1
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam: Ringkasan (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), 204.
2
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Ulumul Qur’an, Volume I, No. 6 (Jakarta: 1989), hal. 22-23
3
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Beirut: Dar al Fikr, 1981), hal. 388
siksa atau hukuman dari Allah. Menjauhi siksa dan hukuman Allah sudah barang tentu
dengan cara menghindari apa yang dilarangnya dan mematuhi perintahnya. 4
Dr. Quraisyi shihab setelah mengkaji beberapa pendapat mengatakan bahwa
taqwa pada dasarnya bersumber dari rasa takut, namun dapat meningkat dan meningkat
sehingga mencapai puncaknya sebagaimana yang dimiliki oleh para Nabi, dan oleh
karena itu para nabipun diberi predikat orang-orang bertaqwa.5
Para ulama Mutaakhir memandang taqwa sebagai “Kesadaran Ketuhanan”, yaitu
kesadaran tentang adanya Tuhan yang maha hadir dalam setiap saat perjalanan hidup
manusia. Makna seperti inilah yang dinyatakan dalam firman Allah, QS. Al Hashr (59):
18:
ت ِلغَد ۖ َواتَّقُوا ُ َّللاَ َو ْلت َن
ٌ ظ ْر نَ ْف
ْ س َّما قَدَّ َم َّ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا
َير ِب َما ت َ ْع َملُون َّ َّللاَ ۖ ِإ َّن
ٌ َّللاَ َخ ِب َّ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Penegasan bahwa Allah Maha Khabir, Maha awas, maha mengetahui apa saja
yang dilakukan. Kesadaran bahwa Allah maha awas (mengetahui) dan hadir dalam
kehidupan kita sampai pada keyakinan bahwa: tak ada jalan untuk menghindar dari
Tuhan dari penglihatan dan pengawasannya. Kesadaran ini yang mendorong kita untuk
menjauhi larangannnya, mengetahui perintahnya, dan senantiasa berjalan menempuh
kehidupan yang lurus, seraya menjauhi diri dari segala kejahatan dan kesesatan yang
justru merugikan diri manusia sendiri.
Di sisi lain kita juga mengenal istilah iman. Pada setiap agama, keimanan
merupakan unsur pokok yang harus dimiliki oleh setiap penganutnya, karena dengan
iman dapat membentuk orang menjadi bertakwa. Jika kita ibaratkan dengan sebuah
bangunan, keimanan adalah pondasi yang menopang segala sesuatu yang berada di
atasnya. Kokoh tidaknya bangunan itu sangat ter-gantung pada kuat tidaknya pondasi
tersebut.
Menurut bahasa iman berasal dari bahasa Arab amina - yu’minu - imanan yang
berarti yang berarti percaya, oleh karena itu, iman yang berarti menunjuk sikap batin
yang terletak dalam hati. Terkait dengan aqidah, iman mengandung makna al tashdiq
yakni pembenaran terhadap suatu hal, yang tidak dapat dipaksakan oleh siapapun karena
iman terletak dalam hati yang hanya dapat dikenali secara pribadi. 6
Menurut syara`, iman diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran Nabi
Muhammad Saw, yakni beriman kepada Allah Swt, para malaikat, para nabi dan rasul,
hari kiamat, qadha’ dan qadar. Sebagaimana hadits Rasul Saw. yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairih ra. mengenai pertanyaan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad tentang
Iman:
”Beritahukan aku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“. 7
4
Quraisyi Shihab, DR., H.M., Tafsir Al Amanah, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992), hal. 42
5
Ibid.,… hal. 59
6
Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam: Ringkasan (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), 137.
7
Shahih Muslim, Bab I tentang Iman (Semarang: Thoha Putra, 2002), hal. 10.
Dengan demikian iman menurut istilah berarti keyakinan yang tertanam dalam
hati, diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan amal perbuatan. Dalam hal ini
iman merupakan kesatuan dan keselarasan antara hati, lisan atau ucapan dan tingkah
laku atau perbuatan terhadap segala hal yang dibawa oleh Rosulullah Saw. baik itu yang
terkandung dalam rukun iman ataupun yang lebih luas dari itu, misalnya mengimani
akan kewajiban shalat, halal dan haram dan sebagainya.
Akibatnya, orang percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada dalam
rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan atau
kepatuhan (taqwa) kepada Allah yang telah dipercayainya, masih disebut orang beriman
hal itu disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tentang urusan hati
manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kaliamat syahadat telah menjadi Islam.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah
orang yang amat sangat cinta Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu beriman
kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap ajaran agama Allah, yaitu al-Quran dan
As-sunah. Hal itu karena apa yang dikendaki Allah menjadi kehendak orang beriman,
sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu
mempertaruhkan nyawa.
