Anda di halaman 1dari 62

EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI INDEX WAKAF

NASIONAL DI SUMATERA UTARA


(Studi Kasus Badan Wakaf Indonesia (BWI) Sumatera Utara)

PROPOSAL TESIS

Oleh:

SUHAILAH
NIM: 3004193045

Program Studi:
Magister Ekonomi Syariah

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2022
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan inayah-
Nya, tesis yang berjudul“Efektifitas dan Efisiensi Index Wakaf Nasional di
Sumatera Utara (Studi Kasus Badan Wakaf Indonesia (BWI) Sumatera
Utara)” ini bisa diselesaikan dengan baik. Tak lupa pula Shalawat beserta salam
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang sudah membawa manusia
kepada jalan yang terang benderang.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar
Magister Ekonomi di Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam Jurusan Ekonomi
Syariah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

Segala upaya yang telah dilakukan tentunya tidak terlepas dari bimbingan,
dorongan dan juga doa dari orang-orang disekitar penulis. Maka dari itu,
izinkanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada semua pihak yang telah berjasa hingga terselesaikannya tesis
ini, diantaranya:

1. Kepada seluruh jajaran petinggi UIN Sumatera Utara yang telah membantu
kelancaran tesis ini secara administratif yaitu Bapak Prof. Dr. Abu Rokhmad,
M.Ag selaku Plt. Rektor UIN Sumatera Utara. Selanjutnya Bapak Dr. M.
Yafiz, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Binis Islam UIN Sumatera
Utara, ibu Dr. Maryam Batubara,M.A., P.hd selaku ketua jurusan Magister
Ekonomi Syariah UIN Sumatera Utara dan Bapak Yusrizal, M.Si selaku
sekretaris jurusan Magister Ekonomi Syariah UIN Sumatera Utara.
2. Kepada dosen pembimbing yaitu Prof. Dr. Muhammad Ramadhan, MA yang
telah begitu sabar serta keluangan waktunya hingga larut malam dalam
memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis selama penyusunan tesis ini.
3. Kepada seluruh dosen Magister Fakultas Ekonomi Dan Binis Islam UIN
Sumatera Utara yang telah membantu selama masa perkuliahan

i
ii

4. Teristimewa untuk Alm.Ayahanda dan Ibunda Hj. Naisah tercinta yang telah
memberikan doa dan dedikasinya selama ini kepada penulis.
5. Suami tercinta dan Anak tersayang yang selalu menjadi alasan bagi penulis
untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi program Pascasarjana.
6. Kepada semua teman-teman UIN Sumatera Utara yang telah memberikan
motivasi, informasi dan memberikan sumbangan pemikiran sehingga tesis ini
dapat diselesaikan.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya bidang Ilmu Ekonomi Syariah serta bermanfaat bagi peneliti
selanjutnya dan juga bagi para pembaca. Amin yaa rabbal alamin.

Medan, 30 Maret 2023


Penulis,

Suhailah
NIM. 3004193045
iii

DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... i
Daftar isi.......................................................................................................... iii
Daftar Tabel.................................................................................................... iv
Daftar Gambar................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah.................................................................. 8
C. Batasan Masalah........................................................................ 9
D. Rumusan Masalah..................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian...................................................................... 9
F. Manfaat Penelitian.................................................................... 9
Bab II Tinjauan Pustaka........................................................................... 10
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 10
1. Wakaf................................................................................... 10
2. Indeks untuk Mengukur Kinerja Wakaf............................... 28
3. Indeks Wakaf Nasional........................................................ 30
4. Efisiensi................................................................................ 38
5. Efektivitas............................................................................. 42
B. Penelitian Terdahulu................................................................. 44
C. Kerangka Pikir.......................................................................... 45
BAB III Metode Penelitian........................................................................... 46
A. Pendekatan Penelitian............................................................... 46
B. Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................... 46
C. Populasi dan Sample Penelitian................................................ 47
D. Metode Pengumpulan Data....................................................... 48
E. Metode Analisis Data................................................................ 49
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 51
iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indikator Indeks Akuntabilitas Wakaf Tunai................................... 28


Tabel 2.2 Kategori Nilai Index Wakaf Nasional.............................................. 37
v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Penggunaan Tanah Wakaf di Indonesia...................................... 6


Gambar 2.1. Skema IWN................................................................................. 30
Gambar 2.2. Kerangka Pikir............................................................................. 45

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam sebagai agama universal (rahmatan lil'alamin) memiliki paradigma
dan konsep tersendiri yang sangat khas dan memiliki karakteristik tersendiri.
Pernyataan ini dapat dibuktikan dari doktrin fundamental Islam. Termasuk,
bagaimana Islam menjelaskan fungsi status harta, bagaimana dan etika
memperoleh, menggunakan dan membelanjakannya. Kelebihan kekayaan yang
dimiliki seseorang seharusnya menjadi sarana positif yang dapat digunakan dalam
interaksi sosial untuk saling membantu dan mendukung. Karena manfaat tersebut
bukan hasil usaha manusia semata, ada campur tangan dari pemilik alam semesta
ini, maka pemberian kelebihan harta tersebut tentunya memiliki maksud dan
hikmah tertentu (Muhammad Syafi'i Antonio, 2003: 10). Allah SWT memberikan
petunjuk dalam firman-Nya:

Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami


telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia,
dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang
lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS. Az-
Zukhruf (43):32)

Syarat Islam dalam memperoleh harta tidak hanya mengutamakan faktor


kualitas, tetapi juga harta yang lebih mendasar adalah halal. Baik dari segi
perolehan maupun keadaan sebenarnya dari harta itu sendiri. Kemudian dalam
mengeluarkan dan menggunakannya, Islam sangat berkepentingan untuk

1
2

mengaturnya, agar kekayaan dapat memberikan kebaikan secara umum dan tidak
terjerumus pada hal-hal mubazir dan maksiat (Muhammad Syafi'i Antonio, 2003:
14). Wakaf sebagai lembaga keagamaan yang erat kaitannya dengan sosial
ekonomi, wakaf telah memberikan kontribusi bagi pembangunan Indonesia secara
keseluruhan, baik dalam pembangunan sumber daya manusia maupun
pembangunan sumber daya sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar
tempat ibadah, perguruan tinggi Islam, dan lembaga keagamaan Islam dibangun di
atas tanah wakaf (Suhairi, 2014: 1). Sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang
berdimensi spiritual, wakaf juga menjadi sasaran yang menekankan pentingnya
kesejahteraan ekonomi. Karena meredefinisi wakaf agar memiliki makna yang
lebih relevan dengan kondisi riil masalah kesejahteraan sangatlah penting.
Praktik wakaf sebenarnya telah mengakar dan menjadi tradisi yang
dilakukan oleh masyarakat terdahulu sejak sebelum Islam. Mereka melakukan
ibadah yang ikhlas dan ikhlas hanya untuk mendapatkan pahala dari Allah
Subhanallah wa Ta'ala dengan cara mewakafkan sebagian dari hartanya.
Meskipun wakaf telah berperan sangat penting dalam perkembangan masyarakat
Islam, namun pada kenyataannya persoalan wakaf belum tertangani sebagaimana
tujuan wakaf itu sendiri, khususnya di Indonesia. Tren wakaf masih ditangani
secara tradisional-konvensional. Dimana harta wakaf masih banyak dialokasikan
untuk tempat ibadah dan pemakaman (Suhairi, 2014: 1). Wakaf merupakan
lembaga keagamaan Islam yang memiliki hubungan fungsional langsung dengan
upaya penanganan masalah sosial dan kemanusiaan, seperti pengentasan
kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi umat (Rozalinda, 2015: 18). Wakaf dapat
menjadi sumber pembiayaan dari umat untuk umat, baik untuk kepentingan
agama, sosial, maupun ekonomi. Untuk itu, pemahaman tentang fungsi wakaf
harus disosialisasikan dan menjadi gerakan kolektif seluruh umat untuk
meningkatkan perekonomian umat. Berkaitan dengan masalah wakaf, pemerintah
secara serius mengeluarkan Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004
menjadi pendorong untuk melaksanakan wakaf secara produktif, karena dalam
undang-undang ini wakaf memiliki dimensi yang sangat luas, meliputi harta tidak
bergerak termasuk wakaf uang. dan tidak terbatas pada tempat ibadah dan
lembaga keagamaan sosial.
3

Wakaf dikenal sebagai aset umat yang dapat digunakan kapan saja.
Namun, pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf secara produktif di
Indonesia masih tertinggal dari negara-negara Islam lainnya. Beberapa hasil
penelitian wakaf menunjukkan bahwa selain Indonesia, banyak negara yang
awalnya wakaf tidak berjalan dengan baik bagi ekonomi kerakyatan karena tidak
dikelola dengan baik. Barulah dengan peraturan yang diatur oleh pemerintah
berdasarkan undang-undang, wakaf dikelola dengan manajemen yang baik
(Rozalinda, 2015: 3).
Wakaf seharusnya menjadi alternatif yang mampu memberikan solusi
untuk memecahkan masalah ekonomi. Mengingat salah satu tujuan wakaf adalah
menjadikannya sebagai sumber dana yang produktif, maka nazhir tentunya harus
mampu menjalankan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab
(Achmad Djunidi dan Thobieb Al-Asyar, 2007: 54). Untuk itu diperlukan nazhir
profesional yang handal dan memiliki keahlian dalam penanganan barang wakaf
secara baik dan benar. Agaknya perlu dipertahankan syarat-syarat nazir yang
disebutkan dalam kitab-kitab fikih yaitu beragama Islam, dewasa, akil, mampu
menangani wakaf dan amanah, jujur, tabligh, fatonah dan adil (Rachmadi Usman,
2009: 135). Wakaf menjadi suatu instrumen yang sangat potensial untuk
dikembangkan umat Muslim, terutama bagi Negara yang dikategorikan sebagai
negara berkembang. Di berbagai negara, wakaf sudah banyak dimanfaatkan dalam
hal produktif, pengelolaan wakaf ini seharusnya sudah dilakukan sejak awal,
sehingga dalam kurun waktu tertentu wakaf bisa dipergunakan untuk
memberdayakan umat (K. Lubis, Suhrawardi. 2010:21).
Adapun peran wakaf bagi agama dan negara yaitu: (1) Wakaf memiliki
peran penting dalam meningkatkan pembangunan ekonomi suatu negara secara
keseluruhan, sehingga dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan
penduduk. Wakaf dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi
umat dan dapat memberikan pendidikan, kesehatan, tempat ibadah bahkan sebagai
bekal dalam pembangunan infrastruktur. (2) Sebagai bentuk shadaqah, wakaf
berpotensi mempengaruhi tingkat persediaan secara berkelanjutan, karena wakaf
merupakan kategori shadaqah yang dapat dicadangkan untuk generasi mendatang.
(3) Harta wakaf dapat memiliki peluang untuk menciptakan lapangan kerja,
4

dimana wakaf dapat digunakan untuk membangun tempat pelatihan atau kursus
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan pasar
saat ini. Dengan demikian, wakaf dapat berimplikasi pada pertumbuhan sosial
ekonomi masyarakat untuk membantu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan
kesejahteraan.
Pendayagunaan wakaf merupakan suatu aktivitas guna melakukan
perencanaan, pelaksanaan dan pengoordinasian pengawasan dalam tujuan untuk
mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan wakaf. Kegiatan tersebut
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan
dijalankan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) (Aziz, Muhammad. 2017:14).
Menurut ulama, dana yang diwakafkan diperbolehkan untuk dikelola guna
kemaslahatan umat. Kemudian, dalam pengelolaannya, tidak sama dengan
pengelolaan zakat ataupun shodaqoh pada umumnya. Pengelola wakaf dapat
memelihara harta wakaf secara utuh, namun diusahakan agar dikembangkan
sehingga mampu memberi output yang baik dan optimal kepada mauquf alaih.
Pengoptimalan pengelolaan wakaf secara produktif terhitung masih
sedikit. Padahal pada momentum yang dihadapkan pada masa saat ini, Islam
sebagai agama mayoritas yang dianut negara Indonesia juga seharusnya ikut hadir
dan berperan penting dalam upaya penanganan covid-19 yang terjadi di Indonesia.
Salah satunya melalui penggunaan instrumen wakaf yang diharapkan mampu
berperan secara optimal dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi.
Sebagaimana fintech yang berperan sebagai penghubung antara kelompok dengan
kemampuan finansial tinggi dan kelompok yang mengalami kekurangan dana
akibat pandemi covid-19, wakaf juga diharapkan dapat berperan dalam mengatasi
kekurangan tersebut.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Saputra melalui instrumen yang
berbeda yaitu zakat, di mana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa zakat
merupakan sarana yang dapat membantu masyarakat yang terdampak virus covid-
19 (Saputra, Hijrah. 2020:163). Oleh karena itu, wakaf sebagai salah satu
instrumen sosial dari implementasi ekonomi syariah dapat mengambil peranannya
di tengah adanya pandemi covid (Saputra, Hijrah. 2020:163). Hal ini
menunjukkan komitmen dalam pengembangan teoritis ekonomi syariah sekaligus
5

praktiknya secara langsung sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan


kehidupan.
Dalam Islam, upaya-upaya mengatasi permasalahan sosial ini harus
mempunyai tujuan yang strategis dan jelas. Adapun dalam Islam, tujuan-tujuan ini
disebut tujuan syariah atau yang lebih dikenal dengan maqashid al-syariah.
Maqashid al-syariah menjelaskan mengenai syariat-syariat yang ditetapkan oleh
Allah SWT dalam lima bentuk, sebagaimana menurut Imam Syatibi yaitu hifdzu
aldin (konsep perlindungan agama), hifdzu al-nafs (konsep perlindungan jiwa),
hifdzu al-aql (konsep perlindungan akal), hifdzu al-mal (konsep perlindungan
harta) dan hifdzu al-nasb (konsep perlindungan keturunan). Dengan demikian
wakaf yang berpotensi dan bermanfaat ekonomis dalam kepentingan ibadah juga
dapat dilakukan untuk menyejahterakan masyarakat. Selain itu, wakaf juga
diharapkan dapat mengambil peran dalam penanganan masalah, seperti masalah
covid-19 melalui tujuan syariah yang telah ditetapkan.
Akan tetapi, peran wakaf pada saat ini dalam menangani pandemi covid19
dinilai belum optimal apabila dibandingkan dengan instrumen lain. Dana yang
disalurkan kepada mereka yang terdampak kebanyakan berasal dari instrumen
zakat, infaq dan sedekah (ZIS), sementara dari sektor wakaf masih sangat minim.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh komisioner Badan Wakaf Indonesia (BWI)
bidang advokasi dan kelembagaan, Iwan Agustiawan Fuad, ―Saat ini banyak
lahan wakaf yang belum produktif, sehingga peran wakaf dalam pandemi masih
belum maksimal dibandingkan zakat yang memang penyalurannya secara
langsung (Handayani, Rossi. 2020).
Dari aspek syariah, kepentingan wakaf dan zakat ini sudah jelas berbeda,
dimana wakaf ini tidak wajib sementara zakat wajib untuk dikeluarkan bagi setiap
Muslim yang sudah memiliki harta dan mencapai nishab. Selain itu, hal ini
dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman masyarakat mengenai wakaf yang masih
seputar tanah dan bangunan saja, hal semacam ini dalam pengertian masyarakat
masih dianggap tabu karena kurangnya sosialisasi secara luas. Dengan demikian,
instrumen zakat ini lebih populer dibandingkan wakaf.
6

