umat
manusia dari segala macam benfuk penindasan, baik ifu
dalam bentuk fisik maupun struktur kesadaran yang meng-
hinggapi pikiran manusia. Sebagai kitab rujukan terpenting
dalam Islam, penggalian makna al-Qur'an perlu dilihat se-
bagai medium pembebasan atas kondisi yang terlihat nyata
dalam kehidupan kita. Untuk itulah, pesan kemanusiaan
yang menjadi bagian penting ajaran al-Qur'an perlu di-
hadirkan dalam keberagamaan kita. Keberagamaan kita
yang saat ini hidup di era modern dengan sejumlah per-
soalan kemanusiaan yang sangat variatif tak cukup hanya
mengarah pada kesalehan individu. Kita perlu menghadirkan

lslom "rsme-isme", Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


spirit Islam yang mendukung kesalehan sosial. Ajaran-
ajaran agama mesti mampu mentransformasi realitas sosial
yang tidak manusiawi menjadi manusiawi atau yang tidak
adil menjadi adil. Keberagamaan moderat yang kini banyak
disuarakan oleh NU dan Muhammadiyah, salah satgnya
mengarah pada pergeseran makna kesalehan beragama:
dari kesalehan individu ke kesalehan sosial. Perubahan sikap
keberagamaan seperti itu dapat menjadi bukti peran sosial
a gama (ht tp : I I www. cmm. or. i d I cmmin dmo r e. plry ? i d:4 5 5 0 0

320M14).
Menurut Bahtiar Effendy, seperti yang dikutip ]amhari
(2002:352), berdasarkan cita-cita yang diusung gerakan
Islam transformatif ini dapat dibedakan menjadi dua bentuk:
pertama, gagasan Islam transformatif yang bergerak pada
tataran teologis dan pemahaman keagamaan, yang dilatar-
belakangi ketidakberhasilan perjuangan politik formal,
ataubisa disebut "IslamAksi" . Kedua, gagasan transformasi
yang bersiap menyiapkan wacana intelektual sesuai de4gan
perubahan sosial yang diharapkan atau yang bisa disebut
"Ilmu Sosial Profetik".
Gagasan Isiam Aksi sangat penting dalam membentuk
corak dan warna kegiatan keislaman di masa berikutnya.
Semaraknya kegiatan keislaman yang bercorak sosial se-
perti pengembangan sumber daya di pesantren dan ke-
giatan sosial di kalangan remaja masjid di perkotaan adalah
salah satu akibat dari orientasi sosial pemikiran lslam Aksi.
Kecenderungan ini merupakan jawaban terhadap kondisi
masyarakat pada 1960-an yang sangat memprihatinkan
secara sosial. Menurut ]arnhari, dalam konteks ini maka
keterlibatan M. Dawam Rahardjo sangat penting dalam

Syorf llidoyatulloh, M Ag , [1A


perumrlsan Islam transformatif ini. Keterlibatan Rahardjo
dalam pendirian beberapa LSM yang bergerak dalam pengem-
bangarr masyarakat rnenunjukkan betapa kuatnya ide trans-
formasi sosialr.l_va, -;eperti Lembaga Studi Pembangunan
(LSP), Pusai Peirgcnrbang;rn u\erobisinis (PPA), Perhirn-
punan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M),
Lembaga Studi Agarna dan Filsafat (LSAF), dan Pusat
Penger',rbanp;an Sumirer: Daya Wanita (PPSW).
Adi Sasono aclal.rh nama Iain yang dapat dikelompok-
kan daiam penger-nbangan llagc'lsan Islam tr.-rr-rsformatif di
tingkat aksi sosial.'I'rkr;h \iang Lrernair memimpin Ikatan
f-jenilekiaw,an llfuslirn lndonesia (ICMI) ini menegaskan
peltingnya memikirkan kaum miskin di perkotaan. Ber-
be,-1a der-rgan Rahardjo vang berkonsentrasi pada ntasvarakaf
pedesaan, Sascno justnr bergerak untuk pengc.rnbangan
rnasl,'arakat miskin peikotaan, sehingea ia terk-adant meng-
gunakan camplu" rangan p.tril perlgamkril kebijakan yang
terkait dengan persoalan ini. Sirategi ,,lntuk mengikut-
sertakan pemerir:tah d;rlam ber:bagai progremny.r ini me-
nirnl,,uI kan interpretasi negatif tr:rhadap iangkah-langkali-
n)/a, narrLln Sasono tidak menafik.ur Lrahwa apa rlang ia
lakukan nremang berbau politis dan rnembutuhkan lobi
politis. Sebab, kemiskinan tersehut diakibatkan kebijakan
politik maka untlrk mengubatrr kemiskirran di perkotaan
periu rnengubah struktul politik melaiui hubungan politik.
J'rka ltaharrlfo iian Sasono (jamhari, 2002: 353), me-
miiih terjun langsirng ke masirarakat meiai:;i aksi peneem-
bangaur d a;-r pernherrJ avaan rni..syarakat bawah, mak;i N{oeslim
AbdLrrrahrnan dan Kuirtorvi jcvo lebih rr'"erniiih bermain
di taiaran \\,acana" transformasi. Moeslirn A-hdurrahrnan

lslom "isme-isme": Aliron don Pohonr lslom Di lndonesio 95


melontarkan gagasan "Teologi Transformatif" dan Kunto-
wijoyo memperkenalkan konsep "Ilmu Sosial Profetik",
sebagai perbaikan istilah yang diluncurkan Moeslim. Kedua
tokoh ini, melalui gagasan transformatifnya, menginginkan
adanya "penafsiran terhadap realitas sosial dan kemasya-
rakatan dalam perspektif kefuhanan". Mereka menekan-
kan penggunaan nilai al-Qur'an untuk menjelaskan Permasa-
lahanempiris masyarakat sehingga nilai agama dapat men-
dorong percepatan transformasi menuju cita-cita kenabian
dan teologis (ketuhanan).

7. lrlom todernls,lclom toderct


Seiring dengan munculnya gelombang pembaruan
pemikiran Islam di Timur Tengah pada awal abad ke-19
Masehl menurut Kelik M. Nugroho (2007, http:llwutzu.cmn.
or, i d I cmmind more.php 7 i d=45 59 0 3 2 0 ML4), Asia Tenggara
juga memasuki gelombang tersebut. Muhammadiyah meru-
pakan salah satu dari ormas Islam yang menerima ide-ide
pembaruan tersebut. Modemisasi pendidikan dengan cara
mengadopsi model pendidikan Barat adalah salah satu dari
produk gerakan pembaruan Muhammadiyah. Karena itu,
Muhammadiyah disebut sebagai kelompok modemis, yakni
kelompok yang mempromosikan pembaruan Islam dengan
cara mengadopsi modernitas Barat.
Gerakan pembaruan pemikiran di Asia Ten ggtra, utama-
nya di Indonesia, seperti yang tergambar dalam penjelasan
di atas berangkat dari bagaimana memosisikan diri dalam
merespons problem modernitas. Dengan kata lain, umat
Islam dihadapkan pada persoalan bagaimana memPosisikan
tradisi, modemitas, dan konteks? Jika sayaP Revivalis dan

Syorii Hidoyotulloh. M Ao , MA
Neo-Revivalis cenderung merespon modernitas secara
negatif, maka Islam Modernis, Neo-Modemis, Islib, dan
Post-Tradisionalis meresponnya secara positif. Perbedaan
pada masing-masing sayap pemikiran tersebut terletak
pada entry point danlarrdasarurya, sehingga masing-masing
memperlihatkan kadar genuinitas dan kekhasannya masing-
masing. Sedangkan output-nya tidak terlalu berbeda (http:/
lwww.cmru.or.idlcmm-ind more.php?id=455g 0 3 20 ML4).
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kesenjangan antara
ajaran Islam dan modemitas. Hal ini disebabkan ajaran Is-
lam merupakan produk dari konstruksi pengetahuan
beberapa abad lalu. Sedangkan modemitas adalah produk
akal budi di masa kontemporer. Menegaskan bahwa Islam
lebih modern ketimbang modernitas itu sendiri adalah
sebuah kekeliruan. Modernitas justru anak kandung dari
periode modern. Rasionalitas dan metode empiris yang
merupakan salah safu dari ukuran periode modem justru
menjadi alat dalam membangun modemitas. Kesenjangan
antara Islam dan modernitas terletak pada perbedaan pa-
rameter dalam mengukur dan menilai manusia dan Tuhan-
nya. Bagi Islam, orientasi aktivitas manusia adalah untuk
Tuhan, sehingga kebaikan senantiasa dinilai dari seberapa
besar kualitas ibadahnya kepada Tuhan. Hal ini mengandung
pengertian bahwa amal kebaikan itu harus bemuansa pe-
nyembahan dan pengagungan kepada Tuhan. pandangan
seperti ini dapat ditemukan dalam hampir seluruh aliran
teologi Islam, terutama Asy'ariyah.
Bahkan dalam pandangan politik pun para ulama me-
nyatakan bahwa negara merupakan alat unfuk menegak-
kan hukum Tuhan. Sebuah kitab yang sangat masyhur di

