Anda di halaman 1dari 8

Dasar Hukum Gadai

 
 UU No.7 tahun 1992 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.10 tahun 1998
mengenai pembahasan tentang pokok-pokok perbankan yang di dalamnya mengatur
“Perbankan Syariah memberi peluang berdirinya lembaga keuangan syariah dengan
berbasis bagi hasil”.
 PP No 103 tahun 2000,yang mengatur tentang Perusahaan umum (Perum) Pegadaian.
Peraturan ini menjadi salah satu peraturan yang menguatkan status pegadaian sebagai
perusahaan umum dan masuk pada wilayah BUMN tepatnya di lingkungan Departemen
Keuangan RI.
 Undang-Undang No. 9 tahun 1969, pada Pasal 6 tercantum bahwasannya sifat usaha yang
dilakukan pegadaian adalah menyediakan pelayanan maksimal bagi kemanfaatan umum
dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolahan perushaan yang
ada.
 Pasal 1150 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 yang berada di buku II KUH
Perdata. Dalam pasal ini semuanya berbicara tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan prinsip, kinerja dan lainnya dari pegadaian.
 QS. Al-Baqarah (2) ayat 283, yang artinya "Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)..."
 

Hak dan Kewajiban Penerima Gadai (Murtahin) dan Rahin


(Pemberi Gadai)

Hak dan Kewajiban pihak Penerima Gadai (Murtahin)

    1).  Hak Murtahin ( Penerima Gadai ) :

(a). Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi


kewajibannya pada sat jatuh tempo. Hasil penjualan barang gadai (marhun) dapat
digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya
dikembalikan kepada rahin.
(b). Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan
untuk menjaga keselamatan marhun.

(c). Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang
diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).

2). Kewajiban Murtahin (Penerima Gadai):

(a). Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya barang gadai, apabila
hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.

(b). Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri.

(c). Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan


pelelangan barang  gadai.

Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)

1). Hak pemberi gadai adalah:

(a). Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang gadai, setelah ia melunasi
pinjaman.

(b). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya barang
gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima gadai.

(c). Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah dikurangi
biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.

(d). Pemberi gadai berhak meminta kembali barang gadai apabila penerima gadai
diketahui menyalahgunakan barang gadai.

2). Kewajiban pemberi gadai:


(a). Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang
waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka
waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi pinjamannya
 

Berakhir dan Hapusnya Akad Gadai


Sudut Hukum Monday, 12 December 2016 hukum, perdata

SUDUT HUKUM | Hapusnya gadai telah ditentukan di dalam pasal 1152 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan Surat Bukti Kredit (SBK). Di dalam pasal 1152 ditentukan dua cara
hapusnya hak gadai, yaitu:

 Barang gadai itu hapus dari kekuasaan pemegang gadai, misalnya utang pemberi gadai
telah dibayar lunas, maka gadai otomatis hapus.

 Hilangnya barang gadai atau terlepasnya barang gadai dari kekuasaan pemegang gadai

 
Begitu juga dalam Surat Bukti Kredit (SBK) telah diatur tentang berakhirnya gadai. Salah
satunya adalah jika jangka waktu gadai telah berakhir. Ari hutagalung telah menyistemisasi
hapusnya hak gadai. Ia mengemukakan lima cara hapusnya hak gadai, yaitu:

1. Hapusnya perjanjian pokok yang dijamin dengan gadai

2. Terlepasnya benda gadai dari kekuasaan penerima gadai

3. Musnahnya barang gadai

4. Dilepaskannya benda gadai secara sukarela

5. Percampuran (penerima gadai menjadi pemilik benda gadai).

Perjanjian pokok dalam perjanjian gadai adalah perjanjian pinjam meminjam uang dengan
jaminan gadai. Apabila debitur telah membayar pinjamannya kepada penerima gadai, maka sejak
saat itulah hapusnya perjanjina gadai.
 
