Anda di halaman 1dari 12

AHWAL (HAL)

TITIK RAHMAWATI, M.AG


PENGERTIAN AHWAL (HAL)

 Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan
mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya. “ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan.
Lebih lanjut kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah
perolehan. Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang
terpisah dari maqam.
MACAM-MACAM HAL

 Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun
secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung
pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan
merasa diri diawasi oleh penciptanya.
 Khauf
Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah
merasa tidak senang kepadanya.
RAJA` DAN SYAUQ

 Raja’
raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang
disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang
besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan
keji.
 Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan
bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam
tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar
dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada
Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan
terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam,
maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan
menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan
bersama Allah.
MAHABBAH DAN TUMA`NINAH

 Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat
yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam.Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai
suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada
segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. Tokoh utama paham mahabbah
adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta kepada Allah
merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah.
 Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi.
MUSYAHADAH DAN YAQIN

 Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa
keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia
tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata
hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni
menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah.
 Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa
cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan
secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya
ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-
Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga
dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal
MAHABBATULLAH

 B. MAHABBATULLAH
 Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh
maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level yang tinggi. Dalam tasawuf, setelah di raihnya
maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri.
Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung
pada mahabatullah (cinta kepada Allah).
Menurut Sang Hujjatul Islam ini kata mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya
mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa
hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang kadang kita
berbeda dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran. Cinta kepada Allah -yang merupakan
inti ajaran tasawuf- adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu. dan
menerima terhadap apa- apa yang di berikan Allah. Bahkan ia akan selalu ridha terhadap Allah
walaupun cobaan berat menimpanya.
MAHABBATULLAH

 Menurut Al-Ghazali makhluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat kecintaannya
kepada Allah Swt. Menurutnya, ar-ru’yah (melihat Allah).merupakan puncak kebaikan dan
kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak adaartinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan
dengan Allah Swt.
 “Shalat adalah mi’rajnya orang beriman” begitulah bunyi sabda Nabi Saw. untuk menisbatkan kualitas
shalat bagi para pecinta. Shalat merupakan puncak pengalaman ruhani di mana ruh para pecinta akan
naik ke sidratul muntaha, tempat tertinggi di mana Rasulullah di undang langsung untuk bertemu
dengan-Nya.
 Seorang Aqwiya (orang-orang yang kuat kecintaannya pada Tuhan) akan menjalankan shalat sebagai
media untuk melepaskan rindu mereka kepada Rabbnya, sehingga mereka senang sekali
menjalankannya dan menanti-nanti saat shalat untuk waktu berikutnya, bukannya sebagai tugas atau
kewajiban yang sifatnya memaksa. Seorang pecinta akan berhias wangi dan rapi dalam shalatnya,
melebihi saat pertemuan dengan orang yang paling ia sukai sekalipun. Bahkan mereka kerap kali
menangis dalam shalatnya. Kucuran air mata para pecinta itu merupakan bentuk ungkapan kerinduan
dan kebahagiaan saat berjumpa dengan-Nya dalam sholatnya.
MAHABBATULLAH

 Mencintai Allah bukan sebatas ibadah vertikal saja (mahdhah), tapi lebih dari itu
ia meliputi segala hal termasuk muamalah. Keseimbangan antara hablun minallah
dan hablun minannas Jadi cinta kepada Allah pun bisa diterjemahkan ke dalam
cinta kemanusiaan yang lebih konkrit, misalnya bersikap dermawan dan memberi
makan fakir miskin. Sikap dermawan inilah yang dalam sejarah telah di
contohkan oleh Abu bakar, Abdurahman bin Auf, dan sebagainya. Bahkan karena
cintanya yang besar kepada Allah mereka memberikan sebagian besar hartanya
dan hanya menyisakan sedikit saja untuk dirinya. Mencintai Allah berarti
menyayangi anak-anak yatim, membantu saudara saudara kita yang di timpa
bencana, serta memberi sumbangan kepada kaum dhuafa dan orang lemah yang
lain.
MA`RIFATULLAH

 C. MA’RIFATULLAH
 Ma’rifah adalah kondisi kerohanian sufi yang sedang menyaksikan kebenaran mutlak dari allah SWT,
baik ketiks ma’rifah dengan asma’nya, dengan sifatNya, maupun berhubungan langsung
denganNya(ma’rifag dengan zatNya).

