Anda di halaman 1dari 89

MODEL PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN PEREMPUAN
KELAS IIA TANGERANG

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

TRI YUNITA INDAH LESTARI


NIM: 11140480000045

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
ABSTRAK

Tri Yunita Indah Lestari, NIM 11140480000045. MODEL PEMBINAAN


TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
PEREMPUAN KELAS IIA TANGERANG. Skripsi Program studi Ilmu
Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara. Fakultas Syariah dan Hukum.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019 M/ 1440 H.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai substansi sistem yang paling terakhir
yang langsung berhadapan dengan narapidana untuk melaksanakan pembinaan,
mempunyai posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan akhir dari Sistem
Peradilan Pidana. Lembaga Pemasyarakatan diharapkan mampu merealisasikan
tujuan akhir Sistem Peradilan Pidana, dengan melaksanakan program pembinaan
yang dilakukan oleh Petugas Pemasyarakatan. Di dalam penelitian ini Peneliti
bermaksud untuk memaparkan model pembinaan yang dilakukan Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang dan apa saja yang menjadi
kendala dalam proses pembinaan narapidana.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Undang-Undang. Dengan jenis
penelitian empiris. Dalam penelitian sumber data berasal dari bahan hukum
primer atau data lapangan. Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan dan wawancara.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Tangerang sudah memberikan pembinaan kepada warga
binaan pemasyarakatan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan. Namun masih ada beberapa kendala yang dialami oleh
LAPAS tersebut yakni jumlah pegawai/penjaga tahanan yang tidak sesuai dengan
jumlah narapidana yang berada di dalam LAPAS, kurangnya pengetahuan petugas
mengenai penggunaan senjata api, masih adanya oknum petugas yang
menjembatani narapidana mempunya barang-barang terlarang. Meski begitu pihak
LAPAS terus menerus melakukan perbaikan agar Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Tangerang ini tetap bersih dari (handphone, pungutan liar
dan narkoba) serta memberikan layanan prima kepada narapidana dan keluarga
narapidana yang datang berkunjung ke LAPAS.

Kata kunci : Pembinaan, Model Pembinaan Narapidana, Lembaga


Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang.

Pembimbing : Dr.Alfitra,S.H.,M.Hum
Daftar Pustaka : Tahun 1991 sampai Tahun 2013

v
KATA PENGANTAR

   

Assalamualaikum, Wr.Wb.

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
Rahmat-Nya, Penyusun Skripsi yang berjudul “PEMBINAAN HUKUM
TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
PEREMPUAN KELAS IIA TANGERANG” dapat diselesaikan dengan baik,
walaupun terdapat beberapa kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi
ini.
Hal ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan
bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan
segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat saya ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.H.,M.A. Dekan Fakultas Syariah dan


Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr.Asep Syarifuddin Hidayat, S.H.,M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs.Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr.Alfitra,S.H.,M.Hum. Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga, dan pikirannya. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Khususnya Dosen Program Studi Ilmu
Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat
bagi penulis.
4. Kepala dan Staff pusat perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk penulis
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Sri Setiati, Bc.IP.,SH. KASI BINADIK di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Tangerang yang telah memberikan data dan kesempatan

vi
untuk melakukan penelitian kepada penulis sehingga dapat terselesaikan
skripsi ini.
6. Pihak-pihak terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Tidak ada
yang dapat peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali doa dan
ucapan terima kasih. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Terima Kasih.

Jakarta, 1 Mei 2019

Tri Yunita Indah Lestari

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK .....................................................................................................v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI.............................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1

B. Identifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................7

C. Tujuan Penelitian ........................................................................8

D. Manfaat Penelitian .......................................................................9

E. Metode Penelitian ........................................................................9

F. Sistematika Penulisan ................................................................14

G. Tinjauan Kajian (Review) Terdahulu .........................................15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA


PEMASYARAKATAN
A. Kerangka Konseptual .................................................................17
B. Kerangka Teori ..........................................................................18
C. Konsep Lembaga Pemasyarakatan ............................................21

1. Tujuan dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan ......................23

2. Sejarah Perkembangan Sistem Lembaga Pemasyarakatan di


Indonesia ...............................................................................26

3. Istilah-Istilah Pemasyarakatan ..............................................29

viii
4. Dasar Hukum Pemasyarakatan .............................................31
D. Upaya Pembinaan Narapidana ...................................................32

1. Proses Pemasyarakatan .........................................................34

2. Pembinaan Terhadap Narapidana .........................................34

3. Program Pelatihan Bagi Petugas Dan Narapidana ...............36

4. Lembaga Pemasyarakatan Terbuka ......................................37


E. Tujuan Dan Prinsip-Prinsip Pemasyarakatan Dalam Islam .......38

1. Kesehatan Narapidana...........................................................38

2. Kebersihan Narapidana .........................................................39

3. Hak Mendapatkan Pendidikan ..............................................39

4. Hak Tempat Tidur .................................................................39

5. Hak Mendapatkan Makanan .................................................40

6. Hak Mendapatkan Pakaian....................................................40

7. Pemisahan Penjara Wanita ....................................................41

BAB III GAMBARAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN


PEREMPUAN KELAS IIA TANGERANG

A. Sejarah Perkembangan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan


Kelas IIA Tangerang..................................................................42

1. Awal Berdirinya Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang................42

2. Visi,Misi,dan Motto Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang ..........44

3. Tugas dan Fungsi Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang ..............44

4. Struktur Organisasi ...........................................................................45

5. Jumlah Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan


Kelas IIA Tangerang .........................................................................50

ix
BAB IV MODEL PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA DI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN PEREMPUAN KELAS
IIA TANGERANG

A. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana .........................................52

B. Kendala yang di Hadapi Lembaga Pemasyarakatan Perempuan


Kelas IIA Tangerang dalam Membina Narapidana ...................66

C. Analisis Penulis .........................................................................69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................71

B. Rekomendasi..............................................................................72

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................73


LAMPIRAN

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terlepas dari kaidah hukum yang


mengatur masyarakat itu sendiri. Kaidah hukum itu berlaku untuk seluruh
masyarakat. Apabila dalam kehidupan mereka melanggar kaidah-kaidah
hukum itu, baik yang berupa kejahatan maupun pelanggaran, maka akan
dikenakan sanksi yang disebut pidana. Masyarakat terdiri dari kumpulan
individu maupun kelompok yang mempunyai latar belakang serta kepentingan
yang berbeda-beda, sehingga dalam melakukan proses interaksi sering terjadi
benturan-benturan kepentingan yang dapat menimbulkan konflik diantara
pihak-pihak yang bertentangan tersebut.
Perkembangan kondisi sosial mempengaruhi perkembangan substansi
hukum dalam sumber hukum formil (perundang-undangan). Sumber hukum
materil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya
hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi
atau pandangan keagaamaan, hasil penelitian ilmiah, perkembangan
internasional, keadaan geografis.1
Permasalahan yang tercipta selama proses interaksi itu adakalanya hanya
menguntungkan salah satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain dirugikan.
Disinilah hukum berperan sebagai penegak keadilan. Dapat dikatakan bahwa
perbuatan yang merugikan orang lain dan hanya menguntungkan pribadi atau
kelompoknya saja termasuk merupakan pelanggaran. Maka wajar apabila
setiap pelanggaran harus berhadapan dengan hukum, karena Pelanggaran

1
Sudikno Mertokusomo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2003), h. 83.

1
2

(wetdelichten) adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari


sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai
delik.2 Apabila seseorang atau kelompok melakukan suatu pelanggaran maka
pelakunya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di depan hukum
dengan adil, salah satunya yaitu dengan menjalani hukuman.
Menurut Johnny Ibrahim, dalam bukunya yang berjudul Teori dan
Metodologi Penelitian Hukum Normatif menyatakan “Pada dasarnya
kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum, sepanjang sejarah
peradaban manusia peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana
yang menginginkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara
damai dan menjaga eksistensinya di dunia yang telah diakui”.3 Manusia
sebagai mahkluk yang tidak luput dari kesalahan maka dengan itu manusia
tidak bisa dipisahkan dengan hukum, karena dengan adanya hukum manusia
bisa menjadi lebih baik dan terarah.
Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat kita
temukan dalam kehidupan bermasyarakat. Itu sebabnya dalam kehidupan
sehari-hari kita dapat menemukan bahwa kejahatan sangat beragam jenis,
motif maupun pelaku kejahatan itu sendiri. Kejahatan dapat dikategorikan
kedalam jenis kejahatan yang ringan (tipiring) misalnya pelanggaran lalu
lintas, sampai dengan jenis kejahatan yang berat seperti perampokan dengan
penganiayaan, pemerkosaan dan pembunuhan. Selain jenis kejahatan yang
beragam, motif serta pelaku kejahatan itu sendiri juga beragam pula. Motif
kejahatan dapat dilatar belakangi mulai dari faktor kemiskinan, seseorang
melakukan kejahatan karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari, sampai dengan kejahatan yang sudah terorganisir yaitu sekelompok
orang yang melakukan kejahatan secara professional misalnya sindikat
2
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan.
(Malang: UMM Press, 2008), h. 117-118.
3
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2007), Cet. Ke-3, h.1
3

pengedar narkoba, korupsi kelas kakap, penyelundupan barang mewah dan


lain sebagainya. Kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja, bisa pria, wanita
maupun anak-anak dengan berbagai latar belakang.
Masalah hukum tidaklah dapat dipisahkan dengan masalah pidana dan
pemidanaan yang dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad
ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan para ahli. Bila disimak dari
sudut pandang perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal yang
wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang
suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan dengan mendasarkan diri pada
pengalamannya di masa lampau.4
Wanita yang kita kenal memiliki sifat yang lemah lembut dan
mempunyai fisik yang relatif lebih lemah jika dibandingkan dengan kaum
pria, ternyata dapat melakukan suatu tindak kejahatan. Bahkan ada beberapa
diantara mereka yang melakukan tindak kejahatan kelas berat yang diancam
dengan pidana mati atau seumur hidup. Mereka yang terbukti oleh pengadilan
melakukan tindak kejahatan tentulah akan melewati hari-harinya di dalam
Lembaga Pemasyarakatan selama masa hukuman yang dijatuhkan padanya.
Oleh karena mereka berbeda secara fisik maupun psikologis dari kaum pria,
maka dalam pola pembinaannya pun harus ada perbedaan.
Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan dari system peradilan pidana
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah
dipidana.

4
Muhammad Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double
Track System dan Implementasinya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.1
4

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak


mengulangi lagi kejahatannya.5
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai payung sistem
pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar
narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana,
sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan
masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup
secara wajar sebagai seorang warga negara.
Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik
pemasyarakatan. Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu sistem penegakan
hukum sebagai upaya penanggulangan kejahatan. Sistem Peradilan pidana
terdiri dari 4 komponen, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Usaha untuk mengubah sistem kepenjaraan menjadi sistem
pemasyarakatan tersebut terwujud pada tahun 1964, karenanya kemudian
lembaga pemasyarakatan ini dianggap sebagai lembaga yang berfungsi
sebagai wadah untuk menciptakan dan mengembalikan ketenteraman
masyarakat, menyelenggarakan kehidupan bersama secara teratur, menjaga
keadilan dan lain sebagainya yang disebut dengan lembaga sosial.6
Lembaga Pemasyarakatan sebagai substansi sistem yang paling terakhir
yang langsung berhadapan dengan narapidana untuk melaksanakan
pembinaan, mempunyai posisi yang stategis dalam mewujudkan tujuan akhir
dari Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Pemasyarakatan diharapkan mampu
merealisasikan tujuan akhir Sistem Peradilan Pidana yaitu mencegah
masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang
5
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2010), h.3
6
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h 130.
5

terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah didengarkan dan yang
bersalah dipidana, mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan
kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
C.I. Harsono menjelaskan bahwa sistem pemasyarakatan memandang
sifat pemberian pekerjaan bagi narapidana yang menjalani hukuman dan
pembinaan dengan melatih bekerja narapidana. Hal tersebut dimaksudkan
agar setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka dapat menerapkan
kepandaiannya sebagai bekal keluar dari lapas, sehingga kejahatan yang
pernah dilakukan tidak diulanginya lagi.7
Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebabkan oleh negara kepada
orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana). pidana
merupakan reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik dan dirumuskan pula dalam
hukum.8 Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan yang disebut narapidana adalah terpidana yang menjalani
pidana dan hilang kemerdekaannya di Lembaga Pemasyarakatan, merupakan
masyarakat yang mempunyai kedudukan lemah dan tidak mampu
dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya yang memiliki kebebasan,
karena narapidana akan terampas kemerdekaannya untuk beberapa waktu
tertentu dan mampunyai ruang gerak yang terbatas oleh tembok penjara.
Secara tradisional Lembaga Pemasyarakatan lebih dikenal sebagai
penjara. Pidana penjara pada masa dahulu sampai abad pertengahan di Eropa,
masih diartikan sebagai pidana badan yang ditimpakan berupa penindasan
dengan cara tertentu dibawah kemauan penguasa sebagai reaksi hukum
terhadap orang yang melakukan kejahatan menurut pengertian pada masa itu.
Pelaksanaan pidana penjara itu sendiri dilakukan dengan penyiksaan badan,

7
C.I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1997), h.
22.
8
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 9.
6

penderitaan batin, dan siksaan-siksaan lainnya yang secara keseluruhan


meniadakan martabat manusia.9 Pemidanaan narapidana menurut C.I.
Harsono adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem, maka pembinaan
narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan
untuk mencapai suatu tujuan.10
Di dalam Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA Tangerang,
telah terjadi kelebihan kapasitas penampungan atau over capacity. Seperti
yang terdapat pada website resmi Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA
Tangerang berjumlah 362 orang, sedangkan kapasitas seharusnya adalah 250
orang. Banyaknya jumlah narapidana perempuan yang terus meningkat ini
tidak lepas dari peran dari lembaga pemasyarakatan,. Kelebihan jumlah
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA Tangerang,
menyebabkan peran pembimbing kemasyarakatan kurang optimal, tercatat
dengan jumlah narapidana yang melebihi kapasitas Lapas, satu orang
pembimbing kemasyarakatan berbanding dengan 25 narapidana. Dalam
pekerjaan sosial, ada metode yang dapat digunakan untuk mengatasi
keterbatasan tersebut, salah satunya adalah metode social group work, dimana
metode ini dapat meudahkan para narapidana untuk saling bertukar cerita,
apalagi ditambah dengan kesamaan latar belakang serta jenis kelamin
sehingga membuat narapidana wanita lebih jujur dengan apa yang
diungkapkan.
Dengan terjadinya over capacity tersebut akan mengakibatkan
terhambatnya sistem pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga
Pemasyarakatan. Sedangkan sistem pembinaan pemasyarakatan seharusnya

9
Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan
(Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 47
10
C.I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, h. 5
7

dilakukan berdasarkan asas yang tertuang di dalam Pasal 5 Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yakni:
1. Pengayoman,
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan,
3. Pendidikan,
4. Pembimbingan,
5. Penghormatan herkat dan martabat manusia
6. Kehilangan kemerdeakaan merupakan satu-satunya penderitaan dan
7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu.

