SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH:
RATNA PUSPITASARI
NIM: 1111043100030
v
بسم اهلل الر حمن الر حيم
KATA PENGANTAR
salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi dan Rasul kita
Berkat dan rahmat hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat
hambatan untuk mencapai data dari referensi. Namun berkat kesungguhan hati
dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi.
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab
vi
3. Prof. Dr.H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA. selaku pembimbing
skripsi yang telah banyak memberi arahan, saran serta petunjuk dalam
4. Dr. Khamami Zada, MA dan Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag, yang telah
baru.
5. Para Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa
6. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik
7. Kepada keluarga tercinta terutama ibu dan ayah penulis, serta kakakku yang
Milah, U Zainullah, Qoharuddin, Mia, Indah, Sasa serta teman-teman yang lain
penulis. Terima kasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini dalam
suka dan duka. Bagi penulis itu adalah pengalaman berharga yang takkan
pernah terlupakan.
vii
9. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak
bisa sebutkan satu persatu. Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah
kita.
khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin.
16 Juni 2016 M
Jakarta:
11 Ramadhan 1437 H
Ratna Puspitasari
viii
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu........................................................... 7
E. Metode Penelitian ......................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan................................................................... 11
ix
C. Mudzakarah .................................................................................. 55
1. Pengertian Mudzakarah .......................................................... 55
2. Kedudukan Hasil Mudzakarah di Lembaga MUI DKI
Jakarta .................................................................................... 56
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 80
B. Saran-saran ................................................................................... 81
x
BAB I
PENDAHULUAN
dalam kehidupan, baik dari bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, termasuk juga
senggangnya untuk beribadah kepada sang pencipta, khususnya ibadah salat lima
waktu.
khususnya di kota-kota besar. Sebagai contohnya kota Jakarta, kota yang padat
sebagai pusat ekonomi yang sering didatangi orang dari daerah lain. Di Jakarta,
kemacetan adalah hal yang sudah biasa dihadapi oleh penduduknya atau
sebenarnya tidak terlalu jauh, namun karena kemacetan jarak tersebut harus
ditempuh dengan waktu yang lama. Dengan demikian, adanya kemacetan menjadi
salah satu faktor penyebab berkurangnya waktu salat, bahkan bisa menjadikan
mereka yang bekerja, salat tidak pada waktunya. Tentunya hal ini menjadi
1
2
Dari semua pendapat ulama, hukum mengerjakan salat lima waktu adalah
fardhu ‘ain, hal ini bersumber dari al-Quran, sunah, dan ijma1. Maka demikian
salat lima waktu harus selalu dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan apapun
alasannya, kecuali bagi orang yang telah meninggal dunia. Dan meninggalkan
salat adalah perkara dosa sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Sya’rawi
dalam kitabnya.2
bagi mereka yang mendapat kesulitan ketika hendak melakukan salat lima waktu,
tetapi agama telah menentukan keadaan yang seperti apa yang bisa menjadikan
adalah karena adanya hujan yang lebat, hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam kitab kifayatul akhyar, kitab fikih mazhab Syafi’i terdapat keterangan
tentang menjama′ salat ketika hujan yaitu “Dan bagi orang yang berada di rumah
diperbolehkan melakukan jama′ antara dua salat lantaran ada hujan, dan jama′ itu
1
Ibnu Rusydi, Bidāyah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiyah, t.th), Juz. 1, h.89.
2
Muhammad Muttawally al-Sya’rawi, Tafsir Āyāt al-Ahkām, (Cairo: al-Maktabah al-
Taufiqqiyah,tt), Jilid. 1, h. 103.
3
Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni al-Damasqi al-Syafi’i, Kifayatul
Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Juz. 1, (Damaskus: Darul Khair, 1994 H), h. 37.
3
Selain hujan, ada keadaan yang bisa menyulitkan orang untuk melakukan
salat yaitu musafir yang sedang berada di perjalanan. Mereka dalam kondisinya
Salat jama′ yaitu salat yang digabungkan antara Zuhur dan Ashar dengan
cara dimajukan ke waktu Zuhur (takdîm) atau menggabungkan antara kedua salat
itu dengan cara diakhirkan ke waktu Ashar (takhîr). Salat lainnya yang bisa
dijama′ adalah Maghrib dan Isya4. Sedangkan salat qasar adalah meringkas,
menarik salat Zuhur ke salat Ashar atau sebaliknya, yaitu melakukan salat Ashar
pada waktu Zuhur atau sebaliknya namun dengan jumlah rakaat yang berbeda,
yaitu dua rakaat. Salat lain yang bisa diqashar adalah salat Isya5.
dalam perjalanan atau salat safar. Kitab-kitab hadits dan fikih telah menjelaskan
jarak tempuh perjalanan yang menyebabkan seseorang bisa disebut musafir.6 Dan
4
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996),Cet. 1, h. 205.
5
Abdurrahman al-Jazîri, al-Fiqhu „alā al-Madzāhib al-„Arba´ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah,h. 206.
6
Muhammad ibn Isma’il abu Abdullah al-Bukhary al-ju’fi, Shahih Bukhari, Cet. 1,
(Madinah: Maktabah al-Dar, 1405 H), h. 142.
4
Kemacetan yang terjadi di kota-kota besar telah membuat perjalanan yang jarak
apakah kondisi seperti ini dapat dijadikan alasan yang syar’i untuk mendapatkan
semacam ini?
Pembahasan tentang salat jama′ dalam kitab fiqh hanya untuk orang-orang
yang sedang musafir dan sedang dalam kondisi hujan, meskipun begitu ada
kategori musafir dan dikaitkan dengan kondisi hujan? Disinilah umat Islam perlu
alasan, secara umum MUI DKI Jakarta memperbolehkan jama′ salat dengan
sengaja, salah satu alasan yang diperbolehkannya karena dalam kondisi macet.
Namun dari hasil mudzakarah tersebut tidak tergambar penjelasan yang jelas dari
penelitian terkait masalah yang telah diterangkan di atas, apalagi masalah ini
permasalahan ini dalam bentuk karya ilmiah yaitu berupa skripsi yang berjudul
1. Pembatasan Masalah
atas, agar permasalahan yang akan penulis bahas tidak meluas, maka penulis
membatasinya hanya sekitar mengenai fikih ibadah yaitu menjamaʹ salat dalam
DKI Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet.
2. Perumusan Masalah
1) Bagaimanakah dalil yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta
DKI Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet?
6
1. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan ini, ada tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, dan
1.) Untuk mengetahui dalil yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI
2.) Untuk mengetahui penjelasan ulama yang terdapat dalam hasil Mudzakarah
MUI DKI Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi
macet.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Manfaat Teoritis:
b. Manfaat Praktis:
dalam bidang ibadah ketika melakukan jama′ salat dalam kondisi macet.
yang mana kondisi tersebut sudah sering dialami oleh masyarakat umum.
7
adalah skripsi yang berjudul “Hukum Menjama′ Salat Tanpa Sebab” (perspektif
Sunni-Syi‟i) yang ditulis oleh Dede Sadeli, Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2009. Dalam skripsi
madzhab sunni dan syi’i. Skripsi tersebut dijelaskan bahwa Menurut pendapat
Syi’ah salat jama dapat dilakukan tanpa harus ada sebab seperti wuquf di Arafah,
mabit di Muzdalifah, adanya hujan lebat, bepergian, dan sakit. Artinya bahwa
Bagi Mazhab Sunni menjama′ salat tanpa sebab tidak dibolehkan, karena salat
jama hanya diperbolehkan ketika adanya sebab-sebab tertentu, seperti yang telah
Hukum Islam”(Studi Tentang Praktek Salat Qasar Anak Indekos) yang ditulis
oleh Ahmad Fauzi Ridwan,Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2013. Skipsi ini Ahmad Fauzi Ridwan
terhadap pelaksanaan hukum salat qashar bagi anak indekos menurut imam
8
tersebut disebutkan bahwa seorang yang indekos harus memenuhi syarat agar bisa
dikatakan ibnu sabil dan musafir, diantaranya yaitu: Menurut Mazhab Hanafiyah
jarak tempuh mencapai 3 hari 3 malam (96 km), baik perjalanannya untuk ibadah
dengan jarak tempuh mencapai 4 barid (48 mil atau 77,232 KM), Dan kategori
adalah sunnah muakkad. Akan tetapi hukum tersebut menjadi terhapus jika berniat
untuk tinggal selama 4 ditempat tujuannya dan setelah 4 hari tersebut berlalu ia
dalam proses perjalanan yang jarak tempuhnya mencapai 2 Marhalah (48 mil atau
77,232 KM), dengan tujuan perjalannya bukan untuk maksiat. Mazhab Hanabilah
yaitu dengan syarat dan ketentuan bahwa ia sedang melakukan perjalanan dan
jarak tempuhnya mencapai 4 barid dan tujuan perjalannya untuk ibadah bukan
maksiat.
skripsi yang ditulis ini berbeda dengan skripsi di atas. Jika skripsi pertama fokus
konsep ibnu sabil dan musafir serta implikasinya terhadap pelaksanaan hukum
9
salat qashar bagi anak indekos menurut imam mazhab yang empat (Hanafiyah,
E. Metode Penelitian
Dari segi metode penelitian hukum, dengan melihat objek dari penelitian
ini tertuju pada penelitian suatu putusan, maka kajian ini termasuk pada penelitian
hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, yang dimaksud
dengan penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis yang
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 14.
8
Sudarman Damin, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), Cet. 1, h.
51.
10
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder.
Data Primer dalam penelitian inia dalah hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta
hadits, seperti: Sahih Muslim karya Imam Muslim al-Naisaburi, Sahih al-Bukhari,
karya al-Bukhari dan kitab-kitab fikih ibadah, dan lain-lain. Dan hasil wawancara
para ulama Mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang menjama′ salat dalam kondisi
macet.
seluruh data proses ulama Mudzakarah MUI DKI Jakarta terhadap penetapan hasil
Mudzakarahnya Tahun 2015, tentang jama′ salat dalam kondisi macet. Dan
9
J. Moelang, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997), h.
112-116.
11
yang lebih mudah dibaca dan diinterpensikan, atau mudah dipahami dan
dan dilakukan analisa terhadap Dalil Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang
Jama′ Salat Dalam Kondisi Macet dengan hasil yang diperoleh penulis baik dari
c. Teknik Penulisan
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dilakukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012.
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
10
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.
224.
12
penelitian seluruh tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian
Bab II meliputi pengertian salat jama′, dasar hukum salat jama′, waktu-
salat jama′,
Dalam Bab III ini diuraikan penjelasan mengenai sejarah singkat MUI
MUI DKI Jakarta tentang hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet,
BAB V PENUTUP
penulisan.
BAB II
A. Pengertian Salat
َ - صلَّى
Salat berasal dari kata ًصالَة َ ُ ي- صلَّى
َ yang berarti berdoa dan
tersusun dari beberapa perkataan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan
takbir dan disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang
ditentukan.2
3
.أقوال وأفعال مفتتحة بالتكرب حمتتمة بالتّسلم يتعبّد هبا بشرائط خمصوصة
Pengertian ini mencakup semua salat yang diawali dengan takbiratul ihram
1
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), Edisi ke. 2, h. 792.
2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 64.
3
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Salat, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), h. 62.
4
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 9.