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom hlorn 0i lndonesio


n
kalangan Islam tradisionalis (penganut ahlus sunnah wal
jama'ah dan mazhab Syafi'i), yaitu Al-Ahkamas-Sulthon-
iyyah, yang ditulis oleh Imam Al-Mawardi, hingga ratusan
tahun telah menjadi pedoman bagi umat Islam dalam mem-
bangun sistem potitik. Kitab itu menyatakan bahwa negara
diciptakan untuk menoPang agama. Jadi orientasi kehidupan
bemegara bukan diperuntukan bagi kemaslahatan manusia
sebagai individu dan masyarakat, melainkan ditujukan
untuk ibadah dan menegakkan kepatuhan kepada Tuhan'
Bahkan hingga kini, perdebatarurya tidak dapat dipisahkan-
nya agama dan negara-sebagaimana sering dilontarkan
oleh para pendukung formalisasi syariat Islam dan Khilafah
Islam-masih mewarnai gerakan umat Islam.
Dapat dibayangkan kesenjangan tersebut ketika di-
bandingkan dengan sistem politik modem. Tidak heran jika
di masa awal perjalanan bangsa Indonesia terjadi perde-
batanyang cukup panjangberkenaan dengan sistem politik
Indonesia. Hal itu menggambarkan, dalam batas-batas ter-
tentu Islam di Indonesia mengalami kegagapan dalam
berhadapan dengan modernitas, sehingga munculnya
perlawanan dari DI/TII di akhir tahun 1950-an dapat di-
simpulkan sebagai kulminasi dari kekecewaan terhadap
negara sekular yang dipimpin Soekarno.
Kegagapan dalam menghadapi modemitas itu tidak
serta merta melazimkan untuk meminggirkan agama
dalam kehidupan bangsa. Turki adalah salah satu contoh
negara yang melakukan kekeliruan dalam menghadapi
problem di atas. Sekularisme yang diberlakukan Turki-
tanpa disadari-justru menciptakan suatu kondisi yang
tidak mendukun g b agi modernisasi Turki. Peminggiran

Syorif Hidoyotulloh, M Ag , MA
98
agama dari ruang politik dan publik bukanlah solusi yang
tepat. Menurut Robert D. Putnam, Ilmuwan politik dari
Amerika, prestasi dalam memodernisasi sebuah bangsa
sangat tergantung pada sumber daya lokal (1993). Dengan
kata lain, nilai-nilai tradisi yang sudah mengakar dalam
kehidupan masyarakat harus dilibatkan dalam proses
modernisasi tersebut. Karena ifu, sekularisme justru menjadi
bumerang bagi modemisasi. Sekularisme berarti memo-
tong sumber daya lokal yang sangat dibutuhkan dalam per-
ubahan sosial.
Namun sejarah perjalanan umat Islam di Indonesia
tidak sepenuhnya memprihatinkan. Bahkan, lndonesia dapat
disebut sebagai teladan bagi bangsa Muslim lain dalam
mendialogkan lslam dan modemitas. Menurut Bassam Tibi,
Indonesia adalah sebuah tempat yang paling cocok untuk
dialog antara peradaban [slam dan Barat (2003: 124). Islam
di Indonesia menampilkan keterbukaan dan toleransi,
karena itu mampu mendialogkan doktrin agama dengan
modemitas. Karakteristik lslam yang toleran ini, menurut
Tibi, dapat menciptakan kondisi yang mendukung untuk
kebangkitan lslam. Tampaknya penilaian Tibi itu tidak ber-
lebihan, melihat realitas umat Islam di Timur Tengah dan di
wilayah lainnya yang mengalami kegagapan dalam men-
dialogkan Islam dengan persoalan-persoalan modemitas dan
kemanusiaan. Meskipun pemikiran pembaruan Islam telah
muncul lebih awal di Timur Tengah, namun gerakan pemi-
kiran tersebut belum sampai pada tingkat yang signifikan.
Berbeda halnya dengan di Indonesia. Perubahan arah dari
gelombang Islamisasi negara yang dimainkan oleh ke-
kuatan lslam politik menjadi de-lslamisasi negara yang

lslom "isme-isme", Aliron don Pohom lslom 0i lndonesio


dipelopori oleh sayap Islam kultural semacam Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid di era Orde Baru
misalnya, belum ditemukan padanannya pada kiprah
cendekiawan muslim di wilayah lain, terutama Timur
Tengah. (CMM, http I I www. cmm.or.id I cmm-in d more.php id=
: ?

45400330M14).
Meskipun ada peningkatan kemunculan kelompok-
kelompok radikal di Indonesia, secara keseluruhan bssic
landscape Islam di Indonesia adalah moderat, tidak mono-
litik, dan demokratis. Hal tersebut antara lain tercermin
dari hasil pemilihan umum legislatif dan presiden Pemilu
2004lalu. Selain itu, gaung kampanye nilai-nilai Islam yang
substantif, seperti pembasmian korupsi dan pembelaan
terhadap kaum miskin menyebar ke seluruh pelosok tanah
air. Fenomena tersebut rnenuniukkan, Muslim di Indo-
nesia tak pemah ragu menerima dan menyeraP nilai-nilai
demokrasi yang sudah sejak lama diperjuangkan bukan
hanya oleh para pendiri bangsa, tetapi juga oleh organisasi
Islam mainstreamyang terus menggagas Islam yang konteks-
tual, yaitu yang mampu meresPons persoalan masa kini.
Dalam seminar lnternational Center for lslam and Plu-
ralism flCIP) di Jakarta Lily Munir menyebutkan, ada pihak-
pihak yang lebih menekankan implementasi ajaran Islam
dalam bentuk simbol-simbol-misaLrya saja dalam pemakaian
nama yang berbau Arab dan contoh lairurya, ketimbang pada
substansi ajaran, yaitu bagaimana mengatasi problem
kemanusiaan yang sudah akut di Indonesia, seperti kemis-
kinan, penanggulangan korupsi, kekerasan terhadap pe-
rempuar; dan masalah lainnya.
Masyarakat Muslim Indonesia tampaknya sangat haus

Syoril Hidoyolulloh, M.Ag., [tA


akan Islam yang substantif. Dengan demikiary menjadi
tantangan bagi organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah dalam memelihara ide Islam yang sub-
stantif-seperti masalah kesamaan jender, kebebasan; dan
kemiskinan-dalam perilaku politiknya. Keunikan Islam Indo-
nesia juga digambarkan oleh Ralph L Boyce ketika ia me-
ngunjungi Pondok Pesantren Pabelaru Magelang. Boyce
kagum dengan sambutan pihak pesantren. Menurutrya ber-
beda dengan negara-negara di dunia Islam lainny4 para
santri perempuan memiliki peran. yang setara di dalam
setiap aktivitas pesantren. Permainan marching band bagi
Boyce merupakan simbol status perempuan krdonesia dalam
masyarakat Muslim, yaitu berpartisipasi secara aktif dan
setara di hampir segala bidang.
Islam Indonesia sesungguhnya memiliki karakteristik
yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Islam di Indo-
nesia sejak awal mengalami proses akulfurasi (bercampur dan
beradaptasi) dengan kepercayaan purb4 pra-Islam, serta
sosio-kultural setempat. Para intelektual Muslim sejak abad
ke-17 telah menanamkan benih-benih Islam progresif di
Indonesia, atau apa yang kini sering disebut sebagai Islam
kontekstu al (moderatisme). Benih-benih tersebut disubur-
kan oleh pandangan para bapak bangs4 mulai dari Soekamo,
Mohammad Hatta, sampai Agus Salim, dan lainny4 1lang
mencoba merelasikan antara Islam dan keindonesiaan. Hal
yang penting dalam Islam Indonesia adalah tidak terbelenggu
oleh romantisme kejayaan masa silam. Inilah yang mem-
bedakan kita dengan rekan-rekan sesama Muslim di Timur
Tengah. Islam yang memiliki spirit progresif yang memiliki
orientasi kuat ke masa depan daripada ke masa lalu, dan

lslonr "isme-isme", Aliron don Pohom lslom Di lndonesio

l,,'
responsif terhadap perkembangan kemanusiaan. Juga Islam
yang berwajah moderat, sebuah aliran lslam yang terbuka,
ramatL menghargai pluralisme, dan kedamaian.
Keberadaan Islam aliran keras, radikal, dan militan
memang ada sejak lama di Indonesia, tetapi usaha mereka
selalu gagal. Selain karena adanya tindakan represif militer,
mereka juga tidak pemah mendapatkan dukungan kelompok
Islam mayoritas yang cenderung moderat. Nah, sekarang
ini muncul lagi, sejak jatuhnya Soeharto di mana era demo-
kratisasi, Iiberalisasi, dan masa kebebasan berhembus. Oleh
sebab itu, kelompok radikal ini muncul leblh aisible, lebih
militan, dan vokal juga. Apalagi kemudian media massa,
khususnya media elektronik seperti TV, banyak meliput.
Akhimya mereka lebihaisible. Paling tidak untuk menyam-
paikanvisimereka tampil di depan publikitu lebihbanyak.
Tidak seperti zaman Soeharto dulu, sekarang mereka bisa
demo atau menampilkan diri daiam isu-isu yang terkait
dengan isu nasional. Misalnya ketika mau Sidang Tahunan
MPR. Artinya dimungkinkan oleh perkembangan politik
kita yang lebih liberal dan demokratis. Karena justifikasi
dalam alQur'an, Muslim [rdonesia tidak ragu-ragu menerima
demokrasi. KH Achmad Dahlan, misalnya, tak pernah
memperoleh pendidik at:r B ar at, namun mengambil penge-
tahuan ini dari al-Qur'an. Contoh ini sudah lebih dari cukup
untuk menunjukkan, implementasi hak mayoritas bukan
hal asing dalam tata bahasa Islam Indonesia. lde demokrasi
dalam masyarakatlndonesia tetap turnbuh subur walaupun
mengalami masa "naik-turun" dalam perjalanan politik
sejarah Indonesia. Dalam pemerintahan Soekarno dan
Soeharto, semangat ini direpresi melalui istilah "Demokrasi