 

HAPUSNYA GADAI
oleh hamzah aenurofiq

A.   Berakhirnya Akad Rahn

Akad rahn berakhir apabila:

a)     Barang gadai telah diserahkan kembali pada pemiliknya

b)     Rahin telah membayar hutangnya

c)     Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin

d)     Pembatalan oleh murtahin meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin

e)     Rusaknya barang rahin bukan oleh tindakan atau pengguna murtahin

f)      Memanfaatkan barang rahn dengan barang penyewaan, hibah atau shadaqah baik dari pihak rahin
maupun murtahin. [1][1]

B.   Bagaimana kreditur dapat mengeksekusi saham tanpa warkat di pasar modal yang digadaikan apabila
debitur atau pemberi gadai wanprestasi? Ketentuan mengenai eksekusi ini tetap mengacu kepada KUHPer
Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPer. Kreditur dapat langsung menjalankan parate executie dengan
menjual saham-saham tersebut di bursa, dengan syarat perantaraan 2 orang makelar yang ahli dalam
perdagangan saham tersebut. Makelar disini sebenarnya perusahaan efek yang menjalankan kegiatan
sebagai perantara perdagangan efek termasuk saham. Penjualan dilakukan oleh 2 perusahaan efek
berdasarkan penunjukan oleh kreditur. 
Namun, perlu diperhatikan bahwa ada kontradiksi karakteristik antara gadai barang bergerak biasa dan
saham tanpa warkat di pasar modal. Hal ini berdampak pada upaya eksekusi atas barang yang digadaikan.
Kalau barang yang digadaikan hanya barang bergerak biasa, eksekusi secara langsung mungkin bisa
dilakukan tanpa pemberitahuan kepada debitur atau pihak lain. Namun, kalau barang yang digadaikan
adalah berupa saham apalagi saham tanpa warkat, maka eksekusi atas gadai saham tersebut tidak
sesederhana begitu saja karena adanya syarat keterbukaan informasi atau setidak-tidaknya harus
diberitahukan kepada debitur. Hal ini penting untuk melindungi debitur atas barang gadai yang dijual
dimana nilai barang tersebut baru bisa ditentukan pada saat penjualan atau eksekusi.
Apabila saham-saham yang digadaikan bukanlah saham pengendali, maka eksekusi dapat langsung
dilakukan melalui parate executie, melalui lelang sebagaimana diperjanjikan para pihak, atau memohon
kepada hakim untuk memberikan penetapan harga atas saham yang akan dijual. Khusus mengenai
penetapan harga saham oleh hakim, hal ini penting karena objektifitas harga dapat terjaga. Hakim dapat
menunjuk profesi penilai untuk melakukan penilaian atas harga saham tersebut secara objektif.
Namun, apabila saham yang digadaikan adalah berupa saham pengendali sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada , maka eksekusi tersebut haruslah diinformasikan terlebih dahulu kepada
debitur ataupun pihak-pihak lain yang berkepentingan sesuai dengan ketentuan UUPM dan peraturan
pelaksanaannya. Hal ini penting karena menyangkut perubahan pengendalian atas manajemen Emiten.
Cara eksekusi tetaplah sama dan sebagaimana ditentukan oleh KUHPer, namun oleh karena barang gadai
tersebut adalah saham tanpa warkat, maka eksekusi atau penjualan saham tersebut harus juga memenuhi
ketentuan Pengambilaihan Perusahaan Terbuka sebagaimana ditentukan dalam UUPT, PP No. 27 Tahun
1998 tentang Penggabungan, Pengambilalihan, dan Peleburan Perseroan Terbatas, Peraturan Bapepam
No. IX.H.1. Dalam penjualan saham-saham yang digadaikan, tidak perlu memakai aturan mengenai
Penawaran Tender (Peraturan Bapepam No. IX.F.1), karena prosedur ini dikecualikan oleh angka 11
huruf e Peraturan Bapepam No. IX.H.1 dalam hal terdapat penetapan atau putusan Pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal ini, apabila penerima gadai tidak menghendaki
adanya penawaran tender, maka dia perlu untuk memohon penetapan kepada hakim agar dapat dilakukan
eksekusi atas saham-saham yang digadaikan. Dalam eksekusi tersebut, bisa saja penerima gadai menjual
saham-saham yang digadaikan tersebut melalui pemberi gadai dengan diawasi oleh juru sita dan penerima
gadai tersebut. 
Mekanisme yang dijalankan oleh pemberi gadai ketika melakukan penjualan saham-saham tersebut
saham halnya dengan proses atau mekanisme divestasi. Oleh karena penjualan tersebut merupakan
peristiwa yang bersifat material, tentunya hal ini harus di-disclose ke publik . Hal ini penting untuk
melindungi para pemegang saham minoritas dan para stakeholders lainnya karena aksi korporasi ini
menyangkut perubahan pengendalian manajemen. Emiten yang saham-saham digadaikan melakukan
pemanggilan RUPS Luar Biasa untuk membahas mengenai masalah penjualan saham-saham ini. Upaya
yang dapat dilakukan oleh pemegang saham minoritas dalam hal ini adalah hanya meminta perseroan
untuk melakukan buy back atas saham-saham yang dimilikinya dengan harga yang wajar. 
Mengenai harga atas saham-saham yang dieksekusi, harga saham-saham ini tidak merujuk kepada
Peraturan Bapepam No. IX.H.1 tentang Akuisisi Perusahaan Terbuka. Aturan yang ada di dalam
peraturan tersebut lebih mengatur kepada harga saham yang di-tender offer-kan. Namun, penentuan harga
ini tetap mengacu kepada KUHPer. Dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan di atas, penerima gadai
memohon kepada hakim untuk menentukan harga-harga saham yang digadaikan. Hakim dalam hal ini
dapat meminta bantuan profesi penilai untuk mendapatkan harga saham yang wajar. 
Eksekusi atas saham-saham tanpa warkat seperti dikemukakan di atas memang seharusnya seperti itu
apalagi jika saham-saham yang dimiliki oleh pemegang saham pemberi gadai berjumlah besar dan
mayoritas serta merupakan pengendali perusahaan. Eksekusi tidak bisa langsung dilakukan melalui parate
executie. Dalam hal ini, ada aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi di pasar modal. Hal ini berbeda
jika saham-saham yang digadaikan bukanlah saham mayoritas atau saham-saham tersebut merupakan
saham dengan warkat, eksekusi dapat mudah langsung dilakukan walaupun dalam situasi tertentu harus
dibuka ke publik[2][2]

