Anda di halaman 1dari 96

PEMBAHARUAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM JAMIAT

KHEIR DI NUSANTARA PADA TAHUN 1905 SAMPAI PASCA


KEMERDEKAAN

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh:
KOKOM ERNAWATI
NIM. 107011001119

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH dan KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M
KATA PENGANTAR

Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan


berbagai nikmat yang tak terhitung banyaknya. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurah atas Baginda Besar Nabi Muhammad saw. Seseorang yang
memberikan teladan bagi umatnya dan karena usahanyalah Islam bisa tersebar dan
sampai kepada kita hingga saat ini.
Skripsi ini penulis selesaikan untuk memenuhi tugas akhir dalam
perkuliahan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan Skripsi
ini, penulis mengetengahkan tema, ‘Pembaharuan Lembaga Pendidikan Islam
Jamiat Kheir di Nusantara pada tahun 1905 sampai Pasca Kemerdekaan’.
Tema ini diangkat untuk memenuhi kekosongan akan penulisan sejarah
pendidikan Islam, khususnya mengenai Lembaga pendidikan Jamiat Kheir dan
menggeliatkan kembali kecintaan akan sejarah pendidikan Islam yang sekarang
sangat minim di kalangan akademik.

Penulis juga menghaturkan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak
yang telah terlibat dan sangat berjasa dalam proses penyelesaian penelitian ini.
Atas bantuan dan dukungan merekalah, penelitian ini bisa penulis selesaikan.
Pihak-pihak yang berjasa tersebut di antaranya adalah:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif


Hidayatullah Jakarta, Ibu.Dr.Nurlena Rifa’i, M.A. Ph.D. beserta para
pembantu dekan dan staf jajarannya.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Bahrissalim, M.Ag. dan
Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bpk Drs. Sapiudin Shidiq,
M.Ag. beserta pengadministrasian jurusan, Bapak Faza Amri, S.Th.I.
3. Dosen penasehat akademik penulis, Bapak Dr. Anshori, L.AL MA, atas
bimbingan yang selama ini telah diberikan.
4. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak Dr.Zaimudin, M.Ag, yang telah
memberikan saran dan arahan serta memberi kelancaran dalam proses
penulisan skripsi ini.

i
5. Kedua orang tua, Ayahanda Tiswan dan Ibunda Ecih Sukaesih yang telah
memberikan segala sesuatu baik material maupun spiritual yang begitu besar,
doa dan semangat yang tiada henti sehingga skripsi ini bisa diselesaikan.
6. Adikku tercinta, Ninin Dwi Ernia, yang memberikan kesadaran penulis untuk
memberikan teladan yang baik.
7. Teman-teman di Rumah Binaan Ar-Royah, Tasqif, Istisyhaad danMustanir
yang telah memberikan momen yang berharga dan tak terlupakan.
8. Musyrifah tercinta, Tri Shinta Wardhani yang setiap saat memberikan lecutan
semangat untuk terus melakukan perubahan dalam kehidupan. Tim Halaqoh
yang solid, Isnawati, Nurmala Sari, Anahe Musa.
9. Teman special yang selalu dimintai pendapat dan kritiknya, Mike Martaleta
Novita Sari Gunawan, dan Aknes Febpitasari.Tim Diskusi Jasmerah Islam,
Hikmatul Bilqis, Dlia, Teti Nurjannah, Irma, Elitalia, Ayu Fitri, Ela yang
membuka kembali pengetahuan penulis mengenai sejarah Islam.
Serta semua pihak yang telah turut membantu penulis dalam penyusunan skripsi
ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Mudah-mudahan Allah swt.
memberi balasan yang berlipat ganda, atas segala kebaikan mereka tersebut.
Amiin ya Rabbal ‘alamiin.

Jakarta, 12November 2013

Penulis,

KokomErnawati

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... .i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1


A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1
B. Perumusan Masalah ..........................................................................7
1. Identifikasi Masalah.....................................................................7
2. Pembatasan Masalah ....................................................................7
3. Perumusan Masalah .....................................................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .........................................................8
1. Tujuan Penelitian .........................................................................8
2. ManfaatPenelitian ........................................................................8

BAB II KAJIAN TEORI ....................................................................................9


A. Definisi Pembaharuan ......................................................................9
B. Pentingnya Lembaga Pendidikandalam Islam................................11
C. Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia .......14
D. Aspek-aspek Pembaharuan Pendidikan di Indonesia .....................17
E. Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Pendidikan ...........................18
F. Indikator Pembaharuan Pendidikan Islam ......................................25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.........................................................27


A. Jenis Data........................................................................................27
B. Teknik Input Data ...........................................................................28
C. Langkah-langkahPenelitian ............................................................29
D. Interpretasi Data .............................................................................33
E. Laporan Hasil Penelitian ................................................................34

iii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................36
A. Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir .................................................36
1. Profil Yayasan Jamiat Kheir .....................................................36
2. Latar Belakang Berdiri Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir .....37
3. Tujuan Pendirian Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir ..............39
4. Aqidah dan Mazhab Jamiat Kheir ............................................42
5. Tokoh Pendiri Jamiat Kheir......................................................42
6. Hubungan Jamiat Kheir dengan Lembaga lainnya ...................47
B. Jamiat Kheir Merespon Berbagai Kebijakan Negara .....................48
1. Masa Pemerintah Kolonial Belanda ........................................48
2. Masa Pemerintahan Jepang .....................................................56
3. Masa Pemerintahan Orde Lama ..............................................59
4. Jamiat Kheir Menghadapi Kebijakan Pendidikan Pada Masa
Sekarang ..................................................................................63

BAB V PENUTUP ............................................................................................67


A. Kesimpulan .....................................................................................67
B. Saran ...............................................................................................68

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................70


LAMPIRAN-LAMPIRAN

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembaharuan di Indonesia mulai berakar pada pergantian abad ke-20, lalu


berkembang dari masa ke masa dalam kurun waktu empat puluh tahun, pada tahun
1940 gerakan pembaharuan telah menghujam dalam tanah. Perkembangan dan
penyebaran pembaharuan ini berasal dari kelompok-kelompok kecil yang mulanya
terpisah satu sama lain, tapi segera menjadi gerakan yang memiliki kekuatan yang
diperhitungkan oleh Belanda. Gerakan pembaharuan di Indonesia tidak terlepas
dari perkembangan pembaharuan di dunia. Insiprasi pembaharuan berasal dari luar
Indonesia, terutama datang dari Timur Tengah, khususnya Mekah dan Kairo, yang
merupakan pusat pembelajaran Islam. 1

Di Mekah, pembaharuan dilakukan oleh Abdul Wahab, dengan gerakan


pemurnian akidah dari bid‟ah, sedangkan di Kairo, pemikiran baru atau
pembaharuan, seperti dari Muhammad Abduh dan Rashid Ridho yang bergerak
dalam pendidikan juga, menggelorakan semangat hati mereka.

1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1991), h.
69

9
10

“Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi,


tetapi tujuan kedatangan bangsa Barat adalah untuk meningkatkan hasil
penjajahannya bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah.Begitu pula
di bidang pendidikan.Mereka memperkenalkan sistem dan metode baru
tetapi untuk sekedar menghasilkan tenaga yang dapat membantu
kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika
mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.”2
“Pembaharuan pendidikan seperti yang mereka sebut itu adalah
westernisasi dan kristenisasi, yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua
motif inilah yang mewarnai kebijakan penjajahan Belanda di Indonesia yang
berlangsung selama 3,5 abad. Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan
kehidupan beragama yang mereka sesuaikan dengan prinsip-prinsip yang mereka
pegang sebagai kaum imperialis dan kolonialis, yaitu kebarat-baratan
(westernisasi) dan misi kristenisasi.”3
Pada zaman Belanda telah didirikan beraneka ragam sekolah, ada Sekolah
Dasar, Sekolah II, Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO), Algemeene Middelbare School (AMS), dan lain-lain.
Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan mata pelajaran umum,
tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait dengan
kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan
aturan bahwa setiap guru agama harus minta izin terlebih dahulu.4

Padahal, seperti kita ketahui bahwa setiap orang muslim wajib hukumnya
untuk menuntut ilmu, seperti tertuang dalam Al-Qur‟an surat Al-Alaq, ayat 1-5,
yang berbunyi:





Artinya : bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

2
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. Ke-10, h.
146
3
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1995), h. 49
4
Zuhairini, dkk, Op.Cit., h. 146.
11

Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan


pendidikan model Barat yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan
sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok biasa). Sejak saat itu,
tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam.Selanjutnya
pemerintah memberlakukan politik etis dengan mendirikan dan menyebarluaskan
pendidikan rakyat sampai ke pedesaan.Belanda tidak mengakui para lulusan
pendidikan tradisional, sehingga mereka tidak bisa bekerja di pabrik maupun
sebagai tenaga birokrat.Jadi dengan adanya diskriminasi dalam segala aspek
kehidupan akibat kolonialisme dan feodalisme, maka terdapat banyak tokoh
pemikir dan pejuang rakyat, baik pribadi maupun lewat organisasi yang bangkit
dan sadar menolak terhadap perlakuan atas penjajahan tersebut.

Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada tahun 1819 M, mengambil


inisiatif merencanakan berdirinya Sekolah Dasar bagi penduduk pribumi agar
dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada bupati
tersebut sebagai berikut:

“ dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan


pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis
bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati
undang-undang dan hukum Negara.”5
Politik pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas Islam
didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialisme.Pada
tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas
mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut
Priesterraden.6

Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak
diterapkannya politik etis dapat digambarkan sebagai berikut:

(1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar bahasa Belanda
(ELS, HCS, HIS), Sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, Vgs)
dan sekolah peralihan.

5
Zuhairini, Op.Cit, h. 148
6
Ibid, h. 149
12

(2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HIS, HBS,
AMS) dan pendidikan kejuruan.
(3) Pendidikan Tinggi

Selanjutnya dari Surat Keputusan Bersama tersebut secara khusus diperkuat lagi ke
dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 pada bab XII pasal 20 sebagai berikut:

1. Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid


menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2. Cara penyelenggaraan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur
dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.

Sementara itu, pada peraturan bersama menteri Pendidikan, Pariwisata dan


Kebudayaan dan Menteri Agama nomor 1432/Kab.Tanggal 20 Januari 1951
(pendidikan), nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (agama), diatur tentang
peraturan pendidikan agama di sekolah-sekolah sebagaimana yang dimaksud
dalam undang-undang tersebut.

Dibidang kurikulum pendidikan agama diusahakan penyempurnaan-


penyempurnaan, dalam hal ini telah dibentuk kepanitiaan yang dipimpin oleh KH
Imam Zarkasyi dari pondok pesantren Gontor Ponorogo.Kurikulum tersebut
disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.7

Begitulah keadaan Pendidikan Islam dengan segala kebijaksanaan


pemerintah pada masa Orde Lama. Pada akhir Orde Lama tahun 1965 lahir
semacam kesadaran baru bagi umat Islam, dimana timbulnya minat yang dalam
terhadap masalah-masalah pendidikan yang dimaksudkan untuk memperkuat umat
Islam, sehingga sejumlah organisasi Islam dapat dimantapkan. Dalam hubungan ini
Kementrian Agama telah mencanangkan rencana-rencana program pendidikan
yang akan dilaksanakan dengan menunjukkan jenis-jenis pendidikan serta
pengajaran Islam sebagai berikut:

7
BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h.117
13

1. Pesantren Klasik
2. Madrasah Diniyah
3. Madrasah-madrasah Swasta
4. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN)
5. Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri
(MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama dua tahun yang
memberikan latihan keterampilan sederhana. MIN 8 tahun ini merupakan
pendidikan lengkap bagi para murid yang biasanya akan kembali ke
kampungnya masing-masing.
6. Pendidikan teologi tertinggi, pada tingkat universitas diberikan resmi sejak
tahun 1960 pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua bagian atau dua
fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta.8

Dalam menjawab tantangan modernisasi dalam pendidikan yang dibawa


oleh pemerintah Belanda, maka umat Islam yang terdiri dari berbagai kalangan
mulai mendirikan berbagai sekolah, baik dari organisasi Muhammadiyah dengan
Mulo de Met Quran dan HIS Muhammadiyah, dan Sekolah Adabiyahdi Padang
serta Jamiat Kheir yang mendirikan sekolah Jamiat Kheir.

Lembaga pendidikan Jamiat Kheir, didirikan lebih dulu dari sekolah yang
lainnya, serta kurikulum yang sudah modern. Didirikan pada tahun 1905 di
Batavia, sekolah ini didirikan para pribumi keturunan Arab, golongan as-Syihab
yang sangat progresif dan berpendidikan. Mereka adalah Sayid Muhammad al-
Fachir bin Abdurrahman al-Masjhur, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syihab,
Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab dan Sayid Syehan bin Syihab.

Jamiat Kheir menjadi satu-satunya lembaga pendidikan modern pertama di


Nusantara.Dalam Sekolah Jamiat Kheir sudah diajari ilmu berhitung, sejarah dan
ilmu bumi.Kurikulum disusun rapi, dan kelas-kelas terorganisir dengan rapi
pula.Itu sebabnya ada yang menyebut Jamiat Kheir sebagai sekolah modern
pertama di Indonesia.Bahasa pengantar sekolah itu adalah bahasa Melayu.Bahasa
Belanda tidak diajarkan, dan sebagai gantinya diajarkan Bahasa Inggris. Para guru

8
Ibid, h. 117-118.
14

yang didatangkan dari negara-negara Arab kemudian juga mengajarkan api


perlawanan terhadap penjajahan.

Kaum Alawiyyin yang juga merupakan para ulama adalah pelopor dalam
membangun dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan agama,
pesantren-pesantren, majelis ta‟lim dan sebagainya, yang tersebar di Pulau Jawa
dan di beberapa pulau lainnya. Organisasi Jamiat Kheir didirikan pada tahun 1901
M, lebih bersifat organisasi social kemasyarakatan, dimana tujuan awalnya adalah;

Pertama, membantu fakir miskin, baik dalam segi material maupun


spiritual.

Kedua, mendidik dan mempersiapkan generasi muda Islam untuk mampu


berperan di masa depan.

Dan yang ketiga, menolong umat yang lemah dalam sector ekonomi.

Pada masa pemerintahan Belanda, dikeluarkan kebijakan dalam mengawasi


pendidikan Islam sekaligus ulama, yaitu dengan penerbitan Ordonansi Guru.
Kebijakan ini meweajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari
Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda juga
memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar.Ketentuan ini mengharuskan
penyelenggaraan pendidikan Islam harus terlebih dahulu mendapatkan izin.9

Begitupula dengan Jamiat Kheir, harus meminta ijin mendirikan sekolah


pada Pemerintah Hindia Belanda sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi umat
pada masa Kolonial yang memang sungguh memprihatinkan yaitu ditandai dengan
adanya system politik devide and rule, yaitu Pemerintah Belanda berusaha untuk
mendikotomi pendidikan Islam, bahkan membatasi pendidikan Islam dengan
adanya ordonansi guru tersebut.

Perkembangan Sekolah Jamiat Kheir berkembang sangat pesat pada masa


Pemerintah Kolonial Belanda, akan tetapi pada masa Pemerintahan Jepang, Jamiat

9
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 115 dan 118
15

Kheir mengalami kesulitan untuk merealisasikan langkah-langkah untuk mencapai


tujuannya, dikarenakan Pemerintah Jepang sangat mengawasi dengan ketat segala
hal yang berkaitan dengan Arab atau Muslim. Dan pada masa Pemerintah Orde
Lama, Jamiat Kheir harus berjuang dari dasar untuk membangun kembali sekolah
Jamiat Kheir.

Berawal dari permasalahan itu, maka saya sebagai peneliti mencoba untuk
mendalami secara lebih jelas mengenai bagaimana respon Jamiat Kheir terhadap
berbagai kebijakan Pemerintah Belanda sampai kebijakan Pemerintah Orde Lama
pada tahun 1965. Oleh karena itu, peneliti merumuskan permasalahan tersebut
dengan judul “Pembaharuan Lembaga Pendidikan Islam Jamiat Kheir di
Nusantara pada Tahun 1905 sampai Pasca Kemerdekaan”.

B. Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Awal masuknya ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia
pada awal abad ke-20
b. Pendidikan Islam tidak diberikan kesempatan
c. Pendidikan hanya untuk orang Belanda hanya sebagian kecil anak
Indonesia yang mengenyam pendidikan.
d. Diskriminasi Pendidikan
e. Pendidikan Islam dicurigai
f. Lembaga Pendidikan Islam kurang diberi kebebasan
g. Jamiat Kheir sebagai lembaga pendidikan Islam Modern
h. Karakteristik Jamiat kheir
i. Respon Jamiat Kheir terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia
j. Perkembangan Jamiat Kheir sampai tahun 1965
2. Pembatasan masalah
Kajian mengenai permasalahan ini difokuskan terhadap perkembangan
dan pembaharuan yang dilakukan Jamiat Kheir terhadap berbagai
kebijakan pendidikan Islam pada masa awal pembentukan Jamiat Kheir
sampai pada masa terjadinya gerakan 30 September 1965 serta tokoh-
tokoh yang berpengaruh besar terhadap perkembangan Jamiat Kheir.
16

3. Perumusan masalah
Bagaimana eksistensi Jamiat Kheir dalam melakukan pembaharuan
pendidikan Islam dari tahun 1905-1965.
C. Tujuan dan manfaat penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Mengidentifikasi factor pendukung berdirinya Jamiat kheir.
b. Mengidentifikasi peran Jamiat Kheir dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam pada masa awal berdirinya sampai masa Orde
Lama berakhir.
c. Menelaah perkembangan pendidikan Jamiat Kheir sebagai lembaga
pendidikan pembaharuan pada masa awal berdirinya sampai pada
masa Orde Lama.
2. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai
pembaharuan yang dilakukan Jamiat Kheir sebagai lembaga
pendidikan Islam pada awal abad ke-20.Selain itu, mampu
menambah pengetahuan pembaca mengenai perkembangan lembaga
pendidikan Jamiat Kheir dan lembaga lainnya pada awal abad ke-
20. Hasil penelitian ini dapat menjadi pendorong bagi penelitian-
penelitian lain untuk mengangkat tema yang berkaitan dengan
lembaga pendidikan Jamiat Kheir.
b. Secara pragmatis
Diharapkan mampu menjadi syarat kelulusan dan juga dengan
mengetahui perkembangan kebijakan pemerintah maka diharapkan
mampu menjadi masukan kepada pihak yang berwenang sehingga
dapat memberi sumbangan pemikiran dalam dunia pendidikan saat
ini.
17

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Definisi Pembaharuan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Secara etimologis, pembaharuan


berarti (1) proses perbuatan, cara memperbaharui, (2) proses mengembangkan adat
istiadat, metode produksi atau cara hidup yang baru.10

Pembaharuan dalam bahasa Arab diartikan dengan “tajdid” yang secara


etimologis berarti shayyarahu jadidan seperti dikatakan, ia memperbaharui
perjanjian. Dari beberapa pengertian tadi, bisa dapat dipahami bahwa pembaharuan
ditinjau dari sudut etimologi, paling tidak memberikan arti yang saling berkaitan,
yaitu: pertama, bahwa sesuatu yang diperbaharui itu telah ada permulaannya.
Kedua, sesuatu itu telah berlalu kemudian usang dan rusak. Ketiga, merekonstruksi
sesuatu yang sudah usang tersebut agar menjadi lebih baik.11

10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), cet. Ke-1 edisi IV, h. 142
11
Fattah Wibisono, Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, (Jakarta:
Rabbani Press, 2009), h.9.
18

Secara terminologi, menurut Syamsul Haq Abadu, “pembaharuan agama


ialah menghidupkan kembali ajaran al-Qur‟an dan sunnah yang tidak dijalankan
dan mengamalkan apa yang dikehendaki oleh keduanya”.12

Dalam bukunya Harun Nasution, yang berjudul Pembaharuan Dalam


Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, pengertian pembaharuan yaitu:

Dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, modernisasi dan


modernisme, seperti yang terdapat dalam “Aliran-Aliran Modern dalam Islam” dan
“Islam dan Modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung
faham, adat-istiadat, institusi-insitusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan
dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan pengetahuan-pengetahuan
dan teknologi modern.13

Kata modernisme dianggap mengandung arti-arti negatif, di samping


mengandung arti-arti positif, maka untuk menjauhi arti-arti negatif itu, lebih baik
kiranya dipakai terjemahan Indonesianya yaitu pembaharuan.14

Ulama lain mendefinisikan pembaharuan agama sebagai membedakan


sunah dari bid‟ah, memperbanyak ilmu, memuliakan agama serta memberantas
bid‟ah. Dengan melihat dua definisi yang telah disebutkan, dapat kita simpulkan
bahwa pembaharuan dalam Islam adalah upaya sistematis untuk menegakkan
kembali nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur‟an maupun sunnah setelah
mengalami distorsi, deviasi atau bahkan degenerasi.15

Menurut Rifyal Ka‟bah, beliau memaparkan bahwa pembaharuan dalam


bahasa Arab berarti tajdid, mengandung tiga pengertian. Pertama, pembaharuan
berarti memunculkan sesuatu yang telah usang dalam bentuk aslinya.Dalam
pengertian ini, pembaharuan dapat diandaikan seperti merenovasi atau
merekonstruksi sebuah bangunan dengan mengganti sesuatu yang hilang sehingga
muncul kembali dalam bentuk aslinya seperti pertama kali dibangun.Jadi,

12
Ibid.,h. 9.
13
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang, 1975),cet.ke-1, h.12.
14
Ibid.,h.10.
15
Fattah, Op.cit.,h.9.
19

pembaharuan bukan berarti memunculkan sesuatu yang baru dari sesuatu yang
tiada.Kedua, pembaharuan berarti pemahaman terhadap teks agama seperti
pemahaman Rasulullah saw serta para sahabatnya. Ketiga, pembaharuan berarti
usaha menghidupkan kembali pelaksanaan teks-teks al-Qur‟an dan as-Sunnah
dalam realitas kehidupan sehari-hari.16

“Pembaharuan dalam pengertian lazim disebut modernisasi. Secara


sosiologis, modernisasi biasanya didefinisikan sebagai suatu proses transformasi
suatu masyarakat dalam berbagai aspeknya, seperti ekonomi, politik, kebudayaan,
pendidikan juga pandangan dunia, wawasan keagamaan dan sistem
kepercayaan”.17
Hasil penyelidikan kaum orientalis Barat yang sudah sejak lama
mengadakan studi Islam dan umat Islam, segera melipah ke dunia Islam.Kaum
terpelajar Islam mulailah pula memusatkan perhatian pada perkembangan modern
dalam Islam dan modernismepun mulai pula diterjemahkan kedalam bahasa-
bahasa yang dipakai dalam Islam seperti at-tajdid dalam bahasa Arab,
pembaharuan dalam bahasa Indonesia.

Dengan demikian, pembaharuan adalah proses memperbarui sesuatu yang


sudah usang dengan yang baru, yang berarti merenovasi sesuatu yang sudah lama
dengan sesuatu yang baru untuk memunculkan keasliannya.

B. Pentingnya Lembaga Pendidikan dalam Islam

Lembaga Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam
dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam. Kebutuhan itu
bermacam-macam, antara lain kebutuhan keluarga, pendidikan, hukum, ekonomi,
politik, sosial dan budaya. Sebagai lembaga, ia mempunyai beberapa fungsi,
diantaranya:

(1) memberikan pedoman pada anggota masyarakat (muslim) bagaimana


mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi

16
Nurdin, “Pembaruan Pemikiran Islam”, tesis pada Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, 2006, h. 22,tidak dipublikasikan.
17
Sudirman Tebba, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun
Nasution,(Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), h.135.
20

berbagai masalah yang timbul dan berkembang dalam masyarakat,


terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok mereka;
(2) memberikan pegangan kepada masyarakat dalam melakukan
pengendalian sosial menurut sistem tertentu yakni sistem pengawasan
tingkah laku para anggotanya; dan
(3) menjaga keutuhan masyarakat.18

Pentingnya sebuah lembaga pendidikan menurut Zakiah Darajat yaitu


membantu tercapainya cita-cita keluarga dan masyarakat, khususnya masyarakat
Islam, dalam bidang pengajaran yang tidak dapat sempurna dilakukan dalam
rumah dan masjid.Bagi umat Islam, lembaga pendidikan yang dapat memenuhi
harapan adalah lembaga pendidikan Islam, artinya bukan sekedar lembaga yang di
dalamnya diajarkan pelajaran agama Islam, melainkan suatu lembaga pendidikan
yang secara keseluruhan bernafaskan Islam.19

Menurut Muhammad Arifin, dikutip oleh Ramayulis mengatakan bahwa


Lembaga pendidikan merupakan salah satu sistem yang memungkinkan
berlangsungnya pendidikan secara berkesinambungan dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan. Adanya kelembagaan dalam masyarakat, dalam rangka proses
pembudayaan umat, merupakan tugas dan tanggungjawabnya yang kultural dan
edukatif terhadap peserta didik dan masyarakatnya yang semakin berat. Tanggung
jawab lembaga pendidikan tersebut dalam segala jenisnya menurut pandangan
Islam adalah erat kaitannya dengan usaha menyukseskan misi sebagai seorang
muslim.20
Lembaga pendidikan Islam merupakan hasil dari pemikiran yang
dicetuskan oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang didasari oleh kebutuhan-
kebutuhan masyarakat yang digerakkan, didasari, dan dikembangkan oleh jiwa
Islam (Al-Qur‟an dan Al-Sunnah).Lembaga pendidikan Islam secara keseluruhan,
bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya mempunyai hubungan erat dengan kehidupan Islam secara

18
Mohmmad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1995), h. 1-2.
19
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), cet. Ke- 7, h. 74.
20
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet. Ke- 6, h. 276.
21

umum. Islam telah mengenal lembaga pendidikan sejak detik-detik awal turunnya
wahyu kepada Nabi Muhammad saw. RumahArqambin Abi al-Arqam, merupakan
lembaga pendidikan yang pertama.21
Hasan Abd al-Ali yang dikutip oleh Ramayulis mengatakan bahwa lembaga
pendidikan Islam bukanlah lembaga beku, tetapi fleksibel, berkembang dan
menurut kehendak waktu dan tempat. Hal ini seiring dengan luasnya daerah Islam
yang berdampak pada bertambahnya jumlah penduduk Islam.Sejalan dengan hal
itu, maka didirikanlah berbagai macam lembaga pendidikan Islam yang teratur dan
terarah.Beberapa lembaga yang belajar dengan sistem klasikal, yaitu berupa
madrasah.22
Menurut Ramayulis, lembaga pendidikan Islam adalah suatu bentuk
organisasi yang diadakan untuk mengembangkan lembaga-lembaga Islam, dan
mempunyai pola-pola tertentu dalam memerankan fungsinya, serta mempunyai
struktur tersendiri yang dapat mengikat individu yang berada dibawah naungannya,
sehingga ini mempunyai kekuatan hukum tersendiri. Lembaga pendidikan Islam
berupa nonfisik mencakup peraturan-peraturan baik yang tetap maupun yang
berubah, sedangkan bentuk fisik berupa bangunan, seperti mesjid, kuttab, dan
sekolah. Bentuk fisik ini sebagai tempat untuk melaksanakan peraturan-
peraturanyang penanggung jawabnya adalah suatu badan, organisasi, orang tua,
yayasan, dan Negara.23

Sebagai sistem sosial, lembaga pendidikan harus memiliki fungsi dan peran
dalam perubahan masyarakat ke arah perbaikan dalam segala lini.Dalam hal ini
lembaga pendidikan memiliki dua karakter secara umum.Pertama, melaksanakan
peranan fungsi dan harapan untuk mencapai tujuan dari sebuah sistem.Kedua,
mengenali individu yang berbeda-beda dalam peserta didik yang memiliki
kepribadian dan disposisi kebutuhan.24

Misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi


selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain; pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai

21
Ibid.,h.276.
22
Ibid, h. 277.
23
Ibid, h.279.
24
Oemar Hamalik, perencanaan pegajaran berdasarkan pendekatan system,
(Jakarta:Bumi Aksara, 2005), cetke-5, h. 23.
22

budaya (keberadaban). Perubahan sosial budaya masyarakat tidak akan bisa


dihindari, sehingga menuntut lembaga pendidikan sebagai agen perubahan untuk
menjawab segala permasalahan yang ada. Dalam permasalahan ini lembaga
pendidikan haruslah memiliki konsep dan prinsip yang jelas, baik dari lembaga
formal ataupun yang lainnya, demi terwujudnya cita-cita tersebut, maka
diperlukanlah adanya pembentukan kurikulum yang telah disesuaikan.
Diharapkan nanti dengan persiapan dan orientasi yang jelas sebagaimana di
atas, diharapkan lembaga-lembaga pendidikan akan mampu mencetak kader-kader
perubahan ke arah perbaikan di masyarakat. Itulah pentingnya lembaga pendidikan
dalam Islam supaya Islam sebagai rahmatan lil „alamin bisa terwujud.25
Dengan demikian, maka bisa dipastikan bahwa proses pembaharuan paling
efektif dilakukan melalui lembaga pendidikan, karena pendidikan merupakan
sarana untuk melanjutkan estafet perubahan ke arah yang lebih baik. Maka,
lembaga pendidikan sudah pasti sangat penting keberadaannya sebagai tempat atau
sarana untuk memuluskan proses pendidikan.

C. Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam,


terutama sesudah abad kesembilan belas, yang dalam sejarah Islam dipandang
sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya
membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme,
demokrasi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan
pemimpin-pemimpin Islampun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-
persoalan baru itu.

Sebagaimana di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan


untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Dengan
jalan demikian, pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat
melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa pada
kemajuan.

25
Ibid, h. 23.
23

Gaung pembaharuan pemikiran Islam yang menggema di berbagai dunia


Islam seperti Mesir, Turki, dan India, akhirnya pada awal abad ke-20 M sampai
juga ke Indonesia, dibawa oleh para pelajar yang pulang kembali ke Indonesia
membawa pemikiran-pemikiran baru, salah satu di antara pemikiran-pemikiran
baru itu adalah dalam bidang pendidikan.26

Terpuruknya nilai-nilai pendidikan Islam, sesungguhnya lebih dilatar


belakangi oleh kondisi internal dan eksternal.Dari sisi internal Islam yang tidak
menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus
diperhatikan. Sehingga pada proses selanjutnya ilmu pengetahuan lebih banyak
diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh Barat yang pada waktu
itu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan. Sedangkan faktor eksternal yaitu
adanya kontak Islam dengan Barat.

Menurut Prof. Suwito, dalam buku Sejarah Sosial Pendidikan Islam


mengatakan bahwa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan
pendidikan Islam, yaitu:

Pertama, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan


satu sistem pendidikan Islam yang betul-betul bisa dijadikan rujukan dalam
rangka mencetak manusia-manusia muslim yang berkualitas, bertakwa dan
beriman kepada Allah swt.
Kedua, agama Islam sendiri melalui ayat suci al-Qur‟an banyak menyuruh
atau menganjurkan umat Islam untuk selalu berpikir, dan bermetaforma,
yaitu membaca dan menganalisis sesuatu untuk kemudian bisa diterapkan
atau bahkan bisa menciptakan hal yang baru dari apa yang kita lihat.
Ketiga, adanya kontak Islam dengan Barat, merupakan faktor terpenting
yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak menggugah dan
membawa perubahan paradigamtik umat Islam untuk belajar secara terus
menerus kepada Barat, sehingga ketertinggalan-ketertinggalan selama ini
dirasakan akan bisa terminimalisir.27
Menurut Haidar Putra Daulay, timbulnya pembaharuan di Indonesia,
terlebih dahulu diawali oleh pembaharuan Islam yang timbul di Timur Tengah

26
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 41.
27
Suwito. Et al, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005), h. 164-165.
24

terutama di Turki, Mesir dan India. Maka, latar belakang pembaharuan pendidikan
Islam di Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

Pertama, pembaharuan yang bersumber dari ide-ide yang muncul dari luar
yang dibawa oleh para tokoh atau ulama, yang pulang ke tanah air setelah beberapa
lama mereka bermukim di luar negeri (Mekah, Madinah dan Kairo). Ide-ide yang
mereka peroleh dari perantauan itu menjadi wacana pembaharuan setelah mereka
kembali ke tanah air.28

Kedua, yaitu bersumber dari kondisi tanah air yang juga mempengaruhi
pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Kondisi Indonesia pada awal abad
ke-20 dikuasai oleh kaum penjajah Barat. Dalam bidang pendidikan pemerintah
Kolonial Belanda melakukan kebijakan pendidikan diskriminatif terhadap umat
Islam.

Steenbrinkmenyebutkan ada beberapa faktor pendorong bagi pembaharuan


pendidikan Islam di Indonesia pada abad ke-20, yaitu:

a. Sejak tahun 1900, telah banyak pemikiran untuk kembali kepada al-Qur‟an
dan sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan
kebudayaan yang ada. Tema sentralnya adalah menolak taklid. Dengan
kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah mengakibatkan perubahan dalam
bermacam-macam kebiasaan beragama.
b. Sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda
c. Adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya di
bidang sosial ekonomi, baik demi kepentingan mereka sendiri, maupun
untuk kepentingan rakyat banyak.

Pembaharuan pendidikan Islam. Dalam bidang ini cukup banyak orang atau
organisasi Islam tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Al-
Qur‟an dan studi agama, maka pribadi-pribadi dan organisasi Islam pada

28
Ibid,.h. 41-42.
25

permulaan abad ke-20 ini berusaha memperbaiki pendidikan Islam, baik dari segi
metode maupun isinya.29

Menurut Dr. Abdur Rahman Assegaf, dkk. Dalam bukunya yang berjudul,
Pendidikan Islam di Indonesia, menyatakan:

“faktor utama internal yang mendorong terjadinya pencerahan pendidikan


Islam di Indoensia pada awal abad ke-20 adalah semangat kebangkitan
dan pembaharuan Islam. Kelompok modernis yang terdiri dari para tokoh
organisasi massa, sosial keagamaan, sosial politik dan sosial ekonomi
pada umumnya menyuarakan pemurnian ajaran Islam dengan slogan
Kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah.”30

Jelas sekali bahwa pembaharuan yang ada dalam lembaga pendidikan Islam
di Nusantara, tidak akan terlepas dari beberapa faktor, baik faktor internal maupun
dari faktor eksternal.

D. Aspek-Aspek Pembaharuan Pendidikan di Indonesia

Pendidikan Islam sebelum masuknya ide-ide pembaharuan, terpusat di


pesantren, rangkang, dayah dan surau. Ciri pendidikan di lembaga tersebut adalah
pertama, nonklasikal. kedua metode sorogan, wetonan dan hafalan. Ketiga, materi
pelajaran tersebut terpusat pada kitab-kitab klasik. Tinggi rendahnya ilmu
seseorang diukur dari penguasaannya kepada kitab tersebut.

Dengan masuknya ide-ide pembaharuan dalam bidang tersebut, maka


beberapa ciri dari lembaga pendidikan sebelum masuknya ide-ide pembaharuan
tersebut disesuaikan dengan ide-ide pembaharuan. Sistem nonklasikal berubah
menjadi klasikal, dilengkapi dengan manajemen pendidikan yang tentu pada tahap
awal masih sederhana. Metode mengajar guru tidak lagi semata-mata berpedoman
kepada metode sorogan, wetonan dan hafalan, tapi juga telah bervariasi sesuai
dengan tuntunan sistem klasikal. Materi pelajaran tidak lagi semata-mata bertumpu
pada materi pelajaran agama dengan titik tumpu pada kitab-kitab klasik. Masuknya

29
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1994), cet. Ke-2, h. 26-28.
30
Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press,
2007), h. 98
26

mata pelajaran nonkeagamaan adalah merupakan salah satu indikasi penting


tentang masuknya ide-ide pembaharuan di dunia Islam.31

Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-


1942, mengatakan bahwa gerakan modern juga mengakui manfaat pendidikan
sains di sekolah-sekolah Belanda di Indonesia, dan oleh sebab itu sains juga
dimasukkan di sekolah mereka. Bahasa Arab bukan satu-satunya bahasa asing
untuk pengembangan ilmu pengetahuan seseorang. Di samping bahasa Arab
diajarkan juga bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman di sekolah-sekolah
tersebut. Tampak pula berkurangnya pemakaian buku-buku bertuliskan bahasa
Arab yang dipergunakan di sekolah, diganti dengan tulisan latin.