Untuk mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien, maka


Lembaga Pemasyarakatan dalam melaksanakan pembinaan diilakukan
penggolongan, yang tertuang di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yakni:
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Lama pidana yang dijatuhkan
4. Jenis kejahatan, dan
5. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan diatas, sehingga peneliti


tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian dengan judul:
“MODEL PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN PEREMPUAN KELAS IIA TANGERANG”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi
Berdasarkan uraian latar belakang yang dijabarkan sebelumnya maka
identifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan cenderung belum
maksimal dikarenakan kurangnya anggota yang bertugas menjaga
LAPAS tersebut.
8

b. Kelebihan kapasitas yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan


menyebabkan kondisi di dalam LAPAS tidak kondusif.
c. Model pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan belum
sepenuhnya mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur.
d. Sulitnya memberikan hak-hak narapidana secara menyuluruh
dikarenakan adanya beberapa faktor penghambat dalam proses
pembinaan hukum yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan
2. Pembatasan
Berdasarkan identifikasi di atas, peneliti memberikan batasan masalah
agar penelitian tidak meluas terlalu jauh, sehingga peneliti ingin
memaparkan mengenai model pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan di Kelas IIA Tangerang serta pemberian hak-
hak narapidana yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Tangerang. Pembatasan ini dilakukan untuk lebih fokus dan
mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian, hal ini juga
menghindari perluasan pembahasan yang tidak ada hubungannya dengan
masalah yang akan diteliti.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan di atas maka dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan
berikut, yaitu:
1. Bagaimana model pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Kota Tangerang?
2. Bagaimana kendala yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Kota Tangerang dalam membina narapidana?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui model pembinaan yang dilakukan Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Kota Tangerang.
9

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan


Perempuan Kelas IIA Kota Tangerang dalam membina narapidana.

D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tidak
hanya untuk peneliti, tetapi juga untuk akademik dan masyarakat umum
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat dijadikan acuan untuk studi berikutnya yang lebih mendalam
terkait masalah yang sama.
b. Menjadi bahan pustaka untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan
dengan pembinaan hukum di Lembaga Pemasyarakatan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penulis, penelitian ini adalah untuk mendapatkan bahan
informasi dalam menganalisa serta sebagai suatu pemecahan masalah-
masalah terhadap permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi,
khususnya mengenai pembinaan hukum di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Tangerang.
b. Bagi Petugas Lapas hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
referensi dalam hal membuat perencanaan pembinaan hukum bagi
narapidana perempuan yang berlandaskan Undang-Undang
Pemasyarakatan agar efektivitas Lapas tersebut dalam memberikan
pembinaan dapat terjamin.
c. Bagi pembuat kebijakan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan
sebagai bahan dalam mengambil dan membuat kebijakan yang akan
dilaksanakan dalam upaya peningkatan pembinaan oleh Lembaga
Pemasyarakatan
E. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian ini peneliti akan memaparkan tentang beberapa
metode yang akan digunakan, diantaranya adalah:
10

1. Pendekatan Penelitian
Dalam skripsi ini metode pendekatan yang digunakan adalah
penelitian empiris (socio legal) yaitu penelitian yang data utamanya
adalah data primer atau data lapangan. Penelitian empiris menurut
beberapa pakar bukan merupakan penelitian hukum murni melainkan
penelitian social, karena 65% data yang diperlukan adalah dari data
lapangan bukan data normative atau perpustakaan sebagaimana yang
dilakukan hukum normative, namun penelitian empiris juga tidak dapat
dikatakan penelitian social murni, karena didalam pembahasannya
terdapat pengkorelasian antara fakta dilapangan dengan peraturan
perundang-undangan dan teori-teori hukum yang terkait.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah kualitatif
eksploratif, dimana setelah seluruh data yang penulis peroleh, data
tersebut lalu dianalisa dengan analisa kualitatif, yaitu suatu cara penelitian
yang menghasilkan data deskriptif analisis.11 Adapun metode yang penulis
gunakan adalah kualitatif eksploratif, yaitu menggambarkan secara jelas
dan terperinci mengenai suatu keadaan yang terjadi dilapangan secara
objektif, sehingga didapatkan fakta-fakta yang diselidiki.
3. Data Penelitian
Sumber penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini berupa data
primer dan sekunder yang meliputi:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pihak yang
terkait dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini data primer
dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan pedoman
wawancara yang dilakukan terhadap sumber informasi yang telah

11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986), cet. 3, h.13
11

ditentukan sebelumnya berdasarkan pedoman wawancara, sehingga


wawancara yang dilakukan merupakan wawancara yang terfokus
(focused interview). Metode wawancara dianggap sebagai metode paling
efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan, karena interview
dapat bertatap muka langsung. Hasil wawancara ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai model pembinaan hukum yang
dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang,
serta bagaimana cara Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Tangerang mewujudkan Lembaga Pemasyarakatan yang humanis sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh peneliti secara
tidak langsung melalui media perantara dan melalui studi kepustakaan
dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-
undangan, buku-buku, kamus, dan literature lain yang berkenaan dengan
permasalahan yang akan dibahas.12 Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan 3 bahan hukum sebagai berikut:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang berasal
dari:
a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
c) Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan.
2) Bahan hukum sekunder, itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak
mengikat tetapi memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar

12
http:/digilib.unila.ac.id/9214/4/Bab%20lll.pdf, diakses pada 10 Januari 2018
12

atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu, serta buku-buku


hasil karya para sarjana, hasil penelitian serta berbagai hasil
wawancara sebagai hasil penelitian peneliti yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dibahas. Kegunaan bahan hukum sekunder
adalah memberikan kepada peniliti semacam petunjuk kearah mana
peneliti akan melangkah.13
3) Bahan Non Hukum (Tersier)
Bahan non hukum merupakan bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder.
Seperti kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif, internet dll.
4. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
terutama data sekunder dan sebagai penunjang adalah data primer, yaitu:
a. Studi kepustakaan (library research), yaitu bentuk pengumpulan data
yang dilakukan dengan membaca buku literature, mengumpulkan,
membaca dokumen yang berhubungan dengan obyek penelitian, dan
mengutip dari data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-
undangan, dokumen dan bahan kepustakaan lain dari beberapa buku
referensi, artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitian
ilmiah, peraturan perundang-undangan, laporan, teori-teori, media
masa seperti koran, internet dan bahan kepustakaan lainnya yang
relevan dengan masalah yang akan diteliti.
b. Wawancara, yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
tersebut dilakukan dengan dua orang pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mnegajukan pertanyaan dan yang diwawancarai

13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h.
155
13

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyan itu.14


Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu. dilakukan
dengan cara terpimpin, yaitu wawancara dilaksanakan dengan jalan
informan diberi kebebasan untuk menjawab pertanyaan yang
ditentukan.15 Wawancara ini dilakukan sebagai upaya mendapatkan
data yang lebih lengkap dengan cara mengajukan daftar pertanyaan
yang terstruktur.16
5. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang menjadi fokus peneliti
adalah para pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Tangerang, dimana subjek penelitian ini juga akan dijadikan informan
oleh peneliti untuk mendapatkan data yang menunjang penelitian.
6. Teknik pengolahan data
Interview atau wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah
wawancara bebas terpimpin, Hasil data Interview atau wawancara
tersebut kemudian diubah dari format audio menjadi visual dalam bentuk
teks melalui transkrip data.
7. Analisis Bahan Hukum
Data yang diperoleh dari penulisan kepustakaan maupun dari
penelitian lapangan akan diolah berdasarkan analisis normative, kualitatif.
Normative karena peneliti bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai
norma hukum positif, sedangkan kualitatif yang dimaksud yaitu
memaparkan kenyataan-kenyataan yang didasarkan atas hasil penelitian.17
Memahami kebenaran yang di peroleh dari hasil pengamatan dan
14
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002),h. 103
15
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1989),
h. 162
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 25
17
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 233
14

pertanyaan kepada sejumlah responden baik secara lisan maupun secara


tertulis selama dalam melakukan penelitian.
8. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi
ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat dalam
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017”

F. Sistematika Penelitian
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka peneliti merumuskan sistematika
penulisan dalam penelitian ini sebagai berikut:
BAB 1, Dalam bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang
masalah, yang memuat mengapa peneliti mengambil judul penelitian ini,
identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, rancangan dan sistematika penulisan.
BAB 2, Dalam Bab ini peneliti akan membahas mengenai teori terkait dengan
judul yang di ambil, tinjauan umum tentang Lembaga Pemasyarakatan,
pengertian Lembaga Pemasyarakatan, serta tinjauan umum tentang pembinaan,
pembinaan terhadap narapidana perempuan, program-program pembinaan.
Selain itu dalam bab ini juga akan membahas mengenai sejarah Lembaga
Pemasyarakatan.
BAB 3, Dalam bab ini peneliti akan mendeskripsikan profil Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang.
BAB 4, Bab ini berisi pembahasan yang menguraikan hasil dari penelitian
mengenai pembinaan hukum di Lembaga Pemasyarakatan.
BAB 5, Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan, yang
berisi Kesimpulan dan Rekomendasi yang didapatkan paparan dari bab-bab
sebelumnya.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PEMASYARAKATAN

A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual ini bertujuan untuk memberikan batasan
mengenai apa yang akan diteliti di dalam penelitian ini. Kerangka
konseptual pada hakikatnya merumuskan definisi operasional yang akan
digunakan untuk menyamakan persepsi. Berikut ialah beberapa definisi
yang peneliti uraikan.
a. Pemasyarakatan
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan merumuskan bahwa Pemasyarakatan adalah
kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan dalam tata peradilan pidana.

b. Sistem Pemasyarakatan
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah
dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan
masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga Negara
yang baik dan bertanggung jawab.

15
16

c. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak
Didik Pemasyarakatan.
d. Warga Binaan Pemasyarakatan
Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik
Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan.

B. Kerangka Teori
Secara umum Lembaga Pemasyarakatan berada dibawah pengawasan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas) Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI, dimana departemen ini bertugas mengayomi masyarakat
dalam bidang hukum dan hak asasi manusia. Kewenangan departemen ini
ditangan pemerintah pusat yang diserahkan menjadi kewenangan daerah
otonom.1

Menurut A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, dalam bukunya yang berjudul


Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) ICCE UIN Syarif
Hidayatullah menyatakan bahwa “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tingggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia”.2
Menurut Muhamad Erwin dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan
Republik Indonesia menyatakan bahwa “Hak asasi manusia merupakan hak
dasar, pemberian Tuhan dan dimiliki manusia selama hidup dan sesudahnya
serta tidak dapat disebut dengan semau-maunya tanpa ketetapan hukum yang

1
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, Cetak Biru
Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bekerjasama dengan The Asia Foundation, Kedutaan
Besar Australia, dan Institute for Criminal Justice Reform/ ICJR, 2008) h.136.
2
A. Ubaedila dan Abdul Razak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidatullah, 2008), Cet. Ke-3, h. 132
17

ada, jelas, adil, dan benar sehingga harus dihormati, dijaga dan dilindungi
oleh individu, masyarakat dan Negara.”3
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk memproses atau
memperbaiki seseorang (people processing organization), dimana input
maupun outputnya adalah manusia yang dilabelkan penjahat. 4 Berdasarkan
ketentuan UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 angka ke-1
yang dimaksud dengan pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan,
dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan
dalam tata peradilan pidana.

Seseorang yang melanggar hukum akan dimasukkan ke dalam penjara,


pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak
dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di
dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk
mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga
pemasyarakatan, yang berkaitan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi
mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.5 Namun pembatasan hak
tersebut tidak mengurangi esensi dari hak asasi manusia yang dimiliki
narapidana tersebut. Meskipun mereka mendapatkan hukuman, akan tetapi
penegakkan hak asasi narapidana tetap dilaksanakan.

Secara umum Lembaga Pemasyarakatan memiliki sarana dan prasarana


fisik yang cukup memadai bagi pelaksana seluruh proses sistem
pemasyarakatan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan, seperti
adanya sarana perkantoran, sarana perawatan (balai pengobatan) atau biasa

3
Muhamad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT.
Refika Aditama, 2013), Cet. Ke-3 h. 159
4
Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 124.
5
P.A.F Lamintang, Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika 2010), Cet. Ke-1, h.54
18

disebut poliklinik, sarana untuk melakukan peribadatan sesuai dengan


kepercayaan yang dipeluk setiap Warga Binaan Pemasyarakatan, seperti
masjid, gereja, dan vihara, sarana pendidikan dan perpustakaan, sarana
olahraga baik diluar ruangan (outdor) seperti lapangan sepak bola, lapangan
volli, dan lapangan badminton, maupun didalam ruangan (indoor), sarana
sosial yang terdiri dari tempat kunjungan keluarga, aula pertemuan, sarana
konsultasi, dan sarana transportasi (mobil dinas). Narapidana diberikan
makanan tiga kali sehari pagi, siang, dan sore setiap harinya.

Pembinaan terhadap narapidana dikenal dengan nama pemasyarakatan.


pembinaan dilakukan oleh petugas pemasyarakatan. Menurut Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan yang dimaksud dengan petugas
pemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang
melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan
warga binaan pemasyarakatan.

Tujuan dari pembinaan menurut Pasal 2 UU Pemasyarakatan adalah untuk


membentuk warga binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana,
sehingga dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.