14
15
Jamaʹ secara bahasa berasal dari kata يَجْ َم ُع – َج ْمعًا- َج َم َعyang berarti
mengumpulkan atau melaksanakan dua salat yang dikerjakan pada satu waktu,
Misalnya: antara salat Zuhur dengan Asar dikerjakan pada waktu Zuhur
saja atau dikerjakan pada waktu asar saja.Salat jamaʹ ini dibedakan menjadi dua
macam yaitu jamaʹ takdîm dan jamaʹ takhîr. Yang dimaksud dengan jamaʹ takdîm
yaitu mengumpulkan dua salat yang dikerjakan sekaligus di waktu salat yang awal.
Seperti mengumpulkan salat Zuhur dan Asar yang dikerjakan di waktu Zuhur atau
sekaligus di waktu salat yang terakhir. Seperti mengumpulkan salat Zuhur dan
Asar yang dikerjakan di waktu Asar atau mengumpulkan salat Maghrib dan Isya
ditentukan, yaitu salat Zuhur dengan Asar dan salat Maghrib dengan Isya. Jadi
salat yang boleh dijamaʹ adalah semua salat fardhu kecuali salat Subuh, salat
Subuh harus dilakukan pada waktunya. Itu sudah menjadi kesepakatan ulama
tidak boleh menggabungkan dua salat lainnya seperti salat malam digabungkan
5
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), Edisi ke. 2, h. 208.
6
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet. 2, h. 35.
7
Alimin Koto el-Majid, TuntunanSafar, (Jakarta: Sahara Publishers,
2006), h. 218
8
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 205.
16
dengan salat siang, dan salat siang digabungkan dengan salat malam. Salat Zuhur
dan salat Asar adalah salat siang, sedangkan salat Maghrib dan Isya adalah salat
malam.9 Demikian dari itu maka tidak boleh menggabungkan dua salat lainnya,
misalnya salat Subuh dengan Zuhur, dan salat Asar dengan Maghrib, atau salat
Para ulama semuanya sepakat bahwa menjamaʹ dua salat itu disyariatkan
dalam agama Islam.Khususnya salat Zuhur dijamaʹ dengan salat Asar dan salat
Maghrib dijamaʹ dengan salat Isya. Dasar disyariatkanya salat jamaʹ ini memang
penulis menemukan banyak sekali keterangan tentang hadis jamaʹ salat ini. Salah
satunya yaitu jamaʹ salat yang dilakukan oleh Rasulullah Sallallāhū „Alaihi
عن جابر قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلمفأتى بطن الوادي فخطب الناس مث
(رواه.أذن مث أقامفصلى الظهر مث أقام فصلى العصر ومل يصل بينهما شيئا
11
)مسلم
9
Ali Raghib, Ahkam al-Shalah, Penerjemah Abdillah al-Fakih dan Mu‟tashim, Ahkamus
Shalah dilengkapi dengan Hukum-Hukum Seputar Puasa, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 199.
10
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat, (Jakarta: CU Publishing, 2010), h.
289.
11
Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Afaq, t.th), Juz.
4, h. 39.
17
كانرسول اهلل صلى اهلل عليو وسلميجمع:عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال
(رواه.بني صالة الظهروالعصرإذا كان على ظهر وجيمع بني املغرب والعشاء
12
)البخارى
Artinya:“Dari Dan dari Ibnu Abbas radhiyallāhu „anhu berkata: Bahwa
Rasulullah SAW menggabungkan antara salat Zuhur dan Asar apabila
ada dalam perjalanan, dan menggabungkan antara Maghrib dan
Isya.”(HR.Al-Bukhori).
كان رسول اهلل صلى اهلل عليو:عن انس عن ابن عمر رضي اهلل عنهما قال
ّالشمس أ ّخر الظهر اىل وقت العصر مث ّ -وسلمإذا رحل قبل أن تزيغ –متيل ظهرا
13
) (رواه البزار.نزل جيمعبينهما فإن زاغت قبل أن يرحتل صلّى الظهرمث ركب
Artinya:”Dari Anas, dari Ibnu Umar Radiyallāhu „Anhumā berkata; Bahwasanya
apabila Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wassalam, berangkat (untuk
bepergian) sebelum tergelincir matahari (sebelum masuk waktu Zuhur),
maka Baginda melewatkan salat Zuhur ke dalam waktu Asar, kemudian
singgah di suatu tempat dan melakukan jamaʹ kedua salat itu. Jika
tergelincir matahari (masuk waktu Zuhur) sebelum berangkat, maka
dilakukan salat Zuhur dan kemudian berangkat. (HR. al-Bazzar).
12
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar al-Syu‟b, 1987), Jilid. 2,
h. 57.
13
Abu Bakar al-Bazzar, Musnad al-Bazar, (Madinah: Maktabah al-Ulum, 2009), Juz. 13,
h. 26.
18
Dalam hal ini, maka tidak dijumpai sebuah riwayatpun dari Nabi
salat selain salat diatas, yaitu selain salat Zuhur dengan salat Asar dan salat
diperbolehkan dalam salat jamaʹ itu hanya salat fardhu empat waktu. Yaitu Zuhur,
Asar, Magrib dan Isya. Jika dilihat dari segi waktu kapan boleh dikerjakan salat
1. Jamaʹ Takdîm, yaitu jika kedua salat yang dilakukan dengan jamaʹ dikerjakan
pada waktu yang pertama, misalnya salat Zuhur dan Asar dikerjakan di waktu
Zuhur atau diantara salat Magrib dan salat Isya dikerjakan di waktu Magrib.
Salat jamaʹ takdîm mempunyai syarat yang harus dipenuhi, antara lain:17
14
Ali Raghib, Ahkam al-Shalah, Penerjemah Abdillah al-Fakih dan Mu‟tashim, Ahkamus
Shalah dilengkapi dengan Hukum-Hukum Seputar Puasa, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 200.
15
Hasan, Tafsir Ibadah, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), h. 69.
16
Abdul Fatah dan Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h.
75.
17
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 210.
19
b. Niat menjamaʹ dalam salat yang pertama. Disyaratkan bahwa niat itu berada
c. Berturut-turut antara dua macam salat. Yaitu sekiranya tidak dipisah antara
memulai salat yang kedua, maka menjamaʹ tidak sah. Sebab telah hilang
penyebabnya.
f. Salat yang pertama diduga telah sah. Apabila salat yang pertama adalah
salat jum‟at dilakukan ditempat salat jumat yang secara terbilang bukan
dan mana yang bersamaan, maka tidak sah menjama salat Asar bersamanya
2. Jamaʹ Takhîr, adalah jika kedua salat yang dilakukan dengan jamaʹ dikerjakan
pada waktu yang kedua. Yaitu dikerjakan diwaktu Asar atau Magrib, seperti
halnya jamaʹ takdîm, dalam salat jamaʹ takhîr juga mempunyai syarat-syarat
18
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 211.
20
a. Niat mengakhirkan pada waktu salat yang pertama selama waktunya masih
tersisa mencukupi untuk salat secara sempurna atau qashar. Namun apabila
salatnya menjadi salat qada, jika ia tidak bisa menunaikan satu rakaat dalam
hukumnya haram.
Apabila musafir menjadi orang yang mukim sebelum itu maka yang
dengan Asar dan Magrib dengan Isya, secara takdîm maupun takhîr. Sedang salat
Subuh tetap harus dikerjakan pada waktunya. Demikian itu jika didapatkan salah
Para Ulama sepakat bahwa menjamaʹ takdīm antara salat Zuhur dengan
salat Asar ketika di Arafah dan menjamaʹ takhir antara salat Maghrib dengan
19
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 212.
20
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap dkk, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2011), Cet. 3, h. 508.
21
والذى ال إلو غريه ما صلى رسول اهلل صلى:عن ابن مسعود رضي اهلل عنو قال
اهلل عليو وسلم صالة قط إالّ يف وقتها إالّ صالتني مجع بني الظهر والعصر بعرفة
22
)(رواه الرتمذى.وبني املغرب والعشاء مبزدلفة
Artinya:“Dari Ibnu Mas‟ud Radiyallāhu „Anhumā berkata: Aku bersumpah
yang tiada Tuhan selain Allah bahwa Rasulullah Sallallāhu „Alaihi
Wassalam tiada mendirikan salat selain dikerjakan pada waktunya,
kecuali dua jenis salat, yaitu: menjamaʹ salat Zuhur dan Asar ketika di
Arafah dan salat Maghrib dan Isyā ketika di Muzdalifah. (HR. al-Tirmizi).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara para Ulama para Imam
bahwa jamaʹ antara Zuhur dan Asar sebagai jamaʹ takdîm dalam waktu Zuhur
di Arafah dan diantara magrib dan Isya sebagai jamaʹ takhîr dalam waktu Isya
Hanafiyah melarang menjamaʹ salatnya dalam satu waktu antara dua salat
a. Menjamaʹ salat Zuhur dan Asar pada waktu Zuhur secara takdîm, dengan
haji.
21
IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th), Juz. 1, h.
170.
22
Abu Īsa al-Tirmidzī, al-Jāmī‟ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, (Beirut: DarIhyā al-Turāts
al-Arabi, t.th.), Juz. 4, h. 232.
23
Mahmoud Saltout, Alial-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 66.
24
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 213.
22
Muslimin.
4) Salat Zuhur yang dilakukan adalah sah, apabila salat Zuhur jelas telah batal
b. Menjamaʹ salat maghrib dan Isya di waktu Isya secara takhir dengan memenuhi
syarat yaitu, menjamaʹ salat itu di Muzdalifah dan ketika berihrām haji.25
dengan jamaʹ takdîm maupun dengan jamaʹ takhîr. Para fuqaha (Maliki,
jamaʹ takhîr.26 Berdasarkan hadis dari Mu‟adz yang diriwayatkan oleh Abu
إن النيب صلَّى اهلل عليو وسلم كان يف غزوة تبوك إذازاغت:عن معاذ قال
الشمس قبل أن يرحتل مجع بني الظهر والعصر وإذا ارحتل قبل أن تزيغ الشمس
أخر الظهر حىت ينزل للعصرويف املغرب مثل أن غابت الشمس قبل أن يرحتل
مجع بني املغرب والعشاءوأن ارحتل قبل أن تغيب الشمس أخر املغرب حىت ينزل
25
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 213.
26
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Baitussalam Billy Moon, 2013), Jilid. 1, h. 372.
23
.) (رواه ابوداود والرتمذى وقال ىذا حديث حسن.للعشاء مث نزل فجمع بينهما
27
)(رواه أبوداود والرتمذى
Artinya:“Dari Mu‟adz berkata;” Bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam
sewaktu perang tabuk, selalu menjamaʹ salat Zuhur dengan Asar bila
berangkatnya itu sebelum matahari tergelincir, maka salat Zuhur
diundurkan beliau, dan dirangkapnya sekali dengan Asar. Begitu pula
dengan salat Maghrib, yaitu kalau beliau berangkat sesudah matahari
terbenam dijamaʹ nya Maghrib dengan Isya. Tetapi kalau berangkatnya
itu sebelum matahari terbenam diundurkannyalah Maghrib itu sampai
Isya dan jamaʹnya dengan salat Isya. (diriwayatkan oleh Abu Daud serta
Tirmidzi yang menyatakan bahwa hadis ini adalah hadis hasan)”.