Gambar 1.1 Penggunaan Tanah Wakaf di Indonesia 2021


Sumber: (Siwak 2021)

Saat ini banyak sekali lahan wakaf yang belum dikelola secara produktif,
padahal pendayagunaan wakaf sangat berpotensi di masa pandemi covid-19.
Wakaf bisa menjadi suatu solusi dalam menangani covid-19 melalui instrumen
yang digunakannya. Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan melalui potensi
wakaf tersebut adalah wakaf dapat dimanfaatkan untuk makam pasien yang
meninggal karena covid-19, menyediakan rumah sakit darurat covid-19, kemudian
alat untuk melindungi diri (APD) wakaf, rumah sakit untuk ruang isolasi wakaf,
pengadaan ventilator wakaf dan lain sebagainya yang dibutuhkan pada saat ini.
Pengelolaan wakaf dengan manajemen yang professional, dapat berpeluang untuk
dimanfaatkan secara terus-menerus (Hafizah, Gia Dara. 2021:56).
Dana wakaf merupakan dana yang digunakan untuk layanan dan kegiatan
sosial yang berkelanjutan melalui asset tetap seperti toko, mesin, perdagangan dan
lainnya guna mendapatkan pemasukan. Salah satu dana tersebut dapat
dimanfaatkan melalui wakaf tunai, yang digunakan sebagai alternatif untuk
mengatasi masalah di tengah pandemi covid-19 maupun sesudah pandemi
berakhir. Wakaf di tengah pandemi covid-19 dapat digunakan untuk bantuan
modal kerja, renovasi rumah sakit, pendirian puskesmas dan tambahan bantuan
permodalan bagi mereka yang terdampak (Nurjannah, 2020:223).
Wakaf tunai ini juga merupakan suatu alternatif yang diharapkan dapat
mengatasi permasalahan kemiskinan di tengah masyarakat (bagi mereka yang
terdampak covid-19), melalui partisipasi aktif dari pihak non pemerintah
7

(masyarakat), khususnya golongan kaya dan memiliki kemauan untuk membantu


masyarakat miskin sebagai sesama manusia (Nurjannah, 2020:223). Selain dapat
digunakan untuk modal usaha, wakaf tunai juga dapat digunakan secara efektif
untuk mendukung banyak kebutuhan warga, sebagaimana fatwa MUI mengenai
wakaf tunai (uang) yaitu: (1) Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan
perseorangan, kelompok maupun badan hukum yang berbentuk tunai. (2)
Termasuk pula surat-surat berharga. (3) Wakaf yang hukumnya jawaz (boleh),
dapat disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ketentuan
syariah. (4) Nilai pokok wakaf inilah yang harus dijamin kelestariannya untuk
tidak boleh dijual, dihibahkan atau bahkan diwariskan.
Penelitian tentang pemanfaatan lembaga keuangan syariah pada masa
pandemi covid-19 sudah banyak dilakukan oleh para peneliti seperti Hadi (2017);
Amarodin (2019); Faiza (2019); Iskandar, Possumah, and Aqbar (2020); Kadir et
al. (2020). Kendati sudah banyak penelitian yang mengeksplorasi tentang
pemanfaatan lembaga keuangan syariah pada masa pandemi covid-19, namun
belum ada tulisan yang secara khusus mengkaji pendayagunaan efektivitas index
wakaf nasional dalam membantu permasalah perekonominan ditengah pandemi
covid-19 dalam perspektif maqashid syariah pada saat ini, sehingga bisa dijadikan
celah dalam penelitian.
Hal ini juga sejalan dengan loncingnya Indeks Wakaf Nasional (IWN)
bersamaan dengan peluncuran Pusat Antara Universitas (PAU) Wakaf pada hari
Jumat 18 april 2021 oleh Badan Wakat Nasional (BWI). IWN akan menjadi tolak
ukur kinerja perwakafan nasional dan menjadi yang pertama di dunia. IWN adalah
hasil kolaborasi dari empat universitas yang coba mengukur standar pengelolaan
wakaf di Indonesia. Indeks ini diusulkan untuk menjadi alat ukur kinerja
perwakafan baik di tingkat nasional maupun wilayah. IWN terinspirasi dari
Indeks Zakat Nasional yang sudah diterapkan dan memberikan banyak manfaat.
Pilar-pilar IWN disusun berdasar ketentuan regulasi, standar, dan literatur terkait
perwakafan di Indonesia. Maka dari itu, IWN menggunakan enam pilar yang
menjadi indikator perhitungan dan diharap dapat mengatasi tantangan-tantangan
yang ada. Enam pilar tersebut diantaranya regulasi, faktor institusi, faktor proses,
faktor sistem, faktor outcome, dan faktor dampak.
8

Enam faktor di atas dijabarkan lagi menjadi beberapa indikator yang akan
menentukan bobot nilai IWN, misal di satu wilayah. Faktor regulasi diantaranya
memperhitungkan dukungan regulasi di wilayah, anggaran pemerintah, dan
pembinaan dari otoritas. Dari faktor institusi, ada indikator kualitas managemen
dan status nazir. Sementara dari sisi proses, akan memperhitungkan pengumpulan,
pengelolaan, dan pelaporan. Faktor sistem memuat indikator legalitas wakaf
tanah, kepatuhan syariah, dan managemen informasi publik yang bisa menjangkau
hingga dunia internasional. Kemudian pada faktor outcome memperhitungkan
rasio wakaf produktif dan jangkauan penerima manfaat. Dan terakhir sisi dampak
atau impact yang terdiri dari perhitungan atas indeks CIBEST yang dikembangkan
IPB University, modifikasi IPM, indeks kemandirian, juga infrastruktur.
Berdasarkan keenam pilar dan indicator diatas, diharapkan dapat menjadi tolak
ukur dalam menentukan wakaf produktif di suatu daerah baik kabupaten atau
kota.
Berdasarkan temuannya, ada lima faktor yang mendorong umat Islam
untuk melanjutkan wakaf. Pertama, pahami wakaf sebagai ibadah yang abadi.
Kedua, pola persiapan akhirat. Ketiga, kepuasan batin. Keempat, profesionalisme
Nazhir. Kelima, motif ekonomi. Dua motif terakhir, profesionalitas nazhir dan
juga ekonomi, merupakan perkembangan terakhir yang terjadi. Untuk itu, saat ini
banyak pengelola aset wakaf di beberapa daerah Sumut juga bergerak di bidang
sosial ekonomi produktif. Berdasarkan hasil data dan indeks wakaf nasional yang
baru saja dilakukan BWI, peneliti mencoba mengisi celah untuk melakukan
penelitian terkait implementasi IWN khususnya di Sumatera bagian utara. Dengan
demikian, penerapan indeks wakaf nasional yang telah resmi dilakukan oleh BWI
dapat dilakukan langsung di lapangan.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, penulis menemukan
beberapa masalah yang perlu dikembangkan dalam penelitian ini. Beberapa
masalah tersebut adalah:
1. Belum dilakukannya pengujian langsung terkait dengan index wakaf nasional
yang baru diusung oleh Badan Wakaf Nasional;
9

2. Wakaf produktif masih belum terlihat keberadaannya dalam peningkatan


kualitas kebermaknaannya.

C. Batasan Masalah
Tujuan dari pembatasan masalah pada penelitian ini adalah agar ruang
lingkup penelitian tidak bias, dapat lebih terkonsentrasi untuk menghindari
kesalahan pada tujuan yang ingin dicapai. Penelitian ini menitik beratkan pada
index wakaf nasional di Sumatera Utara.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah, adapun rumusan masalah
penelitian ini adalah;
1. Bagaimana efektivitas index wakaf nasional di Sumatera Utara?
2. Bagaimana efesiensi index wakaf nasional di Sumatera Utara?

E. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian, sudah seyogyanya memiliki tujuan dan manfaat.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mengetahui;
1. Efektivitas index wakaf nasional di Sumatera Utara;
2. Efesiensi index wakaf nasional di Sumatera Utara.

F. Manfaat penelitian
Selain itu, penelitian ini juga memiliki beberapa manfaat, yaitu:
1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi dan
informasi bagi peneliti selanjutnya yang membahas tentang perkembangan
wakaf di Sumatera Utara;
2. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat digunakan sebagai kontribusi
rekomendasi daerah yang berpotensi wakaf produktif ditinjau dari index wakaf
nasional.
3. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar sebuah
studi, review, dan pengembangan yang lebih baik dari penelitian sebelumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Wakaf
a. Pengertian Wakaf
Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”.
Asal kata “Wakafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di
tempat”. Kata “Wakafa Yaqifu Waqfan” sama artinya dengan “Habasa
Yahbisu Tahbisan” artinya mewakafkan. Kata al-Waqf dalam Bahasa
Arab mengandung beberapa pengertian :

Artinya : Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak


dipindah milikan.

Pengertian menahan (sesuatu) dihubungkan dengan harta


kekayaan itulah yang dimaksud dengan wakaf dalam uraian ini. Didalam
perpustakaan, sinonim waqf adalah habs. Keduanya kata benda yang
berasal dari kata kerja waqafa dan habasa, artinya mengehentikan,
menahan seperti yang dikemukakan. Bentuk jamaknya adalah awqaf
untuk waqf dan ahbas untuk habs. Perkataan habs atau ahbas biasanya
dipergunakan di Afrika Utara dikalangan pengikut madzhab Maliki
(Mohammad Daud Ali, 2012:80).
Pengertian Wakaf secara istilah (terminologi) ulama ahli fiqh
mendifinisikan secara berbeda-beda tergantung pada sudut pandangnya
masing-masing.
1) Menurut pendapat Abu Hanifah, Wakaf ialah penahanan pokok
sesuatu harta dalam tangan pemilikan wakaf dan penggunaan hasil
barang itu, yang dapat disebutkan ariah dan commodate loan untuk
tujuan-tujuan amal saleh.
2) Menurut golongan Maliki menjadikan manfaat benda yang dimiliki,
baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang
berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan.

10
11

3) Menurut golongan Syafi’i menahan harta yang dapat diambil


manfaatnya dengan tetap utuh barang dan barang itu lepas dari
penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada suatu yang
diperbolehkan oleh agama.
4) Menurut golongan Hambali menahan kebebasan pemilik harta dalam
membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta
dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan
memanfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan
diri kepada Allah (Abd. Shomad, 2010:369).
Kemudian, para ahli juga memaknai wakaf dengan berbagai
macam pemaknaan, seperti
Sayyid Sabiq

Artinya : “menahan, harta dan menggunakan manfaatnya dijalan Allah


swt”.

Mengartikan suatu barang yang sementara asalnya (zatnya) tetap,


selalu berbuah, yang dapat dipetik hasilnya dan yang empunya sendiri
sudah menyerahkan kekuasaanya terhadap barang itu dengan syarat dan
ketentuan bahwa hasilnya akan digunakan untuk keperluan amal
kebajikan syariat.
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaeni

Artinya : “Menahan harta yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya


tanpa merusak (tindakan) pada zatnya yang dibelanjakan manfaatnya
dijalan kebaikan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
swt” (Abdul Rahman Ghazaly, dkk, 2010:175).
Moh. Anwar mengartikan wakaf adalah menahan sesuatu barang
dari pada dijualbelikan, diberikan atau dipinjamkan oleh yang
mempunyainya, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan sesuatu
tertentu yang diperbolehkan oleh syara’ serta setiap bentuknya dan boleh
12

dipergunakan atau diambil hajatnya oleh orang yang ditentukan


perorangan atau umum (Anwar, S, 2020:150).
Kompilasi Hukum Islam pasal 215 jo. Pasal 1 (1) PP. No.
28/1977 menjelaskan perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan Ibadah atau
keperluan umun lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 Tentang Perwakafan
Tanah Milik merumuskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta
kekayaanya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran islam (pasal 1 ayat 1) Berdasarkan dari
pengertian yang diberikan beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud wakaf ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya
tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah (tidak
dilarang syara’) serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan dari
Allah SWT. Pengertian wakaf yang ada seperti dikemukakan para pakar
Hukum Islam pada prinsipnya memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaanya dari beberapa pengertian dari beberapa pengertian wakaf
terletak pada pokok harta wakaf (‘ainnya) harus tetap ada tidak boleh
hilang ataupun berkurang, dengan keharusan ‘ain dari wakaf tetap ada
para pakar tersebut mengisyaratkan pentingnya harta dengan menjaga
keutuhannya sehingga dapat dimanfaatkan secara berulang-ulang.
Sedangkan perbedaanya adalah terletak pada kepemilikan harta
wakaf setelah diwakafkan, sebagian mengatakan masih milik si wakif
dan sebagian lagi mengatakan menjadi milik Allah atau menjadi milik
penerima wakaf tersebut dan perbedaan tersebut juga terlihat pada harta
wakaf, dimana harta wakaf untuk selama-lamanya atau dapat
dipersewakan saja (sementara) (Handayani, Dini, 2011:33).
13

b. Sejarah Wakaf
Esensi wakaf pada dasarnya telah dilakukan oleh uma-umat
terdahulu, termasuk dikalangan nonmuslim. Hanya saja apa yang
dilakukan oleh umat terdahulu sebelum tersebut bukan untuk mendapat
keridhaan Allah melainkan persembahan untuk kepercayaan mereka.
Mungkin kondisi ini menjadi penyebab ulama besar seperti Imam Syafi’i
menyatakan bahwa tidak ada wakaf sebelum umat Islam.
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang siapa yang melakukan
wakaf pertama kali, sebagaimana mengatakan bahwa wakaf dilakukan
oleh Rasulullah ialah masjid Quba’yang dirasakan sendiri oleh
Rasulullah serta di ikuti pula dengan wakaf masjid Nabawi enam bulan
selepas pembinaan masjid Quba’ (Tim El-Madani, 2014:103). Sebagian
lagi mengatakan dilakukan oleh sahabat Umar atas tanahnya di Khaibar.
Selanjutnya Rasulullah SAW pernah mewakafkan tujuh kebun
kurma di madinah, seperti dikebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan
kebun lainnya pada tahun ke 3 hijriyah. Selanjutnya disusul oleh para
sahabat lainnya, seperti Abu Thalhah yang mewakafkan kebun
kesayangannya “Bairah”, Abu Bakar yang mewakafkan sebidang
tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang
datang ke Mekkah. Ustman bin Affan menyedekahkan hartanya di
Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Muadz
bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang dikenal dengan “dar al-Anshar”.
Kemudian pelaksanaan wakaf disusun oleh Anas bin Malik, Abdullah bin
Umar, Zubait bin Awwam dan ‘Aisyah istri Rasulullah (Nurhayati, Sri
dan Wasilah. 2015:330).
Pada masa dinasti Umayah dan Abbasiyah praktik wakaf semakin
berkembang, banyak orang yang ingin mewakafkan hartanya. Wakaf
tidak hanya diperuntukkan kepada fakir miskin, tetapi wakaf juga
digunakan sebagai modal untuk membangun lembaga pendidikan,
membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji guru dan
beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Banyaknya masyarakat
14

yang ingin mewakafkan hartanya menarik perhatian negara untuk


mengatur dan mengelolanya.
Pada masa dinasti Umayah di Mesir, pertama kali mendirikan
lembaga wakaf khususnya administrasi wakaf pertama kali di Mesir
dibawah pengawasan hakim yaitu pada saat kekhalifahan dipimpin oleh
khalifah Hisyam bin abd, Malik dengan hakim Mesir adalah Taubah bin
Ghar alHadhramiy. Dilanjutkan dengan pendirian di Basrah diseluruh
wilayah kekhalifahan. Selanjutnya pengelolaan lembaga wakaf yang
dilakukan oleh Departemen Kehakiman secara baik dan hasilnya
disalurkan kepada yang berhak dan membutuhkan.
Pada masa Abbasiyah pengelolaan wakaf baik secara administrasi
dan independen dilakukan oleh lembaga disebut “Shadr al-Wuquf”.
Lembaga ini bahkan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Pada masa
abbasiyyah terjadi lompatan besar dalam perwakafan, yaitu saat
Shalahuddin al-Ayyubi dan Nuruddin Zanki mendapatkan fatwa dari
seorang ahli fikih terkenal Ibnu Abi ‘Ashrun 482-585H/1088-1188 M
yang memfatwakan bahwa menfatwakan tanah-tanah baitul mal bagi
kemaslahatan umat seperti pembangunan madrasah hukumnya adalah
boleh (jawaz) dengan alsan bahwa tanah tersebut merupakan pemberian
kepada yang berhak.
Dampak fatwa ini meningkatkan perekembangan pendidikan dan
sistem pendidikan seperti diungkapkan oleh Ibnu Habir saat melihat
pendidikan di Damaskus yang didirikan oleh Zanki (614 H). Begitu juga
untuk sekolah yang dibangun oleh Al Ayyubi di Mesir (Nurhayati, Sri
dan Wasilah. 2015:330).
Perkembanganan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat
dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya
boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada
masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti perkantoran,
penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf
hamba sahaya yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama.
15

Seperti mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan


madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh penguasa dinasti Ustmani
ketika menaklukkan Mesir, suliman Basya yang mewakafkan budaknya
untuk merawat masjid (Kementerian Agama Republik Indonesia.
2013:13-14). Perkembangan pendidikan ini berlanjut hingga masa Al
Mamluk di Mesir yang dipuji oleh Ibnu Bathuthoh (1304-1377 M) dan
Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dimasa sistem pendidikan dan
pembangunan perpustakaan umum meningkat pesar karena peranan
wakaf (Kementerian Agama Republik Indonesia. 2013:13-14). Manfaat
wakaf apada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf,
seperti wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk
memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin,
termasuk wakaf untuk sarana di Haramain, Mekkah dan Madinah.
Wakaf untuk haramain ini pertama kali dilakukan oleh Raja
Shaleh bin al-Nasir yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk
membiayai kain penutup (kiswah) ka’bah setiap tahunnya dan mengganti
kuburan nabi Muhammad SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.
Dinasti usmani yang menguasai sebagian besar wilayah negara
Arab, menerapkan syariah Islam dengan lebih mudah termasuk mengatur
tentang wakaf yang mulai diberlakukan pada tanggal 19 Jumadil Akhir
tahun 1280 H (1859 M). Undang-undang tersebut mengatur tentang
pencatatan wakaf, setifikat wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya
mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi
wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan. Selanjutnya, tahun
1287 H (1866 M) dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang
kedududkan dan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah
produktif yang bersatatus wakaf Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2015:331).
Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-
dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu
kewaktu sampai sekarang wakaf terus dilaksanakan di negara-negara
Islam hingga sekarang, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini tampak dari
kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam itu telah
16

diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Dan


juga di Indonesia terdapat banyak benda wkaf, baik wakaf benda yang
bergerak atau benda tidak bergerak.
Kalau kita perhatikan dinegara-negara muslim lain, wakaf
mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial
yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak. Dalam
perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang
bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-
inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf tunai, wakaf HAKI dan lain-
lain.
c. Dasar Hukum Wakaf
Dalam Al-Quran tidak dinyata secara eksplisit berkaitan dengan
wakaf, namun ada beberapa ayat yang dapat dijadikan landasan hukum
dalam melaksanakan praktek perwakafan. Seperti dalam Al-Quran Surat
Al-Hajj (22) ayat 77 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, rukulah, sujudlah, sembahlah
Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.”

Tuhan memerintahkan agar manusia berbuat kebaikan supaya


hidup manusia itu bahagia. Disisi lain Allah memerintahkan manusia
untuk membelanjakan (menyedekahkan) hartanya yang baik. Yakni
dalam Surat Ali ‘Imron (3) ayat 92
“Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh baikan, sebelum kamu
menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang
kamu infakkan tentang hal itu sungguh, Allah maha mengetahui.”

Lebih lanjut lagi dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 261 yang artinya
“Perumpumaan orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah
seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, Allah
melipat gandakan bagi siapa yang dia kehendaki dan Allah maha
luas, maha mengetahui”.

Surat Al-Baqarah (2) ayat 267 yang artinya:


“wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kamu
keluarkan dari bumi untukmu, janganlah kamu memilih yang
buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya, melainkan dengan memicingkan mata (enggan)
17

terhadapnya, dan ketahuilah bahwa Allah maha kaya, maha


terpuji. ”

Sumber hukum dalam Islam selain Al-Quran adalah hadist juga


menjelaskan bahwa :

Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya SAW. Bersabda : “apabila


anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah
amalnya, kecuali tiga perkara : Shadaqah jariah, ilmu yang
bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya”.
(HR. Muslim)

Amalan wakaf merupakan amalan yang besar pahalanya karena


ketika seseorang meninggal terputuslah amalanya, kecuali diantaranya
shodaqah jariyah. Para imam berpendapat bahwa shodaqah jariyah adalah
wakaf. Saat orang yang telah berwakaf meninggal dunia maka pokok
(substansi) dari harta wakaf akan tetap mengalir karena hanya hasilnya
saja yang dibagikan pada mauquf (Dini Handayani, 2011:30).
Adapun penafsiran Shadaqah jariyah dalam hadist tersebut
adalah:

“Hadist tersebut dikemukakan didalam bab Wakaf, karena para


ulama menafsirkan Shadaqah jariyah dengan Wakaf” (Imam
Muhammad Ismail alKahlani.

Sebagian ulama menerjemahkan sedekah jariyah sebagai wakaf,


sebab jenis sedekah yang lain tidak ada yang tetap mengalir namun
langsung dimiliki zat dan manfaatnya adapun wasiat manfaat walaupun
termasuk dalam hadist tetapi jarang. Dengan begitu menerjemahkan
sedekah dalam hadist dengan arti wakaf lebih utama. Dalam konsep
Islam, dikenal istilah jariyah artinya mengalir, maksudnya sedekah atau
wakaf yang dikeluarkan,sepanjang benda wakaf itu dimanfaatkan untuk
kepentingan kebaikan maka selam itu pula si wakif, mendapatkan pahala
secara terus menerus, meskipun telah meninggal dunia (Ahmad, Rofiq,
2003:492).
18

Sebagaimana firman Allah dalam Surah At-Tin 4-6 yang artinya:


“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaikbaiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat
yang serendahrendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebaikan, maka bagi mereka akan mendapat pahala
yang tiada putus-putusnya. (QS. At-Tin 4-6).

Syaikh Al-Bujairimi dalam Hasyiyah-nya mengatakan bahwa


tidak ada larangan menerjemahkan sedekah jariyah terhadap sepuluh
yang mereka sebutkan tidak terputus dengan kemtian anak manusia dan
hal ini sudah dipatunkan. Oleh Al-Jalal As-Sayuthi dengan ucapannya:
“Jika anak Adam meninggal, maka tidak ada yang mengalir, Dari
sifat kebjikan selain sepuluh perkara, Ilmu diajarkan, doa yang
baik, Menanam pohon kurma dan sedekah yang mengalir,
Mewariskan mushaf dan berjaga dimedan jihad, Menggali sumur
atau mengalirkan sungai, Rumah untuk orang asing atau rumah
tempat kembali, Atau membangun rumah tempat dzikir,
Mengajarkan Al-Quran Al-Karim Maka ambillah dari hadist-
hadist yang diringkaskan (Abdul Aziz Muhammad Azzam,
2014:397).

Hadist yang dijadikan landasan dalam perwakafan yang pertama


kali dipraktekkan oleh sahabat Nabi Umar bin Khattab salah satu sahabat
nabi yang berasal dari Bani adi, yang diberi julukan oleh Nabi
Muhammad yaitu Al-Faruq yang berarti orang yang bisa memisahkan
antara kebenaran dan batilan, hadist Rasulullah SAW tentang wakaf yang
dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab ra Sebagai berikut:

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Umar bin Khattab mendapat
tanah di Khaibar, lalu ia menghadap Nabi SAW. untuk
bermusyawarah tentang tanah itu. Katanya : Hai Rasulullah! Saya
mendapat tanah di Khaibar dan belum pernah saya mendapat
harta benda yang lebih indah dari itu?, Sabda beliau : jika engkau
mau, wakafkanlah!, Kata Rawi: lalu diwakafkan oleh umar.
Tanah itu tiada boleh dijual, diberikan atau dipustakakan. Dan
19

buahnya diberikan fakir miskin, karib kerabat, untuk


memerdekakan hamba sahaya, untuk jalan Allah (membantu
agama Allah), untuk orang yang dalam perjalanan dan untuk
tamu. Orang yang memeliharanya boleh mengambilnya dengan
cara yang patut dan memberi makan orang lain, akan tetapi tidak
boleh dijadikan uang. (HR. Bukhari) (H. Zainuddin Hamidy, dkk.
2009:95) .

Dalam sebuah hadist yang lain disebutkan :

Artinya: Dari Amir bin Haris ra. Ipar Rasulullah SAW, yaitu
saudara Juhairiah binti Haris, katanya : ketika Rasulullah SAW
wafat, beliau tiada meninggalkan dirham, dinar, hamba sahaya
laki-laki dan hamba sahaya perempuan dan tiada suatu apapun
selain keledai putih beliau, senjata dan tanah yang telah beliau
jadikan sedekah (wakaf). (HR.Bukhari) (H. Zainuddin Hamidy,
dkk. 2009:96) .

