Anda di halaman 1dari 77

KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA

DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Disusun Oleh :

YUNITA SEPTIANI
106011000208

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA
DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan


untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Oleh
Yunita Septiani
NIM. 106011000208

Di bawah Bimbingan
Dosen Pembimbing Skripsi

Eri Rosatria, M.Ag


NIP. 19477017 196608 2 001

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA


DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN” diajukan kepada Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqasyah pada tanggal 16 Maret
2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjan
S1 (S. Pd. I) dalam Bidang Pendidikan Islam

Jakarta , 16 Maret 2011


Panitia ujian Munaqasyah

Tanggal Tanda Tangan

Ketua Panitia (Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam)


(Bahrissalim, M. Ag) ………. ….................
NIP. 19680307 199803 1 002

Sekretaris (Sekretaris Jurusan Pendidikan)


(Drs. Sapiudin Shidiq, M.Ag) ………. ….................
NIP. 19680328 200002 1 001

Penguji I
(Dra. Djunaidatul Munawaroh, M.Ag) ………. ….................
19580918 198701 2 001

Penguji II
(Ahmad Irfan Mufid, M.A) ………. ….................
19740318 20031 2 002

Mengetahui
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA


NIP. 19751005 198703 1 003
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 3
C. Tujuan Penulisan ............................................................... 3
D. Manfaat Penulisan ............................................................. 3
E. Metodologi Penulisan ........................................................ 3
F. Kajian yang Relevan ........................................................... 4
G. Teknik Penulisan ................................................................ 4

BAB II KONDISI SOSIAL BUDAYA DAN POLITIK


MASYARAKAT BAGHDAD
A. Kondisi Sosial-Budaya masyarakat Baghdad ...................... 5
B. Kondisi Politik Masyarakat Baghdad ................................. 7

BAB III BIOGRAFI AL-MA’MUN


A. Al-Ma’mun dan Latar Belakang Keluarganya .................... 11
1. Latar Belakang Orang Tua Al-Ma’mun ........................ 11
B. Kehidupan Al-Ma’mun ...................................................... 13
1. Masa Kecil Al-Ma’mun ............................................... 13
2. Masa Remaja dan Dewasa Al-Ma’mun ........................ 14
C. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah ................................... 21
1. Asal mula Munculnya Paham Mu’tazilah ..................... 22
2. Prinsip-prinsip Ajaran Kaum Mu’tazilah ...................... 24
3. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah .............................. 25

iv
BAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN KHALIFAH
AL-MA’MUN DALAM MENGEMBANGKAN ILMU
PENGETAHUAN
A. Gerakan Penerjemahan ...................................................... 28
1. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan
penerjemahan ............................................................... 28
2. Munculnya Gerakan Penerjemahan .............................. 30
3. Tokoh-tokoh penting dalam gerakan Penerjemahan ...... 32
B. Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar ............................. 35
1. Upaya Khalifah Al-Ma’mun dalam Pengembangan
Kegiatan Belajar Mengajar ........................................... 35
C. Pengembangkan Instituti Pendidikan .................................. 40

BAB V HASIL YANG DICAPAI KHALIFAH AL-MA’MUN


DALAM MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN
A. Berkembangnya Baitul Hikmah ......................................... 42
B. Berkembangnaya Berbagai Cabang Ilmu Pengetahuan pada
Masa Khalifah Al-Ma’mun ................................................ 47
1. Faktor-faktor yang menyebabkan Pesatnya
Perkembangan Sains dan Filsafat ................................. 47
2. Perkembangan cabang-caban Ilmu Pengetahuan ........... 48
3. Munculnya Tokoh-tokoh Penting dalam berbagai
Bidang Ilmu pengetahuan ............................................. 56

BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 65
B. Saran ................................................................................. 66

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 67

v
KATA PENGANTAR

   

Teruntai pujian penuh rasa syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat,
taufik dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul “KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA DALAM
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN”. Shalawat teriring salam penulis
sampaikan kepada sang revolusioner nabi besar Muhammad SAW, beserta
keluarga dan para sahabatnya.
Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam rangka menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan dan bimbingan dalam berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen
pembimbing seminar proposal skripsi beserta staff Fakultas yang telah
membantu secara administratif sehingga mempelancar penyusunan skripsi
ini.
2. Bapak Bahrissalim, M.A dan bapak Sapiudin Shidiq, M. Ag, Ketua dan
Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) beserta staff.
3. Ibu Hj. Eri Rosatria MA, Dosen Pembimbing skripsi yang telah
menyediakan waktu, pikiran dan tenaganya untuk memberikan bimbingan,
pengarahan dan petunjuknya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
4. Bapak Abdul Ghofur, MA, Dosen Penasehat Akademik yang dengan penuh
perhatian telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi serta ilmu
pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.
5. Bapak pimpinan dan karyawan/karyawati Perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dan

i
Perpustakaan Imam Jama yang telah memberikan pelayanan dan pinjaman
buku-buku yang sangat penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.
6. My Best Teacher, ayahanda K. H. Moch. Barzach Hidayat M. A dan
Uminda Hj. Suryati
7. Ayahanda dan Ibunda yang dengan tenaga, peluh keringat dan air mata
serta iringan do’a juga semangat sehingga mampu membuat ananda tetap
teguh berjuang mencapai salah satu hal terbaik dalam hidup.
8. All brothers and sisters (A’ Din Haidi Sutrisna, Teh Yuhaeni, A’ Kosasih,
A’ Azru, A’ Hendy, Bank Bogem, Yanuar Huda, Dhe Ncexs, Dhe Mhedy,
Dhe Handy, Dhe Zaenal, Dhe Mely, Dhe Mput, Dhe Muhyi, Dhe Ipay, Dhe
Chory, Iif dan Ipul) terimakasih untuk perhatian, kesabaran, semangat,
kemanjaan, kerepotan, waktu, canda tawa dan air mata yang membuat
penulis merasa berarti.
9. My Power Ranger, Phoel”(Ranger Ungu), Nenk Fathia (Ranger Merah),
Nienk (Ranger Hijau), Nona Timas (Ranger Pink), dan Cyta (Ranger Biru)
moga kita tetap bisa berkumpul membasmi rasa jenuh, bosan, pusing dan
capek dengan sejuta petualangan.
10. My Favorit class, warga masyarakat E angkatan tahun 2006 yang penuh
cerita (Sya”, Dhe”, Try, Wati, Qi”, Wely, Sule, Ozi, Shofi, Syifa, Ujank,
Aan, Emy, dll)
11. Team rusuh di Jurusan, pak Faza, Fuzie, Ina, Arif, Iwat, K’Adhe, dan
Imunk. Moga keberadaan kita bikin sejarah perubahan di jurusan. Team
Lab. FITK (P’Yudhi, P’ Tanenji, P’Irfan, K’Iwan, bu Yati, Eka, Ephee, dan
Linda) yang beda tempat tapi tetap kompak.
12. Sahabat spesial yang pernah hadir dan mengisi hari dalam kehidupan
penulis walaupun hanya sejenak namun mampu menghadirkan berbagai
rasa bahagia, kecewa, sedih, sakit, sepi, jenuh. Terima kasih untuk
semuanya.
13. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terima
kasih atas segala bantuan, perhatian dan semangat yang diberikan kepada
penulis.

ii
Demikianlah semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda
kepada semuanya atas kebaikan yang telah diperbuat. Akhirnya penulis berharap
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya.

Jakarta, April 2011

Penulis

iii
ABSTRAK

Yunita Septiani, Khalifah Al-Ma’mun dan Jasanya dalam


Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Khalifah al-Ma’mun merupakan salah satu khalifah daulah Abbasiyah
yang termasuk ke dalam The Golden Age (zaman keemasan). Selama masa
pemerintahannya banyak hal yang beliau lakukan khususnya dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan,
paham Mu’tazilah yang turut mempengaruhi pemikirannya, dan pengaruh
pemikiran Persia yang tidak lain adalah daerah asal ibunya sedikit banyak
mempengaruhi pemikiran al-Ma’mun. kedudukan akal yang sangat dijunjung
tinggi yang juga membuat al-Ma’mun banyak melakukan pembaharuan dan
terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Gerakan
penerjemahan yang sudah dimulai oleh khalifah al-Manshur kembali digalakkan
pada masa al-Ma’mun. Al-Ma’mun tidak segan-segan memberi imbalan besar
kepada para penerjemah. Para pejabat pada masanya juga diwajibkan menguasai 2
bahasa, para pelajar dan ilmuan diberi fasilitas untuk melakukan rihlah ilmiah
bahkan ketika menaklukkan suatu daerah bukan harta benda yang jadi fokus
utama al-Ma’mun melainkan manuskrip-manuskrip yang dimiliki oleh daerah
tersebut yang akan dipinjam Al-Ma’mun untuk kemudian diterjemahkan dan
dijadikan koleksi tambahan di Baitul Hikmah. Baitul Hikmah yang dibangun oleh
ayahnya Harun ar-Rasyid juga tidak luput dari perhatian beliau, keberadaan Baitul
Hikmah begitu dimanfaatkan oleh al-Ma’mun sebagai tempat untuk para ilmuan
berdiskusi, juga sebagai tempat berkembanganya ilmu pengetahuan. Dari kegiatan
itulah muncul berbagai cabang ilmu pengetahuan dan para ilmuan yang sangat
berguna bagi perkembangan umat Islam.
Kata kunci : Khalifah al-Ma’mun, Jasanya dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejarah merupakan hal yang tidak boleh dilupakan sepanjang
perjalanan hidup manusia, karena keberadaan sejarah dapat membuat manusia
belajar untuk dapat hidup lebih baik. Sejarah yang pernah terjadi terkadang
terulang kembali pada masa kini dengan atau tanpa disadari.
Salah satu sejarah Islam yang cukup menarik perhatian adalah sejarah
Daulah Abbasiyah yaitu daulah atau kerajaan yang muncul setelah daulah
Umayyah. Tidak seperti daulah sebelumnya yang lebih mengutamakan
kekuatan militer dalam pemerintahannya, pada daulah Abbasiyah
mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat menjadi hal yang sangat diperhatikan terutama pada masa
pemerintahan beberapa khalifah.
Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbas berada pada masa Khalifah
Harun Al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun, yang disebut “Masa Keemasan
Islam” (The Golden Age of Islam). 1
Walaupun sempat diwarnai perang saudara namun pemerintahan al-
Ma’mun tidak kalah megah dan maju dengan kepemimpinan ayahnya Harun
ar-Rasyid. Bahkan beliau melanjutkan perkembangan Baitul Hikmah yang

1
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h. 40

1
2

telah dibangun Harun ar-Rasyid menjadi pusat ilmu pengetahuan. Baitul


Hikmah digunakan sebagai tempat diskusi dan musyawarah untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang hasilnya sangat bermanfaat untuk
kerukunan masyarakat.
Selain itu, pada masa ini, gerakan penerjemahan sangat digalakkan.
Dari gerakan penerjemahan inilah mulai banyak bermunculan hasil karya para
ilmuan yang karyanya diberi imbalan dengan gaji atau emas setara dengan
berat karya mereka. Minat membaca masyarakat yang juga cukup tinggi turut
membuat perkembangan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya.
Paham Mu’tazilah yang juga sangat mempengaruhi pemikiran al-
Ma’mun membuat dia sangat menjunjung tinggi kegunaan akal sehingga
memunculkan berbagai macam upaya dan penemuan baru untuk menunjang
perkembangan ilmu pengetahuan.2
Perhatiannya yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuanlah yang
kemudian memunculkan berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Para dermawan pada saat itu pun tak ragu untuk membelanjakan
hartanya untuk membantu para penuntut ilmu dan para ilmuan dalam
melakukan perjalanan (Rihlah Ilmiah) demi untuk mendapatkan bahan yang
dapat menambah khazanah keilmuan mereka.
Dapat dikatakan pada masa itu para penuntut ilmu dan para ilmuan
benar-benar berada dalam masa kejayaan ilmu pengetahuan. Dari kerja keras
merekalah kemudian bermunculan berbagi macam karya yang tidak hanya
berguna tapi sangat membanggakan umat Islam.
Dari latar belakang masalah di atas maka penulis menuangkan dalam
bentuk skripsi yang berjudul “KHALIFAH AL-MA’MUN DAN JASANYA
DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ”.

2
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta : Mizan, 1996), Cet
Ke-IV, H. 128
3

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Agar permasalahan terarah, maka masalah pokok yang akan diteliti
dalam penulisan skripsi ini adalah jasa dan hasil yang dicapai khalifah Al-
Ma’mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka permasalahan yang
dapat dirumuskan adalah “Apa saja jasa dan hasil yang dicapai khalifah Al-
Ma’mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan?”

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan maka penulisan ini
bertujuan untuk mengetahui sejarah khalifah Al-Ma’mun dan jasa-jasa serta
hasil yang dicapai khalifah Al-Ma’mun dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan yang dilakukan pada masanya yang membuat khalifah Al-
Ma’mun menjadi salah satu khalifah yang paling gemilang pada masa
pemerintahan Daulah Abbasiyah.

D. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan
khususnya dalam bidang sejarah dan sebagai bahan kajian untuk penelitian
selanjutnya.

E. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan ini penulis menggunakan library research atau
penelitian kepustakaan (Deskriftif Analitif), yaitu meneliti, menghimpun dan
mengkaji beberapa literatur dan kepustakaan yang ada relevansinya dengan
masalah yang akan dibahas dalam penyusunan skripsi ini.
Adapun sumber primer dalam penulisan skripsi ini adalah Sejarah
dan Kebudayaan Islam karya Ahmad Syalaby. Sedangkan sumber sekunder
dalam penulisan skripsi ini adalah Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa
Klasik hingga Modern karya Dudung Abdurrahman, kitab Al-Kamil fit-Tarikh
4

karya Ibnul Atsir, Sejarah Kekuasaan Islam karya Fa’al M. Fahsin, , Pasang
Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah karya Fadil SJ, dan lain-lain.

F. Kajian yang Relevan


Dalam proses penulisan skripsi ini penulis belum mendapatkan kajian
yang relevan selama proses penelitian dan penulisan, yang membahas tentang
khalifah al-Ma’mun secara khusus.

G. Teknik Penulisan
Untuk teknik penulisan skripsi ini penulisan berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi , Tesis dan Disertasi, oleh UIN Jakarta Press,
2009.
BAB II
KONDISI SOSIAL BUDAYA
DAN POLITIK MASYARAKAT BAGHDAD

A. Kondisi Sosial-Budaya Masyarakat Baghdad


Masa kejayaan peradaban Islam, ditandai oleh kebhineka tunggal ika-
an, dalam berbagai aspek peradaban. Diwarnai oleh keberagaman dalam
bidang kehidupan keagamaan, keberagaman dalam pemikiran-pemikiran
kefilsafatan, keberadaan dalam warna dan corak keseniannya, timbulnya
sistem sosial politik yang diwarnai oleh peradaban dan budaya local yang
berbeda-beda, dengan tingkat perekonomian serta ilmu pengetahuan, serta
tekhnologi yang beragam yang kesemuanya saling mendukung dan dijiwai
sama, yaitu mewujudkan kesejahteraan hidup umat manusia lahir batin, dunia
akhirat.1
Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagiannya disebabkan oleh
stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi kerajaan ini. Pusat kekuasaan
Abbasiyah berada di Baghdad. Daerah ini bertumpu pada pertanian dengan
sistem irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai
Teluk Persia. Perdagangan juga menjadi tumpuan kehidupan masyarakat
Baghdad yang menjadi kota transit perdagangan antara wilayah timur seperti
Persia, India, China, dan Nusantara dan wilayah barat seperti Negara-negara

1
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang : UIN
Malang Press, 2008) cet. Ke-I, h. 149

5
6

Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju timur melalui
Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Wilayah imperium ini membentang
sepanjang 6.500 kilometer dari Sungai Indus di India di sebelah timur sampai
ke perbatasan barat Tunisia, Afrika Utara di sebelah barat dan selua 3000
kilometer dari Aden, Yaman di selatan sampai pegunungan Armenia,
Kaukasia di utara. Penduduk Daulah Abbasiyah terdiri dari berbagai etnik dan
suku bangsa yang hidup di wilayah yang memiliki cuaca dan kondisi geografis
yang sangat berbeda.2
Khalifah al-Mansur salah satu khalifah daulah bani Abbasiyah dan
pegawai-pegawainya yang mempunyai ide membuat ibukota yang baru itu.
Tempatnya baik, berangin, udaranya nyaman, dibentengi oleh alam asli dari
serangan-serangan musuh, mudah mengadakan hubungan dengan kebanyakan
wilayah-wilayah kerajaan Islam. Letaknya di tebing Sungai Dajlah dan
melalui sungai itulah datang barang-barang dagangan dari India, Sind, Cina,
Basrah, Ahwaz, Mausil, Diar Bakar dan Diar Rabi’ah. 3
Mula-mula yang dibangun ialah dua tembok: tembok sebelah dalam
dan tembok sebelah luar. Ukuran garis bulatan tengah tembok sebelah dalam
ialah 1,200 hasta, tingginya 35 hasta dan lebarnya dari sebelah bawah ialah 20
hasta. Sementara tembok sebelah luar, lebarnya dari sebelah bawah ialah 50
hasta dan dari sebelah atasnya 20 hasta dan tingginya 30 hasta. Lebar di antara
kedua tembok itu ialah 60 hasta. Keseluruhan tembok tersebut mempunyai
gerbang berhadapan dengan empat ruas jalan raya, dan masing-masing
gerbang menghadap ke satu arah tertentu yang masing-masing mempunyai
nama sendiri-sendiri yaitu Gerbang Kufah, Gerbang Basrah, Gerbang
Khurasab dan Gerbang Syam. Di antara tiap-tiap gerbang itu terdapat kubah
dibuat dari emas, di atas setiap kubah terdapat 28 menara.
Pembangunan kota Baghdad menghabiskan dana sebesar 4,000,833
dirham, dan sebagian besar pekerja-pekerja yang terlibat dalam pembangunan

2
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, dari Masa Klasik hingga Modern,
Yogyakarta, LESFI, 2004), Cet. Ke-II, h. 97-98
3
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Pustaka Nasional PTE LTD,
Singapura, 1991), Cet. Ke-III, h.177
7

itu adalah insinyur dan orang-orang kenamaan. Di antarany adalah al-Hajjaj


bin Artaah yang turut merancang pembangunan kota itu, dan Imam Abu
Hanifah yang bertugas menghitung batu-batu yang diperlukan. 4
Kehidupan sosial masyarakat Islam terdiri dari orang muslim dan non
muslim (dzimmi). Dari segi etnis, orang muslim dibedakan atas orang Arab
dan non Arab (‘ajam) seperti keturunan Turki, Persia, Qibthi, Syiria, Barbar,
Andalusia (Vandal) dan lain sebagainya. Kehidupan sosial masyarakat pada
mulanya, menunjukkan adanya struktur kelompok atau kelas yang terdiri dari :
1. Kelas penguasa, yaitu kelompok orang Arab yang memegang kekuasaan;
2. Kelas menengah, yang terdiri dari orang Islam yang bukan Arab
(penduduk asli suatu daerah yang kemudian masuk Islam;
3. Kelompok non-muslim yang berada di bawah perlindungan
pemerintah/kekuasaan Islam, disebut kaum dzimmi;
4. Kelompok kaum pekerja, yang terdiri fari kaum budak belian; namun pada
masa kejayaan peradaban Islam (Abbasiyah) telah terjadi pembauran
antara kelompok-kelompok tersebut. 5
Kemegahan dan kemakmuran Baghdad turut pula membuat peradaban
kamu muslimin semakin maju dan jauh lebih hebat dari peradaban bangsa
Eropa. Kaum muslimin tidak saja mempelajari berbagai macam ilmu
pengetahuan yang didapat dari bangsa Eropa tapi dengan kemahiran,
kecerdasaan, sikap ingin menelaah kaum muslimin berhasil mengembangkan
ilmu pengetahuan tersebut menjadi lebih bermanfaat. Sehingga pada
perkembanggannya kaum muslimin tidak lagi berguru kepada orang-orang
Yunani seperti yang dilakukan sebelumnya.