Penggunaan sistem pendidikan Barat memberikan patokan bagi pelajar


tentang tahap-tahap studi mereka, sedangkan pada pesantren dan surau, tahap-
tahap kemajuan belajar ini tidak dapat diketahui. Sekolah modern Islam pun
menekankan pengertian, bukan hafalan.32

Dengan demikian, maka pembaharuan di lembaga pendidikan yang


selanjutnya akan diteliti adalah pembaharuan meliputi metode pembelajaran,
materi pembelajaran, sistem pembelajaran, manajemen pembelajaran (mengenai
hubungan dengan bidang diluar pendidikan).

E. Gerakan Pembaharuan Pendidikan Nusantara Abad Ke-19 Sampai Abad


Ke-20
Gerakan pembaharuan di Indonesia dipengaruhi oleh gagasan pembaharuan
di Timur Tengah yang notabene sebagai poros bagi para pelajar Indonesia untuk
belajar menuntut ilmu. Banyak tokoh Nusantara yang bermukim di Mekah, seperti
Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, yang menjadi guru dan menyebarkan
gagasan pembaharuan Islam kepada ulama nusantara yang berguru kepadanya
selama mengikuti pendidikan di Mekah. Murid-murid Syaikh Ahmad Khatib ini
kemudian berperan sebagai penggerak pendidikan Islam yang mempengaruhi
perkembangan keislaman di tanah air.

31
Haidar Putra Daulay, Op,Cit., h. 50.
32
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1990),
cet. Ke-5, h. 326-327.
27

Gagasan pembaharuan tersebut lebih dulu diterima oleh para tokoh di


Minangkabau dan mulai menampakkan pengaruhnya pada awal abad ke-19 melalui
Gerakan Paderi yang dirintis oleh Haji Sumanik dan Haji Piobang yang melakukan
langkah perubahan tradisi negatif yang berlangsung di lingkungan masyarakat
Minangkabau seperti berjudi, minum tuak dan menyambung ayam yang tidak
sejalan dengan ajaran Islam.

Pada pergantian abad ke-19, banyak orangIslam Indonesia mulai menyadari


perlunya perubahan-perubahan, apakah dengan cara menggali mutiara-mutiara
Islam dari masa lalu yang telah memberi kesanggupan kepada saudara mereka
seagama di Abad Pertengahan untuk mengatasi Barat dalam ilmu pengetahuan
serta dalam memperluas daerah pengaruh, atau dengan menggunakan metode baru
yang telah dibawa ke Indonesia oleh kekuasaan kolonial serta pihak missi
Kristen.33

Gagasan inilah yang merupakan gerbang yang mempertemukan pemikiran


dengan cita-cita perjuangan yang terealisir dalam sebuah pergerakan atau
organisasi sosial, terutama dalam bidang pendidikan.

Gagasan-gagasan dan gerakan-gerakan pembaharuan pendidikan Islam


mengalami puncak ketika pendidikan dengan cara tradisional tidak mampu lagi
membendung gerak dan pemikiran para tokoh pembaharu. Berikut beberapa
gagasan dan gerakan pembaharuan yang secara langsung dan tidak langsung
merupakan presentasi dari gerakan pembaharuan yang terjadi di antara abad 19 dan
20.

1. Sumatra Thawalib

Sumatra Thawalib tumbuh dari Surau Jembatan Besi, kejadiannya


bermula dari inisiatif para siswa tentang usaha mendirikan
organisasi.Perkumpulan ini dinamakan Perkumpulan Sabun, sebuah
perkumpulan yang memenuhi keperluan sehari-hari para pelajar, seperti
sabun, pensil, tinta dan lain sebagainya.Perkumpulan ini mengalami
perkembangan yang cukup pesat, perkumpulan yang berbentuk koperasi
33
Deliar Noer, Op.cit., h. 37.
28

pelajar ini mulai dapat memenuhi kebutuhan yang lain, misalnya, menjahit
pakaian, pangkas rambut dan berbagai kebutuhan lainnya.Laba atau
keuntungan yang diperoleh dialokasikan untuk menggaji para guru.

Pada tahun 1918, Perkumpulan Sabun diganti menjadi Sumatra


Thuwailib dan perubahan kegiatan inipun diperluas pada bidang-bidang
pelajaran agama, yaitu mempelajari Islam dan meluaskan ajarannya.

Seorang guru dari sekolah tersebut, Haji Jalaluddin Thaib, pada


tahun 1919 mengintrodusir cara-cara mengajar modern ke dalam Thawalib:
sistem berkelas yang lebih sempurna, pemakaian bangku-bangku dan meja,
kurikulum yang lebih diperbaiki dan kewajiban pelajar untuk membayar
uang sekolah. Pada tahun berikutnya Thaib menjadi ketua dari Sumatra
Thawalib, nama baru dari perkumpulan sebelumnya.

Bahan pelajarannya berupa mata pelajaran seperti, ilmu bumi dan


sejarah, juga diajarkan walaupun mata pelajaran utama tetap agama untuk
pelajar-pelajar tingkat tinggi, kitab-kitab Abduh dan Rashid Redha,
terutama Tafsir al-Manar, dipergunakan. Mereka juga membaca kitab-kitab
Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyah yang “tidak tunduk” pada otoritas
manapun dan yang sangat kritis mengancam bid‟ah, pemujaan wali-wali
keramat, bai‟at dan ziarah ke tempat-tempat keramat.34

2. Sekolah Adabiah
Salah satu tokoh dan pelopor pembaharu pendidikan Islam di
Nusantara adalah Syekh Abdullah Ahmad dari Padang Panjang.Pada tahun
1906, beliau mengunjungi Syekh Tahir Djalaluddin di Singapura. Di dalam
kunjungannya itu, Abdullah Ahmad banyak terpengaruh oleh ide-ide
pendidikan dari Tahir Djalaluddin dan di sisi lain sekolah gubernemen yang
dilihatnya di kota Padang. Maka pada tahun 1907 Abdullah Ahmad
mendirikan sekolah Adabiah di Padang Panjang.
Sekolah Adabiah berdiri karena merasa keperluan terhadap
pendidikan yang sistematik dan kenyataan bahwa tidak semua anak-anak
34
Ibid.,h. 56.
29

dari pedagang di Padang dapat masuk sekolah-sekolah yang didirikan oleh


pemerintah.35
Sekolah Adabiah yang memakai metode pengajaran dan kurikulum
modern umurnya tidak sampai satu tahun, karena harus dipindahkan dari
Padang Panjang ke Padang.Di Padang Sekolah Adabiah itu mengalami
perkembangan sangat pesat.Pendidikan umum lebih mendapat perhatian
serius daripada pendidikan agama, karena ilmu pengetahuan banyak
diminati orang Padang. Dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan
khususnya pendidikan umum, maka Abdullah Ahmad pun merekrut empat
orang guru berbangsa Belanda, di samping dua orang Indonesia, yang
memiliki ijazah untuk mengajar tingkat HIS. Pada tahun 1916 Sekolah
Adabiah ini diakui oleh pemerintah sebagai HIS pertama yang didirikan
organisasi Islam.Setahun kemudian sekolah ini mendapat subsidi penuh
dari gubernemen.36
Di samping mengurus Sekolah Adabiah dan mengembangkan
perkembangannya, Abdullah Ahmad tetap memperlihatkan kepedulian
tinggi kepada persoalan-persoalan agama.Pada tahun 1910, dia menerbitkan
majalah al-Manar, terbit dua kali sebulan.Majalah ini dapat bertahan terbit
sampai tahun 1916.Sejalan dengan lembaga pendidikan yang didirikannya,
majalah ini mengkaji ilmu pengetahuan umum seperti, ilmu bumi,
astronomi, dan kesehatan, di samping ilmu agama yang menjadi pusat
perhatian.37

3. Sekolah Diniyah
Pendiri Sekolah Diniyah adalah Zainuddin Labai El-Yunusi, murid
dari Syekh Abdullah Ahmad di Surau Jembatan Besi.Sekolah ini memakai
sistem sekolah modern pada tahun 1916.Proses pendidikan di Sekolah
Diniyah ini berlangsung hingga sore hari. Lembaga pendidikan Islam ini
diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak menerapkan sistem
sebagaimana terdapat pada pendidikan tradisional.Mata pelajaran yang

35
Ibid, h. 50.
36
Karel A. Steenbrink, Op.Cit, h. 40.
37
Deliar Noer, Op.Cit., h. 47-48.
30

disusunnya berbeda dengan biasanya, dimulai dengan pengetahuan dasar


bahasa Arab sebelum memulai membaca al-Qur‟an.38
Di samping mata pelajaran agama ada juga mata pelajaran umum,
seperti sejarah dan ilmu bumi.Pada tingkat tertinggi pengajarannya
menggunakan buku-buku berbahasa Arab.Di sini terlihat perbedaan antara
Sekolah Adabiah yang lebih menekankan pengetahuan umum dengan
Sekolah Diniyah yang lebih menekankan pengetahuan agama.
Sekolah diniyah ini pun berkembang pesat dan mendapat
sambutan luar biasa dari umat Islam di Minangkabau.Sampai tahun 1922,
tercatat 15 sekolah yang memiliki model dan sistem seperti yang berlaku di
sekolah Diniyah.Setelah Zainuddin Labai wafat, yang melanjutkan cita-
citanya kemudian adiknya yang bernama Rahmah El-Yunusiyah.Beliau
tertarik memadukan sistem koedukasi dalam Sekolah Diniyah, karena
itulah Sekolah Diniyah ini menerima murid putera dan puteri.Menurutnya,
banyak problema yang dialami wanita, dan problema itu hanya bisa
dipecahkan oleh kaum wanita pula.Oleh karena itu, dia memandang perlu
untuk mendirikan sekolah wanita. Pada tanggal 1 November 1923, Rahmah
El-Yunusiyah pun mendirikan sekolah khusus bagi puteri yang diberi nama
al-Madrasah al-Diniyah.39

4. Persyarikatan Ulama
Persyarikatan ulama adalah sebuah gerakan pembaharuan yang
pertama kali muncul dan berkembang di daerah Majalengka, Jawa
Barat.Organisasi ini berdiri pada tahun 1911, atas inisiatif Haji Abdul
Halim yang lahir di Cibelerang, Majalengka tahun 1887.40
Dalam kongres Persyarikatan Ulama pada 1932, Halim
mengusulkan agar organisasi ini mendirikan sebuah lembaga pendidikan
yang benar-benar dapat melahirkan alumni-alumni yang mandiri. Menurut
Halim, selama ini yang terjadi adalah banyak alumni dari sekolah yang

38
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1982), h. 44.
39
Deliar Noer, Op,Cit., h. 62.
40
Ibid., h.8.
31

didirikan pemerintah sangat tergantung kepada pekerjaan yang disediakan


oleh pemerintah atau bidang usaha lainnya.Kongres pun menerima usulan
Halim tersebut, dan ia pun merealisasikan cita-citanya itu dengan
mendirikan “Santi Asrama” tepatnya pada tahun 1932.
Santi Asrama ini dibagi pada tiga tingkatan: permulaan, dasar
dan lanjutan. Yang istimewa dari Santi Asrama ini tidak hanya diberikan
pengetahuan agama dan umum saja, tetapi juga keterampilan-keterampilan
khusus yang bernilai ekonomis.Misalnya, keterampilan khusus dalam
bidang pertanian, pekerjaan tangan (besi dan kayu), menenun dan
mengolah berbagai bahan, seperti membuat sabun.Keterampilan-
keterampilan khusus diberikan sebagai komitmen dan cita-cita ideal dari
Halim sebagai pendiri Persyarikatan Ulama agar alumni-alumni menjadi
mandiri dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.Santi Asrama
ini menjadi proyek percontohan yang dilakukan oleh Persyarikatan Ulama
sebagai kontribusi untuk kemajuan dan pembaharuan pendidikan Islam di
Indonesia yang sesuai dengan tuntutan zaman.

5. Sekolah Muhammadiyah
Salah satu organisasi sosial yang terpenting di Indonesia diawal
abad ke-20 M adalah Muhammadiyah.Organisasi ini didirikan pada 18
Nopember 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Pendiri perkumpulan Muhammadiyah ini merupakan seorang murid
Syaikh Ahmad Khatib yaitu Kiai Ahmad Dahlan, beliau melakukan
pembaharuan di tengah setting sosial keagamaan yang ditandai oleh
meluasnya praktik taqlid yang dianggap sebagai penyebab kejumudan.
Langkah pembaharuan telah dilakukan di lingkungan keraton, misalnya
Ahmad Dahlan pernah mencoba meluruskan arah kiblat masjid keraton
yang kemudian mendapatkan tantangan keras dan membuat marah para
tokoh ulama senior di lingkungan keraton karena dianggap melakukan
perombakan agama.41

41
Ibid.,h. 85.
32

Kiai haji Ahmad Dahlan tidak langsung mendirikan persyerikatan


Muhammadiyah.Mula-mula beliau mendirikan lembaga pendidikan. Pada
tahun 1911 Kiai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah agama yang khas
dengan namaSekolah Muhammadiyah. Sekolah Muhammadiyah ini
memang tidak sama dengan pendidikan agama yang dikenal selama ini.42
Ada dua model persekolahan, yaitu:
(a) Model persekolahan umum. Sekolah pertama yang didirikan oleh
K.H. Ahmad Dahlan pada 1911 di Kauman, Yogyakarta.Sekolah ini
merupakan sekolah tingkat dasar yang berawal dari sebuah
pengajian.Sekolah ini mempunyai murid laki-laki dan perempuan
sekaligus, yang diajar dengan menggunakan papan tulis dan kapur,
bangku-bangku, serta alat peraga.
(b) Madrasah. Selain mendirikan sekolah, beliau juga mendirikan
madrasah yang mengikuti model gubernamen, bersifat agamis yang
disebut sebagai madrasah.Perbedaannya dengan sekolah terletak
pada kurikulum, yaitu 60% agama dan selebihnya
nonagama.Sementara di Muhammadiyah dilakukan pembaharuan
terhadap teknik interaksi belajar.Teknik interaksi belajar yang
dipakai adalah dengan model pembaruan yang memadukan sistem
pendidikan Barat dengan model pesantren, yaitu pelajaran yang
diberikan kepada murid laki-laki dan perempuan secara bersamaan
(coeducation).43

6. Madrasah Salafiyah Tebu Ireng


Madrasah Salafiyah Tebu Ireng adalah sekolah dibawah organisasi
terbesar di Indonesia, yaitu Nadhlatul Ulama. Pada awalnya Nadhlatul
Ulama tidak menerima pembaharuan yang sedang terjadi, akan tetapi
setahap demi setahap, Nadhlatul Ulama mulai menerima pembaharuan
pendidikan yang selama ini ditentangnya. Meskipun terbatas di perkotaan,

42
Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo, K.H. Ahmad Dahlan, (Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, 1999), cet. Ke-2, h. 42
43
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 200-201
33

Nadhlatul Ulama telah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dengan


system modern.
Pembaharuan yang dilakukan Tebuireng pertama kali adalah dengan
mendirikan Madrasah Salafiyah pada tahun 1919 sebagai tangga untuk
memasuki tingkat menengah pesantren Tebuireng. Di Madrasah Salafiyah
ini, bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Indonesia dan untuk
beberapa pengajaran tertentu dipakai bahasa Arab. Bahasa asing lainnya
juga diajarkan di madrasah ini bersama pengetahuan umum.44

Bermunculnya sekolah-sekolah Islam modern tersebut ternyata telah


menggeser posisi surau, pendidikan tradisional, yang terdapat di Indonesia,
kecuali di pulau Jawa yang masih ada beberapa organisasi yang bergerak
dalam pendidikan memegang teguh pendiriannya dengan tidak menerima
pembaharuan, dikarenakan adanya protes keras dari para wali murid.
Masyarakat kala itu, tidak hanya tertarik pada pengetahuan agama semata,
tapi juga menginginkan diadakannya ilmu pengetahuan umum, disamping
ingin mendapatkan ijazah agar mudah mendapatkan pekerjaan.

Dengan munculnya pergerakan dalam bidang pembaharuan


pendidikan menjadi awal perjuangan menegakkan agama Islam sehingga
kemudian Islam sebagai idealisme dan kejayaan umat Islam sebagai realita
(„izzul islama wal muslimin) dapat direalisasikan secara kongkrit dengan
menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Umat Islam mulai
saat ini menyadari cita-cita yang demikian besar lagi berat tersebut hanya
akan dapat lebih efektif dan efisien manakala menggunakan alat pergerakan
yang bernama“organisasi”.

F. Indikator Pembaharuan Pada Lembaga Islam


Beberapa lembaga pendidikan yang sudah disinggung sebelumnya,
indikator pembaharuan pada lembaga pendidikan Islam bisa dilihat pada sistem
dan isi pendidikan Islam. Menyangkut sistem pendidikan, lembaga pendidikan

44
Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), cet. Ke-10, h.
203
34

Islam yang mengalami pembaharuan menyempurnakan lembaga pendidikan yang


semula di surau, langgar, mesjid dan tempat-tempat semacamnya menjadi
madrasah, pondok pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan yang berdasarkan
keagamaan.Demikianlah sistem klasikal mulai diterapkan, bangku, meja, papan
tulis mulai digunakan dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran agama
Islam. Pembagian jenjang kelas pun mulai diadakan.45
Isi pendidikan Islam setelah mengalami pembaharuan mempengaruhi pula
tujuan pendidikan Islam dan materi-materi pendidikan Islam. Bila sebelum adanya
gerakan pembaharuan titik berat pelajaran pada penguasan bahasa Arab secara
fasih dan mengetahui ajaran Islam, maka gerakan pembaharuan Islam ini
menghendaki agar murid-murid menggali ajaran-ajaran Islam dari sumbernya yang
asli kemudian dapat mengembangkannya. Maka dari itu pendidikan Islam lebih
banyak ditekankan pada penguasaan secara aktif ilmu alat yakni Bahasa Arab dan
ditambah pula diajarkan ilmu pengetahuan umum.
Sejalan dengan pembangunan yang semakin meningkat dan kemajuan-
kemajuan yang telah dicapai. Agar lulusan sekolah-sekolah agama khususnya
madrasah, bisa menyesuaikan diri dengan di alam yang telah maju, maka timbul
usaha-usaha dari pihak pemerintah untuk lebih meningkatkan mutu madrasah ini
agar sejajar dengan sekolah-sekolah umum yang sederajat.46
Menurut Haidar Putra Daulay, dipandang dari sudut masuknya ide-ide
pembaruan pemikiran Islam ke dalam dunia pendidikan, setidaknya ada tiga hal
yang perlu diperbarui.
Pertama, metode yang tidak puas hanya dengan metode tradisional
pesantren saja, tetapi diperlukan metode-metode baru yang lebih merangsang
untuk berpikir.
Kedua, isi atau materi pelajaran sudah perlu diperbarui, tidak hanya
mengandalkan mata pelajaran agama semata-mata yang bersumber dari kitab-kitab
klasik. Sebab masyarakat muslim sejak awal abad kedua puluh di Indonesia telah
merasakan peranan ilmu pengetahuan umum bagi kehidupan individu maupun
kolektif.