Wakaf yang memiliki dimensi habluminallah dan habluminannas


dalam ayat dan hadist Nabi seperti yang telah disebutkan, nampaklah
tidak secara eksplisit menegaskan wakaf, sehingga wakaf terletak pada
wilayah ijtihad. Adapun hukumnya adalah mandub (dianjurkan) dan
Mandub adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk mendekatkan
diri kepada Allah berupa perbuatan baik yang bukan wajib (Abdul Aziz
Muhammad Azzam, 2014: 397). Sejak masa pemerintahan Khualifar
Rasyidin sampai sekarang, pembahasan wakaf mengenai harta yang
dapat diwakafkan, pengelolaannya, rukun dan syarat serta jenis dan
peruntukan wakaf merupakan hasil ijtihad para ahli pemikir Islam.
karena itu hukum-hukum wakaf ditetapkan sebagai hasil ijtihad mereka.
Selain dasar dari Al-Quran dan Hadist dalam menetapkan
perbuatan wakaf, Ijtihad dari para pakar fiqih wakaf digunakan untuk
menetapkan suatu perbuatan wakaf. Para pakar fiqh mengunakan metode
ijtihad yang bermacam-macam seperti, kesepakatan para ulama (Ijma’)
yang menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam
Islam. tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf
20

dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa


dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum muslimin
sejak awal Islam sehingga sekarang, istihsan, istisab, urf dan metode
ijtihad lainnya.
Mengingat wakaf termasuk bidang muamalah, sehingga bersifat
terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia dan tentunya
dengan menggunakan prinsip muamalah. Asas atau prinsip ini
merupakan suatu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar
berpikir, bertindak dan sebagainya.

d. Rukun Wakaf
Dalam bahasa Arab, kata rukun memiliki makna yang luas.
Secara etimologi, rukun bisa diterjemahkan dengan sisi yang kuat
karenanya, kata rukun al-syai’ kemudian diartikan sebagai sisi dari sesuatu
yang menjadi tempat bertumpu. Adapun dalam terminologi rukun adalah
suatu dianggap menentukan suatu disiplin tertentu.
Para ulama bersepakat bahwa wakaf harus memenuhi rukun-
rukun dan syarat yang ditentukan. Rukun-rukun wakaf tersebut walaupun
ada perbedaan antara para jumhur ulama namun pada dasarnya memiliki
dasar yang sama. Menurut Hanafiyah wakaf memilki satu rukun yaitu
shigat yakni ijab yang disampaikan oleh pewakaf yang menunjukkan
adanya wakaf. Rukun ini terpenuhi dengan adanya keinginan tersendiri,
yaitu keinginan pewakaf saja. Ini karena rukun menurut mereka adalah
bagian dari sesuatu yang tidak akan terwujud kecuali denganya.
Sedangkan menurut mayoritas ulama wakaf memiliki empat rukun yang
harus terpenuhi, yaitu :
1) Wakif atau orang yang mewakafkan
Pada hakikatnya amalan wakaf adalah tindakan tabarru’
(mendermakan harta benda), karena syarat seorang wakif adalah cakap
melakukan tindakan tabarru’. Artinya, sehat akalnya dalam keadaan
sadar, tidak dalam keadaan terpaksa/dipaksa, dan telah mencapai umur
baligh. Dan wakif adalah benarbenar pemilik harta yang diwakafkan.
21

Oleh karena itu wakaf orang gila, anakanak dan orang yang
terpaksa/dipaksa, tidak sah.
Adapun yang dimaksud dengan syariat ini adalah orang yang
memberikan wakaf mempunyai kuasa untuk memberi sumbangan
ketika masih hidup. Oleh sebab itu, orang yang idiot tidak sah
wakafnya namun sah wasiatnya sebab dia mempunyai kuasa untuk
memberikan sumbangan setelah kematian, kalau seandainya dia
berkata saya wakafkan rumahku maka wakafnya saha sebab ia berupa
wakaf wasiat dan wasiat sah darinya sebab wasit tidak bisa
dilaksanakan kecuali setelah kematian.
Peraturan Pemerintah 28 Tahun 1977 mengatur tentang wakif
yakni orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan tanah miliknya (pasal 1). Badan-badan hukum Indonesia
dan orang atau orangorang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta
yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum,
atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak-pihak, dapat
mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan peraturan-
peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 3 ayat 1). Dalam
hal badan hukum, maka yang bertindak atas namanya adalah
pengurusnya yang syah menurut hukum (pasal 3 ayat 2).
Dalam kaitan ini, tidak ada ketentuan yang mengaharuskan
seorang wakif haruslah seorang muslim. Oleh sebab itu, orang
nonmuslim pun dapat melakukan wakaf. Sepanjang ia melakukannya
sesuai dengan ketentuan ajaran Islam dan perundang-undangan yang
berlaku. Selain itu, sifat wakaf tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa
mengaharap imbalan) dalam pelaksanaanya tidak diperlukan adanya
Kabul dari orang yang menerima.
Namun demikian ketentuan ini perlu dipahami bahwa dalam
pelaksanaanya hendaknya diikuti dengan bukti-bukti tertulis, agar
tindakan hukum wakaf tersebut mempunyai kekuatan hukum
sekaligus menciptakan tertib administrasi. Lebih lanjut mengenai
upaya tertib administrasi dan hukum.
22

2) Maukuf atau benda yang diwakafkan


Pada zaman Rasulullah, yang disyariatkan sifat-sifat benda
yang diwakafkan, ialah harta yang tahan lama seperti tanah, kebun,
sumur. Dalam pasal 215 ayat (4) KIH dikemukakan “benda wakaf
adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang
memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai
menurut ajaran Islam. Para fuqaha berbeda pendapat tentang bentuk
harta yang bisa diserah terimakan untuk wakaf. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa wakaf tidak dapat dilaksanakan, kecuali benda
yang akan diwakafkan itu adalah harta tidak bergerak atau harta
bergerak yang memiliki ikatan (hak milik) sebagian lagi berpendapat
harta yang boleh diwakafkan adalah setiap harta tidak bergerak dan
yang bergerak. Bahkan Ulama Malikiyah menambahkan bahwa wakaf
dari sesuatu yang bermanfaat sah hukumnya.
Tidak ada perbedaan pendapat tentang sahnya mewakafkan
benda tetap (tidak bergerak) secara mutlak, karena tujuan wakaf
adalah mengambil manfaat benda secara tetap, benda harus tertentu
dan diketahui ketika terjadi aqad wakaf. Benda yang diwakafkan telah
menjadi hak milik tetap si wakif ketika terjadi akad wakaf sebab
wakaf menggugurkan hak kepemilikan.
Pasal 4 PP 28 Tahun 1977 mengatur maukuf (objek wakaf)
yang berupa tanah harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik
yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan perkara.
Maukuf atau harta wakaf diatur dalam UU wakaf pada pasal 15, 16,
28 samapai dengan pasal 31. Pada pasal 15 dan 16 ditentukan bahwa
harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan
dikuasai oleh wakif secara sah. Harta benda wakaf terdiri dari, benda
tidak bergerak meliputi
a) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar,
b) Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri diatas tanah
sebagaimana dimaksud pada huruf a,
23

c) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah,


d) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
e) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Sedangkan benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah
harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi :
a) Uang,
b) Logam mulia,
c) Surat berharga
d) Kendaraan
e) Hak atas kekayaan intelektual,
f) Hak sewa, dan
g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28, 29 dan 30 menentukan wakif dapat mewakafkan
benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang
ditunjuk oleh Menteri. Wakaf benda bergerak berupa uang
dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang
dilakukan secara tertulis. Wakaf benda bergerak berupa uang
diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
Sertifikat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh
lembaga keuangan syariah kepada wakif dan zair sebagai bukti
penyerahan harta benda wakaf. Lembaga keuangan syariah atas nama
nazir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada Menteri
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat
Wakaf Uang.

3) Maukuf ‘alaih atau tujuan wakaf


Maukuf ‘alaih haruslah dinyatakan secara tegas dan jelas
waktu ikrar wakaf, kepada siapa dan apa tujuan wakaf. Ulama
Nakliyah berpendapat wakaf tidak harus ditentukan penggunaanya,
24

seharusnya untuk tujuan ibadah dan mengharapkan balasan padahal


dari Allah SWT. Berdasarkan Pasal 17-21 UU Wakaf ditentukan
bahwa ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan
PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. Saksi dalam ikrar
wakaf harus memenuhi persyaratan :
a) Dewasa,
b) Beragama Islam,
c) Berakal sehat,
d) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Ikrar wakaf dinyatakan secara lisan atau tulisan serta
dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. Sedangkan akta ikrar
wakaf paling sedikit memuat:
a) Nama dan identitas Wakif,
b) Nama dan identitas Nazhir,
c) Data dan keterangan harta benda wakaf,
d) Peruntukan harta benda wakaf,
e) Jangka waktu wakaf.
Pada pasal 22 dan 23 ditentukan peruntukan wakaf dalam
rangka mencapai tujuan dan fungsi Wakaf 1 harta benda wakaf hanya
dapat diperuntukan bagi :
a) Sarana dan kegiatan ibadah,
b) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan,
c) Bantuan kepada fakir miskin anak terlantar, yatim piatu, beasiswa,
d) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan atau
e) Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu tujuan wakaf tidak bisa digunakan untuk
kepentingan maksiat atau membantu, mendukung dan atau yang
memungkinkan diperuntukkan untuk tujuan maksiat. Ini ditegaskan
dalam firman Allah QS. Al-Maidah 2 yang artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebaikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam
25

berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada


Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya”.

Penetapan peruntukan harta benda wakaf dilakukan oleh Wakif


pada pelaksanaan ikrar wakaf. Dalam hal ini wakif tidak menetapkan
peruntukan harta benda wakaf, Nazirlah dapat menetapkan peruntukan
harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi
wakaf.
4) Sigat ( ‫ ( صيغة‬atau ikrar/pernyataan wakaf
Ikrar adalah pernyataan kehndak dari wakif untuk mewakafkan
tanah benda miliknya (ps. 215 (3) KHI jo.ps.1 (3) PP.No. 28/1977).
Pernyataan wakaf (shigat wakaf) baik dalam bentuk lisan, tulisan,
maupun isyarat, bahkan dengan perbuatan. Wakaf dinyatakan sah jika
telah ada pernyataan ijab dari wakif/dan Kabul dari maukuf alaihi.
Shigat dengan isyarat hanya diperuntukan bagi orang yang tidak dapat
lisan dan tulisan.
Sayyid Sabaq, menambahkan bahwa pernyataan wakaf
dinyatakan sah melalui dua cara :
a) Perbuatan yang menujukkan wakaf seperti seorang membangun
masjid dan dikumandangkan azan didalamnya. Hal ini telah
menunjukkan wakaf tanpa harus ada penetapan dari hakim.
b) Ucapan, baik sharih (jelas), maupun kinayah (tersembunyi). Contoh
yang sharih seorang wakif (orang yang mewakafkan) berkata, “aku
Wakafkan”, “aku hentikan pemanfaatannya”, “aku jadikan untuk
sabilillah”. Adapun ucapan kinayah seperti, “aku sedekahkan” akan
tetapi niatnya adalah mewakafkannya.
Sigat atau pernyataan wakaf harus dinyatakan dengan tegas
baik secara lisan atau tulisan, menggunakan kata “aku mewakafkan”
atau “aku menahan” atau kalimat semakna lainnya. Dengan
pernyataan wakif itu, maka gugurlah hak wakif. Selanjutnya, benda itu
menjadi milik mutlak Allah yang dimanfaatkan untuk kepentingan
umum yang menjadi tujuan wakaf. Oleh karena itu, benda yang telah
26

diikrarkan wakafnya, tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan maupun


diwariskan.
Ikrar wakaf adalah tindakan hukum yang bersifat deklaratif
(sepihak), untuk itu tidak diperlukan adanya kabul (penerimaan) dari
orang yang menikamati manfaat wakaf tersebut.
Dalam Pasal 5 PP Nomor 28 Tahun 1977 jo. Pasal 218
Kompilasi dinyatakan:
a) Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan
kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana sebagaimana
dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam
bentuk Akta Ikrar Wakaf dengan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi.
b) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.
Syarat-syarat shigat berkaitan dengan isi ucapan (shigat) perlu
adanya beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi
kata-kata yang menunjukkan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau
ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat
direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan
kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat,
ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua
persyaratan diatas dapat terpenuhi, maka pengusaan atas tanah wakaf
bagi penerimaan wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik
balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan pengusaan
harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia
dianggap pemiliknya tetapi bersifat ghaira tammah.
5) Syarat-syarat Wakaf
Selain syarat-syarat yang melekat pada masing-masing rukun,
Ada beberapa syarat wakaf yang harus dipenuhi, yaitu :
27

a) Wakaf berlaku selamanya, tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Jika


ada yang mewakafkan kebun untuk jangka waktu sepuluh tahun
maka dipandang batal. Syarat ini terwujud dengan dua cara.
Pertama, mewakafkan harta untuk orang yang tidak akan pernah
habis seperti fakir miskin, mujahidin dan para pelajar. Kedua,
mewakafkan harta kepada orang yang akan hilang kemudian
kepada mereka yang tidak akan pernah setelahnya, seperti wakaf
kepada seseorang kemudian kepada fakir miskin atau mewakafkan
kepada orang ini kemudian kepada setelahnya kemudian kepada
fakir miskin, wakaf seperti ini dinamakan wakaf yang terputus
awalnya dan bersambung akhirnya.
b) Tujuan wakaf harus jelas, misalnya mewakafkan sebidang tanah
untuk masjid. Jika, tujuan tidak disebutkan, maka masih dipandang
sah sebab penggunaan harta wakaf merupakan wewenang lembaga
badan hukum yang menerima harta wakaf yang sudah jelas usaha-
usahanya untuk kepentingan kebaikan.
c) Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf berlaku
seketika, untuk selama-lamanya.
d) Wakaf harus segera dilaksanakan setelah ada ijab dari yang
mewakafkan. Hal ini karena pemilik telah dari wakaf. Karena itu
wakaf tidak boleh digantungkan kepada suatu keadaan atau syarat
tertentu, misalnya pada kematian seseorang atau suatu kondisi
tertentu. Apapun keadaannya, wakaf tidak sah jika ada
penggantungan status, kecuali tiga perkara saja:
 Jika wakaf berupa amal taqarrub yang jelas seperti saya jadikan
bangunan ini sebagai masjid jika datang Ramadhan.
 Jika dia menggantungkan wakaf kepada kematian seperti saya
wakafkan rumahku kepada orang fakir setelah saya meninggal.
 Jika dia meninggalkan warisannya sebagai wasiat, maka sah
walaupun wasiat baru bisa dilaksanakan setelah dia meninggal
namun hukumnya sama dengan hukum wasiat tidak boleh lebih
dari sepertiga dan boleh rujuk dan tidak boleh diberikan kepada
28

ahli waris dan menjadi wasiat dan menjadi hukum wakaf untuk
selama-lamanya dan tidak boleh menjual dan menghibahkan dan
mewasiatkannya setalah meninggal.
e) Wakaf merupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya
khiyar (membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah
dinyatakan) sebab pertanyaan wakaf berlaku seketika dan
selamanya.