B. Kondisi Politik Masyarakat Baghdad


Gerakan revolusi Abbasiyah juga mempergunakan suku Arab Selatan,
orang-orang Qais Yaman yang membenci Bani Umayyah karena tersingkir
dari lingkaran kekuasaan Bani Umayyah yang lebih memilih pesaing mereka,

4
Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh,(Beirut : Dar Sader, 1971), jilid 6 h. 178
5
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 154
8

suku Arab dari wilayah Utara, Qais, dan Mudar. Orang-orang Yaman inilah
yang menjadi salah satu tulang punggung kekuatan Abu Muslim al-Khurasani,
jenderal Persia yang menjadi salah satu inti kekuatan gerakan Revolusi
Abbasiyah.
Gerakan penggulingan imperium Umayyah ini sukses berkat
organisasi tentara yang dipersenjatai dan diorganisir dengan baik. Abu Muslim
al-Khurasani dapat mempersatukan dan memimpin pasukan yang terdiri dari
orang Arab dan non-Arab yang diperlakukan secara setara. Dialah yang
memulai pemberontakan terbuka terhadap pemerintahan Bani Umayyah yang
pertama dapat ditaklukkan adalah wilayah Khurasan. Setelah ditalukkan,
wilayah ini menjadi basis kekuatan untuk menaklukan wilayah-wilayah lain di
sekitarnya. 6
Kekuasaan Harun Al- Rasyid amat luas, yang terbentang di daerah-
daerah Laut Tengah di sebelah Barat sampai India di sebelah Timur. Puncak
kejayaaan pemerintahan Bani Abbas pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan
putranya, Al-Ma’mun, yang disebut “Masa Keemasan Islam” (The Golden
Age of Islam). Pada tahun 800 M/184 H Baghdad telah menjadi kota
metropolitan dan kota utama bagi dunia Islam, yakni sebagai pusat
pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran, dan peradaban Islam, serta pusat
perdagangan, ekonomi, dan politik. Pada tahun 791 M, Harun Al-Rasyid, atas
permintaan Ratu Zubaidah, menunjuk ketiga anak laki-lakinya Al-Amin, Al-
Ma’mun, dan Al-Qasim sebagai calon-calon pengganti secara berturut-turut
setelah kematiannya.
Tampaknya di sini kelemahan Harun. Karena sangat sayangnya pada
Zubaidah, ia sering menuruti kemauan isterinya. Untuk memberikan latihan
politik kepada anak-anaknya, Harun membagi imperium ke dalam tiga bagian.
Al-Amin diberi tanggung jawab atas wilayah Barat, al-Ma’mun wilayah
Timur, dan al-Qasim bertanggung jawab atas wilayah Mesopotamia.7

6
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, dari Masa Klasik hingga Modern, h.
99
7
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah,
(Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h. 40
9

Ar-Rasyid membaiat anaknya Muhammad Al-Amin sebagai “Putra


Mahkota” pada hari Kamis bulan Sya’ban 173 Hijriah, dan diberikan
kekuasaan daerah Syam dan Irak. Kemudian juga membaiat anaknya Abdullah
Al-Ma’mun di Ra’fah pada tahun 183 H, dan diberi kekuasaan daerah
Hamdan sampai akhir Masyriq (wilayah timur).8
Ketika masih menjadi putera mahkota, al-Ma/mun diangkat oleh
ayahnya menjadi gubernur di Khurasan dan bertempat tinggal di Marw. Berkat
bantuan wazirnya. Al-Fadhal bin Sahal, popularitas yang diperolah Al-
Ma’mun di daerah Persia semakin lama semakin meningkat yang kemudian
mengakibatkan timbulnya perselisihan dengan kakaknya khalifah Al-Amin.
Oleh Al-Amin, kedudukan Al-Ma’mun sebagai putera mahkota dicopot,
digantikan oleh putera Al-Amin sendiri yang bernama Musa. Pada mulanya
Al-Ma’mun tidak berkeberatan untuk melepaskan kedudukannya tersebut,
namun wazinya, Al-Fadhal bin Sahal mendesaknya untuk menolak tindakan
pemecatan yang dilakukan oleh Al-Amin.9
Ketegangan di antara Al-Amin dan Al-Ma’mun mulai muncul dan
berkembang berkaitan dengan status otonomi Propinsi Khurasan. Para perwira
militer Khurasan yang berada di Baghdad mempengaruhi Khalifah Al-Amin
untuk menguasai propinsi penting ini, meskipun berarti harus menyingkirkan
saudaranya sendiri Al-Ma’mun, dan melanggar piagam Perjanjian Makkah
tahun 186 H/802 M. Desakan militer ini juga didukung oleh Al-Fadhl bin Ar-
Rabi, hajib istana yang telah menjadi orang kepercayaan khalifah. Selama 2
tahun, pihak Baghdad mendesak Al-Ma’mun agar mau tunduk kepada
kekuasaan khalifah. Al-Ma’mun sendiri sebenarnya tidak melakukan
persiapan yang memadai jika ternyata Baghdad menggunakan kekerasan.
Kekuatan militernya sangat kecil dan kesetiaan mereka juga tidak dapat
diandalkan. Akan tetapi, berkat nasihat menterinya Al-Fadhal bin Sahal, ia
menolak desakan Baghdad. Menurut Al-Fadhal bin Sahal, Al-Ma’mun bekerja

8
Syauqi Abu Khalil, Harun Ar-Rasyid Amirul Khulafa (Pustaka Azzam, Jakarta, 2002), Cet. Ke-
I, h. 53
9
Ensiklopedi Islam, (Departemen Agama RI, Jakarta, 1988), h. 124
10

sama dengan para kepala suku dan pemimpin golongan tertentu di Khurasan
yang kurang menyukai dominasi Baghdad atas negeri mereka.10
Perpecahan kedua saudara ini bertambah serius setelah Al-Amin
mengubah isi piagam wasiat Harun Al-Rasyid yang menyatakan bahwa Harun
ar-Rasyid akan melantik al-Ma’mun setelah al-Amin serta meletakkan wilayah
Khurasan hingga Hamdan di bawah pemerintahan al-Ma’mun, namun
Khalifah al-Amin justru mengangkat Isa bin Isa menjadi gubernur Khurasan.
Kemudian, sebuah angkatan perang, yang menurut sebuah riwayat, berjumlah
40 ribu orang, dipersiapkan untuk membebaskan Khurasan. Untuk
menghadapi balatentara yang besar ini, Al-Ma’mun mengangkat Tahir bin Al-
Husain (775-822 M) untuk memimpin satu unit pasukan sekitar 5.000 orang.
Tahir bin Al-Husain sendiri menyatakan bahwa ini merupakan misi bunuh
diri. Akan tetapi, ketika kedua pasukan bertempur di pinggir kota Rayy bulan
Mei 811 M, Ali bin Isa dari pihak Baghdad terbunuh dan pasukannya kocar-
kacir.
Para sejarawan memandang perselisihan antara Al-Ma’mun dan Al-
Amin sebagai perselisihan antara orang-orang Persia dan orang-orang Arab.
Karena dalam perselisihan tersebut, Al-Ma’mun didukung oleh orang-orang
Persia, sedangkan Al-Amin yang ibunya orang Arab didukung oleh orang
Arab. Ini berarti kemenangan “pengaruh” Persia atas pengaruh Arab. 11

10
Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, , 2003) Cet. Ke-II, h. 95
11
Musyarifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, ( Jakarta : Prenada Media, 2003), Cet. I, H.
50
BAB III
BIOGRAFI AL-MA’MUN

A. Latar Belakang Keluarga Al-Ma’mun


1. Latar Belakang Orang Tua Al-Ma’mun
Al-Ma’mun adalah putera dari Harun al-Rashid yang merupakan
putra dari al-Mahdi, ia dilahirkan di Ravy pada Februari 763 M. dia diberi
pendidikan oleh Barmakiy yang berbakat, Yahya bin Khalid. Pada usia 23
tahun, dia menggantikan saudaranya Hadi sebagai Khalifah Abbasiyah
pada September 786 M. Segera setelah diangkat, dia menunjuk Yahya
Barmakiy sebagai Perdana Menteri dan selama 17 tahun kemudian, Yahya
dan empat putranya, memimpin kerajaan dan memegang kekuasaan penuh
atas kekhalifahan Abbasiyah.1
Ibu Harun ar-Rasyid bernama Khaizuran, seorang bekas sahaya
(ummu al-Walad) yang dijadikan permaisuri oleh al-Mahdi. Harun al-
Rasyid berperawakan tinggi, berkulit putih, gemuk dan tampan. 2
Harun ar-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani.
ketika usianya baru dua puluh tahun dia telah melakukan penyerbuan dan
penaklukan negeri Romawi pada masa pemerintahan ayahnya. Selain itu

1
M. Atiqul Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Yogyakarta :
Diglossia, 2007), cet ke- I, h. 273
2
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam (Jakarta : IAIN, 1988), h. 316

11
12

dia juga dikenal sebagai sosok yang takwa dan takut kepada Allah dalam
segala perkara. Dia melakukan ibadah haji sebanyak sembilan kali. 3
Khalifah Harun ar-Rasyid mempunyai 2 sifat yang sangat
berlawanan, ketika marah Harun begitu garang dan menggeletar seluruh
tubuh, dan kalau memberi nasihat, dia menangis tersedu sedan. Harun
mendekati pelawak-pelawak penglipur lara yang karut dan juga pahlawan-
pahlawan yang cakap dan gagah. Sehingga Harun ar-Rasyid
diumpamakan sebagai angin ribut yang kencang dan kadang-kadang pula
sebagai bayu yang bertiup sepoi-sepoi basah. Di sisi lain Harun ar-Rasyid
lebih banyak menggunakan akal dari pada emosi.4
Selain itu, Harun dikenal sebagai sosok khalifah yang selalu setia
mendengarkan nasihat-nasihat dan sering kali menangis karena takut
kepada Allah. Dia adalah salah seorang khalifah yang memiliki sifat-sifat
utama. Dia seorang yang fasih dalam berbicara. Juga salah seorang ulama
di antara mereka dan orang yang paling mulia dan terhormat.
Di antara kerja mulia yang dia lakukan untuk ilmu pengetahuan
adalah pendirian Baitul Hikmah, sebuah akademi yang menjadi mercusuar
ilmu dan peradaban di dunia pada masa itu. Sebuah akademi yang darinya
muncul obor bagi kebangkitan sains di Eropa setelah itu. 5
Harun ar-Rasyid menikah dengan Zubaidah binti Ja’far bin abu
Ja’far Al-Manshur. Zubaidah adalah seorang wanita mulia yang memiliki
wawasan yang luas dan perhatian yang besar terhadap para ulama, penyair
dan dokter. Dia seorang yang cerdik, pintar, fasih dalam berbicara dan
menguasai ilmu balaghah. Dia adalah sepupu Harun ar-Rasyid yang
begitu disayanginya Zubaidah adalah ibu dari al-Amin. Kemudian Harun
menikah lagi dengan Marajil seorang bekas hamba sahaya dari Persia yang
meninggal tidak lama setelah melahirkan al-Ma’mun.

3
Ahmad Al-Uasairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam hingga abad XX, (Jakarta :
Akbarmedia, 2009), cet. Ke-VII, h. 227
4
Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh,(Beirut : Dar Sader, 1971), jilid 6 h. 72
5
Ahmad Al-Uasairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam hingga abad XX, h. 228
13

Harun meninggal pada tahun 193-H/808 M. Dia memerintah selama 23


tahun karena terserang suatu penyakit di suatu tempat bernama Tus ketika
akan menumpas pemberontakan yang dilancarkan oleh Rafi’ bin Laith di
daerah Khurasan.6

B. Kehidupan Al-Ma’mun
1. Masa kecil Al-Ma’mun
Abdullah Abul-Abbas Al-Ma’mun dilahirkan pada tahun 198-218
H/ 813-833 M. Al-Ma’mun dilahirkan enam bulan lebih dulu dari saudara
sebapaknya Al-Amin 194-198 H/809-813 M.7
Al-Ma’mun termasuk putra yang jenius. Sebelum usia 5 tahun ia
dididik agama dan membaca al-Qur’an oleh dua orang ahli yang terkenal
bernama Kasai Nahvi dan Yazidi. Untuk belajar hadits, Harun Al-Rasyid
menyerahkan kedua putranya Al-Ma’mun dan Al-Amin kepada Imam
Malik di Madinah. Kedua putranya itu belajar kitab al-Muwatha, karangan
Imam Malik sendiri dalam waktu yang sangat singkat, Al-Ma’mun telah
menguasai ilmu-ilmu kesustraan, tatanegara, hukum, hadits, falsafah,
astronomi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ia hafal al-Qur’an
begitu juga menafsirkannya.8
Harun Al-Rasyid pun mempercayakan anak-anaknya dengan
memberi tanggung jawab penuh kepada guru pribadi. Al-Ma’mun berada
di bawah bimbingan Ja’far Ibn Yahya seorang yang bijak dalam berbicara,
bijaksana dalam berpikir, murah hati dan pemaaf . Ja’far juga
mengusulkan kepada Harun untuk mencalonkan al-Ma’mun sebagai
khalifah yang kemudian disambut baik oleh Harun 9
Al-Ma’mun adalah pribadi yang jarang bermain. Selama dua puluh
bulan tinggal di Baghdad beliau tidak sembarangan mendengarkan

6
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Pustaka Nasional PTE LTD,
Singapura, 1991), Cet. Ke-III, h. 124
7
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 114
8
Iwan, “Abdullah al-Makmun”, dalam http://eone26donk.blog.com, 06 September 2010
9
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, (Jakarta : Grasindo, 2002) h. 41
14

nyanyian yang biasanya menjadi hiburan di istana, karena kekhawatiran


beliau nyanyian tersebut akan menghilangkan konsentrasi beliau ketika
mengkaji berbagai buku-buku. Walaupun ia mendengar dari belakang
tabir. Semua itu disebabkan karena kecintaan beliau kepada ilmu
pengetahuan serta usahanya mengembalikan keutuhan kerajaan yang
hampir runtuh.10
Dalam Al-Tabari (ay. 32, hal 231) dijelaskan bahwa sosok Al-
Ma’mun memiliki tinggi rata-rata, kulit yang terang/bersih, tampan dan
memiliki jenggot yang panjang. 11
2. Masa remaja dan dewasa Al-Ma’mun
Al- Ma’mun merupakan salah seorang tokoh Khalifah Abbasiyah
yang paling terkemuka. Kebanyakan ahli-ahli sejarah berpendapat, tanpa
ketokohan dan kemampuan Al-Ma’mun, niscaya peristiwa-peristiwa yang
berlaku di zamannya itu pasti dapat mengganggu kerajaan Islam dan
membawa kepada bahaya dan keruntuhan.
Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada
puncak pencapaian masa keemasan Islam itu bernama Al-Ma’mun. Ia
dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang
cemerlang. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan
kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam s
Al-Ma’mun dinilai sebagai salah satu khalifah terbesar di Dinasti
Abbasiyah. Pemerintahannya disebut masa keemasan Islam. Dia
mempromosikan berbagai studi seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Dia
mendorong dan menyukai diadakannya berbagai diskusi. Untuk
mempromosikan ilmu pengetahuan ia mendirikan perpustakaan,
observatorium dan lembaga lainnya. Banyak sarjana yang berprestasi
berkembang dan dilindungi olehnya.12

10
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 121-122
11
Michael Cooperson, “Al-Ma’mun”, (Oxford, Oneworld Publications, 2005), dalam
http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011
12
Masudul Hasan, History of Islam : Clssical Period 571-1258 C. E., (Adam Publishers,
Delhi, 1992), Cet. Ke-I, h. 219
15

Khalifah Al-Ma’mun terkenal sebagai seorang yang tidak suka


akan pertumpahan darah, amat benci menipu daya, dan bertoleransi.
Seandainya beliau mengatur rencana jahat untuk menyingkirkan orang,
maka yang memaksa beliau berbuat demikian ialah keadaan dan masalah-
masalah besar yang begitu mendesak. Beliau tidak melakukannya karena
tunduk kepada hawa nafsu atau untuk memenuhi keinginan menumpahkan
darah, tetapi sebaliknya untuk melenyapkan huru-hara dan pemberontakan.
Fenomena lain ternyata kelihatan pada usaha-usaha pembunuhan
yang digalakkan oleh Al-Ma’mun. pembunuhan tersebut hanyalah ke atas
siapa yang ditakuti bisa membahayakan saja, tidak melihat keluarga si
mangsa atau perampasan harta benda. Di samping itu, hal yang juga
menyangkut diri Al-Ma’mun. yaitu seolah-olah apa yang terjadi itu tidak
ada hubungannya dengan dirinya, dan beliau sendiri berusaha sepenuh
tenaga untuk meringankan kesan buruk yang menimpa keluarga korbannya
itu. 13
Pemaaf adalah salah satu dari sifat Al-Ma’mun yang paling nyata.
Beliau memaafkan Al-Fadhl bin Ar-Rabi’ yang telah menghasut berbagai
pihak untuk menentang beliau. Beliau memaafkan Ibrahim Al-Mahdi yang
telah melantik dirinya sebagai khalifah di Baghdad semasa Al-Ma’mun
berada di Merw, walaupun Al-Mu’tashim dan Al-Abbas bin Al-Ma’mun
menyarankan agar Ibrahim dibunuh. Beliau memaafkan Al-Husain Adh-
Dhahak yang pernah mengatakan bahwa sesudah kematian Al-Amin, Al-
Ma’mun tidak akan merasa gembira memegang jabatan khalifah, karena
beliau adalah orang yang senantiasa diburu dan disingkirkan.
Khalifah Al-Ma’mun adalah seorang khalifah Islam yang arif
bijaksana, tinggi akal, bagus budi pekertinya, mengutamakan kemerdekaan
berpikir dan berdiskusi.
Al-Ma’mun menikah dengan Buran anak perempuan Al-Hasan bin
Sahl salah satu menteri dalam pemerintahan al-Ma’mun yang juga masih
saudara al-Fadhl wazir al-Ma’mun. Mengenai peristiwa ini Ibnu Tabatiba