45
Zuhirini, dkk, Op.Cit., h. 216-217
46
Ibid, h. 221 & 231
35

Ketiga, manajemen. Manajemen pendidikan adalah keterkaitan antara


sistem lembaga pendidikan dengan bidang-bidang lainnya di pesantren.
Jadi, bisa terlihat indikasi terpenting dari pendidikan Islam pada masa
pembaruan, yakni. Pertama, dimasukannya mata pelajaran umum ke madrasah.
Kedua, penerapan sistem klasikal dengan segala kaitannya. Ketiga, ditata dan
dikelola administrasi sekolah dengan tetap berpegang kepada prinsip manajemen
pendidikan. Keempat, lahirnya lembaga pendidikan Islam baru yang diberi nama
dengan madrasah. Kelima, diterapkannya beberapa metode mengajar selain dari
metode yang lazim dilakukan pesantren sorongan dan wetonan.47

47
Haidar Putra Daulay, Op.Cit., h. 58-59
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini akan menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan


oleh penulis dalam mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan skripsi.
Penulis mencoba untuk memaparkan berbagai langkah yang digunakan dalam
mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber dan analisis serta cara
penulisannya.

A. Jenis Data

Data-data yang dipaparkan di dalam penulisan ilmiah ini bersifat sosial,


sehingga metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian
kualitatif.Metode penelitian kualitatif dikembangkan lagi dengan menggunakan
metode penelitian hitoris, karena data-data yang dipaparkan bersifat masa lampau
dan sumber-sumber yang dikaji bersifat sejarah.

Metode historis merupakan suatu metode yang sesuai digunakan untuk


penelitian ini dengan asumsi bahwa data-data yang dibutuhkan berasal dari masa
lampau. Seperti yang diungkapkan oleh Louis Gottschalk48 mengatakan bahwa
“metode historis (sejarah) adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau.”

48
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press,
2008), h. 39

27
28

Menurut Gilbert J.Gbarraghan, seperti dikutip oleh Dudung Abdurrahman,


mendefinisikan metode historis sebagai,

“seperangkat aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang sistematis untuk


mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara
kritis dan menyajikan sintesa dari hasil-hasil yang dipakai dalam bentuk
tertulis.”49
Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa metode historis
adalah proses penelitian sejarah dengan menggunakan proses ilmiah yang
dliakukan secara sistematis, dari mulai menentukan topik dan judul, pengumpulan
sumber, pengujian sumber, analisis dan penyajian hasil penelitian tersebut dalam
bentuk tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan dari penelitian historis
adalah membuat rekonstruksi peristiwa masa lalu secara sistematis dan obyektif
dengan cara mengumpulkan, memverifikasi dan mensistematiskan bukti-bukti
untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.

B. Teknik Input Data

Teknik peneltian yang dipergunakan untuk mengkaji skripsi ini adalah

a. Studi dokumen
Studi dokumen mempunyai arti metodologis yang penting karena dokumen
menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah serta diharapkan mampu
menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah.Pada penelitian ini dokumen yang
digunakan adalah dokumen-dokumen yang tersimpan di yayasan Pendidikan Islam
Jamiat Kheir yang terletak di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dokumen
berupa AD ART, Susunan kepengurusan, Visi dan Misi Jamiat Kheir, Sejarah
berdirinya Jamiat Kheir beserta faktor-faktor berdirinya Jamiat Kheir serta
program kerja Sekolah-Sekolah Jamiat Kheir yang berada di bawah yayasan Jamiat
Kheir.

49
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 43-44
29

b. Studi pustaka
Studi pustaka dalam suatu penelitian dijadikan sumber penulisan yang
tentunya berhubungan dengan tema yang dikaji.Sumber pustaka dapat berupa
buku, artikel dan media lainnya.Dengan studi pustaka ini diharapkan mampu
menambahkan pemahaman teori dan konsep yang diperlukan dalam penelitian.
Studi pustaka ini dilakukan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan
Jurusan Sejarah Peradaban Islam dan Perpustakaan Imam Jama‟.

c. Wawancara
Menurut Lexy J. Moleong dalan bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif
menjelaskan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu.Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.50

Wawancara adalah salah satu cara memperoleh informasi secara lisan dari
informan yang memenuhi kriteria sesuai dengan objek penelitian. Dalam hal ini
penulis melakukan wawancara dengan informan yang tahu dan paham mengenai
Yayasan Sekolah Jamiat Kheir, yaitu Kepala Sekolah, Guru dan Kepala Yayasan
Sekolah Jamiat Kheir. Informan-informan tersebut antara lain adalah Bapak
Ahmad Sauqhi Al-Gadri, beliau menjabat sebagai Kepala Pengurus Harian di
Yayasan Jamiat Kheir di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

C. Langkah-Langkah Penelitian
Pelakasanaan penelitian dilakukan melalui tahapan sesuai dengan metode
penelitian yang digunakan yaitu metode historis.Penulis menggunakan tahapan
sebagaimana yang diungkapkan diawal, yaitu heuristik, kritik atau analisis sumber,
interpretasi, historiografi.

50
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja RosdaKarya), cet.
Ke-28, h. 186.
30

a. Heuristik

Heuristik merupakan tahap pengumpulan data-data yang relevan dengan


masalah penelitian.Langkah pertama yang dilakukan oleh penulis adalah mencari
dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang berhubungan dengan
pembaharuan pendidikan dan sejarah lembaga pendidikan. Sumber yang banyak
digunakan dalam mengkaji tentang judul skripsi ini adalah sumber sekunder, yaitu
sumber yang sudah diperoleh berdasarkan rekonstruksi pemikiran orang lain.
Menurut Helius Sjamsuddin sumber kedua (secondary sources) adalah apa-apa
yang yang ditulis sejarawan sekarang atau sebelumnya berdasarkan sumber-
sumber pertama.Sebagian besar sumber-sumber tertulis yang telah penulis
sebutkan di atas adalah sumber sekunder.51

Pada tahap pengumpulan sumber-sumber literature ini, penulis berusaha


mencari dan memilih pusat-pusat informasi yang sekiranya memiliki sumber-
sumber yang dibutuhkan terutama yang berisikan data dan informasi mengenai
pembaharuan pendidikan.Pusat informasi yang dimaksud adalah perpustakaan.

Setelah sumber-sumber yang berhubungan dengan masalah penelitian


diperoleh dan dikumpulkan, proses selanjutnya dilakukan penelaahan serta
pengklasifikasian terhadap sumber-sumber yaitu pemilihan dan penggolongan
sumber-sumber, sehingga diperoleh sumber yang relevan dengan masalah
penelitian yang dikaji.

b. Kritik sumber

Kritik merupakan metode yang digunakan untuk menilai sumber-sumber


yang digunakan dalam penelitian. Setelah penulis melakukan pengumpulan
sumber-sumber pada tahap heuristik, tahap selanjutnya adalah kritik sumber. Kritik
sumber dilakukan untuk mengetahui kebenaran dan ketepatan sebuah sumber
sejarah. Kritik sumber ini perlu dilakukan karena penelitian sejarah berusaha untuk
menuliskan masa lalu dengan benar dan objektif. Penulisan yang benar dan
objektif itu sangat tergantung dari sumber yang digunakan oleh sejarawan. Seorang

51
Helius Sjamsuddin, Metode Penelitian Sejarah, Jurnal llmiah pada Workshop Penelitian
dan PengembanganKebudayaan, 2008, h. 3.
31

sejarawan harus bersikap dan berpikir secara kritis dengan tidak menerima begitu
saja apa yang tercantum dan tertulis dalam sumber-sumber sejarah tersebut.

Kritik sumber sejarah secara umum dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Kritik eksternal

Kritik eksternal merupakan kritik terhadap materi sumber yang


dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber-
sumber sejarah secara terperinci, sebagaimana yang dikemukakan oleh para
sejarawan, bahwakritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal usul dari
sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk
mendapatkan semua informasi yang mungkin dan untuk mengetahui apakah
pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang
tertentu atau tidak.

Kritik eksternal dilakukan dengan melihat tahun terbit sumber yang


digunakan dan mengetahui latar belakang penulis buku, artikel dan surat kabar
untuk mengetahui kredibilitas dari sumber tersebut. Tahun terbit artinya angka
penerbitan sumber tersebut dapat menunjukkan informasi sesuai dengan zaman
masalah penelitian serta keaslian sumber, sedangkan latar belakang penulis
adalah untuk mengetahui unsure pendidikan penulis dan mengetahui apakah
para penulis sumber merupakan orang-orang yang sezaman atau tidak dengan
proses kebijakan pemerintah Belanda, Jepang ataupun pada masa pemerintahan
Orde Lama.

Mengenai tahun penerbitan buku sumber, penulis banyak


mempergunakan buku dalam rentang waktu tahun 1980an sampai tahun 2010,
mengenai kredibilitas penulis dalam buku-buku yang digunakan dalam skripsi
ini dapat dipercaya karena penulis banyak menggunakan buku karya doktor
dan professor seperti buku karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Prof. Dr.
Kuntowijoyo, Prof.Dr. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto, Louis Gottschalk dan
lain-lain.
32

Unsur latar belakang penulis menjadi salah satu pertimbangan dalam


menilai sumber.Karena isi dan penjelasan yang dituangkan dalam sumber-
sumber tersebut sangat dipengaruhi oleh subjektifias pribadi para penulisnya.
Oleh karena itu, para penulis sumber terssebut oleh penulis dibagi menjadi dua
kategori, yaitu:

1. penulis yang berlatar belakang pendidikan, seperti Ramayulis, Zakiah


Darajat, Hasbullah dan lain-lain

2. penulis yang berlatar belakang sejarah, seperti Deliar Noer, Zuhairini,


Karel. A. Steenbrink, Ahmad Mansur Suryanegara, Taufik Abdullah, B.J.
Bolland dan lain-lain.

Pengklasifikasian diatas dimaksudkan untuk mempermudah penulis


dalam memahami suatu peristiwa, baik penulis yang berlatarbelakang
pendidikan dan penulis yang merupakan sejarawan, sama-sama memberikan
kontribusi dalam penulisan skripsi ini, serta membantu penulis dalam menilai
dan melakukan kritik eksternal dan internal.

2. Kritik Internal

Kritik internal merupakan kritik terhadap aspek dalam yang berupa isi
sumber yang digunakan untuk mengetahui keaslian dari aspek materi sumber
sehingga sumber-sumber tersebut dapat diandalkan reabilitas serta
kredibilitasnya.Sebagaimana dikemukakan Helius Sjamsuddin bahwa “kritik
internal menekankan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber dengan mengadakan
evaluasi terhadap kesaksian/tulisan dan memutuskan kesaksian tersebut dapat
diandalkan atau tidak”.52

Penulis melakukan kritik internal terhadap sumber tertulis, yaitu buku-


buku dengan cara membandingkannya antara buku yang satu dengan buku
yang lainnya. Cara ini disebut cross check (konfirmasi silang) yaitu
membandingkan isi sumber yang satu dengan yang lainnya, baik berupa buku-
buku, dokumen-dokumen maupun artikel.Kritik internal terhadap sumber

52
Helius Sjamsuddin, Metode Penelitian Sejarah, Loc.Cit, h. 3.
33

dilakukan dengan pertimbangan pada pemilihan informasi atau data dan isi
materi sumber tersebut.Contoh buku karangan Deliar Noer, isi dari buku ini
merupakan hasil dari penelitian beliau di lapangan, mengenai sejarah
perkembangan pemikiran pembaharuan di Indonesia pada tahun 1900-
1942.Karya Deliar Noer ini sangat membantu dalam menambah informasi atau
data dalam penyusunan skripsi ini, karena masalah-masalah perkembangan
pembaharuan yang diteliti oleh Deliar Noer tersebut merupakan salah satu
bagian yang dikaji oleh penulis.

Pada tahap kritik eksternal penulis melakukan penelaahan terhadap


sumber yang sudah diperoleh pada tahap heuristik, dengan meninjau baik dari
tahun terbit serta penulis sumber untuk dapat mengetahui apakah sumber-
sumber tersebut layak atau tidak digunakan dalam penelitian ini.Sementara
kritik internal, penulis melakukan penelaahan lebih dalam terhadap sumber.
Setelah sumber-sumber tersebut ditelaah penulis melakukan perbandingan
antara isi sumber yang satu dengan sumber yang lain atau disebut juga dengan
cross check (konfirmasi silang), sehingga diperoleh dua jenis sumber yaitu
sumber yang benar-benar layak digunakan dan sumber yang tidak layak
digunakan dalam penelitian ini.

c. Interpretasi Data

Setelah melakukan heuristik dan kritik sumber, maka proses selanjutnya


dari penelitian sejarah ini adalah proses interpretasi, yaitu penafsiran sumber-
sumber sejarah. menurut Kuntowijoyo, interpretasi merupakan kegiatan
analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan) data-data yang telah
diperoleh. Tahap ini merupakan tahap mengolah, menyusun, dan menafsirkan
kata-kata yang diperoleh tentang lembaga pendidikan Islam pada masa
diberlakukannya kebijakan pendidikan yang telah dikumpulkan pada heuristic
dan telah dinilai dalam tahap kritik, selanjutnya akan dianalisis dan ditafsirkan
sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang dikaji.

Pada tahap interpretasi penulis melakukan penyusunan terhadap fakta-


fakta yang sesuai dan layak digunakan dalam penelitian, yaitu dengan cara
34

membagi fakta-fakta yang sudah diperoleh ke dalam beberapa kelompok.


Fakta-fakta dalam masing-masing kelompok tersebut merupakan fakta-fakta
yang saling berhubungan, kemudian dalam setiap kelompok fakta dilakukan
penafsiran sehingga diperoleh suatu kerangka fakta. Sehingga fakta-fakta
tersebut dapat menjawab permasalahan yang dikaji.

Berdasarkan dari hasil penelaahan sumber, diperoleh fakta yang penulis


susun sebagai berikut:

a) Latar belakang pembaharuan di Indonesia

b) Pengaruh adanya pembaharuan terhadap Lembaga Pendidikan Islam di


Indonesia

c) Respon Jamiat Kheir sebagai lembaga pembaharuan pendidikan Islam


terhadap berbagai kebijakan negara terhadap bidang pendidikan.

d. Laporan Hasil Penelitian

Dalam analisis data kualitatif metode yang digunakan untuk membahas


sekaligus sebagai kerangka berpikir pada penelitian ini adalah metode deskriptif
analisis, yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun data, kemudian
diusahakan pula dengan analisa dan interpretasi atau penafsiran terhadap data-data
tersebut.Dalam menganalisa data yang telah terkumpul digunakan metode Induktif
yaitu masalah yang bersifat khusus, kemudian diarahkan pada penarikan
kesimpulan yang umum.

Dalam data ini, penulis melakukan analisis terhadap sejarah perkembangan


pembaharuan dengan pendekatan pendidikan Islam.Jadi, dari permasalahan
lembaga pendidikan yang sedang berkembang pada tahun 1905-1965, ditarik
kesimpulan ke arah pergerakan pembaharuan umat Islam.

Dalam menyajikan laporan hasil penelitian, terlebih dahulu penulis


melakukan tahap-tahap yang telah diuraikan sebelumnya, lalu melakukan tahap
terakhir, yaitu membuat laporan hasil penelitian. Penulis melakukan langkah-
langkah yang diantaranya, yaitu melakukan penyusunan kerangka tulisan dan
35

pokok-pokok pikiran yang akan dituangkan ke dalam tulisan jadi (sebenarnya),


berdasarkan data-data yang diperoleh untuk mempermudah penulisan. Selanjutnya
yaitu melakukan penulisan setelah materi atau bahan tersusun dan kerangkan
tulisan selesai dibuat. Tulisan akhir dilakukan bab demi bab, sesuai dengan proses
penelitian yang dilakukan secara bertahap, kemudian dilakukan pengecekan
melalui pengeditan dan pengoreksian.

Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam prosedur penelitian.Setelah


melakukan langkah heuristik, kritik, dan interpretasi, langkah yang terakhir adalah
penulisan sejarah atau historiografi.Laporan hasil penelitian dituangkan dalam
bentuk karya ilmiah yang disebut skripsi.Laporan tersebut disusun secara ilmiah,
yakni dengan manggunakan metode-metode yang telah dirumuskan dan teknis
penulisan yang sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah yang telah
dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Lembaga pendidikan Jamiat Kheir


1. Profil Yayasan Jamiat Kheir
Yayasan Jamiat Kheir terletak di jalan K.H. Mas Mansyur No. 17,
kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Kota/Kabupaten Jakarta
Pusat, Propinsi DKI Jakarta. Jamiat Kheir didirikan pada tahun 1901 sebagai
sebuah organisasi dan mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1905 dengan bestuit nomor 4. Sementara Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir
diaktekan oleh notaris pemerintah Belanda yaitu Jan Willem Roellofs Valk, pada
tanggal 19 Oktober 1919.53

Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir memiliki beberapa tingkat pendidikan, yaitu:

a. Taman Kanak-Kanak Tanah Abang


b. Taman Kanak-Kanak Depok
c. Madrasah Ibtidaiyah Putra Tanah Abang
d. Madrasah Ibtidaiyah Putri Tanah Abang
e. Madrasah Tsanawiyah Tanah Abang
f. Madrasah Aliyah Tanah Abang
g. Institut Agama Islam Jamiat Kheir Tanah Abang

53
Dokumen Resmi dari Yayasan Jamiat Kheir.

36
37

2. Latar Belakang Berdiri Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir


Latar belakang berdirinya Jamiat Kheir tidak lepas dari perjalanan bangsa
Indonesia yang sejak tahun 1628 M hingga tahun 1918 Msenantiasa terjadi
pemberontakan dan perjuangan untuk mengusir penjajahan yang telah bercokol
dari tahun 1602 M.
ketika jiwa kebangkitan nasional mulai masuk ke dalam jiwa bangsa
Indonesia, penjajah Belanda menjadi semakin cemas. Mereka berusaha untuk
memadamkan api semangat bahkan mengasingkan mereka-mereka yang dianggap
berbahaya terhadap kelangsungan hidup penjajahan di Indonesia. Bangsa Indonesia
mulai sadar bahwa kemerdekaan akan sulit dicapai bila hanya mengandalkan
perjuangan di medan laga saja. Pejuang-pejuang dan kaum cendekiawan kemudian
mulai merintis jalan untuk berupaya merintis perjuangan di medan politik. Dengan
lahirnya organisasi-organisasi sosial, baik di bidang perekonomian maupun di
bidang pendidikan, serta lahirnya partai-partai politik di Indonesia, merupakan
awal dari perjuangan di bidang politik. Salah satu diantaranya adalah organisasi
Jamiat Kheir. Jamiat kheir lahir tahun 1901 M dan segera mendapat simpati dari
umat Islam.
Pada tahun 1901 sebagai langkah permulaan beberapa tokoh masyarakat
Arab berinisiatif mendirikan sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial
pendidikan berdasarkan Islam, yang diberi nama Jamiat Kheir. Pada mulanya
organisasi ini dimaksudkan sebagai wadah kerjasama dan perlindungan, tapi
mencerminkan pula sentimen keagamaan yang kuat dari pendiri-pendirinya, yang
selalu siap memberi bantuan pada tiap organisasi yang condong pada Islam.Karena
anggota dan pemimpin organisasi ini pada umumnya terdiri dari orang-orang yang
berada, maka mereka dapat menggunakan sebagian besar waktunya untuk
perkembangan organisasi tanpa merugikan usaha mereka untuk pencaharian
nafkah.Mungkin hal ini pulalah yang menjadi salah satu penyebab utama yang
menunjang kemajuan dan perkembangan Jamiat Kheir.54
Jamiat Kheir didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905, Secara resmi
dengan pengesahan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Anggaran

54
Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Ikapi, 1992), h. 480-481.
38

Dasarnya dapat disetujui.Akan tetapi Jamiat Kheir dilarang untuk mendirikan


cabang-cabang organisasi di luar wilayah Batavia.55
Berdirinya Jamiat Kheir lebih didorong oleh pertimbangan-pertimbangan
praktis daripada oleh kesadaran-kesadaran filosofis ataupun agama.Dia merupakan
pencerminan dari keengganan para pendirinya untuk tetap tertinggal dari kemajuan
yang dicapai oleh orang-orang Belanda, serta prestasi yang dicapai oleh orang-
orang Cina yang telah berhasil menegakkan sebuah organisasi sosial di kalangan
mereka pada permulaan abad.Juga merupakan pencerminan ketidaksenangan
terhadap Belanda, yang dirasakan lebih memperlihatkan kecenderungan untuk
menganak-emaskan orang-orang Cina dibandingkan dengan perhatian terhadap
masyarakat Arab atau Muslim.
Jika diperhatikan berdirinya sekolah Jamiat Kheir ada beberapa factor yang
mendorong, menurut berkas dari Jamiat Kheir, yaitu:
a. Belum ada sekolah yang cocok untuk anak-anak kaum muslimin,
sebab sejak tahun 1850 mulai diberlakukannya sekolah oleh
Pemerintah Hindia Belanda hingga abad ke-20 khusus disediakan
untuk anak orang Eropa, anak orang Kristen dan anak kaum
bangsawan.
b. Pendidikan Agama Islam tidak diperkenankan diajarkan pada sekolah
Pemerintah Kolonial.
c. Semangat pembaharuan Islam di dunia yang dipelopori oleh
Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani dan Rashid Ridha
membuka cakrawala baru dalam pemikiran orang Arab/keturunan
Arab di Indonesia.

3. Tujuan Pendirian Lembaga Pendidikan Jamiat Kheir


Di samping bertujuan memberikan bantuan pada anggota perkumpulan
dalam masalah kematian dan pelaksanaan pernikahan (pasal 1), Anggaran Dasar
tersebut memuat tujuan untuk mendirikan sekolah-sekolah hingga pelaksanaan
pengajarannya. (pasal 2). Dan anggotanya tidak saja dari kalangan Arab, tetapi

55
Mansur dan Mahfud Junaedi, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag
Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005), h. 65.
39

meluas kepada kebangsaan lain, asalkan ia seorang muslim (pasal 4). Penambahan
Anggaran Dasar ini disetujui oleh pemerintah melalui keputusan gubernur jenderal
pada tanggal 24 Oktober 1906, dikarenakan Anggaran Dasar Jamiat Kheir tidak
mengandung tujuan politik serta tidak mengandung hasutan (yang dapat
membahayakan keamanan pemerintahan).56 Abdullah bin Alwi Alatas sebagai
pemuka gerakan Pan-Islam turut mendukung atas berdirinya organisasi Jamiat
Kheir ini.
Dikutip dari berkas resmi dari Jamiat Kheir, dinyatakan bahwa tujuan
perkumulan ini adalah bergerak di bidang social dan pendidikan. Sifat
perkumpulan ini terbuka untuk setiap muslim tanpa ada diskriminasi asal-usul,
namun mayoritas anggotanya adalah para habaib, para ulama dan cendekiawan
muslim.
Setelah perkumpulan ini berjalan selama dua tahun, baru pada tahun 1903
para pendirinya meminta izin resmi kepada Pemerintah Hindia Belanda.Setelah
menunggu izin memakan waktu 2 tahun baru keluar pengesahan Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1905.
Pada tanggal 22 Juni 1910, sesuai dengan rapat anggota bulan April 1910
diajukan kembali perubahan Anggaran Dasar untuk ketiga kalinya.Surat
permohonan diajukan oleh Muhammad bin Abdurrahman Syahab sebagai ketua
dan Muhammad bin Syech bin Syahab sebagai sekretaris dan perubahan tersebut
disetujui pada tanggal 3 Oktober 1910. Tujuan Jamiat Kheir semakin meluas,
diantaranya :
1. Mendirikan dan mengurus gedung-gedung sekolah serta bangunan lain
di Batavia untuk kepentingan umat Islam,
2. Mengupayakan sekolah-sekolah untuk memperoleh pengetahuan
agama,
3. Mendirikan perpustakaan yang mengupayakan buku-buku untuk
menambah pengetahuan dan kecerdasan.57
Pada tahun 1919 M, didirikan Jamiat kheir bagian puteri (al-Banat).Dan
para pengajarnya yang termasyhur yaitu Mu‟allim Tunus58dan syekh Ahmad

56
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996),
cet. 8, h. 68-69
57
Deliar Noer, Op.Cit, h. 69
40

Surkati (yang kemudian pindah ke al-Irsyad)59. Pentingnya Jamiat kheir terletak


pada kenyataan bahwa yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam
masyarakat Islam dan mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang sudah
modern seperti: kurikulum, kelas, dan sarana prasana penunjang lainnya. Ide-ide
ini berkumandang di kota-kota lain, tetapi organisasi yang tumbuh di Jakarta
seakan membeku, pertikaian dengan organisasi al-Irsyad mencerminkan pertikaian
dalam lingkungan masyarakat Arab tentang kedudukan sayid dalam masyarakat itu
dan pada umumnya dalam masyarakat Islam di Indonesia.60
Jamiat Kheir yang pada awal berdirinya mempunyai tujuan yang bergerak
di bidang sosial pendidikan, pada kenyataannya ikut pula dalam bidang ekonomi
dan politik.Kegiatan politiknya inilah yang menyebabkan perubahan Jamiat Kheir
dari perkumpulan menjadi yayasan pendidikan.
Maka ketika sudah menjadi Yayasan Pendidikan, Visi, Misi dan Tujuannya,
yaitu:

Visi Yayasan Jamiat Kheir, yaitu:


a. Mencerdaskan umat sejalan dengan tantangan kemajuan zaman berpegang
teguh pada landasan ajaran Islam.
b. Wawasan ke-Islaman secara utuh (kaffah) terpadu antara iman, ilmu dan
amal, terintegrasi antara IMTAQ dan IPTEK.
c. Wawasan keunggulan, ketekunan, kesungguhan dan keikhlasan dalam
rangka ibadah kepada Allah SWT.

Misi Yayasan Jamiat Kheir, yaitu:


a. Menyiarkan agama Islam dan bahasa Arab.
b. Berkhidmat untuk umat sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasulullah
Muhammad SAW.

58
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 1995), Cet.5, h. 319
59
Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum
Teaching, 2005), h. 55
60
Hasil wawancara dengan Pengurus harian Jamiat Kheir
41

c. Menanamkan keyakinan yang kuat dan kebanggaan terhadap kebenaran


Islam sebagai petunjuk Allah SWT satu-satunya demi keselamatan hidup di
dunia dan akhirat.

Tujuan Yayasan Jamiat Kheir, yaitu:


a. Mempersiapkan generasi Islam yang cinta kepada Allah SWT dan taat
kepada Rasulullah SAW, sayang kepada sesama, berakhlak mulia, percaya
diri, teguh pendirian, selalu bertitik kepada kebenaran dan keadilan,
bermanfaat bagi agama, umat dan masyarakat, menerapkan ajaran agama
Islam dalam meningkatkan martabat bangsa dan Negara.
b. Membentuk kepribadian ulama yang berwawasan luas, ahli dalam
bidangnya, mampu berbahasa Arab dan dapat member manfaat bagi
masyarakat dan bangsa.
c. Menanamkan mahabbah kepada kaum mukminin, utamanya ahli
bait/keluarga Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.61

4. Aqidah dan Mazhab Jamiat Kheir


Jamiat Kheir sejak didirikan dan untuk selamanya berlandaskan dan
mempertahankan Aqidah Ahlusunnah wal Jamaah yang digariskan oleh para salaf
terdahulu sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, cinta ahli bait dan para
sahabatnya.
Dalam menjalankan praktek ibadah, keluarga besar Jamiat Kheir selalu
berpegang pada Mazhab Imam Syafii rahimahullah dan atau berdasarkan dalil-dalil
yang lebih kuat.62

5. Tokoh Pendiri Jamiat Kheir


Tokoh yang akan saya bahas dibawah ini adalah tokoh yang berpengaruh
terhadap pembaharuan yang dilakukan di Jamiat Kheir dan berpengaruh dalam
menentukan kebijakan dalam tubuh Jamiat Kheir. Tapi, terlebih dahulu akan
disinggung tokoh-tokoh pendiri awal Jamiat Kheir.

61
Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir.
62
Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir.
42

Pendiri perkumpulan ini adalah :


1. Sayid Ali bin Ahmad bin Syahab, sebagai Ketua
2. Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syahab, sebagai Wakil Ketua
3.Sayid Muhammad Al Fachir bin Abdurrahman Almasyhur, sebagai
Sekretaris
4. Sayid Idrus bin Ahmad bin Syahab, sebagai Bendahara
5. Said bin Ahmad Basandiet, sebagai Anggota.
Salah satu perwujudan cita-cita perkumpulan ini adalah mendirikan sebuah
sekolah pada tanggal 17 Oktober 1919 dengan nama sekolah Djamiat Geir School
dengan akte notaries Jan Willem Roeloffs Valk nomor 143. Susunan pengurus
pertama kali :

1. Sayid Abubakar bin Ali bin Syahab


2. Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus
3. Sayid Ali bin Abdurrahman Alhabsyi
4. Sayid Abubakar bin Muhammad Alhabsyi
5. Sayid Abubakar bin Abdullah Alatas
6. Sayid Idrus bin Ahmad bin Syahab
7. Ahmad bin Abdullah Basalamah63

Jamiat Kheir merupakan pergerakan yang menelurkan generasi-generasi


berkualitas, maka selanjutnya akan dibahas mengenai tokoh yang banyak sekali
melakukan pergerakan dan menggelorakan perubahan terhadap penjajahan Belanda
pada masa itu, tokoh-tokohnya yaitu:

1) Habib Abubakar bin Ali

Habib Abu Bakar dilahirkan di Bandar Betawi (Jakarta) pada hari Senin
tanggal 28 Rajab tahun 1287 H/ 24 Oktober 1870 M. kemudian beliau berangkat
ke Hadramaut pada akhir tahun 1297 H/ 1880 M bersama ayahnya, Ali bin Abu
Bakar bin Umar bin Shahubuddin Al-Alawy. Guru beliau adalah Ahmad

63
Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Ikapi, 1992), h. 480-481
43

Muhammad Bahyan, pas sedang di Hadramaut, beliau belajar kepada Salim Sa‟id
Abdul Haq. Beliau menghafalkan kitab Matan al-Zubad.Beliau wafat pada tanggal
25 Dzulqa‟idah tahun 1299 H/ 8 Oktober 1882 M. Orang-orang merasa sangat
berat kehilangan dia karena dia adalah seorang yang rajin dalam menuntut
ilmu.Ayahnya sangat mencintainya karena kecerdasannya dan kepatuhannya
kepada perintahnya.Mudah-mudahan Allah merahmatinya dengan rahmat yang
diberikan-Nya kepada orang-orang yang baik.64

Pada tahun 1297 H, saat berusia 10 tahun, bersama ayahnya serta


saudaranya Muhammad dan Sidah, berangkat ke Hadramaut. Di sana Abubakar
menuntut ilmu dari berbagai guru terkenal, baik di Damun, Tarim, maupun
Seywun, di samping mendatangi tempat pengajian dan pertemuan dengan sejumlah
ulama terkemuka. la kembali ke Indonesia melalui Syihir, Aden, Singapura dan
tiba kembali ke Jakarta pada tanggal 3 Rajab 1321 H.
Setelah mendapat gemblengan selama tiga belas tahun di Hadramaut.
Kemudian mendirikan Jamiatul Khair bersama Abubakar bin Ali Shahab dan
sejumlah pemuda Alawiyyin. Pada tanggal 1 Mei 1926, saat usianya 50 tahun,
untuk kedua kalinya kembali berangkat ke Hadramaut disertai dua orang putranya
Hamid dan Idrus. Mereka singgah di Singapura, Malaysia, Mesir dan Mukalla
sebelum tiba di Damun, 20 Dzulqaidah 1344 H. Di tempat yang disinggahinya ia
selalu belajar dengan para guru dan sejumlah habib. Di Hadramaut ia memperbaiki
sejumlah masjid, diantaranya Masjid Al-Mas, bahkan juga membangun Masjid
Sakran. Habib Abubakar tidak pemah jemu berjuang untuk kejayaan Islam dan
Alawiyyin.65
Habib Ali bin Abubakar Shahab sebagai ketua Jamiat Kheir, juga ikut
mendorong organisasi ini ketika pindah dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KH
Mas Mansyur, Tanah Abang). Kegiatan organisasi ini kemudian meluas dengan
mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar
bersama-sama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di

64
Sayyid bin Abu Bakar, Rihlatul Asfar Otobiografi, terj. Ali Yahya, (tanpa penerbit,
2000), h. 16
65
http://benmashoor.wordpress.com/2008/08/08/perkumpulan-jamiat-kheir-1901-
%E2%80%93-1919/
44

Jalan Karet dan putri (banat) di Jalan Kebon Melati (kini Jl. Kebon Kacang Raya),
serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi, Senen.

2) Sayid Ali bin Abdurrahman Alhabsyi66


Beliau adalah Habib „Ali bin „Abdur Rahman bin „Abdullah bin
Muhammad al-Habsyi. Lahir di Kwitang, Jakarta, pada 20 Jamadil Awwal 1286H /
20 April 1870M. Ayahanda beliau adalah Habib „Abdur Rahman al-Habsyi
seorang ulama dan dai yang hidup zuhud, manakala bunda beliau seorang wanita
sholehah bernama Nyai Hajjah Salmah puteri seorang ulama Betawi dari Kampung
Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur.
Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan
di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menikah di Semarang. Dalam pelayaran
kembali ke Pontianak, ia wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib
Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali Kwitang, datang dari Hadramaut
lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para
sultan dari klan Algadri.
Habib „Abdur Rahman ditakdirkan menemui Penciptanya sebelum sempat
melihat anaknya dewasa.Beliau meninggal dunia sewaktu Habib „Ali masih
kecil.Sebelum wafat, Habib „Abdur Rahman berwasiat agar anaknya Habib „Ali
dihantar ke Hadhramaut untuk mendalami ilmunya dengan para ulama di
sana.Tatkala berusia lebih kurang 11 tahun, berangkatlah Habib „Ali ke
Hadhramaut. Tempat pertama yang ditujunya ialah ke rubath Habib „Abdur
Rahman bin „Alwi al-‟Aydrus. Di sana beliau menekuni belajar dengan para
ulamanya, antara yang menjadi gurunya ialah Shohibul Mawlid Habib „Ali bin
Muhammad al-Habsyi, Habib Hasan bin Ahmad al-‟Aydrus, Habib Zain bin „Alwi
Ba‟Abud, Habib Ahmad bin Hasan al-‟Aththas dan Syaikh Hasan bin „Awadh.
Beliau juga berkesempatan ke al-Haramain dan meneguk ilmu dari ulama di sana,
antara gurunya di sana adalah Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi (Mufti
Makkah), Sayyidi Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati, (pengarang I‟aanathuth
Thoolibiin yang masyhur) Syaikh Muhammad Said Babsail, Syaikh „Umar
Hamdan dan ramai lagi.

66
Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Ikapi, 1992), H. 480-481
45

Ia dikenal sebagai penggerak pertama Majelis Taklim di Tanah Betawi.