Dalam Hadits diriwayatkan Ibnu Majah At-Thabrani, iman didefinisikan dengan
keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan.
Dengan demikian, iman merupakan kesatuan dan keselarasan hati, ucapan, dan
perbuatan, serta juga dapat dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya
hidup.
Istilah iman dalam Al Quran selalu dirangkaikan dengan kata lain yang
memberikan corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat An-Nisa
(4); 51 yang dikaitkan dengan Jibti (kebatinan/idealisme) dan Thaghut (realita
/naturalisme) sedangkan dalam surat al-Ankabut (29): 51 dikaitkan dengan bathil, yaitu
walladzina aamanu bil baathili. Bathil berarti tidak benar menurut Allah sedangkan
dalam Surat Al Baqarah (2): 4 iman dirangkaikan dengan ajaran yang diturunkan Allah
(yu’minuuna bima unzila ilaika wamaa unzila min qablika).
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Quran, mengandung
arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau
dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan
selainnya, disebut iman bathil.
Akidah Islam dalam al-Quran disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya,
melainkan keyakinan yang mendorong seseorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu
lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang
muslim yang disebut amal shaleh. Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya
terhadap segala seseuatu sesuai dengan keyakinan. Karena itu iman bukan hanya
dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara utuh dalam diri seeorang yang
dibuktikan dalam perbuatannya.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan
keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang
dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia
berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai amaliah
seseorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak berakidah maka segala amalnya tidak
memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan bernilai dalam pendengaran
manusia.
Akidah Islam atau Iman mengikat seeorang muslim, sehingga ia terikat dengan
segala aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim
berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam.
Seluruh hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.
Iman dan takwa memiliki hubungan yang sangat erat dalam kehidupan seorang
muslim. Bila iman merupakan bentuk keyakinan, ucapan dan perbuatan, maka takwa
adalah sebuah bentuk refleksi dari semua itu. Tinggi rendahnya nilai keimanan
berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya nilai ketakwaan. Sedangkan tinggi
rendahnya nilai ketakwaan sebagai bukti nilai kebenaran nilai Iman yang ia dimiliki.
Seorang muslim yang bertakwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah
Tuhannya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam kehidupan ini. Dan hal ini
merupakan implementasi dari keimanannya. Sehingga antara iman dan takwa
merupakan hubungan yang saling melengkapi dalam meningkatkan kualitas seorang
mukmin. Iman dalam diri seorang muslim harus dibarengi dengan takwa sebab Allah
menilai hambanya melalui ketakwaannya.
Realisasi keimanan pada ke-esaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid yang
dibagi menjadi dua, yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis adalah
tauhid yang membahas tentang ke-esaan Allah, ke-esaan sifat, dan ke-esaan perbuatan
tuhan. Pembahasan ke-esaaan zat, sifat dan perbuatan Tuhan berkaitan dengan
kepercayaan, pengetahuan, persepsi dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan.
Konsekwensi logis tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah
satu-satunya wujud mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.
Adapun wujud tauhid praktis yang disebut dengan wujud ibadah, berhubungan
dengan ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari teori tauhid teoritis.
Kalimat laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) lebih menekankan
pengetahuan tauhid praktis (tauhid ibadah). Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepda
Allah. Dengan kata lain, tidak disembah selain Allah atau yang berhak disembah
hanyalah Allah semata dan menjadikan-Nya tempat tumpuan hati dan tujuan segala
gerak dan langkah.
Selama ini pemahaman tentang Tauhid hanyalah dalam pengertian beriman
kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa mempercayaai saja ke-esaan Zat, Sifat dan
perbuatan Tuhan, tanpa mengucapkan dengan lisan serta mengamalkan dengan
perbuatan, tidak dapat dikatakan seorang sudah bertauhid dengan sempurna. Dalam
pendangan Islam yang dimaksud dengan Tauhid yang sempurna adalah tauhid yang
tercermin dalam ibadah dalam perbuatan praktis manusia sehari-hari secara murni dan
konsekuen. Dalam menegakkan tauhid seorang harus menyatukan iman dan amal,
konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan
demikian tauhid adalah mengesakan tuhan dalam pengertian yakin dan percaya kepada
Allah melalui pikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan
mengamalkan dengan perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman
dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat. „asyhadu
allaa ilaaha illaAllah, (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah), kemudian diikuti dengan
mengamalkan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Ada beberapa perbedaan antara iman dan takwa, akan tetapi perbedaan ini
bukanlah sesuatu yang dikotomi melainkan akan menja-dikan sesuatu yang utuh dan
saling berkaitan satu sama lain.