13
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 289-290
16

menceritakan bahwa Al-Hasan telah mengeluarkan belanja besar serta


menaburkan mutiara yang tiada terkira banyaknya karena perkawinan itu.
Al-Hasan telah membagi-bagikan buah-buah tembikar yang diletakkan
sekeping kertas kecil bertulis dengan nama salah satu perkebunannya.
Siapa yang mendapatkan tembikar yang berisi kertas tersebut, maka dia
diberikan kebun yang telah ditetapkan itu. Undangan yang dibuat terlalu
besar sehingga Al-Ma’mun sendiri menganggapnya sebagai pemborosan.
Untuk menyambut khalifah Al-Ma’mun, Al-Hasan telah membentangkan
hamparan tenunan emas bertahtakan seribu mutiara.14 Pernikahan ini
dirayakan dengan pertunjukan dan arak-arakan besar-besaran yang tidak
biasa. Buran memberikan pengaruh yang besar kepada khalifah. Dermanya
begitu besar, dan dia mendirikan beberapa rumah sakit di Baghdad.15
Pada masa pemerintahannya Al-Ma’mun pernah berusaha untuk
menceraikan isterinya karena tidak kunjung memberikannya keturunan.
Namun atas bantuan dari hakim Suriah yang bersimpati kepada isterinya
maka perceraian itu pun tidak terjadi.
Selama menjadi khalifah , Al-Ma’mun tetap tinggal di Marw, tidak
pindah ke Baghdad. Suatu pemberontakan di Kuffah yang dilakukan oleh
Abu Suraya yang berhasil ditumpas oleh Hartsama mengundang
kemarahan para anak buahnya di Baghdad sehingga menimbulkan
kegaduhan dan kekacauan.16
Kemenangan ini merupakan titik balik bagi Al-Ma’mun. posisinya
di Khurasan tidak tergoyahkan dan pengaruhnya di wilayah lain semakin
besar. Tidak lama kemudian, Al-Ma’mun diproklamirkan sebagai khalifah.
Pada saat yang sama reputasi khalifah Al-Amin di Baghdad semakin
menurun. Ia tidak berhasil merekrut angkatan perang baru karena suku-
suku Arab kurang mempercayainya. Ia tampaknya memang lebih
mempercayai dan memanjakan tentara yang berasal dari Khurasan, akan

14
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 125
15
Syed Mahmudunnasir, “Islam, Konsepsi dan Sejarahnya”(Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 1991), Cet. Ke-II, h. 271
16
Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, h. 96
17

tetapi satu persatu kota di daerah lain juga dapat dikuasai. Akhirnya bulan
Agustus 812 M kota Baghdad terkepung oleh para pendukung Al-
Ma’mun. pengepungan ini berlangsung selama setahun lebih dan akhirnya
khalifah tertangkap dan terbunuh ketika ingin melarikan diri. Terbunuhnya
khalifah telah menurunkan prestise kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Kota
Baghdad mengalami dekadensi akibat perang dan barulah pada tahun 819
M khalifah Al-Ma’mun memindahkan pusat pemerintahannya dari
Khurasan ke Baghdad dan sejak itu Bahgdad mulai aman kembali. Pada
tahun-tahun berikutnya, Al-Ma’mun mengadakan konsolidasi seluruh
wilayah Islam yang telah terkoyak-koyak akibat perang saudara.
Pemerintahan Al-Ma’mun menandai pemisahan antara periode
awal dan periode kedua Dinasti Abbasiyah. Kelompok yang semula
membantu kekhalifahan pada tahun-tahun pertama sekarang turun dari
panggung kekuasaan. Di antara kelompok ini, yang paling penting adalah
para abnâ’ (keturunan veteran revolusi Abbasiyah yang berasal dari
Khurasan). Klan Abbasiyah sendiri yang telah memainkan peran penting
selama ini, setelah periode ini, peranan mereka tidak begitu menentukan
lagi. Sama juga halnya dengan keluarga-keluarga Arab, seperti Al-
Muhallabi dan Syaibani. Mereka menghilang dari istana. Selama
pemerintahan Al-Ma’mun, kelompok-kelompok tersebut digantikan oleh
orang-orang baru yang dengan ideologi baru ingin menerapkan metode
pemerintahan yang baru pula. Kelompok yang paling penting dan
berpengaruh adalah yang dipimpin saudara khalifah Al-Ma’mun sendiri
yang bernama Abu Ishaq.17
Setelah perang saudara berakhir dengan kemenangan Al-Ma-mun,
beliau naik tahtah. Masa kekhalifahan Al-Ma’mun selama dua puluh tahun
itu bisa dibagi ke dalam dua bagian , yaitu :
(a) Kehausan Al-Ma’mun akan ilmu pengetahuan mendorongnya
untuk menyibukkan dirinya di dalam mempelajari kebudayaan dan
membahas filsafat di Merv, dengan menyerahkan tugas pemerintahannya

17
Perpustakaan Nasional RI. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam , h. 96
18

kepada Al-Fadhal bin Sahal. Al-Fadhal bin Sahal mulai menyalahgunakan


kekuasaan yang dipercayakan Al-Ma’mun kepadanya. Fadhal bernafsu
untuk tetap memegang kekuasaan di Merv, kabar mengenai keadaan yang
sebenarnya di Barat tidak diperkenankan sampai kepada khalifah, dan
beliau dibiarkan tidak mengetahui sama sekali tentang peristiwa-peristiwa
yang terjadi di Irak dan Siria.
(b) Dalam masa empat belas tahun berikutnya, Al-Ma’mun
memegang sendiri kendali pemerintahan. Pada tahun 819 M Al-Ma’mun
mengambil alih tanggung jawab atas imperium. Dengan kembalinya beliau
berkuasa, semua kekacauan berhenti. Al-Ma’mun menyibukkan diri
dengan bersemangat dalam pekerjaan mereorganisasi pemerintahan.
Pemerintahan Kota Suci dipercayakan kepada seorang bani Ali. Kufah dan
Basrah diserahkan kepada kedua orang saudara Khalifah. Tahir bin
Hussain diangkat menjadi Gubernur Khurasan. Anak Tahir yang bernama
Abdullah dipercayai memegang jabatan Gubernur Siria dan Mesir,
bersama-sama dengan tugas menaklukkan Nasar Okaili.18
Kemenangan yang diraih Al-Ma’mun dalam perang saudara yang
terjadi antara Al-Amin dan Al-Ma’mun sedikit banyak meninggalkan
berbagai masalah katidakpuasan dari beberapa pihak yang kemudian
memunculkan pemberontakan-pemberontakan antara lain :
a. Pemberontakan Abus-Saraya
Abus-Saraya as-Sari bin Mansur as-Syaibani, salah seorang
panglima besar di dalam angkatan bersenjata yang dipimpin oleh
Hartsama disingkirkan oleh al-Fadhl bin Sahal, setelah
keberhasilannya dalam pertarungan menentang al-Amin, dan
digantikan dengan saudara al-Fadhl sendiri, yaitu al-Hasan bin Sahl.
Abus-Saraya terpaksa melarikan diri dan meninggalkan kota
Kufah yang dikejar oleh tentara pemerintah, yang dapat menawannya
setelah Abus-Saraya mendapat cidera parah di dalam salah satu
pertempuran, di mana tentaranya mengalami kekalahan besar. Abus-
Saraya kemudian dibawa menghadap Al-Hasan bin Sahal, yang
kemudian memerintahkan supaya ia dibunuh dan disalibkan, yaitu

18
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, ”(Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 1991),h. 229
19

pada tahun 200 H. Gerakan pemberontakan itu berjalan selama 10


bulan.

b. Pemberontakan Nasr bin Syabats


Nasr bin Syabats ialah seorang bangsawan Arab yang melihat
merosotannya kedudukan bangsa Arab dan kuatnya pengaruh bangsa
Parsi hasil dari pembunuhan tehadap Al-Amin serta pemindahan
kekuasaan kepada Al-Ma’mun. Dia telah bangkit memimpin suatu
pemberontakan untuk mempertahankan keturunan Arab.
Pemberontakannya mulai pada tahun 198 H, setelah terjadinya
peristiwa pembunuhan terhadap Al-Amin, dan menjadikan kota
Yaksum di utara Syria sebagai pusat gerakannya.
Khalifah Al-Ma’mun telah memerintahkan Tahir bin Al-Husain
supaya menyerahkan pemerintahan kota Baghdad kepada Al-Hasan bin
Sahal dan keluar untuk memerangi Nasr. 19

c. Pemberontakan Baghdad dan pelantikan Ibrahim bin al-Mahdi sebagai


khalifah
Setelah terjadi pembunuhan terhadap Al-Amin, Al-Fadhal bin
Sahal mencoba menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-
wenang. Dia telah melantik saudaranya Al-Hasan bin Sahal sebagai
pegawai pemerintah di Iraq. Al-Fadhal sendiri berkuasa atas seluruh
wilayah Khurasan. Khalifah al-Ma’mun memejamkan mata dan tidak
mengetahui apa yang telah terjadi. Al-Fadhal bin Sahal juga telah
menyingkirkan dua panglima yang telah membuat kemenangan, yaitu
Tahir dan Harstamah agar berada jauh dari Baghdad. Selain itu Al-
Fadhal melantik seorang dari golongan Alawiyah sebagai putra
mahkota, dengan demikian dia telah merintis jalan bagi pemindahan
kekuasaan dari golongan Abbasiyah kepada golongan Alawiyah.

d. Pemberontakan Zatti
Menurut Ibnu Khaldun, Zatti ialah suatu kelompok dari
berbagai keturunan yang mengambil kesempatan untuk membuat
perlawanan sewaktu pihak tentara sedang sibuk mengalami
peperangan. Mereka telah menutup jalan yang menuju ke Basrah, serta
merusak kampung-kampung dan wilayah-wilayah. Mereka hanya
bertujuan untuk menculik dan menimbulkan kekacauan.

e. Pemberontakan orang-orang Mesir


Di Mesir meletus suatu pemberontakan yang timbul di antara
kaum Arab Utara dan kaum Arab Selatan. Kaum Arab Utara memberi
dukungan kepada Al-Amin sedangkan kaum Arab Selatan memberi
dukungan kepada Al-Ma’mun. Sebagian orang Mesir mengambil
kesempatan dari pemberontakan ini dan bangkit menentang orang-

19
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 130
20

orang Arab. Al-Ma’mun mewakilkan kepad Abdullah bin Tahir untuk


menumpas pemberontakan tersebut. Abdullah telah berhasil
menjalankan tugasnya, tetapi kepada ia meninggalkan negeri Mesir,
pemberontakan itu kembali meletus, menyebabkan Al-Ma’mun
terpaksa pergi sendiri untuk memperbaiki keadaan di sana serta
memulihkan keamanan dan ketentraman.
Sedangkan di antara tokoh-tokoh utama dalam kerajaan al-
Ma’mun ialah Yahya bin Aktsam al-Tamimi yang menjadi Qadhi
Besar (Hakim Besar) dan juga salah satu ahli Hadist yang terkemuka,
Ahmad bin Abu Daud al-Mu’tazili seorang alim yang disegani di
istana. Karena usianya yang panjang, dia telah berpeluang
berhubungan dengan banyak khalifah-khalifah, serta Qadhi Besar di
zaman al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq dan di permulaan zaman
al-Mutawakkil.20

Tidak salah kiranya jika sejarah menyatakan masa kegemilangan


daulah Abbasiyah salah satu masanya adalah pada pemerintahan khalifah Al-
Ma’mun. sosok yang sejak belia sudah menunjukkan sikap dan sifat yang baik
sebagai bekal untuk menjadi seorang pemimpin. Dari bekal yang didapat sejak
belia ini pula yang dapat menjadi landasan bagaimana beliau menjalankan
pemerintahannya termasuk kepeduliannya yang teramat sangat terhadap ilmu
pengetahuan dan perkembangannya.
Perhatian yang sangat besar beliau tunjukkan kepada pengembangan
ilmu pengetahuan karena cintanya yang demikian besar terhadap ilmu
pengetahuan. Tidak heran banyak upaya yang beliau lakukan untuk
mewujudkan kecintaan dan perhatiaannya terhadap ilmu pengetahuan yang
bukan hanya bermanfaat bagi dirinya pribadi tapi dapat menjadi salah satu
sumber kekuatan terbesar dalam mewujudkan pemerintahan yang baik di
kemudian hari karena mampu menguasai berbagai aspek ilmu pengetahuan
yang dapat menyeimbangkan segala aspek penting dalam kehidupan.
Al-Ma’mun wafat sewaktu sedang berperang di Tarsus tahun 218 H.
usianya saat itu 48 tahun. Semoga Allah merahmatinya dengan bakti dan
kebaikan yang disumbangkan kepada agama Islam dan kaum muslimin.21

20
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 141
21
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 144
21

C. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah


Dikalangan umat Islam, sejalan dengan perkembangan akal pikiran
yang menurut Islam memang harus dikembangkan, timbullah berbagai macam
aliran keagamaan yang mempunyai sikap dan pandangan keagamaan yang
berbeda-beda. Tumbuhnya aliran-aliran dalam Islam berpangkal pada
pertikaian politik yang kemudian merembes atau meningkat pada masalah
keagamaan. 22
Secara garis besar aliran-aliran tersebut dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu dalam bidang akidah (teologis), hukum dan tasawuf. Dalam bidang
akidah (teologi) terdapat golongan Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Qodariyah,
Jabariyah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Dalam bidang hukum ada berbagai
mazhab seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Sementara itu,
dalam bidang tasawuf berubah menjadi organisasi-organisasi keagamaan yang
disebut Thariqah. Thariqah yang muncul pada masa itu antara lain :
Qodariyah, Rifayah, Baidawiyah, Dasuqiyah, Bayyuniyah, dan Sadziliyah.23
Dalam bidang akidah (teologi) beberapa aliran atau golongan sempat
menimbulkan konflik keagamaan antara lain :
1. Syiah
Golongan Syiah bergabung dan aktif bekerja sama dengan keluarga
Abbas dalam menjatuhkan daulat Umayyah. Namun, setelah diketahui
bahwa keluarga Abbas memonopoli kekuasaan untuk mereka sendiri dan
kemudian membentuk dinasti Abbasiyah, kaum Syiah mengambil sikap
melawan mereka. Seperti dalam kasus Muhammad, salah seorang anggota
keluarga Ali bin Abi Thalib. Dia tidak bersedia membaiat kekhalifahan
Abbasiyah dan bahkan mengirimkan saudaranya, Ibrahim bin Abdillah,
untuk menyemarakkan kampenyenya. Kekalahan syiah ini membawa
lembaran sejarah baru bagi golongan Syiah itu sendiri.

22
A. Hanafi, Teologi Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 8-9
23
Fadil SJ, pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang : UIN
Malang Press, 2008), cet. I, h. 153
22

2. Khawarij
Pada masa khalifah al-Manshur, kelompok ini mengadakan
pemberontakan di Afrika yang dipimpin oleh Abu Hatim. Saat melawan
golongan ini, al-Manshur mengirimkan pasukan sebanyak 60 ribu personel
dibawah pimpinan Yazid bi Hatim bin Qabishah. Pertempuran ini menelan
30 ribu orang.24
3. Qodariyah
Mazhab Qodariyah didirikan oleh Ma’bad Ibn Khalid Al-Juhani
(699 M/79H). mazhab ini berpandangan bahwa manusia mampu berbuat
dank arena itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Ayat-ayat al-Qur’an
seperti tangan Tuhan, melihat dan mendengar, dipahami secara takwil atau
qiyas, dan bukan ditafsirkan secara harfiah.
4. Jabariyah
Paham jabariyah yang dipelopori oleh Jahm Ibn Shafwan (745
M/127 H). pandangan utama paham ini bahwa semua perbuatan manusia
ditentukan oleh kuasa Tuhan, termasuk keimanan, kebajikan, dan
kejahatannya. Manusia dalan hal ini tergantung dari kekuasaan atau
paksaan Allah dalam segala kehendak danperbuatannya; karena itu tidak
ada kekuasaan manusia untuk melakukan pilihan atas segala
perbuatannya.25

1. Asal mula munculnya Paham Mu’tazilah


Gerakan Mu’tazilah dimulai pada akhir abad pertama hijriah. Asal-
usul gerakan ini dimulai dari seorang ulama yang termasyhur. Hasan Al-
Basyri. Suatu hari ia ditanya pendapatnya tentang perbedaan pendapat
antara Murjiah dan Khawarij, yaitu apakah seorang Muslim yang
melakukan dosa besar harus dianggap sebagai seorang mukmin atau
seorang kafir. Sementara Hasan sedang mempertimbangkan pertanyaan
itu, salah seorang muridnya, Wasil bin Ata, menjawab bahwa orang-orang

24
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, (Jakarta : Cv. Artha Rivera, 2008), h. 81
25
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, h. 170
23

seperti itu tidak termasuk orang mukmin ataupun seorang kafir, tetapi
harus ditempatkan di tengah-tengah (al-manzilah bayna al-manzilatayn).
Hasan tidak menyetujui pendapat Wasil, dan karenanya Wasil
memisahkan diri dari aliran itu dan mendirikan suatu aliran sendiri. Karena
itulah para pengikut Wasil disebut kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang
memisahkan diri. “Meskipun cerita itu secara harfiah tidak benar, mungkin
lebih aman kalau menganggap bahwa sekte baru yang dilahirkan di Basrah
di antara murid-murid Hasan itu adalah kehidupan dan jiwa gerakan
agama dalam abad pertama hijriah”. Kaum Mu’tazilah adalah penegak
paham keinginan bebas dan rasionalisme, dan menolak paham takdir.
Kemunculannya patut diperhatikan karena hal itu merupakan suatu
reaksi etika terhadap ekses-ekses ajaran dan kebiasaan kaum Khawarij
yang sangat fanatik. Dia juga melancarkan serangan yang berapi-api
terhadap kelemahan etika kaum konformis politik, yaitu kaum Murjiah.
Sementara kaum Murjiah mengikuti paham takdir, kaum Mu’tazilah
mengikuti pemikiran bebas. Perbedaan mereka dengan kaum Khawarij
terletak di dalam kenyataan bahwa kaum Mu’tazilah tidak begitu
menekankan pada karya sebagai satu-satunya ukuran kepercayaan yang
benar. Selama abad kedua, kaum rasionalis berhubungan dengan logika
dan filsafat Yunani. Oleh karena itu, pada tahap permulaan gerakannya,
hampir tidak ada pengaruh asing, dan mereka lebih merupakan puritan
yang kaku daripada rasionalis.26
Nama Mu’tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata
I’tazala, yang berarti ‘mengasingkan diri’. Menurut suatu teori, nama itu
diberikan atas dasar ucapan Hasan Al-Bashri, setelah melihat Washil
memisahkan diri. Hasan Al-Bashri diriwayatkan memberi komentar
sebagai berikut : I’tazala anna (ia mengasingkan diri dari kami). Orang-
orang yang mengasingkan diri disebut Mu’tazilah. ‘Mengasingkan diri’
bisa berarti mengasingkan diri dari pendapat Murji’ah dan pendapat
khawarij.

