Anda di halaman 1dari 12

MATERI ETPROF PERTEMUAN KE-1

A. Istilah dan Pengertian Etika


Secara Etimologis kata Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu "Ethos dan Ethikos", Ethos
yang  berarti sifat, watak, adat, kebiasaan. Ethikos berarti susila, keadaban atau kelakuan dan
perbuatan yang baik.  etika memiliki sudut pandang normatif dimana objeknya adalah manusia
dan perbuatannya.. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik,
buruk, dan tanggung jawab.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Etika adalah ilmu yang mempelajari baik dan
buruk, hak dan kewajiban moral. Selain itu Etika adalah kumpulan asas / nilai yang berkenaan
dengan akhlak. Etika juga diartikan nilai mengenai benar dan salah yang dianut masyarakat.
Menurut Aristoteles Etika didefinisikan menjadi 2 pengertian yaitu: Terminius Technicus dan
Manner and Cutom. Terminius Technicus ialah sebuah etika yang dipelajari sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang mempelajari suatu problema tindakan manusia.
Manner and Cutom adalah sebuah pembahasan etika yang berhubungan dengan tata cara
dan adat kebiasaan yang melekat dalam diri manusia. Sangat terkait dengan "baik & buruknya"
suatu perilaku, tingkah, atau perbuatan manusia.
Menurut Prof. Robert Salemon Etika adalah : (1.) Karakter Individu, (2.) Hukum yang social
(mengatur, mengendalikan dan membahas prilaku manusia).
Jadi, bisa disimpulkan bahwa pengertian etika secara umum adalah suatu peraturan atau
norma yang bisa digunakan sebagai acuan bagi perilaku seseorang yang berkaitan dengan sifat
yang baik dan buruk yang dilakukan oleh seseorang serta merupakan suatu kewajiban dan
tanggung jawab moral.

Pengertian Etika
Etika sebagai ilmu
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sesuatu di mana dan
bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral.] Etika mencakup analisis dan penerapan konsep
seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab
St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis
(practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan
kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak
jarang berbeda dengan pendapat orang lain.[1] Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari
tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. ] Etika
memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika
merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan
tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki
sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan
manusia.

Etika sebagai pegangan bagi seseorang/suatu kelompok masyarakat tentang baik dan buruknya
perilaku.
Etika berdssarkan pembagiannya terdiri atas dua bagian, yaitu:
Etika Umum Dan Etika Khusus

Etika secara umum dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu :

1. Etika Umum
Etika umum adalah etika yang berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia
bertindak secara etis, bagaimana manusia mangambil keputusan etis, teori-teori etika dan
prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak
ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan
ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.

2. Etika khusus
Etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang
khusus. Bagaimana mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan
khusus yang dilakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar.
Penerapannya dapat berupa bagaimana mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang
kehidupan dan kegiatan khusus yang dilakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip
moral dasar. Selain itu penerapannya juga dapat berupa bagaimana menilai prilaku diri dan orang
lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang
memungkinkan.

Etika khusus dibagi menjadi dua bagian :

a. Etika Individu

Etika individu ini adalah etika yang berkaitan dengan kewajiban dan sikap manusia terhadap
dirinya sendiri, misalnya:
1) Memelihara kesehatan dan kesucian lahiriah dan batiniah.
2) Memelihara kerapian diri, kamar, tempat tingggal, dan lainnya.
3) Berlaku tenang
4) Meningkatkan ilmu pengetahuan.
5) Membina kedisiplinan , dan lainnya.

b. Etika sosial

Etika sosial adalah etika yang membahas tentang kewajiban, sikap, dan pola perilaku manusia
sebagai anggota masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini menyangkut hubungan manusia
dengan manusia, baik secara individu maupun dalam kelembagaan (organisasi, profesi, keluarga,
negara, dan lainnya).Etika sosial yang hanya berlaku bagi kelompok profesi tertentu disebut kode
etika atau kode etik.
Pada dasarnya etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat
manusia. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara langsung
maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap
pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab manusia terhadap
lingkungan hidup (Magnis-Suseno, dkk, 1981:8). Sedikitnya, ada dua masalah yang timbul
dalam etika sosial (Zubair, 1990:105). Pertama, tujuan etika itu memberitahukan bagaimana kita
dapat menolong manusia dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat
dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang etikus sosial tidak hanya harus tahu
norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan tersebut tadi, dan
sebab-sebab timbulnya kebutuhan itu. Masalah kedua, dalam etika sosial lebih mudah timbul
beragam pandangan dibandingkan etika individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada
keadaan yang konkret, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu
melakukankebaikan.