Untuk melaksanakan proses pembinaan, maka dikenal 10 prinsip pokok


pemasyarakatan, yaitu:6
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya
bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam
masyarakat,
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari Negara,

6
A. Josias dan Simon R-Thomas Sunaryo, Studi Kebudayaan Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia, (Bandung: Lubuk Agung, 2010), h.1.
19

3. Rasa tobat tidaklah dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan


bimbingan,
4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau
lebih jahat dari pada ia sebelum masuk Lapas,
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus
dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat,
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat
mengisi waktu semata hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga
atau negara saja,
7. Pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan
Negara,
8. Bimbingan dan didikan yang diberikan terhadap narapidana harus
berdasarkan pancasila,
9. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia
meskipun ia telah tersesat,
10. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan,
11. Sarana fisik lembaga ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan
sistem pemasyarakatan.
Pembinaan adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara
efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Melalui
pembinaan orang dapat diubah menjadi manusia yang lebih baik, efisien dan
efektif dalam bekerja. Pembinaan bukan merupakan satu-satunya obat yang
paling mujarab untuk meningkatkan mutu pribadi dan pengetahuan, perlaku
sikap, kemampuan serta kecakapan orang.

Fungsi pokok pembinaan mencakup tiga hal yaitu:


a. Penyampaian informasi dan pengetahuan,
b. Perubahan dan pengembangan sikap,
c. Latihan dan pengembangan kecakapan serta ketrampilan.
Dalam pembinaan ketiga hal itu dapat diberi tekanan sama, atau diberi
tekanan berbeda dengan mengutamakan salah satu hal. Ini tergantung dari
macam dan tujuan pembinaan. Pembinaan hanya mampu memberi bekal.
Dalam situasi hidup dan kerja nyata, orang yang menjalani pembinaan harus
bersedia mempraktekkan hasil pembinaannya.
20

Pembinaan Perilaku di indonesia dilaksanakan dalam sebuah sistem,


yang dikenal dengan sistem pemasyarakatan. Sebagai suatu sistem, maka
pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang saling berkaitan
untuk mencapai satu tujuan yaitu:
a. Pembinaan kesadaran beragama, usaha ini diberikan agar narapidana
dapat meningkatkan imanya,
b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, usaha ini dilakukan
dengan cara menyadarkan narapidana agar menjadi warga negara yang
baik berbakti bagi bangsa dan negaranya,
c. Pembinaan kesadaran hukum, dilakukan dengan cara memberikan
penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencari kadar kesadaran
hukum,
d. Pembinaan kemampuan Intelektual (kecerdasan), usaha ini dilakukan
agar pengetahuan serta kemampuan berfikir narapidana semakin
meningkat.

C. Konsep Lembaga Pemasyarakatan


Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah
tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemasyarakatan.7 Di Indonesia, sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia,
tempat tersebut disebut dengan istilah penjara.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di
bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa Narapidana atau
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya
masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses
peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai

7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
21

negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga


pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih dikenal
dengan istilah sipir penjara.
Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri
Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962. Ia menyatakan bahwa tugas jawatan
kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, melainkan juga tugas yang
jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang di jatuhi pidana ke
dalam masyarakat. Pada tahun 2005, jumlah penghuni Lapas di Indonesia
mencapai 97.671 orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk
68.141 orang. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah satu
penyebab terjadinya kelebihan kapasitas pada tingkat hunian Lapas.
Bentuk atau jenis sanksi pidana di dalam masyarakat sangat beragam
serta bergantung dari pandangan dan peradaban masyarakat itu sendiri. Dalam
sanksi pidana terdapat pidana mati, yang pelaksanaannya berbeda-beda antara
lain dengan cara digantung, ditembak, dengan menggunakan stroom/aliran
listrik, dan bentuk pidana badan misalnya dirantai kakinya untuk waktu
tertentu, dirajam, dibuang dari daerah asalnya ke tempat terpencil sehingga
jauh dari keluarganya, dan yang lebih lazim lagi dilakukan adalah dengan
menghilangkan kebebasan orang dengan cara dimasukkan dalam ruangan
tertentu dalam jangka waktu yang telah ditentukan yang lebih dikenal dengan
pidana penjara.8

1. Tujuan dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan


a. Tujuan Pemasyarakatan
Pada dasarnya Lembaga Pemasyarakatan bertujuan untuk membuat
pelanggar hukum jera dan berusaha membimbing dan membina agar
pelanggar hukum kembali menjadi warga yang berguna. Dalam

8
Petrus Irawa Pandjaitan&Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana,
(Jakarta: CV Indhill Co, 2007), Cet. Ke-1, h.5
22

Pemasyarakatan rasa jera tersebut diharapkan akan dapat dicapai melalui


bimbingan, nasihat petunjuk dan pembinaan yang dilandaskan kepada
persamaan hak asasi wajib antara pembinan dan Narapidana atau anak
didik. Kesadaran dari Narapidana dan anak didik dating atau berasal dari
lubuk hati Narapidana atau anak didik yang bersangkutan, bukan atas
dasar paksaan, tekanan atau ketakutan yang diberikan oleh petugas
pemasyarakatan. Sungguh sangat murni cita-cita yang diharapkan oleh
Pemasyarakatan dan apabila ini dapat tercapai benar-benar merupakan
suatu yang sukses.

Selain itu tujuan pemasyarakatan dapat di lihat sebagai berikut:


1. Membentuk Narapidana agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat
hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan
bertanggung jawab.9
2. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan
di Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan Negara
dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan.
3. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan / para pihak
berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang
disita untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta benda-
benda yang dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan
putusan pengadilan.
b. Fungsi Pemasyarakatan

9
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), Cet. ke-3 h. 14
23

Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan


Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota
masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Selain itu fungsi
system pemasyarakatan menyiapkan warga binaan pemasyarakatan
agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga
dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan
bertanggung jawab oleh karena itu system pemasyarakatan haruslah
mampu mengembalikan warga binaannya menjadi pribadi yang taat
hukum.10
Fungsi LAPAS adalah membina narapidana agar menjadi
manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, yang
memiliki kesadaran beragama, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, memiliki kemampuan intelektual dan kesadaran hukum.
Sebagai lembaga pembangunan, LAPAS bertugas membentuk
narapidana sebagai manusia pembangunan yang produktif, baik
selama didalam LAPAS maupun setelah berada kembali dimasyarakat.
Namun demikian dengan berjalannya waktu tampak jelas
bahwa tujuan pembianaan narapidana ini banyak menghadapi
hambatan dan berimplikasi pada kurang optimalnya bahkan dapat
dikatakan dapat menuju pada kegagalan fungsi sebagai lembaga
pemasyarakatan.11
Perkembangan masyarakat yang semakin kompleks ini juga
diiringi dengan munculnya berbagai bentuk tindak pidana baru dan
10
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,
(Bandung: PT. Refika Admitama, 2006), h.106
11
Angkasa. 2010. Over Capacity Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan. Jurnal Dinamika Hukum; Unsoed. hal 212.
24

juga semakin meningkatnya baik kualitas maupun kuantitas tindak


pidana, yang pada muaranya nanti juga akan berimbas kepada semakin
bertambahnya jumlah warga masyarakat yang akan menjadi penghuni
Lembaga Pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya sebagai wadah atau
tempat untuk melakukan pembinaan kepada warga binaan tentunya
tidak akan bisa menjalankan fungsinya secara maksimal yang
disebabkan oleh kelebihan penghuni. Dengan semakin banyaknya
narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan pada akhirnya
juga akan mengakibatkan lembaga pemasyarakatan menjadi penuh dan
dapat mengalami “over capacity” (kelebihan kapasitas). Hal tersebut
bertolak belakang dengan kurangnya jumlah pegawai yang berjaga
dalam setiap Lembaga Pemasyarakatan.
2. Sejarah Perkembangan Sistem Lembaga Pemasyarakatan di
Indonesia
Sebelum mengenal penjara dahulu dikenal sebagai system pidana
hilang kemerdekaan. Pada zaman kuno hanya di kenal pidana mati,
badan, buang, kerja paksa. System pidana kuno tersebut ternyata gagal
dalam memberantas kejahatan, karena di anggap sangat kejam dan
bengis dalam pelaksanaannya. Awal abad ke-17, bersamaan timbulnya
gerakan perikemanusiaan dan dilanjutkan lahirnya aliran pencerahan di
abad ke-18, menyebabkan system pidana kuno berubah menjadi system
pidana hilang kemerdekaan yang berakibat pidana hilang kemerdekaan
menjadi pidana pokok hampir di seluruh kawasan Eropa dan daerah
jajahannya.
Kata penjara berasal dari kata penjoro bahasa jawa yang berarti taubat,
atau jera. Di penjara berarti di buat tobat atau di buat jera. System pidana
penjara mulai di kenal di Indonesia melalui KUHP, tepatnya pada pasal
10 yang mengatakan pidana terdiri atas:
25

a. Pidana pokok; Pidana mati; Pidana Penjara; Pidana Kurungan; Pidana


Tutupan
b. Pidana tambahan meliputi; Pencabutan hak-hak tertentu; perampasan
barang-barang tertentu; pengumuman putusan hakim.
Sebagai akibat adanya system pidana penjara, maka lahirlah
system kepenjaraan dengan berlandaskan kepada Reglement Penjara.
Sebagai tempat atau wadah pelaksanaan dari pidana penjara adalah
rumah-rumah penjara. Rumah penjara adalah rumah yang digunakan
bagi orang-orang terpenjara/ orang hukuman.
Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur penjeraan
dan menggunakan titik tolak pandangannya terhadap narapidana sebagai
individu, semata-mata di pandang sudah tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Bagi bangsa Indonesia pemikiran-pemikiran mengenai fungsi
pemidanaan tidak lagi sekedar aspek penjaraan belaka, tetapi juga
merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi social, serta melahirkan
suatu system pembinaan terhadap pelanggar hokum yang dikenal sebagai
Sistem Pemasyarakatan.
Gagasan pemasyarakatan dicetuskan pertama sekali oleh Dr. Saharjo,
SH, pada tanggal 5 Juli 1962 dalam pidato penganugerahan gelar Doktor
Honoris Causa di bidang Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia.
Kemudian ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 April 1964
yang tercermin didalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.12 Lebih lanjut kutipan pidato tersebut mengemukakan
bahwa:
“Di bawah pohon beringin pengayoman telah kami tetapkan untuk
menjadi penyuluh bagi petugas dalam membina narapidana, maka tujuan

12
www.hukumonline.com Esensi Lemabaga Pemasyarakatan sebagai wadah
pembinaan narapidana http://hmibecak.wordpress.com//diakses 29 September 2018
26

pidana penjara kami rumuskan: di samping menimbulkan rasa derita pada


narapidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota
masyarakat Indonesia yang berguna. Dengan singkat tujuan pidana penjara
adalah pemasyarakatan”.
Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan system
pemasyarakatan yang telah dilaksanakan sejak lebih 35 tahun tersebut
semakin mantap dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dengan Undang-Undang ini maka
semakin kokoh usaha-usaha mewujudkan suatu system pemasyarakatan
yang bersumber dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: Sistem
pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan
perlakuan dan pelayanan pendidikan, serta penghormatan harkat dan
martabat manusia. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya
derita serta terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan telah dijelaskan bahwa sistem pemasyarakatan
merupakan satu kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu
pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi
umum pemidanaan. Sayangnya masalah pemidanaan merupakan masalah
yang kurang mendapat perhatian dalam perjalanan hukumnya, bahkan ada
yang menyatakan sebagai anak tiri. Padahal hal tersebut berkaitan dengan
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memungkinkan dapat
dijatuhkannya pidana, maka masalah pemidanaan dan pidana merupakan
masalah yang sama sekali tidak boleh dilupakan.
Bagian yang terpenting suatu kitab Undang-Undang Hukum Pidana
adalah stelsel pidananya. Stelsel pidana yang terdapat dalam KUHP
27

tersebut dapat dijadikan ukuran sampai seberapa jauh tingkat peradaban


suatu bangsa yang bersangkutan. Stelsel pidana tersebut memuat aturan-
aturan tentang jenis-jenis pidana dan juga memuat aturan tentang ukuran
dan pelaksanaan pidana itu. Dari jenis, ukuran dan cara pelaksanaannya itu
dapat dinilai bagaimana sikap bangsa itu melalui pembentukan undang-
undangnya dan pemerintahannya terhadap warga negara masyarakatnya
sendiri atau terhadap orang asing yang telah melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan pidana.

3. Istilah – Istilah Pemasyarakatan


a. Pengayoman
Pengayoman adalah perlakuan terhadap narapidana dalam rangka
melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana
oleh narapidana, juga memberikan bekal hidup kepada mereka agar
menjadi warga yang berguna di dalam kehidupan masyarakat
b. Pemasyarakat
Pemasyarakatan adalah Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yaitu:
“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari
system pemidanaan dalam tata peradilan pidana”.
c. Sistem Pemasyarakatan
Sistem Pemasyarakatan adalah Menurut pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,
yaitu: “Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah
dan batas tata cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara
pembina, yang di bina, dan masyarakat untuk meningkatkan
kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat,
dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
28

d. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan adalah Menurut pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,
yaitu: “Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak
Didik Pemasyarakatan.
e. Balai Pemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah
pranata untuk melaksanakan bimbingan klien Pemasyarakatan.
f. Rumah Tahanan Negara
Rumah Tahanan Negara (RUTAN) adalah unit pelaksana teknis
terdapat tersangka dan terdakwa ditahan selama proses penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan.
g. Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN)
adalah unit pelaksana di bidang penyimpanan benda sitaan negara dan
barang rampasan Negara.
h. Warga Binaan Pemasyarakatan
Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik
Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan.
i. Narapidana
Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lapas.
j. Klien Pemasyarakatan
Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut klien adalah
seorang yang berada dalam bimbingan Bapas.
29

k. Remisi
Pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana
dan anak pidana yang berkelakuan baik selama menjalani hukuman
pidana.
l. Asimilasi
Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik
pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana
dan anak didik pemasyarakatan di dalam kehidupan masyarakat
setelah menjalani setengah dari masa hukuman pidananya.