 Al-Ghazali sering mengemukakan penghargaaannya kepada sufi yang sering mengalami ma’rifah,
dengan menyebutnya sebagai hamba allah yang suci, karena sama sekali tidak terpengaruh oleh kondisi
alam dan social yang sedang berlangsung di sekelilingnya, kecuali ia selalu berkonsentrasi kepada
Allah.hamba tersebut sangat tuli terhadap lingkungan hidupnya, tetapi sangat tajamn pendengarannya
terhadap seruan Allah. Ia sangat buta terhadap seluruh kejadian pada lingkungan hidupnya, tetapi
sangat tajam penglihatannya terhadapkehebatan dan keagungan Allah.
Hikmah yang didapat seorang sufi setelah ma’rifah adalah semakin memperkuat imannya. Iman yang
ada dalam dirinya tidak akan lagi berkurang, tetapi selama lamanya meningkat.sebelumnya, ia beriman
hanya karena mendapaatkan pengetahuan dan pengalaman lahiriyah, sehingga keimanannya kadang
berkurang kadang bertambah,tetapi setelah ma’rifah imannya tidak lagi berkurang, melainkan terus
bertambah.
FANA` DAN BAQA`

 D. FANA’ DAN BAQA’


 fana’ artinya lenyap dan baqa’ artinya tetap. Fana’ dan baqa’ selalu menyatu dalam kondisi kerohanian
tertentu. Fana’ merupakan permulaannya, sedangkan baqa’ merupakan akhir perjalanannya, tetapi
keduanya tidak pernah diselingi oleh kondisi kerohanian yang lain, kecuali selalu sambung
menyambung. Oleh karena itu, sufi mengibaratkan fana’ dan baqa’ sebagai satu mata uang logam yaitu
disatu sisi adalah fana’, sedangkan disisi lain adalah baqa’.
Pengalaman sufi untuk sampai kepada kondisi fana’ dan baqa’, dimulai dari dzikir dan tafakur untuk
meniadakan diri (fana’). Tetapi sebelum datangnya fana’, lebih dahulu diawali oleh ketidak sadaran
diri (al sukru) yang sering juga disebut dengan al-jazbu, karena sufi yangmengalami kondisi
kerohanian tersebut sering berprilaku yang aneh-aneh, lalu muncul fana’ kemudian bersambung
dengan baqa’,lalu kemudian sadar kembali yang disebut al-sahwu, kemudian fana’ kembali. Inilah
yang disebut peniadaan yang sudah tiada (fanau al fana), lalu muncul lagi ketetapan yang sudah tetap
(baqau al baqa). Ini merupakan kondisi kerohanian yang segera mendatangkan ma’rifah. Jadi ma’rifah
belum didapatkan oleh sufi ketika baru satu kali fana’dan baqa’.bahkan ada sufi yang baru
mendapatkan ma’rifah setelah tiga kali fana’ dan baqa’ ( fanau fana al-fana)dan (baqau baqa al-baqa),
baru dapat mencapai ma’rifah yang diharapkan.
ITTIHAD, HULUL DAN WIHDATUL
WUJUD
 E. AL-I’TIHAD, AL-HULUL DAN WIHDATUL WUJUD
 Ittihad adalah kondisi penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah melalui
peniadaan diri, penyaksian, penemuan zat dengan rasa kenikmatan yang luar
biasa, maka ini juga yang disebut kebahagiaan yang tinggi atau kebahagiaan yang
sempurna.
Hulul diartikan sebagai penyatuan hamba dengan tuhannya, setelah zatNya
melebur kedalam tubuh hambaNya
Wihdatu al-wujud yaitu kesatuan dari dua wujud yang berbeda yaitu wujud
pencipta atau tuhan (al-khaliq)dan wujud ciptaan atau hamba (al makhluq)

Anda mungkin juga menyukai