Iman itu adalah sesuatu yang superordinat (bentuk uraian) dan takwa adalah
sesuatu yang berbentuk hiponim (khusus), atau dengan kata lain takwa adalah bentuk
khusus (intensif) daripada iman dalam artian orang yang bertakwa otomatis sudah
beriman namun orang yang beriman belum tentu bertakwa. Manifestasi ketakwaan
masuk dalam pembahasan ilmu fiqih, seperti salat, zakat, puasa dan sebagainya,
sedangkan keima-nan masuk dalam pembahasan ilmu tauhid seperti keesaan Allah, dan
sebagainya. Iman itu adalah keyakinan, sedangkan takwa adalah pembuktian dari
keyakinan itu.
selalu berusaha agar ilmu Allah tidak pernah lepas dari ingatannya dan jika dibacakan
ayat suci al-Qur’an hatinya bergejolak,8 kedua, senantiasa tawakkal dan bekerja keras
berdasarkan kerangka ilmu Allah diiringi dengan doa dan harapan untuk selalu tetap
berada dalam ajaran Allah. 9 Ketiga, tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu
melaksanakan perintah-Nya. 10 Keempat, menafkahkan rezeki yang diterima di jalan
Allah. 11 Kelima, menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan selalu menjaga
kehormatan.12 Dan masih banyak lagi firman Allah yang menyatakan tentang kriteria
orang yang dikatakan beriman.
Begitu juga dengan kriteria orang-orang yang bertakwa (muttaqun), indikasi orang
yang bertakwa sebagaimana yang tergambar dalam surat al-Baqarah, yang pertama
adalah mereka yang percaya kepada yang ghaib. 13 Indikasi yang kedua, mereka yang
menegakkan shalat dan menginfaqkan hartanya di jalan Allah, 14 baik dalam keadaan
lapang maupun dalam keadaan sempit.15 Yang ketiga, orang-orang yang menahan
amarah dan selalu memaafkan kesalahan orang lain, 16 keempat, menepati janji,17
kelima, sabar,18 dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan tentang
kritria orang yang bertakwa.
Jika kita renungkan lebih mendalam, penuturan al-Qur’an itu bersangkutan
dengan rasa kemanusiaan yang amat tinggi dari orang yang beriman dan bertakwa. Dari
rasa kemanusiaan yang tinggi itulah nantinya akan melahirkan nilai-nilai budi pekerti
yang luhur.
Realisasi Taqwa
1. Hubungan Dengan Allah
Menurut Tuntunan Agama Islam, tiap-tiap pribadi mausia mempunyai
hubungan langsung dengan Allah SWT, selaku pencipta segala makhluk, termasuk
prbadi-pribadi manusia. Banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan, bahwa
kewajiban, kepantasan dan kewajaran taqwa kita hadapkan kehadirat Allah SWT
dzat yang menciptakan kita, yang menjadi tuhan kita, yang memelihara kita disetiap
saat sejak nutfah hingga sekarang dan selanjutnya, yang menyediakan segala
keperluan kita, yang sepantasnya kita tunduk kepada perintahnya, kita sebut
namanya, yang memiliki asmaul husna, kita puji karena karunianya yang tak
terbatas, kita mohon perlindungannya dari godaan syaithan penggoda serta segala
bala bencana, kita mohon pertolongannya.
Taqwa kepada Allah kita realisir dengan semangat pengabdian dan
penghambaan, keikhlasan dan ketundukan, kepatuhan dan ketaatan, kehangatan cinta
yang membara di dalam hati sanubari kita sekalian. Berzikir mengingat Allah dengan
penuh kerinduan, menyembahnya dengan penuh tawadlu dan kekhusyuan,
memelihara diri dari segala sesuatu yang mendatangkan kemurkaan dan azab
siksaan, memelihara diri agar selalu mendapat ridla Tuhan. Dalam bidang keimanan,
taqwa kita realisir dengan keyakinan hati yang membaja kepada keagungan Allah,
tekun beribadah berdasarkan cinta, asyik berzikir disetiap waktu, terutama di malam
buta dikala orang lain tidur nyenyak, bangun berwudhu, bersujud syukur shalat
8
QS. Al Anfal: 2
9
QS. Ali `Imran: 120; QS. Al Maidah: 12, 52; QS; QS. al-Anfal: 2; QS. at-Taubah: 52; QS. Ibrahim: 11; QS.
Mujadalah: 10 dan QS. At Taqhabun:13
10
QS. al-Anfal: 5; QS. al-Mu’minun: 2, 7.
11
QS. al-Mu’minun: 2, 7.
12
QS. al-Mu’muminun: 3, 5.
13
QS. al-Baqarah: 3.
14
QS. al-Baqarah: 3,
15
QS. Ali `Imran: 133.
16
QS. Ali `Imran: 134.
17
QS. at-Taubah: 4.
18
QS. Ali `Imran: 146.