Syorif Hidoyoluiloh, tol Ag . MA


Terpimpin" dan "Demokrasi Pancasila". Di era reformasi,
semangat ini bangkit kembali, tetapi gagal dikonsolidasi-
kan akibat-antata lain-krisis ekonomi. Hanya waktu yang
bisa mengatakan apakah Indonesia akan survitse dalam me-
nangani krisis sosial dan ekonomi yang akut. Bila mayoritas
Muslim bisa suraiae menangani krisis ini, masa depan
demokrasi sangat menjanjikan. Kelompok radikal tak akan
bisa suruiae bila persoalan-persoalan di atas tersebut dapat
diatasi. Kita mesti terus berjuang menegakkan kedamaian
dan memberangus kekerasan melalui Islam yang moderat
dan demokratis (CMM), http:llwww.cmm.or.idlcmm-
in d more.ahad= 46060370M74\ -
? i

Moderatisme dalam menampilkan Islam, tidak berarti


mengorbankan makna Islam itu sendiri. ]ustru Islam sedang
ditampilkan secara progresif, penuh toleransi, dan liberal.
Barangkali tema-tema yang diajukan kalangan Islam Liberal
semacam menentang teokrasi, mendukung demokrasi,
menghormati hak-hak perempuzln, menghormati hak-hak
non-muslim, kebebasan berpikir, dan gagasan tentang
kemajuan, perlu dikedepankan. Belakangan di Indonesia
muncul gerakan Islam Liberaf yang tampaknya cenderung
moderat dalam melemparkan isu-isu keagamaan global.
Tema-tema moderat Islam Liberal, tampaknya, dilengkapi
arus lain dari fumbuhnya moderatisme Islam Lrdonesia,
yakni, post-tradisionalisme Islam, yang digerakkan anak-
anak muda Nahdlatul Ulama (NU). Kehadiran mereka,
tampaknya hendak meneguhkan moderatisme Islam Indo-
nesia, yang sebenarnya secara organisatoris telah lama
dikembangkan secara dominan oleh dua varian pergerakan
Islam terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah.

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


Kehadiran dua arus utama mtlderatisme Islam L-rdo-
nesia itu (Islam l-iberal plus Post-Tradisionalisme Islam),
tampaknl,a, tak lepas dari kemunculan fenometla fttncla-
mentalisme-radikal vang kian ekspresif belakangan' Keha-
diran kelompok-kelompok yang kerap rnelakukan aksi-aksr,
vanpS dalam konieks tertentu, mengedepaukan kekerasan,
dengan clalih memberantas kemaksiatan dan melindungi
kaum Musiim dari keteraniayaan (semisal kasus Malukr-r
dan Poso), bagainranapr-rn menunjukkan sisi Iair" citra Isl'rm
Indonesia. Sayang citra vanB terbentuk oleh mengerasnva
kelompok fttndarnentalisme-radikal Ci Indonesia, dalar-n
banlrak l-ral kurang rretr54nntungkan, terutama bila clilihal
dari sisi mocleratisme Islam. f)aiam konteks ini, [s[;rm
moderat, bertugas mencairkan ketrekuan dengan menam-
pilkan Islam dalam terna perdamaian, dialogis, clan toleransi'
Tampaknva, Islam moderat, bila ditinjau dari pilihan atas
doktrin mnnr ntn'rttf nnhv munkar, pilihannva lebih terletak
pad.a nmnr mn'rtf (merLveru kepada kebaikarr)' lvlaka,
penclekatannya lebih dialogis dan persuasif, ketimbang ke-
kerasan. Sementara pihak fundamentalisme-radikai, memilih
nahrl nrunkar (mencegah keiahatan). \'{aka, tampak gerakan-
gerakan mereka yang massi.i dan cenderung memakai keke-
rasani terpaksa dilakukan dengan dalih demi metnberantas
kejahatan dan kemaksiatan.
Persoalannya adalah, bagaimana penegakan hukum
dilakukan di Indonesia, sehingga kelompok-kelompok
fu ndamentalisnre-radikal tidak bertindak sendiri, vang meski
didasari niat baik, tetapi tetap melanggar hukum positif di
Indonesia. Dalam konteks ini, sebenamya tak trisa diperten-
tangkan atas kedua doktrin itu. Maka, sebenarnya kelom'pok

Svorif Hidcvotulloh, M Aq , MA
Islam moderat juga bertugas mengerem tindakan fatal
kelompok fundamentalisme-radikal. Meski sesungguhnya
dominan, kelompok Islam moderat di Indonesia, kurang
memiliki daya greget, dan seolah kurang mampu menjawab
banyak pertanyaan seputar realitas dinamika keislaman
dan keindonesiaan belakangan, kecuali lewat wacana-wacana
semata. Inilah yang membuat kelompok fundamentalis-
radikal mengerucut, seolah mengambil-alih hal-hal yang di
lapangan tidak dilakukan kalangan moderat. Maka, dalam
konteks ini perlu ada agenda nyata dari kalangan moderaf
tak sekadarbergelut di dataran wacana, tetapi juga aksi nyata
di lapangan. Mereka lebih dulu harus merapatkan barisan,
antara sesama elemen Islam moderat, mengingat tugas bera!
meneguhkan peran positif Islam dalam merajut keharmo-
nisan dalam konteks multikulturalisme Indonesia. Kehi-
dupan agamayang bersanding manis dengan negara Qnott-
ern natiort-state) mencerminkan bahwa nilai-nilai agama
selaras dengan kemajuan.
Terkait dengan itu, moderasi beragama yang selama
beberapa tahun belakangan gencar dilakukan oleh tokoh-
tokoh agama di Indonesia, merupakan upaya untuk lebih
mempromosikan nilai-nilai agama, terutama yang berkaitan
dengan semangat berbangsa dan bernegara. Kesalehan
dalam beragama tidak semata ditunjukkan dengan tingkat
kera;'inan membaca al-Qur'an, melainkan juga kepedulian
terhadap masalah bangsa. Jika saja moderasi ini mendapat
dukungan besar dari seluruh lapisan masyarakat baik yang
beragama Islam ataupun non-Islam, maka agama akan se-
makin berkorelasi positif dengan kemaslahatan dan kema-
juan sebuah bangsa. Maka, dalam konteks ini perlu ada

lslrm "isnre i:nre" Aiiron don Pohom lslom 0i lndonesio


agenda nyata dari kalangan moderat, tak sekadar bergelut
di dataran waczrna tetapi juga aksi nyata di lapangan. Mereka
lebih dulu harus merapatkan barisan, antara sesama elemen
Islam moderat, mengingat tugas berat, meneguhkan peran
positif Islam dalam merajut keharmonisan dalam konteks
multikulturalisme Indonesia.
Teologi Islam yang moderat adalah rahmat-an lil
'alamin (rahmat bagi seluruh alam), teologi tersebut adalah
pilar dari perdamaian dan keharmonisan dunia. Di sini,
ajaran Islam tidak diarahkan kepada eksklusivisme seperti
membenci agama lain, merendahkan non-muslim, atau
memusuhi, dan menggunakan kekerasan dalam menyiar-
kan kebenaran. Sikap moderat jauh dari itu semua, bahkan
sebaliknya, mempromosikan toleransi dan kerja sama. Per-
bedaan agama tidak menjadi penghalang bagi interaksi dan
aksi. Sejak awal, Islam senantiasa menganiurkan untuk
merangkul umat non-muslim bekerja sama membangun
masyarakat. Olehkarena itu, dengan sendirinya Islam mem-
promosikan perdamaian, bukan kekerasan. Fenomena
kekerasan atas nama agama memang bukan hal baru' Se-
panjang sejarah peradaban manusia, aliran "garis keras"
kerap muncul seiring dengan perubahan sosial. Belakang-
an ini, intensitas gerakan "garis keras", khususnya di Indo-
nesia tampak lebih semarak menyusul pergantian rezim.
Jika melihat latar belakang lahimya gerakan-gerakan itu, kita
tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka.
Faktor-faktor yang mendorong mereka untuk bergerak
mengusung ideologinya, seperti kekecewaan atas rezim masa
lalu karena terlalu mengekang gerakan sosial, kita bisa
memaklumi. Namun demikiaru laju gerakan "garis keras"

Syorif Hidoyotullch, l',1 Ag, AM


itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Semangat moderasi
beragama yang belakang banyak diusung oleh para inte-
lektual Muslim merupakan salah satu jawaban terhadap
maraknya gerakan "garis keras". Gerakan pemikiran itu dapat
dikatakan sebagai altematif "menarlgkal" radikalisme agama,
selain tindakan represif aparat keamanan. Melalui gerakan
pemikiran moderat itu, diharapkan gerakan kaum Muslim
Indonesia khususnya dan dunia intemasional umumnya
memberi inspirasi dan memberi rahmat bagi semesta alam.
Dengan demikian, teologi moderat akan menjadi tumpuan
bagi masa depan peradaban umat manusia.