Majelis taklim yang digelar di Kwitang, Jakarta Pusat, merupakan perintis
berdirinya majelis taklim-majelis taklim di seluruh tanah air.Majelis taklim Habib
Ali di Kwitang merupakan majelis taklim pertama di Jakarta.Sebelumnya, boleh
dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim.Karena selalu
dibayang-bayangi dan dibatasi oleh pemerintah kolonial, Belanda.
Setiap Minggu pagi kawasan Kwitang didatangi oleh puluhan ribu jamaah
dari berbagai pelosok, tidak hanya dari Jakarta saja namun juga dari Depok, Bogor,
Sukabumi dan lain-lain. Bagi orang Betawi, menyebut Kwitang pasti akan teringat
dengan salah satu habib kharismatik Betawi dan sering disebut-sebut sebagai
perintis majelis Taklim di Jakarta, tiada lain adalah Habib Ali bin Abdurrahman
bin Abdullah Al-Habsyi atau yang kerap disapa dengan panggilan Habib Ali
Kwitang.
Menurut beberapa habib dan kiai, majelis taklim Habib Ali Kwitang akan
bertahan lebih dari satu abad. Karena ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan
tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan nilai-nilai keluhuran budi atau
akhlakul karimah. Habib Ali, kata mereka, mengajarkan latihan kebersihan jiwa
melalui tasawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki, gibah,
ataupun fitnah.Sebaliknya, almarhum mengembangkan tradisi AhlulBait, yang
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak setiap manusia tanpa
membedakan status sosial.
Dua tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang yang saat itu masih
berusia 11 tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. – sesuai wasiat ayahandanya
yang kala itu sudah wafat. Tempat pertama yang dituju adalah rubath Habib
Abdurrahman bin Alwi Alaydrus. Di majelis mulia itu ia juga membaca kitab
kepada Habib Hsan bin Ahmad Alaydrus, Habib Zen bin Alwi Ba‟abud dan Syekh
Hasan bin Awadh bin Makhdzam.
Di antara para gurunya yang lain di Hadramaut yaitu Habib Ali bin
Muhammad Al-Habsyi (penyusun Simthud Durar), Habib Ahmad bin Hasan
Alatas (Huraidah), dan Habib Ahmad bin Muhsin Al-Hadar (Bangil). Selama 4
tahun, Habib Ali Kwitang tinggal di sana, lalu pada tahun 1303 H/1886 M ia
pulang ke Betawi.
46

Pulang dari Hadramaut, ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya (mufti
Batavia), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat, Bogor), Habib Alwi bin
Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin
Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan), Habib Ahmad bin Muhammad Al-
Muhdhor (Bondowoso).
Ketika terjadi perang di Tripoli Barat (Libya), Habib Utsman menyuruh
Habib Ali Kwitang untuk berpidato di masjid Jami‟ dalam rangka meminta
pertolongan pada kaum muslimin agar membantu umat Islam yang menderita di
Tripoli.Padahal pada waktu itu, Habib Ali Kwitang belum terbiasa tampil di
podium. Tapi, dengan tampil di podium atas suruhan Habib Utsman, sejak saat itu
lidahnya fasih dalam memberikan nasehat dan kemudian ia menjadi dai.67
Tokoh-tokoh pahlawan Nasional yang pernah menjadi anggota perkumpulan
Jamiat Kheir, diantaranya:

a. Raden Umar Said Tjokroaminoto.


b. R. Jayanegara, Hoofd Jaksa Betawi, anggota nomor 352.
c. R.M. Wiriadimaja, Asisten Wedana Rangkasbitung, anggota
nomor 661.
d. R. Hasan Djayadiningrat, anggota nomor 273.
e. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, anggota nomor
770.

6. Hubungan Jamiat Kheir dengan Lembaga lainnya


Jamiat Kheir melakukan hubungan dengan lembaga lainnya ketika memang
Jamiat Kheir membutuhkan perlengkapan untuk keperluan pendidikan.Misalnya
untuk keperluan bahan bacaan, pengurus Jamiat Kheir mengadakan hubungan
dengan luar negeri seperti Turki, Mesir dan Singapura. Tahun 1908 mulailah
mengadakan hubungan dengan pemimpin dari surat kabar dan majalah luar negeri,
antara lain:

67
Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir.
47

a. Dengan Direktur surat kabar Al-Muayyad, di Cairo, Mesir yaitu Ali Yusuf.
Beliau memberikan informasi mengenai perkembangan Islam di luar negeri
dan kegiatan Jamiat Kheir di Indonesia.
b. Dengan Direktur surat kabar Al-Liwa, Mesir, Affandi Kamil, saudara Ali
Kamil.
c. Dengan Direktur surat kabar As-Siasah al-Musawarah, Mesir, Abdul
Hamid Zaki.
d. Dengan Direktur surat kabar Samarastul Alfunun, Beirut, Ahmad Hasan
Tabarah.
e. Dengan surat kabar al-Ittihad Al-Utsmani, Turki.
f. Majalah al-Iman, Singapura.68

Jamiat Kheir juga mempunyai hubungan dengan organisasi di dalam negeri saat
itu, seperti:
a. Budi Utomo
b. Sarikat Islam pada tahun 1916. Sayyid Abdullah bin Husein Alatas adalah
seorang pengurus Jamiat Kheir yang selalu ikut dalam rapat Sarikat Islam
di Jakarta.
c. Jong Islamiten Bond (Persatuan Pemuda Islam).

B. JAMIAT KHEIR MERESPON BERBAGAI KEBIJAKAN NEGARA


1. MASA PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

a. Kebijakan Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada


dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi muslim
terpelajar. Pendidikan Islam dianggap sebagai wahana yang memupuk sumber
semangat perjuangan rakyat.Untuk itu pemerintah kolonial Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan umum yang memberikan ketentuan-ketentuan
pengawasan terhadap sekolah agama (Mohammedaans God Dients Onderwijs)

68
Dokumen Resmi Yayasan Jamiat Kheir.
48

dengan Staadblaad 1818 No. 4, yang menyebutkan pengajaran agama harus seijin
Gubernur Jenderal.69

Hal tersebut juga dijelaskan oleh Mansur dan Mahfud Junaedi, dalam
bukunya yang berjudul Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia bahwa
Pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka macam sekolah, ada yang
bernama Sekolah Dasar, Sekolah Kelas II, HIS, MULO, AMS dan lain-lain.
Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan pelajaran umum, tidak
memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait dengan kebijakan
pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa
setiap guru agama harus minta izin dahulu.70

Ketentuan tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa sekolah


agama menjadi alat meninggikan akhlak rakyat dan menjadi sumber semangat
perjuangan rakyat menentang penjajahan.71Islam juga mengajarkan hukum-hukum
Islam kepada kaum muslimin baik laki-laki ataupun perempuan, tua maupun muda,
tanpa membedakan umur, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan
dalam hal pendidikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan merupakan
hak setiap warga negara, tanpa membeda-bedakan martabat, usia maupun jenis
kelamin seseorang.72Hal ini berbeda dengan kebijakan pemerintah Kolonial yang
dikeluarkan dalam bentuk kebijakan Pendidikan yang mengatur juga mengenai
pendidikan Islam.

Bagi Pemerintah Hindia Belanda, pendidikan tidak hanya bersifat


pedagogik kultural, tapi juga bersifat psikologis politis.73Pendidikan dianggap
begitu vital dalam upaya mempengaruhi budaya masyarakat. Melalui pendidikan
ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat,
sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Di lain pihak,

69
A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Bandung : Mizan, 1998),
hal.71.
70
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 51
71
A. Malik Fadjar, Op. Cit.
72
Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, (Surabaya: al-
Izzah, 1996), h. 43
73
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta : LP3ES, 1984), hal. 49.
49

pandangan tersebut juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap


perkembangan lembaga pendidikan Islam. Muatan keagamaan pada pendidikan
Islam pada akhirnya akan menambah semangat kritis umat Islam terhadap sistem
kebudayaan yang dibawakan oleh kaum penjajah.

Tidak dipakainya sistem pendidikan Islam oleh pemerintah kolonial


Hindia Belanda, sebagaimana yang ditulis oleh Karel A. Steenbrink, juga karena
pertimbangan aspek metodiknya yang tidak baik. Seperti dikutip oleh Steenbrink,
seorang Inspektur pendidikan pribumi, JA Van Chijs, pada tahun 1865 memberi
alasan:

“Walaupun saya sangat setuju kalau sekolah pribumi diselingi


dengan kebiasaan pribumi (pendidikan pesantren), namun saya tidak
menerimanya karena kebiasaan tersebut (membaca teks Arab
dengan hafalan tanpa pengertian) terlalu jelek, sehingga tidak dapat
dipakai dalam sekolah pribumi.”74

Selain itu, diasingkannya pendidikan Islam oleh pemerintah Hindia


Belanda, karena konsekuensinya yang justru tidak menguntungkan kepentingan
politik Hindia Belanda sendiri.Pendidikan Islam dalam prakteknya lebih
menekankan kepada aspek keimanan dan keyakinan dalam beragama, yang secara
langsung memberi rangsangan dan motivasi untuk melawan penjajah dan
pemerintahan yang kafir.Dalam mengawasi pendidikan Islam pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan kebijakan penerbitan Ordonansi Guru. Ordonansi Guru
dikeluarkan pada tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama untuk meminta
dan memperoleh ijin terlebih dahulu dari pemerintah Hindia Belanda sebelum
melaksanakan tugasnya sebagai guru.75

Ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah


Hindia Belanda untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur
agama Islam, berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, kecuali Yogyakarta dan

74
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam Dalam
Kurun Modern, (Jakarta : LP3ES, 1994),hal. 3
75
Aqib Suminto, Op. Cit. hal. 51.
50

Solo.Latar belakang penerbitan ordonansi guru ini bersifat politis guna menekan
pendidikan Islam sehingga tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat
terhadap penjajah.

Bagi umat Islam, ordonansi guru dirasakan sebagai kebijakan yang tidak
sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam, tetapi juga mengurangi
peranan pendidikan Islam di Indonesia.Dalam prakteknya, Ordonansi Guru
tersebut dapat dipergunakan untuk menekan ajaran Islam, karena dikaitkan dengan
ketertiban dan keamanan.Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama
dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan
keamanan.

Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru mengalami perubahan dengan


dikeluarkannya Ordonansi Guru yang kedua pada tahun 1925, dari keharusan guru
agama mendapatkan surat ijin menjadi keharusan guru agama untuk melapor dan
memberitahu kepada pemerintah Hindia Belanda.76 Ordonansi guru yang kedua ini
tidak hanya berlaku untuk Jawa dan Madura saja, tapi berlaku pula untuk wilayah
Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado dan Lombok.77

Namun demikian, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya, ordonansi


guru yang kedua itupun digunakan untuk menghambat gerakan umat Islam.
Peristiwa yang dialami oleh Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu
Palembang membuktikan hal tersebut. Pada saat itu, pengurus pusat
Muhammadiyah akan meresmikan sekolah Muhammadiyah, tetapi dilarang secara
mendadak dengan alasan keamanan dan ketertiban, meskipun sudah
memberitahukan rencana tersebut kepada Residen Palembang.78

Selain ordonansi guru, pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan


ordonansi sekolah liar.Ketentuan dalam ordonansi sekolah liar mengatur bahwa
penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pemerintah.

76
Aqib Suminto, Op. Cit, hal. 53-54.
77
Ibid.
78
Ibid., hal. 5.
51

Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah harus


diberikan secara berkala.Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk
menutup kegiatan pendidikan tersebut.Bagi lembaga pendidikan Islam seperti
pesantren dan madrasah, ketentuan tersebut sangat memberatkan. Lembaga
pendidikan Islam belum memiliki aturan yang rapi dan terorganisasi, daftar murid
dan guru maupun mata pelajaran. Ordonansi ini dengan sendirinya menjadi
penghambat bagi pendidikan Islam.

Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda


tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua corak, defensif dan progesif.79Corak
defensif ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia
Belanda terhadap sistem pendidikan Islam. Sikap tersebut terlihat dalam sistem
tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak dengan pemerintah Hindia
Belanda. Di samping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren
dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi
benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang
pendidikan. Dengan posisi defensif tersebut, pesantren pada kenyataannya bebas
dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda meskipun dengan resiko harus
terasing dari perkembangan masyarakat modern.

Selain bersifat defensif, corak responsi umat Islam juga bersifat progresif,
yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda tersebut merupakan
kesetaraan dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum.
Ketergantungan pada tekanan penjajah akan semakin melemahkan posisi
pendidikan Islam. Begitupun sebaliknya, membiasakan sikap defensif terus
menerus akan semakin memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan
Hindia Belanda. Dalam hal ini diperlukan upaya sekolah ala Belanda, tetapi tidak
meninggalkan akar keagamaannya. Usaha dari upaya tersebut adalah tumbuh dan
berkembangnya sekolah Islam atau madrasah di berbagai wilayah, baik di Jawa
maupun luar Jawa.

79
H. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999), hal. 11.
52

Masyarakat yang sebelumnya hanya memiliki pilihan belajar di lembaga


pendidikan tradisional, mulai mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah-
sekolah Hindia Belanda. Sekolah-sekolah Hindia Belanda dalam prakteknya
menawarkan pola pendidikan yang berbeda dengan pendidikan Islam tradisional,
yang terfokus pada pelajaran agama dan metode hafalan. Sekolah Hindia Belanda
memberikan pelajaran membaca, menulis dan menghitung, yang tidak terdapat
pada pendidikan Islam tradisional. Hal itu membuat pendidikan Islam tradisional
tidak dapat mengimbangi perkembangan sekolah-sekolah Hindia Belanda.

Pada tahun 1907, baru didirikan sekolah untuk anak pribumi


Islam.sekolah ini dibagi dalam 6 model dasar Sekolah Dasar. Somersono Mestoko
seperti dikutip oleh Ahmad Mansur, menjelaskan bahwa system pendidikan pada
masa pemerintah kolonial Belanda terbagi dalam tiga tahapan studi dan kejuruan.80

(1) Lager Onderwijs / pendidikan rendah

(2) Middelbarg Onderwijs / Pendidikan Lanjutan

(3) Hooger Onderwijs / Pendidikan Tinggi

(4) Vakonderwijs / Pendidikan Kejuruan

Walaupun hanya sekolah dasar, tidak setiap rakyat pribumi dapat sekolah
dengan begitu saja. Prioritas utama hanya diperuntukkan kepada anak bangsawan.
Diskriminasi terjadi antara sekolah HIS ( Hollansch Indische School), sekolah
rakyat dengan ELS (Europsche Lager School), sekolah untuk kalangan Belanda
dan bangsawan, baik dalam pendanaan, bentuk bangunan sekolah, seragam dan
lain-lain. Secara sistemis pendidikan dijadikan media penciptaan stratifikasi social
yang feodalistis.81

Pada pertengahan abad ke 19 pemerintah Belanda mulai


menyelenggarakan pendidikan model Barat yang diperuntukkan bagi orang-orang
Belanda dan sebagian kecil orang Indonesia (terutama kelompok berada), sejak itu
tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. selanjutnya

80
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamandani Pustaka Semesta,
2010), cet. 3, h. 307
81
Ibid, h. 308
53

pemerintah memberlakukan politik etis yang mendirikan dan menyebarluaskan


pendidikan rakyat sampai pedesaan. Belanda tidak mengakui para lulusan
pendidikan tradisional, sehingga mereka tidak bisa bekerja di pabrik maupun
sebagai tenaga birokrat.Pada tahun 1925 muncul juga peraturan bahwa Kiai tidak
boleh memberikan pelajaran.Peraturan itu besar sekali pengaruhnya dalam
menghambat perkembangan pendidikan Islam.82

b. Reaksi Jamiat Kheir terhadap Kebijakan Pemerintah Kolonial


Belanda

Ketika jiwa kebangkitan Nasional mulai masuk ke dalam jiwa bangsa


Indonesia, Penjajah Belanda menjadi semakin cemas. Mereka berusaha untuk
memadamkan api semangat bahkan mengasingkan mereka-mereka yang dianggap
berbahaya terhadap kelangsungan hidup penjajahan di Indonesia. Namun,
semangat kemerdekaan itu terus menyala dalam jiwa bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia mulai sadar bahwa kemerdekaan akan sulit dicapai bila hanya
mengandalkan perjuangan di medan laga saja. Pejuang-pejuang dan kaum
cendekiawan kemudian mulai merintis jalan untuk berupaya merintis perjuangan di
medan politik. Dengan lahirnya organisasi-organisasi social, baik di bidang
perekonomian maupun di bidang pendidikan, serta lahirnya partai-partai politik di
Indonesia, merupakan awal dari perjuangan di bidang politik.

Menilik kondisi pendidikan pada masa Belanda tersebut, maka para


pemimpin masyarakat Arab yang progresif merasa terpanggil untuk mengadakan
perbaikan-perbaikan tersebut. Lahirnya Jamiat Kheir pada tahun 1901, mempunyai
spesifikasi tersendiri bila dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam sebelumnya
dalam pemikirannnya. Perbedaan dapatlah dipahami, karena setiap gerakan
mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam meninjau kenyataan, serta
mempunyai titik tolak sendiri-sendiri.Oleh karena itulah, Jamiat Kheir mendapat
simpati dari umat Islam.

82
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 51
54

Hal tersebut membuat Penjajah Belanda menjadi cemas, dan kemudian


menuduh bahwa Jamiat Kheir akan mengadakan pemberontakan. Berdasarkan
tuduhan tersebut, Belanda kemudian menyerbu rumah-rumah para pemimpin
Jamiat Kheir dan memenjarakan beberapa diantara mereka.Pemerintah Belanda
kemudian melarang Jamiat Kheir untuk membuka cabang diluar Jakarta.