26
Syed Mahmudunnasir, “Islam, Konsepsi dan Sejarahnya”, h. 272
24

Menurut teori lain nama Mu’tazilah bukan berasal dari ucapan


Hasan Al-Bashri, tetapi dari kata I’tazala yang dipakai terhadap orang-
orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada
zaman ‘Utsman bin Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Kata I’tazala dan
Mu’tazilah menurut penulis sejarah Al-Thabari dan Al-Fuda memang
sudah dipakai pada zaman itu.
Orang-orang Mu’tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri
Ahl Tawhid wa Ahl Al-‘Adl, tidak menolak nama Mu’tazilah itu. Bahkan
dari ucapan-ucapan pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa
mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut Al-Qadhi Abdul
Jabbar, seorang pemuka Mu’tazilah yang buku-bukunya banyak
ditemukan kembali pada abad kedua puluh Masehi ini, di dalam teoligi
terdapat kata I’tazala yang mengandung arti mengasingkan diri dari yang
salah dan tidak benar dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung
arti pujian dan menurut keterangan seorang Mu’tazilah lain, Ibn Al-
Murtadha, nama Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi
orang-orang Mu’tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu. 27

2. Prinsip-prinsip Ajaran Kaum Mu’tazilah


Prinsip-prinsip kalam Mu’tazilah terhimpun dalam istilah al-ushul
al-khamsah atau ‘pokok-pokok yang lima’ yaitu al-tawhid, al-manzilah
bayna al-manzilatayn, al-wa’d wa al-wa’id, al-‘adl, dan al amr bi al-
ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar. Prinsip al-tawhid dalam Mu’tazilah
dimaksudkan bahwa Tuhan tidak bisa disamakan dengan sesuatu, tidak
ber-jism, tidak berunsur, bukan subtansi, bahkan Tuhanlah yang
menciptakan segala yang berbadan, berunsur, dan bersubtansi. Bagi
Mu’tazilah, Tuhan tidak memiliki sifat sebab apabila Tuhan memiliki sifat
maka Tuhan berdimensi banyak. Tuhan hanya memiliki zat atau esensi.
Prinsip al-manzilah bayna al-manzilatayn dimaksudkan bahwa
orang mukmin yang berbuat dosa besar statusnya bukan mukmin, tetapi
bukan juga kafir, melainkan fasik. Posisinya antara mukmin dan kafir. Di
akhirat ia bukan penghuni surga bukan juga penghuni neraka.
Tingkatannya berada di bawah orang mukmin tetapi di atas orang fasik.

27
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta : Mizan, 1996), Cet
Ke-IV, H. 128-129
25

Bila ia meninggal tanpa bertobat maka ia kekal di neraka walaupun siksa


yang ia terima lebih ringan daripada yang diterima orang kafir.
Prinsip al-wa’d wa al-wa’id dimaksudkan bahwa Tuhan akan
memberikan balasan sesuai dengan perbuatan manusia di dunia. Siapa
yang keluar dari dunia ini dengan penuh ketaatan kepada Tuhan maka ia
berhak memasuki surga. Siapa yang keluar dari dunia ini dengan penuh
maksiat maka ia akan masuk neraka. Tuhan akan menepati janjinya dan
tidak akan mengingkarinya.
Prinsip al’adl dimaksudkan bahwa Allah tidak menyukai
keburukan dan tidak menciptakan perbuatan, tetapi manusialah yang
melakukan apa yang diperintahkanNya dengan daya yang diberikan
kepada mereka. Tuhan hanya memerintahkan apa-apa yang Dia kehendaki
dan melarang apa yang tidak Dia sukai. Dia menguasai kebaikan-kebaikan
yang Dia perintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan-
keburukan yang Dia larang. Tuhan tidak membebani manusia sesuatu yang
tidak dapat mereka lakukan. Sesungguhnya manusia itu hanya dapat
melakukan sesuatu sesuai dengan daya mereka yang diberikan Tuhan.
Hanya Tuhanlah satu-satunya yang mampu mewujudkan daya dan
menghilangkannya jika ia menghendaki.
Sedangkan prinsip al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-munkar
menurut Mu’tazilah bahwa semua kaum Muslim wajib menegakkan
perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi perbuatan yang munkar. Karena
prinsip ini, Mu’tazilah bersikap melawan siapa saja yang tidak sejalan
dengan paham mereka. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara
pemaksaan terhadap siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka.
Peristiwa pemaksaan ajaran Mu’tazilah dikenal dengan al-mihnah atau
inkuisisi.28

3. Al-Ma’mun dan Paham Mu’tazilah


Aliran rasional ini dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh kaum
Sunni. Perselisihan ini mencapai puncaknya pada masa Al-Ma’mun
menduduki jabatan khalifah (813-833 M). Ketika itu Al-Ma’mun
menjadikan aliran ini sebagai aliran resmi Negara. Hal ini mengakibatkan
keresahan di kalangan masyarakat yang mayoritas mengikuti aliran Sunni.
Keresahan itu terfokus kepada pemaksaan gagasan Muktazilah yang
menyatakan bahwa al-Qur’an itu serupa dengan hadis dan sekaligus
makhluk. Peristiwa ini disebut Mihnah.

28
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, h. 171-173
26

Al-Ma’mun kemudian membuat kebijakan untuk meneliti


keyakinan para pejabat Negara, seperti hakim, kadi, dan ulama,
sehubungan dengan mihnah. Pejabat-pejabat yang tidak sepaham dengan
paham Mu’tazilah akan dipecat. Ulama yang tetap mempertahankan
pendapat ortodoksnya akan disiksa, sebagaimana yang dialami oleh
Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Nuh.29
Khalifah al-Ma’mun begitu keras menggunakan kekuasaannya
untuk memaksa rakyat berpegang kepada pendapat al-Qur’an itu makhluk.
Banyak para penulis yang mengecam sikap keras al-Ma’mun yang
menggunakan mata pedang untuk memperkukuh pihaknya dan menindas
para alim ulama yang menentang prinsipnya itu. Tetapi penulis yang adil
mungkin bisa menemukan alasan tentang sikap al-Ma’mun itu. Bagi al-
Ma’mun, perkara tersebut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dirinya,
andaikan ada kaitannya dengan dirinya tentu beliau akan mudah memberi
maaf, karena sudah menjadi tabiat al-Ma’mun suka memberi maaf. Tetapi
baginya perkara tersebut sudah menyangkut masalah keislaman yang
menyangkut pokok aqidah, dan beliau berpendapat siapa yang tidak
mengakuinya maka keluar dari aqidah Islam. Oleh karena itu, al-Ma’mun
mengumumkan sebagai khalifah kaum Muslimin yang mengurus
masalah-masalah agama dan dunia untuk mereka, al-Ma’mun
berkewajiban tidak menggunakan golongan yang keluar dari agama itu
dalam urusan erajaan dan juga berkewajiban melindungi rakyat dari
pikiran yang beliau anggap salah dan sesat. Al-Ma’mun semakin
bertambah marah terhadap golongan ahli Hadis, karena sikap mereka yang
jumud (beku) dan tidak mempertahankan pendapat mereka dengan dalil-
dalil naqli. 30
Paham Mu’tazilah adalah pelopor yang sungguh-sungguh untuk
digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam. Sikap mereka
yang rasionalistik dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai
29
Fahsin M. Fa’al, “Sejarah Kekuasaan Islam”, (Jakarta, CV. Artha Rivera, 2008) h. 84-
85
30
Ahmad Shalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h. 138
27

kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan


wahyu dalam memahami agama. Sikap itu tampaknya adalah konsekuensi
logis dari dambaan mereka kea rah pemikiran sistematis.31
Paham Mu’tazilah yang bersifat rasional ini pula yang
mempengaruhi pola pemikiran Al-Ma’mun sehingga menjadi salah satu
sebab mengapa beliau sangat mendukung sagala macam kegiatan yang
membutuhkan peran serta pemikiran seperti diadakannya diskusi dan
perdebatan sehingga berbagai macam pola pemikiran pun muncul, beliau
juga membuat berbagai macam pembaharuan dalam upaya
mengambangkan ilmu pengetahuan. Sehingga pada saat itu para ilmuan
memiliki kebebasan untuk berpendapat dan menghasilkan karya
ilmiahnya.

31
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, h. 171
BAB IV
UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN KHALIFAH
AL-MA’MUN DALAM MENGEMBANGKAN
ILMU PENGETAHUAN

A. Gerakan Penerjemahan
1. Faktor-faktor yang memyebabkan munculnya gerakan penerjemahan
Gerakan penerjemahan yang mulai berkembang pesat pada masa
Daulah Abbasiyah dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan
khalifah Al-Ma’mun. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya
gerakan penerjamahan di antaranya adalah :
a. Tersebarnya ilmu pengetahuan Yunani, helenisme, dan helenistik ke
penjuru dunia muslim disebabkan oleh faktor-faktor historis yang luar
biasa. Menurut analisis Mehdi Nakosten, faktor-faktor yang terpenting
itu di antaranya adalah :
Pertama, peran orang-orang Kristen ortodoks sebagai Nestorian.
Mereka adalah sekte-sekte yang dikucilkan oleh gereja induk mereka.
Pada saat penaklukan kaum Muslim ke Persia dan Romawi, mereka
menyambut dengan suka cita karena kaum Muslim telah bertindak
toleran dan oleh mereka dianggap sebagai kaum pembebas.
Kedua, penaklukan yang dilakukan oleh Alexander Yang Agung
dan para penggantinya telah menyebarkan ilmu pengetahuan Yunani
ke Persia dan India, tempat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani
diperkaya dengan pemikiran-pemikiran asli.
Ketiga, peran Akademi Jundishapur di Persia yang
mengembangkan kurikulum studi yang disusun setelah Universitas

28
29

Alexandria, dan selama abad keenam disamakan dengan ilmu


pengetahuan India, Grecian, Syria, helenistik, Hebrew, dan
Zoroastrian.1
Keempat, karya ilmiah Yahudi merupakan faktor yang tidak
dapat dilupakan. Para penerjemah Hebrew merupakan alat yang hebat
dalam alih pengetahuan ini karena keterampilan berbahasa mereka. 2

b. Para ilmuan di utus ke daerah Bizantium untuk mencari naskah-naskah


Yunani dalam berbagai bidang ilmu terutama filsafat dan kedokteran.
c. Perburuan manuskrip-manuskrip di daerah timur seperti Persia
terutama di bidang tata Negara dan sastra. 3
d. Khalifah al-Ma’mun mensyaratkan agar para pejabat pemerintahannya
yang non Arab diminta menguasai sedikitnya dua bahasa. Dan
memang dari sanalah sumber tenaga para tenaga penerjemah buku
direkrut. Salah satu jalur pendatangannya adalah melalui Harran, kota
di Mesopotamia, yang memang banyak penduduknya masih
menggunakan bahasa Yunani. Jalur datangnya para penerjemah
lainnya adalah melalu Jund-i-Shahpur di Khuzistan. Kota ini dibangun
oleh Kaisar Sasanid Shahpur I sebagai tempat para tawanan yang
dibawa dari Syiria. Kota ini menjadi pusat ilmu kedokteran.
Gerakan penerjemahan merupakan suatu kegiatan yang telah
dilakukan oleh khalifah al-Mansur yang kemudian dilanjutkan oleh
khalifah al-Ma’mun. Gerakan penerjemahan menjadi begitu semarak
dilakukan karenak banyak faktor yang mendukung kegiatan tersebut
diantaranya kecintaan al-Ma’mun kepada ilmu pengetahuan yang
membuatnya sangat menganjurkan perburuan karya-karya dan manuskrip-
manuskrip penting di berbagai daerah yang ditaklukannya untuk kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa setempat agar mudah untuk dipelajari dan
dipahami.

1
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, (Jakarta : PT. Grasindo, 2002) H.151
2
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, H.151
3
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern,
(LESFI, Yogyakarta, 2003), Cet. Ke-I, h.124
30

2. Munculnya gerakan penerjemahan


Al-Ma’mun sebagai pengganti Harun al-Rasyid, dikenal sebagai
khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-
buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen
dan penganut agama lain yang ahli.
Suyuthi menyatakaan : “ Al-Ma’mun adalah tokoh Bani Abbas
yang paling utama keilmuan, keberanian, kehebatan, kesabaran, dan
kecerdasannya”. Selama 20 bulan tinggal di Bagdad beliau tidak mau
mendengar sembarang nyanyian. Faktor penyebabnya adalah karena ia
harus berkonsentrasi penuh untuk mengembalikan keutuhan kerajaan yang
hampir runtuh. Ia juga berkonsentrasi pada ilmu pengetahuan dan buku-
buku yang ia baca.4
Gerakan penerjemahan tumbuh di bawah kekhalifahan Abbasiyah
yang menggantikan Umayyah pada pertengahan abad ke-8. Pemindahan
ibu kota dari Syria ke Irak telah memperkuat pengaruh orang-orang Timur
Tengah dan melemahkan pengaruh Laut Tengah. Beberapa karya yang erat
hubungannya dengan ketatanegaraan dan upacara istana diterjemahkan
dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab. Buku matematika juga
diterjemahkan dari bahasa India. Namun penerjemahan yang terpenting
dan terbanyak tercatat dari bahasa Yunani, baik yang diterjemahkan
langsung maupun versi Syiria. Penerjemahnya orang-orang non- Muslim
atau yang baru masuk Islam. Sebagian besar orang Kristen, sebagian kecil
beragama Yahudi, dan selebihnya orang-orang Sabia.5
Pada awal penerjemahan, naskah yang diterjemahkan terutama
dalam bidang astrologi, kimia dan kedokteran. Kemudian naskah-naskah
filsafat karya Aristoteles dan Plato juga diterjemahkan. Dalam masa
keemasan karya yang diterjemahkan kebanyakan tentang ilmu-ilmu

4
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, H. 44
5
Bernard Lewis, Muslim Menemukan Eropa, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1988), Cet, Ke-I,
h. 59
31

pragmatis (kebutuhan sehari-hari) seperti kedokteran. Naskah astronomi


dan matematika juga diterjemahkan. Namun, karya-karya berupa puisi,
drama, cerita pendek dan sejarah jarang diterjemahkan karena bidang ini
dianggap kurang bermanfaat dan dalam bahasa Arab sendiri
perkembangan ilmu-ilmu ini sudah sangat berkembang. Paham rasional
Mu’tazilah menjadi tulang punggung penyerapan ilmu-ilmu “Asing” agar
kemajuan umat Islam segera dapat dicapai. 6
Ketika kerajaan Bizantium bertekuk lutut terhadap pemerintahan
Islam yang dipimpinnya, sang khalifah memilih untuk menempuh jalur
damai. Tak ada penjarahan terhadap kekayaan intelektual Bizantium,
seperti yang dilakukan peradaban Barat ketika menguasai dunia Islam.
Khalifah Al-Ma’mun secara baik-baik meminta sebuah kopian Almagest
atau al-Kitabu-I-Mijisti (sebuah risalah tentang matematika dan astronomi
yang ditulis Ptolemeus pada abad kedua) kepada raja Bizantium.7
Membanjirnya terjemahan buku dari bahasa Yunani dan Syiria ke
dalam bahasa Arab tersebut jelas menunjukkan bahwa waktu itu sudah
terdapat masyarakat pembaca yang aktif. Sedangkan pusat kebudayaan
Arab yang sedang tumbuh pada saat itu adalah Bagdad. Kota itu terletak di
tepi sungai Tigris, tidak jauh dari Ctesiphon, bekas ibu kota kerajaan
Persia dan ibu kota kerajaan sebelumnya, Parta Arsacadid/Bagdad sendiri
dibangun pada 762 M sebagai ibukota kekhalifahan Abbasiyah. Selain
dipenuhi bangunan megah, kota ini juga dilengkapi dengan gedung
perpustakaan yang lengkap. 8
Menurut W. Muir, “Melalui kesibukan para pekerja ilmuan ini,
bangsa-bangsa Eropa yang telah lama tenggelam dalam kegelapan abad
pertengahan dapat mengenal kembali kekayaan ilmunya, yang sebelum ini

6
Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, h.
125
7
As-Suyuthi, “Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam”, (Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar, 2006) , dalam http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011
8
Muhammad Subarkah, “Menapak Jejak Buku dalam Peradaban Islam”,dalam
http://www.republika.co.id, 26 Februari 2009
32

mereka tidak mengenal pengetahuan dan filsafat Yunani kuno. Sebuah


pusat Observatory didirikan di dataran Tadmore untuk kepentingan
penelitian astronomi dan geometri, observasi antariksa mengalami
kemajuan pesat pada masa ini”.
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama,
pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini
yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi
dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun
hingga tahun 300 H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam
bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300
H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang
diterjemahkan semakin meluas. 9
Tradisi intelektual terbangun serta membudaya. Gerakan
penerjemahan semakin bergairah, begitu pula perdebatan ilmiah, yang
mencakup multidisiplin ilmu. Semua itu berkat dedikasi dan dukungan
luar biasa dari al-Ma’mun. “Dia merupakan kekuatan pendorong di
belakang modernisasi Islam serta penguasaan sains dn teknologi”. Tegas
Ehsan Masood. 10
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filasafat,
kimia, dan sejarah.11

