Anda di halaman 1dari 3

Sebagaimana dikutip oleh At-Tustari dalam kitab tafsirnya Al-Qur’an Al-Azhim

menjelaskan bahwa yang disebut dengan wali-wali Allah adalah mereka yang telah dilukiskan
oleh Nabi sebagai orang-orang yang apabila dipandang, maka yang pasti disebut adalah nama
Allah,” mereka adalah para pejuang Allah SWT, serta berpacu menuju kepada-Nya, amal
serta perbuatan merekapun senantiasa selaras dengan Allah, mereka inilah orang-orang
beriman yang sebenarnya.1 Sahal Ibnu Abdullah mengatakan bahwa tanda seseorang
merupakan waliyullah adalah ketika kita melihat mereka, maka akan mengingatkan kita
kepada Allah SWT, mereka senantiasa menyibukkan diri dengan hal yang disenangi oleh
Allah, serta mereka bertaqwa kepada Allah.
Kemudian didalam tafsirnya dijelaskan kembali bahwa “semua kebaikan terhimpun
didalam empat hal yaitu mengosongkan perut, melepaskan diri dari makhluk, selalu terjaga
dimalam hari, dan diam. Dan dalam sebab ini mereka dapat dikatakan sebagai wali Abdal.
Hal yang pertama yaitu mengosongkan perut, hal ini merupakan suatu cara dimana
seseorang melemahkan syahwatnya termasuk juga membersihkan hati serta melembutkannya.
Kemudian hal yang kedua yaitu mengasingkan diri hal ini sebagai tujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Yang ketiga yaitu terjaga dimalam hari (qiyamul lail), kegiatan ini
merupakan sarana berkomunikasi seorang hamba dengan Tuhannya. Ia menghabiskan waktu
disepertiga malamnya untuk berdoa, beristighfar, bertasbih, dan memuji kepada Allah. Serta
yang keempat yaitu diam. Seorang wali akan selalu menjaga lisannya dari kata-kata yang
kurang bermanfaat dan tidak banyak berbicara kecuali apa yang diutarakan bermanfaat serta
bernilai pahala.
Dari penafsiran tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa dalam kitab tafsir Al-
Quran al-‘Azhim atau yang biasa dikenal dengan tafsir at-Tustari karya Sahl Ibnu Abdullah
menjelaskan yang dimaksud dengan waliyullah ialah orang-orang yang beriman serta dekat
dengan Allah. Adapun kedekatan tersebut apabila seorang waliyullah dipandang, maka akan
mengingatkan kita kepada Allah. Dalam hal ini diberikan perumpamaan, apabila ada dua
orang yang memiliki kedekatan dalam berteman serta kedekatan mereka diketahui oleh orang
banyak, sehingga ketika salah seorang dari keduanya dipandang, maka akan mengingatkan
kita dengan seorang teman dekat lainnya.

1
Sahal Ibnu Abdullah, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1329 H), hal.77.
Kemudian, dalam kitab Ruh al-Ma’ani karya Al-Alusi menjelaskan bahwa wali-wali Allah
adalah orang yang tidak memiliki rasa takut maupun rasa sedih, serta senantiasa beriman dan
bertakwa, dan mendapatkan kabar gembira.
Dalam tafsir Ruh al-Ma’ani karya Al-Alusi dijelaskan makna dari Al-Awliya’ sebagai
jamak dari wali serta memiliki makna dekat serta dapat pula diartikan dengan kekasih (al-
muhibb), pelindung atau penolong. Seorang Wali dalam tafsir diartikan sebagai orang-orang
beriman dan yang bersih disebabkan oleh kedekatan spiritual mereka dengan Allah SWT.
Mereka tidak pernah takut dan sedih. Tidak ada ketakutan bagi mereka ketika berbagai
kesulitan silih berganti serta mereka juga tidak bersedih hati lantaran kehilangan sesuatu yang
telah diharapkan. Hal ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak pernah mengalami hal-
hal yang membuat mereka bersedih hati serta takut namun bukan berarti mereka tidak pernah
ditimpa kesedihan serta ketakutan. Bukan berarti mereka tidak dihinggapi rasa takut serta
sedih sama sekali. Namun dalam setiap kondisi apapun mereka selalu giat dan senang. Karena
menurut mereka, merasakan ketakutan merupakan bentuk pengagungan terhadap kemuliaan
Allah serta menjadi bukti adanya keterbatasan pada diri manusia.2
Seseorang yang memiliki kedekatan dengan Allah, maka rasa takut serta tunduknya akan
semakin meningkat. Adapun rasa takut tidak pernah menimpa pada diri mereka, lantaran
maksud serta tujuan mereka hanyalah Allah dan meraih ridha-Nya yang dibarengi dengan
kemuliaan dan kedekatan. Dikatakan pula, maksud tidak ada rasa takut dan sedih dalam diri
seorang wali lantaran mereka terhindar dari rasa takut dan sedih pada hari kiamat setelah
mereka mendapatkan kedekatan serta kebahagiaan disisi-Nya.
Perasaan takut yang terjadi pada seseorang akan meningkat ketika mereka memiliki
kedekatan dengan Allah. Adapun perasaan takut tidak akan menimpa seorang waliyullah,
melainkan maksud serta tujuan mereka hanyalah Allah serta untuk meraih ridha dari-Nya
yang dibarengi dengan kemuliaan dan kedekatan. Dalam prespektif lain, maksud dari tidak
ada rasa takut dan sedih dalam surat Yunus ayat 62 ini lantaran seorang waliyullah akan
terhindar dari perasaan takut serta kesedihan pada hari kiamat setelah mereka mendapatkan
tingkat kedekatan dan kebahagian. Jika mereka belum mencapai pada titik kedekatan dan