2. Indeks untuk Mengukur Kinerja Wakaf


Pentingnya indeks kinerja wakaf harus dipertimbangkan oleh
pengelola dan otoritas wakaf, terutama untuk meningkatkan kepercayaan
publik dan menghasilkan pengumpulan wakaf dari masyarakat (Khalil, I. A.,
Ali, Y., and Sahaiban, M, 2014:73). Jika tidak ada indeks wakaf, maka tidak
ada standar yang dapat digunakan untuk menilai kinerja pengelolaan wakaf
di antara para pemangku kepentingan. Hal ini akan membuat pengelolaan
wakaf menjadi pendekatan topdown, yaitu bergerak dengan arahan
regulator, bukan pendekatan bottom-up dimana inisiatif untuk mengelola
wakaf yang menjadi pendorong utama pengembangan wakaf (Siraj, S. A.
2012). Indeks untuk mengukur kinerja wakaf telah diusulkan oleh dua
penelitian. Pertama, Indeks Akuntabilitas Wakaf Tunai yang dikemukakan
oleh Siswantoro et al., (2017) yang dirancang dengan menggunakan metode
studi kepustakaan dan penilaian ahli. Tenaga ahli tersebut berjumlah empat
orang, terdiri dari ulama dan pengelola wakaf. Indeks Akuntabilitas Wakaf
Tunai memiliki beberapa indikator seperti terlihat pada tabel berikut;
Tabel 2.1 Indikator Indeks Akuntabilitas Wakaf Tunai
Dimensi Indikator
Keuangan Laporan Keuangan Teraudit
Arus kas keluar yang diurutkan berdasarkan
katergori
Daftar wakit
Struktur organisasi
Informasi dan kegiatan dewan pengawas syariah
Jurnal harian manajemen
Kinerja Pendapatan investasi (laba bersih per rata-rata
total asset)
Peraturan kepegawaian dan kode etik
29

Informasi tata kelola yang baik


Indikator kinerja
Publik Informasi manfaat wakaf bagi penerima manfaat
Informasi alokasi dana untuk pemberdayaan sosial
Laporan lingkungan
Tanggapan atas komentar/rekomendasi
Deskripsi program dan kegiatan
Hubungan Penyediaan kontak dan akses
masyarakat Partisipasi wakaf online
Pembaruan berita dan organisasi
Pertanyaan yang sering diajukan
Aspek Islami Kepatuhan terhadap syariah
Kepatuhan terhadap aturan
Sumber : Siswantoro et al., 2017

Kedua, Indeks Efisiensi Pengelolaan Wakaf yang dikemukakan oleh


Pyeman et al., (2016). Data Envelopment Analysis (DEA) digunakan untuk
menyusun indeks tersebut. Ada dua komponen yaitu input dan output.
Untuk variabel pertama digunakan variabel jumlah dana wakaf dari
pemerintah dan jumlah pegawai, sedangkan variabel kedua yang digunakan
adalah jumlah dana wakaf yang terkumpul dan nilai proyek wakaf.
Meskipun upaya yang baik dari studi di atas untuk mengusulkan indeks
sebagai alat ukur kinerja wakaf, indeks yang diusulkan hanya berfokus pada
lembaga wakaf, bukan sistem wakaf secara keseluruhan. Membangun
indeks wakaf harus mencakup indikator kualitatif (keberlanjutan,
transparansi, dan efektivitas) dan kuantitatif (keuangan) (Noordin, N. H.,
Haron, S. N., & Kassim, S, 2017:921-936).
Kegiatan inti wakaf harus dimasukkan dalam indeks wakaf, meliputi:
i) input wakaf, yaitu aset wakaf; ii) hasil wakaf yang dapat berupa kegiatan
atau produk; dan iii) dampak sosial dari program wakaf. Selain itu, prinsip
tata kelola dan akuntabilitas yang baik juga harus dimasukkan ke dalam
indeks. Indeks Wakaf Nasional yang diusulkan oleh penelitian ini dirancang
untuk memenuhi kriteria indeks wakaf yang baik di atas.
30

3. Indeks Wakaf Nasional


Indeks Wakaf Nasional adalah indeks yang dirancang untuk menjadi
suatu instrumen atau alat untuk mengukur kinerja wakaf pada di suatu
wilayah dari berbagai dimensi pengukuran. Sukmana et al. (2020)
membangun model Indeks Wakaf Nasional (IWN) sebagai alat untuk
mengukur kinerja wakaf di tingkat nasional dan subnasional. Penelitian
tersebut menggunakan metode studi pustaka dalam Focus Group Discussion
(FGD). Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh beberapa faktor yang
menjadi pilar tolak ukur kinerja wakaf yaitu faktor regulasi (regulation),
kelembagaan (institution), proses (process), sistem (system), hasil
(outcome), dan dampak (impact). Setiap faktor dalam pengukuran Indeks
Wakaf Nasional memiliki indikator masing-masing seperti yang ditunjukkan
pada Gambar berikut:

Gambar 2.1. Skema IWN


Sumber : Sukama et. Al. (2020)

a. Faktor regulasi (Regulation Factor)


Faktor regulasi adalah faktor yang berkaitan dengan dukungan
strategis pemerintah selaku otoritas terhadap sistem wakaf dan aktivitas
perwakafan di wilayah. Faktor regulasi termasuk untuk mengapresiasi
dukungan pemerintah daerah dalam mengembangkan wakaf dalam
berbagai aspek seperti regulasi, alokasi anggaran dan kegiatan, dan lain
sebagainya. Faktor ini memiliki tiga sub faktor sebagai berikut.
1) Dukungan Regulasi (Regulation Support)
Dukungan regulasi berkaitan dengan pertanyaan apakah suatu negara
atau wilayah memiliki undang-undang atau peraturan khusus tentang
31

wakaf di dalam yurisdiksinya. Regulasi merupakan infrastruktur dasar


yang harus disediakan oleh negara untuk meningkatkan pembangunan
wakaf (Azman, S. M. S. and Ali, E. R. A. E, 2016). Dukungan
regulasi ini penting karena jika undang-undang khusus tentang wakaf
tidak tersedia, hal tersebut dapat mengganggu penegakan hukum
pengelolaan wakaf yang tepat dan memungkinkan adanya potensi
praktik syariah yang tidak sesuai dalam pengelolaan wakaf (Zain, N.
R. M., Mahadi, N. F. and Noor, A. M, 2019). Selain itu, kurangnya
dukungan regulasi juga menjadi kendala dalam pengembangan
properti wakaf (Dafterdar, H, 2013). Aspek penting lainnya yang
dapat ditangani dengan adanya regulasi wakaf yang baik adalah
sengketa harta benda wakaf. Pengawasan oleh negara untuk mencegah
perambahan dan pendudukan mauquf hanya dapat ditegakkan jika
terdapat kerangka peraturan tentang permasalahan tersebut (Hassan,
R., Alhabshi, S. M. bin S. J. and Yusoff, A, 2017).
2) Dukungan Anggaran (Budget Support)
Dukungan Anggaran berkaitan dengan pertanyaan tentang jumlah
nominal dukungan anggaran untuk pengembangan wakaf yang
disediakan oleh pemerintah. Kurangnya dukungan anggaran negara
akan menjadi kendala bagi pengembangan wakaf yang optimal (Huda,
N. et al, 2017): Thaker, M. A. B. M. T. and Pitchay, A. A, 2018),
sementara sebaliknya dengan adanya dukungan anggaran yang
optimal maka pengembangan wakaf akan mengarah pada
pengembangan yang lebih baik sebagai bagian dari dakwah Islam,
bahkan di negara di mana umat Islam adalah minoritas (Zain, N. R.
M., Mahadi, N. F. and Noor, A. M., 2019).
3) Dukungan Pelatihan (Training Support)
Dukungan Pelatihan berkaitan dengan pertanyaan tentang frekuensi
pelatihan yang diberikan oleh otoritas wakaf bagi para mutawalli
(pengelola wakaf) untuk meningkatkan keterampilan manajemen
wakaf. Profesionalisme adalah isu umum yang diangkat oleh berbagai
penelitian, seperti Huda et al., (2017) dan Mutalib dan Maamor
32

(2016), pelatihan adalah solusi untuk meningkatkan profesionalisme


para pengelola wakaf. Pelatihan juga penting bagi mutawalli untuk
memecahkan masalah dalam pengelolaan wakaf, termasuk
memperoleh dana untuk operasi bisnis, pemahaman tugas dan
tanggung jawab, dan meningkatkan efisiensi pengelolaan aset wakaf
(Hassan, R., Alhabshi, S. M. bin S. J. and Yusoff, A, 2017).
b. Faktor Kelembagaan (Institution Factor)
Faktor kelembagaan merupakan faktor yang terkait dengan kondisi
kelembagaan pengelola wakaf (mutawalli) di suatu wilayah. Faktor ini
termasuk untuk meningkatkan kualitas pengelolaan lembaga wakaf dan
mentransformasi pengelolaan aset wakaf dari mutawalli individu menjadi
mutawalli kelembagaan untuk menjamin profesionalisme, transparansi,
dan akuntabilitas. Faktor ini memiliki dua sub faktor sebagai berikut:
1) Kualitas Manajemen Mutawalli (Muwalli Management Quality)
Kualitas manajemen mutawalli berkaitan dengan pertanyaan tentang
berapa banyak lembaga wakaf di suatu wilayah hukum yang telah
disertifikasi dengan sertifikasi mutu manajemen, seperti ISO 9001.
Sub faktor ini penting karena salah satu faktor yang sering ditemukan
sebagai kendala untuk menarik orang berdonasi wakaf adalah
kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas mutawalli. Jika
sertifikasi mutu manajemen diambil dengan hati-hati oleh lembaga
wakaf, kepercayaan orang dan otoritas dapat dicapai.
2) Status Mutawalli (Mutawalli Status)
Status mutawalli berkaitan dengan pertanyaan tentang berapa banyak
mutawalli institusi yang ada di suatu wilayah yurisdiksi, dibandingkan
dengan mutawalli individu. Pada hakikatnya, wakaf ada untuk menata
dan melembagakan amal (Gebara, R. E. A, 2018). Ini menyiratkan
bahwa seseorang yang mengelola wakaf harus menjadi institusi,
bukan individu. Status mutawalli individu berkemungkinan akan
menyebabkan pengelolaan wakaf tidak efektif, karena mutawalli
menangani berbagai masalah wakaf seperti sertifikasi hukum,
pengumpulan dan pengelolaan aset, dan distribusi manfaat kepada
33

penerima manfaat. Tren terkini juga menunjukkan bahwa mutawalli


lembaga lebih menarik karena sebuah lembaga tunduk pada
akuntabilitas yang akan memberikan kepastian lebih pada aspek-aspek
penting seperti kejujuran, transparansi, dan keterampilan manajemen
para mutawalli.
c. Faktor Proses (Process Factor)
Faktor Proses merupakan faktor yang terkait dengan proses bisnis
praktek wakaf. Faktor ini termasuk untuk memastikan pemantauan
perkembangan wakaf di suatu wilayah hukum dan untuk meningkatkan
pencatatan kegiatan usaha wakaf oleh mutawalli, seperti pengumpulan
aset wakaf, surplus pemanfaatan aset wakaf, dan untuk meningkatkan
pelaporan keuangan lembaga wakaf kepada otoritas dan masyarakat
dengan akuntansi dan standar syariah yang tepat. Faktor ini memiliki tiga
sub faktor sebagai berikut:
1) Pengumpulan (Collection) Pengumpulan berkaitan dengan pertanyaan
tentang jumlah harta wakaf atau pokok yang dikumpulkan oleh semua
mutawalli dalam suatu wilayah hukum, apakah itu berupa tanah, uang
tunai, atau golongan harta lainnya. Penting bagi mutawalli untuk
mencatat aset yang mereka kelola karena kurangnya database tersebut
dapat menyebabkan aset terbengkalai atau ada kemungkinan
perambahan illegal. Pengumpulan wakaf bersifat sukarela dan
kemampuan mutawalli untuk meningkatkan pengumpulan wakaf
merupakan cerminan kepercayaan masyarakat terhadap mutawalli.
2) Pengelolaan (Management) Pengelolaan berkaitan dengan pertanyaan
tentang jumlah keuntungan atau surplus yang dihasilkan oleh semua
mutawalli dalam suatu yurisdiksi. Aset wakaf yang telah dikumpulkan
oleh mutawalli tidak hanya dibiarkan menganggur, tetapi harus
diinvestasikan dalam setiap kegiatan produktif sesuai dengan syariah
Islam. Keuntungan atau surplus inilah yang menjadi dasar bagi
manfaat dan pelayanan yang diberikan oleh mutawalli kepada
masyarakat umum. Jika mutawalli di suatu yurisdiksi dapat
menghasilkan lebih banyak keuntungan/surplus dibandingkan dengan
34

yurisdiksi lain, itu merupakan sinyal dari pengelolaan wakaf yang


lebih efisien di yurisdiksi .
3) Pelaporan (Reporting) Pelaporan berkaitan dengan pertanyaan tentang
jumlah mutawalli kelembagaan yang melaporkan kegiatan dan kondisi
keuangannya kepada otoritas wakaf. Pelaporan merupakan bagian
penting dari kegiatan wakaf untuk menjaga kepercayaan wakaf dan
masyarakat umum terhadap sistem wakaf serta sebagai alat monitoring
untuk memastikan keberlanjutan kondisi keuangan wakaf. Selain itu,
mutawalli harus dapat mempertanggungjawabkan kegiatan yang
mereka lakukan dalam mengelola wakaf karena hubungan kontraktual
antara wakif dan mutawalli pada dasarnya adalah amanah. Pelaporan
yang tidak tepat, apalagi tidak adanya pelaporan, akan menyebabkan
berkurangnya kepercayaan dari masyarakat umum terhadap
mutawalli. Penting juga bagi mutawalli untuk melakukan pelaporan
secara tepat waktu dan standar. Dalam konteks ini, standar akuntansi
khusus untuk lembaga wakaf juga penting untuk mengakomodasi
pelaporan kegiatan wakaf yang tepat sesuai dengan prinsip syariah.
d. Faktor Sistem (System Factor)
Faktor Sistem berkaitan dengan aspek-aspek yang tidak terkait langsung
dengan proses bisnis wakaf tetapi penting untuk mendukung proses
tersebut. Faktor sistem termasuk untuk memastikan bahwa aspek-aspek
pendukung pengelolaan wakaf diperhatikan dengan baik oleh otoritas
wakaf dan mutawalli. Ini termasuk pendaftaran tanah wakaf, kepatuhan
dengan syariah, dan penyediaan informasi wakaf kepada publik. Faktor
ini memiliki tiga sub faktor sebagai berikut:
1) Legalitas Tanah Wakaf (Sharia Compliance) Status hukum tanah
wakaf berkaitan dengan pertanyaan tentang bagian tanah wakaf
bersertifikat yang telah disertifikasi secara sah oleh otoritas lokal.
Pendaftaran dan sertifikasi tanah wakaf penting untuk meresmikan
peralihan kepemilikan dari wakif sebagaimana diatur dalam akad
wakaf serta memberikan dasar bagi mutawalli untuk mengelola tanah
wakaf. Selain itu, sertifikat wakaf akan memberikan bukti kuat
35