3. Tokoh-tokoh penting dalam gerakan penerjemahan


Di Baghdad didirikan Sekolah Tinggi Penerjemah yang pertama di
dunia, dilengkapi dengan berbagai taman pustaka. Disinilah orang dapat
mengenal Hunain Ibnul Ishaq (809-833 M), seorang yang termasyhur
dalam ilmu kedokteran dan filsafat. Bahkan buku-buku kedoteran yang

9
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2000) Cet. X, h. 55-57
10
Yusuf Assidiq, “Al-Ma’mun dan Baitul Hkmah”, dalam http://batavies.co.id, 06
Januari 2011
11
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, h. 57
33

sekarang terdapat di berbagai toko buku dengan nama “Materia Medica”


adalah berasal dari Hunain. Ia juga sempat menerjemahkan buku Galen
dalam lapangan ilmu pengobatan dan filsafat, sebanyak 100 buah ke dalam
bahasa Syria, dan 39 buah ke dalam bahasa Arab. Penulis-penulis Eropa
mengakui, bahwa Hunainlah pemberitahu teori Galen dalam berbagai
pengetahuan ke dunia Barat. Di samping meringkas dan memberi
komentar buah karya Galen, ia juga mengarang sendiri. Buku-buku
karangannya dalam bahasa Arab dan Persia banyak dijumpai, misalnya
soal jawab. Bukunya yang ternama ialah sepuluh soal tentang mata. Buku
ini disusun secara sistematis untuk pelajar-pelajar ilmu ophthalmology
(Ilmu mata). Perkembangan ilmu opthamology sekarang adalah berkat jasa
Hunain. Dokter-dokter mata sekarang sebenarnya harus merasa, bahwa
Hunain adalah bapaknya.
Nama yang dianggap sebagai penerjemah besar adalah Hunayn ibn
Ishaq (810 M-877 M/194 H-263 H). Ia adalah seorang cendekiawan
Kristen yang memberi andil berarti bagi kebangkitan sains Islam sebagai
penerjemah dan penyalur sains Yunani. Ia lahir di Hira, ayahnya seorang
Apoteker. Ia belajar di Jundishapur dan bagdad di bawah bimbingan
dokter ternama Ibn Maskawih. Kemudian merantau ke Anatolia untuk
melengkapi pengetahuan bahasa Yunani (Grika). Ia dan murid-muridnya,
termasuk anak dan kemenakannya, membuat terjemahan naskah yang
paling tepat dan baik dari bahasa syiria dan Grika ke dalam bahasa Arab.
Ia memainkan peran besar dalam peningkatan minat kaum Muslim pada
sains Grekohelenistik. Hunayn sendiri adalah seorang dokter ternama yang
karyanya dikutip oleh berbagai pengarang muslim di kemudian hari. Ia
juga menulis tentang astronomi, meteorology, dan terutama filsafat.
Karyanya Aforisma Filosof dalam versi Ibrani sangat terkenal di Barat dan
ia terpandang karena pengkajian dan terjemahannya atas semua filsafat
Galen.
Nama lain yang cukup penting dalam bidang penerjemahan adalah
Tsabit Ibn Qurrah (826 M-901 M/211 H-288 H). Tsabit menulis karya
34

abadi dalam bidang ilmu medis dan filsafat. Ia menguasai astronomi dan
matematika. Ia juga banyak menulis naskah tentang astronomi, teori
bilangan, fisika, dan cabang matematika lainnya, yang amat besar
pengaruhnya pada para saintis muslim. Gema dari pandangan ilmiahnya,
terlebih lagi tentang teori getaran, terdengar sepanjang abad pertengahan
di dunia barat. 12
Tokoh lain yang juga berperan dalam usaha penerjemahan buku-
buku Yunani ke dalam bahasa Arab adalah :
a. Yuhana bin Masawaih
b. Ishak bin Hunain
c. Muhammad bin Musa Khawarazmi
d. Sa’id bin Harun
e. Umar bin Al-Farrakhan13
Akibat penerjemahan buku Yunani ke dalam bahasa Arab dan
masuknya kebudayaan Helinesia ke dalam kebudayaan Islam telah
menciptakan suasana subur di kalangan kaum muslimin tertentu untuk
berkembangnya pemikiran yang rasional. Meskipun bukan golongan
rasional imam, namun jelas mereka adalah pelopor yang mengingatkan
pemikiran tentang ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Sikap
mereka yang rasionalis bertitik tolak dari pandangan bahwa akal
mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu. Sikap yang demikian
ini akan mendorong umat Islam mempergunakan segala kekuatan akal
untuk memahami agama, akhirnya akan melahirkan intelektual muslim di
segala lapangan ilmu antara lain muncul filosof Islam yang tidak kalah
dengan filosof Yunani. Demikian juga dokter ulung, ahli kimia, ahli
matematika, ahli ilmu bintang, ahli musik, ahli optik, ahli geografi, dan
lain-lain. 14

12
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekunstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, h. 155-156
13
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Hidakarya Agung, 1992) h. 64
14
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Pernada Media, Jakarta, 2003), Cet. Ke-I, h. 81
35

Dapat diketahui dengan jelas, betapa pada masa khalifah al-


Ma’mun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuat beliau
meneruskan bahkan mengembangkan kegiatan yang telah dilakukan oleh
khalifah sebelumnya bahkan beliau tidak menjadikan perbedaan suku,
bangsa, agama, dan ras sebagai penghalang untuk meningkatkan
pengembangan ilmu pengetahuan melalui gerakan penerjemahan.
Beliau sadar betul bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dimiliki
kaum muslim tapi beliau mencari cara bagaimana ilmu pengetahuan yang
juga dikuasai oleh bangsa barat yang mayoritas non muslim dapat juga
dipelajari oleh kaum muslim.
Gerakan penerjemahan berbagai macam buku dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan yang menurut beliau dapat meningkatkan minat
dan kecintaan kaum muslim terhadap ilmu pengetahuan yang dapat
menghantarkan mereka menuju kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat.

B. Optimalisasi Kegiatan Balajar Mengajar


1. Upaya khalifah al-Ma’mun dalam Pengembangkan Kegiatan Belajar
Mengajar
Kemajuan pendidikan dalam arti seluas-luasnya pada masa al-
Ma’mun telah banyak mengundang perhatian para ahli baik di Barat
maupun di Timur. Kemajuan suatu bangsa dan Negara salah satunya
disebabkan karena kualitas manusia yang hidup dalam bangsa dan Negara
tersebut. Kualitas manusia itu dihasilkan dari kualitas proses pendidikan
yang dijalaninya.
Upaya khalifah al-Ma’mun dalam pengembangkan kegiatan belajar
mengajar dapat dilihat dari kegiatan berikut :
a. Aktivitas Belajar Langsung dengan Syekh
Pada masa al-Ma’mun, pengajaran diberikan langsung kepada
murid-murid, seorang demi seorang. Pelajaran diberikan dengan cara
dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau
didiktekan oleh guru dan ditulis oleh murid, atau murid disuruh
menyalin dari buku yang telah ditulis guru dengan tangan. Kehidupan
36

demikian, berlangsung dalam halaqoh-halaqoh yang diselenggarakan


oleh ulama. 15
Murid duduk berkeliling berhadapan dengan seorang syekh
(guru). Guru memberikan pelajaran kepada semua murid yang hadir.
Guru memulai dengan membaca bismillah dan memuji Allah serta
bershalawat kepada Rasul Allah, baru kemudian memulai pelajaran.
Jika guru menghafal pelajaran atau dituliskannya diktat, maka
dibacakan pelajaran itu dengan perlahan-lahan, lalu murid menulis apa
yang dibacakan guru. Setelah selesai dibacakan, lalu guru
menerangkan hal-hal yang sulit dalam pelajaran yang didiktekan
tersebut. Keterangan itu dituliskan oleh murid di pinggir kertas. Pada
akhir pelajaran, guru mengulang membaca pelajaran dan disuruhnya
seorang pelajar membacakannya untuk membetulkan kalau ada pelajar
yang salah menuliskannya. Dari diktat-diktat yang dituliskan itulah,
telah lahir kitab-kitab tulisan tangan yang kemudian dicetak beribu-
ribu naskah, sehingga menjadi kitab yang termasyhur.
Jika telah tamat ilmu yang diajarkan guru, lalu guru
menandatangani satu naskah atau beberapa naskah yang ditulis oleh
pelajar-pelajar itu, serta menerangkan bahwa guru telah membacakan
naskah itu kepada pelajar yang menuliskannya. Kemudian guru
memberikan ijazah kepada pelajar bahwa ia berhak mengajarkan atau
meriwayatkan kepada pelajar yang lain. Jadi, dalam halaqah, ijazah
tidak diberikan oleh sekolah, melainkan oleh guru sendiri. Seorang
pelajar yang tamat pelajarannya, ia mengatakan : Saya mendapat ijazah
dari guru (syekh) fulan’, bukan dari sekolah apa.
Pelajar tidak memilih sekolah yang baik melinkan memilih
guru (syekh) yang termasyhur kealimannya dan kesolehannya. Murid
bebas memilih guru. Kalau pelajaran guru tidak memuaskan baginya,
boleh pindah ke halaqah guru yang lain. 16

15
W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, Pengaruh Islam atas Eropa Abad
Pertengahan, (Jakarta : Gramedia, 1997), h. 97
16
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, h. 60-61
37

Dari kegiatan ini dapat dilihat bagaimana nikmatnya kegiatan


menuntut ilmu pada masa itu, dimana seorang murid memiliki
kebebasan untuk memilih guru dan pelajaran yang ingin diambil tanpa
harus merasa dipaksa sehingga kegiatan belajar akan belajar lebih
optimal.
Seorang murid pada masa itu dapat menyalurkan minat dan
keinginannya kepada suatu ilmu dengan guru yang sesuai dengan
keinginannya sehingga murid tersebut akan bersungguh-sungguh dan
senang hati dalam mendalami suatu ilmu pelajaran. 17
Sungguh berbeda dengan pendidikan zaman sekarang yang
seakan menuntut seorang murid untuk mengikuti pola pendidikan yang
sudah diatur dengan berbagai mata pelajaran dan guru yang sudah
ditentukan dan harus diterima serta diikuti oleh setiap murid.
Tidak berarti pola tersebut tidak baik hanya banyak fakta yang
menunjukkan setiap anak tidak dapat menguasai secara penuh seluruh
mata pelajaran yang diajarkan, hanya beberapa mata pelajaran yang
mungkin dapat dikuasai dengan baik bahkan tidak sedikit yang hanya
mampu mengikuti tanpa dapat menguasai mata pelajaran tersebut
dengan baik dan banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
b. Aktivitas Berdebat sebagai Latihan Intelektual
Tokoh-tokoh yang muncul dalam sejarah adalah mereka yang
kritis, berani, dan tegas dalam ilmu yang diyakininya benar. Mereka
yang menjalani pendidikan Tinggi di lembaga-lembaga formal
melakukan hal tersebut karena kecintaan terhadap kehidupan
intelektual. Kehidupan para ilmuwan yang benar-benar tekun dan telah
berhasil menguasai ilmunya, terbuka peluang untuk maju menjadi
mufti, menjadi penasihat, atau tutor di rumah hartawan bagi sejumlah
mahasiswa, pengakuan sebagai ilmuan dan status sosial yang
disandangnya cukup menjadi justifikasi hasil kerja keras mereka.

17
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : 1989), h.135
38

Murid yang paling cerdas membantu syekh sebagai mu’id dan


memperoleh bayaran untuk melanjutkan studinya. Pada sore hari,
mu’id mengulangi materi yang disampaikan oleh syekh pada pagi hari
dan membantu para murid yang mendapatkan kesulitan belajar dengan
berbagai penjelasan. Kegiatan ini berlangsung nonformal sepanjang
sore sampai malam hari. Para murid banyak menggunakan waktu
untuk menghafal sepanjang sore dan malam hari.
Umumnya para murid diberi waktu tiga hari-Selasa, Jum’at,
dan Sabtu untuk belajar sendiri dan melakukan aktivitas pribadi. Hari
Jum’at dan hari besar Islam sering kali diisi dengan debat khusus
antara staf pengajar dengan mahasiswa, ditambah dengan ceramah-
ceramah ilmiah. 18
Kegiatan ini sangat menunjang optimalisasi pengembangan
ilmu pengetahuan. Di samping seorang murid menerima ilmu
pengetahuan yang diberikan guru, murid tersebut pun diberi
kesempatan untuk dapat mengeluarkan pendapat dan pandangan yang
berbeda mengenai suatu ilmu pengetahuan sehingga tidak jarang
memunculkan ilmu pengetahuan yang baru.
Seorang murid pada masa ini pun mempunyai kesempatan
untuk dapat berbagi ilmu pengetahuan dan membantu teman yang lain
jika dirasa telah mempunyai kemampuan yang cukup. Sehingga ilmu
yang telah didapatkan akan semakin berkembang menjadi lebih baik
dan hal tersebut pun didukung dengan kondisi sang guru yang mau
menerima kritik, saran dan pandangan mengenai suatu ilmu yang
mungkin berbeda dengan apa yang telah dimiliki sang guru.
c. Aktivitas Rihlah Ilmiah
Tradisi rihlah ilmiah tampaknya berjalan sudah sejak lama.
Menurut Hasan, tradisi rihlah ini sudah berjalan sejak khalifah Harun
al-Rasyid, misalnya murid muslim mengadakan perjalanan sejauh

18
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : 1989), h. 135
39

India, Srilanka, Semenanjung Malaysia dan Cina, bahkan sejauh Korea


melalui laut 19.
Pelajar banyak yang melakukan rihlah sampai keluar negeri
untuk menuntut ilmu pengetahuan. Mereka merantau meninggalkan
keluarga dan tanah tumpah darahnya meskipun harus berjalan kaki.
Aktivitas keilmuan pada masa al-Ma’mun mencapai masa
keemasan dalam sejarah kemajuan Islam, karena khalifah sendiri
seorang ulama besar. Majelis al-Ma’mun penuh oleh para ahli ilmu,
ahli sastra, ahli kedokteran, dan ahli filsafat. Mereka diundang oleh al-
Ma’mun dari segala penjuru dunia yang telah maju. Terkadang, al-
Ma’mun sendiri berperan aktif dalam berdiskusi dan berdebat dengan
para ahli tersebut.
Para pelajar melakukan rihlah keluar negeri bukan hanya untuk
mendengarkan ilmu pengetahuan dari guru-guru, melainkan juga ada
yang hendak mengadakahn penyelidikan sendiri. Mereka
mengumpulkan bahan-bahan ilmu dari hasil penyelidikan. Mereka
mencatat apa yang telah diselidikinya. Kemudian, buku itu menjadi
sumber yang asli yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kegiatan rihlah ilmiah ternyata sudah sejak zaman khalifah al-
Ma’mun telah dilakukan. Bahkan pada masa ini kegiatan tersebut
dilakukan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Kegiatan ini
memang menjadi salah satu kegiatan yang juga menunjang
pengembangan ilmu pengetahuan.
Kegiatan rihlah pada masa ini benar-benar dimanfaatkan untuk
kegiatan ilmu pengetahuan. Tidak jarang diantara mereka mampu
menghasilkan karya dan berhasil melakukan penyelidikan terhadap
suatu ilmu pengetahuan. Pada masa itu pula setiap dermawan dan
hartawan seakan tahu betul akan pentingnya kegiatan ini sehingga
banyak diantara mereka yang dengan tulus ikhlas menyisihkan
sebagian harta mereka untuk para penuntut ilmu.

19
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h.135
40

C. Pengembangkan Institusi Pendidikan


Khalifah al-Ma’mun adalah seorang khalifah Islam yang arif bijaksana,
tinggi akal, bagus budi pekertinya, mengutamakan kemerdekaan berpikir dan
berdiskusi. Menurut tinjauan dan pendapatnya sesungguhnya pertikaian
dalam beberapa masalah agama menyebabkan umat Islam terpecah belah,
terbagi kepada beberapa golongan. Untuk menghindari hal tersebut
diadakannya majelis Munazarah tempat mendiskusikan persoalan agama yang
pelik, majelis ini bersidang dihadapan al-Ma’mun sendiri serta dihadiri ulama-
ulama yang kenamaan. Hasil pembahasan tersebut kemudian diumumkan
kepada khalayak ramai (rakyat) agar mereka beramal menurut hukum yang
sama berdasarkan atas pendapat-pendapat yang telah disatukan, supaya jangan
timbul juga perselisihan.
Awal dari lembaga-lembaga pendidikan dalam sejarah Islam tidak
dapat dipisahkan dari fungsi dan peranan masjid. Di samping sebagai pusat
pelaksanaan ibadah shalat maka masjid berfungsi pula sebagai penyebar ilmu
pengetahuan. Di setiap masjid para ulama mengajar berbagai macam ilmu dan
di masjid telah disiapkan pula ruangan baca atau perpustakaan khusus.
Seluruh lembaga pendidikan Islam pada masa Abbasiyah dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tingkat, yaitu :
Pertama, pendidikan dasar (rendah) yang terdiri dari kuttab, rumah,
toko, pasar, dan istana. Kurikulum yang diajarkan pada pendidikan dasar
meliputi materi pelajaran :
a) Membaca dan menghafal al-Qur’an,
b) Pokok-pokok agama Islam, seperti : wudhu, shalat, dan shaum,
c) Menulis,
d) Tarikh,
e) Membaca dan menghafal syair,
f) Berhitung, dan
g) Dasar-dasar nahwu dan sharaf
Kurikulum seperti ini tidak seragam di seluruh daerah, mengingat
situasi dan kondisi setempat yang berbeda-beda.
Kedua, pendidikan menengah yang mencakup masjid dan sanggar seni
dan ilmu pengetahuan. Kurikulum yang diajarkan pada pendidikan menengah
meliputi :
a) Al-Qur’an,
b) Bahasa dan satra Arab,
c) Fiqh,
41

d) Tafsir,
e) Hadits,
f) Nahwu/sharaf,
g) Ilmu-ilmu eksakta,
h) Mantiq,
i) Falaq,
j) Tarikh,
k) Ilmu-ilmu kealaman,
l) Kedokteran, dan
m) Musik.
Ketiga, pendidikan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan
perpustakaan seperti bait al- Hikmah dan Dar al-Ulum di Kairo. Kurikulum
pendidikan tinggi lebih menunjukkan adanya keberagaman, namun secara
umum lembaga pendidikan tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas
ilmu agama dan satra. Fakultas ini mempelajari :
a) Tafsir,
b) Hadits,
c) Fiqh/Ushul Fiqh,
d) Nahwu/Sharaf,
e) Balagah,
f) Bahasa dan sastra Arab,
Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari :
a) Mantiq,
b) Ilmu alam dan kimia,
c) Musik,
d) Ilmu-ilmu eksakta,
e) Ilmu ukur,
f) Falaq,
g) Ilmu teologi,
h) Ilmu hewan,
i) Ilmu nabati, dan
j) Ilmu kedokteran. 20

Pembagian tingkatan pendidikan di atas masih terbuka untuk


diperdebatkan, hal ini terlihat dalam fungsi lembaga masjid yang kadang-
kadang dianggap lembaga pendidikan yang memberikan materi pelajaran
tingkat menengah dan kadang-kadang dianggap lembaga pendidikan yang
memberikan materi pelajaran tingkat tinggi.