Menurut Dr. Karel Steenbrink, dalam bukunya Beberapa Aspek Tentang


Islam di Indonesia Abad ke-19, mengatakan bahwa pemerintah Belanda melakukan
pembagian penduduk Indonesia menurut bangsanya. Walaupun sepanjang sejarah,
golongan Arab sudah menjadi peranakan dan dalam beberapa generasi
mengasimilasikan diri kepada orang pribumi. Namun, oleh pemerintah Belanda
dipisahkan secara resmi dengan alasan untuk „melindungi‟ kaum pribumi. Tetapi
alasan yang pasti adalah alasan politik (adanya dugaan kemungkinan untuk
mendorong pemberontakan) dan alasan ekonomis, yaitu adanya keharusan untuk
membayar pajak lebih banyak daripada orang pribumi.83

Orang-orang Arab di Indonesia banyak menulis surat-surat kabar di Mesir,


Syam, dan Asitanah, yang isinya menentang Belanda, dan membangkitkan
semangat untuk mengadakan perlawanan. Kekhawatiran Belanda terhadap
semangat perjuangan yang dihembuskan orang-orang Arab di Indonesia
menyebabkan mereka mengeluarkan larangan bagi orang-orang Arab untuk
berpindah dari satu daerah ke daerah lain kecuali dengan izin, bahkan Jawa Tengah
menjadi daerah terlarang bagi orang-orang Arab.84

Jamiat Kheir, yang berdirinya tidak mendapat izin dari pemerintah Hindia
Belanda pada saat itu, tidak dapat merealisir program-programnya yang telah
diinventarisir, seperti menolong fakir miskin, menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran bagi anak-anak, membentuk lembaga perkawinan dalam artian formal,
menolong anggota Jamiat Kheir yang tertimpa musibah dan sebagainya. Maka dari

83
Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 128.
84
Ibid, h. 8
55

itu, para pengurusnya terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk mendapatkan


pengakuan resmi berdirinya organisasi tersebut.85

Pada tahun 1903 Jamiat Kheir mengajukan permohonan kepada pemerintah


Hindia Belanda agar dapat diakui sebagai sebuah organisasi yang legal. Surat
permohonan itu ditandatangani oleh Said Basandit, Sayid Muhammad Al-Fakhir
Al-Mansur sebagai sekretaris dan Idrus bin Ahmad sebagai bendahara. Pada tahun
1905 M izin dari pemerintah Belanda keluar, dengan syarat tidak boleh membuka
cabang di luar Jakarta.

Pada bulan April tahun 1906 Jamiat Kheir mengajukan surat permohonan
untuk mendirikan Madrasah dan balai pertemuan karena ada larangan bagi Jamiat
Kheir untuk membuka cabang di luar Jakarta, maka Jamiat Kheir mengangkat
beberapa orang wakil guna mencapai mufakat dalam menyamakan serta
mempersatukan tujuan dan pelaksanaan kerja. Pada bulan ini juga Jamiat Kheir
mengajukan surat permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
mendirikan sekolah.

Pada tahun 1909, Jamiat Kheir untuk pertama kali membuka sebuah
madrasah yang memberikan pengajaran secara gratis. Memberikan pendidikan
kepada para bapak dan ibu secara rutin setiap minggu dan juga mengupayakan agar
pemerintah Hindia Belanda menghapus larangan bagi bangsa Arab untuk
bepergian ke luar Jakarta.

Tahun 1910, Jamiat Kheir membina bangunan kos untuk para pelajar.
Besarnya biaya kos dibedakan antara yang mampu dan yang tidak mampu. Bagi
yang tidak mampu terutama anak-anak yatim tidak dikenakan biaya bahkan
diupayakan untuk pakaian dan makanannya. Jamiat kheir juga mengupayakan
zakat.86

Jamiat kheir sebagai organisasi Islam yang bergerak dalam bidang


pendidikan, tidak hanya meningkatkan sarana fisik semata, peningkatan mutu

85
Ibid, h. 9
86
Ibid, h. 10
56

pendidikanpun terus diusahakan, demikian pula peningkatan dalam bidang


dakwahnya.

Adapun usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah


mendirikan perpustakaan dan percetakan huruf Arab, demikian pula dalam bidang
dakwahnya, yaitu dengan menerbitkan surat kabar harian yang diberi nama
“Utusan Hindia”, di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokro Aminoto.87

2. MASA PEMERINTAH JEPANG


a. Kebijakan Pendidikan Pada Masa Pemerintah Jepang
Tidak lama setelah Jepang menggantikan Belanda, Jepang mengadakan
perubahan di bidang Pendidikan, diantaranya menghapuskan dualisme pengajaran,
yang berarti menghapus dualistis pendidikan yang diterapkan oleh Belanda.
Dengan begitu Jepang bermaksud untuk mengambil hati rakyat Indonesia dan
Pemerintah Jepang selalu berdalih bahwa pendidikan itu tidak ada perbedaan
antara golongan satu dengan golongan lainnya.88
Pada masa pendudukan Jepang ini, menurut Nafilah Abdullah dalam
jurnalnya Gerakan Jamiat Kheir 1900-1942, mengatakan bahwa Ulama dan Haji
dijadikan sebagai partner yang dapat dipercaya. Mereka diberikan peran untuk ikut
serta dalam politik dan pemerintahan.Memang cukup luar biasa, kalau ulama
dijadikan sebagai kekuatan dalam bidang pemerintahan, yang hal itu berbeda sekali
dengan penjajah Kolonial Belanda. Hal itu dilakukan Jepang karena mereka
memandang bahwa penduduk Indonesia terutama Jawa sebagian besar adalah
muslim, dan ulama dipandang memiliki posisi lebih tinggi dan lebih besar
pengaruhnya daripada posisi pemimpin yang hanya berdasarkan nasionalis.
Usaha lain yang dilakukan Jepang terkait sepak terjangnya di Nusantara,
yaitu mengirimkan mahasiswa untuk mempelajari Islam ke Arab dan Mesir, dan
mereka juga tak segan-segan untuk mendatangkan guru-guru Islam, baik dari
Timur Tengah maupun dari Asia, untuk datang ke Jepang. Jepang juga
menerbitkan jurnal berbahasa Arab untuk disebarkan ke luar negeri dan pada tahun
1935 mendirikan mesjid pertama di Kobe.89

87
Ibid, h. 18
88
Mansur dan Mahfud Junaedi, Op.Cit., h.60
89
Jurnal Ilmiah, Nafilah Abdullah, Gerakan Jamiat Kheir 1900-1942, h. 55
57

Pendidikan pada masa Jepang disebut Hakku Ichiu yakni mengajak bangsa
Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran Asia Raya.Oleh
karena itu, bagi setiap pelajar terutama setiap pagi hari harus mengucapkan
sumpah setia kepada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran.
Sistem sekolah pada zaman Jepang yaitu hanya ada satu sekolah rendah
diadakan bagi semua lapisan masyarakat yang bernama Kokumin Gakko yang
berlangsung selama enam tahun. Sekolah-sekolah desa berganti nama menjadi
Sekolah Pertama. Adapun susunan pengajaran menjadi: pertama, Sekolah Rakyat
enam tahun (termasuk sekolah pertama). Kedua,sekolah menengah tiga tahun.
Ketiga, sekolah menengah tinggi tiga tahun (SMA pada zaman Jepang).90
Setelah Jepang merasa dirinya telah kokoh pada tempat mereka berpijak
dan merasa pula kalau dirinya merupakan suatu kekuatan yang tiada tandingannya,
mulailah mereka melakukan ekspansinya. Keluarlah Dekrit dari Letnan Jenderal
Imamura Panglima pertama di Jawa yang berisi larangan semua aktivitas yang
berhubungan dengan politik Indonesia, demikian juga melarang kegiatan diskusi
dan organisasi yang berhubungan dengan admintistrasi politik negeri.

Sekolah-sekolah swasata ditutup, baru dibuka kembali pada bulan April


1942, yaitu setelah kaum muslimin mengadakan protes terpadu atas diitutupnya
sekolah-sekolah tersebut. Tidak demikian dengan nasib yang dialami oleh kaum
muslimin keturunan Arab di Indonesia, sekolah-sekolah mereka mendapat
peraturan tersendiri, karena dalam pandangan Jepang pengaruh Arab sama
mengganggu dan asingnya dengan pengaruh Belanda.91

b. Respon Jamiat Kheir terhadap Kebijakan Pendidikan Pemerintah


Jepang

Masyarakat Arab yang merasa Indonesia ini merupakan tanah dan tempat
kelahirannya sudah barang tentu tidak menerima atas diskriminasi dan pandangan
Jepang terhadap mereka. Protes masyarakat Arab pun tidak terelakkan terhadap
penguasa baru ini. Setelah melalui perdebatan diantara kedua belah pihak, akhirnya
pemerintah mengizinkan kembali dibukanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh

90
Mansur dan Mahfud Junaedi, Op.Cit., h. 60
91
Jurnal Ilmiah, Nafilah Abdullah, Gerakan Jamiat Kheir 1900-1942, h. 58
58

masyarakat Arab, tetapi dengan syarat bahasa Jepang harus dimasukkan ke dalam
kurikulum sekolah.

Karena kecurigaan Jepang terhadap pengaruh Islam umumnya dan bahasa


Arab khususnya sangat mendalam, maka Kantor Pendidikan Daerah Istimewa
Jakarta (Tokubestushie) mengeluarkan peraturan baru, yang isinya melarang
pengajaran bahasa Arab di semua sekolah-sekolah swasta, terutama sekolah
masyarakat Arab yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa pelajaran umum.

Peraturan tersebut benar-benar memancing kemarahan kaum muslimin,


karena bagi mereka dilarangnya pengajaran bahasa Arab sama artinya dengan
melarang belajar Al-Qur‟an khususnya dan pelajaran Islam umumnya. Di Jakarta
pengurus Jamiat Kheir dan para pengurus madrasah lainnya bersama-sama
mendatangi Kantor Pendidikan Daerah, mereka mengharap agar peraturan larangan
pengajaran bahasa Arab segera dicabut kembali. Tidak lama kemudian, yaitu
setelah Jepang menyadari bahwa tidak mungkin mengikat hak muslim untuk
mengajarkan Al-Qur‟an sebagai bahasa suci tersebut, Jepang pun mencabut
peraturan tersebut.92

Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan baru untuk mencapai


Nipponisasi, yaitu larangan pengajaran agama yang tidak wajib di sekolah-sekolah
lanjutan negeri, hal ini terjadi pada Mei 1943. Menurut Harry J. Benda seperti
dikutip oleh Nafillah Abdullah, semua guru-guru Islam diorganisisr dalam suatu
Badan Pusat “Pergaboengan Goeroe Islam Indonesia”.

Pada bulan Juli 1943, pemerintah militer mengeluarkan dekrit yang berisi
semua pendidikan harus diatur oleh pemerintah. Dengan adanya peraturan tersebut,
maka pemerintah Jepang mengatur kurikulum untuk semua sekolah. Bahasa
Jepang menjadi pelajaran pokok, para ulama dipaksa melakukan bersaikerei, yaitu
membungkukkan badan ke arah matahari terbit setiap pagi.

Para pengurus Jamiat Kheir melihat kondisi seperti ini segera mengambil
sikap, yaitu setelah para guru-guru dikumpulkan, mereka sepakat untuk
92
Ibid, h. 59.
59

menghentikan kegiatan Yayasan Jamiat Kheir untuk sementara waktu sampai


situasi tenang. Hal ini masih terjadi pada tahun 1943.

Dengan demikian, jelaslah bahwa perkembangan Jamiat Kheir pada masa


pemerintah Jepang tidak banyak mengalami kemajuan. Hal ini juga mempersulit
proses modernisasi sekolah agama termasuk Jamiat Kheir. Yayasan Pendidikan
Jamiat Kheir secara terus menerus selalu mendapat peraturan, dibuka kemudian
ditutup, begitu seterusnya. Keadaan seperti itu tidak hanya berlaku bagi Jamiat
Kheir, sekolah-sekolah yang lain pun mengalami hal yang serupa, sehingga sulitlah
bagi kaum modernis untuk menyelamatkan sekolah-sekolah agama dari gelombang
serangan Japanisasi, dan tamatlah riwayat-riwayat sekolah-sekolah swasta. Jadi,
demikian jelas bahwa pada masa Pemerintah Jepang, Jamiat Kheir tidak ingin
mengikuti kebijakan untuk upacara hormat ke matahari terbit, karena jelas itu
merupakan akidah bagi orang Jepang dan menurut Jamiat Kheir, sebagai orang
Islam tidak boleh untuk mengikuti aturan tersebut.93

3. MASA PEMERINTAHAN ORDE LAMA


a. Kebijakan pendidikan pemerintah masa Orde Lama tahun 1945-
1965

Sejak awal kemerdekaan pemerintah membentuk kementrian Pendidikan,


Pengajaran dan kebudayaan (KPP dan K). Khusus untuk mengelola pendidikan
agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum, maka bulan Desember 1946,
dikeluarkan surat keputusan bersama (SKB) antara menteri PP dan K dan Menteri
Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah
umum baik negeri maupun swasta, yang berada dibawah asuhan Kementrian PP
dan K.

Sejak itulah terjadi dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan


agama dan pendidikan umum. Satu pihak, Departemen Agama mengelola semua
jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama, maupun di sekolah-
sekolah umum, dan di pihak Departemen P dan K mengelola pendidikan pada

93
Ibid, h. 59-61.
60

umumnya dan mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan system pendidikan


nasional.

Peraturan bersama dua Menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri


Pendidikan & Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan
mulai kelas IV Sekolah Rakyat sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan
di Indonesia belum mantap sehingga SKB Dua Menteri belum berjalan dengan
semestinya.94

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pertama yang dikeluarkan


oleh pemerintah seelah kemerdekaan, yakni Undang-Undang No. 4 Tahun 1950,
belum secara spesifik memberikan ketentuan khusus dalam hal pengaturan
terhadap lembaga pendidikan Islam. Meskipun demikian Undang-Undang ini telah
memberikan pengakuan terhadap kedudukan sekolah agama (madrasah), yakni
seperti tercantum dalam pasal 10 ayat 2 undang-undang tersebut, bahwa “belajar di
sekolah agama yang telah mendapatkan pengakuan dari Menteri Agama dianggap
telah memenuhi kewajiban belajar.”

Sebelum ditetapkannya undang-undang tersebut, Menteri Agama telah


mengeluarkan ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap madrasah sebagai
salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam, yakni Peraturan Menteri Agama No.
1 Tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 19 Desember 1946 tentang pemberian
bantuan dan subsidi terhadap madrasah.95

Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 kemudian disempurnakan


dengan Peraturan Menteri Agama No.7 Tahun 1952 yang berlaku untuk seluruh
wilayah Republik Indonesia. Peraturan ini membagi jenjang madrasah menjadi tiga
tingkatan, yaitu Madrasah Rendah yang kemudian menjadi Madrasah Ibdtidaiyah
dengan masa belajar 6 tahun; Madrasah Tingkat Lanjutan Pertama yang kemudian
menjadi Madrasah Tsanawiyah dengan maa belajar selama 3 tahun dan diikuti oleh
lulusan madrasah rendah; dan Madrasah Lanjutan Atas yang kemudian menjadi
Madrasah Aliyah dengan lama belajar 3 tahun dan diikuti oleh lulusan Madrasah

94
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), cet. Ke-10, h. 153-
154
95
Nurhayati Djamas, dinamika kebijakan pendidikan islam di Indonesia, h. 179
61

Tsanawiyah. Penjenjangan madrasah merupakan langkah pengaturan system dan


kelembagaan pendidikan Islam yang sebelumnya longgar ke dalam bentuk system
klasikal.96

Pada tahun 1950 di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh
Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia
makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh
Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen
P&K. hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951.
Isinya ialah:
a. Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat
(Sekolah Dasar).
b. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya di
daerah Sumatra, Kalimantan, dan lain-lain), maka pendidikan
agama diberikan mulai dari kelas I SR dengan catatan bahwa mutu
pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan
dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai
kelas IV.
c. Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (Umum
dan Kejuruan) diberikan Pendidikan Agama sebanyak 2 jam
seminggu.
d. Pendidikan Agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10
orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali
muridnya.
e. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi
pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai
berikut: “melaksanakan Manipol Usdek (Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia)
dibidang mental/agama/kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar
setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan

96
Zuhairini, dkk, Op.Cit., h. 180
62

Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing” (Bab II


pasal II: I). dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa : “pendidikan agama
menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah
(dasar) sampai universitas”, dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta
dalam pendidikan agama jika wali murid/ murid dewasa menyatakan
keberatannya.”

Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi, suasana pada waktu itu ialah
membersihkan sisa-sisa mental G.30 S/PKI.Dalam keputusannya di bidang
pendidikan agama telah mengalami kemajuan yaitu dengan menghilangkan kalimat
terakhir dari keputusan yang terdahulu.Dengan demikian maka sejak tahun 1966
pendidikan agama telah menjadi hak wajib mulai dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi umum negeri di seluruh Indonesia.97

b. Respon Jamiat Kheir Terhadap Kebijakan Pemerintah Orde Lama

Menyerahnya Jepang pada tanggal 14 Agustus1945 kepada sekutu, berarti


ia harus datang menyerahkan kekuasaannya kepada sekutu, dan sekaligus berarti
Jepang memberikan konsesi politik kemerdekaan kepada Indonesia.

Tiga hari setelah Jepang menyerah, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 jam
10.00 proklamasi kemerdekaan dikumandangkan di Gedung Pegangsaan Timur.
Dengan dipertahankannya proklamasi kemerdekaan, berarti bangsa Indonesia telah
lepas dari segala rongrongan penjajah di bumi Nusantara ini.

Sekolah-sekolah yang pada masa pendudukan Jepang telah ditutup kini


mulai dibuka kembali.Demikian pula dengan Yayasan pendidikan Jamiat
Kheir.Dalam hal ini pengurus Yayasan segera memanggil kembali guru-guru dan
murid-muridnya yang telah lama sudah tidak mengajar dan mengikuti pelajaran.

Menurut keterangan yang penulis dapatkan dari Ustadz Syaugi Al-Gadri,


bahwa Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir terpaksa harus merangkak dari bawah,
karena banyak diantara murid-murid tersebut terutama mereka yang datang dari
jauh tidak mendaftarkan diri kembali. Namun begitu, pada awal dibuka kembali

97
Ibid, h. 154-155.
63

sekolah, banyak murid-murid baru yang mendaftarkan dirinya, terutama dari


Jakarta. Dan respon yang dikeluarkan Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir mengenai
kebijakan pemerintah Orde Lama terhadap pendidikan Islam tidak berpengaruh
sama sekali, karena peraturan tersebut dikeluarkan untuk sekolah yang berada di
bawah pemerintah langsung atau sekolah Negeri, sementara Jamiat Kheir
merupakan sekolah swasta Islam yang memang sebagian besar muatan materi yang
diajarkan kepada anak didik sebagian besar berupa ilmu agama, seperti Bahasa
Arab, Hadits, Al-Qur‟an dan lain-lain. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa
pembaharuan yang dilakukan Jamiat Kheir pada masa Orde Lama tidak terlalu
signinfikan terasa karena fokus terhadap pembukaan kembali sekolah setelah
vakum.98

4. JAMIAT KHEIR MENGHADAPI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


PADA MASA SEKARANG

Peraturan pemerintah sekarang masih berhubungan dengan undang-undang


yang dibuat pemerintah pada tahun 1976, yaitu usaha untuk menyamakan mutu
pendidikan umum dan madrasah, yaitu dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
Bersama 3 Menteri, antara Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam Surat Keputusan Bersama tersebut,
dinyatakan bahwa ijazah Madrasah disamakan dengan ijazah sekolah umum yang
sederajat. Kemudian diikuti oleh Surat Keputusan Bersama dua Menteri, yaitu
antara Menteri Agama (No. 045/1984) dengan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (No.0299/U/1984), tentang perembukan Kurikulum Sekolah Umum
dan Kurikulum Madrasah. Dalam Surat Keputusan Bersama tersebut dinyatakan
bahwa lulusan Madrasah dapat dan boleh melanjutkan ke sekolah-sekolah umum
yang lebih tinggi.