2
Al-Alusi Abu Al-Sana Shihab Al-din Al-Sayid Mahmud, Ruh Al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim
wa Al-Sab’al Matsani, (Beirut-Libanon:Idarah Tiba‟ah Munirah.1971) , 147
kebahagian, maka perasaan takut dan sedih akan tetap menimpa mereka sebelum datangnya
hari kiamat.3
Waliyullah dialah orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada apa yang bersumber
dari Allah SWT. Mereka menghindari apa yang harus dihindari, dan mengerjakan apa yang
harus dikerjakan. Kata takwa ditafsirkan dengan terbebasnya manusia dari segala sesuatu
yang menyibukkan jiwanya dari Allah. Dalam hal ini, maka takwa bisa mencangkup beberapa
makna, yaitu: syuhud, hudhur, dan qurb yang biasa diasosiasikan kepadanya.4
Keimanan dan ketakwaan yang ada pada diri seorang wali tidak hanya sebagai hiasan lisan
saja, namun mereka mengaplikasikannya dalam kehidupannya. Keimanan serta ketakwaan
menjadi salah satu sebab seorang hamba memiliki ketaatan kepada Allah. Ketika ketaatan
telah melekat pada diri seorang wali maka tidak ada rasa takut dan sedih dalam menjalani
hidupnya. Apapun yang akan dihadapi mereka ikhlaskan kepada Allah serta berusaha dengan
cara yang diperbolehkan.
Dalam penjelasan ini, didalam tafsir Ruh al’Ma’ani karya al-Alusi menyebutkan beberapa
ciri dari waliyullah yakni tidak ada rasa takut dan sedih, perasaan ini melekat pada diri
seorang wali disebabkan adanya kedekatan mereka dengan Allah SWT. Mereka senantiasa
bermunajat Setiap waktu. Selain bermunjat, seorang waliyullah adalah pribadi yang selalu
berdzikir kepada Allah. Karena dengan berdzikir seseorang akan selalu merasakan ketenangan
dalam hatinya. Waliyullah tidak akan merasa takut akan hari esok yang harus dihadapinya.
Karena mereka meyakini bahwa semua yang akan terjadi merupakan suatu takdir dari Allah
yang bernilai kebaikan. Namun, waliyullah tetap berusaha dengan usaha yang diperbolehkan.
Mereka juga tidak merasa sedih dengan kejadian yang telah berlalu, karena dengan
menghadapi setiap kejadian, mereka menjadikannya sebagai suatu pelajaran hidup untuk
menyambut masa depan yang lebih baik. Serta yang disebut dengan waliyullah adalah mereka
orang-orang yang beriman dan bertakwa dan bukan hanya sebagai hiasan lisan namun
diaplikasikan dengan kehidupannya.

3
Ibid, hal.147
4
Al-Alusi Abu Al-Sana Shihab Al-din Al-Sayid Mahmud, Ruh Al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim
wa Al-Sab’al Matsani, (Beirut-Libanon:Idarah Tiba‟ah Munirah.1971) , 150

Anda mungkin juga menyukai