20
Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam
Klasik, (Angkasa, Bandung, 2005), h.-139-140
BAB V
HASIL YANG DICAPAI KHALIFAH AL-MA’MUN DALAM
MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN

A. Berkembangnya Baitul Hikmah


Baitul Hikmah atau Darul Ilmi di Baghdad didirikan pada masa Harun
ar-Rasyid menjadi khalifah (170-193 H/786 809 M). Kemudian diteruskan dan
diperbesar oleh khalifah al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M). Pada Baitul
Hikmah bukan saja diajarkan ilmu-ilmu agama Islam, bahkan juga ilmu-ilmu
hikmah, yaitu ilmu alam, kimia, falak dan lain-lain.
Lembaga pengetahuan itu pun menjelma menjadi tempat para ilmuwan
Muslim melakukan penelitian dan menimba ilmu. Pada era kekuasaan al-
Ma’mun, Baitul Hikmah pun dilengkapi dengan observatorium. Sejarah
mencatat, pada era itu tak ada pusat studi di belahan dunia mana pun yang
mampu menandingi dan menyaingi kehebatan Baitul Hikmah. 1
Keberadaan Baitul Hikmah yang semakin berkembang menunjukkan
betapa besar kecintaan al-Ma’mun terhadap ilmu pengetahuan. Bukan saja
sebagai salah satu bentuk jasa beliau dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
Baitul Hikmah seakan menjadi syurga bagi para penuntut ilmu dan para
ilmuan pada masa itu.
Para penuntut ilmu dan para ilmuan benar-benar merasakan begitu
banyak manfaat yang didapat sejak Baitul Hikmah dibangun hingga

1
As-Suyuthi, “Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam”, (Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar, 2006) , dalam http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011

42
43

mengalami perkembangan yang begitu pesat baik dalam bidang keilmuan


maupun semakin banyak karya-karya yang dihasilkan dari proses
penerjemahan dan perburuan-perburuan manuskrip penting lainnya.
Di Baitul Hikmah, segala macam ilmu pengetahuan dikaji, diteliti dan
dikembangkan oleh para ilmuwan. Studi yang berkembang pesat di lembaga
itu antara lain : matematika, astronomi, kedokteran, zoologi, serta geografi.
Sebagai khalifah yang dikenal sangat inovatif, al-Ma’mun meminta para
ilmuwan Muslim tak hanya menguasai pengetahuan hasil transfer dari
peradaban lain saja. Ia mendorong para ilmuan Muslim untuk melahirkan
inovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Upaya itu
akhirnya tercapai. Baghdad pun menjelma menjadi kota yang paling kaya raya
di dunia dan menjadi pusat pengembangan intelektual pada era itu. Saat itu,
penduduk Baghdad mencapai satu juta jiwa populasi terbesar saat itu. Selama
kepemimpinannya, Baitul Hikmah telah melahirkan sederet ilmuwan Muslim
terkemuka di dunia.2
Guru-guru besar yang memimpin Baitul Hikmah adalah ulama yang
luar biasa, sehingga membuat Baitul Hikmah menjadi sangat terkenal. Baitul
Hikmah mempunyai perpustakaan yang besar, Khalifah Harun ar-Rasyid
mengumpulkan berbagai kitab untuk mengisi perpustakaan tersebut di
antaranya adalah : kitab-kitab ilmu Islam, kitab-kitab ilmu kedokteran, dan
ilmu falak yang diterjemahkan dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab.
Baitul Hikmah adalah perguruan tinggi yang mempunyai perpustakaan
umum, bahkan itulah Universitas Islam yang pertama. Di sana berkumpul
ulama-ulama dan pembahas-pembahas den para mahasiswa-mahasiswa datang
dari segala penjuru dunia Islam. Dari sana disebarkan ilmu pengetahuan, baik
ilmu-ilmu filsafat, kedokteran dan lain-lain.
Di Baghdad didirikan alat peneropong bintang-bintang oleh Al-
Ma’mun. peneropong bintang itu berhubungan langsung dengan Baitul
Hikmah. Al-Ma’mun menyuruh ulama untuk mempelajari kitab Majisthi yang

2
As-Suyuthi, “Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam”, dalam
http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011
44

berisi ilmu falak. Lalu al-Ma’mun menyuruh ulama membuat alat peneropong
itu untuk mempelajari hal ihwal bintang-bintang sebagaimana dibuat oleh
Bathlimus, pengarang Al-Majisthi. Alat peneropong itu kemudian mereka
namai “Peneropong Al-Ma’muni”3
Al- Ma’mun juga mengisi Baitul Hikmah dengan berbagai manuskrip
berharga yang di dapat dari berbagai daerah di antaranya adalah pemerintah
Byzantium.4
Perburuan manuskrip-manuskrip inilah yang menjadi salah satu
kegiatan yang sangat penting dilakukan pada masa al-Ma’mun. Saat
melakukan penaklukan ke suatu daerah bukan harta benda yang menjadi fokus
utama bagi al-Ma’mun melainkan karya-karya para ilmuan di daerah tersebut
serta manuskrip-manuskrip yang kemudian dipinjam untuk diterjemahkan dan
dijadikan koleksi tambahan di Baitul Hikmah.
Sehingga pada masa itu tidak heran koleksi buku-buku di perpustakaan
Baitul Hikmah sangat beragam dan lengkap melebihi koleksi buku-buku di
perpustakaan lainnya pada masa itu.
Beberapa terjemahan sudah mulai dikerjakan pada abad kedelapan.
Tetapi kerja penerjemahan secara serius baru dimulai pada masa pemerintahan
al-Ma’mun (813-833). Khalifah al-Ma’mun mendirikan sebuah lembaga
khusus untuk kerja penerjemahan tersebut, yang dikenal dengan sebutan
“Rumah Kebijaksanaan” (Bayt al- Hikma). 5
Lembaga khusus ini yang kemudian dimanfaatkan para ilmuan dan
para penerjemah untuk menerjemahkan berbagai macam karya. Imbalan yanga
sangat besar diberikan oleh al-Ma’mun yang semakin membuat para
penerjemah semakin giat melakukan gerakan penerjemahan.

3
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1992) Cet.
Ke-VII, h. 62-65
4
Husayn Ahmad Amin, Seratus tokoh dalam Sejarah Islam, (PT. Remaja Rosda Karya,
Bandung, 2001) h. 72
5
W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad
Pertengahan, (PT. Gramedia, Jakarta, 1995) h. 45
45

Karya-karya para ilmuan yang diterjemahkan antara lain : karya


Aristoteles, Galen, Palto, Hippocrates, Dioscorides, Ptolemy, dan Alexander
dari Aphrodisias.6
Ibnu Abi Usaibi’ah telah menyebut bahwa khalifah Harun al-Rasyid
melantik Yuhannah bin Masuwaih sebagai penerjemah buku-buku lama yang
terdapat di Ankara, Amuriyah dan di seluruh negeri Romawi, sewaktu
ditaklukkan oleh kaum muslimin, serta menjadikannya sebagai orang yang
bertanggung jawab di bidang terjemahan.
Di samping buku-buku Yunani yang dibawa ke Baitul Hikmah dari
Ankara dan Amuriyah itu, di sana terdapat pula buku-buku lain yang dibawa
dari Pulau Cyprus, Ibnu Nubatah al-Masri telah menyebutkan perkara ini.
khalifah al-Ma’mun telah melantik Sahal bin Harun sebagai penulis harta
simpanan Darul Hikmah yang berupa buku-buku karangan ahli-ahli falsafah
yang dibawa dari pulau Cyprus, yaitu sesudah khalifah al-Ma’mun berdamai
dengan pemerintah di pulau tersebut dan meminta pemerintah itu mengirim
kepadanya simpanan buku-buku Yunani yang berada di Pulau Cyprus.
Pemerintah itu lantas berunding dengan orang-orangnya dan meminta pikiran
mereka tentangan rancangannya untuk mengirim buku-buku tersebut kepada
Khalifah al-Ma’mun. semua yang berunding telah menolak rancangannya,
kecuali seorang padri yang mendukung dengan alasan buku-buku yang
mengandung ilmu-ilmu ‘aqli itu pasti akan merusakkan pemerintahan
Abbasiyah dan menjerumuskan ulama-ulama ke jurang kesalahan. Dengan itu
ia mencadangkan supaya buku-buku tersebut diserahkan kepada Khalifah al-
Ma’mun dengan secepatnya. Pikirannya telah diterima dan buku-buku itu pun
segera dikirim kepada Khalifah al-Ma’mun yang merasa amat gembira dan
puas hati. Di sana juga terdapat sejumlah buku-buku yang telah dibawa ke
Baitul Hikmah dari Constantinople. 7

6
Mehdi Nakosten, ”Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi Analisi
Abad Keemasan Islam”, (Surabaya, Risalah Gusti, 1996), Cet. Ke-I, h. 15
7
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997),
Cet. Ke-IX, h. 201
46

Buku-buku dari Yunani merupakan salah satu buku yang banyak


diterjemahkan dan diburu oleh al-Ma’mun untuk kemudian diterjemahkan.
Tidak hanya memanfaatkan dan menerjemahkan buku-buku yang memberi
manfaat langsung bagi perkembangan umat Islam pada masa itu tetapi juga
buku-buku yang memang penting untuk diterjemahkan dan sudah tidak
terdapat lagi di daerah lainnya, walaupun kemudian muncul rencana untuk
menyesatkan umat Islam melalui buku yang dipinjam namun al-Ma’mun tetap
dengan senang hari menerima dan menerjemahkan karya tersebut karena pasti
akan ditemukan manfaat lain tidak hanya sekedar kemudharatan saja.
Mengenai hal ini Ibnu as Nadim telah menyebut bahwa Khalifah al-
Ma’mun mempunyai hubungan perutusan dengan raja Roma, dan pada suatu
hari beliau telah menulis kepada raja Roma itu meminta izin untuk
menyelamatkan ilmu-ilmu purba yang tersimpan di negeri Roma menurut yang
dipilih. Raja Roma telah menyambut permintaan itu, tidak menolaknya.
Dengan itu maka Khalifah al-Ma’mun pun melantik serombongan tokoh-
tokoh, di antaranya al-Hajjaj binMatar, Ibnu al-Batriq, Salam ketua Baitul
Hikmah dan lain-lainnya.
Mereka ini telah membawa kembali buku-buku yang telah mereka
pilih. Khalifah al-Ma’mun telah mengarahkan mereka supaya
menerjemahkannya. Dikatakan juga bahwa Yuhanna bin Masuwaih adalah
termasuk di dalam rombongan yang dikirimkan ke negeri Roma itu. Khalifah
al-Ma’mun juga telah mendapatkan tenaga Hunain bin Ishak yang masih
berusia muda dan memintanya menyalin buku-buku cerdik pandai disalin oleh
orang-orang lain. Diriwayatkan bahwa khalifah al-Ma’mun memberikan
kepada Hunain bin Ishak emas seberat buku-buku yang diterjemahkannya ke
bahasa Arab.8

8
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, h. 202-203
47

Karya besar yang terpenting pada masa al-Ma’mun adalah pembangun


Baitul Hikmah yang membuat Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan. 9
Baitul Hikmah berkembang dan mencapai puncaknya pada masa al-
Ma’mun yang kemudian membuat berbagai cabang ilmu pengetahuan
berkembang pesat pada masa itu dan secara tidak langsung melahirkan para
ilmuan penting yang kontribusi dan karyanya sangat bermanfaat bagi
perkembangan umat Islam. Menjadi catatan tersendiri bagi sejarah kemajuan
umat Islam.

B. Berkembangnya Berbagai Cabang Ilmu Pengetahuan pada Masa


Khalifah Al-Ma’mun
Dinasti Abbasiyah (terutama saat dipimpin oleh para khalifah awal
seperti al-Manshur, al-Rasyid, al-Ma’mun dan beberapa khalifah setelah
mereka) adalah merupakan periode kecemerlengan peradaban Islam. Hal ini
disebabkan karena mereka sangat sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan
untuk sebuah peradaban. Mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak
akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu yang
bermanfaat adalah pilar amal kebaikan serta sumber dari kehidupan yang
bermakna. 10
1. Faktor-faktor yang menyebabkan Pesatnya perkembangan Sains dan
Filsafat
Banyak faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan sains
dan filsafat di masa Dinasti Abbasiyah, diantaranya sebagai berikut :
a. Kontak Islam dan Persia menjadi jembatan berkembangnya sains dan
filsafat karena secara kultural Persia banyak berperan dalam
pengembangan tradisi keilmuan Yunani.
b. Etos keilmuan para khalifah Abbasiyah tampak menonjol terutama
pada dua khalifah terkemuka yaitu Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun
yang begitu mencintai ilmu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

9
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, ( PT. Raja Grafindo,
Jakarta, 2000), Cet. Ke-X, h. 53
10
Yusuf Al-Qardhawi, Meluruskan Sejarah Islam, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005), h. 123
48

peradaban Islam diprakasai oleh penguasa atau memperoleh patronase


penguasa yang dalam hal ini diawali pada masa pemerintahan Harun
ar-Rasyid dan al-Ma’mun.
c. Peran keluarga Barmak yang sengaja dipanggil oleh khalifah untuk
keluarga istana dalam hal pengembangan keilmuan.
d. Aktivitas penerjemahan literatur-literatur Yunani ke dalam bahasa
Arab demikian besar dan ini didukung oleh khalifah yang memberi
imbalan yang besar terhadap para penerjemah.
e. Relatif tidak adanya pembukaan daerah kekuasaan Islam dan
pemberontakan-pemberontakan menyebabkan stabilitas Negara
terjamin sehingga konsentrasi pemerintah untuk memajukan aspek
sosial dan intelektual menemukan peluangnya.
f. Adanya peradaban dan kebudayaan yang heterogen di Baghdad
menimbulkan proses interaksi antara satu kebudayaan dan kebudayaan
lain.
g. Situasi sosial Bahgdad yang kosmopolitan di mana berbagai macam
suku, ras, dan etnis serta masing-masing kulturnya yang berinteraksi
satu sama lain. 11

Faktor-faktor yang telah disebutkan itulah yang sangat mempengaruhi


perkembangan ilmu pengetahuan pada masa al-Ma’mun. faktor-faktor yang
sangat menunjang dan mempermudah lahir dan berkembangnya berbagai
cabang ilmu pengetahuan bahkan beberapa di antaranya mencapai tingkatnya
pada masa itu.
Pada dasarnya al-Ma’mun yang memang mencintai ilmu pengetahuan
dan bersikap terbuka terhadap segala macam bentuk pembaharuan yang terkait
dengan ilmu pengetahuan juga menjadi salah satu dasar pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu.

2. Perkembangan cabang-cabang Ilmu Pengetahuan


Ilmu-ilmu yang berkembang pada masa itu antara lain :
a. Ilmu Agama
Ilmu agama yang dimaksud di sini adalah ilmu-ilmu yang muncul
di tengah-tengah suasana hidup keislaman, berkaitan dengan agama dan
bahasa al-Qur’an. Syalabi menyebutkan “ilmu-ilmu Islam” dan sebagian
cendekiawan lain menyebutkannya “ilmu-ilmu naqli”.
11
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h. 147-149
49

Ilmu pengetahuan agama telah berkembang sejak masa Dinasti


Umayyah. Namun pada masa Dinasti Abbasiyah, ia mengalami
perkembangan dan kemajuan yang luar biasa. Cabang ilmu pengetahuan
dalam bidang agama antara lain :
1) Ilmu Tafsir
Pada masa Dinasti Abbasiyah ilmu tafsir mengalami
perkembangan yang sangat pesat dengan dilakukannya penafsiran
secara sistematis, menyeluruh, serta terpisah dari hadis. Menurut
riwayat Ibnu Nadim, orang pertama yang melakukan penafsiran secara
sistematis berdasarkan tertib muashaf adalah al-Farra’ (w. 207 H). 12
Berbagai aliran muncul seperti Ahl as-Sunnah, Syi’ah,
Muktazilah mempengaruhi penafsiran al-Qur’an.13
Dari berbagai tafsir yang telah ada, diketahui bahwa corak
tafsir ada dua macam. Pertama, tafsir bi al- ma’tsur, yaitu penafsiran
al-Qur’an berdasarkan sanad dan periwayatan, meliputi penafsiran al-
Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadis, dan al-Qur’an
dengan perkataan sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu penafsiran
berdasarkan ijtihad. 14
2) Ilmu Hadis
Pada masa Abbasiyah, kegiatan pengkodifikasian hadis
dilakukan dengan giat sebagai kelanjutan dari usaha para ulama
sebelumnya. Perlu diketahui bahwa pengondifikasian hadis sebelum
masa Abbasyah dilakukan tanpa melalui penyaringan sehingga antara
hadis Rasulullah dan hadis palsu bercampur. Berkenaan dengan
keutamaan hadis sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an,
maka para ulama Islam pada masa Abbasiyah berusaha semaksimal
mungkin menyaring hadis Rasulullah agar diterima sebagai sumber

12
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, (CV. Artha Rivera, Jakarta, 2008), h. 69
13
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (UIN Malang Press,
Malang, 2008) Cet. Ke-I, h. 161
14
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 69
50

hukum. Penyaringan Hadist (al-Sunnah) diadakan dengan cara kritik


terhadap sanad (jalur penyampaian hadits) maupun matan (isi hadits).
3) Ilmu Kalam
Ilmu kalam lahir karena dorongan untuk membela agama Islam
dari pemikiran-pemikiran orang-orang Kristen dan Yahudi yang
mempergunakan filsafat sebagai senjata, juga untuk memecahkan
persoalan-persoalan agama dengan kemampuan akal pikiran dan ilmu
pengetahuan. Orang-orang Mu’tazilah mempunyai andil besar dalam
mengembangkan ilmu kalam yang pemecahannya bercorak filsafat. 15
Kaum Mu’tazilah berjasa dalam menciptakan ilmu Kalam,
karena mereka gigih membela Islam dari serangan Yahudi, Nasrani
dan Watsani. Menurut riwayat, mereka mengirim para juru dakwah ke
segnap penjuru untuk menolak serangan musuh.16
4) Ilmu Fikih
Di antara kebanggaan zaman pemerintahan Abbasiyah yang
pertama adalah terdapatnya empat imam mazhab fikih yang ulung.
Mereka adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan
Imam Ahmad bin Hanbal. Keempat imam mazhab tersebut merupakan
para ulama fikih yang paling agung dan tiada nilai tandingannya di
dunia Islam.
Metode pengambilan (istinbat) hukum yang dipergunakan oleh
para fuqaha pada masa itu dapat dibedakan menjadi ahl al-ra’yi dan
ahl al-hadis. Aliran pertama mengistinbatkan hukum berdasarkan
sejumlah nash-nash yang jelas jejaknya (Ma’tsur) jika tidak terdapat
nash yang jelas, serta banyak mendasarkan pemikiran hukumnya
kepada kemampuan akal pikiran dan pengalaman. Aliran ini terdapat
di Kuffah dan tokohnya yang paling terkenal adalah Imam Abu
Hanifah. Aliran yang kedua mengistinbatkan hukum berdasarkan
hadits-hadits Rasulullah. Aliran ini banyak terdapat di Madinah dan

15
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 74
16
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 164
51

tokohnya adalah Imam Malik. Di antara aliran ahl-al-ra’yi yang liberal


dan aliran ahl al-hadits yang konservatif terdapat Imam Syafi’I dan
Imam Ahmad bin Hanbal yang cenderung memadukan kedua metode
aliran tersebut. 17
Penetapan hukum yang dilakukan oleh keempat imam besar ini
memiliki metode masing-masing. Yang menarik bahwa pada
umumnya keempat imam besar hukum Islam tersebut sama-sama
menggunakan logika hukum yang diadopsi dari Aristoteles. 18
Pertentangan para ulama dalam hal materi fiqh (Hukum Islam)
memberikan gambaran betapa luasnya ruang lingkup Hukum Islam.
Untuk menghindari adanya pertentangan yang lebih luas yang dapt
membawa kepada akibat-akibat yang negatif, maka para ulama fiqh
berusaha menyusun Ilmu Ushul Fiqh yang dapat dijadikan sebagai
pegangan umum bagi semua para ahli hukum. 19
Keempat pemikir hukum Islam tersebut dalam wacana
pemikiran hukum Islam kemudian dikenal dengan istilah empat imam
mazhab fikih. Namun, keempat mazhab fikih tersebut hanya dianut
oleh masyarakat Islam Sunni, sedangkan untuk penganut Syi’ah,
mazhab yang dianut adalah Imam Ja’fari.20
5) Ilmu Tasawuf
Ilmu Tasawuf, yaitu salah satu ilmu yang tumbuh dan matang
dalam zaman Daulah Abbasiyyah, ilmu Tasawuf adalah ilmu syariat
yang baru diciptakannya. Inti ajarannya : tekun beribadah dengan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan
kesenangan dan perhiasan dunia dan bersunyi diri dalam beribadah.