Dalam hal bepergian ini ada syarat yang harus ada dalam perjalanan
a. Niat Safar
Yang dimaksud dengan niat safar yaitu seseorang memang sengaja untuk
perjalanan jauh. Bepergian secara mutlak, baik bepergian dalam jarak boleh
yang tidak diharamkan dan tidak dimakruhkan. Misalnya: para pemburu yang
cukup jauh, bila memang tidak berniat melakukan safar sejak awal maka
27
Abu Īsa al-Tirmidzī, al-Jāmī‟ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 2, h.
438.
28
Muhammad Anis Sumaji, 125 Masalah Salat, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2008), h. 168.
29
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat, h. 289.
24
Imam Malik, Syafi‟i, Ahmad dan ulama lain berpendapat bahwa jarak
bolehnya salat qashar adalah empat burud, yaitu jarak perjalanan tidak cepat
dan tidak lambat selama sehari semalam.30 Ketentuan ini berdasarkan pada
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallāhu „anhu
keduanya bahwa:
: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم:وعن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال
(رواه.ال تقصرواالصالة ىف أدىن من أربعة برد من م ّكة إىل عسفان
31
)البيهقي
Artinya:“Dan dari Ibnu Abbas radhiyallāhu „anhu, berkata; Rasulullah
Sallallāhu Alaihi Wassalama bersabda: „janganlah kamu mengqashar
salat pada jarak kurang dari empat burud, (misalnya) dari Mekah ke
Usfan”.(HR. al-Baihaqi).
salat dua rakaat serta berbuka jarak empat burud dan lebih dari itu. Karena,
pada jarak tersebut sering muncul kesulitan perjalanan, sedang jarak kurang
عن عمر رضي اهلل عنو قال إن رسول اهلل عليو وسلم كان يقتصر يف الثمانية
33
)عشر ميال (رواه مسلم
30
IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 167.
31
al-Baihaqi, al-Sunan al-Qubro, (Makkah: Maktabah Dar al-Batz, 1994), Juz. 3, h. 137.
32
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2010), Jilid. 2, h. 428.
33
Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Afaq, t.th), Juz.
2, h. 145.
25
Bakar Ibnu Mundzir menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat.34 Akan tetapi
pendapat yang kuat pada dasarnya tidak ada batasan jarak yang pasti. Kecuali
yang disebut safar dalam bahasa arab. Nabi tidak akan lupa menjelaskan hal
tersebut apabila ada kepastian jarak, dan para sahabatpun tidak akan lupa
Ahmad bin Hanbal dan lainnya mengatakan minimal berjarak 4 burud (16
farsakh). Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama
dengan 3 mil, 1 mil itu 3500 hasta, sama dengan 89 km untuk detailnya yaitu
88,704 km.35
menjamaʹ salat yaitu minimal perjalanan 3 hari. Maka angka itu kalau kita
Dasar dari pengguna masa waktu tiga hari ini adalah hadis Nabi Sallallāhu
34
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk,h. 500.
35
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 428.
36
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat, h. 32 .
26
perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadis tentang
عن علي كان رسول اهلل صلَّى اهلل عليو وسلم يأمرنا أنيمسح املقيم كمال يوم
38
) (رواه ابن أىب شيبة.وليلة واملسافرثالثة أيام ولياليها
Artinya:“Dari Ali;Bahwa Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wasallam“seorang
yang bermukim boleh mengusap sepatunya sehari dan semalam penuh,
sementara musafir tiga hari tiga malam.(HR. Ibn Abi Syaibah).
عن عبداهلل بن عمر عن النىب صلى اهلل عليو وسلّم قالالحيل المرأة تؤمن باهلل
39
) (رواه مسلم.واليوم اﻵخر أن تسافرمسرية ثالث ليل إالّ ومعها حمرم
Artinya:“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wasallam
bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dari hari
akhir bepergian sejauh tiga malam kecuali bersama mahram”. (HR.
Muslim).
Pendapat Ketiga: sedangkan Zahiri mengatakan tidak ada batasan minimal.
Yaitu berapapun jaraknya yang penting sudah masuk kriteria safar atau
perjalanan.40
37
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 427.
38
Ibnu Abi Syaibah, al-Musonnaf, (Riyad: Maktabah al-Rusydi,
1409), Jilid. 1,h. 162.
39
Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, Jilid. 4, h. 424.
40
IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 168.
27
عن حيي بن يزيد قالسألت أنس بن مالك عن قصر الصالة فقال أنس كان
النىب صلى اهلل عليو وسلم إذا خرج مسرية ثال ثة أميال أو فراسخ يصل
41
) (راوه مسلم وأمحدوأبوداود والبيهقي.ركعتني
Artinya:”Dari Yahya bin Yazid berkata saya bertanya kepada Anas bin Malik
perihal mengqasar salat. Lalu Anas bin Malik berkata: Rasulullah
Sallallâhu „Alaihi Wasallam melaksanakan salat dua rakaat
(mengqasar salat) kalau sudah keluar sejauh tiga mil atau tiga
farsakh”. (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan al-Baihaqi).
: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم:وعن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال
42
) (رواه البيهقي.ال تقصروالصالة ىف أقل من أربعة برد من م ّكة إىل عسفان
Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata:”Qashar shalat dalam
Dari Ibnu Umar Radiyallâhu „anhu, dan Ibnu Abbas Radiyallâhu „anhu
mengqasar salat dan buka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd yaitu
yaitu 4 burd yaitu 16 farsakh. Karena, pada jarak tersebut sering muncul
kesulitan perjalanan.43
Begitulah yang dijelaskan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
41
Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, Juz. 1, h. 481.
42
al-Baihaqi, al-Sunan al-Qubro, (Makkah: Maktabah Dar al-Batz, 1994), Juz. 3, h. 137.
43
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 428.
28
perjalanan sehari semalam. Ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan
unta normal. Setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16
farsakh, angka ini kalau kita konversikan di masa sekarang setara dengan jarak
88, 656 km. Ada juga yang menghitung menjadi 88,705 km.44 Pendapat inilah
yang diyakini mayoritas ulama seperti Imam Malik, Imam al-Syafi‟i dan Imam
Mengqashar salat dalam keadaan safar itu sudah boleh dilakukan meski
belum mencapai jarak yang telah ditetapkan. Asalkan sejak awal niatnya
Salat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah keluar dari kota
atau wilayah tempat tinggal, tetapi belum boleh dilakukan ketika masih
dirumahnya.46
صلّيت الظهر مع رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم:عن أنس بن مالك قال
47
)(رواه مسلم.باملدينة أربعا وصليت معو العصر بذي احلليفة ركعتني
Artnya:“Dari Anas bin Malik berkata,”Aku salat Zuhur bersama Rasulullah
Sallallāhu „Alaihi Wasallam di Madinah 4 rakaat, dan salat Ashar
bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR. Muslim)”.
44
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan Bab 3 tentang Salat, h. 78.
45
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 428.
46
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap dkk,h. 502. Dalam
bukunya Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, menerangkan bahwa menurut Imam Malik orang yang
hendak bepergian tidak boleh mengqashar salatnya sebelum meninggalkan daerahnya (kampung
halamanya).
47
Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, Juz. 2, h. 144.
29
Para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah batas waktu musafir boleh
Menurut Maliki dan Syafi‟i yaitu, apabila musafir sudah niat tinggal di
salatnya.
49
)(البيهقي.إنو عليو الصالة والسالم أقام مبكة ثالثا يقصر ىف عمرتو
Artinya:“Sesungguhnya Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam tinggal di Mekah 3
hari dan beliau mengqasar salat dalam melakukan umrah”.(HR. al-
Baihaqi).
Menurut Imam Ahmad dan Abu Daud, apabila musafir sudah berniat
salatnya.
Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Daud mengatakan apabila seorang
musafir berniat tinggal selama lebih dari empat hari, maka ia bukan sebagai
48
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Baitussalam Billy Moon, 2013), h. 384-385.
49
al-Baihaqi, al-Sunan al-Qubro, Juz. 2, h. 504.
50
IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 169.
30
غزوت مع النيب صلى اهلل عليو وسلم عام:عن ابن عباس رضياهلل عنهما قال
51
) (رواه أبو داود.الفتح فأقام مبكة سمسة عشر يقصر الصالة
Artinya:“Dari Ibnu Abbas Radiyallāhu anhu berkata: Aku berperang bersama
Rasulullah pada saat penaklukan kota Makkah, maka beliau bermukim di
Makkah selama 15 hari beliau meringkas salat. (HR. Abu Dawud).
أقام النيب صلى اهلل عليو وسلم تسعة عشر:عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال
يصلى ركعتني) فنحن إذا سافرنا تسعة عشر قصرا و إن زدنا:يقصر (وىف راوية
52
) (رواه البخارى.أمتمنا
Artinya:“Dari Ibnu Abbas Radiyallāhu anhhu, dia berkata:” Nabi Sallallahu
„Alaihi Wasallam (ketika pergi ke Makkah) mengqashar salat selama
19 hari (di dalam riwayat lain): salat 2 rakaat), sehingga ketika kami
bepergian selama 19 hari, maka kami selalu mengqashar salat, dan
ketika waktunya melebihi dari waktu tersebut, maka kami
menyempurnakannya (HR.al-Bukhari).
mengqiyaskan dengan batasan dalam masalah lain, dinilai para fuqaha tidak
mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu para fuqaha tidak memperkuat
Menurut Ibnu Rusyd, bahwa yang benar adalah memilih satu di antara dua
metode, yaitu:53
51
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (T.tp: Dar al-Fikr, tth), Juz. I, h.
392.
52
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar al-Syu‟b, 1987), Jilid. 1,
h. 367.
53
Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 170.
31
2) Yang diambil adalah waktu yang paling sedikit, yaitu yang sudah disepakati
para fuqaha. Kalau Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam tinggal melebihi waktu
tersebut dan mengqasar salatnya, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan:
b) Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam tinggal di tempat itu dalam waktu selama
tinggal di tempat itu selama itu dan menghendaki Nabi Sallallāhu „Alaihi
Salat qashar dapat dilakukan dengan syarat perjalanan ituyang sejak awal
Sedangkan safar yang sejak awalnya sudah diniatkan untuk hal-hal yang haram
dan tidak diridhoi Allah SWT, tidak diberikan keringanan untuk mengqashar
salat. Karena, perjalanan merupakan sebab adanya keringanan dan tidak dapat
mazhab Hanafi yang mengatakan apapun tujuan safar, baik perjalanan ibadah,
54
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 430.
55
Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 168.
32
salat tidak disyaratkan perjalanan yang mubah. Bahkan menurut mazhab Imam
Abu Hanifah wajib menqashar salatnya atas setiap orang yang melakukan
perbuatan dosa.57
menerangkan bahwa:
عن ابن عباس إن النىب صلى اهلل عليو وسلم مجع بني املغرب والْعشاء يف ليلة
58
) (رواه البخاري.مطرة
Artinya:”Dari Ibn Abbas, Bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam menjamaʹ
antara salat Maghrib dengan salat Isya pada suatu malam turun hujan
lebat.”(HR. Al-Bukhari).
56
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 433.
57
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 191.
58
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid. 1, h. 143.