tentang status wakaf tanah dan mencegah perselisihan, pendudukan


ilegal, dan perambahan Kepatuhan syariah (Sharia Compliance)
Kepatuhan Syariah berkaitan dengan pertanyaan tentang proporsi
lembaga wakaf di yurisdiksi yang memiliki ulama syariah sebagai
Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mutawalli, serta memastikan
apakah aturan syariah diterapkan atau tidak. Sebagian besar (jika tidak
semua) studi tentang wakaf setuju bahwa penerapan prinsip syariah
merupakan persyaratan mendasar untuk pengelolaan wakaf yang tepat
dan akuntansi wakaf yang terstandarisasi dapat dapat meningkatkan
efisiensi dan transparansi pengelolaan wakaf.
2) Manajemen Informasi Publik (Public Information Management)
Manajemen informasi publik berkaitan dengan pertanyaan tentang
saluran atau media mana yang digunakan oleh otoritas wakaf untuk
menginformasikan kegiatannya kepada publik, apakah itu situs web
internal atau media eksternal. Hal ini penting karena dikhawatirkan
masih terbatasnya kesadaran dan pengetahuan umat Islam tentang
wakaf, dan umumnya hanya dipahami sebagai sumbangan keagamaan
ke masjid-masjid Oleh karena itu, otoritas wakaf harus
menginformasikan setiap kegiatan dan pencapaian lembaga wakaf
dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat umum dan
membuka peluang bagi calon wakaf.
e. Faktor Hasil (Outcome Factor)
Faktor hasil berkaitan dengan produktivitas wakaf dan jangkauan
manfaat wakaf. Faktor hasil termasuk untuk meningkatkan kepedulian
terhadap wakaf produktif dan jangkauan penerima manfaat wakaf. Faktor
ini akan menjadi tolak ukur keberlanjutan dan inklusivitas program
wakaf. Faktor ini memiliki dua sub faktor sebagai berikut:
1) Rasio Wakaf Produktif (Productive Waqf Ratio) Rasio Wakaf
Produktif berkaitan dengan pertanyaan tentang proporsi unit wakaf
produktif dalam suatu yurisdiksi atas semua unit wakaf. Keabadian
wakaf menyiratkan bahwa harta wakaf harus dikelola untuk
menghasilkan pendapatan, yang pada gilirannya akan digunakan untuk
36

membiayai pelayanan. Namun, pemahaman yang sempit tentang


wakaf membuat banyak aset wakaf yang dikelola hanya bersifat
keagamaan dan tidak produktif. Wakaf produktif berarti memasukkan
aspek komersial ke dalam pengelolaan wakaf dan transformasi
menjadi pengelolaan yang lebih professional.
2) Jangkauan Penerimana Manfaat (Recipients Outreach) Jangkauan
penerima manfaat berkaitan dengan pertanyaan tentang proporsi
penerima wakaf (mauquf alaih) dari total populasi di suatu yurisdiksi.
Wakaf sebagai instrumen redistribusi kekayaan diharapkan dapat
menjangkau sebagian besar penduduk dengan layanan esensial, dan
khususnya orang miskin, yang membutuhkan, dan yang kekurangan.
Oleh karena itu, sub faktor ini juga merupakan indikator yang baik
untuk mengukur kinerja wakaf, karena seorang mutawalli tidak hanya
mengelola aset wakaf, tetapi juga mengelola program dan layanan
untuk penerima manfaat.
f. Faktor Dampak Faktor (Impact Factor)
Faktor dampak adalah faktor yang berhubungan dengan dampak wakaf
terhadap kesejahteraan masyarakat dan pemberian pelayanan kepada
masyarakat. Faktor ini dimaksudkan untuk mengukur dampak program
wakaf terhadap kesejahteraan masyarakat serta luasnya pelayanan sosial
dan keagamaan yang diberikan melalui wakaf. Faktor inilah yang
menjadi tolak ukur yang memungkinkan terjadinya transformasi
pengelolaan wakaf dan program menjadi lebih “berorientasi dampak”.
Faktor ini memiliki empat sub-faktor, dengan tiga yang pertama sub-
faktor tersebut terinspirasi dari Indeks Zakat Nasional Indonesia.
Subfaktornya adalah sebagai berikut:
1) Indeks Kesejahteraan CIBEST (CIBEST Welfare Index) Indeks
Kesejahteraan CIBEST merupakan indeks yang mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat berdasarkan data rumah tangga untuk
kemudian dikelompokkan berdasarkan kondisi kemiskinan yaitu
materi dan kemiskinan rohani. Indeks Kesejahteraan CIBEST dihitung
dengan membagi jumlah keluarga tanpa kemiskinan material atau
37

spiritual (keluarga sejahtera) dibagi dengan jumlah rumah tangga yang


diamati.
2) Indeks Pembangunan Manusia yang Dimodifikasi (Modified Human
Development Index) Indeks Pembangunan Manusia yang
Dimodifikasi mengukur indeks kesehatan dan pendidikan yang
merupakan bagian dari IPM dengan modifikasi sebagai proxy untuk
kesejahteraan masyarakat dalam hal kesehatan dan pendidikan
(Puskas BAZNAS, 2016). Rumus perhitungannya adalah sebagai
berikut: IPM yang dimodifikasi= (0,5 x indeks pendidikan) + (0,5 x
indeks kesehatan)
3) Indeks Kemandirian (Independency Index) Indeks Kemandirian
adalah indeks yang mengukur proporsi jam kerja penerima manfaat
yang memiliki pendapatan tetap, tabungan, dan usaha. Hal ini juga
terinspirasi dari Indeks Zakat Nasional Indonesia.
4) Infrastruktur Wakaf (Waqf Infrastructure) Sub-faktor Infrastruktur
Wakaf berkaitan dengan pertanyaan sejauh mana wakaf dapat
menyediakan infrastruktur yang mendukung layanan esensial yang
dibutuhkan oleh masyarakat umum. Layanan tersebut meliputi:
keagamaan (masjid), pendidikan (sekolah), dan kesehatan (rumah
sakit) dengan pertimbangan proporsi kuantitas dan kapasitas
infrastruktur berbasis wakaf dari keseluruhan infrastruktur yang ada
dalam suatu yurisdiksi. Sub-faktor ini merupakan indikator penting
bagi kemampuan wakaf untuk menyediakan pelayanan kepada
masyarakat umum karena banyak penulis menyatakan bahwa wakaf
jika dikelola secara optimal dapat membiayai pelayanan bagi
masyarakat umum untuk kebutuhan rohani dan jasmani.
Tabel 2.2 Kategori Nilai Index Wakaf Nasional
Nilai Kategori
<0,1 Sangat Kurang
≥0,1 dan <0,15 Kurang
≥0,15 dan <0,3 Cukup
≥0,3 dan <0,4 Baik
≥0,4 Sangat Baik
38

4. Efisiensi
a. Definisi Efisiensi
Efisiensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah
ketepatan cara (usaha, kerja) dalam mengoperasikan suatu hal dengan
tidak menyiayiakan waktu, tenaga, dan biaya. Efisiensi adalah rasio
antara output dengan input. Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan
terkait perhitungan seberapa efisien sebuah lembaga dalam menjalankan
tugasnya :
1) Pendekatan Produksi, yaitu pendekatan ini menganggap amil sebagai
pengelola dana/biaya untuk menghasilkan output dari dana yang
berhasil terhimpun berupa penghimpunan dana zakat
2) Pendekatan Intermediasi, yaitu pendekatan ini menganggap amil
sebagai lembaga penghubung (intermediator) dana antara golongan
muzaki dengan masyarakat mustahik
3) Pendekatan Asset, yaitu pendekatan ini menganggap lembaga zakat
sebagai penyalur kredit pinjaman yang hasil outputnya diukur dengan
aset – aset yang dipunyai. Output dengan pendekatan ini berupa asset
(Burhanudin, Muhammad dan Rachma Indrarini, 2020).
Efisiensi merupakan suatu hal yang penting. Sehingga semakin
efisien suatu Lembaga Pengelola Zakat, maka semakin besar dampak
positif pada pelaksanaan pengumpulan, pengelolaan, dan distribusi zakat.
Efisiensi mutlak diperlukan bagi Lembaga pengelola zakat guna untuk
mewujudkan maslahat yang lebih besar bagi umat (Akbar Refki Kurniadi
dkk, 2020). Efisiensi selalu dihubungkan dengan penggunaan sumber daya
untuk mencapai suatu tujuan. Aktivitas dapat dikatakan efisien apabila
dapat memperoleh hasil yang sama dengan aktivitas lain tetapi sumber
daya daya yang digunakan lebih sedikit. Tingkat efisiensi diukur dengan
menggunakan indikator dari rasio antara nilai tambah (value added) dan
nilai output. Ini berarti, semakin tinggi nilai rasio tersebut maka semakin
tinggi pula tingkat efisiensinya (Ivovella S Atikah. 2018).
Suatu organisasi dapat dikatakan efisien apabila organisasi
tersebut: 1) Menghasilkan output yang lebih besar dengan menggunakan
39

input tertentu 2) Menghasilkan output tetap untuk input yang lebih


rendah dari yang seharusnya 3) Menghasilkan produksi yang lebih besar
dari penggunaan sumber daya nya 4) Mencapai hasil dengan biaya
serendah mungkin Pengukuran input cenderung dapat dilakukan dengan
mudah apabila berbagai input yang ada (seperti tenaga kerja, waktu, dan
material) dapat diukur dalam nilai uang. Sementara itu, pengukuran
output umumnya lebih sulit dari pengukuran input, terutama jika output
yang dihasilkan bukan berupa barang.
b. Komponen Efisiensi
Secara sederhana efisiensi terdiri dari dua komponen, yaitu:
1) Efisiensi Teknis Mencerminkan kemampuan untuk menghasilkan
output semaksimal mungkin dengan input yang ada, efisiensi secara
teknis bukan berarti efisien secara alokatif/harga.
2) Efisiensi Alokatif/Harga Menggambarkan kemampuan untuk
menggunakan input dalam proporsi yang juga memasukkan
perhitungan biaya. Decision making unit (DMU) dianggap efisien
alokatif bila mampu menghasilkan output dengan biaya seminimal
mungkin.
c. Prinsip-Prinsip Efisiensi
Menentukan apakah suatu kegiatan dalam organisasi atau
lembaga itu termasuk efisiensi atau tidak, maka prinsip-prinsip atau
persyaratan efisiensi harus terpenuhi, yaitu:
1) Efisiensi harus dapat diukur Standar untuk menetapkan batas antara
efisien dan tidak efisien adalah ukuran normal. Ukuran normal ini
merupakan patokan (standar) awal, untuk selanjutnya menentukan
apakah suatu kegiatan itu efisien atau tidak. Kalau tidak dapat diukur
maka tidak akan dapat diketahui apakah suatu cara kerja atau suatu
kegiatan itu efisien atau tidak.
2) Efisiensi mengacu pada pertimbangan rasional. Rasional artinya
segala pertimbangan harus berdasarkan akal sehat, masuk akal, logis,
bukan emosional. Dengan pertimbangan rasional, objektivitas
40

pengukuran dan penilaian akan lebih terjamin. Subjektivitas


pengukuran dan penilaian dapat dihindarkan sejauh mungkin.
3) Efisiensi tidak boleh mengorbankan kualitas/mutu Kuantitas boleh
saja ditinggalkan tetapi jangan sampai mengorbankan kualitasnya.
Jangan mengejar kuantitas dengan mengorbankan kualitas. Jangan
sampai hasil ditingkatkan tatapi kualitasnya rendah.
4) Efisiensi merupakan teknis pelaksanaan Pelaksanaan operasional
dapat diusahakan seefisien mungkin, sehingga tidak terjadi
pemborosan dalam menggunakan sumber daya yang ada.
5) Pelaksanaan efisiensi harus disesuaikan dengan kemampuan lembaga
yang bersangkutan Ini berarti bahwa penerapannya disesuaikan
dengan kemampuan SDM, dana, fasilitas, dan lain-lain, yang dimiliki
oleh lembaga yang bersangkutan sambil diusahakan peningkatannya.
Setiap lembaga, baik pemerintah maupun swasta memiliki
kemampuan yang tidak selalu sama.
d. Pengukuran Efisiensi
Ada tiga jenis pendekatan pengukuran efisiensi, yaitu:
1) Pendekatan Rasio, yaitu pendekatan rasio dalam mengukur efisiensi
dilakukan dengan menghitung perbandingan output dengan input yang
digunakan. pendekatan rasio akan dinilai memiliki efisiensi yang
tinggi apabila dapat memproduksi jumlah output yang optimal dengan
input yang seminimal mungkin.

