Anda di halaman 1dari 7

Para pihak

Pihak pertama : A (pemenang lelang atas Rumah)


Pihak kedua : B (masih tinggal di rumah setelah lelang, pemilik pertama rumah)
Pihak ketiga : C (Debitur, pembeli rumah dari B)
Pihak keempat : Bank (Kreditur)

Diketahui terdapat sebuah rumah pada mulanya merupakan milik B kemudian rumah tersebut
dijual kepada C. C mengajukan kredit ke bank dengan mengagunkan rumahnya dengan hak
tanggungan. C mengalami kredit macet sehingga Bank melakukan pelelangan atas objek hak
tanggungan C. A mengikuti lelang tersebut dan memperoleh rumah C dan sudah memiliki
SHM. Setelah A menang atas lelang rumah C dan memperoleh SHM, B masih tetap tinggal
di rumah tersebut. C menyatakan bahwa lelang yang dilakukan oleh bank tersebut cacat
hukum.

Permasalahan :

- Bagiamana peraturan perundang-undangan mengatur mengenai proses penyelesaian


kredit bermasalah khsusunya melalui mekanisme lelang eksekusi hak tanggungan?

- Apakah terdapat PMH/Wanprestasi pada kasus ini?


- Bagaimana caranya mengeluarkan / mengusir B yang dari masih tinggal di rumah?

Lelang Eksekusi Hak Tanggungan

Dalam industri perbankan, kredit bermasalah atau NPL tersebut dapat dilakukan upaya
perbankan antara lain penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit,
pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, pengurangan
fasilitas kredit dan/atau konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.1 Jika dengan
upaya penyelamatan tidak berhasil, maka bank diperkenankan melakukan tindakan
penyelesaian kredit seperti penjualan agunan kredit, baik melalui lelang eksekusi atau
dilakukan penjualan di bawah tangan.2

Dalam UU Perbankan (UU 7/1992 diubah dengan UU 10/1998) agunan merupakan jaminan
tambahan, dimana unsurnya sebagai berikut:3
1. Jaminan tambahan.
2. Diserahkan oleh debitur kepada bank.
3. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.
Jaminan diatas, dibagi menjadi jaminan kebendaan yang antara lain Gadai, Hipotek,
Credietverband, Hak tanggungan dan Jaminan fidusia.4

1
Djoni S Gazali dan Rachmad Usma, Hukum Perbankan, ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 372.

2
Ibid.

3
Haji Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed. 1, cet. 7, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.
21.
Tata cara pembebanan Hak Tanggungan dimulai dengan tahap pemberian Hak Tanggungan
di hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT) dan diakhiri dengan tahap pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan
setempat.

Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan
sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian
tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut (Pasal 10 ayat (1) UU HT). Pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT (Pasal 10 ayat (2) UU Hak Tanggungan).

Akta Pemberian Hak Tanggungan  (APHT) mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai
pemberian Hak Tanggungan dari debitor kepada kreditor sehubungan dengan hutang yang
dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor preferen) daripada
kreditor-kreditor lain (kreditor konkuren) (Pasal 1 ayat (1) UU HT). Jadi, Pemberian Hak
Tanggungan adalah sebagai jaminan pelunasan hutang debitor kepada kreditor sehubungan
dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan.

Untuk kepentingan kreditor, dikeluarkan kepadanya tanda bukti adanya Hak Tanggungan,
yaitu Sertipikat Hak Tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan
salinan APHT.

Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut (Pasal 6)

Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7)
hari kerja setelah penandatanganan APHT. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib
mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor
Pertanahan (Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UUHT).

Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak
Tanggungan (Pasal 14 ayat (1) UUHT). Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 14 ayat (3) UUHT).

Jadi, pada dasarnya jika APHT tersebut telah didaftarkan di Kantor Pertanahan dan telah
memperoleh sertifikat hak tanggungan, maka kreditur dapat melakukan penjualan secara
lelang jika debitur wanprestasi.
 
Menurut Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 Tahun 2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia No. 106/PMK.06/2013 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang,
dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain
debitor/tereksekusi, suami atau istri debitor/tereksekusi yang terkait kepemilikan,
pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan
yang memerlukan fiat eksekusi. 
4
Ibid., hlm. 24-25.
 