33
Dalam hal ini dikalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat. Yaitu,
ulama Syafi‟iyah mengatakan, yang dibolehkan hanyalah jamaʹ takdîm baik salat
Zuhur dengan salat Asar maupun salat Maghrib dengan salat Isya. Dengan syarat
hujan turun ketika membaca takbiratul ikhram pada salat yang pertama hingga
selesai dan hujan masih berlangsung ketika hendak memulai salat yang kedua.59
salat Maghrib dengan salat Isya di Masjid disebabkan hujan yang telah akan turun
dan terdapat banyak lumpur di tengah jalan disertai dengan gelapnya malam.
takdîm atau takhîr antara Maghrib dan Isya yang diselenggarakan dengan jamaʹ ah
di Masjid.60
Keringanan ini hanya diberikan secara khusus kepada orang yang salat
berjamaʹ ah di Masjid dan letak rumahnya jauh, hingga dengan turunnya hujan
Sedangkan orang yang tinggal di lingkungan masjid, dan orang yang salat
payung untuk melindungi dirinya dari hujan atau rumahnya berdekatan dengan
59
al-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Penerjemah Khairul Amru Harahap dkk, Fiqh
Sunnah, h. 511.
60
Malikul Adil, Ilmu Fiqh 1, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/ IAIN
di Pusat, 1982), h. 182
61
al-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap dkk, Fiqh
Sunnah, h. 512.
34
menerangkan bahwa:
عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قاجلمع رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم بني
الظهرو العصرواملغرب والعشاء باملدينة يف غري خوف وال مطر قيل البن عباس
62
) (رواه مسلم.ماذا أراد بذلك؟ قال أراد ال حيرج أمتو
kepada kebolehan menjamaʹ salat karena sakit atau hal lain yang sejenis.
Disamping itu mereka juga beralasan, bahwa kesukaran karena sakit lebih berat
berbagai macam halangan sampai orang yang sedang dalam ketakutan pun
62
Muslim al-Nīsāburī, Sahih Muslim,Juz. 2, h. 152.
63
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, h.
375.
35
dapat melakukan jamaʹ . Mereka membolehkan jamaʹ bagi seorang Ibu yang
menyusui anaknya, jika merasa sulit mencuci pakaian setiap kali ketika mau
salat.Juga istihadhah (keluar darah penyakit), ini merupakan salah satu alasan
masyaqqah khusus untuk safar. Dalam hal ini Imam Haramain menganggap
ulama telah ijmaʹ tidak membolehkan jamaʹ lantaran sakit, demikian juga
Namun anggapan ijmaʹ dari kedua beliau itu adalah tidak benar. Sebab
segolongan dari sahabat kita (Imam Syafi‟i) dan lain-lainnya ada yang
dan Ahmad bin Hanbal memberi pengertian hadis tersebut kepada kebolehan
menjamaʹ salat karena sakit atau hal lain yang sejenis. Ibnu Abbas sendiri telah
melakukan jamaʹ lantaran sakit, kemudian ada seorang dari Bani Tamim yang
ingkar kepada beliau, lalu beliau berkata kepadanya “Apakah kau akan
tentang apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Abbas, karenanya lalu saya
64
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk, h. 512.
65
Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni al-Damasqi al-Syafi‟i, Kifayatul
Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, (Damaskus: Dar al-Khair, 1994 H), Juz. 1, h. 37.
36
ternyata Abu Hurairah membenarkan ucapan Ibnu Abbas”. Dalam kitab shahih
Muslim ini terdapat riwayat bahwa Nabi saw. telah melakukan salat jamaʹ di
berpendapat bahwa yang dipilih oleh Imam Nawawi tersebut telah ditegaskan
oleh Imam Syafi‟i pendapat inipun menjadi kuat bila ditinjau dari segi logika.
karena sakit.67
Imam Nawawi juga berkata, dari segi dalil, pendapat ini kuat.” Dalam al-
Mughni disebutkan bahwa sakit yang membolehkan jamaʹ adalah jika setiap
Disamping itu mereka juga beralasan bahwa kesukaran karena sakit lebih
berat dari pada kesukaran karena hujan.69Sakit seperti sakit perut atau lainnya
maka dibolehkan melakukan jamaʹ shuury70 dan hal ini bagi orang sakit tidak
عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قاجلمع رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم بني الظهرو العصرواملغرب والعشاء باملدينة يف غري خوف وال مطر قيل البن عباس66
) (رواه مسلم.ماذا أراد بذلك؟ قال أراد ال حيرج أمتو
Dalam kitabnya Muslim al-Nīsāburī, Sahih Muslim,Juz. 2, h. 152.
67
Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni ad-Damasqi Asy Syafi‟i, Kifayatul
Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, (Damaskus: Dar al-Khair, 1994 H), Juz. 1, h. 38.
68
al-Mughni, lihat juga al-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Penerjemah Khairul Amru
Harahap dkk, Fiqh Sunnah, h. 512.
69
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, h.
375.
70
Jamaʹ ‟ shuury yaitu seseorang melakukan salat fardhu yang lebih awal pada akhir
waktunya dan salat fardhu kedua pada awal waktunya.
37
Kemudian seseorang yang takut bila ia pingsan, pusing atau demam ketika
masuk waktu salat yang kedua yaitu asar atau isya maka ia boleh memajukan
salat yang kedua itu pada waktu salat pertama. Ini boleh menurut pendapat
yang lebih kuat. Jadi kesimpulannya yaitu bagi orang yang sakit bila itu hal
yang lebih meringankan untuknya dan karena bila ia akan takut kehilangan
rumah lantaran adanya hajat (suatu keperluan) yaitu bagi orang yang tidak
dan al-Syasyi dari golongan Syafi‟iyah dibolehkan menjamaʹ salat karena ada
suatu keperluan, asal tidak dijadikan suatu kebiasaan.73 Hadis Ibnu Abbas
bahwa Nabi saw. salat di Madinah delapan rakaat dan tujuh rakaat, yaitu Zuhur
dan Asar, Maghrib dan Isya. Pendapat ini juga diperkuat oleh pernyataan Ibnu
Wasallam:
71
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 452.
72
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk, h. 513.
73
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, h.
376.
38
عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال مجع رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلمبني
الظهر والعصر واملغرب والعشاء باملدينة يف غري خوف وال مطر قيل البن عباس
74
) (رواه مسلم.ماذا أراد بذلك؟ قال أراد أن ال حيرج أمتو
dan perkataan Ibnu Abbas ketika ditanya tentang maksud hadits tersebut, lalu
setiap kali ingin salat. Wanita-wanita yang sedang istihadhoh, Keadaan ini
membolehkan menjamaʹ bagi orang yang sedang sibuk bekerja. Dan bahkan
74
Muslim al-Nīsāburī, Sahih Muslim, Juz. 2, h. 150.
75
Mahmoud Saltout, Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 73.
39
salat jumat dan jamaʹ ah, seperti takut bahwa dirinya, kehormatannya ataupun
meninggalkan salat jamaʹ . Ini khusus untuk para pekerja, petani ladang yang
mengurus irigasi pada saat gilirannya. Akan tetapi meninggalkan jamaʹ salat itu
lebih utama.78
Menjamaʹ takdīm antara Zuhur dan Asar. Dan menjamaʹ takhir antara
salat atau orang sakit yang akan kepayahan apabila ia meninggalkan salat
secara jamaʹ atau seperti seorang wanita yang sedang istihadhoh. Dan orang-
orang yang tidak dapat mengetahui kapan waktu salat dengan pasti, maka
dengan itu orang tersebut harus melakukan jamaʹ seperti orang yang buta.
Dan jika melakukannya menurut yang terbaik untuknya, baik itu takdîm
maupun takhîr maka itu lebih baik. Semua udzur diatas dapat menyebabkan
76
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk, h. 512.
77
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, h. 116.
78
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk, h. 512.
79
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 457.
40
Dengan demikian sebab-sebab yang telah dituliskan oleh para ulama maka
kepada umat Islam dalam melaksanakan ibadahnya. Oleh karena itu terimalah
keringanan (rukhshah) yang telah diberikan Allah kepada kita, diwaktu kita
Wata‟ālām suka dan senang kepada orang yang mau menerima keringanan
yang telah diberikan kepadanya, sebagaimana ia suka kepada orang yang tidak
pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Oleh karena itu, keberadaan
setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi oleh
masyarakat.
Kelahiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta lahir pada
tanggal 13 Februari 1975 (1 Shafar 1395 H), ini merupakan sejarah yang unik,
karena ia lahir 5 bulan lebih awal dari pada MUI Pusat. Sementara MUI Pusat
lahir pada tanggal 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tangal 26 juli 1975.1
1
Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarna, (Jakarta: INIS, 1993), h.
56.
41
42
Pada bulan Oktober 1962 MUI Pusat pernah berdiri atas instruksi
pemerintah pusat. Pada saat itu, MUI turut ambil bagian dalam pembangunan ala
Demokrasi Terpimpin. Pada saat Soekarno turun dari kursi kepresidenannya, MUI
terkenal kuat, misalnya Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan,
organisasi MUI tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya.2
MUI muncul hampir bersamaan dengan dua kondisi politik yang paradoks
akibat kekhawatiran Orde Baru terhadap kelompok politik Islam. Di sisi lain,
kebutuhan Orde Baru untuk mendapatkan dukungan politik dari kalangan Islam
hangat di berbagai daerah. Terlebih lagi, ia mendapat dukungan dari Rabithah al-
2
A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta Yang Heterogen, (Provinsi DKI Jakarta: Program Majelis Ulama Indonesia, 2014-2015),
h. 1.
43
Islami Karachi, dimana Natsir menjadi wakil ketua organisasi Islam internasional
itu3
(PDII) yang dibentuk Menteri Agama dengan SK No. 108/1969. karena atas
PDII. Lembaga yang diketuai KH. Moh. Ilyas, kemudian H. Sudirman, ketua
Letnan Jenderal Sudirman, Badan ini merupakan badan setengah resmi di mana
Dibentuk atas dasar keputusan suatu seminar da‟wah bulan Juni 1969 di Fakultas
Amaliyah Sosial Umat Islam dalam Masyarakat, dan Partisipasi Alim Ulama
mendirikan “lembaga fatwa”. Mereka mengusulkan agar lembaga fatwa itu terdiri
dari alim ulama dan cendikiawan muslim terpilih, yang memiliki pengetahuan
3
A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta Yang Heterogen, h. 2.
4
Lilih Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1983), h. 135.
44
lembaga fatwa tersebut menjadi tidak independen ; menjadi alat pemerintah untuk
lembaga fatwa itu sebenarnya merupakan refleksi peran ulama dan sama sekali
melibatkan para ulama dan tokoh Islam. Pertemuan tersebut untuk mendiskusikan
gagasan akan pentingnya suatu majelis ulama yang menjalankan fungsi ijtihad
kolektif dan memberikan masukan dan nasehat keagamaan kepada pemerintah dan
Salah satu gagasan muncul dari sebuah makalah yang dipresentasikan oleh
1964) tentang pentingnya melakukan ijtihad kolektif. Buya Hamka, yang juga
menjadi penyaji makalah saat itu, dengan keras menolak gagasan tersebut,
Soeharto agar memilih seorang mufti yang akan memberikan nasehat kepada
pemerintah dan umat Islam Indonesia. Karena muncul kontroversi, maka tidak ada
5
A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta Yang Heterogen, h. 3.