C.   Setiap ada awal pasti ada akhir setiap permasalahan pasti ada penyelesaian. Begitu juga dengan gadai
pasti akan ada pula hapus atau berakhirnya hak gadai. Berakhirnya persetujuan gadai adalah merupakan
rentetan, setelah terlaksananya persetujuan. 

Mengenai cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut KUH Perdata adalah sebagai
berikut:
1.      Hak gadai hapus apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.

2.      Hak gadai hapus apabila barang yang di gadaikan keluar dari kekuasaan si penerima gadai.

3.      Apabila sudah dilepaskan oleh penerima gadai melunasi atas dasar atau kemauan sendiri dari penerima gadai maka
penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada pemberi gadai.

4.      Karena persetujuan gadai bersifat uccessoir yang jika perjanjian pokok berakhir maka dengan sendirinya gadaipun
berakhir.

5.      Bila barang yang digadaikan musnah atau terbakar diluar kehendak atau kemampuan pemegang gadai. Dimana
penerima dan pemberi gadai sama-sama mengalami.
6.      Barang gadai menjadi milik dari si pemegang gadai atas kesepakatan atau persetujuan dari si pemberi gadai
(pengalihan hak milik atas kesepakatan).

Berakhirnya gadai dapat juga berakhir apabila tanah gadai musnah karena bencana alam atau lainnya, maka perjanjian
gadai berakhir dan pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang gadainya kembali dari penggadai[3][3]

D.   benda gadai dilepaskan dari penguasaan pemberi gadai(debitur), maka benda gadai harus dialihkan dalam penguasaan
Perum Pegadaian(kreditur).