8. lslcm llco-todernis
Islam Neo-modernis adalah sebuah gerakan pemikiran
Islam yang diperkenalkan pertama kali secara sistematis
oleh Fazlur Rahman, seorang tokoh pembaru pemikiran
Islam kontemporer asal Pakistan. Menurut Syarif Hidayatullah
(2000: xvii-viii), neo-Modemisme yang di-launchins F azlur
Rahman ini adalah sebuah gerakan pemikiran Islam progresif
yang muncul dari modernisme Islam namun mencakup
juga aspek-aspek tradisionalisme Islam. Karenanya, gerakan
ini memiliki empat ciri pokok, yaitu: pertama, penafsiran
al-Qur'an yang sistematis dan komprehensif; kedua, PenS-
gunaan metode heremeneutika dan kritik historis; ketiga,
melakukan pembedaan secara jelas antara normativitas
Islam dan historisitas Islam; dary keempat, penggabungan
unsur-unsur tradisionalisme dan modernisme Islam.
Neo-modernisme ini diperkenalkan di Indonesia oleh
dua murid Fazlur Rahman di Chicago, AS, yaitu: Nurcholish
Madjid danAhmad Syafii Maarif, ketika keduanya kembali

hlom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio

l''
ke tanah air pada awal 1980-an. Menurut Muhammad
Azhar (1996:52), sejak kedatangan Nurcholish Madjid dan
Ahmad Syafii Maarif maka pemikiran neo-Modernisme
Fazlur Rahman ini mulai terasa pengaruhnya dan sangat
"mengusik" kemapanan tatanan berpikir umat Islam Indo-
nesia saat itu. Namun menurut Greg Barton (1999:447),
Fazlur Rahman bukanlah pencetus atau penggagas awal
dari neo-Modemisme di Indonesia. Sebab, jika dilacak akar
historisnya maka dasar-dasar neo-Modemisme Indonesia
ini telah dibangun di akhir tahun 1969.Pada1970, pemba-
ruan pemikiran Islam telah lahir dengan mendapat respon
yang keras dari masyarakat, dan di sekitar akhir 1972,
pertempuran kian mengeras setelah berkembang di arena
publik. Baru pada 1973 ketika pertama kali Fazlur Rahman
berkunjung ke [:rdonesi4 maka Nurcholish Madjid dan bebe-
rapa pemikir muda lainnya, seperti Djohan Effendi dan
Ahmad Wahib, mulai mengetahui fenomena pemikiran
yang dikembangkan intelektual asal Pakistan yang ber-
mukim di Amerika ini.
Kendati pun tak pemah sekalipun mengaku sebagai
pengikut Fazlur Rahman ini, namun menurut Barton,
pengaruh Fazlur Rahman dalam gerakan pemikiran
Nurcholish Madjid cukup jelas, terutama dalam mengan-
tarkannya untuk kembali mempertimbangkan warisan
klasik kesarjanaan Islam ketika melakukan proyek pem-
baruan pemikiran lslam. Rahman lah yang mendorong
Madjid untuk mengambil gelar Ph.D dalam kajian-kajian
keislaman, daripada pilihan pertamanya, tentang ilmu politik.
Rahman juga menyediakan diri untuk menjadi pembim-
bing riset Nurcholish Madjid tentang Ibnu Taymiyah.

tOS I Syorif Hidoyorulloh,MAg.,rrM

I
I
Selain Cak Nur, Ahmad Syafii Maarif adalah nama
lain yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rahman ini.
Bahkan, bagi Barton, Maarif adalah lebih tepat dikatakan
sebagai pengikut Rahman dibanding Nurcholish Madjid
sendiri (7999: 447). Syafli Maarif dalam penilaian Barton
adalah tokoh yang rnemisahkan diri dari indonesia sebagai
seorang 'skeptik' untuk belajar di bawah asuhan Rahman
di Chicago namun kemudian kembali ke Indonesia sebagai
seorang' mu'allaf ' terhadap gaya pemikiran guruny a, F azlur
Rahman. Meskipun demikian, menurut penilaian penulis,
publik Indonesia lebih mengenal Nurcholish Madjid seba-
gai perintis dan pengembang Islam neo-Modernis di Indo-
nesia, ketimbang Syafii Maarif yang kemudian hari iebih
dikenal sebagai salah satu "icorr" pengembang Islam moderat
di bumi rrusantara ini.
Cagasan neo-Modernisme Islam di lndonesia secara
pasti mendapatkan tempat yang memadai di kalangan
intelektual mucla sejak era awai 1980-an hingga akhir 1990-
an, bahkan, hingga memasuki abad ke-21 sekarang ini.
I)ada era ini banvak bermunculan karya fulis vang diluncur-
kar-l inielektual rnuda Indonesia untuk mengapresiasi
gagasan Islam neo-Modernis ini. Taufik AdnanAmal, misal-
nva, meirLncuikan tiga karyanya vang terkait dengan Fazlur
Itahrnan ilan gagasan n-eo-Modernisnya ini, yaitu: (1)buku
bertair-rk Mctttdt, dLtn Aitennti.f I'leo-ntodenisme lslam Fazlur
Rtthtrrntt, yang diterbitkan Penerbrt Mizan pada 7987; (2)
nr.rkalah seminar st,hari berludul "Fazlur Ilahman Tentang
Etika al-Qur cin" \1ano drselenggarakan I-SAF pada 1988;
dair, (i) Lrrrku islnut Jat i1-ttrttutgnn MttdemitLts: Sttdi ntns
Parnikirtut Hrtkutrr t'nzlur Rttl:Limn, yang diterbitkan Penerbit

lslorn "isnre isrne": Aii on iior Pahom lsiom Di lndonesio


t09
Mizan pada 1988.
Ghufron Adiib juga tertarik untuk meneliti pemikiran
tokoh penggagas neo-Modemisme lslam ini sebagai tesis
Master pada Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah tahun
1995, dengan mengambil judul Pemikiran Fazlur Rnlunnn
tcntang metodologi Pentbaharuan Hukutn Islnm. Demikian
juga pada tahun 1995 diterbitkan buku karya Muhammad
Azhar berjudul Fiqh Kontemporer Dnlam Pandnngnn Nett-
ntodernisnrc lslarrr oleh penerbit Pustaka Pelajar di Yogyakarta.
Menyusul pada tahun 2000 diterbitkan buku Intalaktualisure
dnlnm Persltekti.f N eo-Modentisnrc kary a Syarii Hidayatullah
oleh Penerbit Tiara Wacana Yogya.

,. lrhm lnHusif
Salah satu pengembang gagasan Islam Inklusif adalah
A,lwi Shihab, pemegang dua gelar doktor dari Universitas
Ain Syams, Mesir, dan Universitas Temple, AS., terutama
ketika ia meluncurkan buku pada 7997 berjudtr I lsl nn t lnkl u sif
Menuju Sikop Terhuka Dalam Berngamn (Mizan: 7999).
Dalam buku yang dalam waktu 15 bulan sudah naik cetak
lima kali ini, Shihab (7999:3\ mengemukakan bahwa
yang menyebabkan perselisihan yang telah mewujud dalam
sejarah hubungan Muslim-Kristen sejak keciatangannya di
lndonesia pada dasamya terletak pada sejarah panjang saling
tidak percaya dan ketiadaan sikap saling terbuka. Secara
umum, masing-masing memahami dirinya sebagai agama
+ang fnutlak, yang tidak bisa mengakui bahwa agama lain
di samping dirinya mempunyai nilai yang sama. Masing-
masing bersikukuh bahwa agamanyalah yang unik, supe-
rior, normatif, membawa keselamatan, dan sahr-satunya

Syorif Hidovotulloh, M Ag , lM
"'l
wahyu yang sah dari Tuhan.
Terlepas dari sifatuniversal agama Kristen, yang dengan
itu ia mengukuhkanbahwa kebenarannya tidak dimaksud-
kan hanya untuk umat Kristen tetapi untuk semua umat
manusia dan harus dimiliki bersama, seorang misionaris
Kristery atau bahkan seorang Kristen mana pun yang terlibat
dalam pekerjaan misi selalu dipandang oleh kaum Mrrslim
sebagai pembuka luka lama. Bahkan, kendati seseorang
bekerja untuk tidak tujuan membuat orang pindah agama,
namun betul-betul karena ruh kasih sayang dan pelayanan
kepada yang lain punmasih diragukan. Pelayanan orang Kristen
di lingkungan yang non-Kristen dianggap sebagai cara ter-
selubung untuk menjalankan tugas misionaris. Luka yang
ditinggalkan oleh cara penguasa Belanda ini terlalu dalam
untuk dapat disembuhkan, sehingga butuh cara penanganan
yang cermat dan tekun.
Hal yang memperburuk keadaan adalah sikap evangelis
sebagian besar gereja di Indonesia. Sikap mereka ini yang
tumbuh lebih kuat dan bersuara lebih melengking serta
menekankan pentingnya misi supaya orang bisa datang
untuk penyelamatan semakin fenomenal ditunjukkan oleh
membumbungnyaiumlah gereja dan jemaat yang terorganisir
di negeri ini. Fenomena ini sering kali dianggap oleh kompe-
titomya dari aktivis dakwah Muslim sebagai bentuk ke dalam
penetrasi Kristen dalam kehidupan nyata masyarakat Indo-
nesia. Di pihak lain, umat Kristen sendiri sangat tertarik
dengan keinginan kebanyakan Muslim untuk melembaga-
kan syariat pada aspek-aspek tertentu kehidupan masyarakat
seperti hukum perkawinan, warisarl dan mahar. Bagi umat
Kristen, hukum-hukum ini dianggap bisa menjadi simbol