45
Namun saran tersebut baru mendapat tanggapan pada tahun 1974 ketika
bagi juru dakwah muslim Indonesia. Dari pertemuan itu disepakati bahwa
pembentukan majelis ulama harus diprakasai ditingkat daerah. Dan hal ini
dan adanya kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat
Akhirnya pada masa orde baru desakan untuk membentuk semacam majelis ulama
nasional nampak begitu jelas. Pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah dengan
pembentukan majelis ulama tingkat nasional. Panitia itu terdiri dari Jenderal
(Purn) H.Sudirman,selaku ketua dan tiga orang ulama selaku penasehat, yaitu: Dr.
Hamka, K.H. Abdullah Syafi‟i dan K.H. Syukri Ghazali. Tepat pada tanggal 21-
6
A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta yang Heterogen, h. 4-5.
7
Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarna, h. 54-55.
46
peserta terdiri dari wakil-wakil majelis ulama daerah yang baru dibentuk, para
wakil pengurus pusat sepuluh organisasi Islam yang ada di Indonesia, sejumlah
ulama bebas (yang tidak mewakili organisasi tertentu) dan empat orang wakil
rohaniawan Islam ABRI. Dan pada akhir Muktamar, tanggal 26 Juli 1975 tersebut
kelompok dan golongan Islam yang ada. Ulama yang tergabung dalam MUI
memiliki citra baru, sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan moral terhadap
semua kekuatan politik dalam mengawal dan memelihara kelurusan aqidah umat.
Mayoritas fatwa dan nasihat MUI pun diterima PPP, Golkar, dan PDI.
seluruh Indonesia tanggal 26 s/d 29 Nopember 1974 yang diadakan Pusat Dakwah
pembangunan.
segera membentuknya. Targetnya, pada bulan Mei 1975, di seluruh daerah tingkat
8
Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarna, h. 56.
47
Ketua Umum MUI DKI Jakarta demikian pula Sekretaris Umumnya. Periode
Hadzami dipilih kembali sebagai Ketua Umum untuk dua periode, dengan
MUI DKI Jakarta periode 2000-2005 dibantu Sekretaris Umum Drs. H.Zainuddin.
Kyai Mursyidi terpilih lewat Musyawarah Daerah pada tahun 1999. Pada tanggal
9 April 2003, KH. Mursyidi wafat dan posisinya digantikan KH. Ahmad Syatibi
(2003). Tetapi belum sampai satu tahun menjabat sebagai Ketua Umum MUI,
beliau juga wafat dan jabatan Ketua Umum diteruskan oleh KH. Mansyuri Syahid
9
A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk, Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta yang Heterogen, h. 8.
48
dalam MUSDA ini, KH. Munzir Tamam, MA ditetapkan sebagai Ketua Umum
MA terpilih kembali sebagai Ketua Umum untuk memimpin MUI DKI Jakarta
kepengurusan MUI DKI Jakarta yang lama yang membuat MUI Pusat turun
tersebut. Namun, karena upaya mediasi mengalami jalan buntu, MUI Pusat
kemudian mengganti kepengurusan MUI DKI Jakarta yang lama dengan yang
MUI Provinsi DKI Jakarta yang dipercepat tersebut diselenggarakan hanya satu
hari pada hari Rabu, 2 September 2013 di Gedung MUI Pusat Jl. Proklamasi,
Menteng Jakarta Pusat. Dari Musda yang dipercepat tersebut, Tim Formatur
K.H. A. Syarifuddin Abdul Ghani, MA sebagai Ketua Umum dan K.H. Zulfa
10
A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk, Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta yang Heterogen, h. 9.
11
A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta Yang Heterogen, h. 10.
49
1975 M.
Jakarta.12
dari mata air. Sedangkan menurut istilah adalah mengeluarkan makna-makna dari
12
MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1992, (Jakarta:
MUI DKI Jakarta, 1992), hal 5.
50
potensi naluriah).
Tujuan penetapan hukum tersebut di atas supaya hukum syara‟ yang belum
ditegaskan oleh nash al-Qur‟an dan al-Hadis dapat diketahui dengan melalui
terdiri dari para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten dan
Untuk itu, lembaga ini dengan seluruh anggotanya selalu berpegang pada dasar-
dasar yang sudah baku dan menjadi aturan yang dijadikan pedoman penetapan
fatwa.
Program acara Mudzakarah ini merupakan salah satu hasil dari bagian
penetapan fatwa. Dalam menetapkan fatwa harus mengikuti tata cara dan prosedur
tertentu yang telah disepakati oleh para ulama, termasuk dalam hal penggunaan
dasar yang menjadi landasan hukum dalam penetapan fatwa. Penetapan fatwa
yang tidak mengindahkan tata cara dan prosedur yang ada merupakan salah satu
Dalam hal ini para ulama mengelompokkan sumber atau dalil syara‟ yang
dapat dijadikan dasar penetapan fatwa menjadi dua kelompok, yakni: dalil-dalil
13
Kamal Muhtar, Ushul Fiqh Jilid II, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995), h. 5.
51
hukum yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan dasar penetapan fatwa
dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa.
Para ulama juga telah menjelaskan apa saja dalil-dalil hukum yang
Ijmaʹ, dan Qiyas. Sebagaimana para ulama juga telah menyebutkan dalil-dalil
hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa, yakni: al-
زَعتُمأ فِي ُىل َوأُوْ لِي أٱۡلَمأ ِر ِمن ُكمأۖۡ فَئِن تَنَ أ َ ُىا ٱل َّرس ْ ٱّللَ َوأَ ِطيع ْ يََٰٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ َٰٓى ْا أَ ِطيع
َّ ُىا
َٰٓ ٱّللِ َو أٱليَ أى ِم أ
ر َوأَ أح َس ُنٞ ٱۡل ِخ ِر َذلِكَ خَ أي َّ ُِىل إِن ُكنتُمأ تُ أؤ ِمنُىنَ ب َّ َش أي ٖء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى
ِ ٱّللِ َوٱل َّرس
٩٥ ت أَأ ِو ًيل
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kalian berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur‟an)
dan Rasul (as-Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Disamping ayat tersebut diatas, para ulama yang mempunyai pendapat
bahwa al-Qur‟an, Sunnah, Ijmaʹ dan Qiyas merupakan dasar penetapan fatwa para
ulama, juga mendasarkan pendapatnya pada hadis Mu‟adz bin Jabal ketika diutus
14
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising,
2008), h. 55.
52
Sunnah, Ijmaʹ dipandang sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dalam
dalam menetapkan suatu fatwa. Sedangkan qiyas tidak demikian, karena dalam
hukum yang ada dalam al-Qur‟an, sunnah, dan Ijmaʹ, serta memerlukan adanya
„illat yang ada pada hukum asal.16 Dengan demikian dalil qiyas sifatnya tidak
independen dengan dalil yang bersifat naqli, terikat dengan ashl yang terdapat
15
Ahmad bin Hambal Abu„Abdullah al-Syaibani, Musnad bin Hambal, (Kairo:
Muassashah Qurtubah, t.th), Juz. 5, h. 242.
16
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 57.
53
penetapan fatwa yang tertuang dalam prosedur penetapan fatwa pada 1986, yang
pada tahun 1997, diganti menjadi “Pedoman Tata Cara Penetapan Fatwa Majelis
Prosedur Penetapan Fatwa MUI” Tahun 2001”. Lalu pedoman ini disempurnakan
kembali pada forum Ijtimaʹ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia I pada tahun 2003.
beberapa hal yang menjadi dasar dan metode penetapan fatwa MUI, yaitu dalam
1) Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur‟an, sunnah (hadits), Ijmaʹ, dan Qiyas,
2) Aktifitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga fatwa
1) Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para Imam
adanya.
17
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta:
Sekretariat MUI, 2010), h. 5.
18
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta:
Sekretariat MUI, 2010), h. 8.
54
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa
(SKF).19
pengambilan hukum disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber
dengan tindak lanjut dan rekomendasi atau jalan konsekuensi dari SKF
tersebut.
Majelis Ulama Indonesia, secara hierarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama
19
Fuad Thohari,Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da‟i, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia
Provinsi DKI Jakarta, 2012), h. 104.
55
Meskipun ada hierarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa
yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa
yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa
berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya namun ketika keputusan
MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka
kedua pihak bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan
C. Mudzakarah
1. Pengertian Mudzakarah
mufaa‟alatan”, yaitu kata kerja yang dilakukan bukan oleh perorangan tapi
secara interaksi. Yang dalam hal ini mudzakarah memiliki arti saling
mengingatkan, yaitu semacam buah dari nasihat.22 Arti lain yang senada
dengan itu ditulis oleh Muhammad Yunus yaitu mengingatkan, belajar bersama
20
Muaz, “Metode Penetapan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta”, Artikel diakses pada 08
Maret 2016 dari http://www.Muidkijakarta.or.id/2014/12/23/Metode-Penetapan-Fatwa-MUI-
Provinsi-DKI-Jakarta.html.
21
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 134.
22
Syaikh Abdullah shoefie, “Rambu-Rambu dalam Musyawarah dan mudzakarah”,
Artikel diakses pada 08 Maret 2016, dari http://www.al-ulama.net/2009/03/18/rambu-
rambudalammusyawarahdanmudzakarah.html.
56
tanpa guru.23 Metode mudzakarah adalah suatu cara yang digunakan dalam
Sebagaimana yang telah ditulis oleh media yang tertera dalam website
MUI DKI Jakarta pada 15 Desember 2015, Program Mudzakarah MUI adalah
sebuah program baru yang diselenggarakan oleh MUI DKI Jakarta yang
mengatakan bahwa MUI Harus berada di posisi strategis dan dirasakan oleh
23
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 1973), h. 134.
24
Nanda,“ Mudzakarah Ulama Program Baru MUI DKI Jakarta yang Strategis”, Berita
diakses pada 08 Maret 2016 dari http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/12/mudzakarah-ulama-
program-baru-mui-dki-yang-strategis/.html.
BAB IV
rujukan teks-teks Islam klasik sejatinya bukan perkara mudah. Terlebih bila
ikhtiar itu dilakukan oleh para ulama dan umara serta berlangsung di Ibukota
Sebagaimana yang dilaporkan dalam website MUI DKI Jakarta, MUI DKI
2015 di tempat kediaman ketua MUI DKI Jakarta yaitu di Basmol, Kembangan
Utara. Acara ini tampak begitu dinamis dan menggugah, pasalnya para peserta
dalam membedah dua perkara yang menjadi tema penting dalam mudzakarah hari
itu. Yaitu pembahasan tentang alokasi dana bazis yang diberikan kepada non-
muslim yang faqir lagi miskin dan juga membahas tentang salat jamaʹ dalam
kondisi macet. Komisi yang fokus dalam pembahasan menjamaʹ salat dalam
kondisi macet dipimpin oleh K.H. Mishbahul Munir berlangsung dengan khidmat.
Para peserta sepakat ihwal kebolehan menjamaʹ salat dalam kondisi macet. Hanya
1
Muaz, “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret 2016 dari:
http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-jakarta.html.
58
59
saja perlu diatur lebih lanjut metode istidlal yang dipakai dan kaifiyat (tata cara)
pelaksanaannya.2
salat ketika macet dengan jarak dekat adalah terdapat beberapa pertanyaan yang
dekat di tengah kemacetan yang parah terutama bagi penduduk Jakarta dan
ماقولكم فيمن ابتلى يف سفره مع قرب ادلسافة بالزمحة الشديدة ال سيما سكان
جاكرتا وحواليها ىل جيوزلو مجع الصالة اعتماداعلى مارواه مسلم من "ان رسول
اهلل صلى اهلل عليو وسلم مجع الصالة يف ادلدينة من غري سفر وال مرض "فهذا
فإن قلتم، ىل يصلح لالحتجاج دلثل ىذه ادلسئلة،احلديث إن كان صحيحا
3
بعدم اجلواز فهل إيل خروج من سبيل؟
Apa pendapat majelis Mudzakarah tentang orang yang mendapat kesulitan
didalam perjalanan jarak dekat di tengah kemacetan yang parah terutama bagi
menjama‟ salat di Madinah tidak dalam perjalanan dan tidak dalam keadaan
sakit.”
2
Muaz, “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret 2016 dari:
http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-jakarta.html.
3
Muaz, “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret 2016 dari:
http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-jakarta.html.
60
2. Apakah sekalipun hadits ini shahih patut untuk dijadikan dalil dalam masalah
ini?
3. Jika majelis mudzakarah berpendapat tidak boleh, maka apakah ada jalan
حدثنا حيي بن حيي قال قرأت على مالك عن أيب الزبري عن سعيد بن جبري
صلى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم الظهر والعصر:عن ابن عباس قال
4
)مجيعا وادلغرب والعشاء مجيعا يف غري خوف وال سفر (رواه مسلم
Artinya:“Diceritakan dari Yahya bin Yahya, (dia) berkata telah saya bacakan
kepada Malik dari Abi Zubair dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia
berkata: Rasulullah SAW. menjama salat zuhur dan asar, serta maghrib
dan isya tidak dalam keadaan takut dan bepergian. (HR. Muslim).
وحدثنا أمحد بن يونس وعون بن سالم مجيعا عن زىري قال ابن يونس حدثنا
صلى رسول اهلل:زىري حدسنا أبو الزبري عن سعيد بن جبري عن ابن عباس قال
قال.صلى اهلل عليو وسلم الظهر والعصر مجيعا بادلدينة يف غري خوف وال سفر
أبو الزبري فسألت سعيدا مل فعل ذلك؟ فقال سألت ابن عباس كما سألتين فقال
5
)أراد أن ال حيرج أحدا من أمتو (رواه مسلم
Artinya:“Diceritakan dari Ahmad bin Yunus dan „Aun bin Salam, keduanya
dari Zuhair. Berkata Ibn Yunus diceritakan dari Zuhair diceritakan dari
Abu Zubair dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah
SAW. menjama salat zuhur dan asar, tidak dalam keadaan takut (khawf)
dan bepergian. Abu Zubair berkata: maka aku menanyakan kepada Said
mengapa Rasulullah melaksanakan hal tersebut? Ia Saidmenjawab, aku
telah bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana pertanyaanmu, dan ia
4
Muslim al-Naisabūrī, Shahih Muslim, Juz. 2, h. 151.
5
Muslim al-Naisabūrī, Shahih Muslim, Juz. 2, h. 151.
61
menjamaʹ salat dalam kondisi macet, karena ada hajat, tapi dengan catatan
Dengan kata lain, bagi yang sudah terbiasa dalam kondisi macet maka
tetap tidak boleh melakukan jamaʹ. Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda:
"من مجع بني: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: قال،عن ابن عباس
الصالتني من غري عذر فقد أتى بابا من أبواب الكبائر" (رواه احلاكم يف
6
)ادلستدراك
2. Dengan jawaban No.1 maka pertanyaan nomor 2 sudah terjawab, yakni hadis
6
Al-Hakim al-Naisabūrī, al-Mustadrok, (Bairut: Dar al-Ma‟rifah, t.th),
Juz. 1, h. 275.
62
disarikan dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet tim mudzakarah MUI DKI Jakarta
ayat di atas ialah, Allah swt tidak membebani kalian dengan sesuatu yang tidak
mampu kalian lakukan, melainkan Allah swt pasti menjadikan jalan keluar dan
keringanan didalamnya.8
7
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung:
Diponegoro, 1995), hal. 523.
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
hal. 134.
9
Abd al-Kafi al-Subkiy, al-Asybah wa al-Nadza‟ir, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah,
1991), Cet. 1, h. 48.
63
ىو حممول على اجلمع بعذر ادلرض أو حنوه دما ىو يف معناه:و منهم من قال
واختاره، وىذا قول أمحد بن حنبل والقاضي حسني من أصحابنا،من األعذار
وىو ادلختار يف تأويلو لظاىر احلديث،اخلطايب وادلتويل والروياين من أصحابنا
وذىب، وألن ادلشقة فيو أشد من ادلطر،ولفعل إبن عباس وموافقة أيب ىريرة
وىو،مجاعة من األئمة إىل جواز اجلمع يف احلضر للحاجة دلن ال يتخذه عادة
وحكاه اخلطايب عن القفال والشا،قول إبن سريين وأشهب من أصحاب مالك
شي الكبري من اصحاب والشافعي عن أيب إسحاق ادلروزي عن مجاعة من
أراد أال: واختاره ابن ادلنذر ويؤيده ظاىر قول إبن عباس،أصحاب احلديث
10
. فلم يعللو مبرض وال غريه و اهلل أعلم،حيرج أمتو
Artinya:“Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa memungkinkan
untuk menjamaʹ salat dengan sebab udzur, sakit atau udzur-udzur lainya,
ini adalah pendapat Ahmad bin Hambal dan Qodi Husain dari golongan
Syafi‟i dan dipilih oleh al-Khaththabiy dan Muttawali dan al-Ruyani dari
golongan Syafi‟i. Pendapat ini dipilih berdasarkan ta‟wil dari tekstual
hadis dan apa yang dilakukan Ibnu Abbas yang sesuai dengan Abu
Hurairah, karena masyaqqah dalam hal ini lebih parah dari pada hujan.
Segolongan Imam berpendapat diperbolehkan menjamaʹ salat di rumah
karena suatu kebutuhan dan tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Ini
adalah pendapat Ibnu Sīrīn dan Asyhab dari golongan Maliki, dan
dicerikatan oleh al-Khatabi dari al-Qofal dan Al-Syasyi, al-Kabir dari
golongan Syafi‟i dari Abu Ishak al-Marwazi dari segolongan ahli hadis.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Mundzir dan ia menguatkannya dengan
tekstual pendapat Ibnu Abbas.” Rasulullah tidak ingin menyulitkan
umatnya. Maka beliau tidak membuat sulit dengan keadaan sakit atau
yang lainya. Sesungguhnya Allah adalah dzat yang lebih mengetahui”.
(HR. Muslim)”
10
Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1415 H),
Juz. 3, h. 236.
64
4) Bughyatul Murtasyidin:
وظاىر، لنا قول جبواز اجلمع يف السفر القصري اختاره البندينيجي:) (فائدة
وحكى اخلطايب عن أيب إسحاق،احلديث جوازه ولو فيحضر كما يف شرح مسلم
وبو قال ابن، وإن مل يكنخوف وال مطر وال مرض،جوازه ىف احلضر للحاجة
11
.ادلنذراىـ قالئد
Artinya:“Faidah: Dalam kalangan Syafi‟iyyah terdapat pendapat yang
memperbolehkan menjamaʹ salat dalam perjalanan jarak dekat. Pendapat
ini dipilih olehal-Bindanijiy. Zhahir hadis (terkait) memperbolehkannya
menjamaʹ salat meskipun dalam keadaan mukim (tidak saat bepergian)
sebagaimana yang dijelaskan dalam syarah Muslim. Sedangkan al-
Khaththabiy menceritakan dari Abi Ishaq bahwa beliau memperbolehan
menjamaʹ salat bagi mukim (tidak saat bepergian) atau hadhar jika ada
desakan kebutuhan (lil hājah), meski tidak ada ketakutan (khawf), hujan,
ataupun sakit. Pendapat ini (juga) yang dikemukakan oleh Ibnu al-
Mundzir.
5) Raudhatuttalibin
قلت القول جبواز اجلمع بادلرض ظاىر خمتار فقد ثبت يف صحيح مسلم أن النيب
صلى اهلل عليو وسلم مجع بادلدينة من غري خوف وال مطر وقد حكى اخلطايب
عن القفال الكبري الشاشي عن أيب إسحاق ادلروزي جواز اجلمع يف احلضر
للحاجة من غري اشرتاط اخلوف وادلطر وادلرض وبو قال ابن ادلنذر من أصحابنا و
12
.اهلل أعلم
Artinya:“Pendapat yang memperbolehkan jama salat karena sakit telah
dipilih dengan jelas. Telah ditetapkan dalam shahih Muslim bahwa
Rasulullah SAW. menjamaʹ salat di Madinah tidak dalam keadaan perang
ataupun hujan. Al-Khaththabiy menceritakan dari al-Qofal, al-Kabir, Al-
Syasyi dari Abu Ishak al-Mawardzi tentang kebolehan menjamaʹ salat
dalam keadaan mukim untuk suatu kebutuhan tanpa syarat dalam
keadaan takut (khawf) ,hujan atupun sakit. Ini adalah pendapat Ibnu
11
Abdurrahman bin Muhammad Ba‟alawi, Bugyatul Mustarsyidin, (Dar al-Fikr: tp, t.th),
Juz. 1, h. 160.
12
Al-Nawawi, Raudhlatuttalibin, (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1405
H), Juz. 1, h. 401.
65
6) Al-Majmu‟:
:(فرع) يف مذاىبهم يف اجلمع يف احلضر بال خوف وال سفر وال سفر وال مرض
مذىبنا ومذىب أيب حنيفة ومالك وأمحد واجلمهور أنو ال جيوز وحكى ابن ادلنذر
13
.عن طائفة جوازه بال سبب قال وجوزه ابن سريين حلاجة أو م مل يتخذه عادة
Artinya:“Mazhab kami (Syafi‟i) dan Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan jumhur
tidak diperbolehkan. Ibnu Mundzir mencerikatan dari suatu golongan,
diperbolehkan tanpa sebab. Ibnu Sīrīn memperbolehkan karena suatu
kebutuhan dan tidak menjadikanya kebiasaan”.
B. Analisis Dalil Hukum yang digunakan MUI DKI Jakarta dalam Hasil
oleh MUI DKI Jakarta. Dalil-dalil tersebut diambil dari al-Qur‟an, hadis, dan
qa‟idah fiqhiyah.
1. Dalil al-Qur‟an
Dalam hal menjamaʹ salat MUI DKI Jakarta menggunakan salah satu
٨٧ ِّيه ِم ۡه َح َرج
ِ َو َما َج َع َل َعلَ ۡي ُكمۡ فِي ٱلد
13
Al-Nawawi, al-Majmu‟ Syarah al-Muhadzab, (Dar al-fikr: tt.p, tth),
Juz. 4, h. 384.
66
Artinya:“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj 78).
Dari ayat ini Imam al-Qurtubhi menjelaskan bahwa ayat ini dapat
masuk ke dalam berbagai bidang hukum, dan ayat inipun termasuk sesuatu
yang Allah Subhānahū Wata‟ālā berikan kepada umat ini secara khusus.14
salatnya, kata َح َرجdalam ayat ini diartikan kesempitan. MUI DKI Jakarta
menggunakan ayat ini sebagai dalil, karena seseorang yang sedang terjebak
keluar dari keadaan tersebut hingga waktu salat pada saat itu habis. Kehabisan
waktu salat dalam kemacetan hingga akhirnya tidak dapat menunaikan salat
tepat waktu, inilah kesempitan yang dimaksud. Maka dengan kesempitan yang
semacam ini, MUI DKI Jakarta menggunakan ayat ini untuk membolehkan
menjamaʹ salat.
14
Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Penerjemah Ahmad Khotib, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), Cet. 1, h. 254-255.
67
1. Dalil Hadis
Ada beberapa hadis yang digunakan oleh MUI DKI Jakarta dalam
membolehkan menjamaʹ salat karena macet. Pertama, hadis dari Ibnu Abbas
وحدثنا أمحد بن يونس وعون بن سالم مجيعا عن زىري قال ابن يونس حدثنا
صلى رسول اهلل:زىري حدسنا أبو الزبري عن سعيد بن جبري عن ابن عباس قال
قال.صلى اهلل عليو وسلم الظهر والعصر مجيعا بادلدينة يف غري خوف وال سفر
أبو الزبري فسألت سعيدا مل فعل ذلك؟ فقال سألت ابن عباس كما سألتين فقال
15
)أراد أن ال حيرج أحدا من أمتو (رواه مسلم
Artinya:“Diceritakan dari Ahmad bin Yunus dan „Aun bin Salam, keduanya
dari Zuhair. Berkata Ibn Yunus diceritakan dari Zuhair diceritakan dari
Abu Zubayr dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah
SAW. menjamaʹ salat Zuhur dan Asar, tidak dalam keadaan takut (khawf)
dan (alasan) perjalanan. Abu al-Zubayr RA berkata: Aku menanyakan
kepada Sa‟id mengapa Rasulullah melaksanakan hal tersebut? Ia
Saidmenjawab, aku telah bertanya kepada Ibnu „Abbas sebagaimana
pertanyaanmu, dan ia menjawab Rasulullah tidak ingin menyulitkan
seorangpun dari umatnya”.(HR. Muslim).
Hadis ini bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dan al-Tirmidzi yang menyatakan bahwa kebolehan menjamaʹ salat itu hanya
ketika bepergian.
إن النيب صلَّى اهلل عليو وسلم كا َن يف غزوة تبوك إذازاغت:عن معاذ قال
الشمس قبل أن يرحتل مجع بني الظهر والعصر وإذا ارحتل قبل أن تزيغ الشمس
أخر الظهر حىت ينزل للعصرويف ادلغرب مثل أن غابت الشمس قبل أن يرحتل
مجع بني ادلغرب والعشاءوأن ارحتل قبل أن تغيب الشمس أخر ادلغرب حىت ينزل
15
Muslim al-Naisabūrī, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Afaq, t.th),
Juz. 2, h. 151.
68
.) (رواه ابوداود والرتمذى وقال ىذا حديث حسن.للعشاء مث نزل فجمع بينهما
16
)(رواه أبوداود والرتمذى
Artinya:“Dari Mu‟adz berkata;” Bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam
sewaktu perang tabuk, selalu menjamaʹ salat Zuhur dengan Asar bila
berangkatnya itu sebelum matahari tergelincir, maka salat Zuhur
diundurkan beliau, dan dirangkapnya sekali dengan Asar. Begitu pula
dengan salat Maghrib, yaitu kalau beliau berangkat sesudah matahari
terbenam dijamaʹ nya Maghrib dengan Isya. Tetapi kalau berangkatnya
itu sebelum matahari terbenam diundurkannyalah Maghrib itu sampai
Isya dan jamaʹnya dengan salat Isya. (diriwayatkan oleh Abu Daud serta
al-Tirmidzi yang menyatakan bahwa hadis ini adalah hadis hasan)”.
matan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim bertentangan dengan hadis yang
hadis ini tidak bertentangan. Hadis yang membolehkan menjamaʹ salat hanya
umatnya agar umatnya tidak merasa kesulitan dalam menjalankan salat ketika
„Alaihi Wasallam menjamaʹ salat tidak sedang dalam safar dan tidak dalam
keadaan takut merupakan sebuah isyarat bahwa suatu saat hambanya dapat
merasakan kesulitan untuk melaksanakan salat dengan alasan lain, yaitu alasan
selain dalam keadaan safar dan ketakutan. Keadaan tersebut sudah terjadi
tidak memenuhi syarat-syarat safar dan juga tidak dalam keadaan takut, akan
tetapi ia tidak dapat menjalankan salat karena tidak dapat keluar dari
16
Al-Tirmidzī, al-Jamī‟ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 2, h. 438.
69
menjalankan salat, dapat difahami bahwa salah satu maksud hadis tersebut
Selain itu, kedua hadis tersebut dimaksudkan Nabi agar umat Islam tidak
baik dalam keadaan safar ataupun tidak, dengan artian bahwa ada alasan lain
yang membuat umat Islam sulit dalam mengerjakan salat. Meskipun demikian,
kemudahan ini tidak untuk dijadikan suatu kebiasaan. Karena tetap saja bahwa
alasan yang menyulitkan, maka umat Islam harus tetap melaksanakan salat
tepat pada waktunya. Berdasarkan hadis tersebut, maka sudah tepat jika tim
salat dalam kondisi macet, karena ada hajat, tapi dengan catatan tidak dijadikan
kebiasaaan dan juga tidak direncanakan. Dengan kata lain, bagi yang sudah
terbiasa dalam kondisi macet maka tetap tidak boleh melakukan jamaʹ.
Salah satu yang menjadi dasar MUI DKI Jakarta dalam hasil
17
Muhammad Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor:
Ulil Albab Institute, 2010), h. 75.
70
Sedangkan al-taisir berasal dari kata يُبَ ِّس ُر- يَ َّس َرsecara bahasa berarti
setidaknya ada tujuh macam yaitu: sebab safar, (bepergian), sebab keadaan
Naqshu).22
18
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2004), h. 77.
19
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 1973), h. 201.
20
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 509.
21
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif
Fiqh, h. 84.
22
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), Cet. 1, h. 56-
57.
71
Dalam kaidah ini ada beberapa bentuk dispensasi syar‟i yang diterapkan
salat Asar diwaktu Zuhur atau salat Isya diwaktu Maghrib ketika melakukan
jamaʹ takdîm antara salat Zuhur dan Asar atau Maghrib dan Isya karena dalam
salat Zuhur diwaktu Asar atau Salat Maghrib diwaktu Isya ketika dalam
perjalanan (safar).23
melaksanakan salat bagi orang yang benar-benar tidak mampu melakukan salat
pada waktunya. Tetapi bagi orang yang sanggup melaksanakan salat tepat pada
pelaksanaannya. Tidak boleh diubah-ubah dan memiliki batas awal dan batas
ٗ ُصلَ ٰوةَ َكاو َۡت َعلَى ۡٱل ُم ۡؤ ِمىِيهَ ِك ٰتَبٗ ا َّم ۡوق
)101/4/ )النساء٣٠١ وتا َّ إِ َّن ٱل
Artinya:“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman”.
23
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif
Fiqh, h. 103.
72
Tetapi supaya tidak membuat susah umat Nabi Muhammad SAW. terdapat
salah satu rukshah/keringanan yang Allah berikan kepada umat Muslim adalah
Jakarta.
Dalam hal ini para ulama yang menghadiri mudzakarah MUI DKI Jakarta
jika seorang mukallaf masih memiliki waktu luang untuk melaksanakan salat
pada waktunya, maka lakukanlah salat sesuai dengan waktu yang sudah
24
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk,h. 508.
73
DKI Jakarta tidak terlepas dari berbagai pandangan ulama-ulama MUI DKI
Jakarta. Hal ini mendorong penulis untuk menggali ilmu dan informasi dari
Penulis telah mewawancarai K.H. Syarifuddin Abdul Ghani selaku ketua MUI
DKI Jakarta dan Dr. Fuad Tohari, MA, selaku sekretaris MUI DKI Jakarta. Dalam
hal ini penulis akan memaparkan pertanyaan beserta jawaban hasil wawancara
Pada hari itu penulis mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan
hasil mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang menjamaʹ salat dalam kondisi
macet.
dalam keadaan musafir, tidak hujan, dan tidak takut dan tidak karena khauf.
Sekalipun orang Syiah melakukan itu, orang Syiah salatnya ada tiga waktu
saja Maghrib dan Isya dijamaʹ, Zuhur dan Asarpun dijamaʹ. Mayoritas ulama
mengatakan tidak boleh dijamaʹ. Karena ketika Nabi menjelaskan tentang
waktu salat setelah Nabi kembali dari perjalanan relijinya ke langit, itu yang
menunjukan waktunya limit-limit. Musafir boleh dijamaʹ memang ada
ketentuan sendiri.....”
Menanggapi hal tersebut, penulis mengajukan pertanyaan apakah lantas
macet tidak bisa diqiyaskan seperti keadaan musafir? Lalu beliau juga
menjawab:
“...Qiyas itu harus ada „illat jami‟ah. „Illat jamiah itu bisa dipakai kalau ada
maslahahnya, orang mengatakan macet itu sama dengan musafir „illatnya
karena sama-sama masyaqqah, ketika kita baca ushul fiqh masyaqqah itu
tidak bisa dijadikan sebagai masalah „illat, karena „illat itu harus pasti.
Sedangkan masyaqqah itu tidak man‟ut (tidak pasti) sehingga sebagian orang
mengatakan itu masyaqqah sebagian tidak, masyaqqah ini tidak bisa dijadikan
sebagai „illat untuk mengqiyas macet dengan musafir. Kalau begitu salat
ketika macet tidak bisa diqiyas ke musafir. Karena masalah „illatnya tidak
kena. Dalam kitab Jam‟ul jawami‟25 umpamanya masyaqqah (kesulitan) itu
tidak bisa dijadikan sebagai masāliku al-ʹillat karena apa, karena ʹillat itu
harus pasti. Masalah „illat jamiah baena safar. karena tidak bisa diqiyas maka
dalam keadaan macet harus kembali ke hukum asal yaitu salat pada
waktunya. Contohnya adalah gara-gara macet kita tidak bisa melakukan salat
pada waktu nya maka kita harus Qadha‟. Ada ulama (Ibnu Sirrin)
mengatakan boleh menjama sekalipun tidak dalam keadaan musafir tapi
jangan djadikan sebagai sebuah kebiasaan. Artinya biasanya sedang macet
tapi dalam kondisi tertentu yaitu macet total dan tidak bisa salat pada
waktunya Ibnu Sirrin dalam hal ini boleh dijamaʹ asal tidak \dijadikan sebagai
sebuah kebiasaan. Tapi kalau memang orang yang kerja setiap hari, dan biasa
dalam kondisi macet, maka dia tidak boleh menjamaʹ karena itu dijadikan
sebagai sebuah kebiasaan.
25
Abdul Wahhab bin Ali as-Subki, Jam‟ul Jawāmi Fii Ushūl Fiqh, (Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmiyah, 1424), Juz. II, h. 82. Lihat juga Darul Azka dkk. Jam‟u al-Jawāmi Kajian dan
Penjelasan dua Ushul, Lirboyo: Santri Salaf Press, 2014), Cet. I, h. 198. Hukum Ashli (hukum
kasus asal) adalah hukum yang telah ditetapkan terhadap kasus asal, baik berdasarkan al-qur‟an,
al-hadis maupun ijma‟. Salah satu syarat hukum ashal yaitu: hukum ashl tetap tidak berdasarkan
qiyas, atu versi lain juga ijma‟. karena jika tetap berdasarkan qiyas, maka apabila „illatnya satu,
qiyas kedua tidak menjadi berfungsi, karena sudah ducukupkan dengan qiyas far‟u pada ashal
yang pertama. Dan jika „illatnya berbeda, maka qiyas tidak sah dilakukan, karena antara far‟u dan
ashl tidak ada titik temu dalam aspek „illat hukumnya.