17
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 69-74
18
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, (Jakarta : PT. Grasindo, 2002), h. 162
19
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 173
20
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah,h. 169
52

b. Ilmu-ilmu Umum
1) Etika (Akhlak)
Etika (Akhlak) Islam bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah.
Beberapa karya ilmiah telah dihasilkan dalam bidang ini. paling tidak
ada tiga corak penulisan ; pertama, pelajaran akhlak berupa anekdot,
pepatah dan kata-kata hikmah. Kedua adalah semacam cerita-cerita,
filsafat popular tentang moral yang diperoleh pada fable (dongeng
tentang binatang yang dapat bicara), dan ketiga pepatah dari Lukman
serta untaian hikmah dari para Sahabat.
2) Humaniora
Kemajuan peradaban Islam pada masa kejayaan Islam juga
mencakup bidang Humaniora. Dalam bidang ini peradaban Islam
tercermin dalam bidang Ilmu Bahasa dan sastra.
Ilmu Bahasa tumbuh dan berkembang, karena bahasa Arab
semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh.
Yang dimaksud dengan Ilmu Bahasa (ulum al-lughah) yaitu : Nahwu,
Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi’, Arudh, Qamus, dan Insya’.
Kota Basrah dan Kufah merupakan pusat pertumbuhan dan
kegiatan Ilmu Lughah; keduanya saling berlomba dalam bidang
tersebut, sehingga muncul “Aliran Basrah” dan “Aliran Kuffah” yang
masing-masing memiliki pendukung dan bangga dengan lairannya.
Aliran Basrah lebih banyak terpengaruh dengan Manthiq
(logika) dibandingkan dengan Aliran Kuffah, sehingga mereka
dinamakan ahli Manthiq.21
3) Filsafat
Filsafat muncul sebagai hasil integrasi antara ajaran Islam dan
kebudayaan klasik Yunani yang terdapat di Mesir, Suriah,
Mesopotamia, dan Persia, dan mulai berkembang pada masa khalifah
Harun ar-Rasyid dan Al-Ma’mun. Para filsuf muslim yang terkenal
dan kemudian menjadi tokoh filsafat dunia, antara lain, adalah Ya’qub

21
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 164-167
53

bin Ishaq al-Kindi 9796-873 M). ia dikenal sebagai flsuf Arab yang
telah menulis sekitar 50 buku, sebagian besar di bidang filsafat.22
Gelombang penerjemahan sangat berpengaruh terhadap
meluasnya tradisi helenistik ke dunia Islam. Umat Muslim banyak
yang menekuni tradisi intelektual Yunani, terutama filsafat, sehingga
terjadilah apa yang disebut Azra sebagai “helenisasi pemikiran Islam
dan Islamisasi pemikiran helenistik”. Wajarlah jika tradisi helenistik
kemudian membanjiri khazanah keilmuan kaum Muslim karena pada
awalnya filsafat berkaitan erat dengan ilmu-ilmu eksanta yang
dipelajari kaum Muslim dengan tekun. Kenyataannya banyak sekali
orang yang menjadi ahli dalam berbagai bidang, seperti ahli
kedokteran, fisika, kimia, dan sekaligus filsafat.23
4) Kedokteran
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu kedokteran telah mencapai
puncaknya yang tertinggi dan telah melahirkan para dokter yang sangat
terkenal. Di antara mereka, yang sangat terkemuka adalah Yuhannah
bin Musawih (w. 242 H) dengan al-‘Asyr al-Maqalat fi al-‘Ain
(tentang pengobatan penyakit mata). 24
Perkembangan ilmu kedokteran sejalan dengan perkembangan
ilmu filsafat. Mula-mula al-Mansur mengundang seorang dokter
kepala dari Jundishapur kemudian berturut-turut mengundang dokter-
dokter ternama dari Syria, Mesir, Bizantium dan India untuk
berkumpul di Baghdad. Buku-buku Yunani, Iran, India, dan lain-lain
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Buku-buku Yunani yang
menjadi standar ialah karya dari Hippocrates, Galen, Paul, Alexander
Thales, Discerides dan lain-lain.25

22
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 75
23
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti
Abbasiyah, h.186
24
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 76
25
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h.180
54

5) Astronomi
Astronomi membantu umat Islam dalam menentukan letak
Ka’bah. Di sisi lain, astronomi juga membantu praktik ramal-meramal
garis politik para khalifah dan amir yang berdasarkan perhitungan
kerjanya kepada peredaran bintang. 26
Pada awal abad kesembilan sudah ada dilakukan observasi-
observasi yang pertama dan teratur di sebelah Barat Daya Parsi dengan
mempergunakan alat-alat yang sudah agak sempurna; dan sebelum
pertengahan pertengahan abad tersebut berlalu maka Khalifah al-
Ma’mun telah mendirikan pos-pos observasi astronomi di Baghdad
dan di luar kota Damasik. Alat-alat astronomi yang dipakai pada
zaman itu terdiri dari kwadrat, astrolabium, jarum matahari, dan
bulatan dunia.
Dengan cara demikian ahli-ahli astronomi khalifah
menyelenggarakan salah satu pekerjaan pengukuran tanah yang paling
sukar, yaitu pengukuran derajat busur. Maksud pekerjaan itu ialah
untuk menetapkan ukuran kebesaran lingkaran dunia, berdasarkan
pendapat yang ada bahwa dunia ini bulat bentuknya. Hasil pengukuran
yang dilangsungkan di daratan sebelah Utara sungai Eufrat dan di
sekitar Palmyra menyatakan, bahwa panjang suatu derajat busur ialah
56 2/3 mil Arab. Ketelitian ukuran tersebut sangat mengagumkan,
karena ukuran panjang derajat busur yang sebenarnya pada tempat itu
hanyalah 2877 kaki lebih pendek.27
6) Matematika
Ilmu ini dibawa oleh ilmuan India pada masa Khalifah al-
Manshur melalui buku Sind qwa Hind. Dari terjemahan buku ini oleh
al-Fazzari, dikenallah sistem angka Arab dan angka nol yang
mempermudah perhitungan.selanjutnya, ilmu ini dikembangkan lagi

26
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 77
27
Philip K. Hitti, Dunia Arab Sejarah Ringkas, (Sumur Bandung, Bandung), Cet. Ke-VII,
h. 145
55

oleh al-Khwarizmi dan Habash al-Hasib dengan memuat tabel angka-


angka. 28
Ilmu Hitung (Matematika) adalah satu cabang ilmu yang
berkembang pesat dikalangan umat Islam, karena hukum-hukum
syariat tentang zakat dan waris menuntut perhitungan aritmatika. 29
7) Geografi
Pada masa Dinasti Abbasiyah, daerah perdagangan semakin
luas. Sebagai ibukota Negara, hubungan Bagdad dengan kota-kota lain,
baik melalui darat maupun laut, berkembang pesat dan lalu lintasnya
ramai sekali. Hal itu menimbulkan usaha untuk memudahkan
perjalanan, di antaranya dengan membuka jalan-jalan baru. 30
Ilmuan-ilmuan muslim juga sangat memperhatikan bumi dan
segala isinya. Ilmu tentang bumi pada zaman modern terbagi menjadi
beberapa disiplin ilmu, Geografi, Geologi, Geofisika, dan Meteorologi.
Perkembangan berbagai macam cabang ilmu pengetahuan di
atas semakin menunjukkan begitu pesatnya transformasi ilmu
pengetahuan pada masa itu. Al-Ma’mun yang memang menjunjung
tinggi keguanaan akal dan memberi kebebasan dalam berpikir
membuat berbagai cabang ilmu pengetahuan dapat berkembang pesat
pada masa itu.
Ilmu fikih dan filsafat mencapai masa puncaknya pada masa ini
tidak lain dikarenakan adanya keterkaitan antara ilmu fikih dan filsafat
atau lebih tepatnya metode yang digunakan para imam mazhab dalam
menetapkan hukum Islam sama-sama menggunakan logika yang
diadopsi dari Aristoteles.
Pada masa itu pula masyarakat memiliki kebebasan untuk
mengikuti mazhab yang diyakininya sehingga setiap mazhab memiliki
pengikut yang meyakini ajaran yang telah diajarkan Imam mazhab.
Kebebasan berpikir dan berpendapat membuat para mujahid semakin
28
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h.78
29
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah,h. 184
30
Fahsin M. Fa’al, Sejarah Kekuasaan Islam, h. 78-79
56

giat berijtihad sehingga memperluas ruang lingkup hukum Islam


karena itu untuk menghindari pertentangan yang tidak berujung maka
dibentuklah pedoman umum berupa ilmu ushul fiqih yang dapat
menjadi pedoman bagi para ahli hukum.
Sedangkan dalam bidang filsafat pada masa itu benar-benar
mencapai puncaknya. Kaum muslim banyak mengadopsi pemikiran
Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Mereka sangat asyik mendalami
pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Bagi ilmuan Muslim, filsafat
Yunani telah membantu mereka dengan alat-alat yang sangat
bermanfaat, seperti dialektika, silogisme, dan logika deduktif, untuk
memecahkan persoalan-persoalan teoritis pengetahuan dan ilmu-ilmu
agama yang merupakan poros kehidupan di dunia Islam.
Kegiatan penerjemahan yang juga banyak menerjemahkan
karya-karya Yunani juga turut memberi andil semakin berkembangnya
filsafat di kalangan kaum muslim pada masa itu.

3. Munculnya Tokoh-tokoh Penting dalam berbagai Bidang Ilmu


pengetahuan
Hadirnya berbagai cabang ilmu pengetahuan tidak terlepas dari
kemunculan tokoh-tokoh penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
tersebut yang tidak hanya sebagai tokoh utama lahirnya ilmu-ilmu tersebut tapi
juga sebagai penggerak kemajuan ilmu-ilmu tersebut hingga dikenal khalayak
ramai hingga hari ini. Karena jasa dan buah pemikiran mereka umat manusia
khususnya umat Islam dapat hidup lebih maju dari sebelumnya khususnya
pada masa khalifah Al-Ma’mun yang amat sangat perduli dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
a. Tokoh-tokoh dalam bidang Ilmu Agama
1) Dalam bidang Ilmu Tafsir :
a) Ibnu Jarir al-Thabary, dengan tafsirnya Jami’al- Bayan fi Tafsir al-
Qur’an sebanyak 30 juz. (menggunakan metode tafsir bi al-
ma’tsur)
57

b) Ibnu Athiyah al-Andalusy (Abu Muhammad Abdulhaq bin


Athiyah) 481-546 H.
c) As-Suda yang mendasarkan tafsirannya pada Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud dan para sahabat lain. Wafat 127 H. 31
d) Muqatil bin Sulaeman (wafat 150 H) yang tafsirannya terpengaruh
dengan taurat.
e) Muhammad bin Ishak, yang dalam tafsirannya banyak mengutip
cerita Israiliyat.
f) Abu Bakar Asam (Mu’tazilah) wafat 240 H.
g) Abu Muslim Muhammad bin Bahr Isfahany (Mu’tazilah),
wafat322 H. kitab tafsirnya berjumlah 14 jilid.
h) Ibnu Jaru al-Asady (Mu’tazilah), wafat 387 H. beliau menafsirkan
bismillah ke dalam 120 macam.
i) Abu Yunus Abus Salam al-Qazwany (Mu’tazilah), wafat 483 H.
beliau menafsirkan al-Qur’an sangat luas, tafsir surah al-fatihah
meliputi 7 jilid.
2) Dalam bidang Ilmu Hadits :
a) Imam Bukhari yaitu Abu Abdullah Muhammad bi Abil Hasan al-
Bukhari, lahir di Bukhara 194 H dan wafat di Baghdad 256 H.
kitabnya al-Jami’al-Shahih al-Musnad al- Mukhtashar min al-
Hadits Rasulillah saw wa Sunanih wa Ayyamin, terkenal dengan
sebutan Shahih Bukhari.
b) Imam Muslim, yaitu Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj Ibn Muslim
Ibn Ward Ibn Qusyairi, wafat tahun 261 H di Naisabur. Kitabnya
al-Jami’ al-Shahih, terkenal dengan sebutan Shahih Muslim.
c) Ibnu Majah, yaitu Muhammad bin Yazid Majah al-Qazwainy,
wafat tahun 273 H. kitabnya al-Sunan terkenal dengan Sunan Ibnu
Majah.

31
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 161
58

d) Abu Daud, yaitu Abu Daud Sulaeiman bin Asy’as al-Azdy al-
Sajastany, wafat di Basrah tahun 275 H. Kitabnya as-Sunan,
terkenal dengan sebutan Sunan Abu Daud.
e) At-Tirmidzi, yaitu al-Hafidh Abu Isa Muhammad bin Isa adh-
Dhahak at-Tirmidzi
f) An-Nisa’I, yaitu Abdur Rahman Ahmad bin Ali an Nisa’I wafat di
Makkah tahun 303 H. kitabnya as-Sunan terkenal dengan sebutan
Sunan Nisa’i.
g) Al-Hakim an-Naisabury, wafat tahun 405 H
h) Abdul Fatah Salim bin Aiyub ar-Razy, wafat tahun 447 H32
i) Al-Ajiry, wafat 360 H
j) Al-Baihaqy, wafatnya tahun 458 H
3) Dalam bidang Ilmu Kalam :
1) Washil bin Atha’, Abu Huzail, al-Juba’I, al-Allaf, al-Nazzam, Abu
Hasan al-Asy’ary, al-Baqillani, al-Juwaeni dan Hujjatul Islam
Imam Ghazali.
4) Dalam bidang Ilmu Fikih :
1) Imam Abu Hanifah dengan karyanya al-Fiqh al-Akbar
2) Imam Malik dengan karyanya al-Muwaththa
3) Imam Syafi’i dengan karyanya al-Umm
4) Imam Ahmad bin Hanbal dengan karyanya al-Kharraj
5) Dalam bidang ilmu Tasawuf :
1) Al-Qusairy. Nama lengkapnya Abu Kasim Abdul Karim bin
Hawazin al-Qusairy, wafat tahun 465 H. beliau alim dalam ilmu-
ilmu Fiqh, Tafsir, Hadis, Adab, Syair dan terutama Tasawuf. Kitab
karangannya adalah al-Risalat al-Qusyairiyah.
2) Syahabuddin. Nama lengkapnya Abu Hafas Umar bin Muhammad
Syahabuddin Syahrawardy, wafat di Baghdad tahun 632 H. kitab
karangannya dalam ilmu tasawuf yaitu Awariif al-Ma’arif 33

32
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 163
33
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 164
59

3) Imam Ghazali. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin


Ahmad al-Ghazali lahir di Thus pada abad ke-5 Hijriyah, dan
meninggal tahun 502 H. madzhab yang dianutnya adalah madzhab
Syafi’i. beliau membawa aliran baru dalam tasawuf dan muncul
kitab karangannya Ihya’ Ulum al-Din, inti dari kitab tersebut
adalah perpaduan ajaran tasawuf dengan ajaran hidup
bermasyarakat, sehingga ilmu tasawuf merupakan satu ilmu yang
dibukukan setelah sebelumnya hanya masuk ke dalam sistem
ibadah saja. Kitab-kitab karangan Imam al-Ghazali sangat banyak,
baik kitab tasawuf atau lainnya. Di antaranya al-Basith, al-
Wasithul Muhith bi Aqtharil Basith, al-Wajiz, Maqashid al-
Falsafah, al-Munziqu Minadh Dhalal, al-Madhnun, Bidayatul
Hidayah, Sirrul Alamin wa Kasyfu Mafid Darain, Jawahirul
Qur’an, Fadhahul Bathiniyah, Gharibul Auwal fi Ajaibid Dual,
dan Tanzihul Aur’an ‘anil Matha’in.
b. Tokoh-tokoh dalam bidang Ilmu Umum
1) Dalam bidang etika (akhlak) yaitu :
a) al-Durrah al-Yatimah oleh Ibnu al-Muqaffa (wafat 757), al-
Mawardi (wafat 1058) dalam buku Adab al-Dunya wa al-Din, Ibnu
Maskawiyah dalam Tahdzib al-Akhlaq, Imam Ghazali dalam Ihya
Ulum al-Din.
2) Dalam bidang Humaniora
1) Subawaihi (wafat 183 H), yaitu Abu Basyar Umar bin Usman.
Kitab karangannya terdiri dari 2 jilid dengan tebal 1.000 halaman
2) Mu’az al-Harra (wafat tahun 187 H), yaitu Abu Muslim, orang
yang mula-mula membuat tasrif
3) Al-Kisai (wafat 198 H), yaitu Ali bin Hamzah. Banyak mengarang
kitab-kitab tentang bahasa
4) Al-Farra’ (wafat 208 H), yaitu Abu Zakaria Yahya bin Zaiyad al-
Farra. Kitab Nahwu karangannya terdiri dari lebih dari 6.000
halaman.
5) Al-Khalil bin Ahmad (wafat 189 H), yaitu Abu Abdur Rahman sl-
Khalil bin Ahmd al-Bashary. Karangannya Kitab al-‘Ain
6) Muarraj as-Sudusy (wafat th. 195 H), yaitu Abu Fuad Muarraj bin
Umar as-Sudusy. Karangannya antara lain, kitab al-Anwa’, kitab al-
Gharib al-Qur’an, kiab al-Jamahir al-Qabaili, dan kitab al-
Masecuite Ani
7) Abu Usman al-Maziny (wafat 249 H)
60