4. Dasar Hukum Pemasyarakatan


Adapun landasan hokum yang dijadikan sebagai dasar sistem
pemasyarakatan adalah:
1. Pancasila
2. UUD 1945
3. KUHP
4. KUHAP
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang telah dirubah menjadi
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Anak
7. Peraturan Pemerintah
8. Keputusan Presiden
9. Keputusan Menteri
10. Peraturan Menteri
11. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
30

D. Upaya Pembinaan Narapidana


Lembaga Pemasyarakatan mempunyai fungsi strategis dan potensial
untuk memperbaiki pelanggaran hukum atau narapidana melalui pembinaan.
Lembaga Pemasyarakatan bukan saja tempat untuk semata-mata untuk
memidana orang melainkan juga sebagai tempat untuk membina dan
mendidik orang-orang terpidana agar mereka setelah menjalankan pidananya,
mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar
Lembaga Pemasyarakatan sebagai warga Negara yang baik dan taat kepada
hukum yang berlaku.
Pada dasarnya Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan didasarkan
atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat, membina,
mendidik dan membimbing warga binaan dengan tujuan agar menjadi warga
yang baik dan berguna.13 Dalam proses pembinaan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai
keberhasilan yang ingin dicapai, yaitu:
a. Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di
dalamnya. Keadaan gedung yang layak dan ruangan yang cukup guna
menampung para narapidana sehingga dapat mendukung proses
pembinaan yang sesuai harapan. Dengan adanya contoh tentang
keadaan sarana gedung Lembaga Pemasyarakatan tepatnya di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA Tangerang ini yang melebihi
kapasitas dimana Lembaga Pemasyarakatan yang idealnya terisi 250
orang kini dihuni 443 narapidana. Hal ini akan mengakibatkan hak-hak
narapidana kurang terpenuhi, karena hak-hak narapidana dilindungi
oleh UU No. 12 Tahun 1995, dimana dalam Pasal 14 Undang-Undang
tersebut mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh narapidana.
Adapun hak-hak tersebut menurut UU No. 12 Tahun 1995 yaitu:

13
Penjelasan PP No.32 tahun 1999 tentang Syarat Dan Tatacara Pelaksanaan Hak
Waga Binaan Pemasyarakatan
31

a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya


b) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e) Menyampaikan keluhan
f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang
g) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
h) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang
tertentu lainnya
i) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
j) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga
k) Mendapatkan pembebasan bersyarat
l) Mendapatkan cuti menjelang bebas dan
m) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.14
b. Berkenaan dengan masalah petugas pelaksanaan pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat
menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat
jumlah petugas dan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Klas IIA Tangerang tidak lah seimbang. Dari apa yang telah dijelaskan
diatas bahwa untuk dapat mengurangi narapidana mengulangi
kejahatannya itu peran petugas dalam Lembaga Pemasyarakatan
dibutuhkan guna melakukan pembinaan terhadap narapidana, namun
bukan hanya petugas saja yang menjadi faktor pendorong terciptanya
pembinaan narapidana, gedung juga menjadi faktor penting pembinaan
narapidana. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses
pembinaan yang sesuai harapan.

14
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta: PT Intan Sejati,
2007) Cet. Ke-3, h.185
32

1. Proses Pemasyarakatan
Pemasyarakatan adalah suatu proses terapi saat narapidana masuk
Lembaga Pemasyarakatan yang merasa tidak harmonis dengan masyarakat
sekitarnya. System Pemasyarakatan juga beranggapan bahwa hakikat
perbuatan melanggar hokum oleh warga binaan pemasyarakatan adalah
cerminan dari adanya keretakan dengan hubungan hidup, kehidupan dan
penghidupan antara yang bersangkutan dengan masyarakat sekitarnya. Hal
ini berarti factor penyebab terjadinya perbuatan melanggar hokum
bertumpu pada 3 aspek tersebut.15 Aspek hidup diartikan sebagai
hubungan antara manusia dengan pencipta-Nya. Aspek kehidupan
diartikan sebagai hubungan antara sesama manusia. Sedangkan aspek
penghidupan diartikan sebagai hubungan manusia dengan alam atau
lingkungan (yang dimanifestasikan sebagai hubungan manusia dengan
peekerjaannya).
Oleh Karena itu tujuan dari system Pemasyarakatan adalah
pemulihan hubungan hidup,kehidupan, dan penghidupan antara Warga
Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Berdasarkan hal ini, maka
pemasyarakatan merupakan proses yang berlaku secara
berkesinambungan.

2. Pembinaan Terhadap Narapidana


Fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap warga
binaan pemasyarakatan (narapidana, anak didik, anak sipil, anak Negara,
klien pemasyarakatan, dan tahanan) dilaksanakan secara terpadu dengan
tujuan agar mereka setelah selesai menjalani pidananya, pembinaannya,
dan bimbingannya dapat menjadi warga masyarakat yang baik. Selain itu
tugas dan fungsi seorang petugas pemasyarakatan adalah menjaga

15
Sujatno Adi, Pencerahan di Balik Penjara, (Bandung, PT Mizan
Publika:2008)h.130
33

keamanan dan juga membina warga binaan pemasyarakatan,


menyampaikan program-program dari pusat serta memperbaiki akhlak dan
perilaku, serta menjaga hal-hal yang dapat memicu keadaan yang tidak
diinginkan serta berkonsentrasi agar tidak terjadi pelarian warga binaan
pemasyarakatan.

Petugas pemasyarakatan sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat


wajib menghayati serta mengamalkan tugas-tugas pembinaan
pemasyarakatan dengan penuh tanggung jawab. Pembinaan terhadap
Warga Binaan Pemasyarakatan disesuaikan dengan asas-asas yang
terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Standard
Minimum Rules (SMR) yang tercermin dalam sepuluh prinsip
pemasyarakatan. Pada dasarnya arah pelayanan, pembinaan, dan
bimbingan yang perlu dilakukan oleh petugas ialah memperbaiki tingkah
laku Warga Binaan Pemasyarakatan agar tujuan pembinaan dapat tercapai.

Ruang lingkup pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan


dapat dibagi dalam dua bidang, yakni:16

1. Pembinaan kepribadian meliputi


a. Pembinaan kesadaran beragama
b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
c. Pembinaan kemampuan intelektual
d. Pemninaan kesadaran hokum
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat
2. Pembinaan kemandirian
a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya
kerajinan tangan, industry rumah tangga, reparasi mesin dan alat-
alat elektronika, dan sebagainya.

16
Sujatno Adi, Pencerahan di Balik Penjara, h. 133
34

b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industry kecil,


misalnya pengelolaan bahan mentah menjadi sector pertanian dan
bahan alam menjadi bahan setengah jadi, (contoh mengolah rotan
menjadi perabotan rumah tangga)
c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya
masing-masing
d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industry atau
kegiatan pertanian dengan menggunakan teknologi biasa atau
teknologi tinggi.

3. Program Pelatihan bagi Petugas dan Narapidana


Untuk mengisi waktu narapidana agar bermanfaat, ditentukan
jadwal kegiatan dari pagi hingga sore. Salah satu kegiatan yang dinilai
penting dan manfaatnya besar sekali adalah program pelatihan, baik itu
kepada staff maupun narapidana.
Sebagai petugas, mengikuti program pelatihan merupakan
keharusan, karena mereka langsung berhadapan dengan narapidana.
Dengan kata lain, terampilnya narapidana dalam bidang pekerjaan tertentu,
sangat bergantung pada keterampilan petugas.
Sehubungan pelatihan bagi petugas dan narapidana, hal itu
menunjukkan pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara adalah untuk
membangun sikap mental dan masa depan narapidana. Disamping itu pula,
pendidikan keterampilan bertujuan utnuk membentuk manusia narapidana
yang setelah bebas akan menjadi manusia mandiri, yakni manusia yang
35

akan mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keterampilan yang


mereka peroleh selama di lembaga pemasyarakatan.17

4. Lembaga Pemasyarakatan Terbuka


Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta merupakan implementasi
dari Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I
Nomor: M.03.PR.07.03 Tahun 2003 tanggal 16 April 2003 perihal tentang
pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Pasaman, Jakarta,
Kendal, Nusakambangan, Mataram dan Waikabubak yang diresmikan oleh
Menteri Kehakiman dan HAM RI yang pada saat itu dijabat oleh Yusril
Ihza Mahendra pada tanggal 27 April 2003.
Lembaga Pemasyarakatan Terbuka ini merupakan institusi baru di
lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman
dan HAM R.I. Sebagai institusi baru maka Lembaga Pemasyarakatan
Terbuka Jakarta secara khusus melaksanakan pembinaan lanjutan dari
proses Pemasyarakatan yaitu tahap asimilasi dengan masa pidana ½ sampai
dengan 2/3 dari masa pidana yang harus dijalani oleh seorang Narapidana,
sehingga pembinaan dan pembimbingan yang dilakukkan mencerminkan
situasi dan kondisi nyata pada masyarakat sekitar, hal ini dimaksudkan
dalam rangka meningkatkan kesiapan narapidana kembali ketengah-tengah
masyarakatnya (integrasi).
Tujuan lembaga ini adalah perubahansifat, cara berfikir serta perilaku,
proses interaksi edukatif harus di bangun. Interaksi edukatif yang intensif
sangat diperlukan, agar secara kolektif tumbuh kesadaran dari para

17
Thaher Abdullah, Pelaksanaan pembinaan keterampilan narapidana sebagai
bekal reintegrasi dalam masyarakat, (Makalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas I,
Cirebon:2005) h.1
36

narapidana tentang perilaku yang seharusnya dilakukan. begitulah


setidaknya fungsi lapas dalam tataran ideal.18

E. Tujuan dan Prinsip-Prinsip Pemasyarakatan Dalam Islam


1. Kesehatan Narapidana
Kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera sempurna yang lengkap
meliputi, kesejahteraan fisik, mental, dan sosial bukan semata-mata bebas
dari penyakit/kelemahan. Kesehatan harus diutamakan walaupun
seseorang itu telah melakukan pelanggaran. Karena kesehatan merupakan
hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang. Seorang narapidana pun
mempunyai hak-hak layaknya seorang manusia biasa yang salah satunya
yaitu: hak kesehatan, jika seorang itu sehat maka aktivitas sehari-hari akan
normal.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun


1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan dalam pasal 16 bahwa “Narapidana atau anak didik
pemasyarakatan ada keluhan mengenai kesehatannya, maka dokter atau
tenaga kesehatan lainnya di lembaga pemasyarakatan wajib melakukan
pemeriksaan”.19

Dalam perspektif Islam, kesehatan merupakan nikmat dan karunia


Allah SWT yang wajib disyukuri. Sehat juga obsesi setiap insan berakal,
sehingga tak seorangpun yang tidak ingin selalu sehat, agar tugas dan
kewajiban hidup dapat terlaksana dengan baik.

18
David J. Cooke, Pamela J. Baldwin, Jaqueline Howison, Menyingkap Dunia Gelap
Penjara, terjemahan In Prisons, diterjemahkan oleh Hary Tunggal, (Jakarta: Gramedia, 2008)
h.1
19
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2006) h. 233
37

2. Kebersihan Narapidana
Dalam ajaran Islam kebersihan menjadi perhatian utama karena
kebersihan merupakan bagian penting dari Iman. Kebersihan adalah
pilar kesehatan, pondasi kekuatan fisik dan terhindar dari penyakit.
Nabi mengatakan: orang mukmin yang sehat lebih dicintai Allah
dibanding orang mukmin yang tidak sehat. Karena itulah, Islam
dengan berbagai cara dan upaya mengutamakan pemeliharaan
kebersihan dalam segala hal. Tidak terkecuali kebersihan narapidana.
Seperti Firman Allah di Surah Al-Baqarah ayat 222 “Allah mencintai
orang yang selalu bertobat dan mencintai orang yang selalu menjaga
kebersihan”
3. Hak Mendapatkan Pendidikan
Narapidana adalah sosok manusia yang paling memerlukan
pendidikan dan pengajaran. Salah satu sebab seseorang melakukan
tindak pidana adalah karena lalai dan ketidaktahuan. Oleh sebab itu,
para ahli hukum Islam mengatakan bahwa penyuluhan hukum-hukum
agama bagi para narapidana yang masih kurang sadar hukum menjadi
wajib agar dia menyadari dirinya sebagai hamba Allah. Kebanyakan
para ahli hukum Islam sepakat bahwa tujuan penahanan adalah
mengembalikan dan mendidik narapidana agar tidak mengulangi
perbuatannya.20 Pengetahuan yang bermanfaat akan meluruskan jalan
pikiran dan menjauhkan dari kelalaian ketidaktahuan.
4. Hak Tempat Tidur
Untuk setiap narapidana ada tempat tidur masing-masing dan
terpisah sebagai penghormatan hak-hak kemanusiaannya. Mengenai
hal ini Nabi Muhammad dalam sebuah hadis bersabda: “Perintahkan
anak-anakmu untuk shalat ketika berumur 7 tahun dan jika umur 10

20
Sujatno Adi, Pencerahan di Balik Penjara, h. 77
38

tahun belum shalat maka beri hukuman pukulan ringan dan paksaan
anak-anakmu (laki dan perempuan) dalam soal tempat tidur. (HR. A l-
Tirmizi).
Ini dimaksudkan untuk menjaga hak-hak kemanusiaan dan
jenis kelamin mereka. Nabi juga pernah bersabda: Di dalam suatu
rumah, harus ada tempat tidur untuk anak laki-laki, tempat tidur untuk
anak perempuan, serta tempat tidur untuk tamu. Ini mengisyaratkan
agar tiap-tiap orang mempunyai tempat tidur sendiri.
5. Hak Mendapatkan Makanan
Para narapidana yang menjalani masa hukumannya juga diberi
makan, seperti diriwayatkan dalam suatu hadis Nabi Muhammad saw.
Menetapkan untuk memberi makan tawanan perang dari Bani tsaqif.
Nabi bersabda: kumpulkan atau sumbangkan makanan dan kirim
kepada Tsumamah ibn Utsal, ketika itu ia ditahan di samping masjid,
maka para sahabat kemudian mengumpulkan makanan.
6. Hak Mendapatkan Pakaian
Para narapidana juga mempunyai hak untuk mendapat pakaian
yang layak, sebagaimana diriwayatkan dalam suatu hadis: bahwa Ibn
Abbas menemui seorang tawanan perang Badar.21 Tawanan tersebut
tidak mempunyai pakaian. Maka Nabi memberikan gamisnya, Imam
Bukhari menempatkan hadis ini dalam bahasan “pakaian bagi
tawanan”. Ali ibn Abi Thalib ketika menjadi khalifah, membagikan
pakaian kepada narapidana dua kali setahun yakni pakaian untuk
musim panas dan pakaian untuk musim dingin. Program yang
dilaksanakan Ali ibn Abi Thalib ini kemudian dilanjutkan oleh
khalifah Umar ibn „Abd Al-Aziz bahkan ia membagikan dua stel
pakaian pada musim dingin.