Selama tidak ada gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain
debitor/tereksekusi, suami atau istri debitor/tereksekusi yang terkait kepemilikan,
pelaksanaan lelang dapat dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari sertifikat hak
tanggungan tanpa fiat eksekusi (eksekusi berdasarkan putusan Pengadilan).
 
Objek hak tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin
pelunasan lebih dari satu utang (Pasal 5 ayat (1) UUHT).

Pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek hak tanggungan tanpa memerlukan
persetujuan dari pemberi hak tanggungan dan sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi
hak tanggungan (Pasal 6 UUHT). Mengenai hal ini, dalam APHT tersebut harus
mencantumkan janji yang berisi bahwa hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji (Pasal 11
ayat (2) huruf e UUHT).
 
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan
dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian akan diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan semua pihak. Pelaksanaan penjualan di bawah tangan hanya dapat
dilakukan setelah lewat waktu satu (1) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi
dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan
diumumkan sedikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan
dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Setiap
janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan pada ayat (1), (2), dan (3) dari Pasal 20 batal demi hukum. Sampai saat
pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat
dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-
biaya eksekusi yang telah dikeluarkan (Pasal 20 UUHT).

Proses pelelangan umum diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Adapun proses lelang
berdasarkan PMK tersebut, dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Pra lelang

1. Terhadap hak tanggungan yang akan dilakukan lelang, sesuai dengan pasal 5
merupakan bagian dari lelang eksekusi dengan pejabat lelang yang dapat
melaksanakannya adalah pejabat lelang kelas I seperti tercantum pada pasal 8 (Pasal 5
PMK Petunjuk Pelaksanaan Lelang)

2. Setiap permohonan lelang wajib diajukan secara tertulis oleh penjual atau pemilik
barang dengan disertai dokumen persyaratan lelang sesuai dengan jenis lelangnya,
khusus untuk yang menggunakan balai lelang untuk pengurusan pra lelang dan/atau
pasca lelang, wajib untuk melengkapi dengan surat kuasa (Pasal 10 PMK).

3. Dalam hal pelaksanaan lelang atas tanah atau tanah dan bangunan wajib untuk
dilengkapi dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kantor Pertanahan setempat.
Apabila objek lelang belum terdaftar pada Kantor Pertanahan setempat, maka penjual
wajib untuk meminta Surat Keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang
menerangkan status kepemilikan tanah untuk selanjutnya Kepala KPKNL atau pejabat
lelang kelas II dapat meminta SKT ke Kantor Pertanahan setempat (Pasal 27).

4. Penjual atau pemilik barang bertanggung jawab terhadap keabsahan kepemilikan


barang, keabsahan dokumen persyaratan lelang, penyerahan barang bergerak dan/atau
barang tidak bergerak, dokumen kepemilikan kepada pembeli. Di samping itu penjual
atau pemilik barang bertanggung jawab terhadap gugatan perdata atau tuntutan pidana
yang timbul akibat tidak terpenuhinya peraturan perundang- undangan di bidang
lelang maupun tuntutan ganti rugi karena ketidakabsahan barang dan dokumen
persyaratan lelang (Pasal 16).

Kemudian penjual dan pemilik wajib untuk menguasai fisik barang bergerak yang
akan dilelang, kecuali barang tak berwujud, termasuk tetapi tidak terbatas pada saham
tanpa warkat, hak tagih, hak cipta, merek dan/atau hak paten. Apabila barang yang
akan dilelang tidak berwujud maka harus disebutkan jenis barangnya dalam surat
permohonan lelang (Pasal 16).

5. Tempat dan waktu pelaksanaan lelang, sesuai dengan pasal 19 maka tempat
pelaksanaan lelang adalah harus dalam wilayah kerja KPKNL atau pejabat lelang
kelas II ditempat barang berada, pengecualian terhadap hal tersebut harus mendapat
persetujuan dari pejabat yang berwenang (Pasal 19). Sedangkan untuk waktu
pelaksanaan lelang ditetapkan oleh Kepala KPKNL atau pejabat lelang kelas II, tetapi
tetap dilakukan pada jam dan hari kerja KPKNL (Pasal 21).