lslom "isme-isme": Afiron don Pohom ldom Di lndonesio

l,,'
meningkablya kesadaran dan pengertianbaru tentang iden-
titas Islam bagi mayoritas Muslim Indonesia. Hal ini juga
dipandang sebagai satu langkah dalam Proses Islamisasi
bangsa L:rdonesia. Karenanya, kalangan Kristiani menjadi
tertarik untuk mempertanyakan apakah sebagai minoritas
di Indonesia akan mendapatkan standar yang sama dalam
keamanary kesejahteraan ekonomi, dan Persamaan sosial
dalam lingkungan politik dan agama.
Pada lingkungan di mana kedua kelompok masyarakat-
nya saling menuduh satu sama lainnya sebagai yang tidak
tolerarL keduanya mengalami tantangan konsep "toleransi
beragama". Karenanya, Shihab (1999: 35) menyarankan
kedua kelompok harus mempunyai kernauan untuk saling
mendengarkan safu sama lain tanpa harus mengorbankan
prinsip-prinsip keagamaan masing-masing. Hal yang penting
lainnya adalah kenyataan bahwa kedua kelompok harus
kritis pada diri sendiri dan lebih sadar dengan tanggung
jawab bersama mengingat kekuatan-kekuatan kafir, sinisme,
ketidakadilan, kemerosotan moral di lingkungan budaya
dan sosial, Shihab berpandangan bahwa hanya dengan
kesediaan kedua belah pihak untuk melepaskan Perasaan
benci historis mereka dan bersama-sama terlibat dalam
menganjurkan nilai-nilai dasar yang sama-sama dipijak oleh
kedua agama tersebut, maka persoalan ini dan problem
lainnya dapat diselesaikan. Shihab juga menyarankan, dari
sudut ideologis, para pemimpin kedua kelompok agama
harus mencari landasan teologis yang valid untuk mendiri-
kan toleransi di atasnya. Sedangkan dari sudut sosial, ke-
duanya harus menentukan agar Para pengikutnya bisa mene-
rapkan keimanannya seraya menumbuhkan toleransi ber-

ttrl 5yorif Hidoyotullch, M Ag , MA


agama yang merupakan tujuan utama yang didukung dan
dimajukan oleh negara. Pada saat yang sama pe4ting sekali
agar para tstadz, ulama, kyai, pendeta, imam, pastor, dan
pimpinan masyarakat lainnya dibukakan wawasannya agar
menerima keanekaragaman di negeri ini, dan mencari tradisi-
nya masing-masing untuk mendukung keberagaman ter-
sebut.
Kesiapan untuk menerima keberagamarl tersebut tidak
akan mudah dilakukan tanpa terlebih dahulu ada kesedia-
an untuk membuka ruang dialog oleh kedua belah pimpinan
dan umat dari tradisi yang berbeda tersebut. Menurutnya,
dengan dialog maka umat beragaina akan mempersiapkan
diri untuk melakukan diskusi dengan umat lain yang ber-
beda pandangan tentang kenyataan hidup. Dialog ini akan
memperkaya wawasan kedua pihak dalam rangka mencari
persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup
rukun dalam suatu masyarakat. Dalam dialog ini, Shihab
mengingatkary ada dua komitmen penting yang harus di-
pegang oleh kedua pelaku dialog, yaitu: toleransi dan plu-
ralisme. Toleransi dibutuhkan karena akan sulit bagi pelaku-
pelaku dialog antaragama untuk mencapai saling penger-
tian dan respek apabila salah satu pihak tidak toleran, karena
toleransi pada dasarnya adalah upaya untuk menahan diri
agar konflik dapat diredam atau dihindari. Namur! bagjnya,
toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin
tercapainya kerukunan antar umat beragama yang langgeng.
Secara garis besar, Shihab menjelaskan, pengertian
konsep pluralisme dapat disimpulkan: pertama, bahwa
pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan, namun juga dimaksudkan sebagai

lslom "isme-isme", Aliron don Plhrlrn lslom Di lndonesio

l"'
keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Kedua,bahwa pluralisme harus dibedakan dengan kosmo-
politanisme, sebab kosmopolitanisme menunjuk kepada
suafu realita di mana aneka ragam agama, ras, danbangsa
hidup berdampingan di suatu lokasi, namun interaksi positif
di antara merek4 khususnya dibidangagama sangatmini-
mal, bahkan tidak ada. Ketiga, bahwa konsep pluralisme
tidak dapat disamakan dengan relativisme, karena paham
relativisme ini berkonsekuensi bahwa doktrin agama aPa
pun harus dinyatakan benar, atau "semua agama adalah
sama". Tentu saja, konsep pluralisme tidak menganjurkan
ke arah pengakuan bahwa "semua agama adalah sama"
tersebu! namun hanya sebatas pengakuan terhadap realitas
agama lain dan umahrya di luar diri mereka . Keempat, bahwa
pluralisme juga bukan sinkretisme, yakni menciptakan
suafu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau
sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadi-
kan bagian integral dari agama baru tersebfi (1999:41'-2)'

,,.1 Syorif Hidoyutulloh, M.Ag , [ll


PtlluruP: I[[$ lltPflil
lntlt0 PtilflflRA]t
DAlt
rcEmilflil lil t]ilr0lrtstA

fJ trmusan baru lslam vang dikedepankan intelektual Mus-


I\im belakangan ini menghadapi tantangan keras.
Sejalan dengan reformasi yang bergglir kita pun menvaksikan
munculnya beragam organisasi dan gerakan pemikiran
Islam. Setiap organisasi dan gerakanpemikiran itur nampak-
nya memiliki orientasi ideologis yang beragam, dari yang
paling moderat hingga yang paling radikal sekaliptrn-(Fuad
Jabali dan Arif Subhan, :2007:69). Mereka saling berlomba
untuk mendapatkan perhatian dan memancing minat dari
kalangan masyarakat. Namun kini gagasan-gagasan vang
telah dibangun generasi baru intelektual Muslim harus ber-
dialog denganperkembanganbaru Islam di Indonesia. Tan-
tangan ini tidak saja datang dari penguasa politik namun ju ga
dari kelompok-kelompok Muslim lainnya yang mengusung
ideologi berbeda.
Kehadiran kelompok-kelompok Muslim radikal, misal-
nya, bukan hanya akan memberikan nuansa lain dalam

lslnnr "rsme-isnre": Aliron don Pohrm lslom Di lndonesro


It5
konteks perkembangan Islam di Indonesia namun juga
menjadikan peta gerakan-gerakan dan pemikiran- pemikiran
Islam harus mengalami revisi. Dengan demikian, kaum
intelektual Muslim kontemporer dituntut harus merumus-
kan kembali kajian-kajian keislaman yang dikembangkan.
Mereka tidak hanya harus lebih memperkaya kajian-kajian
keislaman tersebut, misalnya melalui lembaga-lembaga pen-
didikan Islam, namun juga harus sanggup mendekonstruksi
otoritas keislaman yang selama ini telah dianggap sakral.
Lllam4 teksteks keagamaan klasik, dan para pimpinan Islam
pada umumnya harus didekonstruksi dan ditegaskan bahwa
otoritas mereka selama ini sesungguhnya bersifat relatif
sehingga akan tercipta suatu masyarakat Muslim yang bukan
hanya adaptif terhadap modernitas namun juga bersifat
toleran dan siap memasuki sebuah budaya global yang
multikultural.
Menurut Abdul Aziz dan Imam Thalkhah (2006:71),
para aktivis dan organisasi gerakan pemikiran Islam di Indo-
nesia hendaknya bergerak dengan menjalankan orientasi
baru, yaitu: pertama, mencari penyelesaian dalam rangka
mengatasi antagonisme di antara komunitas-komunitas
Muslim. Kedua, menggunakan aspek-aspek fungsional dari
ajaran bermadzhab, dary ketiga, mencari pijakan baru di
dalam ajaran Islam guna menyantuni dan memikirkan
masa depanumat Islam secara lebih "manusiawi". Dengan
demikiaru di masa depan, gerakan pembaruan pemikiran
Islam di Indonesia sangat mungkin memunculkan para
pelaku yang memiliki kesadaran lintas kultural. Pola-pola
semacam ini, menurut keduanya, dapat dipandang sebagai
fenomena berkembangnya proses "integrasi kultural" di