8) Abdurrahman al-Hamzany (wafat 327 H)


9) Ibnu Khulawaihi (wafat 370 H), yaitu Abu Abdullah al-Husain bin
Ahmad Khalawaihi
10) Mathraz al-Barudy (wafat 345 H) 34

3) Dalam bidang Ilmu Filsafat :


a) Al-Kindi (801-873 M/185-260 H). Al- Kindi
Di kalangan kaum muslimin, orang yang pertama
memberikan pengertian filsafat dan lapangannya adalah al-Kindi. Ia
adalah Abu Yusuf ibn Ishaq dan terkenal dengan sebutan “filosuf
Arab” keturunan Arab asli. Berasal dari Kindah di Yaman, tetapi
lahir di Kufah (Irak) di tahun 796 M. Orang tuanya adalah gubernur
di Basrah. Setelah dewasa ia pergi ke Baghdad dan mendapat
lindungan dari khalifah Al- Ma’mun (813-833 M) dan Khalifah Al-
Mu’tashim (833-842 M).
Al-Kindi menganut aliran Mu’tazilah dan kemudian belajar
filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani
dan al-Kindi kelihatannya turut aktif dalam gerakan penerjemahan
ini tetapi usahanya lebih banyak dalam memberi kesimpulan dari
pada menerjemahkan karena ia orang yang berada, ia dapat
membayar orang untuk menerjemahkan buku-buku yang perlu
baginya.
Ia membagi filsafat kepada tiga bagian : ilmu fisika (ilmu
thibbiyyat) sebagai tingkatan yang paling bawah, ilmu matematika
(al-ilmu al-riyadhi) sebagai tingkatan tengah-tengah, dan ilmu ke-
Tuhanan (Ilmu al-rububiyah) sebagai tingkatan yang paling tinggi.
Alasan pembagian tersebut ialah karena ilmu adakalanya
berhubungan dengan seauatu yang dapat diindera, yaitu benda atau
fisika adakalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai
wujud sendiri yaitu ilmu matematika yang terdiri dari ilmu hitung,
teknik, astronomi, dan musik; atau tidak berhubungan dengan
benda sama sekali yaitu ilmu ke-Tuhanan. Al-Kindi meninggal
tahun 873 M.
b) Ar-Razy (864-925 M/250-313 H), nama lengkapnya adalah Abu
Bakar Muhamamd bin Zakaria ar-Razi, ia dilahirkan dan tumbuh
dewasa di Rayy, dekat Teheran Persia, tetapi pernah hidup
berpindah-pindah. Ia adalah dokter terbesar yang dilahirkan pada
zaman puncak kejayaan Islam 35
c) Al-Farabi (872-950 M/259-339 H), nama lengkapnya Abu Nasr
Muhammad bin Muhammad bin Uzlagh bin Thurkhan al-Faraby,
adalah filosuf kenamaan setelah al-Kindi, ia lahir di dearah Farab,
selatan Samarkand (Transaxonia) Ia adalah Abu Nashr Muhammad
ibn Muhammad ibn Thankhan. Sebutan al-Farabi diambil dari kota

34
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 165
35
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 168
61

Farab tempat lahirnya tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang Iran,


ibunya wanita Turkistan. Ia penah menjadi perwira tentara
Turkistan. Sejak kecil al-farabi suka belajar dan mempunyai
kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa-bahasa yang
dikuasai ialah Iran, Turkistan, dan Kurdistan, tetapi tampaknya ia
tidak mengenal bahasa Yunani dan Syiria yang menjadi bahasa
ilmu pengetahuan dan filsafat waktu itu.
Setelah besar ia menuju Baghdad untuk belajar antara lain
kepada Abu Bisri ibn Mathius. Selama di Baghdad ia memusatkan
perhatiannya kepada logika. Baghdad pusat pemerintahan dan
ilmu, tetapi karena ia waktu pertama kali datang belum menguasai
bahasa Arab, maka ia belajar bahasa Arab dan ilmu nahwu kepada
Abu Bakar as-Sarraj. Sesudah itu pindah ke Harran untuk berguru
kepada Yuhana ibn Jilan, kemudian kembali lagi ke Baghdad untuk
mendalami filsafat. Di Baghdad ia selama 30 tahun. Selama waktu
itu ia mempergunakan waktunya untuk mengarang, mengajar dan
mengulas buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu
antara lain Yahya ibn ‘Ady. Ia wafat pada tahun 337 H/950 M
pada usia 80 tahun.
Di antara karangannya adalah :
1. Aghradh ma ba’da al-Thabi’ah
2. Al-Jam’u baina Ra’yi al-Hakimain (mempertemukan pendapat
kedua filosof maksudnya Plato dan Aristoteles)
3. Tahsil Al-Sa’adah (mencari kebahagiaan)
4. Uyun al-Masail (pokok-pokok persoalan)
5. Ara’u ahli al-Madariah al-Fadhilah (pemikiran-pemikiran
penduduk kota utama-negeri utama).
6. Ihsha’u al-alum (statistik ilmu)
d) Ibnu sina (980-1036 M/370-428 H) Ia dikenal selain sebagai
seorang dokter yang mendapat julukan “Bapak Dokter” oleh penulis
Barat karena pengaruhnya terhadap ilmu kedokteran di Barat berkat
bukunya Al-Qanun fi al-Thib yang sampai penghujung tahun 1500
masih tetap menjadi buku standar untuk universitas-universitas
Eropa, juga dikenal dalam filsafat dengan julukannya al-Syaikh al-
Rais (kyai Utama). 36

Karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah :


1. Asy-Syifa. Buku ini buku filsafat yang terpenting dan terbesar
dari Ibnu Sina , terdiri dari empat bagian, yaitu logika, fisika,
matematika dan metafisika (ketuhanan).
2. An-Najat. Buku ini merupakan ringkasan buku Asy-Syifa dan
pernah diterbitkan bersama buku al-Qanun dalam ilmu

36
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 172
62

kedoteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M


di Mesir.
3. Al-Isyarat wa Tanbihat. Buku ini adalah buku terakhir dan yang
paling baik. Pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892,
sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis kemudian
diterbitkan di Kairo lagi pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr.
Sulaiman Dunia.
4. Al- Hikmat al-Masyriqiyyah. Buku ini banyak dibicarakan oleh
orang karena ketidakjelasan maksud judul buku dan naskah.
Naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang
mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf, tetapi
menurut Carles Nailino berisi filsafat Timur sebagai imbangan
dari filsafat Barat.
e) Ibnu Bajjah (wafat 523 H/1138 M), nama lengkapnya, adalah Abu
BAkar Muhammad bin Yahya Ibnu Bajjah. Ia lahir di Zaragoza,
Andalusia (Spanyol).
f) Ibnu Tufail(1106-1185 M/500-581- H), nama lengkapnya adalah
Abu Bakr bin Abdul Malik bin Thufail, ia lahir di Wadi Asy (dekat
Granada, Spanyol) dan wafat di Marakech.
g) Ibnu Rusyd (1126-1198 M/520-595 H), nama lengkapnya adalah
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusydi,
ia lahir di Kordoba, berasal dari keluarga hakim dan meninggal di
Marakech.
h) Al-Abhary (wafat 663 H), yaitu Atsiruddin Mufadhdhal bin Umar
al-Abhary, karangan-karangannya tentang Filsafat, manthiq, dan
thib37
4) Dalam bidang Ilmu Kedokteran :
a) Ibnu Masiwahi (wafat 243 H), yaitu abu Zakaria Yuhana bin
Masiwahi, ayahnya seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundisabur.
Karangannya tentang kedokteran

37
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 174
63

b) Ibnu Sahal (wafat 255 H), yaitu Sabur bin Sahal, direktur Rumah
Sakit Jundisabur. Karangannya tentang thib dan farmasi
c) Abu Bakar ar-Razy (wafat 320 H), yaitu Abu Bakar Muhammad
bin Zakaria ar-Razy. Dokter yang paling masyhur di zamannya,
sehingga menjadi ketua dokter Rumah Sakit di Baghdad
d) Ali bin Abbas (wafat 354 H)
e) Ibnu Sina (wafat 428 H), kecuali filosof beliau juga dokter yang
ahli dan masyhur
5) Dalam bidang Ilmu Astronomi :
a) Abu Ma’syar al-Falaky (wafat 272 H), yaitu Ja’far bin Umar al-
Falaky, yang terkenal dengan nama Abu MA’syar al-Falaky
b) Jabir Batany (wafat 319 H), yaitu Abu Abdullah Muhammad bin
Jabir al-Batany al-Hiranya ash-Shaby, yang telah menetapkan letak
bintang.
c) Abu Hasan (277-352 H), yaitu Abu HAsan Ali bin Abi Abdillah
Harun Bin Ali
d) Al-Biruny (wafat tahun 440 H), yaitu Muhammad bin Ahmad al-
Biruny
e) Al-Farghani (Alfraganus) sekitar tahun 860
f) Al-Battani (albatanius) 859-929 bersama Sabit bin Qurrah (836-
901) merupakan penerus al-Farghani
6) Dalam bidang Matematika :
a) Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M), ia juga ahli
geografi terkemuka. Kitabnya antara lain : al-Kitab al-Mukhtasar fi
Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah (Kompendium tentang Hitung al-
Jabar dan Persamaan), al-Hisab al-Jabar wa al-muqababah.38
b) Al-Nasawi (wafat 1040). Ia adalah orang pertama yang
menguraikan pembagian pecahan dan mencari akar pangkat dua
dari suatu bilangan dengan cara yang hampir sama dengan cara
yang dikenal saat ini.

38
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 176
64

c) Abu Kamil al-Suja al-Hasib al-Mishri, kitabnya adalah : Kitab fi al-


Jam wa al-Tafriq (penambahan dan pengurangan dan Kitab al-
Khatha’ain (tentang dua kesalahan).
d) Abu al-Wafa al-Khurasani (940 998 M). Ia adalah ahli matematika
yang mengembangkan trigonometri
e) Abu Ja’far al-Khazin al-Khurasani (wafat 960 M) telah
membuktikan kemiringan zodiac dan berhasil merumuskan
penyelesaian persoalan persamaan pangkat tiga.
7) Dalam bidang Geografi :
1) Hisyam al-Kalbi, yang masyhur pada abad kesembilan, khususnya
dalam studi mendalam mengenai kawasan Arab
2) Al-Khawarizmi, ia mengoreksi pandangan Ptolemaeus tentang
Geografi
3) Abu Ubaid al-Bakri (wafat 1094) dia menulis dua kitab terkenal :
al-Mu’jam al-Isti’jam (Ensiklopedi Geografi), Kitab al-Masalik wa
al-Mamalik (Jalan dan Kerajaan)
4) Al-Biruni dengan karyanya al-Athar al-Baqiyah fi Qanun al-
Kihaliyah 39

39
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, h. 190
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis mendapatkan beberapa temuan yang perlu
diungkapkan. Di antara temuan-temuan yang perlu dikemukakan di sini
adalah:
1. Al-Ma’mun adalah salah satu Khalifah dari Daulah Abbasiyah yang masa
pemerintahannya mendapat julukan The Goden Age (Masa Keemasan).
Pribadinya yang dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi
intelektualitas yang cemerlang, menguasai beragam ilmu pengetahuan,
seorang yang tidak suka akan pertumpahan darah, amat benci menipu
daya, bertoleransi, arif bijaksana, tinggi akal, bagus budi pekertinya,
mengutamakan kemerdekaan berpikir, berdiskusi, pemaaf, dan jarang
bermain membuat dan membentuknya menjadi pribadi seorang pemimpin
yang patut untuk dicatat dengan tinta emas dalam sejarah.
2. Jasa-jasa beliau dalam usahanya mengembangkan ilmu pengetahuan di
antaranya adalah :
a. Gerakan Penerjemahan, kegiatan ini benar-benar digalakkan pada
masa Al-Ma’mun.
b. Mengoptimalisasikan kegiatan belajar mengajar
c. Mengembangkan institusi pendidikan

65
66

3. Hasil yang dicapai oleh khalifah Al-Ma’mun dalam mengembangkan ilmu


pengetahuan adalah :
a. Berkembangnya Bait al-Hikmah menjadi lebih baik dari sebelumnya
b. Seiring berkembangnya Bait al-Hikmah, mulai banyak bermunculan
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk dipelajari
dan sangat berguna untuk kehidupan sehari-hari. Di antaranya yaitu :
1) Ilmu-ilmu Agama seperti : ilmu Tafsir. Ilmu Hadits, Ilmu Fikih,
ilmu Kalam, ilmu Tasawuf, ilmu Etika/Akhlak, dan Humaniora
2) Ilmu-ilmu Umum seperti : Ilmu Filsafat, Kedokteran, Astronomi,
Matematika, dan Geografi
c. Munculnya tokoh-tokoh penting diantaranya adalah :
1) Dalam bidang ilmu Umum yaitu : Abu Yusuf ibn Ishaq (al-Kindi),
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Thankhan (al-Farabi),
Ibnu Sina, dan Al-Fazari
a) Dalam bidang ilmu Agama yaitu :
1) Ulmu Hadis yaitu Ibnu Jarir al-Thabary, Ibnu Athiyah al-
Andalusy Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu
Daud, Al-Hakim an-Naisabury
2) Dalam bidang ilmu Kalam : Washil bin Atha’, Abu Huzail,
al-Juba’I, al-Allaf, al-Nazzam, Abu Hasan al-Asy’ary, al-
Baqillani, al-Juwaeni dan Hujjatul Islam Imam Ghazali
3) Dalam bidang tasawuf yaitu : Al-Qusairy. Syahabuddin.,
Abu Usman al-Maziny (wafat 249 H), Abdurrahman al-
Hamzany (wafat 327 H)

B. Saran-saran
1. Bagi para pemimpin hendaknya dapat mencontoh tindakan Al-Ma’mun
yang sangat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat
penting sebagai bekal untuk pembangunan dan perkembangan
pemerintahan menjadi lebih maju.
2. Semoga akan lebih banyak lagi bahan-bahan yang dapat memperkaya
khazanah keilmuan khususnya dalam bidang sejarah.
DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi, Teologi Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1974)

Abdurrahman, Dudung, Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik hingga


Modern, Yogyakarta : LESFI, Cet : ke- I 2003

Al-Qardhawi, Yusuf, Meluruskan Sejarah Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada, 2005

Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya, 2001

Arief, Armai, Dr. MA., Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga


Pendidikan Islam Klasik, Bandung : Angkasa, 2005

Armstrong, Karen, A Short History : Sepintas Sejarah Islam, Surabaya : Ikon


Teralitera, Cet : ke-4, 2004

Assidiq, Yusuf, “Al-Ma’mun dan Baitul Hkmah”, dalam http://batavies.co.id, 06


Januari 2011

As-Suyuthi, “Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam”, Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar, 2006, dalam http://id.wikipedia.org, 06 Januari 2011

Atsir, Ibnul, Al-Kamil fi Tarikh, Beirut : Dar Sader, 1871

Ensiklopedi Islam, Jakarta : Departemen Agama RI, 1988

Fa’al, Fahsin M., Sejarah Kekuasaan Islam, Jakarta : CV. Artha Rivera, 2008

Fadil SJ, Drs, M. Ag., Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah,
Malang : UIN Malang Press, Cet : ke- I, 2008

Hasan, Masudul, Prof., History of Islam : Classical Period 571-1258 C. E, Delhi,


Adam Publisher, Cet: ke- I, 1992

Hitti, Philip K., Dunia Arab Sejarah Ringkas, Bandung : Sumur, Cet : ke- II

Iwan, “Abdullah al-Makmun”, dalam http://eone26donk.blog.com, 06 September


2010

Khalil, Syauqi Abu, Dr., Harun Ar-Rasyid Pemimpin dan Raja yang Mulia,
Jakarta : Pustaka Azzam, Cet. Ke- I, 2002

Lapidus, Ira M., Sejarah sosial umat Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
Cet ke-I, 1999

67
68

Lewis, Bernard, Muslim Menemukan Eropa, Jakarta : Pustaka Firdaus, Cet : ke-I,
1988

Mahmudunnasir, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : PT. Remaja


Rosda Karya, Cet : ke- III, 1993

Nakosten Mehdi, ”Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi


Analisi Abad Keemasan Islam”, Surabaya : Risalah Gusti, Cet. Ke-I,
1996

Nasution, Harun, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, Jakarta : Mizan,Cet


ke-IV, 1996

Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta : PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Cet : ke- II, 2003

Saefuddin, Didin, Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi Sejarah Imperium


Dinasti Abbasiyah, Jakarta : Grasindo, 2002

Subarkah, Muhammad, “Menapak Jejak Buku dalam Peradaban Islam”,dalam


http://www.republika.co.id, 26 Februari 2009

Sunanto, Musyrifah, Prof. Dr. Hj., Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, Jakarta : Prenada Media, Cet : ke- I, 2003

Syalaby, Ahmad, Prof. Dr., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Singapura : Pustaka
Nasional PTE LTD, cet : ke- III, 1991

Watt, W. Mongomery, Islam dan Peradaban Dunia : Pengaruh Islam atas Eropa
Abad Pertengahan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995

Yatim, Badri, Dr. M.A, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, Cet: ke- X, 2000

Yunus, Mahmud, Prof. Dr. H., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Hidakarya
Agung, Cet : ke- VII, 1992

Anda mungkin juga menyukai