19
Alie Muhammad Daud, Taqwa dan Kewajiban, (Jakarta: 1998), hal. 370
20
Jahri Hamid, H., Drs., Taqwa sumber keselamatan, (Yogyakarta: Lembaga Hukum Islam IAIN Sunan
Kalijogo, 1969), hal. 64
pribadi yang teguh dan kuat, serta tidak ada rasa takut dan duka cita, tetapi selalu
oftimis dalam hidup, ketenteraman, keamanan dan hak-hak rakyat dibelanya dengan
sesungguhnya. Jika penguasa dan peminpin menjadi pelopor dalam betaqwa kepada
Allah, pastilah akan terwujud suatu negara yang adil dan makmur dibawah naungan
ridha Allah SWT itulah kemenangan dan keselamatan yang hakiki sesuai dengan
firman Allah surat Al A’raf (7): 96 yang berbunyi:
21
Nurcholish Madjid, Pesan-Pesan Takwa: Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, (Jakarta:
Paramadina, 2003), hal. 234.
22
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1994), hal. 8.
Dengan demikian, setiap muhsin (pelaku ihsan) adalah mu’min (orang yang beriman),
dan setiap mu’min adalah muslim (orang Islam). Namun demikian, tidak semua
mukmin adalah muhsin, dan tidak setiap muslim adalah mukmin. 23
Konsep iman dan islam merupakan salah satu dari masalah teoretik terpenting
yang dihadapi oleh masyarakat muslim. Untuk menjelaskan konsep ini, Toshihiko
Izutsu merujuk kepada Hadis yang sangat terkenal berkenaan dengan pertanyaan Jibril
kepada Nabi Muhammad Saw., dan jawaban beliau adalah sebagai berikut: (a) Islam
adalah kamu menyembah Tuhan dan tidak menyekutukan sesuatupun denganNya, kamu
melaksanakan salat, membayar zakat dan melaksanakan puasa Ramadan. (b)
Kepercayaan iman ialah kamu percaya kepada Tuhan, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
pertemuan dengan Ia (di akhirat), Utusan-Nya dan hari kebangkitan. (c) Kesempurnaan
ihsan yakni menjadi muslim yang sempurna ialah kamu menyembah Tuhan seakan-akan
kamu melihat-Nya. Apabila kamu tidak dapat melihat-Nya, maka ia melihatmu. 24
Ketiga konsep tersebut, membentuk tiga tingkatan secara berurutan menurut
konsep agama sebagaimana yang dipahami menurut pengertian Islam. Tingkatan yang
paling tinggi ialah ihsan, tingkatan pertengahan adalah iman, diikuti oleh oleh Islam.
Dengan demikian setiap muhsin adalah mu’min, dan setiap mu’min adalah muslim.
Tetapi, tidak setiap muslim adalah mu’min dan tidak setiap mu’min adalah muhsin.
Secara konotatif, kata ihsan tersebut adalah yang paling luas karena makna ihsan
di dalamnya meliputi semua karakteristik atau sifat-sifat baik iman maupun Islam.
Sesungguhnya kata tersebut merupakan penyempurnaan dari kedua kata lainnya.
Namun secara denotatif, kata tersebut merupakan kata terbatas yang paling sempit
karena hanya digunakan bagi orang-orang yang lebih sedikit selain dari iman dan ihsan.
Hubungan yang sama diperoleh di antara dua yang terakhir. Maka dalam ihsan
terdapat iman, dan dalam iman terdapat ihsan. Tetapi muhsin adalah lebih khusus
dibandingkan dengan mu’min dan mu’min lebih khusus dibandingkan dengan muslim. 25
Islam (dari kata kerja aslama) secara harfiah berarti ‘kepatuhan’ atau tindakan
penyerahan diri seseorang sepenuhnya kepada kehendak orang lain, dan muslim , yang
secara gramatika adalah bentuk partisipal-adjektif dari aslama, adalah ‘orang yang
menyerahkan diri’. Arti penting yang tertinggi dari istilah ini dalam agama Islam
ditunjukkan oleh kenyataan yang telah diketahui bahwa islam adalah nama untuk agama
ini, sementara muslim adalah seorang anggota komunitas religius itu yang ditetapkan
oleh Muhammad Rasul-Allah.