21
Sujatno Adi, Pencerahan di Balik Penjara,…dll. h. 80
39

7. Pemisahan Penjara Wanita


Pemisahan tempat tahanan wanita dengan tempat tahanan laki-
laki didasarkan pada praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
saw. ketika melakukan penahanan terhadap Ibn Hatim pada satu kamar
di samping pintu masjid ia ditahan di tempat itu sendirian. Pada kasus
lainnya Nabi Muhammad saw. memerintahkan pada para tawanan dan
mereka ditempatkan terpisah bekas Baridah ibn Al-Hashib. Dia
menempatkan (wanita dan anak-anak) terpisah dari mereka diawasi
oleh Syaqran Maulana. Bahkan pernah terjadi Nabi menahan laki-laki
Bani Quraidzah di satu tempat, dan para wanita serta anak-anak di
tempat lain.
Dari beberapa kasus yang dilakukan Nabi ini, para ahli hukum
islam menetapkan bahwa wajib hukumnya memisahkan tempat
penahanan wanita dan pria. Para ulama berpendapat bahwa tempat
penahanan wanita harus terpisah untuk mencegah fitnah. Menurut
Hasan Abu Guddah, pemisahan tempat tahanan wanita adalah
kesepakatan ulama karena wajib mencegah dari terjadinya fitnah.22

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu


Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku baik yang
berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian lainnya yang pernah
membahas seputar model pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
Berikut beberapa review data yang menyinggung mengenai bahasan tersebut
yaitu:
1. Efektifitas Sanksi Pidana Penjara bagi Narapidana Narkotika dalam
Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan
Paledang Kota Bogor), skripsi ini di tulis oleh Haris Sumirat Nugraha,

22
Sujatno Adi, Pencerahan di Balik Penjara,…dll. h. 80
40

dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013.
Peneliti membahas mengenai sanksi pidana yang dijatuhkan kepada
narapidana narkotika dan dikaitkan dengan perspektif hukum islam.
Bagaimana hukum islam melihat sanksi tersebut dan dikomparasikan
dengan hukum konvensional. Berbeda dengan skripsi yang akan peniliti
bahas yakni mengenai pembinaan hukum di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan. Karena disini peniliti hanya akan membahas mengenai model
pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kota Tangerang.
2. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Jakarta Timur dalam
Merehabilitasi Pelaku Tindak Pidana, skripsi ini di tulis oleh Ade
Bahtiar, dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2014. Skripsi ini hanya membahas mengenai fungsi Lembaga
Pemasyarakatan dalam merehabilitasi pelaku tindak pidana. Berbeda
dengan skripsi yang akan peneliti teliti, yakni mengenai pembinaan
hukum di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan. Sripsi terdahulu
melakukan studi kasus di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, sedangkan
studi lapangan yang akan peneliti lakukan dalam skripsi ini di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang.
3. Dalam buku yang di karang oleh C.I. Harsono yang berjudul Sistem Baru
Pembinaan Narapidana, peneliti melihat dalam buku tersebut membahas
secara rinci mengenai pembinaan terhadap narapidana, baik perempuan,
laki-laki, maupun anak-anak. Semua dijelaskan secara terperinci dan
sesuai dengan sistem hukum yang terbaru.Buku ini selain dijadikan
sebagai kajian review terdahulu, peneliti juga mengambil beberapa bahan
untuk dimasukan kedalam teori-teori yang ada. Perbedaannya dengan
penelitian yang akan peneliti tulis adalah didalam buku tersebut tidak
terdapat pembahasan mengenai kendala-kendala yang dihadapi oleh
Lembaga Pemasyarakatan dalam membina narapidana.
41

4. Penerapan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Berdasarkan


Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru, jurnal yang di tulis oleh Mastija
ini peneliti hanya membahas mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan
hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Sedangkan dalam skripsi yang akan
peneliti tulis fokus bahasannya pada model pembinaan narapidana dan
kendala yang dihadapi oleh Lembaga Pemasyarakatan perempuan kelas
IIA kota Tangerang.
BAB III

GAMBARAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN PEREMPUAN

KELAS IIA TANGERANG

A. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang


1. Awal Berdirinya Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang

Kata penjara adalah kata-kata yang umum digunakan oleh sebagian


besar masyarakat awam di Indonesia untuk mengacu pada tempat hukuman
bagi terhukum, yakni yang sudah diputus dakwaannya di pengadilan ataupun
yang belum inkrah. Banyak orang yang menafsirkan kata penjara sebagai
tempat bagi orang-orang yang mutlak berdosa serta membentuk stigma bahwa
mereka yang keluar dari penjara adalah orang-orang yang layak untuk
dihindari dalam pergaulan sehari-hari.1

Sistem kepenjaraan yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara


Indonesia yaitu UUD 1945, telah berangsur-angsur dirubah dan diperbaiki.
Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan unsur balas dendam telah
dihapus dan diubah dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Dimana
sistem pembinaan bagi narapidana telah berubah dari sistem kepenjaraan
menjadi sistem pemasyarakatan, serta perubahan dari Rumah Penjara menjadi
Lembaga Pemasyarakatan. Pemikiran mengenai fungsi hukuman penjara
dicetuskan oleh Saharjo pada tahun 1962 kemudian ditetapkan oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 27 April 1964 yang tercermin didalam Undang-
Undang Nomor 12 tahun 1995 dalam Lembaran Negara RI Tahun 1995 No.
77 sebagai pengganti Reglemen Penjara 1917, sebutan narapidana juga
berubah menjadi warga binaan pemasyarakatan.

1
https://www.kompasiana.com/kenpeng/5535a2796ea834b80fda4308/narapidana-
penjara-lapas-dan-rutan-serta-stigma-kita

42
43

Bagian penting dari sistem pemidanaan adalah menerapkan suatu


sanksi, keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai
apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk
menegakkan baerlakunya norma.2

Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang


menjalankan fungsinya sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis dibawah
Kementerian Hukum dan Ham RI, berdiri sejak tahun 1977, diresmikan
penggunaannya pada tanggal 05 Februari 1981, pembangunan dilakukan
secara bertahap sampai selesai pada tahun 1982.3

Lapas ini merupakan pindahan dari Bukit Duri, Jakarta, yang


kemudian dipindahkan karena ketidak sesuaian dengan tata letak bangunan
kota Jakarta. Ciri khas Lapas ini adalah pembangunan sistem pavilion pada
bangunan hunian, yang artinya bangunan dibuat menyerupai blok pavilion
sehingga suasana hunian tidak terkesan angker dan menyeramkan.

Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang berdiri


diatas 16.900 m2 dengan kapasitas penghuni 250 Orang. Dilingkungan Lapas
terdiri dari 21 unit bangunan yang terdiri dari: 5 unit perkantoran, 7 unit blok
hunian, 1 unit pelatihan bunga kering dan isolasi, 1 unit ruang dapur, 1 unit
ruang serbaguna, 1 unit ruang aula, 1 unit poliklinik, 1 unit gereja, 1 unit
musholla, 1 unit wihara, 1 unit lapangan olahraga.

Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang


mempunyai mitra untuk membangun kerjasama dalam proses pembinaan
yakni dengan Badan Narkotika Propinsi, Kepolisian Resort Kota Tangerang,

2
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali.
Pers,2003), h.114.
3
https://pasnita.wordpress.com/sejarah-lapas/
44

Dinas Sosial Kota Tangerang, Dinas Taman Kota Tangerang, dan sejumlah
yayasan pembinaan kerohanian dan keterampilan.

2. Visi, Misi dan Motto Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang


1) Visi
Mewujudkan manusia yang beriman, bertaqwa, aktif dan produktif
serta bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat
2) Misi
Melaksanakan Pembinaan Mental Spiritual baik Rohani dan Jasmani
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran sebagai makhluk
mandiri, anggota masyarakat dan Makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
3) Motto
IKHLAS (Inovatif, Komunikatif, Harmonis, Luwes, Aman, Serasi)

3. Tugas Dan Fungsi Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang


1. Tugas :
Melaksanakan Pemasyarakatan Narapidan Wanita sesuai Peraturan
dan Perundang-undangan yang berlaku”.
2. Fungsi :
a. Melaksanakan pembinaan dan perawatan Narapidana dan tahanan
b. Memberikan bimbingan sosial dan kerohanian pada narapidana dan
tahanan
c. Mempersiapkan saran dan mengelola hasil kerja
d. Melakukan urusan ketatausahaan dan kerumahtanggaan lembaga
pemasyarakatan
e. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib lembaga
pemasyarakatan
f. Melakukan fungsi registrasi dan administrasi
g. Melakukakan urusan tata usaha dan rumah tangga
45

4. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Lambaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA Tangerang

1) Kalapas
Tugas
Mengkoordinasi pembina dan kegiatan, administrasi, keamanan, dan tata
tertib serta bertanggung jawab atas tata usaha yang meliputi urusan kepegawaian,
keuangan dan rumah tangga sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam rangka
pencapaian tujuan pemasyarakatan narapidana dan anak didik.
46

Fungsi
a. Memimpin Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang.
b.Menetapkan Rencana Kerja dan Program Kerja Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Tangerang.
c. Melakukan Koordinasi Pelaksanaan Tugas dengan Pemda dan Instansi Terkait.
d.Mengkoordinasikan tindak lanjut petunjuk yang tertuang dalam Laporan Hasil
Pemeriksaan.
e. Mengikuti Rapat Kerja.
f. Membina ketatausahaan di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Tangerang
g.Menilai dan Mengesahkan Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pejabat Bawahan.
h.Melakukan Pembinaan Pegawai di Lingkungan Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Tangerang.
i. Melakukan pengawasan melekat di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Tangerang.
j. Mengkoordinasikan pengelolaan anggaran rutin Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Tangerang.
k.Mengkoordinasikan Kebutuhan Formasi Pegawai.
l. Mengkoordinasikan pengendalian administrasi kepegawaian Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang.
m. Melaksanakan Tugas-Tugas yang diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah.
n. Mengkoordinasikan Pembuatan dan Penyusunan Laporan Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang.
2) Sub Bagian Tata Usaha
Tugas
Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha dan
rumah tangga Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang.
47

Fungsi
a. Melakukan urusan kepegawaian dan keuangan.
b.Melakukan urusan surat-menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.
Sub Bagian Tata Usaha Terdiri dari :
a) Urusan Kepegawaian dan Keuangan: Urusan Kepegawaian dan Keuangan
mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian dan keuangan.
b) Urusan Umum: Urusan Umum mempunyai tugas melakukan surat-menyurat,
perlengkapan dan rumah tangga.
3) Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik
Tugas
Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik mempunyai tugas memberikan
bimbingan pemasyarakatan narapidana / anak didik.
Fungsi
a. Melakukan registrasi dan membuat statistik serta dokumentasi sidik jari
narapidana / anak didik.
b.Memberikan bimbingan pemasyarakatan, mengurus kesehatan dan memberikan
perawatan bagi narapidana / anak didik.
Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik Terdiri dari :
a) Sub Seksi Registrasi: Sub Seksi Registrasi mempunyai tugas melakukan
pencatatan dan membuat statistik serta dokumentasi sidik jari narapidana /
anak didik.
b) Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan: Sub Seksi Bimbingan
Kemasyarakatan dan Perawatan mempunyai tugas memberikan bimbingan
dan penyuluhan rohani serta memberikan latihan olah raga, peningkatan
pengetahuan asimilasi, cuti pengelepasan dan kesejahteraan narapidana / anak
didik serta mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi narapidana /
anak didik.
48

4) Seksi Kegiatan Kerja


Tugas
Seksi Kegiatan Kerja mempunyai tugas memberikan bimbingan kerja,
mempersiapkan sarana kerja dan mengolah hasil kerja.

Fungsi

a. Memberikan bimbingan latihan kerja bagi narapidana / anak didik dan


mengelola hasil kerja.
b.Mempersiapkan fasilitas sarana kerja.
Seksi Kegiatan Kerja Terdiri dari :
a) Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja: Sub Seksi
Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja mempunyai tugas Memberikan
Petunjuk dan Bimbingan Latihan Kerja bagi narapidana / anak didik serta
mengolah hasil kerja.
b) Sub Seksi Sarana Kerja: Sub Seksi Sarana Kerja mempunyai tugas
Mempersiapkan fasilitas sarana kerja.
5) Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib
Tugas
Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib mempunyai tugas mengatur
jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan,
menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas
serta menyusun laporan berkala di bidang keamanan dan menegakkan tata tertib.
Fungsi
a. Mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas
pengamanan.
b.Menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang
bertugas serta menyusun laporan berkala di bidang keamanan dan menegakkan
tata tertib.
49

Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib Terdiri dari :


a) Sub Seksi Keamanan: Sub Seksi Keamanan mempunyai tugas mengatur
jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan.
b) Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib: Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib
mempunyai tugas Menerima laporan harian dan berita acara dari satuan
pengamanan yang bertugas serta menyusun laporan berkala di bidang
keamanan dan menegakkan tata tertib.
6) Kesatuan Pegamanan LAPAS
Tugas
Kesatuan Pengamanan LAPAS mempunyai tugas menjaga keamanan dan
ketertiban didalam LAPAS.
Fungsi
a. Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana / anak didik.
b.Melakukan pemeliharaan dan tata tertib.
c. Melakukan pengawalan pemerimaan, penempatan dan pengeluaran narapidana /
anak didik.
d.Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan.
e. Membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan pengamanan
5. Kegiatan Pembinaan Di Lapas Perempuan Klas IIA Tangerang
1. Pembinaan Kepribadian
a. Pembinaan Kerohanian (Islam, Kristen, Katholik, Budha)
b. Pembinaan Kesadaran Nasionalisme (Upacara)
c. Penyuluhan tentang Hukum dan HAM
d. Penyuluhan Kesehatan
e. Pembinaan Rekreasi, terdiri dari:
 Pembinaan Kepramukaan
 Kegiatan Olahraga
 Kegiatan acara nonton TV 3 kali seminggu dan di hari libur
 Pelayanan Perpustakaan
50

2. Pembinaan Kemandirian/Keterampilan
a. Keterampilan jahit menjahit
b. Keterampilan menyulam
c. Keterampilan merajut
d. Keterampilan mutte
e. Keterampilan kristik
f. Keterampilan melukis kerudung
g. Keterampilan kecantikan/salon
h. Keterampilan kelola bunga anggrek
i. Keterampilan kelola ikan lele
j. Keterampilan tali kur
k. Keterampilan decopage
l. Keterampilan keset kaki
m. Keterampilan tata boga
n. Keterampilan berkebun
o. Keterampilan mendaur ulang plastik
3. Pembinaan Kesenian
a. vokal grup
b. rampak bedug
c. band
d. choir
e. tari kreasi modern dan tradisional
f. rebbana
4. Jumlah Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Tangerang
Jumlah Narapidana : 427 Orang
Jumalah Tahanan : 0 Orang
Total : 427 Orang
51

Terdiri dari :
WNI : 376 Orang
WNA : 51 Orang
No Tindak Pidana Khusus Jumlah
1 Kasus Narkoba/Narkotik 374 Orang
2 Teroris 1 Orang
3 Korupsi 9 Orang
4 Money Laundry 2 Orang
5 Human Trafficking 4 Orang
6 Pidana Umum 37 Orang
BAB IV

MODEL PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA


PEMASYARAKATAN PEREMPUAN KELAS IIA TANGERANG

A. Model Pembinaan Narapidana


Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia
yang hidup di dunia ini menurut kodratnya, yang melekat dan tak dapat
dipisahkan dari pada kahikatnya, sehingga bersifat suci. Pelaksanaan sistem
pemasyarakatan sebagai bagian dari pembangunan di bidang hukum pada
khususnya dan pembangunan nasional bangsa pada umumnya tidak dapat
dilepaskan pada pengaruh situasi lingkungan strategis dan perkembangan dari
waktu ke waktu baik dalam skala nasional, regional maupun internasional.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjunjung tinggi hukum dan
memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat terutama yang
membutuhkan perlindungan hukum dan dijamin oleh Negara artinya setiap
warga Negara sama di mata hukum ini menyatakan salah satu kaidah hukum.
Asas persamaan kedudukan ini sangat penting ditegakkan terutama dalam
kehidupan bermasyarakat. Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem
pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu kepada Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Penjelasan Umum Undang-
Undang Pemasyarakatan yang merupakan perubahan ide secara yuridis
filosofis dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan serta
mengatur tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia
dinyatakan bahwa:1
1. Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-
pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar

1
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung:
Refika Aditama, 2006), h.102.

52
53

pemenjaraan juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi


sosial. Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem
pembinaan yang sejak lebih dari 30 (tiga puluh) tahun yang dikenal
dan dinamakan dengan Sistem Pemasyarakatan.
2. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas
dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara”
secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana
yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial
agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak
untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga
masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan
lingkungan.

Warga Binaan bukan saja objek melainkan juga subyek yang tidak
berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan
kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan sanksi pidana sehingga tidak
harus diberantas, yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat
menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat
dikenakan sanksi pidana. Dwidja Priyanto mengemukakan pengertian
pemidaan, bahwa:2 “Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan warga
binaan agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga
masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai
moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang
aman, tertib dan damai.”

Narapidana menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12


Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah terpidana yang menjalani pidana

2
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, h.103.
54

hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan pengertian


terpidana sendiri adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Di samping hak-
hak yang dimilikinya, narapidana juga mempunyai kewajiban mengikuti tata
tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu. Pasal 3 Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara menjabarkan
kewajiban narapidana adalah:

a. Taat menjalankan ibadah sesuai agama dan/ atau kepercayaan yang


dianutnya serta memelihara kerukunan beragama;
b. Mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan;
c. Patuh, taat, dan hormat kepada petugas;
d. Mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan;
e. Memelihara kerapihan dan berpakaian sesuai dengan norma kesopanan;
f. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian serta mengikuti kegiatan
yang dilaksanakan dalam rangka kebersihan lingkungan hunian; dan
g. Mengikuti apel kamar yang dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.
Jadi seorang narapidana mempunyai hak dan kewajiban yang sama,
tidak ada perbedaan satu sama lainnya. Hal ini dijalankan berdasarkan asas
persamaan perlakuan dan pelayanan dalam sistem pembinaan
pemasyarakatan, yakni pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada
warga binaan tanpa membeda-bedakan. Sistem kepenjaraan adalah tujuan dari
pidana penjara, dan tujuan dari pidana penjara maksudnya adalah untuk
melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan.3

Proses pembinaan di Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang terhadap


narapidana yang baru datang harus mengikuti prosedur yang berlaku yakni
harus mengikuti test urine, periksa kesehatan, dan dilakukan proses
administrasi pemindahan dari tempat sebelumnya. Hal tersebut perlu

3
A. Widiana Gunakaya, Sejarah dan konsepsi Pemasyarakatan, (Bandung: CV
Armico, 1988), h.43
55

dilakukan karena untuk mengetahui riwayat kesehatan narapidana agar dapat


diketahui dan di screening apabila narapidana tersebut mengidap penyakit
yang menular dapat di atasi dengan penempatan narapidana tersebut di ruang
isolasi yang sudah disediakan.4

Setelah pemeriksaan kesehatan awal dan administrasi narapidana


digeledah badan dan barang bawaannya untuk mencegah narapidana
membawa barang-barang terlarang. Dalam hal ini Penggeledahan tersebut
ditujukan agar Lapas Perempuan Klas IIA Tangerang terbebas dari
HALINAR (Handphone, pungutan liar dan narkoba). Karena apabila barang-
barang terlarang tersebut masuk kedalam blok hunian maka akan menganggu
berjalannya program pembinaan di Lapas.
Selanjutnya narapidana menjalani masa orientasi atau karantina selama
1 minggu, dalam hal ini narapidana tidak diperbolehkan keluar dari kamar
hunian sampai waktu 1 minggu. Setelah itu narapidana dapat melakukan
kegiatan pembinaan yang ada. Setiap narapidana yang baru masuk ke dalam
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA Tangerang mendapatkan ibu
asuh (pembimbing) yang mengawasi setiap kegiatan yang dilakukan oleh
para narapidana, memperoleh ibu asuh berdasarkan hasil sidang TPP yang
dilakukan oleh pejabat struktural.
Menurut Kasie Bimbingan Anak Didik (BINADIK) Ibu Sri,
pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA
Tangerang meliputi beberapa kegiatan yang bermanfaat selama berada di
lembaga pemasyarakatan, dan juga membangun kepribadian agar dapat
diterima kembali oleh masyarakat, kegiatan ini rutin yang dilakukan setiap
hari dimulai pukul 05.30.5 Adapun kegiatan yang dilakukan narapidana

4
Wawancara, Sri Setiati, 28 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang.
5
Wawancara, Sri Setiati, 28 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang.
56

sehari-hari di dalam Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA


Tangerang antara lain sebagai berikut:
1. Jam 05.30 WIB kamar hunian narapidana yang piket blok dibuka oleh
petugas pengamanan, narapidana mulai membersihkan blok hunian dan
lingkungan sekitarnya.
2. Jam 06.00 WIB seluruh narapidana dibukakan pintu kamarnya oleh
petugas pengamanan untuk memulai aktifitasnya.
3. Jam 07.00 WIB seluruh narapidana bersiap mengikuti aplusan regu jaga,
serah terima regu pengamanan dari dinas malam ke dinas pagi. Para
narapidana mengikuti aplusan tersebut dengan tertib, berbaris didepan
kamarnya.
4. Jam 09.00 – 11.30 WIB seluruh narapidana mengikuti kegiatan rutin
berdasarkan minat dan bakat, ada yang bimbingan iqro dan baca Al-
Quran di Musholla, ada yang kerja di bimker (memasak untuk kantin,
salon, membuat kerajinan tangan, menyulam, merajut, menjahit,
membuat keset dan lain sebagainya), kegiatan kebaktian di Gereja, dan
kegiatan di Vihara bagi yang beragama Budha semua di lakukan masih di
dalam area lembaga pemasyarakatan.
5. Jam 12.00 WIB seluruh narapidana muslim harus sholat dzuhur
berjamaah di Musholla.
6. Jam 13.00 narapidana mengikuti aplusan regu jaga, serah terima regu
pengamanan dari dinas pagi ke dinas siang. Para narapidana mengikuti
aplusan tersebut dengan tertib, berbaris didepan kamarnya.
7. Jam 13.30-15.00 WIB narapidana diberikan waktu istirahat di blok
hunian dan dapat melakukan kegiatan lain di luar program pembinaan
8. Jam 17.00 seluruh narapidana kembali ke kamar masing-masing untuk
beristirahat dan pintu kamar terkunci.
57

Seluruh kegiatan tersebut dilakukan narapidana dengan sangat disiplin,


hal tersebut guna terciptanya program pembinaan yang sesuai dengan
Undang-Undang yang berlaku. Selain itu narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang mempunyai kesempatan
untuk dikunjungi oleh keluarganya, jadwal kunjungan tersebut yakni setiap
senin, kamis, dan sabtu serta hari raya. Waktu kunjungan yang diberikan
pihak Lapas adalah 30 menit, mulai pukul 09.00-14.00 WIB.

Selain itu narapidana diberikan waktu untuk menonton televisi di blok


huniannya yang jadwalnya sudah diatur oleh pihak lapas, yakni setiap rabu
malam, dan sabtu malam mulai pukul 20.00 - 00.00 WIB. Serta hari minggu
narapidana bebas menonton televisi dimulai pukul 07.00 – 17.00 WIB.

Setiap program pembinaan didampingi oleh masing-masing petugas


yang menaunginya sebagai instruktur baik dari teknis maupun fasilitatif,
narapidana sangat antusias karena selain medapatkan ilmu, mereka juga
merasa lebih berguna, meskipun mereka berada didalam Lapas mereka dapat
memiliki ilmu dan bekal keterampilan agar dapat digunakan ketika mereka
bebas nanti.6 Kegiatan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Tangerang antara lain:

1. Olah Raga, untuk mendukung setiap kegiatan pembinaan yang diberikan


oleh Lapas Perempuan Kelas IIA Tangeran tentunya diperlukan fisik
yang sehat, oleh karena itulah setiap pagi secara bergilir masing-masing
blok melakukan senam pagi di bawah instruktur Warga Binaan itu sendiri
dan diawasi oleh petugas pemasyarakatan yang menaungi kegiatan
tersebut yakni BIMPAS (Bimbingan Pemasyarakatan).
2. Keagamaan, untuk meningkatkan pengetahuan agama dan memberikan
siraman rohani, Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang mengupayakan

6
Wawancara, Sri Setiati, 28 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang.
58

agar setiap hari secara bergilir para warga binaan pemasyarakatan


mendapatkan pembinaan keagamaan sesuai dengan kepercayaan masing-
masing. Kegiatan ini terdiri dari: untuk warga binaan pemasyarakatan
yang muslim terdiri dari: shalat dhuha bersama, belajar baca tulis Al-
Qur’an, pengajian oleh ustadzah dari luar Lapas. Sedangkan untuk warga
binaan yang nasrani mendapatkan pembinaan keagamaan berupa
pembahasan Alkitab, renungan puji-pujian, diskusi/sharing Alkitab, doa
bersama dan lain sebagainya. Untuk warga binaan yang beragama Budha
beribadah di Vihara bersama dengan tamu yang diundang oleh Lapas
Perempuan Kelas IIA Tangerang. Hanya saja Lapas Perempuan Kelas IIA
Tangerang belum memiliki fasilitas rumah ibadah untuk warga binaan
yang beragama Hindu sehingga pembinaan terhadap warga binaan yang
beragama Hindu belum maksimal.
3. Kebersihan Lingkungan, kebersihan sangatlah penting dalam sebuah
lembaga pemasyarakatan, untuk itu masing-masing blok diwajibkan untuk
membersihkan blok hunian setiap harinya dan kamar setiap hari sabtu dan
minggu.
4. Bercocok Tanam, salah satu program yang diikuti oleh beberapa warga
binaan pemasyarakatan di Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang. Dalam
program ini warga binaan pemasyarakatan diajarkan untuk dapat bercocok
tanam, mengolah lahan, dan juga perawatan tanaman pertanian. Kegiatan
ini dibawahi oleh Kepala Seksi Bimbingan Kerja.
5. Perayaan Hari Besar, selain program-program rutin tersebut, lembaga
pemasyarakatan juga mengadaan kegiatan-kegiatan yang bersifat
insidentil seperti hari raya besar keagamaan dan nasional. Kegiatan
tersebut dapat diharapkan menghilangkan stress seluruh warga binaan
pemasyarakatan dan juga dapat mengilhami makna dari perayan tersebut.
59

6. Bimbingan kerja, kegiatan kerja ini masih melanjutkan beberapa jenis


keterampilan yaitu: menjahit, salon, kantin, sablon, menyulam/ merajut,
talikur, sulam pita dan membuat kerajinan tangan yang lainnya.

Selain petugas, pihak Lapas juga memberikan mentor yang datang dari
luar untuk mengajarkan keterampilan kepada narapidana. Lapas Perempuan
Kelas IIA Tangerang bekerjasama dengan rumah berbagi untuk kegiatan tata
boga, dan La Tulipe untuk kegiatan tata rias, serta ada pula pelatihan babby
sitter. Pihak Lapas juga memberikan kesempatan kepada narapidana yang
mempunyai bakat di bidang seni musik dan tari untuk dikembangkan.

Program pembinaan yang dilakukan juga sering kali bekerjasama dengan


pihak luar, seperti merangkai kertas-kertas menjadi sebuah karya "flowers

paper art dan Sling bag". Kegiatan pelatihan ini adalah bentuk sinergitas

antara program Bina Santri Lapas (BSL) Dompet Dhuafa, para relawan dari
Universitas Syeikh Yusuf Tangerang, Kegiatan ini merupakan upaya untuk
memberikan hiburan, dan keterampilan bagi para narapidana yang menjalani
masa hukuman di lapas.7

Kegiatan yang diberikan wajib diikuti oleh seluruh narapidana, karenanya


Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang menerapkan buku rapot yang dimiliki
oleh seluruh narapidana, agar diketahui kegiatan apa yang dilakukan oleh
narapidana serta siapa saja narapidana yang tidak mengikuti program
pembinaan. Karena apabila narapidana tidak mengikuti kegiatan yang
diberikan maka narapidana tersebut tidak dapat diberikan hak pembebasan
bersyarat, hak asimilasi, hak cuti menjelang bebas dan lain sebagainya.

Pemberian sanksi kepada narapidana yang tidak mengikuti kegiatan dalam


proses pembinaan dilakukan untuk menyadarkan narapidana bahwasanya

7
Wawancara, Sri Setiati, 28 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang.
60

program pembinaan dilakukan untuk membuat mereka ketika kembali lagi di


tengah-tengah masyarakat dapat memberikan perubahan yang positif.

Pentahapan proses pemasyarakatan dan upaya pembinaannya secara


operasional berusaha untuk menjauhkan narapidana secara bertahap dari
lingkungan buruk tembok penjara dan mendekatkan narapidana pada hakekat
hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem pemasyarakatan
merupakan suatu perubahan dalam pelaksanaan pidana penjara yang
kaitannya deagan perlakuan terhadap narapidana berdasarkan paham
humanisme dan berdasar filsafat Pancasila sebagai dasar dalam membina
narapidana. Pihak keluarga dan masyarakat juga diberi kesempatan untuk ikut
membina sehingga narapidana merasa bahwa dia tetap diakui eksistensinya
sebagai anggota masyarakat. Pembinaan kepribadian dan pembinaan
kemandirian narapidana di Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang
berdasarkan hasil penelitian dalam prakteknya telah sesuai dengan Pasal 3
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Selain itu Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang
terpilih menjadi contoh baik Bangkok Rules. Dipilihnya Lapas Perempuan
Tangerang karena telah menerapkan nilai-nilai yang terdapat dalam Bangkok
Rules dengan baik. Kedatangan Putri Thailand, yang juga menjadi Duta
Persahabatan United Nation Office On Drugs and Crime (UNODC), ke Lapas
Perempuan Tangerang bertujuan untuk mempromosikan, sekaligus berdiskusi
akan tantangan dan hambatan dalam menerapkan Bangkok Rules di Lapas
Perempuan Tangerang.8
Lapas Perempuan Tangerang telah memiliki fondasi yang kuat dalam
menerapkan Bangkok Rules, dan diharapkan, program pembinaan narapidana

8
https://www.kemenkumham.go.id/berita/jadi-contoh-baik-bangkok-rules-lapas-wanita-
tangerang-dikunjungi-putri-thailand
61

wanita di Lapas Perempuan Tangerang dapat dicontoh di lapas perempuan


lain di Indonesia. Terpilihnya Lapas Perempuan Tangerang karena telah
mengimplementasikan Bangkok Rules dalam pembinaan warga binaan di
dalam lapas. Namun meskipun begitu program pembinaan tersebut masih
ditemukan hambatan dalam menerapkan Bangkok Rules, antara lain sarana
dan prasarana, serta Sumber Daya Manusia (SDM).

Sumber daya manusia yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan


Klas IIA Tangerang memang tidak sesuai dengan jumlah narapidana yang
berada di dalam. Lihat saja jumlah narapidana mencapai 427 orang sedangkan
jumlah pegawai yang ada hanya 99 orang. Bila di lihat hal tersebut dapat
dijadikan narapidana sebagai jalan untuk kabur dari Lapas karena kurangnya
penjagaan di dalam, namun karena para petugas pemasyarakatan di Lapas
Perempuan memberikan pembinaan melalui pendekatan persuasif yang baik
dan benar serta tidak melakukan kekerasan, sehingga membuat narapidana di
dalam merasa nyaman melewati masa hukumannya dan merasa tidak tertekan.
Hal itu memang harus dilakukan oleh seorang petugas pemasyarakatan agar
menciptakan Lapas yang aman dan kondusif.

Program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA


Tangerang tidak serta merta berjalan mulus, ada kendala yang dihadapi oleh
pihak Lapas untuk membina narapidana kasus teroris yang bernama Tutin.9
Hal itu dikarenakan Tutin tidak mau mengikuti program pembinaan yang
dilakukan pihak Lapas, karena merasa tidak sepaham dengan dirinya. Ini
adalah tantangan terbesar bagi pihak Lapas, karena dari 427 orang narapidana
yang ada didalam hanya 1 orang yang tidak mau mengikuti program
pembinaan yakni saudari Tutin. Meski begitu narapidana tersebut masih mau

9
Wawancara, Sri Setiati, 28 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang.
62

untuk membersihkan kamarnya sendiri meskipun tidak ada kegiatan yang ia


ikuti.

Pembinaan hukum yang dilakukan petugas pemasyarakatan pada dasarnya


sama kepada setiap narapidana, hanya saja narapidana teroris yang berada di
Lapas Perempuan Klas IIA Tangerang terbilang radikal sehingga
menyebabkan pihak Lapas tidak bisa sepenuhnya memberikan pembinaan
secara menyeluruh.

Pembinaan kerohanianpun tidak dapat diberikan, karena ditakutkan


narapidana tersebut dapat mempengaruhi narapidana yang lain atau dengan
kata lain di cuci otaknya untuk mengikuti aliran terorisme.

Namun upaya terus dilakukan untuk mencari jalan agar pembinaan kepada
narapidana kasus terorisme dapat dilaksanakan, dengan cara mengajak
narapidana tersebut untuk mengikuti pelatihan refleksi, yang seperti diketahui
bahwa narapidana Tutin memang memiliki bakat untung refleksi bekam.

Tolak ukur pembinaan hukum terhadap narapidana dapat dikatakan


berhasil apabila dapat menyadarkan narapidana untuk mengakui NKRI.
Sebelum Narapidana Tutin, di Lapas Perempuan Klas IIA Tangerang ada
narapidana kasus terorisme yaitu Ismi, dan Jumiatun, mereka adalah contoh
narapidana kasus terorisme yang bisa dibilang berhasil proses pembinaannya,
dikarenakan mereka sudah mengakui bahwa dirinya adalah NKRI.10

Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik


pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak
didik pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat. 11 Pemberian asimilasi

10
Wawancara, Sri Setiati, 29 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang.
11
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi
Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
63

ini dilakukan untuk memberikan motivasi dan kesempatan kepada narapidana


dan anak didik pemasyarakatan untuk mendapatkan kesejahteraan sosial,
pendidikan, keterampilan guna mempersiapkan diri di tengah masyarakat
serta mendorong peran serta masyarakat untuk secara aktif ikut serta
mendukung penyelenggaraan sistem pemasyarakatan.
Syarat Pelaksanaan Asimilasi dapat diberikan kepada Narapidana Dan
Anak Didik Pemasyarakatan yang telah memenuhi syarat:12
1) Surat pernyataan dari Narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak akan
melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
2) Surat jaminan kesanggupan dari pihak keluarga yang diketahui oleh lurah/
kepala desa yang menyatakan bahwa:
a. Narapidana tidak akan melarikan diri, dan tidak melakukan perbuatan
melanggar hukum.
b. Membantu dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama
mengikuti program asimilasi.
3) Surat jaminan dari sekolah, instansi pemerintah atau swasta, dan
badan/lembaga sosial atau keagamaan, yang menjamin untuk membantu
dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama mengikuti
program asimilasi.
4) Bagi Narapidana WNA memenuhi kelengkapan dokumen yaitu:
a. Surat jaminan tidak akan melarikan diri dan akan menaati persyaratan
yang ditentukan dari Kedutaan besar/konsulat negara dan keluarga,
keluarga, orang, atau korporasi yang bertanggung jawab atas
keberadaan dan kegiatan Narapidana selama berada di wilayah
Indonesia dan

12
https://jakarta.kemenkumham.go.id/layanan-publik/185-layanan-pemasyarakatan-
/1007-syarat-pelaksanaan-asimilasi
64

b. Melampirkan surat keterangan dari Direktur Jenderal Imigrasi atau


Pejabat Imigrasi yang ditunjuk yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan dibebaskan dari kewajiban memiliki izin tinggal.
5) Berkelakuan baik, yaitu tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam
kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal
pemberian Asimilasi
6) Aktif mengikuti program pembinaan dengan baik
7) Telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana
8) Bagi Narapidana tindak pidana terorisme, narkotika dan precursor
narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan HAM yang berat, kejahatan
transnasional, dan kejahatan terhadap keamanan Negara, asimilasi dapat
diberikan setelah
a. Berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak menjalani hukuman
disiplin dalam kurun waktu 9 bulan terakhir.
b. Telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana.
c. Bagi Narapidana Terorisme telah selesai mengikuti Program
Deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan/atau Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme serta melampirkan surat
keterangan mengikuti program tersebut dan menyatakan ikrar tertulis
tentang Kesetian kepada NKRI bagi WNI dan tidak akan mengulangi
perbuatan tindak pidana terrorisme bagi WNA.
9) Melampirkan fotocopy kutipan putusan hakim dan berita acara
pelaksanaan putusan pengadilan.
10) Melampirkan salinan register F dari Kepala Lapas.
11) Melampirkan salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas.
12) Laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kalapas.
13) Laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh pembimbing
kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas.
65

Asimilasi tidak dapat diberikan kepada narapidana:


1) Yang terancam jiwanya
2) Yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup
Proses Pelaksanaan Asimilasi, Petugas pemasyarakatan mendata
narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang telah memenuhi syarat,
Selanjutnya tim pengamat pemasyarakatan lapas merekomendasikan usulan
pemberian asimilasi kepada kepala lapas berdasarkan data narapidana dan anak
didik pemasyarakatan yang telah memenuhi syarat. Kepala lapas menetapkan
pemberian asimilasi berdasarkan rekomendasi tim pengamat pemasyarakatan
lapas. Dalam hal ini, asimilasi dilaksanakan secara mandiri dan atau dengan
pihak ketiga, kepala lapas menetapkan pemberian asimilasi setelah mendapatkan
persetujuan kepala kantor wilayah. Asimilasi dilaksanakan dalam bentuk:

1) Kegiatan pendidikan;
2) Latihan keterampilan;
3) Kegiatan kerja sosial;
4) Pembinaan lainnya, di lingkungan masyarakat
1. Asimilasi Biasa
Asimilasi Biasa adalah asimilasi yang dilakukan di lingkungan Lapas,
dimana narapidana dapat melakukan asimilasi dengan pihak dari luar
yang didatangkan oleh pihak Lapas.13 Lapas Perempuan Klas IIa
Tangerang melakukan MoU memorandum of understanding dengan
pembinaan kerohanian, sehingga narapidana ditanamkan program-
program kerohanian, baik itu Islam, Kristen ataupun Budha. Asimilasi
ini dilaksanakan oleh narapidana kasus Narkoba, karena narapidana
kasus Narkoba tidak dapat melaksanakan Asimilasi diluar Lapas
ditakutkan dapat melakuakan hal-hal yang tidak diinginkan, mengingat

13
Djisman Samosir, Tentang Penologi dan Pemasyarakatan,( Bandung: Nuansa Aulia,
2012), h. 128
66

narapidana kasus narkoba mempunyai koneksi kepada Bandar narkoba


yang berada di luar Lapas.14
2. Asimilasi Pembebasan Bersyarat
Asimilasi Pembebasan Bersyarat adalah asimilasi yang diberikan
kepada narapidana yang sudah menjalankan hukuman selama 2/3 masa
hukuman sampai 5/6 masa hukuman. Biasanya asimilasi ini dilakukan
oleh narapidana kasus tindak pidana korupsi, dan asimilasi ini dilakukan
di Badan Sosial. Narapidana menjalankan Asimilasi dengan cara
menjadi tenaga pengajar di salah satu Badan Sosial.
3. Asimilasi dengan Pihak Ketiga
Asimilasi yang dilaksanakan secara mandiri dan/ atau dengan pihak
ketiga adalah asimilasi yang dilakukan dengan cara bekerja di
perusahaan yang sudah bekerjasama dengan Lapas untuk menjadi
karyawan. Narapidana yang sedang menjalankan asimilasi di luar lapas
dilaksanakan dalam waktu paling lama 9 (sembilan) jam sehari termasuk
waktu dalam perjalanan, narapidana bekerja di perusahaan dan
mendapatkan gaji, namun gaji tersebut tidak masuk kedalam uang
pribadi, melainkan diberikan kepada Lapas. Asimilasi tidak boleh
dilaksanakan pada hari minggu atau hari libur nasional. Kepala lapas
bertanggung jawab atas keamanan pelaksanaan asimilasi.

B. Kendala yang di Hadapi Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas


IIA Tangerang dalam Membina Narapidana

Pelaksanaan Pembinaan terhadap narapidana agar dapat dikembangkan


potensinya kearah yang positif sebagai sarana merubah seseorang menjadi manusia
produktif, untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pemberian kegiatan untuk
pengembangan keterampilan bagi narapidana melalui petugas Lembaga

14
Wawancara, Sri Setiati, 29 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang.
67

Pemasyarakatan diharapkan agar kelak kembali ketengah-tengah masyarakat tidak


lagi mengulangi perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Demikian pula agar pembinaan ini dapat memberikan motivasi bagi hasil
perubahan diri dalam menyongsong masa depan yang lebih baik. Akan tetapi dalam
mewujudkan tujuan yang mulia ini belum dapat sepenuhnya terimplementasi secara
berkesinambungan karena terdapat beberapa kendala yang dialami. Berdasarkan hasil
penelitian Penulis di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang
terdapat beberapa kendala yang dihadapi yakni:

Rendahnya minat dan kepedulian dari Lembaga atau perusahaann untuk


berperan serta dalam memberikan pelatihan atau pembinaan kepada narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini terjadi karena tugas-tugas di Lembaga
Pemasyarakatan tidak dapat memberikan kontribusi secara timbal balik. Hal ini
disebabkan masalah dukungan pendanaan dalam pembinaan terhadap kegiatan-
kegiatan yang bersifat keterampilan yang dapat digunakan untuk menciptakan
pekerjaan sendiri atau dapat bekerja pada pihak lain sesuai keterampilan yang
dimiliki.

Sistem Pemasyarakatan sebagai wadah untuk melakukan pembinaan terhadap


narapidana, sebagai paradigma fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai
tempat pembalasan menjadi tempat untuk melakukan pembinaan. Kendala-kendala
lain yang dihadapi oleh petugas pemasyarakatan dalam upaya memberikan
pembinaan bagi narapidana antara lain sebagai berikut15:

1. Terjadinya over kapasitas penghuni Lapas sehingga kurang optimalnya


pemberian layanan hak narapidana dalam blok hunian. Namun pihak
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang menyikapi hal
ini dengan cara menampung narapidana didalam blok hunian yang

15
Wawancara, Sri Setiati, 30 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang.
68

biasanya 1 kamar dihuni oleh 4 orang tetapi sekarang ini diisi oleh 6 orang
narapidana.
2. Sebagian narapidana tidak memiliki keluarga yang jelas, sehingga tidak
ada pihak keluarga yang ikut memberikan support dengan melakukan
kunungan ke Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang.
Hal ini juga berdampak pada pemberian hak narapidana yakni layanan
Pembebasan Bersyarat yang sulit di ajukan lantaran tidak adanya jaminan
dari pihak keluarga yang harus diketahui oleh Lurah di wilayah tempat
tinggal narapidana. Hal tersebut menyebabkan besarnya potensi untuk
melakukan pelanggaran hukum setelah kembali ke masyarakat dapat
terjadi secara berulang akibat tidak adanya keluarga yang menampung dan
memberikan dukungan kepada mereka.
3. Kurangnya regu pengamanan yang berjaga di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Tangerang, karena jumlah petugas pengamanan
yang berjaga dalam satu shift hanya 8 orang, sementara jumlah narapidana
adalah 427 orang. Meskipun pada tahun 2017 terjadi penambahan dari
Kementerian Hukum dan HAM sebanyak 25 orang namun hal tersebut
tetaplah tidak membantu dikarenakan terjadi pergeseran jabatan dan
pemindahan tugas oleh kepala Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Tangerang.
4. Kurangnya Sarana dan Prasarana dalam melaksanakan tugas antara lain
tidak adanya panic button di dalam Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Tangerang, apabila sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Tidak disediakannya senjata untuk regu pengamanan yang
berjaga. Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang
sebenarnya memiliki senjata api yang memadai akan tetapi para pegawai
yang bekerja disana tidak dapat mempergunakannya dengan baik dan
benar sehingga menyebabkan senjata api tersebut hanya disimpan di
ruangan yang hanya diketahui oleh Kalapas dan Pejabat Struktural.
69

Seharusnya pihak Lapas memberikan pelatihan kepada para pegawainya


dalam mempergunakan senjata api khususnya kepada regu pengamanan,
sehingga petugas yang berjaga mempunyai kemampuan untuk melawan
narapidana yang membuat masalah didalam Lapas.
5. Kurangnya Bahan Makanan yang diperlukan narapidana untuk memasak,
hal ini disebabkan jatah makan satu orang narapidana hanya Rp. 17.000
(tujuh belas ribu rupiah) untuk makan tiga kali dalam sehari. Hal tersebut
menyebabkan makanan yang akan dimakan oleh narapidana kurang layak
dan sangat sedikit sehingga kebanyakan narapidana tidak memakan
masakan tersebut dan lebih memilih untuk membeli makanan di kantin
yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Tangerang.
6. Masih kurangnya integritas Petugas pemasyarakatan di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang. karena masih adanya
oknum yang membawakan barang-barang terlarang ke dalam Lapas.
Barang-barang terlarang yang masih sering dibawakan oleh beberapa
oknum antara lain handphone, power bank, batrai dan kabel charger.
Lantaran beberapa oknum tersebut proses pembinaan narapidana menjadi
terhambat lantaran masih adanya barang-barang terlarang didalam blok
hunian. Demi meminimalisir banyaknya barang-barang terlarang di dalam
blok hunian, pihak Lapas melakukan sidak secara acak di setiap blok
hunian, agar mengurangi adanya barang-barang terlarang tersebut.
C. Analisis Peneliti
Dari hasil penelitian bahwa sistem atau model pembinaan yang
dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA Tangerang
ini cukup baik. Dengan berbagai jenis keterampilan serta pembimbingan dari
para petugas Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA Tangerang
membuat mereka banyak memperoleh manfaat yang baik. Upaya pembinaan
dan bimbingan yang demikian itu telah sesuai pula dengan dasar
70

pembaharuan pidana yang mengandung aspek menempuh upaya baru


terhadap narapidana.
Narapidana sebagai manusia yang dibina harus bisa dikembangkan
rasa tanggung jawabnya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang
tenteram dan sejahtera dalam masyarakat agar selanjutnya berpotensi untuk
menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi. Dengan
demikian sasaran pembinaan tertuju pada pribadi dan budi
pekerti narapidana tersebut.
Selain itu program pembinaan yang dilakukan dalam rangka
meningkatkan kreatifitas narapidana bertujuan agar ketika bebas narapidana
dapat mengimplementasikannya di kehidupan bermsyarakat. Petugas
pemasyarakatan juga memegang andil yang besar terhadap narapidana yang
berada didalam, sehingga interaksi antara narapidana dan petugas
pemasyarakatan tidak boleh putus, dalam artian petugas pemasyarakatan
harus tetap menjaga sikap yang bijak agar para narapidana tidak merasakan
tekanan, jika narapidana sudah merasa tertekan maka program pembinaan
yang ada di dalam Lapas tidak dapat dibilang berjalan dengan baik, karena
tidak akan tercipta suasana Lapas yang aman, tentram, dan humanis.
Meskipun begitu masih ada saja kendala yang dihapadi oleh Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang. masih banyak pekerjaan
rumah yang perlu dikerjakan dan dituntaskan oleh seluruh jajaran petuags
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang dalam membina
narapidana. Di mulai dari petuagas pemasyarakatannya itu sendiri agar
mempunyai integritas yang cukup tinggi dalam mengemban tugas Negara
agar tidak terjadi lagi hal-hal yang dilakukan oleh beberapa oknum untuk
memasukkan barang-barang terlarang ke dalam Lapas.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pokok permasalahan dan pembahasan mengenai model
pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Tangerang, maka peneliti akan menguraikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Model pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Klas IIA Tangerang terhadap narapidana yaitu pelaksanaan pembinaan
kepribadian, yang terdiri dari pembinaan kerohanian (Islam, Kristen,
Katholik, dan Budha), Pembinaan kesadaran nasionalisme, penyuluhan
tentang Hukum dan HAM, penyuluhan kesehatan, pembinaan rekreasi
yang terdiri atas pembinaan kepramukaan, kegoatan olahraga, kegiatan
acara nonton tv, dan pelayanan perpustakaan. Selanjutnya ada pembinaan
kemandirian/ ketrampilan dan kesenian. Seluruh narapidana Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA Tangerang yang berjumlah 427
orang telah menerima program pembinaan yang dilaksanakan di LAPAS
dengan aman dan tertib.
2. Kendala yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA
Tangerang antara lain adalah kurangnya jumlah petugas pengamanan yang
berjaga, masih adanya oknum petugas yang menjembatani narapidana
mempunyai barang-barang terlarang seperti (handphone, powerbank,
kabel charge), kurangnya dana untuk bahan makanan yang akan diberikan
kepada narapidana sehingga menyebabkan makanan yang dikonsumsi
kurang layak, kurangnya pengetahuan petugas di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Tangerang mengenai tata cara
penggunaan senjata api, sehingga menyebabkan petugas yang berjaga
tidak di bekali dengan senjata apapun untuk berjaga-jaga ketika terjadi
keributan antar narapidana di dalam blok hunian

71
72

B. Rekomendasi
Berdasarkan pada permasalahan yang diangkat oleh penulis yaitu
mengenai Pembinaan Hukum Di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas
IIA Tangerang, maka dari itu penulis memberikan rekomendasi sebagai
berikut:
1. Bagi pihak Lapas, agar meningkatkan sumber daya manusia bagi para
petugas pemasyarakatan dengan berbagai macam pelatihan-pelatihan
yang ada, program dan ragam pembinaan terutama dalam program
kemandirian terhadap narapidana, agar para petugas dapat melaksanakan
pelatihan itu sendiri tanpa memnaggil pihak dari luar agar dapat
dilaksanakan secara efektif dan kreatif serta berdaya guna untuk
pengembangan kepribadian serta peningkatan keterampilan bagi
narapidana yang akan memberikan dampak yang cukup besar
kedepannya.
2. Bagi masyarakat, diharapkan masyarakat yang berada di luar Lapas dapat
membantu berjalannya program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Klas IIA Tangerang, dengan cara turut serta mematuhi
peraturan-peraturan yang ada ketika berkunjung ke dalam Lapas, dan
tidak membawakan narapidana barang-barang terlarang. Agar program
pembinaan dapat terus berjalan dengan baik dan dapat bekerjasama
dengan masyarakat di luar.
3. Bagi Direktorat Jendral Pemasyarakatan, diharapkan dapat meningkatkan
sarana dan prasarana pada Lembaga Pemasyarakatan, agar tidak terjadi
lagi kelebihan kapasitas contohnya pada Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Klas IIA Tangerang, Serta perlu adanya peningkatan kualitas
petugas pemasyarakatan seperti penambahan jumlah petugas
73

pemasyarakatan untuk bejaga didalam blok hunian, karena tidak sesuai


dengan jumlah narapidana di dalam Lapas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana,


2010.
Cooke J. David, Pamela J. Baldwin, Jaqueline Howison, Menyingkap Dunia Gelap
Penjara, terjemahan In Prisons, diterjemahkan oleh Hary Tunggal, Jakarta:
Gramedia, 2008.
Erwin, Muhamad. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia. cet.3 Jakarta:
PT. Refika Aditama, 2013.
Gunakaya, A. Widiana, Sejarah dan konsepsi Pemasyarakatan, Bandung: CV
Armico, 1988.
Harsono, C.I. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta: Djambatan. 1997.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. cet.3. Malang:
Bayumedia Publishing, 2007.
Kikilaitety, Samuel Petrus Irawa Pandjaitan. Pidana Penjara Mau Kemana. cet.1.
Jakarta: CV Indhill Co, 2007.
Lamintang, P.A.F Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, cet.1 Jakarta:
Sinar Grafika 2010.
Marlina. Hukum Penitensier. Bandung: Refika Aditama, 2011.
Mertokusomo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty,
2003.
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana, cet.3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Priyatno, Dwidja. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: PT.
Refika Admitama, 2006.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Razak, Abdul dan A. Ubaedila. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani. cet.3. Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidatullah, 2008.

73
74

Samosir, Djisman, Tentang Penologi dan Pemasyarakatan, Bandung: Nuansa Aulia, 2012.

Sholehuddin, Muhammad. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double
Track System dan Implementasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002.
Sholehuddin, M. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali. Pers, 2003.
Sujatno, Adi. Pencerahan di Balik Penjara, Bandung: PT Mizan Publika: 2008.
Sunaryo, Simon R.Thomas dan A.Josias. Studi Kebudayaan Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia. Bandung: Lubuk Agung, 2010.
Supramono, Gatot. Hukum Acara Pengadilan Anak, cet.3. Jakarta: PT. Intan Sejati,
2007.
Tongat. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan.
Malang: UMM Press, 2008.

2. Peraturan Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti
Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti
Bersyarat.
Penjelasan PP No.32 tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata cara Pelaksanaan Hak
Waga Binaan Pemasyarakatan

3. Jurnal
Angkasa. 2010. Over Capacity Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal
Dinamika Hukum; Unsoed.
Abdullah, Thaher. Pelaksanaan pembinaan keterampilan narapidana sebagai
bekal reintegrasi dalam masyarakat, Makalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas I,
Cirebon, 2005.
75

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I.Cetak Biru


Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan. Jakarta: DepartemenHukum
dan HAM Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bekerjasama dengan The Asia
Foundation, Kedutaan Besar Australia, dan Institute for Criminal Justice Reform/
ICJR.

4. Internet
https://www.kompasiana.com/kenpeng/5535a2796ea834b80fda4308/narapidana-
penjara-lapas-dan-rutan-serta-stigma-kita
https://pasnita.wordpress.com/sejarah-lapas/
https://www.kemenkumham.go.id/berita/jadi-contoh-baik-bangkok rules-lapas-
wanita-tangerang-dikunjungi-putri-thailand
https://jakarta.kemenkumham.go.id/layanan-publik/185-layanan-
pemasyarakatan/1007-syarat-pelaksanaan-asimilasi
pembinaan narapidana http://hmibecak.wordpress.com//diakses 29 September 2018
www.hukumonline.com Esensi Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah narapidana

5. Wawancara
Wawancara, Sri Setiati, 28 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA
Tangerang.
Wawancara, Sri Setiati, 29 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA
Tangerang.
Wawancara, Sri Setiati, 30 Januari 2019, Lapas Perempuan Kelas IIA
Tangerang.
PERTANYAAN WAWANCARA

1. Bagaimana proses pembinaan hukum yang dilakukan Lapas Perempuan Klas IIA
Tangerang terhadap narapidana yang baru datang ke lapas?
2. Apakah pembinaan yang dilakukan oleh Lapas Perempuan Klas IIA Tangerang sudah
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995?
3. Apa yang menjadi hambatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana?
4. Apakah ada perbedaan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana kasus narkoba
dan kriminal?
5. Apakah ada sanksi yang diberlakukan apabila narapidana tidak mengikuti kegiatan yang
ada di Lapas Perempuan Klas IIA Tangerang?

Anda mungkin juga menyukai