6. Setiap pelelangan disyaratkan adanya nilai limit yang dilakukan oleh penjual atau
pemilik barang berdasarkan penilaian oleh penilai independen berdasarkan
kompetensi yang dimiliknya dan wajib untuk dicantumkan dalam pengumuman lelang
(Pasal 36).

7. Pengumuman lelang wajb dilakukan oleh penjual dengan memuat paling sedikit
megenai: (Pasal 42)

i. Identitas penjual.

ii. Hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang dilaksanakan.

iii. Jenis dan jumlah barang.

iv. Lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan,
khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanahdan/atau bangunan.

v. Spesifikasi barang, khusus untuk barang bergerak

vi. Waktu dan tempat melihat barang yang akan dilelang.

vii. Uang Jaminan Penawaran Lelang meliputi besaran, jangka waktu, cara dan
tempat penyetoran, dalam hal dipersyaratkan adanya Uang Jaminan
Penawaran Lelang;
viii. Nilai Limit, kecuali Lelang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya dari tangan
pertama dan Lelang Noneksekusi Sukarela untuk barang bergerak.

ix. Cara penawaran lelang.

x. Jangka waktu Kewajiban Pembayaran Lelang oleh Pembeli.

xi. Alamat domain KPKNL/pejabat lelang kelas II yang melaksanakan lelang


khusus untuk penawaran lelang melalui email.

8. Pengumuman lelang dilaksanakan melalui surat kabar harian yang terbit dan/atau
beredar di kota/kabupaten tempat barang berada, jika tidak ada maka pengumuman
lelang diumumkan dalam surat kabar harian yang terbit di kota/kabupaten terdekat
atau di ibukota propinsi atau ibukota negara dan beredar di wilayah kerja KPKNL
atau pejabat lelang kelas II tempat barang akan dilelang (Pasal 43).

9. Setiap lelang disyaratkan adanya jaminan penawaran lelang yang berupa uang
jaminan penawaran lelang atau garansi bank jaminan penawaran lelang (minimal Rp.
50 miliar dan diserahkan paling lambat 5 hari kerja sebelum pelaksanaan lelang),
khusus untuk tanah wajib dilengkapi dengan nomor pokok wajib pajak (Pasal 29).

2. Pelaksanaan Lelang

Dalam pelaksanaan lelang, pejabat lelang dibantu oleh pemandu lelang yang berasal dari
pegawai DJKN atau diluar DJKN (Pasal 53). Selanjutnya untuk proses penawaran lelang
dilakukan dengan cara: (Pasal 54)

a. Lisan, semakin meningkat atau semakin menurun.


b. Tertulis.
c. Tertulis dilanjutkan dengan lisan, dalam hal penawaran tertinggi belum mencapai
nilai limit.

Khusus untuk lelang eksekusi maka wajib dilakukan dengan cara penawaran lelang langsung
(dapat juga menggunakan surat yang dikirim sebelum lelang dilakukan) (Pasal 56) Kemudian
untuk penawaran lelang tersebut paling sedikit sama dengan nilai limit dimana nilai
penawaran tersebut dapat mencakup bea lelang pembeli (harga lelang iklusif) atau belum
termasuk bea lelang pembeli (harga lelang eksklusif) (Pasal 59).

Apabila terdapat peserta lelang yang tidak melakukan penawaran atau melakukan penawaran
di bawah nilai limit yang telah ditetapkan, maka dapat dikenakan sanksi tidak diperbolehkan
mengikuti lelang selama 3 (tiga) bulan di wilayah kerja KPKNL yang melaksanakan lelang
tersebut (Pasal 60).

Terhadap peserta lelang yang melakukan penawaran tertinggi dan mencapai atau melampaui
nilai limit maka pejabat lelang akan mengesahkan penawarannya (Pasal 61).

3. Pasca lelang

a. Setelah terdapat pemenang lelang maka pembeli diwajibkan untuk melakukan


pembayaran harga lelang dan bea lelang secara tunai atau cek/giro paling lama 3
(tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang (Pasal 71). Adapun pelunasan tersebut
dilakukan melalui rekening KPKNL atau secara langsung kepada bendahara KPKNL,
khusus untuk pelunasan menggunakan cek/giro, pembayaran harus sudah diterima
efektif paling lambat 3 (tiga) hari kerja dan untuk seluruh pelunasan harus dibuatkan
kwitansi atau tanda bukti pembayaran oleh bendahara penerima KPKNL (Pasal 72).
b. Apabila pembeli tidak menyelesaikan kewajibannya sesuai aturan yang telah
ditentukan maka pejabat lelang akan membatalkan pengesahannya serta dikenakan
sanksi tidak dapat mengikuti lelang dalam waktu 6 (enam) bulan (Pasal 73).

c. Penjual atau pemilik barang menyerahkan asli dokumen kepemilikan kepada pejabat
lelang yang selanjutnya diserahkan kepada pembeli paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah pembeli menunjukkan bukti pelunasan pembayaran dan menyerahkan bukti
setor bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), atau dapat juga penjual
atau pemilik menyerahkan langsung kepada pembeli (Pasal 76).

d. Setelah semua proses lelang dilalui maka pejabat lelang wajib membuat risalah lelang
yang terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki, dimana risalah lelang
dibuat dalam bahasa Indonesia dan diberi nomor urut (Pasal 77).

Analisis Kasus

C selaku Debitor yang melakukan pinjaman ke bank dengan mengagunkan rumahnya dengan
hak tanggungan telah mengalami kredit macet sehingga tidak dapat melunasi kewajiban
pembayaran utang yang lewat jatuh tempo. Atas tindakannya, C diklasifikasikan sebagai
debitur wanprestasi sehingga jaminan kredit C, objek tanggungannya berupa rumah, dapat
dijual oleh bank selaku pemegang hak tanggungan melalui pelelangan umum. Bank sebagai
pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek hak tanggungan yaitu rumah C. Hak
tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan bahwa apabila
debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek hak tanggungan
melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan.
Hasil dari penjualan objek hak tanggungan tersebut digunakan sebagai pelunasan piutang
bank.

Jika pelelangan yang dilakukan oleh bank menghasilkan sisa hasil penjualan, namun tidak
diberikan kepada C selaku pemberi hak tanggungan, maka pemegang hak tanggungan dapat
dipidana atas tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP, yang berbunyi:
 
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
 
Bank selaku pemegang hak tanggungan dapat dipidana atas tindak pidana penggelapan, jika
memiliki sisa hasil penjualan yang seharusnya menjadi milik C selaku pemberi hak
tanggungan.
Setelah berakhirnya lelang yang dimenangkan oleh A maka diperolehnya SHM atas nama A.

Kemudian dalam hal ini rumah yang SHMnya sudah atas nama A dalam penguasaan B, dan
tidak dikembalikan walau SHM sudah bukan atas nama B lagi. Perbuatan menghuni rumah A
tersebut dilakukan dengan cara bukan sewa menyewa dan tanpa persetujuan atau izin dari
pemilik rumah. Maka B secara melawan hak memiliki rumah tersebut dan dapat dituntut
secara pidana. Dalam KUHP diatur mengenai pidana bagi orang yang masuk ke dalam rumah
orang lain yaitu Pasal 167 ayat (1) KUHP, yang berbunyi:

“Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang
dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan
atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan
pidana penjara paling lima sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.”

Perbuatan yang dipenuhi B dalam pasal ini adalah secara melawan hak berada di rumah A
dan tidak segera pergi dari rumah tersebut atas permintaan A selaku orang yang berhak atas
rumah tersebut.

A dapat melakukan peringatan / somasi kepada B untuk meninggalkan rumah milik A. Jika B
tetap tidak menghiraukan somasi tersebut, lebih lanjut B memenuhi unsur-unsur dalam Pasal
167 ayat (1), maka dapat dilakukan tuntutan pidana terhadap B.

Secara hukum perdata, jika A merasa dirugikan dengan perbuatan B yang menempati /
menguasai rumahnya tersebut maka B dapat digugat dengan dasar Perbuatan Melawan
Hukum Pasal 1365 KUHPerdata. Langkah hukum yang dapat ditempuh A atas PMH tersebut
adalah melakukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap B.

Anda mungkin juga menyukai