Asal dari sebutan asing ini dapat dilacak kembali pada sebuah ayat Al-Qur’an itu
sendiri. Ayat ini penting juga bagi tujuan spesifik karena konteks umumnya
memberikan suatu pandangan sepintas yang sangat instruktif tentang makna kata
islam. 26
يم َو ِإ ْس َما ِعي َل َ علَ ٰى ِإ ْب َرا ِه ِ ُ علَ ْينَا َو َما أ
َ نز َل َ نز َل ِ ُ اَّللِ َو َما أ
َّ قُ ْل آ َمنَّا ِب
َس ٰى َوالنَّ ِبيُّونَ س ٰى َو ِعي َ ي ُمو ُ ِ وب َو ْاْل َ ْس َب َ َُو ِإ ْس َحاقَ َو َي ْعق
َ ِاط َو َما أوت
] َو َمن٨٤[ َِمن َّربِِّ ِه ْم ََل نُفَ ِ ِّر ُق بَيْنَ أ َ َحد ِ ِّم ْن ُه ْم َونَ ْح ُن لَهُ ُم ْس ِل ُمون
َاْل ْس ََل ِم دِينًا فَلَن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َو ُه َو فِي ا ْْل ِخ َرةِ ِمن ِ ْ يَ ْبت َ ِغ َغي َْر
]٨٥[ َس ِرين ِ ْالخَا
23
Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an, Terj. Agus Fahri , A.E. Priyono, Misbah
Zulfa Elisabeth, Supriyanto Abdullah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993)
24
Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal.
65.
25
Ibid.,… hal. 68.
26
Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an, Terj. Agus Fahri Husein, A.E. Priyono,
Misbah Zulfa Elisabeth, Supriyanto Abdullah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hal. 227.
Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma‟il, Ishaq, Ya‟qub dan anak-anaknya,
dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami
tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami
menyerahkan diri”. Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan ia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi. (QS. Ali Imran (3): 84-85).
Disebutkan pula dalam Al-Qur’an, sebuah contoh yang sangat khas, di mana
dengan menunjuk sifat gurun Arab, tindakan islam secara jelas dibedakan dari iman.
Islam, tidak lain merupakan langkah yang paling awal dalam keyakinan, suatu
kepercayaan dangkal yang belum merasuk dalam ke dalam hati. Maka semua orang
beriman (mu’min) sebenarnya muslim tetapi kebalikannya tidak selalu benar.
اب آ َمنَّا ۖ قُل لَّ ْم تُؤْ ِمنُوا َو ٰلَ ِكن قُولُوا أ َ ْسلَ ْمنَا َولَ َّما ُ ت ْاْلَع َْر ِ َقَال
سولَهُ ََل َي ِلتْ ُكم ِ ِّم ْن َّ ان فِي قُلُو ِب ُك ْم ۖ َو ِإن ت ُ ِطيعُوا
ُ َّللاَ َو َر ِ ْ َي ْد ُخ ِل
ُ اْلي َم
ٌ ُغف
ور َّر ِحي ٌم َ أ َ ْع َما ِل ُك ْم
َّ ش ْيئًا ۖ ِإ َّن
َ ََّللا
Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah “Kamu
belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-
orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemuian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Allah. Mereka itulah orang-orang yang tulus.” (QS. al-Hujurat (49): 14).
Dalam ayat yang penting ini, makna religius yang dalam dari ‘tunduk patuh’
tampak dengan jelas. Dan harus dicatat, tindakan tunduk patuh itu dapat diidentifikasi
sebagai ‘agama (yang benar).’ Kita melihat bahwa sikap tunduk patuh sebagaimana
ditunjukkan oleh QS. al-Hujurat: 15 di atas bukan merupakan tipe kepercayaan yang
hangat-hangat kuku dan superfisial, atau langkah yang masih meraba-raba dalam
keyakinan, tetapi merupakan dasar yang penting di mana seluruh agama Islam dilandasi.
Namun sejauh ini yang paling penting dari semua konsep yang masuk ke dalam
kelompok ini adalah konsep islam itu sendiri, tentu saja bukan dalam arti historis, atau
kebudayaan religius objektif yang dikenal sebagai Islam. Islam sebagai hasil dari proses
‘eifikasi’, meminjam istilah dari Wilfred Cantwell Smith, tetapi Islam menurut makna
yang sesungguhnya, yakni berserah diri, menyerahkan diri kepada kehendak Ilahi,
langkah pasti yang diambil oleh tiap-tiap orang, sebagai persoalan batin dan eksistensi
dirinya, untuk menyerahkan jiwanya kepada Tuhan.
Islam, atau kata kerjanya, aslama berdasarkan pengertian yang digunakan dalam
frasa aslama wajha-hu li-Allahi yang secara harfiah berarti, ia telah menyerahkan
wajahnya kepada Allah’, makna sesungguhnya adalah seseorang yang dengan sukarela
menyerahkan dirinya kepada Kehendak Ilahi dan mempercayakan dirinya sepenuhnya
kepada Allah. 27
27
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hal. 221.
yaitu Tuhan, manusia dan alam. Jika yang menjadi obyek pemikiran itu adalah Tuhan,
maka lahirlah filsafat ketuhanan; jika yang menjadi obyek adalah tentang manusia,
maka lahirlah filsafat manusia; begitu juga jika yang menjadi obyek adalah alam, maka
lahirlah filsafat kealaman. Pendeknya adalah apabila terjadi suatu pemikiran secara
rasional, kritis, sistematis dan radikal terhadap suatu obyek tertentu maka pekerjaan
tersebut dapat dikatakan sebagai berpikir filosofis atau bercorak kefilsafatan. Dari
batasan filsafat di atas, hal yang paling mendasar adalah adanya pemikiran yang bersifat
rasional. Rasionalitas rupanya menjadi prasyarat pokok bagi lahirnya pemikiran yang
bercorak kefilsafatan.
Menurut Harun Nasution (1979:46) pemikiran filosofis masuk ke dalam dunia
Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai oleh para pemikir Muslim di Suria,
Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan dan falsafah Yunani datang ke daerah-
daerah itu dikarenakan adanya ekspansi Alexander Yang Agung ke Timur di abad ke-4
sebelum masehi. Politik Alexander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan
kebudayaan Persia meninggalkan warisan di daerah-daerah yang dikuasainya. Hasilnya
adalah munculnya pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur.
Teologi lazim dipahami secara umum sebagai “ilmu tentang ke-Tuhan-an”, sebab
dilihat dari akar katanya, berasal dari theos (Tuhan) dan logos (ilmu, pengetahuan).
Teologi dengan demikian, berbicara tentang Tuhan. Tidak ada teologi tanpa Tuhan.
Wacana substantif dalam teologi selalu dan dipastikan berpusat pada Tuhan, dan
konteks teologi selalu berarti konteks ketuhanan.
Jika demikian, bisa dikatakan bahwa tuhan adalah “penanda” utama teologi;
Tuhan adalah Alpha dan Omega teologi, titik berangkat sekaligus titik akhir dari
refleksi dan pemikiran dalam teologi. Seluruh fondasi teologi dibangun atas kehadiran
Tuhan sebagai faktor pertama. Karena demikian fundamentalnya pembicaraan tentangh
Tuhan dalam teologi, maka dapat disimpulkan bahwa subjek “Tuhan” adalah eidos,
substansi, sekaligus idea, yang memungkinkan teologi ada sebagai sebuah wacana.
Karena teologi terkait dengan “Tuhan” dan “pengetahuan” itu sendiri, maka
dapatlah disimpulkan bahwa teologi adalah:
1. Ilmu tentang hubungan dunia ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah) dengan dunia
fisik.
2. Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para dewa).
3. Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau para dewa) dari
kelompok-kelompok keagamaan tertentu dari para pemikir perorangan.
4. Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah
dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta.
5. Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan membenarkan secara konsisten
dan berarti, keyakinan akan para dewa dan/atau Allah. 28
Teologi bertumpu pada tiga unsur filsafat, yaitu “pembicaraan”, “pengetahuan”,
dan “kebenaran”. Ketiga matra ini tidaklah terpisahkan. Ketiganyalah yang menjadikan
teologi sebagai sebuah disiplin ilmu tentang Tuhan yang berbeda dengan ilmu-ilmu
lainnya. Perbedaan ini sangatlah fundamental dan mendasar, karena, sebagai sebuah
disiplin ilmu, teologi mempunyai objeknya yang khas untuk dibicarakan, dan objek
tersebut adalah sesuatu yang transendental (Tuhan). Karena ketransendentalannya, maka
teologi, sebagai akibatnya, juga mempunyai status transendental dan menduduki posisi
istimewa di antara ilmu-ilmu lain. 29
28
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, Cet. Ke-4, 2005), hal. 1090.
29
Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, (Yogyakarta: LKiS,
2012), hal. 5. Al-Fayyadl menambahkan, bahwa analisis makna logos dan theologia ini dengan
implicit menunjukkan bagaimana teologi mengalami transformasi dalam dirinya. Teologi ternyata
bukan semata wacana tentang Tuhan, tetapi juga suatu system pengetahuan yang, pada gilirannya,
mengidentifikasi apa arti “kebenaran”. Dengan kata lain, ia menjadi suatu sistem yang menentukan
mana yang “benar” dan “tidak benar”, dan mendefinisikan, membatasi, sekaligus memisahkan
secara tegas hubungan antara keduanya. Pada titik ini, teologi mengintervensi wacana tentang
Tuhan dengan menegaskan bahwa ada wacana tertentu yang “benar”, dan sebaliknya, ada wacana-
wacana lain yang “tidak benar” atau “menyimpang dari kebenaran”.
30
Louis Berkhof, Systematic Theology, (WM.B. Eerdmans Publishing Co. United states of America,
1981), hal. 27
31
Ibid.,
32
Sheed’s., Dogmatic Teology, Thomas Nelson Publishers. United States of America. 1980, hal. 199
33
Enceclopedia of Philosophy, vol. 2 (Macmillan Publishing Co. In & The free Press. New York London.