75
Ghani kalau tidak bisa dijadikan kebiasaan itu boleh jamaʹ, asal tidak
Tol tidak menemukan Rest Area, atau tidak ada Mushala atau Masjid,
bagaimana kita mencari masjid di tol dan macet total. dan dalam kondisi ini
maka boleh menjama salatnya. Sekalipun dekat dan tida mungkin dalam
waktunya maka boleh menjamaʹ salat. Bukan karena musafi, hujan, dan khauf
asal tidak bisa dijadikan kebiasaan. Tidak ada ulama membolehkan kecuali
Ibnu Sirrin.26
Sekretaris MUI DKI Jakarta pada tanggal 22 April 2016 di Kampus I UIN
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada hari itu penulis mengajukan
juga beberapa pertanyaan yang sama dengan yang diajukan kepada Ketua MUI
26
Hasil wawancara Pribadi dengan K.H. Syarifuddin Abdul Ghani, (Ketua MUI DKI
Jakarta) Pada 30 Desember 2015 di Kediamannya yang terletak di kp. Basmol Jakarta Barat.
76
DKI Jakarta berkaitan dengan hasil mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang salat
“Pertama menjamaʹ salat (menggabung dua waktu salat pada satu waktu), pada
waktu awal yaitu jamaʹ ta‟dim dan dilakukan pada waktu yang keduan yaitu
jamaʹ ta‟khir itu boleh dilakukan jika ada sebab. Sebab untuk menjamaʹ yang
situasinya normal yaitu: 1. Karena bepergian 2. Karena sakit 3. Karena cuaca
yang tidak normal, misalnya hujan lebat, salju, atau 4. Karena ibadah haji
(linusuk). Itu yang dulu dirumuskan para ulama fikih setelah melihat apa yang
dilakukanakan oleh nabi/ yang dipraktekan nabi. Jadi nabi menjamaʹ salat
karena alasan tersebut. jamaʹ salat yang karena sebab-sebab tersebut, itu
gunanya untuk menghilangakan masyaqqah, masyaqah itu sesuatu yang
menyulitkan/memberatkan, masyaqqah itulah yang menjadi „illat (alasan)
kenapa kita boleh pindah dari melakukan kewajiban yang sifatnya azimah
pindah mengambil rukhsah (keringanan).
Dari sebab-sebab boleh menjamaʹ salat tadi ada alasan tambahan,
misalnya: karena penyebabnya bepergian minimal jarak yang ditempuh adalah
ada yang mengatakan minimal itu jaraknya 16 farsakh, 1 farsakh=3 mil,
dengan demikian 16x3= 48 mil. 1 mil= kurang lebih 12.000 telapak kaki,
kalau diukur dengan jalan kaki itu kalau diukur 2 hari. Dengan demikian
masyafatul qashri (masafah untuk bisa menjamaʹ qashar kalau diukur dengan
kilo, jaraknya 94,5 km. Mayoritas ulama fikih minimal jarak yang bisa yang
menjadi sebab boleh menjama ʹ salat 120 km. Kalau orang itu menjamaʹ salat
karena hujan lebat, itu sebetulnya berlaku bagi orang yang memang biasa
melakukan salat jamaah, kalau orang tersebut tidak pernah melakukan salat
jamaah tidak berhak mengambil rukhsah tersebut, dan tempatnya ini di Masjid.
Kemudian karena sebab ibadah haji, nabi mempraktekan kalau posisinya
setelah wukuf di Arafah kemudian mabid di Muzdalifah maghrib dan Isya, nabi
memilih menjamaʹ takhir. Jadi salat magrib dan Isya di Muzdalifah dengan
jamaʹ takhir. Kalau pada waktu mabid di Mina, nabi memilih jamaʹ takdim.
Bagaimana jika yang menjadi „illat (alasan) menjamaʹ itu kemudian
ditempatkan menjadi sebab , dia melakukan menjamaʹ salat karena macet
misalnya, mayoritas ulama termasuk apa yang diputuskan dalam mu‟tamar NU
tidak membolehkan menjamaʹ salat karena macet.
Cara mengatasinya bagaimana dalam keadaan seperti ini, yaitu dengan
cara apabila seseorang mengetahui salat itu waktunya sudah masuk dia salat
sekedar lil hurmah al waqt (sekedar menghormati waktu) salat sudah tiba.
Kemudian nanti setelah sampai ditujuan, karena salat ini tidak bisa dilakukan
secara normal, misalnya: posisinya dalam kendaraan dalam kondisi macet
apabila dia posisinya tidak mempunyai wudhu dalam kondisi hadas, yaitu niat,
takbiratul ihram semampunya ruku sampai salam, dan nanti kalau sampai
tujuan baru di ulang („ada) yaitu dengan salat secara sempurna. Tetapi kalau
77
27
Abdurrahman bin Muhammad Ba‟alawi, Bugyatul Mustarsyidin, Juz. 1, h.
160.“Faidah: Dalam kalangan Syafi‟iyyah terdapat pendapat yang memperbolehkan menjamaʹ
salat dalam perjalanan jarak dekat. Pendapat ini dipilih oleh al-Bindanijiy. Zhahir hadis (terkait)
memperbolehkannya menjamaʹ salat meskipun dalam keadaan mukim (tidak saat bepergian)
sebagaimana yang dijelaskan dalam syarah Muslim. Sedangkan al-Khaththabiy menceritakan dari
Abi Ishaq bahwa beliau memperbolehan menjamaʹ salat bagi mukim (tidak saat bepergian) atau
hadhar jika ada desakan kebutuhan (lil hājah), meski tidak ada ketakutan (khawf), hujan, ataupun
sakit. Pendapat ini (juga) yang dikemukakan oleh Ibnu al-Mundzir”.
78
menurut Fuad Tohari tidak diperbolehkan, lebih baik salatnya dikerjakan seperti
biasanya dengan salat lil hurmah al waqt (sekedar menghormati waktu) yaitu
niat salat, kemudian niat takbiratul ikhram, membaca fatihah dan seterusnya
lokasi yang dituju dan memungkinkan salat dengan secara normal salat tersebut
dikerjakan dan diulang lagi salatnya yaitu namanya i„ada. Sedangkan kalau
diqadha‟salatnya.
Namun yang menjadi catatat penting dalam tulisan ini, penulis menggaris
bawahi hadis dari riwayat Imam al-Tirmidzi bahwa menjamaʹ salat dalam
28
Hasil wawancara Pribadi dengan Dr. Fuad Tohari, MA. ( Sekretaris MUI DKI Jakarta)
Pada 22 April 2016 di Kampus I UIN Jakarta.
79
dengan alasan bahwa menjamaʹ salat tanpa sebab berarti seseorang telah
mendatangi pintu-pintu dari dosa besar. Dalam hal ini penulis juga mengambil
kondisi macet dengan alasan hadis pertama dari riwayat Ibnu Abbas ra. namun
tidak dijadikan kebiasaan menurut riwayat Ibnu Sirrin atas dasar bahwa
ini catatat terpenting adalah jika seorang mukallaf menjamaʹ salat tanpa sebab
apapun yaitu seperti di Arafah dan Muzdalifah, dalam keadaan bepergian atau
safar, keadaan hujan, keadaan sakit, ada suatu keperluan hajat, juga dalam hal
mukallaf tidak mampu melaksanakan salat tepat pada waktunya, maka seorang
mukallaf tersebut telah mendatangi pintu-pintu dosa besar. Dengan kata lain
syar‟i atau alasan yang telah disebutkan oleh Rasulullah SAW. dan ijmaʹ para
ulama.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian dan kajian terhadap hadis yang dijadikan dalil oleh tim
macetadalah:
1. Dalil yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta dalam
menjamaʹ salat dalam kondisi macet disesuaikan dengan dalil al-Qur’an dari
dijadikan kebiasaan dan hal ini diperkuat oleh Ibnu Sirin, ulama Madzhab
2. Penjelasan ulama yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta
dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet ialah ada
dalil yang digunakan berbeda. Namun dalam menjamaʹ salat dalam kondisi
80
81
B. Saran
1. Kepada seluruh umat Islam hendaklah beriman dan bertaqwa kepada Allah
dalam hal ini hadis yang berkualitas shahih yang dapat dijadikan sebagai
ditemukan dalil yang kuat sehingga menghasilkan hukum yang relevan dan
kuat pula.
3. Bagi seorang mukallaf yang biasa dalam kondisi macet ketika pulang kerja
4. Bagi para cendekia yang meneliti hadis guna memahami makna hadis,
hendaklah di dukung dengan ilmu lain, seperti, bahasa, sejarah, sosial, agar
5. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari dengan sepenuh hati belum
sampai pada batas maksimal, dan merupakan suatu kehormatan jika ada
82
83
Sumaji, Muhammad Anis. 125 Masalah Salat. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2008.
Al-Syafi‟i, Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni ad-Damasqi,
Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Juz. 1. Damaskus: Darul
Khair, 1994 H.
Al-Syaibani, Ahmad bin Hambal Abu „Abdullah. Musnad bin Hambal, Juz. 5.
Kairo: Muassashah Qurtubah, t.th.
Al-Sya‟rawi, Muhammad Muttawally Tafsir Āyāt al-Ahkām, Jilid. 1. Cairo: al-
Maktabah al-Taufiqqiyah, t.th.
Syarifudin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh, Cet. 2. Jakarta: Prenada Media, 2005.
85
Thohari, Fuad. Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’i. Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia Provinsi DKI Jakarta, 2012.
Al-Tirmidzī, Abu Īsa. al-Jāmī’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 2. Beirut: Dar
Ihyā al-Turāts al-Arabi, t.th.
Al-Tirmidzī, Abu Īsa. al-Jāmī’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 4. Beirut: Dar
Ihyā al-Turāts al-Arabi, t.th.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Jilid. 2. Jakarta: Gema Insani, 2010.
Yunus, Muhammad. Kamus Arab Indonesia. Jakarta:Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 1973.
wawancara Pribadi dengan K.H. Syarifuddin Abdul Ghani. Jakarta Barat: 30
Desember 2015.
Wawancara Pribadi dengan Dr. FuadTohari, MA. Jakarta: 22 April 2016.
Muaz, “MetodePenetapan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta”, Artikel diakses pada
08 Maret 2016 dari http://www.Muidkijakarta.or.id/2014/12/23/Metode-
Penetapan-Fatwa-MUI-Provinsi-DKI-Jakarta.html.
Nanda, “Mudzakarah Ulama Program Baru MUI DKI Jakarta yang Strategis”,
Berita diakses pada 08 Maret 2016 dari
http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/12/mudzakarah-ulama-program-
baru-mui-dki-yang-strategis/.html.
Syaikh Abdullah shoefie, “Rambu-Rambu dalam Musyawarah dan mudzakarah”,
Artikel diakses pada 08 Maret 2016, dari http://www.al-
ulama.net/2009/03/18/rambu-
rambudalammusyawarahdanmudzakarah.html.
86
87