Pada dasarnya etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat
manusia. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara langsung
maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap
pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab manusia terhadap
lingkungan hidup (Magnis-Suseno, dkk, 1981:8). Sedikitnya, ada dua masalah yang timbul
dalam etika sosial (Zubair, 1990:105). Pertama, tujuan etika itu memberitahukan bagaimana kita
dapat menolong manusia dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat
dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang etikus sosial tidak hanya harus tahu
norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan tersebut tadi, dan
sebab-sebab timbulnya kebutuhan itu. Masalah kedua, dalam etika sosial lebih mudah timbul
beragam pandangan dibandingkan etika individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada
keadaan yang konkret, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu
melakukankebaikan.

Pada dasarnya etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat
manusia. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara langsung
maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap
pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab manusia terhadap
lingkungan hidup (Magnis-Suseno, dkk, 1981:8). Sedikitnya, ada dua masalah yang timbul
dalam etika sosial (Zubair, 1990:105). Pertama, tujuan etika itu memberitahukan bagaimana kita
dapat menolong manusia dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat
dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang etikus sosial tidak hanya harus tahu
norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan tersebut tadi, dan
sebab-sebab timbulnya kebutuhan itu. Masalah kedua, dalam etika sosial lebih mudah timbul
beragam pandangan dibandingkan etika individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada
keadaan yang konkret, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu
melakukan kebaikan.

Pada dasarnya etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat
manusia. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara langsung
maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap
pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab manusia terhadap
lingkungan hidup (Magnis-Suseno, dkk, 1981:8). Sedikitnya, ada dua masalah yang timbul
dalam etika sosial (Zubair, 1990:105). Pertama, tujuan etika itu memberitahukan bagaimana kita
dapat menolong manusia dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat
dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang etikus sosial tidak hanya harus tahu
norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan tersebut tadi, dan
sebab-sebab timbulnya kebutuhan itu. Masalah kedua, dalam etika sosial lebih mudah timbul
beragam pandangan dibandingkan etika individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada
keadaan yang konkret, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu
melakukan kebaikan.

Pada dasarnya etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat
manusia. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara langsung
maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap
pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab manusia terhadap
lingkungan hidup (Magnis-Suseno, dkk, 1981:8). Sedikitnya, ada dua masalah yang timbul
dalam etika sosial (Zubair, 1990:105). Pertama, tujuan etika itu memberitahukan bagaimana kita
dapat menolong manusia dalam kebutuhannya yang riil dengan cara yang susila dapat
dipertanggungjawabkan. Guna mencapai tujuan ini, seorang etikus sosial tidak hanya harus tahu
norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan tersebut tadi, dan
sebab-sebab timbulnya kebutuhan itu. Masalah kedua, dalam etika sosial lebih mudah timbul
beragam pandangan dibandingkan etika individual. Norma-norma harus selalu diterapkan pada
keadaan yang konkret, setiap norma menjelmakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu
melakukan kebaikan.

Etika umum menjelaskan tentang kajian bagaimana manusia bertindak secra etis, sedangkan
etika khusus mengkaji tentang penerapan-penerapan prinsip-prinsip moral dasardalam bidang
kehidupan yang khusus. Dalam etika umum, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar
menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik buruknya
suatu tindakan. 

Etika khusus menjelaskan prinsip-prinsip moral dasar tersebut diterapkan dalam wujud
bagaimana untuk mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan
khusus yang dilakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar, serta
prinsip-prinsip moral dasar tersebut digunakan untuk bagaimana menilai perilaku diri sendiri
maupun perilaku orang lain dalam berbagai kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatar
belakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia untuk bertindak etis.
B. Etika bagian dari Filsafat
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat
atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian
dari filsafat; etika lahir dari filsafat.
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat .
Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai
unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:
1. Non-empiris pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang konkret yang secara
faktual dila
Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada
fakta atau yang konkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang
konkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala konkret. Demikian kukan,
tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Praktis
Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya, filsafat hukum
mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi, etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya
tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat
praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia.
Akan tetapi, etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak
bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok
seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dan sebagainya, sambil melihat teori-teori
etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu
menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.