"'l
5yorif Hidovotuiloh. [1 Ag . MA
antara umat Islam sendiri. Pada tahap ini para pelaku pem-
baruan pemikiran Islarn tidak lagi peduli dari golongan Islam
mana dan dari latar belakang keislaman apa seseorang ifu
berasal, namun lebih peduli pada makna-makna apa dan
tindakan apa yang dilakukannya untuk manusia. Di masa
depan, fenomena "lintas aliran dan kultural" ini akan semakin
memperoleh peluang besar dalam menjalani tahap-tahap
kristalisasi gerakan dan pembaruan pemikiran Islam di In-
donesia.
Dalam konteks rekonstruksi pemikiran Islam kontem-
porer perlu dipertimbangkan suatu asumsi bahwa apabila
krisis masyarakat membawa pada kritik pemikiran dan
kebudayaan maka krisis kebudayaan ifu sendiri membawa
pada kritik nalar, atau paling tidak membawa pada kritik
terhadap dirinya sendiri, yaitu mengkritisi kaidah-kaidah
nalar dan mekanisme pikiran serta logika pembahasan dan
metode pengabsahan (tahqiq). Interpretasi terhadap teks-
teks agama, baik al-QurErn maupun hadits nabi, bagi wacana
agama merupakan salah safu mekanisme yang penting unfuk
melontarkan konsep-konsep atau pandangan-pandangan
pembaruan pemikiran Islam. lnterpretasi yang sejati adalah
interpretasi yang menghasilkan makna teks dan menuntut
pengungkapan makna melalui analisis atas berbagai level
konteks. Sfudi teks dalam wacana Islam kontemporer dan
masa depan hendaklah diarahkan pada dua hal, yaitu:
pertama, membongkar fenomena pengabaian konteks dalam
wacana agama dan, kedua, mengungkap dampak dari
fenomena tersebut pada wilayah pemikiran dan sosial.
Oleh sebab itu, dekonstruksi terhadap teks-teks ke-
agamaan adalah suatu keniscayaan. Upaya dekontruksi ini

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio

l"'
dapat dilakukan dengan memusatkan perhatian pada dua
topik utama dalam wacana agam4 yakni: pertam4 interpre-
tasi "saintifik" atas teks agama, suafu topik yang berusaha
menyingkapkan betapa konteks budaya diabaikan. Kedua
topik terrtang "otoritarianisme" atau alhakimiyah, yang
menyingkapkan betapa konteks historis dinafikan. Konteks
narasi linguistik dari teks yang menjadi obiek penafsiran
juga dikesampingkan. Padahal, dalam kajian filologi, teks-
teks apa pun termasuk teks-teks keagamaan tidak muncul
dari langitbegitu saja atau dari "ruang hampa" kebudayaan,
|ika totalitas "agama" dan dominasi teks yang meng-
akibatkan konsep tradisi (turats) menjadi sempit dan terbatas
pada tradisi keagamaan, maka mekanisme "produksi teks"
memiliki andil dalam menjadikan tradisi keagamaan sebagai
satu-satunya kerangka otoritas nalar Arab. Proses pemba-
caan teks yang'pada intinya adalah mengurai kode (decod-
ing), bukan semata-mata konteks ekstemal sekunder yang
disandarkan pada teks. Karena ekspresi teks(encodirzg) tidak
akan terealisir kecuali melalui aktivitas pembacaan itu
sendiri.
Dari sinilah maka, menurut Mahmud Adnan, dkk.
(2005; xi), pembicaraan tentang pembaca imajiner men-
dapatkan legitimasinya. Artinya aktivitas pembacaan terealisir
dalam struktur teks sebagai peristiwa atau kejadian. Sebab,
pembaca adalah penutur teks atau pengirim Pesan yang
melanggengkan pembacaan ketika menciptakan atau
menyampaikan pesan seraya beralih dari pesan pengirim
kepada kesan penerima.Apabila demikian konteks pemba-
caan awal dalam struktur teks secara umum maka sesung-
guhnya kehadiran pembaca imajiner tampak lebih jelas

,,,1 SyorilHidoyotulloh, M Ag, AM


dalam teks-teks yang mengarahkan kebenaran pembaca
secara mendasar. Teks-teks keagamaan menjadi pesan-pesan
pengarah yang mengintervensi watak audiens (mulchathab)
dalam menentukanmekanismenya di satu sisi dandi sisilain
menunfut aktivitas penerima atauaudiens unfuk memahami
isi pesannya.
Menurut Muhdi Alhadar (Adnan, dkk., 2005;203),
agama Islam diyakini pesan yang akan mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang lebih baik lahir dan bathin.
Al-Qur'an dan hadits selain sebagai sumber hukum bagi
Muslim juga mengandung petunjuk dan ajaran yang ideal
dan agung serta seimbang dan memenuhi kebutuhan ma-
terial dan spiritual. Namun kenyatam, disayangkan Al-hadar,
sekarang Islam telah digeser oleh umatnya sehingga
menampilkan wajah yang jauh dari citra ideal tersebut.
Segala bentuk ritual yang dijatani umat Islam belum dapat
berpengaruh atau membawa dampak positif bagi ling-
kungan sekitamya, sehingga ibadah tersebut hanya men-
jadi sebatas simbol kesalehan semata. Keberagamaan yang
demikian cenderung hanya memunculkan formalisme ke-
beragamaan yang lebih mementingkan bentuk daripada
isi. Dalam kondisi seperti ini maka menyebabkan agama
kurang dipahami sebagai perangkat paradigma moral dan
etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebo-
dohan dan kemiskinan.
Terjadinya kesenjangan antara cita-cita ideal Islam
dengan kenyataan dapat dipecahkan dengan langkah-langkah
solusif. Mukti Ali (Adnan, dkk., 2005; 205) misalnya, menga-
takan jika kita mempelajari dan memahami Islam maka
tampak ada tiga pendekatan yang jelas untuk kita gunakan,

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio


yiatu: naqli (literal, tradisional), aqli (rasional), dan kasyf
(mistis, intuitifl. Mukti menyarankan, ketiga pendekatan ini
perlu digunakan secara serempak dalam memahami
a8ama.
Dengan demikian, maka kekhawatiran Amin Abdullah
akan adanya kesulitan pada diri agamawan dalam membeda-
kan antara normativitas dan historitas ini dapat ditemukan
jawabannya. Saatini, menurutAbdullah (Adnan, dkk., 2005;
205), pada dataran normativitas, studi Islam agaknya masih
banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat me-
mihak, romantis, dan apologetis, sehingga kadar muatan
analisis kritis, metodologis, historis, terutama dalam mene-
laah teks-teks keagamaan sebagai produk terdahulu kurang
begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti
yang masih sangat terbatas. Dengan demikian, dapat diperoleh
gambaran bahwa saat ini agama Islam belum sepenuhnya
dipahami dan dihayati oleh umat Islam. Karenanya, signi-
fikansi dan trend pemikiran keislaman di L:rdonesia ke depan
adalah mengubah pemahaman dan penghayatan ke-
islaman dari formalisme keagamaan menjadi format yang
lebih substantif, namun tanpa mengabaikan nilai-nilai
spiritualitas dan kemanusiaarurya karena pada intinya agama
Islam ini adalah untuk umat manusia.

Syorif llidoyotulloh, M,Ag., [M


IIITTAR PUSIAIM

A BUKU

Adnan, Mahmud, Sahjad M. Aksan, dan M. Ar,r ib Ab du sh om a d,


Pettikirnn Islan Kttrttenryorcr di hrtloii:>i,i, yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, 1986, 1.1i,; urnbtth lalnn Bnru
Is!nrtt, bandung: Mizan.
Amin, M. Masvhuri, 1995, Dinamikn Islnm (sejttrnh l-nuts-
formnsi dnn Kebnngkitnn ), Yog1,3pu.1u; LPKSM.
Azhar, Muhammad, 1996. Fiqh KontemLlorcr dnlnm prtrr-
dattgatt I,leomodcrnisme Islttur, Yogl,akarta: pust.rka
Pelajar.
Aziz, Abdul dan Imam Thalkhah, 2006, "Ge.rakan Islam
Kontemporer di Indonesia Sebuah Kajian AwaI', , dalam
r\bcli-ri Aziz, dkk. (eds.), Gernkan lsltun Kontt!.ltporcr
di lrtdorrrsio.. Jakarta: Diva Pustaka, hai. 11.
Barton, Creg. 1999, Gngasnn lslnm Liberttl di tlLloncsitt.