Berdasarkan Pasal 1152 ayat (4) KUH Perdata dijelaskan si kreditur(pemegang gadai) akan tetap mendapatkan hak gadai
tersebut meskipun si pemberi gadai(debitur) bukanlah orang yang memiliki barang tersebut.dalam kasus ini, pegadaian
sebagai pemegang gadai kreditur beritikad baik, sehingga kreditur tersebut yang telah menerima benda gadai orang lain
yang berstatus sebagai detentor dari benda yang digadaikan, tetap mendapatkan  hak gadai secara sah atas benda itu.
Karena kreditur pemegang gadai(pegadaian) dilindungi terhadap pemilik (eigenaardari benda gadai).[4][4]

E.   Yang menjadi sebab hapusnya gadai :

a.    Karena hapusnya perjanjian peminjaman uang.

b.    Karena perintah pengembalian benda yang digadaikan lantaran penyalahgunaan dari pemegang gadai.

c.    Karena benda yang digadaikan dikembalikan dengan kemauan sendiri oleh pemegang gadai kepada
pemberi gadai.

d.   Karena pemegang gadai lantaran sesuatu sebab menjadi pemilik benda yang

digadaikan.

e.    Karena dieksekusi oleh pemegang gadai.

f.     Karena lenyapnya benda yang digadaikan.

g.    Karena hilangnya benda yang digadaikan. [5][5]

F.    Yang menjadi sebab hapusnya gadai :

1. Karena hapusnya perjanjian peminjaman uang.

2. Karena perintah pengembalian benda yang digadaikan lantaran penyalahgunaan dari pemegang gadai.

3. Karena benda yang digadaikan dikembalikan dengan kemauan sendiri oleh pemegang gadai kepada
pemberi gadai.

4. Karena pemegang gadai lantaran sesuatu sebab menjadi pemilik benda yang digadaikan.

5. Karena dieksekusi oleh pemegang gadai.

6. Karena lenyapnya benda yang digadaikan.

7. Karena hilangnya benda yang digadaikan.[6][6]


Pengertian Fidusia

Secara etimologi Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti

kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Begitu

pula istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu Fiduciare

Eigendom Overdracht (F.E.O.) yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan. Sedangkan

dalam istilah bahasa Inggris disebut Fiduciary Transfer of Ownership.

Pengertian fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan

dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan

pemilik benda. Contohnya, Anda melakukan kredit motor. Maka pihak pemberi kredit akan

membeli ke dealer. Maka, Motor tersebut adalah milik pemberi kredit dan hak miliknya

dialihkan kepada anda. Selama anda belum melunasi kredit anda maka motor tersebut milik

pemberi kredit.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terdapat

berbagai pengaturan mengenai fidusia diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

1985 tentang Rumah Susun telah memberikan kedudukan fidusia sebagai lembaga jaminan yang

diakui undang-undang. Pada Pasal 12 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa,

1. Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan utang dengan :

1. dibebani hipotik, jika tanahnya hak milik atau HGB

2. dibebani fidusia, jika tanahnya hak pakai atas tanah negara.

2. Hipotik atau fidusia dapat juga dibebankan atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang

dimakksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah susun yang

direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan
secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.

     Objek Jaminan Fidusia

Objek jaminan fidusia terdapat dalam Pasal 1 angka (4) UUJF, yakni

benda. Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimilki dan dialihkan, yang terdaftar maupun

tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan atau hipotik.

Sementara itu, dalam Pasal 3, untuk benda tidak bergerak harus memenuhi persyaratan,

antara lain :

a.       benda-benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.

b.      benda-benda tersebut tidak dibebani dengan hak hipotik untuk benda bergerak, benda-benda

tersebut tidak dapat dibebani dengan hak gadai.

https://id.wikipedia.org/wiki/Jaminan_fidusia

http://dhyladhil.blogspot.com/2011/05/objek-jaminan-fidusia-perjanjian.html

Anda mungkin juga menyukai