(1) Kelemahan dari pendekatan ini adalah apabila terdapat banyak


input dan output yang akan dihitung secara bersamaan, sehingga
banyak perhitungan yang menimbulkan asumsi yang tidak tegas.
2) Pendekatan Regresi, yaitu pendekatan ini mengukur efisiensi
menggunaakan sebuah model dari tingkat output tertentu. Persamaan
regresi dapat ditulis sebagai berikut: Y = X1 + X2 + X3 ...... + XN (2)
Dimana Y adalah output dan X adalah input. Perhitungan regresi ini
tidak dapat mengakomodir jumlah variable input yang banyak.
41

3) Pendekatan Frontier, pendekatan ini mempunyai dua jenis yaitu:


parametric dan non-parametric. Pendekatan parametrik dapat diukur
dengan tes statistik parametrik seperti menggunakan Stochastic
Frontier Approach (SFA) dan Distribution Free Approach (DFA).
Pendekatan frontier non-parametrik diukur dengan tes statistik non-
parametrik yaitu dengan menggunakan Data Envelopment Analysis
(DEA).
Pengukuran efisiensi yang hanya membandingkan antara output
dan input belum menunjukkan efisiensi yang sesungguhnya. Untuk dapat
mengukur efisiensi yang sebenarnya, kita harus membandingkan kembali
hasil perbandingan output dan input tersebut dengan standar efisiensi.
Jika standar hasil ini tidak ada, kita tidak akan dapat menentukan
efisiensi manajemen secara tepat. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa
standar efisiensi.
1) Standar teknik (engineered standards). Standar ini dikembangkan oleh
para insinyur dengan teknik pengukuran yang cukup eksak dengan
tingkat ketelitian yang tinggi dan telah terbukti baik diterima umum.
Oleh karena itu, standar ini menjadi dasar yang dipercaya untuk
mengukur dan menilai tingkat efisiensi.
2) Standar historis (historical standards). Tingkat efisiensi yang dicapai
di masa lalu dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai tingkat
efisiensi saatini. Pencapaian tingkat efisiensi di masa lalu tersebut
merupakan historical standards. Sebagai contoh, rasio produktivitas
yang dicapai di masa lalu dapat digunakan sebagai dasar untuk
menilai tingkat produktivitas saat ini.
3) Perbandingan dengan organisasi lain (benchmark). Hal ini berarti
melakukan perbandingan dengan standar pencapaian pada organisasi
lain yang bergerak dibidang yang sama dan dapat dipertimbangkan
sebagai pelopor atau pemimpin di bidang tersebut. Benchmark (tolak
ukur) juga dapat dilakukan dengan membandingkan dengan industri
yang diterima umum. Pemanfaatan utilitas. Efisiensi karyawan,
peralatan, fasilitas, dan lainnya ditunjukkan sebagai persentase antara
42

kapasitas yang tersedia dibandingkan dengan penggunaan kapasitas


sesungguhnya (actual).

5. Efektivitas
a. Definisi Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata dasar efektif. Menurut KBBI, kata
efektif mempunyai makna pengaruh, efek, dapat membawa hasil atau
akibat. Efektivitas menekankan pada hasil yang dicapai, sedangkan
efisiensi lebih melihat pada bagaiman cara mencapai hasil yang dicapai
itu dengan membandingkan antara input dan output-nya (Burhanudin,
Muhammad dan Rachma Indrarini, 2020). Efektivitas adalah suatu
keadaan yang menunjukkan sejauh mana rencana dapat tercapai.
Semakin banyak rencana yang dapat dicapai, semakin efektif pula
kegiatan tersebut, sehingga kata efektivitas dapat juga diartikan sebagai
tingkat keberhasilan yang dapat dicapai dari suatu cara atau usaha
tertentu sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Index wakaf bisa dikatakan efektif ketika memenuhi kriteria,
diantaranya mampu memberikan pengaruh, perubahan atau dapat
membawa hasil. Ketika kita merumuskan tujuan instruksional, maka
efektivitas dapat dilihat dari seberapa jauh tujuan itu tercapai. Semakin
banyak tujuan tercapai, maka semakin efektif pula adanya kinerja index
wakaf tersebut. Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan
prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan
sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada
waktunya. Dapat disimpulkan bahwa efektivitas berkaitan dengan
terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu,
dan partisipasi aktif dari anggota serta merupakan keterkaitan antara
tujuan dan hasil yang dinyatakan, dan menunjukkan derajat kesesuaian
antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang dicapai.
Efektivitas dapat diartikan sebagai sebuah keberhasilan suatu
aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan (sasaran) yang telah
ditentukan sebelumnya. Menurut ahli manajemen, Peter Drucker,
43

efektivitas erat kaitannya dengan efisiensi. Efisiensi berarti mengerjakan


sesuatu dengan benar (doing things right), sedangkan efektivitas adalah
mengerjakan sesuatu yang benar (doing the right things).
b. Aspek-Aspek Efektivitas
Aspek-aspek efektivitas dapat dijelaskan bahwa efektivitas suatu
program dapat dilihat dari aspek-aspek antara lain :
1) Aspek tugas atau fungsi, yaitu lembaga dalam hal ini lembaga
dikatakan efektivitas jika melaksanakan tugas atau fungsinya
2) Aspek rencana atau program, yang dimaksud dengan rencana atau
program di sini adalah program pentasharufan dana wakaf, jika
seluruh rencana dapat dilaksanakan maka rencana atau progarm
dikatakan efektif
3) Aspek ketentuan dan peraturan, efektivitas suatu program juga dapat
dilihat dari berfungsi atau tidaknya aturan yang telah dibuat dalam
rangka menjaga berlangsungnya proses kegiatannya. Aspek ini
mencakup aturanaturan baik yang berhubungan dengan karyawan,
muzaki maupun yang berhubungan dengan mustahiq, jika aturan ini
dilaksanakan dengan baik berarti ketentuan atau aturan telah berlaku
secara efektif
4) Aspek tujuan atau kondisi ideal, suatu program kegiatan dikatakan
efektif dari sudut hasil jika tujuan atau kondisi ideal program tersebut
dapat dicapai. Penilaian aspek ini dapat dilihat dari prosentase
pentasharufan dana zakat pada program pentasharufan lembaga wakaf.
c. ACR (Allocation to Collection Ratio)
Efektivitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
rasio ACR (Allocation to Collection Ratio), yakni merupakan
perbandingan antara jumlah wakaf yang disalurkan dengan jumlah wakaf
yang dihimpun. Perhitungan ini sangat penting digunakan sebagai
indikator kinerja penyaluran wakaf lembaga yang ada. Apabila suatu
lembaga memiliki nilai ACR 90 persen, maka berarti bahwa 90 persen
wakaf yang dihimpun telah disalurkan. Amil menggunakan dana
sebanyak 10 persen untuk memenuhi seluruh kegiatan operasionalnya.
44

Hal tersebut memberikan makna bahwa semakin rendah prosentase nilai


ACR menunjukkan semakin lemahnya kemampuan manajemen
penyaluran lembaga wakaf. Adanya keadaan tersebut, sehingga
diperlukan langkah untuk memperbaikinya.

B. Penelitian Terdahulu
Sukmana (2020) menganalisis penerapan IWN pada 34 provinsi di
Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu studi pustaka
dan FGD untuk penggalian kerangka indeks serta Analytical Hierarchy Processing
(AHP) untuk konstruksi indeks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai IWN
di Indonesia yaitu 0.123 atau kategori kurang. Sedangkan pada tingkat sub-
nasional terdapat 5 provinsi dengan kinerja wakaf terbaik yaitu Aceh (nilai IWN
0.36 atau kategori baik), Lampung (nilai IWN 0.27 atau kategori cukup), Bali
(nilai IWN 0.191 atau kategori cukup), Sulawesi Tenggara (nilai IWN 0.188 atau
kategori cukup), dan Jawa Tengah (nilai IWN 0.16 atau kategori cukup.
Muhammad Budi Buchari Harahap, Darwanto. 2021., Hasil penelitian
didapat bahwa masih banyak ditemukan aset wakaf tanpa adanya administrasi
yang lengkap sehingga perwakilan BWI Jawa Tengah memfokuskan strategi
melalui penertiban aset wakaf yang ada serta pelatihan yang didapat nazhir Kota
Semarang belum cukup untuk melahirkan nazhir yang profesional. Pola pikir,
pemahaman dan etos kerja para nazhir masih tradisional untuk tujuan menciptakan
iklim perwakafan yang produktif bermanfaat demi ekonomi keumatan.
Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Ahmad Hatim. 2021.
Menyebutkan bahwa Wakaf merupakan salah satu potensi yang dapat digunakan
sebagai upaya menuju Reforma Agraria. Namun faktanya kini pengelolaan wakaf
belum dilakukan secara maksimal. BWI sebagai lembaga inti pengembangan
wakaf nasional pun memiliki permasalahan dalam pembagian peran didalamnya.
Perasalah peran tersebut yaitu Badan Wakaf Indonesia yang berperan sebagai
regulator dan operator sebagaimana tercantum dalam pasa 49 UU Wakaf ternyata
menimbulkan benturan kepentingan. Penggabungan dua peran tersebut dalam satu
lembagai bernaama BWI tentunganya membuat BWI tidak efisien dalam
pengembangan wakaf yang begitu besar di Indonesia ini. Dengan demikian
45

diperlukan reformasi peran BWI untuk menyelesaikan permasalah yang ada


sehingga perwakafan nasional semakin optimal dan dapat digunakan sebagai jalan
menuju Reforma Agrarria agar dapat diakses oleh siapapun dan memberi
kemanfaat seluas-luasnya bagi rakyat.

C. Kerangka Pikir
Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat/rasio efektifitas dan efisiensi
indeks Wakaf Nasional (IWN) di Sumatera Utara. Penelitian ini akan mengulas
tentang permasalahan efektifitas dan efisiensi Indeks Wakaf Nasional (IWN)
sehingga pada akhirnya dapat memutuskan apakah di sumatera utara memiliki
daerah yang memiliki wakaf produktif. Kemudian untuk melihat efektifitas dan
efisiensi tersebut, akan lihat dari 6 faktor yang membangun IWN tersebut, yaitu
faktor regulasi, faktor institusi, faktor proses, faktor sistem, faktor outcome, dan
faktor dampak. Dibawah ini peneliti membuat skema kerangka pikir dalam
penelitian ini.

Gambar 2.2. Skema IWN


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian sangat diperlukan dalam sebuah penelitian, hal ini
bermaksud agar penelitian yang dilalukan tetap sesuai dengan tujuan penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris tentang sejauh mana
efektivitas dan efisiensi index wakaf nasional berpengaruh terhadap penerimaan
wakaf selama periode 2021-2022.
Penelitian ini menggunakan satu variabel dependen (terikat) dan dua
variabel independen (tidak terikat). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
variabel penerimaan wakaf, sedangkan dua variabel independen yang digunakan
antara lain: index wakaf nasional. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah
data sekunder, yaitu data yang diperoleh berdasarkan informasi yang telah disusun
dan telah dipublikasikan oleh suatu instansi tertentu. Dalam penelitian ini data
yang digunakan diperoleh dari BWI (Badan Wakaf Indonesia Wilayah Sumatara
Utara. Jenis penelitian yang digunakan ialah gabungan dari penelitian kuantitatif
secara deskriptif. Penelitian kuantitatif adalah jenis penelitian yang melibatkan
pengolahan terhadap variabel input maupun output yang digunakan dalam
penelitian, dan penelitian deskriptif (descriptive research) adalah jenis penelitian
yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa
ada perlakuan obyek yang diteliti (Sugiyono,2009).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Badan Wakaf Indonesia Wilayah Sumatara
Utara yang beralamat di jalan. A. H. Nasution, Pangkalan Masyhur, Komplek
Asrama Haji, Pangkalan Masyhur, Kec. Medan Johor, Kota Medan, Sumatera
Utara 20143.
2. Waktu Penelitian
Adapun waktu dalam penelitian ini dilakukan pada bulan februari 2023-
Juni 2023.

46
47

C. Populasi dan Sample Penelitian


Populasi adalah jumlah yang ada pada obyek atau subyek yang dipelajari
dan meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh obyek atau subyek
itu. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Mufraini, Arief, 2013).
Populasi juga dapat dikatakan sebagai kumpulan dari semua kemungkinan
orang-orang, benda-benda, ukuran lain, yang menjadi objek perhatian atau
kumpulan objek yang menjadi perhatian (Suharyadi dan S.K. Purwanto 2013:7).
Sedangkan sampel adalah suatu bagian dari populasi tertentu yang menjadi
perhatian.
Sampel dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni sampel probabilitas
dan non-probabilitas. Menurut Suharyadi dan Purwanto (2013), Sampel
probabilitas merupakan suatu sampel yang dipilih sedemikian rupa dari sebuah
populasi sehingga masing-masing anggota populasi memiliki probabilitas atau
peluang yang sama untuk dijadikan sampel. Sedangkan sampel non-probabilitas
adalah sampel yang dipilih sedemikian rupa dari sebuah populasi sehingga setiap
anggota tidak memiliki probabilitas atau peluang yang sama untuk dijadikan
sampel. Metode sampling yang digunakan pada penelitian ini ialah metode
Judgement Sampling atau biasa disebut dengan Puposive Sampling yang
merupakan bagian dari sampel non-probablitas, atau memiliki pengertian sebuat
penelitian yang dalam pengumpulan datanya atas dasar strategi kecakapan atau
pertimbangan pribadi semata (Teguh, 2005) Peneliti memiliki pertimbangan
mengenai ketersediaan data atas penerimaan dana wakaf secara merinci, terutama
terhadap seberapa besar efektivitas dan efisiensi penerimaan wakaf yang
dipengaruhi index wakaf nasional.
Dalam penelitian ini, data yang akan digunakan ialah data sekunder, atau
data yang dikumpulkan oleh beberapa peneliti lain dan digunakan dalam bentuk
mentah. Data yang digunakan bersumber dari Badan Wakaf Indonesia wilayah
sumatera utara dengan mengambil seluruh populasi yaitu laporan keuangan
tahunan BWI Wilayah Sumatera Utara, dan sampel berupa data berupa biaya
operasional dan data penerimaan wakaf. Data yang digunakan diambil dari
48

laporan keuangan tahunan berupa laporan penerimaan wakaf pada rentang


waktujanuari 2021 hingga desember 2022.