Pengertian Etika Sebagai Salah Satu Cabang Filsafat Praktis


Etika Sebagai Filsafat
Pada dasarnya, etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi serta metode pada
tugas manusia dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau menerjemahkan berbagai nilai itu ke
dalam norma-norma dan menerapkannya pada situasi kehidupan konkret.
Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, ia mencari keterangan (benar) yang
sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah
laku manusia.
Dalam arti etis, baik dan buruk ini memainkan peranan dalam hidup setiap manusia. Tak hanya
sebatas kini, tapi juga di masa lampau. Bertens (1993:12), misalnya, menyebutkan, ilmu-ilmu
seperti antropologi budaya dan sejarah memberitahukan kita bahwa pada semua bangsa dan
dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan.
Akan tetapi, lanjut Bertens, segera perlu ditambah bahwa tidak semua bangsa dan tidak semua
zaman mempunyai pengertian yang sama tentang baik dan buruk. Ada bangsa atau kelompok
sosial yang mengenal “tabu”, sesuatu yang dilarang keras (misalnya, membunuh binatang
tertentu), sedangkan pada bangsa atau kelompok sosial lainnya perbuatan-perbuatan yang sama
tidak terkena larangan apa pun. Dan sebaliknya, ada hal-hal yang di zaman dulu sering
dipraktekkan dan dianggap biasa saja, tapi akan ditolak sebagai tidak etis oleh hampir semua
bangsa beradab sekarang ini. Sebagai contoh dapat disebut: kolonialisme, perbudakan, dan
diskriminasi terhadap wanita. Jadi, semua bangsa mempunyai pengalaman tentang baik dan
buruk, tapi tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik dan
buruk.
Sebagai ilmu dan filsafat, etika menghendaki ukuran yang umum, tidak berlaku untuk sebagian
dari manusia, tetapi untuk semua manusia. Apa yang ditemukan oleh etika mungkin memang
menjadi pedoman bagi seseorang, namun tujuan pertama dan utama dari etika bukanlah untuk
memberi pedoman, melainkan untuk tahu. Atau, seperti ungkapan Poedjawijatna (1990:7), “etika
mencari dengan kemungkinan untuk keliru, dan kalau keliru, akan dicari lagi sampai terdapat
kebenaran.”
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni apa yang disebut benar dan
apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk
(etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang
utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat
keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya
terangkum dalammetafisika; dan, kedua, politik: yakni kajian mengenai organisasi
sosial/pemerintahan yang ideal (Suriasumantri, 1994:32).
Berkaitan dengan sifat yang “ada” maka cabang filsafat yang pertama adalah filsafat yang
menjadikan yang “ada” secara umum sebagai objek penyelidikannya (Mulkhan, 1994:36).
Cabang filsafat selanjutnya adalah filsafat yang menyelidiki yang “ada” secara khusus, dalam
arti kekhususan sesuatu secara umum.
Begitulah seterusnya; sifat-sifat khusus yang beragam dari yang “ada” melahirkan berbagai
cabang khusus dari filsafat. Karenanya, cabang-cabang filsafat dapat dipahami dari kekhususan
objeknya yang tersusun secara hierarkhis dan secara fungsional. Secara hierarkhis, karena sifat-
sifat khusus dari sesuatu yang “ada” tersusun sebagai suatu kesatuan sehingga membentuk yang
“ada” itu sendiri. Selanjutnya, kekhususan yang “ada” secara fungsional karena kekhususan
sesuatu dapat dilihat dari sudut fungsi dari sifat-sifat khusus yang “ada” tersebut. Secara
keseluruhan bagi struktur maupun fungsi merupakan kesatuan dari apa yang disebut “ada”
tersebut.
Berdasarkan pandangan teoretis di atas akan dapat dipahami mengenai lahirnya cabang-cabang
filsafat serta aliran-aliran pandangan di dalamnya. Cabang-cabang serta aliran filsafat yang
timbul tidak mengurangi arti yang “ada” sebagai yang “ada” sebagaimana dirinya sendiri.
Atas dasar kerangka hierarkhis dan fungsional kekhususan objek filsafat di atas, dapat
dikemukakan berbagai cabang dan aliran dalam filsafat. Kemudian, dapatlah dipahami bahwa
cabang-cabang serta aliran filsafat akan berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan
kemampuan akal atau pikir manusia itu sendiri.
Misalnya, dalam buku Filsafat Ilmu Abas Hamami (1996:155-156) membagi filsafat ke dalam
dua kelompok bahasan, yaitu filsafat teoretis dan filsafat praktis. Kelompok pertama
mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana
manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi, filsafat teoretis mempertanyakan dan
berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya manusia, alam, hakikat realitas
sebagai keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui, tentang yang
transenden, dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoretis pun mempunyai maksud dan berkaitan
dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pemahaman yang dicarinya untuk menggerakkan
kehidupan.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu etika umum
dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran
dan pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan erat dengan berbagai masalah nilai karena
etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah predikat nilai “susila” dan “tidak susila”,
“baik” dan “buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan
kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan
orang yang tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip
dasar kebenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.
Sementara itu, Jujun Suriasumantri, selain membagi kajian filsafat ke dalam lima pokok
permasalahan yang menyangkut logika, etika, estetika, metafisika, dan politik, sebagaimana
disinggung di muka, juga menyebutkan bahwa kelima cabang utama ini kemudian berkembang
lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik, di
antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
(1) Epistemologi (Filsafat Pengetahuan);
(2) Etika (Filsafat Moral);
(3) Estetika (Filsafat Seni);
(4) Metafisika;
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan);
(6) Filsafat Agama;
(7) Filsafat Ilmu;
(8) Filsafat Pendidikan;
(9) Filsafat Hukum;
(10) Filsafat Sejarah;
(11) Filsafat Matematika (Suriasumantri, 1994:32-33).
Dari cabang filsafat lain etika dibedakan oleh karena tidak mempersoalkan keadaan manusia,
melainkan bagaimana ia harus bertindak. Etika adalah filsafat tentang praksis manusia. Etika
adalah praksiologik. Semua cabang filsafat berbicara tentang “yang ada”, sedangkan etika
membahas “yang harus dilakukan”. Itu sebabnya etika tidak jarang disebut juga “filsafat praktis”
(Bertens, 1993:27). “Praktis”, karena menurut Bertens, cabang ini langsung berhubungan dengan
perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
Sifat dasar etika adalah sifat kritis. Etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang dianggap
berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan
yang dituntut oleh norma itu. Terhadap norma yang de facto berlaku, etika mengajukan
pertanyaan tentang legitimasinya. (Apakah berlaku de jure pula). Norma yang tidak dapat
mempertahankan diri dari pertanyaan kritis ini akan kehilangan haknya (Zubair, 1990:9-10).
Pemikiran kritis dari filsafat, menurut Abdul Munir Mulkhan, mempersoalkan segenap
kenyataan yang salah satu di antaranya merupakan objek persoalan ilmu. Penelitian filsafat
adalah penelitian terhadap segala ilmu dan kenyataan serta proses mengetahui atau memperoleh
ilmu. Bagian khusus yang menyelidiki mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ini dikenal
dengan epistemologi atau filsafat ilmu atau bahkan ada yang menyebut dengan metodologi
(Mulkhan, 1993:43).
Ilmu itu sendiri merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar
gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri (Saefuddin,dkk, 1987:15). Penjelasan ini
akan memungkinkan kita untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi, dan dengan demikian
memungkinkan kita untuk mengontrol gejala tersebut. Untuk itu, ilmu membatasi ruang jelajah
kegiatannya pada daerah pengalaman manusia. Artinya, objek penelaahan keilmuan meliputi
segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat pancainderanya.
Dalam kaitan ini, filsafat bukan saja mempunyai pertautan dengan segenap ilmu akan tetapi
bersangkut-paut dengan seluruh ilmu pengetahuan. Selain itu, filsafat merupakan sumber
informasi lengkap mengenai tumbuh-kembangnya suatu pengetahuan yang bagaimanapun akan
senantiasa bersumber pada filsafat. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa filsafat merupakan
pendasar atau penelaah ilmu, pengalaman dan karya manusia, atau pemberi arah, serta pemberi
kritik dan kontrol.
Karena itu, apabila kita sepakat dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah “induk” segala ilmu
pengetahuan, maka metode, objek, dan sistematika filsafat mempunyai arti fungsional bagi setiap
upaya pengembangan ilmu-ilmu lain. Jadi, atas dasar konsep itu, setiap ilmu lain yang bersifat
terapan, termasuk etika, merupakan pengembangan metode dan sistematika disiplin filsafat. Atau
sebagai pengkhususan dari salah satu perhatian objek analisis filsafat.
Bahwa sedemikian besar implikasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu,
barangkali tampak paling jelas, jika kita menginsafi arti perkembangan itu untuk filsafat dan
etika. Perkembangan itu mempunyai arti khusus bagi filsafat, karena refleksi tentang apa yang
dinyatakan ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai hakikat manusia sangat penting untuk
menjawab pertanyaan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang arti keberadaannya di dunia.
Perkembangan itu mempunyai arti khusus pula untuk etika, karena seperti dikatakan A.G.M. van
Melsen (1992:130), refleksi filosofis tidak pernah netral, tetapi mengundang kita untuk
mengambil suatu sikap hidup dan mewujudkan kehidupan kita sesuai dengan apa yang
dinyatakan sebagai hakikat manusia

Anda mungkin juga menyukai