Mengenai kondisi Jamiat Kheir sekarang, melalui wawancara langsung


dengan Ustadz. Syaugi Al-Gadri, beliau sebagai Ketua Harian di Yayasan
Pendidikan Jamiat Kheir sekarang menyatakn bahwa Jamiat Kheir sekarang
98
Hasil wawancara dengan Habib Syaugi Al-Gadri, Jamiat Kheir.
64

mengikuti kurikulum Departemen Agama dan mengenai muatan materinya dapat


dikatakan hampir 100% berisi muatan materi Agama Islam. Hal itu terlihat dari
muatan materi pendidikan yang diberikan, yaitu:

a. Bahasa Arab n. Faraidh


b. Qur‟an Hadits o. Tahfidzul Qur‟an
c. Nahwu Shorof p. Imla
d. Balaghah q. Insya
e. Ilmu Falaq r. Khat
f. Tafsir dan ilmu tafsir s. Matematika
g. Hadits dan ilmu hadits t. Olahraga
h. Qiraatul Kutub u. Kimia
i. Bahasa Inggris v. IPA/Biologi
j. Bahasa Indonesia w. Sosiologi
k. Aqidah Akhlak x. Fisika
l. Fiqih dan Ushul fiqih y. PKN
m. Sejarah Kebudayaan Islam z. TIK

Sarana dan prasarana yang terdapat di Jamiat Kheir sekarang yaitu gedung
milik sendiri, Perpustakaan, Ruang Aula, Laboratorium Komputer, Laboratorium
bahasa, Laboratorium fisika, biologi dan kimia, Lapangan volley dan lapangan
basket, kantin serta koperasi.99

Program ekstrakurikuler yang diselengarakan di Jamiat Kheir antara lain, yaitu:

- Kesenian marawis
- Kaligrafi
- Muhadharah 3 bahasa (Arab, Inggris, Indonesia)
- Drumband
- Pramuka
- Pencak silat
- Bola basket

99
Dokumen Resmi dari Yayasan Jamiat Kheir.
65

- Volley
- Qasidah
- Dan lain-lain

Buku Kitab/Pegangan yang digunakan di Jamiat Kheir, yaitu:

a. Najhul Lughoh100
b. Tashrif
c. Al-Aqoid Diniyyah
d. Durusul Fiqhiyah
e. Al-Muntakhobat al-Mahfudhot
f. Al-Qiroah Rosyidah
g. Al-Akhlak lil banin wal Banat
h. Silsilah at-Ta‟lim at-Ta‟bir
i. Silsilah at-Ta‟lim an-Nahwu
j. Silsilah at-Ta‟lim ash-Sharf
k. Ta‟lim Muta‟lim
l. Al-Hushun al-Mutaalim
m. Qira‟ah Tajridiyah
n. An-Nahwul Wadhih
o. Al-Qiroah Jadidah

Kebijakan pemerintah mengenai Ujian Nasional, Jamiat Kheir mengikuti


juga proses Ujian Nasional tersebut dan menurut Ketua Harian tersebut, dinyatakan
bahwa Jamiat Kheir selalu meluluskan 100% siswanya.

Dalam proses pembelajaran Jamiat Kheir dari awal berdiri sampai sekarang
tetap memisahkan kelas, bahkan gedung dan wilayah untuk siswa laki-laki dan
perempuan terpisah. Hal itu tetap dipegang secara kuat, sama seperti kitab-kitab
yang digunakan, dari awal berdiri sampai sekarang masih menggunakan kitab yang
sama.

100
Dokumen Resmi dari Yayasan Jamiat Kheir.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pembaharuan yang dilakukan oleh Jamiat Kheir merupakan semangat


untuk melakukan perbaikan dan mengisi kekosongan yang dialami oleh kaum
muslimin, terutama dalam hal pendidikan pada masa pemerintah Belanda dengan
berperan sebagai pelopor pembaharuan lembaga pendidikan.Pada masa pemerintah
Belanda dengan undang-undang yang diskriminatif, Jamiat Kheir bisa mengatasi
keadaan dan mendapat izin, meski lingkup gerak dibatasi oleh pemerintah Belanda.
Di tengah kondisi seperti itu, Jamiat Kheir menjadi contoh untuk pergerakan yang
lainnya dalam hal mengelola pendidikan yang modern, di samping memang Jamiat
Kheir adalah wadah awal juga bagi tokoh-tokoh pelopor pergerakan lain setelah
Jamiat Kheir.

Pada masa selanjutnya yaitu pada masa pemerintahan Jepang, dari tahun
1942-1945, Jamiat Kheir mengalami stagnanisasi dan pembekuan kegiatan, hal itu
dikarenakan pemerintah Jepang memang sangat berhati-hati terhadap masyarakat
Arab yang dianggap bukan warga Negara Indonesia asli, juga dikarenakan
pengurus-pengurus Jamiat Kheir ikut berperan dalam meraih kemerdekaan.

66
67

Selanjutnya pada masa mengisi kemerdekaan, Jamiat Kheir membuka


kembali dari awal dengan mengubah pergerakan, yang semula berbentuk gerakan
organisasi kemasyarakatan menggantinya dnegan Yayasan Pendidikan Islam. Pada
masa ini, Jamiat Kheir lebih bersikap mengikuti peraturan yang sudah menjadi
kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan dan Jamiat Kheir sekarang kondisinya
tidaklah sama seperti awal yang mempunyai semangat melakukan pembaharuan
lembaga pendidikan, Padahal pendidikan di Indonesia belumlah menemukan
model pendidikan yang ideal.

Menilik pembaharuan yang dilakukan Jamiat Kheir, semua sejarawan, baik


sejarawan Indonesia maupun sejarawan luar atau kaum Orientalis, sepakat bahwa
Jamiat Kheir merupakan pelopor dalam pembaharuan lembaga pendidikan.Hal itu
terlihat dalam berbagai argumentasi dan fakta yang menggambarkan keberadaan
sekolah-sekolah pada tahun awal berdirinya sekolah Jamiat Kheir masih dalam
suasana pembelajaran yang tradisional.Sekolah yang ada pada masa itu, belum
menggunakan sistem kelas, masih menggunakan aula besar sebagai ruang belajar
bersama, masih menggunakan metode wetonan, sorogan atau hafalan dan yang
terpenting adalah belum ada sistem kurikulum yang teratur dan adminstrasi yang
rapi.

B. IMPLIKASI
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan referensi yang memadai
mengenai sejarah perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara pada awal abad
ke-20, dan khususnya mengenai perkembangan lembaga pendidikan Islam Jamiat
Kheir yang masih sangat minim data-datanya.
Saya sebagai peneliti berharap bias memberikan implikasi yang bagus
untuk mengisi kekosongan data mengenai sejarah perekembangan Pendidikan
Islam pada awal abad ke-20 dan juga bagi poenulis pribadi bisa melecutkan
semangat untuk terus meneliti mengenai Pendidikan Islam yang masih sedikit
terutama mengenai sejarah pendidikannya.
C. SARAN

Hal yang sangat penting untuk disampaikan adalah proses pembaharuan


dan ekssistensi Yayasan Jamiat Kheir, yaitu:
68

1. Membuat inovasi baru untuk pengembangan pendidikan Islam supaya lebih


unggul lagi dibandingkan dengan lembaga pendidikan Islam yang sekarang
banyak menjamur dengan kekhasannya masing-masing.
2. Melakukan pembaharuan kembali seperti awal mula berdirinya Jamiat
Kheir, memberikan lebih luas kontribusi keislaman dengan semaksimal
mungkin melalui berbagai media yang semakin memudahkan pergerakan
pembaharuan.
3. Menciptakan dan meluluskan siswa/siswi yang mempunyai akhlak dan
basic keagamaan yang kuat dan teguh memegang agama Islam, karena hal
itu akan menjadi pegangan kelak ketika siswa menginjak proses belajar di
tingkat selanjutnya.
4. Sistem pendidikan sekarang, yang masih menggunakan dualism
pendidikan, diharapkan tidak berimbas pada lembaga pendidikan Jamiat
Kheir. Jadi, penulis berharap agar Jamiat Kheir memegang teguh dengan
visi dan misi yang telah dibuat.
5. Memberikan contoh untuk lembaga pendidikan lainnya mengenai integrasi
keilmuan, antara keilmuan Islam dan keilmuan umum, meski sebenarnya
ilmu itu tidak terpisahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung.Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.

Ali, Mohmmad Daud dan Daud, Habibah.Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia.


Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1995.

Ali, Sayyid Abu Bakar bin.Rihlatul AsfarOtobiografi.tt.p.: t.p, 2000

Assegaf, Abdur Rahman. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press,


2007.

Baghdadi,Abdurrahman al-. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Surabaya:


al-Izzah, 1996.

Boland, BJ. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafiti Press, 1985.

Daulay, Haidar Putra.Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam


di Indonesia.Jakarta: Prenada Media Group, 2007.

Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Fadjar, A. Malik.Madrasah dan Tantangan Modernitas.Bandung : Mizan, 1998.

Gottschalk, Louis.Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press, 2008.

Hamalik, Oemar. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan


System.Jakarta:Bumi Aksara, 2005.

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada, 1995.

Kurniawan, Syamsul dan Mahrus,Erwin.Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan


Islam.Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

69
70

Maksum.Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya.Jakarta: Logos Wacana Ilmu,


1999.

Mansur dan Junaedi, Mahfud.Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di


Indonesia.Jakarta: Departemen Agama RI, 2005.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


RosdaKarya, 2010.

Nasution, Harun dkk.Ensiklopedi Islam Indonesia.Jakarta: Ikapi, 1992.

-------. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah dan Gerakan.Jakarta: Penerbit Bulan


Bintang, 1975.

Noer, Deliar.Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES,


1991.

Nurdin, “Pembaruan Pemikiran Islam.tt.p.: t.p., 2006.

Ramayulis dan Nizar, Syamsul.Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam.Jakarta:


Quantum Teaching, 2005.

Ramayulis.Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2008.

Safwan, Mardanas dan Kutoyo, Sutrisno.K.H. Ahmad Dahlan.,Jakarta: Mutiara


Sumber Widya, 1999.

Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam Dalam


Kurun Moder.Jakarta : LP3ES, 1986.

----------- Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.

Sudirman Tebba, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun


Nasution,(Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989)

Suminto, Aqib.Politik Islam Hindia Belanda.Jakarta : LP3ES, 1984.


71

Suryanegara,Ahmad Mansur.Api Sejarah.Bandung: Salamandani Pustaka Semesta,


2010.

Suwito. Et al. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005.

Wibisono, Fattah.Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam.Jakarta:


Rabbani Press, 2009.

Zuhairini, dkk.Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Jurnal Ilmiah Religi, Vol. VII, No.1, Januari 2008, Nafilah Abdullah, Gerakan
Jamiat Kheir 1900-1942.

http://benmashoor.wordpress.com/2008/08/08/perkumpulan-jamiat-kheir-1901-
%E2%80%93-1919/
KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-098

UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010


FORM (FR)
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1

HASIL WAWANCARA

Wawancara dengan Pengurus Harian JAMIAT KHEIR, Bapak, H. Ahmad Syaugi


Algadri, pada hari rabu, 20 Maret 2013.

Pertanyaan : Bagaimana peran awal Jamiat Kheir bagi pendidikan Islam di


Nusantara?

Jawab : Jamiat Kheir awal mula berdirinya adalah sebagai organisasi massa,
yang memiliki anggota dan setiap anggota-anggotanya memiliki kartu
anggota dan tercatat di kepengurusan. Jamiat kheir sebagai organisasi
massa, maka memiliki program-program social kemasyarakatan,
misalnya membantu fakir miskin, kaum dhuafa dan lain-lain. Di
samping itu, Jamiat Kheir juga memiliki program untuk pendidikan
Islam, dengan mendirikan sekolah Jamiat Kheir. Kita juga sudah
mengetahui bahwa jamiat kheir adalah pelopor pendidikan modern
pertama di Indonesia, yang kala itu belum ada lembaga pendidikan
yang modern, umumnya lembaga pendidkan pada masa itu berbentuk
surau, pondok dengan system pendidikan yang belum tersusun secara
sistematis dan teratur. Jamiat kheirlah pelopornya dengan sekolah yang
memakai kurikulum yang teratur, penggunaan bangku dan meja, papan
tulis, belajar di kelas, serta mendatangkan guru dari luar negeri. Di
situlah peran Jamiat Kheir dalam pendidikan awal di nusantara.

Pertanyaan : awal berdiri Jamiat Kheir bertepatan pada masa penjajahan


pemerintah Kolonial Belanda, peran apa yang telah dilakukan Jamiat
Kheir untuk tetap memberikan pendidikan Islam kepada kaum muslim
yang pada saat itu sangat minim mendapat pengajaran Islam?
KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-098

UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010


FORM (FR)
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1

HASIL WAWANCARA

Jawab : jamiat kheir setelah mendapatkan surat legalisasi dari pemerintah


Belanda pada masa itu, melakukan upaya pendidikan Islam dengan
memberikan pengajaran yang memang muatan penuhnya mengenai
Islam, seperti pengajaran bahasa Arab, dan ilmu-ilmu umum pun tidak
ketinggalan untuk diberikan tapi dengan bahasa pengantarnya
menggunakan bahasa Arab. Sebagai tambahannya dengan memberikan
pengajaran bahasa Inggris dan Jamiat Kheir tidak memberikan
pengajaran Bahasa Belanda karena Jamiat Kheir anti-penjajahan. Pada
masa itu pula Jamiat Kheir membuka hubungan korespondensi yang
memang sebelumnya sudah ada, dengan dunia Islam internasional
melalui instansi-instansi resmi seperti dengan Negara Mesir, Aljazair,
Irak dan Negara-negara yang lainnya. Belanda memang
menganaktirikan pengajaran Islam tapi, Jamiat Kheir yang memang
sudah khas tidak terpengaruh dengan kebijakan Pendidikan pada masa
Belanda karena kebijakan tersebut berlaku untuk lembaga pendidikan
umum.

Pertanyaan : bagaimana peran Jamiat Kheir pada masa pemerintahan Jepang?

Jawab : pada masa pemerintahan Jepang jamiat Kheir vakum untuk sementara
waktu karena pada masa itu guru-guru Jamiat Kheir ikut berperang
untuk melawan penjajah Jepang, dan dulu sekolahnya masih di Pekojan
belum pindah ke kebon Kacang di Tanah Abang yang seperti sekarang
ini.

Pertanyaan : setelah kemerdekaan Indonesia, mulai banyak bermunculan lembaga


pendidikan dan pemerintah Orde Lama pun memberikan kebijakan
KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-098

UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010


FORM (FR)
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1

HASIL WAWANCARA

mengenai pendidikan Islam begitu diskriminasi dan dualism,


bagaimana Jamiat Kheir menghadapi situasi seperti itu?
Jawab : setelah kemerdekaan dengan mentri Pendidikannya Daud Yusuf,
mengeluarkan kebijakan mengenai lembaga pendidikan Islam yang
harus mengikuti kurikulum pemerintah, maka Jamiat Kheir pun ikut ke
kurikulum pemerintah supaya lulusannya mendapat ijazah yang sah,
dan pada masa itu yang masih bertahan dengan kurikulum sendiri
hanya pondok pesantren Gontor dan Darurahmah. Kurikulum tersebut
berlaku untuk madrasah, dimana muatannya harus pendidikan Islam
70% dan pendidikan umum 30%. Setelah SKB 3 Mentri, Jamiat Kheir
terus berjalan dengan pendidikan dan pengajarannya sampai sekarang,
bahkan sekarang Jamiat Kheir sudah 100% pendidikan Islam karena
kurikulumnya sudah KTSP. Dan perlu diketahui bahwa banyak
lembaga pendidikan yang namanya sama Jamiat Kheir, tapi sebenarnya
lembaga pendidikan tersebut tidak memiliki hubungan organisasi atau
kepengurusan dengan Jamiat Kheir di Tanah Abang. Pada waktu saya
pergi ke daerah Kalimantan Barat, ada yayasan yang bernama Jamiat
Kheir, pas ditanya memang yang mempunyai yayasan tersebut adalah
alumni dari Jamiat Kheir.
Pertanyaan : pada tahun 1965 terkenal dengan pemberontakan G 30S/PKI, apakah
Jamiat Kheir melibatkan diri dalam pergolakan tersebut?
Jawab : iya, pada masa itu Jamiat Kheir sudah bukan sebagai Organisasi
Massa Islam lagi, tapi sejak setelah kemerdekaan, Jamiat Kheir berubah
menjadi Yayasan Pendidikan, dan tidak ikut dalam ranah politik
praktis. Maka, Jamiat Kheir tidak ikut terlibat dalam pergolakan itu,
yang terasa hanya suasana yang menegangkan. Pengurusnya tidak ada
yang tertangkap sama sekali.
SUSUNAN PENGURUS AWAL JAMIAT KHEIR

ABDULLAH BIN HUSEIN ALAYDRUS

Berkedudukan sebagai Bendahara


SAYID MUHAMMAD ABDURRAHMAN BIN SYAHAB

Berkedudukan sebagai Sekretaris


SAYID IDRUS BIN AHMAD BIN SYAHAB

Berkedudukan sebagai Anggota


ABUBAKAR BIN ABDULLAH ALATAS

Berkedudukan Sebagai Anggota


SAYID ABU BAKAR BIN ALI BIN SYAHAB

Berkedudukan sebagai Ketua


SAYID ABUBAKAR BIN MUHAMMAD ALHABSYI
Berkedudukan sebagai Anggota
SAYID ALI BIN ABDURRAHMAN ALHABSYI

Berkedudukan sebagai Anggota

Anda mungkin juga menyukai