D. Metode Pengumpulan Data


Langkah penting lainnya yang perlu dilakukan di dalam penelitian
sebelum peneliti sampai kepada konklusi adalah metode pengumpulan data.
Seorang peneliti akan sulit melakukan verifikasi terhadap objek yang menjadi
bahan penelitiannya tanpa ada fakta-fakta yang mendasarinya. (Teguh, 2005)
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder atau
data yang diperoleh tidak secara langsung melainkan dari instansi tertentu yang
dapat berupa laporan atau catatan yang dikeluarkan. Data sekunder ini dapat
diambil dari informasi yang dikeluarkan oleh suatu instansi tertentu yang dapat
berupa data harian, mingguan, bulanan, triwulan, atau bahkan tahunan.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
3. Library Research Landasan teori dan pengembangan hipotesis yang terkait
dalam penelitian ini diambil dan dibentuk dari literatur-literatur yang
bersumber dari buku-buku, jurnal, dan tulisan-tulisan lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
4. Internet Research Dalam penelitian ini data yang digunakan ialah data
sekunderatau data yang tidak didapatkan secara langsung oleh peneliti. Data
ini diambil dari situs/ website resmi pemerintah Indonesia dan salah satu
social crowdfunding di Indonesia data yang diambil adalah data laporan
keuangan dengan periode 2021-2022.
5. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan cara
mengumpulkan dokumen atau laporan yang bersumber dari lembaga atau
pihak-pihak yang terkait dengan penelitian. data sekunder pada penelitian
ini bersumber dari BWI Wilayah Sumatera Utara.
49

E. Metode Analisis Data


Penelitian ini menggunakan dua teknik analisis statistik non parametrik.
Yakni Data Envelopment Analysis (DEA) untuk mengukur tingkat efisiensi dan
Allocation to Collection Ratio (ACR) untuk mengukur tingkat efektivitas.
1. Data Envelopment Analysis (DEA) Data Envelopment Analysis (DEA)
adalah sebuah teknik pemrograman matematis yang digunakan untuk
mengevaluasi efisiensi relatif dari sebuah kumpulan unit-unit pembuat
keputusan atau Decision Making Units (DMU) dalam mengelola sumber
daya (input) dengan jenis yang sama sehingga menjadi hasil (output) dengan
jenis yang lama pula, dimana hubungan bentuk fungsi dari input ke output
tidak diketahui.
DEA merupakan alat ukur efisiensi relatif yang digunakan untuk
mengevaluasi bagaimana suatu proses pengambilan keputusan dalam suatu
unit, dalam hal ini program pengumpulan wakaf di BWI Wilayah Sumatara
Utara, Selanjutnya proses tersebut akan membentuk suatu garis frontier
yang terbentuk dari program-program penghimpunan wakaf di BWI
Wilayah Sumatera Utara. Program yang efisien akan menunjukkan nilai 1.
Namun pengertian efisien tidak berarti memberikan output yang paling
maksimum, tetapi yang memberikan gambaran best practices dari output
diantara program yang dijadikan sampel. Pengolahan data pada penelitian
ini menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dengan
menggunakan software DEAFrontier. Metodologi DEA adalah sebuah
metode nonparametrik yang menggunakan model program linier untuk
menghitung perbandingan rasio output dan input untuk semua unit atau
Decision Making Unit (DMU) yang dibandingkan. DEA pertama kali
diperkenalkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes padatahun 1978. Metode
ini tidak memerlukan sebuah fungsi persamaan dan hasil perhitungannya
bersifat relatif (Siswadi, E. dan Wilson Arafat. 2004:46-54).
2. Allocation to Collection Ratio (ACR).
Tolak ukur yang dipakai ialah metode rasio efektivitas penyerapan wakaf
atau Allocation to Collection Ratio (ACR). ACR ini dinyatakan dalam
presentase yang dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori:
50

a) Highly effective (Jika ACR > 90%)


b) Effective (Jika ACR mencapai 70-89%)
c) Fairly Effective (Jika ACR mencapai 50-69%)
d) Below Expectation (Jika ACR mencapai 20-49%)
e) Ineffective (Jika ACR <20%).
51

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam (Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah Sistem Transaksi dalam Fiqh
Islam, Ctk. Kedua, Amzah, Jakarta, 2014

Abdul Rahman Ghazaly, dkk,2010. Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana

Achmad Djunidi Dan Thobieb Al-Asyar, Menuju Era Wakaf Produktif,


(Jakarta:Mumtaz Publising, 2007)

Ahmad Hatim. 2021. Reformasi Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam
Ekosistem Nasional Sebagai Jalan Menuju Reformasi Agraria. Jurnal
Hukum Lex Generalis. Vol. 2 No. 9 (September 2021).

Ahmad, Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003.h.492

Akbar Refki Kurniadi, Ifa Hanifia Senjiati, Arif Rijal Anshori. 2020. Analisis
Efisiensi Kinerja Baznas Kota Bandung Dalam Pengelolaan Dana Zakat
Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis. Prosding Hukum
Ekonomi Syariah

Al-Quran dan Terjemahannya. (2018). Yayasan Penyelenggara Penerjemah


Penafsir Al-Qur’an Dan Terjemahan. Jakarta.: Depertemen Agama RI

Ali, H. Mohammad Daud. 2012. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers

Amarodin, Muchamat. 2019. Optimalisasi Pemberdayaan Wakaf Produktif Di


Indonesia (Ikhtiar Strategi Dalam Membengun Kesejahteraan Ekonomi
Keumatan). IKSYAR: Jurnal Ekonomi Syari‟ah & Bisnis Islam 06
(02): 178–90.
https://ejournal.staimtulungagung.ac.id/index.php/Eksyar/article/view/
403

Anwar, S. (2020) ‘Urgency of Waqf Land Registration in the Context of


Indonesian Land Reform’, Journal of Law and Legal Reform,
1(January).150

Aziz, Muhammad. 2017. Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) Dalam


Mengembangkan Prospek Wakaf Uang Di Indonesia.‖ JES (Jurnal
Ekonomi Syariah) 2 (1): 35–54. https://doi.org/10.30736/jesa.v2i1.14.

Azman, S. M. S. and Ali, E. R. A. E. (2016) ‘The potential of innovative financial


tools: Social Impact Bond (SIB) and Sustainable and Responsible
Investment (SRI) sukuk, towards the sustainable growth of the Islamic
52

finance industry’, European Journal of Islamic Finance, 4(2016), p. 9.


doi: 10.13135/2421-2172/1644

Burhanudin, Muhammad dan Rachma Indrarini. 2020. Efisiensi dan Efektivitas


Lembaga Amil Zakat Nasional Studi pada Inisiatif Zakat Indonesia.
Jurnal Ekonomi & Ekonomi Syariah, Vol 3 No 2, 453-463.

Dafterdar, H. (2013) ‘Towards Effective Legal Regulation and Enabling


Environment for Waqf’, Waqf Laws and Management.With Special
Reference to Malaysia, pp. 29–46

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam


Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Februari,2007)

Faiza, Nurlaili Adkhi Rizfa. 2019. Cash Waqf Linked Sukuk Sebagai Pembiayaan
Pemulihan Bencana Alam Di Indonesia.Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya. http://digilib.uinsby.ac.id/33325/.

Gebara, R. E. A. (2018) ‘The Relevance of Waqf to the Australian Society from


the Perspective of Maqasid Al-Shari’ah (Higher Objectives of
Shari’ah)’, Al-Shajarah, 23(1), pp. 149–170. doi: 10.1017/
CBO9781107415324.004

H. Zainuddin Hamidy, dkk. 2009. Terjemah Hadits Shahih Bukhari. Jakarta


Widjaya 1983. h.95

Hadi, Solikhul. 2017. Pemberdayaan Ekonomi Melalui Wakaf. ZISWAF : Jurnal


Zakat Dan Wakaf 4 (2): 229-44.
https://doi.org/10.21043/ziswaf.v4i2.3043.

Hafizah, Gia Dara. 2021. ―Peran Ekonomi Dan Keuangan Syariah Pada Masa
Pandemi Covid-19.LIKUID: Jurnal Ekonomi Industri Halal 1 (1): 56–
64.https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/likuid/article/view/12733,

Handayani, Dini, 2011. Pengelolaan Wakaf Uang Di Indonesia, Jakarta: Dinas


Pendidikan Provinsi Banten

Handayani, Rossi. 2020. Peran Wakaf Belum Optimal Tangani Pandemi Covid
19.Republika. 2020.

Hassan, R., Alhabshi, S. M. bin S. J. and Yusoff, A. (2017) ‘Towards Providing


the Best Shari’ah Governance Practices for Waqf Based Institutions’,
Al-Shajarah, (Special Issue: Islamic Banking and Finance), pp. 165–
185. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.

Huda, N. et al. (2017) ‘Problems, Solutions and Strategies Priority for Waqf in
Indonesia’, Journal of Economic Cooperation and Development, 38(1),
pp. 29–54.
53

Huda, N. et al. (2017) ‘Problems, Solutions and Strategies Priority for Waqf in
Indonesia’, Journal of Economic Cooperation and Development, 38(1),
pp. 29–54

Iskandar, Azwar, Bayu Taufiq Possumah, and Khaerul Aqbar. 2020. Peran
Ekonomi Dan Keuangan Sosial Islam Saat Pandemi Covid-19.SALAM:
Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I 7 (7): 625–38.
https://doi.org/10.15408/sjsbs.v7i7.15544.

Ivovella S Atikah. 2018. Analisis Efisiensi Kinerja Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas) Kota Yogyakarta Dengan Menggunakan Metode Data
Envelopment Analysis (Dea). Skripsi Pada Fakultas Ekonomi
Universitas Islam IndonesiaYogyakarta, 10-64

Kadir, Afifuddin, Miftahur Rahman Hakim, Fahmi Syam, and Murdiansah SA.
Karim. 2020. Penggunaan Dana Zakat Pada Korban Covid-19
Perspektif Maqashid Syariah.Al-Tafaqquh: Journal of Islamic Law 1
(2): 107–16. https://doi.org/10.33096/al-tafaqquh.v1i2.61.

K. Lubis, Suhrawardi. 2010. Wakaf Dan Pemberdayaan Umat. Jakarta: Sinar


Grafika

Kementerian Agama Republik Indonesia. 2013. Pedoman Pengelolaan dan


Perkembangan Wakaf. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
Direktorat Pemberdayaan Wakaf

Khalil, I. A., Ali, Y., and Sahaiban, M. (2014) Waqf Fund Management in Kuwait
and Egypt : Can Malaysia Learns from Their Experiences. Proceeding
of The International Conference on Masjid, Zakat and Waqf (IMAF
2014), 1-2 December 2014, Kuala Lumpur, Malaysia, pp. 66-83

Mufraini, Arief. 2013. Metodologi Penelitian Bidang Ekonomi Islam. Tangerang


Selatan: UIN Jakarta Press

Muhammad Budi Buchari Harahap, Darwanto. 2021. Peran Strategi Badan Wakaf
Indonesia (BWI) dalam Meningkatkan Profesionalisme Nazhir Kota
Semarang. Tawazun: Journal of Sharia Economic Law P-ISSN: 2655-
9021, E-ISSN: 2502-8316 Volume 4, Nomor 1, 2021

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta:Gema


Insani Press:2003)

Mutalib, H. A. and Maamor, S. (2016) ‘Utilization of waqf property: Analyzing


an institutional Mutawalli challenges in management practices’,
International Journal of Economics and Financial Issues, 6(7Special
Issue), pp. 36–41.

Noordin, N. H., Haron, S. N., & Kassim, S. (2017). Developing a comprehensive


performance measurement system for waqf institutions. International
Journal of Social Economics, 44(7), 921–936
54

Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2015. Akuntansi Syariah di Indonesia. Salemba


Empat. Jakarta

Nurjannah, Nurjannah, and M. Wahyuddin Abdullah. 2020. ―Cash Waqf:


Economic Solution during the Covid-19 Pandemic.‖ FITRAH: Jurnal
Kajian Ilmu-Ilmu Keislaman 6 (2): 223–42.
https://doi.org/10.24952/fitrah.v6i2.3058,

Puskas BAZNAS (2016) Indeks Zakat Nasional. Jakarta: Pusat Kajian Strategis
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).

Pyeman, et. al. 2016. Modernizing Waqf Performance Evaluation By Waqf


Management Efficiency Index. Thesis Faculty of Business
Management. Universiti Teknologi MARA, Malaysia

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,


2009)

Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2015),

Saputra, Hijrah. 2020. ―Zakat Sebagai Sarana Bantuan Bagi Masyarakat


Berdampak Covid-19.‖ Al-Ijtima`i: International Journal of
Government and Social Science 5 (2): 161–175.
https://doi.org/10.22373/jai.v5i2.549. Siah,

Siraj, S. A. 201). An Empirical Investigation into the Accounting, Accontability


and Effectiveness of Waqf Management in the State Islamic Religous
Councils (SIRCs) in Malaysia. Cardiff University.

Siswadi, E. dan Wilson Arafat. 2004. “Mengukur Efisiensi Relatif Kantor Cabang
Bank dengan Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis
(DEA).” Usahawan, No.01 TH XXXIII

Siswantoro, D., Rosdiana , H., & Fathurraman, H. 2017. Reconstructing


Accountability of the Cash Waqf (Endowment) Institution in Indonesia.
Managerial Finance, 624-644.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,


dan R&D. Bandung : Alfabeta

Suhairi, Wakaf Produktif, (Yogyakarta:Kaukaba,2014)

Suharyadi dan S.K. Purwanto 2013. Statistika untuk Ekonomi dan Keuangan
Modern. Edisi ke-2. Jakarta: Salemba Empat

Sukmana, R., Sholihin, M. Beik, I.S., Lestari, D.L., Indrawan, I.W., Ajija, S.R.
(2021). ‘National Waqf Index: A Measurement for Waqf Performance’,
BWI Working Paper Series (BWPS), BWPS No 1/PKTD/BWI/III/2021
55

Thaker, M. A. B. M. T. and Pitchay, A. A. (2018) ‘Developing waqf land through


crowdfunding-waqf model (CWM): the case of Malaysia’, Journal of
Islamic Accounting and Business Research, 9(3), pp. 448–456. doi:
10.1108/JIABR-05-2016-0062

Tim El-Madani, 2014. Tata Cara Pembagian Waris dan Pengantar Wakaf.
Yogyakarta : Pustaka Yustisia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,


Pasal 5 Ayat 1

Zain, N. R. M., Mahadi, N. F. and Noor, A. M. (2019) ‘The potential in reviving


waqf through crowdfunding technology: The case study of thailand’,
Al-Shajarah, (Special Issue Islamic Banking and Finance), pp. 89–106

Anda mungkin juga menyukai