lsionr ":me rsrne" Alrrcn don Pchom lsiom Di lndonesio

l"'
Jakarta : Paramadir-ra & Pustaka Antara, Yavasa n A tl ika r-ya
Ikapi, dan the Ford Founclation'
Geertz, Clifford, 7962: ALtattgnn, Sntttri, Priyayi dnltrrr
Masyarakat Jnu,tt, lakarta: Pustaka Java.
Ghazali, Abdul Moqsith, 2005, ljtihnd Islant Liltarnl Ul'0,!lt.'
Merttmttsknn Kcltcrngfintaafi ynng Dinnirtis, Jakarta:
Jaringan Islam Liberal.
Gibb, H.A.R., 7992., Aliran Alirnn Modarrt dnltttt lslttn,
]akarta: Rajawali Press.
Hakim, Sudarnoto Abdul, dkk., 1995, Islntrt Btrbngni
Pcrspektif, Yogyakarta: LPMI.
Hidayatullah, Syarif, 2000. lntelektunlisne tlnltun Parspaktii
I'leo-Modunisme, Yogynknrtn : Tiara Wacana Yogva.
Jabali, Fuad dan Arif Subhan,:2007, "Intelektual Muslim
dan Lahirnva Ilumusan Baru Islam Indonesia" clalarn
Rizal sukma dan Clara Joervono, Gernkrtrt E Parnikirnrt
lslam hdottcsin Kotttettporcrt Jakarta: CSIS, hal' 69-70'
Jamhari, 2002, "Islam Di Indonesia" dalam Taufik
Abdullah,
dkk., Errsliktt7tedin Tetnntis Dwin lslnm, Jakarta: PT'
Ikhtiar Van Hoeve, hal 345-375.
Kuntowijoyo, 1991, Pnrntligrntt lslnm Interpretnsi urttrk Aksi,
Bandung: Mizan.
Karim, M. Rusli, 1999, Negnrtt dm Penitrygiran Islntn Politik,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogva.
Mudzhar, M. Atho, 1998, Pcndekntat Stutli lslnrtt, Yogl'a-
karta: Pustaka Pelajar.
Nasution,1995, Islnm rnsitmnl: Gagasnn tlnn Petnikirnn Prtt.f'
Dr. Hnrun Nnsutittrt, Bandung: Mizan.
Nasution, Harun, 7992, Penrhaharunn dnlnrn Islnttr Scinrtlr
Pcnikirm dnn Garttktur, Jakarta: Bulan Bintang'

t22 I SYoril HidoYotulloh, l'{ Ag ' l'4A

I
I
Rahmat M. Imdadun, et al., 2003, lslam Pribumi Mendialog-
kan Agama Memhaca lkalitas, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Shihab, Alwi, 7999, lslant lnklusif Menuju Sikap Terbuka
dalam Beragama, Bandung: Mizan.
Steenbrink, Karel A, 1984, Beberapa Aspek Tentang lslanr
di lndonesia Abad ke-L9, |akarta: Bulan Bintang.
Sukma, Rizal dan Clara Joewono (eds.), 2007. Gerakan €t
Pemikiran lslom lndonesia Kontemporer, lakarta: Centre
for Strategic Arld Intemational Studies.
Suminto, Aqib, 7993, "lslam lndonesia Sejnrah", dalam
Abdurrahman, Burhanuddin Daya, dan Djam'anuri,
Agama dar Masyarakat, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press.
Wahid, KH. Abdurrahmary dkk., 1991, Kontrooersi Pemikiran
lslnm di lndonesin, Bandung: Remaja Rosdakarya.

B. toioloh, Jurnol, dan Intcrnet


Alfian, M Alfan, 2002, "Montentutn Kebangkitnn lslnm
Moderat", Kompas, 1 Februari 2002, http:llislamlib.
com / id / i n de x. pho ? o as e=ar t i cl e €, id=27 3
Asrori Kami, dan, Muiib Rahman,20['l., "Tentang larfugan
S.
lslam Liberal, Aksi Mendukung Pingam Jr*arta", GATRA,
1 Desember 2001.
Alka, David K., 2005, "lslam Moderat don Bayang-Baynng
Teror iane ", h t t p : I I zt u,zt,. o rnt, or.i dIcm min d mo re. p ltp ? i d=
3 0 M. Center for Moderate Moslem lndonesia,
A71. 0
24 |anuari 2005.
Center for Moderat€ Moslem (CNIM), 2W7., "Ciail Religion
dan Moderasi Beragatna" htto:l lwww.cmm,or.idlcmm

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom hlom Di lndonesio

l"'
ind more.oha?id=4594 0 3 70 M1.4,26-lulv-2007.
2007, "lslam, Modernitas, dan Peradaban",
htto:l lwww.cmm.or.idlcmm-ind more.php?id=4540 0 3
30 M1.41..7 J1u]i 2007.
2007, "Islam Moderat dalam Gelombang
-
DemokrasT",
id=4606 0 3 70 ML4. 30 [uli 2007.
- 2007, "Moderatisme, Antara Tradisi dan
Modemitas",
id-4559 0 3 20 M14. 20 Jtrli 2007
2}D7,"Berharap pada Teologi Moderat", http:I
/www.cmm.or.idlcmm-ind more.php?id=4616 0 3 10
M74. Sl Jtrli 2007.
2007,"'Agama, Modernisasi, dan Radikal-
isme" .' httr:l /www.cmm.or.idl cmm-ind more..phn? id=
-
4574_0 3 20 M1.4.24luli 2007.
2007, "Teologi Eksklusif dan Keberagamaan
Radikal"hf to:l lwww.cmm.or.idl cmm-ind more.olto? id=
4502 0 3 1.0 M14, 27 lwli 2007.
, 2007,"Islam Bukan Agama Radikal dan
Liber al" .ht to I I zowto. ctn m. or. i dl cmm - i n d m or e. oho ? i d=
:

4s27 0 3 30 M14. 1.6 Juli 2007.


2007, "Mencegah Fundamentalisme-Radi-
kal" .htto : I I uqtw. o n m.or.idl cmm-i n d mor e . o ho ? i d -4 46 5 0
3 40 M14.04 Juli 2007.
_,
2007, "Radikalisme Agama dan Transisi
Demokrasl",http:l /www.cmm.or.idl cmm-ind nrore.php?
id-4528 0 3 30 M14. 6luli 2007.
He-Man, 2003 "Teologi Ekslusif dan Keberagamaan Radikal",
htto:/lwwutln3b.or.id. L4 Auq 2003 20:08:08 -0700,

tral Syorif Hidoyotulloh, ilr Ag , lt4A


artikel ini pernah dimuat di koran Duta Masyarakat.
Huliselary Beril, 2003, "Pergulatan Pembaruan Islam di
Indonesia" , lurnal Penuntun, Vol. 5, No. 19, 2003, http:/
erilhulis el an.mult iply. com / iour nal / it em I 9 .
Ib

Jawa Pos, 2006, "lslamis v Demokratis", Jumat, 02 ]uni


2006,h t t p : I / ut zuw.
i aut ap o s. co. id I in d e x. p hp ? ac t=d et ail
c€tid=228890.
Ma'arif, Zainul,2002, " Menelusuri Akar Muslim Funda-
mentalis Analisa Kritis Paradigma Komplek", Makalah
JurnnlNuansa yang dipresentasikan di diskusi eksklusif
LAKPESDAM NU Mesir pada tanggal 24 Oktober
2002.
NN, 2006, Perkembangan Islam di Timur Tengah Cukup
Berpenganth di lndonesin, litp:l lzmtxu.nu.or.id/page.php? lang=
id €t m e nu=n ew s a i ezu €t n ew s id--7 7 5 6 . 27 I 11 I 200 6
Nugrohq Kelik M., 2001, "Islam Liberal versus Islam Lite-
ral", Majalah Tempo, No. 38/XXX|19 - 25 November
2001., http : / I islanilib.coml id / index.php ? pa gr-article €tid=201.
2002 "Neo-Moderatisme, Antara Tradisi dan
Modernltas" .http / /zuurw.cmm.or.idl cmmind more.php? id:
:

4559 A 3 20 M14.. 20 JuL12007.


Rumadi, "Islam Liberal "Plus": Post-Ttadisionalisme Islam",
Redaktur lurnal Taswirul Afkar Lakpesdam NIl, Maha-
siswa 53 IAIN Syarif Hidayatullah lakarta. Jumat, 23
November 2001, ht tp / / www.ko mp as. com / komp as - ce t ak /
:

0117 I 2 3 I oo in i / isla}4.ht m.
Thoha, Zainal Arifin, "Gus Dur, dari Pribumisasi ke
Sekularisas 1", http I Igr o ult s. go o gle. co.idlsro up I so c. cul tur e.
:

4L9 2 30h9 I 43 6 cb d3%23 419 2 i 0b9 8 43 6 cb d3.

lslom "isme-isme"' Aliron don Pohom lslom Di lneionesic

l'"
Wahid, Marzuki, 2000, "Post-Tradisonalisme Islam: Gairah
Baru Pemikiran Islam di Indonesia", Taslnttitul Afkar,
edisi N0. 10 Tahun 2000, Jakarta: LAKPESDAM NU'

tral Syorif l,lidoyotulloh, M.Ag , illA


BIODIII PT]IUIIS

Penulis lahir di Kota Udang, Cirebon


pada 30 Januari 1970. Selepas SMA,
pada tahun 1990 melanjutkan studi
Strata 1 pad;r Fakultas Tarbiirah IAIN
Sunan Gunung Djati Cirebon (kini
STAIN Cirebon) dan m.enyelesaikan
studinya pada tahun 1995.Pada tahun
1999 memperoleh gelar MagisterAgama (M.AS.) dari pro-
gram Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (kini
UIN Yogyakarta) di bidang Studi Islam. Kernudian mem-
peroleh gelar Magister of Art (MA) di bidang studi agama
dan lintas budaya pada Center of Religious and Cultural Stud-
ies (CRCS)-Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
pada 2007. Sejak tahun 1998 hingga sekarang bekerja di
Fakultas Filsatat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai
Dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Studi Islam
Kontekstual (SIK) serta pernah mengampuh mata kuliah