1942), hal. 148
34
Ibid.,… hal. 150
ahli Ilmu agama mengatakan ”The wich concern god (or the Devintil Reality) and Gods
relation to the word” (teologi ialah pemikiran sistematis yang berhubungan dengan
alam semesta). Terdiri atas dua kata yaitu “Theos”, yang artinya tuhan dan “logos”,
yang berarti Ilmu. 35 Jadi teologi bisa disebut juga dengan Ilmu Tuhan atau ilmu
ketuhanan. Istilah teologi Islam telah lama dikenal oleh para penulis Barat, seperti
Tritton dengan karyanya yang berjudul “Moslem Theology”.36
Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa
inggris, Theology. Willuam L.Reeae mendefinisikannya dengan discourse or reason
concerning god (discursus atau pemikiran tentang Tuhan). Dengan mengutip kata-kata
William Ockham, Resse lebih jauh mengatakan “theology to be a discipline resting on
revealed truth and independent of both philosophy and science.” (teologi merupakan
disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta indenpendensi filsafat dan
ilmu pengetahuan). Sementara itu, Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan
tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional. 37
Teologi, sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dari suatu agama. Setiap
orang ingin menyelami seluk beluk agamnya secara mendalam yang terdapat dalam
agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-
keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat yang tidak mudah diombang-ambing
oleh peredaran zaman.38
Dalam Islam, istilah “teologi” atau “teologi Islam” disepadankan dengan beberapa
istilah berikut ini. Pertama, ilmu kalam. Disebut ilmu kalam setidaknya karena dua hal;
1). Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad permulaan Hijriyah
ialah apakah kalam Allah (al-Qur’an) itu qodim atau hadits. 2). Dasar ilmu kalam ialah
dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil pikiran ini tampak jelas dalam pembicaraan para
mutakallimin. Mereka jarang mempergunakan dalil naqli (al-Qur’an dan hadis), kecuali
sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil
pikiran.39
Hal senada juga dijelaskan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyebutkan alasan
ilmu ini disebut ilmu kalam, yaitu: 1). problema yang diperselisihkan para ulama dalam
ilmu ini yang menyebabkan umat Islam terpecah ke dalam beberapa golongan adalah
masalah kalam Allah (al-Qur’an), apakah ia diciptakan (makhluk) atau tidak (qodim);
2). Materi-materi ilmu ini adalah teori-teori (kalam); tidak ada yang diwujudkan ke
dalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota; 3). ilmu ini, di dalam menerangkan
cara atau jalan menetakan dalil pokok-pokok akidah serupa dengan ilmu mantiq; 4).
ulama-ulama mutaakhirin membicarakan di dalam ilmu ini hal-hal yang tidak
dibicarakan oleh ulama salaf, seperti penakwilan ayat-ayat mutasyuabihat, pembahasan
tentang qadha’, kalam, dan lain-lain. 40
Kedua, ilmu tauhid. Dinamakan ilmu tauhid karena pokok pembahasannya
menitikberatkan pada ke-Esa-an Allah Swt. Tauhid adalah percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan mempercayai tidak ada yang menjadi sekutu bagi-Nya.41 Tujuan tauhid
adalah menetapkan ke-Esa-an Allah dalam Dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Karena
itulah pembahasan yang berhubungan dengan-Nya dinamakan ilmu tauhid.
Muhammad Abduh, mendefinisikan tauhid sebagai ilmu yang membahas tentang
wujud Allah tentang sifat-sifat yang wajib tetap bagi-Nya, sifat-sifat yang boleh
35
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Pusaka al-husna, 1995), hal. 58
36
Ghazali Munir, Tuhan Manusia, dan Alam, (Semarang: RaSAIL,2008), hal. 22
37
Anwar Rosihon, Ilmu Kalam (Bandung: Pusaka Setia, 2007), hal. 14
38
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Pusaka al-husna, 1995), hal. 54
39
Sahilun A. Nashir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 5. Lihat juga Sahilun A.
Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali
Press,Cet. 2, 2012), hal. 4.
40
Muhammad Ahmad, Tauhid: Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 10.
41
Abu Fattah Muhammad Abdul Karim Asy-Syarastani, Milal wa al-Nihal, (Kairo: Muassasah al-Malaby,
1968), hal. 42.
disifatkan kepada-Nya, dan sifat-sifat yang sama sekali wajib ditiadakan kepada-Nya.
Membahas juga tentang Rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa
yang wajib ada pada dirinya, hal-hal yang boleh dihubungkan (dinisbatkan) pada diri
mereka, dan hal-hal yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka. 42
Ketiga, ilmu ushuluddin. Disedut demikian karena objek pembahasan utamanya
adalah dasar-dasar agama yang merupakan masalah esensial dalam ajaran Islam.
Masalah kepercayaan itu betul-betul menjadi dasar pokok dari persoalan lain dalam
agama Islam. Ilmu ushuluddin adalah ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip
kepercayaan agama dengan dalil-dalil yang qath’i (al-Qur’an dan hadis) dan dalil-dalil
akal pikiran. 43
Keempat, ilmu aqaid (akidah), yang membicarakan tentang kepercayaan Islam.
Penamaan dan makna istilah ini mirip dengan ilmu tauhid. Syaikh Thahir al-Jazary
mendefinisikan akidah adalah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang Islam, artinya
mereka menetapkan atas kebenarannya.44 Istilah ilmu akidah yang diidentikkan dengan
teologi Islam menurut Hassan Hanafi, merupakan nama paling tidak popular di
kalangan pengkaji Islam. 45
Kelima, al-fiqh al-akbar. Nama ini tidak banyak muncul kecuali di dalam
perkembangan ilmu itu. Kemunculannya juga tidak berlangsung lama setalah ilmu
akidah berkembang dan mencapai kesempurnaannya. 46 Istilah al-fiqh al-akbar
dicetuskan oleh Abu Hanifah, yang sebenarnya mengacu pada persoalan hukum Islam
(fikih).
Menurut Abu Hanifah, hukum Islam terbagi atas dua bagian. Pertama, al-fiqh al-
akbar, membahas keyakinan pokok atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua,
al-fiqh al-ashghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan
pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja.47
Kelima istilah tersebut telah lazim dikenal masyarakt luas dan banyak dikutip oleh
para pengkaji studi Islam, 48 meskipun sebenarnya masih ada istilah lain, tetapi kurang
populer, yaitu “ilmu hakikat”49 dan “ilmu makrifat”.50 Meskipun nama yang diberikan
berbeda-beda, tetapi inti pokok pembahasannya sama, yaitu berusaha memahami
tentang segala hal terkait dengan ke-Tuhan-an.
Teologi Islam atau ilmu kalam atau istilah-istilah lain sebagaimana telah
dijelaskan di atas, dikenal sebagai ilmu keislaman yang berdiri sendiri, yakni pada masa
Khalifah al-Makmun (813-833) dari bani Abbasiyah. Sebelum itu pembahasan terhadap
kepercayaan Islam disebut al-fiqhu fi al-ddin sebagai lawan dari al-fiqhu fi al-‘ilmi.51
42
Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, (Kairo: Muassasah al-Malaby, tt), hal. 7.
43
Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta:
Rajawali Press, Cet. 2, 2012), hal. 4.
44
Thahir al-Jazair, al-Jawahir al-Kalamiyah, (Surabaya: Salim Nabhan, 1966), hal. 2.
45
Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail,
dkk, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal. 10.
46
Ibid.,.
47
Musthafa Abdu al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, (Kairo: Lajnah wa al-Ta’lif wa al-
Tarjamah wa al-Nasyr, 1959), hal. 265.
48
Lihat, Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman
Ismail, dkk, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal. 2-12. Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Press,Cet. 2, 2012), hal. 4-6
49
Ilmu hakikat adalah ilmu sejati karena ilmu ini menjelaskan hakikat segala sesuatu, sehingga dapat
meyakini akan kepercayaan yang benar (hakiki). Lihat Muhammad Ahmad, Tauhid: Ilmu Kalam,
(Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 17.
50
Disebut ilmu makrifat karena dengan pengetahuan ini dapat mengetahui benar-benar tentang Allah
dan segala sifat-sifat-Nya dan dengan keyakinan yangh teguh. Ibid.,
51
Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta:
Rajawali Press,Cet. 2, 2012), hal. 3
Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah sebagai suatu
keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan aqidah tauhid yang
merupakan dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam. Islam datang disaat kemusyrikan
sedang merajalela disegala penjuru dunia. Tak ada yang menyembah Allah kecuali
segelintir umat manusia dari golongan Hunafa, (pengikut nabi Ibrahim as) dan sisa-sisa
penganut ahli kitab yang selamat dari pengaruh tahayul animisme maupun paganisme
yang telah menodai agama Allah. Sebagai contoh bangsa arab jahiliyah telah tenggelam
jauh kedalam paganisme, sehingga Ka‟bah yang dibangun untuk peribadatan kepada
Allah telah dikelilingi oleh 360 berhala dan bahkan setiap rumah penduduk makkah
ditemukan berhala sesembahan penghuninya.
Tauhid sebagai intisari Islam adalah esensi peradaban Islam dan esensi tersebut
adalah pengesaan Tuhan, tindakan yang mengesakan Allah sebagai yang Esa, pencipta
yang mutlak dan penguasa segala yang ada. Keterangan ini merupakan bukti, tak dapat
diragukan lagi bahwa Islam, kebudayaan dan peradaban memiliki suatu esensi
pengetahuan yaitu tauhid.