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndoneslo l ry


I
I
Bahasa Arab, dan Bahasa Inggris Filsafat. Pernah dan atau
sedang mengajar PAI pada beberapa fakultas di lingkungan
UGM, meliputi: Fakultas Teknik (Geodesi, Mesin, Sipil,
dan Elektro), MIPA, Farmasi, dan Kedokteran Hewan, selain
mahasiswa lintas fakultas yang dikoordinir oleh pengelola
MPK Fakutas Filsafat UGM' Pernah mengajar sebagai
dosen luar biasa di Fakultas Hukum Universitas |anabadra
Yogyakarta dan Program Diploma II STAIN Surakarta.
Selain mengajar, penulis juga terlibat sebagai pengurus di
UP2N (Unit Penanggulangan dan Pencegahan Penyalah-
gunaar:r Narkoba) UGM sejak 2005 hingga sekarang. Berkarir
juga sebagai Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN PPM
(Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat) pada Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UGM sejak
lggghingga sekarang, dengan daerah yang pemah menjadi
lokasi mahasiswa bimbingannya meliputi: Subang, Indra-
mayu, Purworejo, Magelang, Klaten, Sleman, Banful, dan
Kota Yogyakarta. Pemah dituniuk sebagai Panitia Pemilihan
Mahasiswa Berprestasi Fak. Filsafat UGM (2005) dan Pro-
gram Pengenalan PembelajaranMahasiswa Baru Fak. Filsafat
UGM (2005). Peserta Sekolah Kritik Ideologi Angkatan II
yang diselenggarakan dari23 Des 2006 sd.Z4Februari 2007
oleh Pusat Studi Pancasila UGM. Pengalaman penelitian'
antara lain: (1) Penelitian individual dengan dana BOP Fakultas
Filsafat UGM bertema Teologi Feninisme lslam pada tahun
2007; (2) Program Hibang Bersaing XIII Dikti-Depdiknas
RI pada tahun 2005-2007 dengan bertema Radikalisnrc Agama
Studi Perbandingan Doktrin Dan Pemahlfitan Kengnmaan
di P o n dok P es an t r e n Al - Mr.kmitr -N gr tk i - S o I tt, Ihy n tt s s tt n n ah'
Yogyakarta, dan Al -lslatn-Lamongan (sebagai ketua peneliti);

,"1 Syrrif hrdoyotullnh, l'4 Aq , [1A


(3) Penelitian individual dengan dana BOp Fakultas Filsafat
UCM bertema Motiuasi Siswa SLTA di yogrlakarta untuk
Belnjar Filsafat di Fakultas Filsafat UGM; (4) penelitian ber-
judul Dinnnikn Pluralisme Agmna: Studi Gerakan LSM LSM
Sosial-Keagattaan di Daerah Istimezua yogyakarta pada 2004
melalui Program Penelitian Dasar Dikti-Depdiknas RI
(ketua peneliti); (5) Pada 2OO4 juga meiakukan penelitian
individuai dengan dana BOp Fakultas Filsafat UGM dengan
iudul Re/nsi Filsttfnt dan Agama dalam lslam (stratu Tinjauan
Epistinnlogl-s); dan (6) Penelitian Kajian \!'anita Dikti."Dep_
diknas RI tahun Anggaran 2002 dengan tema Etikn al-ett,an
llaqi Pernn Publik Pcrempuan (ketua peneliti). Selain pene_
litian" Penulis juga rnemenangkan ino,asi pembelajaran Teach-
ing Crant PPKB-Due Like UGM berjudul Actiue Learning
i1ilaur Pen*elnjarnn Bshnsa Inggris untuk Meltasistoa Filsnfnt
pada pada 2003 dan, kemudiarl pada 2007 sebagai salah
satu grantee Sinno Grant PpKB-Due Like UGM berfuciul
Reso/ rr s i Ko t il ik: P e t nunb uh an iut n Kep emirn7t ittan Mah asi
J stt,a
,lnllrn Pentlelesniair Konflik Keagamnan LLasyarakat yang
NIaj e, u rk dalam Mata kuliah Pe.ndidikan Agama Islan l (u ta m a
),
ilan Pengantar Studi Agama (pendukung). Beberapa karya
ir-rlis vang ielah dip,blikasikan adalah: ,,Umat Islam: Tan_
larrgan dan Peiriarrg", arfikei Hnrinn pikirnnRakynt, Bandung
(1993), "Kel,;rrga: R.ekrinstruksi Mrtralitas Bangsa, artikel
11 n r ia t t P ikir m t ll;thq n i, Ba,dun g, (1993),,,Menerapkan
Aj aran
lv{usyarvarah dalarn Kcluarga", artikel tlarian Bandttng pos,
Bandung(tr994), "N1etode Memaharni Islam,,, artikel Tfulairl
Llik,mh, Bandr.rng {7995), "pengembangan Ulumul Islam
ciaiam Perspektif Filsafat Ilmu", artikel
Jumar rLmiah Lektur,
IAIN SGD di Cirebon (t996), "Konsep Khitafah clan Dina_

lsicm "isme sme" Aliron drr Pnl,cm slrlm Di indonesio

l"'
mika teologi Muslim", artikel iurnal llmiah Al-Ghazali, Uni-
versitas Sriwijaya Palembang (1998), "Pengembangan
Pendidikan Islam: Suatu Telaah Epistemologis", artikel
jurnal llmiah al-Jami'ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
(1998), "Diskursus Tafsir al-Quran Modern", buku terje-
mahan, Penerbit Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta (1998),
"Rekonstruksi Pemikiran Islam: Altematif Wacana Baru",
artikel pada buku Marzuki Wahid" dkk (ed,), Pesantren Masa
depan, Penerbit Pustaka Hidayatr, Bandung (1999), Buku
lntelektualisme Islam dalam P er sp ektif N eomo dernisme, Penerbit
Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta (2000), "Landasan Etik
al-Quran bagi Peran Publik Peremptan{' , artikel pada buku,
Waryono Abdul Ghofur dan Muh, Isnanto (ed,), Gender
dan lslam: Teks dan Konteks, penerbit Pustaka Pelajaa Yogya-
karta (2001), "Gender and Religion: An Islamic Perspectif",
artikel pada lurnal llmiah al-Jamiah, Yogyakarta (2002),
"Agamadan Pemberdayaan Masyarakat Sipil Suatu Peng-
abdian dan Penelitian Terapan", artikel pada jurnal Ilmiah
Gerbang lnoaasi, Lembaga Pengabdian UGM, Yogyakarta
(2003), "IJmat Islam dan Konsep Negara-Bangsa Indonesia",
artikel pada jumal ilmiah Pusat studi Pancasila Fakultas
Filsafat Uclvl,Yogyakarta (2003), "Reorientasi Pendidikan
Islam: Problem dan Solusi", artikel pada jurnal llmiah lPl
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (2003)'
"Sains Islam dan Filsafat Ilmu: Suatu Upaya Pengemb angarf ' ,
artikel pad a I urnal llmiah Visi lslam,Yayasan AR-RAHMAH'
Yogyakarta (2003), "Pluralisme Agama", artikel resensi buku
pada I urnal F ilsafat, F alaltas Filsafat UGlvI, Yogyakarta (2003)'
"Pluralisme Agama dalam Pendidikan Islam", l urnal Lektur
STAINCirebon(2004),BukuPendidikanAgamalslam,Buku

Syorif 11idoyotulloh, M.Ag., [t\A


Teks untuk PTU, Badan Penerbit Fakultas Filsafat UGM (edi-
tor buku dan penulis 1 artikel), "Pembelajaran PAI di PTU",
lurnal Pendidikan Agama lslam, ]urusan PAI Fak. Tarbiyah
UIN Yogyakarta (2006), "Notonagoro dan Religiusitas
Pancasila", lurnal Filsafat, Fakultas Filsafat UGM (2006),
"Relasi Filsafat dan Agama (Perspektif Islam)", danlurnal
Filsafat, Fakultas Filsafat UGM (2005).

lslom "isme-isme": Aliron don Pohom lslom Di lndonesio

l"'
Sejalan dengan bergulirnya Reformas , kita menyaksikan
gencarnya kemunculan berbagai organisasi dan gerakan
pemikiran Islam dengan orientasi ideologis masing-masing. Dari
yang moderat hingga yang paling radikal, mereka semua berebut
mempengaruhi masyarakat muslim. Oleh karenanya, berbagai
aliran dan pemikiran Islam itu bukan saja mendapat rantangan
eksternal, pemerintah atau masyarakat luas misalnya, melainkan
juga internal. Di antara berbagai kelompok dan aliran itu sendiri
terjadi perdebatan, pertenrangan, bahkan friksi karena perbedaan
orientasi ideologi mereka.
-
Kondisi yang demikian itu menuntut masyarakat muslim, u
-!r
terutama kalangan pemimpin dan intelektualnya dalam berbagai --
tataran, untuk dapat melihat kontestasi wacana berikut imbas --
praktisnya dengan perspektif yang luas dan kejernihan pikir.
-
U
Dengan demikian, maraknya berbagai gerakan itu tidak
-
konraproduktif bagi kemaslahatan umat Islam, dan masl,arakar -)ir-
pada umumnya. Buku ini hadir untuk membantu masyarakat
u -
memperoleh perspektif seperti itu. Oleh karena itu, apa yang
--
tersaji di dalamnya benar-benar layak dibaca oleh masyarakat F-
tt
muslim secara umum, bukan saja kalangan eliteny'a seperri para :

akademisi, pemimpin umar, dan mereka yang sering disebut kaum


intelektual.

t
c0
-t

0 7
!
m
Penerbit Pustaka Pelajar T
Celeban Timur UH lll/548
Yogyakarta 551 67
2
e-mai : pustakapelajar@telkom net v

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai