Anda di halaman 1dari 28

BAB II

KEDUDUKAN DAN PERANAN PENJAMINAN BUY BACK GUARANTIE


DALAM TRANSAKSI JUAL BELI UNIT PERUMAHAN
DENGAN FASILITAS KPR

A. Pengertian Buy Back Guarantie

Buy Back Guarantie berasal dari bahasa Inggris atau lebih dikenal dengan

nama Buy back Guarantee yang terdiri dari 2 (dua) suku kata yang jika digabungkan,

secara harafiah berarti jaminan membeli kembali. Menurut Webster Dictionary buy

back memiliki 3 (tiga) pengertian sebagai berikut :33

“An agreement to buy something in return, as by a supplier to buy its


customer’s product;
A sale whereby something sold is repurchased from the buyer by the seller or
original owner;
Finance the buying by a corporation of its own stock in the open market ini
order to reduce the number of outstanding shares.”

Menurut Black’s Law Dictionary guarantie berarti:34

“The assurance that a contract or legal act will be duly carried out;
Guaranty;
Something given or existing as security, such as to fulfill a future engagement
or a condition subsequent;
One to whom a guaranty is made.”

Pengertian buy back yang kedua dari Webster Dictionary lebih mendekati

dengan konsep buy back dalam tesis ini. Sedangkan guarantie dapat berarti penjamin

33
Victoria Neufeldt dan David B. Guralnik, Ed., Webster’s New World College Dictionary
(Revised and Update), Cet.3, (USA: Mac.Millan, 1995), hal.191 dan hal.598.
34
Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black’s Law Dictionary, Cet.7, (USA: West Group,
1999), hal.711.

22

Universitas Sumatera Utara


23

atau jaminan. Dalam transaksi perdagangan umum di masyarakat buy back guarantie

untuk mengkondisikan adanya jaminan dari penjual untuk membeli kembali barang

yang telah dibeli pembeli atau konsumen apabila terjadi kondisi-kondisi tertentu.

B. Latar Belakang Buy Back Guarantie

Munculnya perjanjian buy back guarantie ini di dalam praktik hukum jaminan

merupakan konsekuensi dari sifat terbukanya hukum perikatan pada Buku III BW

yang di dalam Pasal 1338 ayat (1) BW dianut prinsip kebebasan berkontrak (freedom

of contract), yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap orang atau

badan hukum untuk membuat dan menentukan sendiri kontraknya, sepanjang tidak

bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum yang

berlaku.35

Sistem terbuka yang dimiliki Hukum Perjanjian telah memberikan kebebasan

sedemikian rupa sehingga setiap orang berhak dan bebas untuk membuat atau

mengadakan perjanjian yang segala sesuatunya sesuai dengan kehendak para pihak

yang membuat. Untuk itu terbuka kebebasan yang seluas-luasnya (beginsel der

contractsvrijheid) untuk mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian, asalkan tidak

melanggar Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Bahkan dimungkinkan

untuk mengatur sesuatu hal dengan cara yang berbeda atau menyimpang dari

35
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1337.

Universitas Sumatera Utara


24

ketentuan yang telah diatur yang terdapat di dalam pasal-pasal hukum perjanjian

(KUHPerdata).36

Prinsip kebebasan berkontrak ini kemudian mendasari lembaga perbankan

dalam menerapkan prinsip prudential banking (prinsip kehati-hatian) pada pengikatan

kredit dan jaminan, sehingga perbankan memerlukan suatu alternatif lembaga

penjaminan yang dianggap lebih cepat dan efisien untuk menyelesaikan kredit

bermasalah atau macet dalam hal terjadi wanprestasi, selain dari penggunaan pranata-

pranata hukum jaminan yang telah ada dan bersifat eksekutorial.37

Menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia

No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit,

bahwa yang dimaksud jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan

debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam pelaksanaan

praktek perkreditan jaminan ini dirasa kurang memuaskan kreditor, kurang

menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi pelunasan kredit yang diberikan. Karena

itulah secara kebiasaan muncul suatu bentuk lembaga penjaminan buy back

guarantie.

Dalam kedudukannya sebagai alternatif lembaga penjaminan dari berbagai

bentuk penjaminan yang ada dan dikenal di dalam sistem hukum jaminan seperti hak

tanggungan, fidusia, hipotek dan penanggungan, maka buy back guarantie

36
G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2003), hal.33.
37
Ariadin Nadjamuddin, “Aspek Hukum Akta Buy Back Guarantee dan Implikasinya Bagi
Lembaga Perbankan”, Jurnal Penelitian Hukum, Volume 1 Nomor 3, Mei 2012, hal.412.

Universitas Sumatera Utara


25

seharusnya pula dapat memberi kontribusi sesuai maksud diadakannya pranata

hukum penjaminan tersebut, yaitu sebagai instrumen hukum yang dapat memberikan

perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak dalam hal terjadi wanprestasi.38

Perjanjian penjaminan dengan buy back guarantie ini pada awalnya banyak

digunakan dalam pembelian unit kendaraan bermotor (mobil). Jaminan ini biasanya

diberikan oleh pihak dealer (selaku penjual) kepada user (selaku pembeli) dengan

maksud untuk meningkatkan omset penjualan, sekaligus sebagai jaminan kualitas

produk yang akan dibeli konsumen. Bentuk jaminan ini kemudian berkembang pada

sektor property yang banyak digunakan pada pembelian unit rumah dan unit tanah

dan bangunan rumah yang pembangunannya dibiayai oleh bank dengan fasilitas

pinjaman/kredit konstruksi. Cara pembayaran atas pembelian unit tersebut dengan

menggunakan fasilitas pinjaman/kredit dari lembaga perbankan, baik dalam bentuk

fasilitas kredit pemilikan mobil (KPM), kredit pemilikan apartemen (KPA), maupun

kredit pemilikan rumah (KPR).39

Dalam konteks tersebut, developer, konsumen/user dan bank telah terjadi

hubungan hukum satu sama lain yang harus tunduk pada ketentuan-ketentuan

sebagaimana diatur di dalam Pasal 1457-1518 KUHPerdata dan beberapa ketentuan

hukum penjaminan, baik yang diatur di dalam KUHPerdata maupun yang tersebar di

berbagai ketentuan perundang-undangan hukum jaminan. Hubungan hukum tersebut

38
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1238 dan Pasal 1338.
39
Ariadin Nadjamuddin, Op.Cit., hal. 416

Universitas Sumatera Utara


26

harus dilaksanakan secara jujur dan adil serta memperhatikan keseimbangan hak dan

kewajiban para pihak.

Perjanjian buy back guarantie pada awalnya sama sekali tidak dikenal di

dalam praktek hukum jaminan pada lembaga perbankan, baik untuk jaminan benda

bergerak maupun jaminan benda tidak bergerak, baik sebelum maupun pasca

berlakunya Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan

Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, oleh karena

ketentuan-ketentuaan normatif hukum jaminan yang diatur di dalam KUHPerdata dan

kedua undang-undang di atas dianggap telah merepresentasikan kepentingan kreditor

atas pengikatan kedua bentuk jaminan kredit tersebut.40 Demikian pula untuk jaminan

perorangan telah banyak digunakan lembaga jaminan penanggungan (borgtocht),

baik dalam bentuk personal guarantie (jaminan perorangan) maupun corporate

guarantie (jaminan badan hukum) sebagaimana diatur dalam Pasal 1820-1850

KUHPerdata.

Kemudian dalam perkembangan praktek hukum penjaminan khususnya di

lembaga perbankan, yang meskipun telah dilakukan pengikatan jaminan secara

sempurna oleh Notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai

peraturan perundang-undangan yang terkait hukum jaminan dengan muatan

eksekutorial, namun lembaga perbankan masih menghendaki adanya alternatif

40
Ibid., hal.415.

Universitas Sumatera Utara


27

lembaga penjaminan yang dianggap lebih efektif dan efisien meskipun tidak memiliki

kekuatan eksekutorial dalam hal terjadi wanprestasi.

Hal tersebut kemudian melatarbelakangi lembaga perbankan untuk meminta

alternatif penjaminan kepada pihak ketiga sebagai penjamin atau penanggung, jika

dikemudian hari debitor wanprestasi untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan

perjanjian kredit, maka penjamin berdasarkan perjanjian buy back guarantie yang

harus melaksanakan kewajiban tersebut untuk membeli kembali objek jaminan

debitor, baik berupa jaminan benda bergerak maupun jaminan benda tidak bergerak.

Peran penjamin dalam perjanjian buy back guarantie pada konteks ini bukan

sebagai penanggung utang debitor sebagaimana dikenal di dalam borgtocht, tetapi

bertindak sebagai penanggung untuk membeli kembali objek jaminan dari kreditor

atas barang/benda yang pernah dijual kepada debitor yang pembayarannya melalui

fasilitas kredit/pinjaman dari kreditor.

Penjaminan buy back guarantie saat ini banyak digunakan pada pemberian

fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Lembaga penjaminan ini terjadi oleh karena

proyek (bangunan rumah atau rumah) yang dibiayai oleh bank masih dalam proses

pembangunan oleh developer, sertifikat belum selesai didaftarkan haknya atas nama

developer (masih dalam proses pengurusan pada kantor pertanahan), sehingga belum

dapat dilakukan penandatanganan akta jual beli atas nama pembeli, sedangkan

bangunan rumah atau rumah sudah mau dijaminkan ke bank. Dalam kondisi seperti

ini bank akan menerima jaminan tersebut, meskipun pengikatan jaminan belum dapat

dilakukan dengan sempurna, yaitu membebankan objek jaminan dengan hak

Universitas Sumatera Utara


28

tanggungan. Olehnya itu, diperlukan suatu bentuk ikatan antara bank dengan

developer berupa buy back guarantie, sebagai upaya untuk melindungi kepentingan

kreditor/ Bank.41

Meskipun tidak ada ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengaturnya

dibandingkan dengan bentuk perjanjian penjaminan yang telah ada dan lazim dikenal

dalam sistem hukum jaminan, namun buy back guarantie telah berkembang dan

menjadi salah satu syarat dilakukannya pencairan kredit, utamanya fasilitas KPR.

Menurut Legal Bank Bukopin cabang Medan, bahwa tanpa adanya buy back

guarantie dari developer selaku penjamin, bank tidak akan mencairkan fasilitas KPR

debitor ke rekening developer, oleh karena hal tersebut mutlak harus dipenuhi dan

menjadi syarat dalam memo persetujuan kredit dari tim komite kredit. Pencairan KPR

tanpa adanya penjaminan buy back guarantie merupakan salah satu pelanggaran dari

prosedur standar pengikatan jaminan perbankan pada Bank Bukopin cabang Medan.42

Ketentuan di atas tentu saja tidak dapat diterapkan di dalam lembaga buy back

guarantie meskipun penjamin telah melaksanakan kewajiban berdasarkan akta buy

back guarantie. Hal ini disebabkan karena objek penjaminan di dalam buy back

guarantie berbeda dengan objek penjaminan pada perjanjian borgtocht. Pada buy

back guarantie objek penjaminan adalah barang/benda jaminan debitor, bukan utang

41
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014
42
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara


29

debitor, sedangkan pada borgtocht objeknya adalah utang debitor yang dijamin

pelunasannya oleh penanggung.

Demikian pula di dalam Pasal 1840 KUHPerdata diatur bahwa penanggung

yang telah membayar lunas utangnya, demi hukum menggantikan kreditor dengan

segala haknya terhadap debitor semula. Sehingga, meskipun penjamin telah

melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan buy back guarantie namun tidak serta

merta mengakibatkan atau memberikan hak kepada penjamin untuk menggantikan

posisi kreditor utama. Hal ini sering dikenal dengan subrogasi sebagaimana diatur di

dalam Pasal 1400 KUHPerdata.

Perjanjian buy back guarantie tidak terbentuk dalam satu perjanjian tersendiri,

tetapi hanya merupakan perjanjian ikutan atau accesoir dari suatu perjanjian kredit.

Buy back guarantie terdapat dalam suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara bank

dengan developer. Di dalam PKS diatur bahwa buy back guarantie merupakan

kesanggupan developer selaku penjamin untuk membeli kembali tanah/bangunan

rumah yang telah dijual kepada debitor yang dituangkan dalam akta Notaris, yaitu

penjaminan buy back guarantie.43

Dari uraian tersebut di atas, perjanjian buy back guarantie pada awalnya

merupakan kehendak dari penjual yang memberikan jaminan kepada pembeli jika di

kemudian hari terjadi kerugian atau risiko terhadap barang yang dibeli, maka penjual

akan membeli kembali barang/benda tersebut. Namun saat ini dalam


43
Ariadin Nadjamuddin, Op.Cit., hal. 416

Universitas Sumatera Utara


30

perkembangannya tidak lagi demikian, justru kreditor lah yang meminta dan

menghendaki adanya perjanjian buy back guarantie. Hal ini didorong oleh prinsip

prudential banking yang selama ini diterapkan oleh perbankan untuk

mengefisiensikan upaya lelang yang selama ini digunakan lembaga perbankan untuk

melakukan penyelesaian kredit bermasalah atau macet bila debitor wanprestasi.44

Suatu perjanjian dibuat oleh para pihak untuk suatu maksud dan tujuan

tertentu, demikian pula buy back guarantie. Pemberian buy back guarantie oleh

developer kepada bank didasari oleh adanya penyaluran kredit KPR kepada

konsumen yang dananya diterima langsung oleh developer sebagai pelunasan unit

rumah, sementara pada pihak bank belum dapat mengikat jaminan Hak Tanggungan

atas unit rumah yang dibiayainya. Oleh karena itu, menunggu hingga selesainya

sertipikat atas unit rumah selesai dan dilakukannya akta jual beli, maka bank

memerlukan buy back guarantie dari developer.45 Di pihak developer, selaku pemilik

proyek pembangunan perumahan untuk lebih mencapai sasaran penjualan unit-unit

rumah tersebut kepada para konsumen, developer menjalin kerja sama dengan bank

dalam penyelenggaraan fasilitas KPR.

Bank memberikan fasilitas KPR kepada konsumen perumahan sepanjang

menurut pertimbangan bank, konsumen tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan

44
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014
45
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara


31

oleh bank. Beberapa alasan/pertimbangan bank meminta developer untuk

memberikan buy back guarantie adalah:46

1. Pembelian unit properti (rumah) oleh konsumen dari developer tidak atau belum

dibayar lunas seluruhnya, sehingga sebagian (besar) harganya akan dilunasi dari

hasil pencairan dana KPR; dan

2. Sertipikat atas unit properti tidak atau belum ada dan/atau bangunannya belum

selesai; dan/atau

3. Hubungan hukum antara developer dan konsumen masih berupa pengikatan jual

beli (Perjanjian Pengikatan Jual Beli/PPJB) dan belum bisa dibuat Akta Jual Beli

di hadapan PPAT yang berwenang.

Selanjutnya pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari developer bersedia

memberikan buy back guarantie terhadap suatu KPR adalah:47

1. Sebagian (besar) pembayaran harga pembelian unit properti (rumah) oleh

konsumen akan dilunasi dari hasil pencairan dana KPR dari bank; dan

2. Satu dan lain karena alasan di atas dan pengikatan jual beli antara developer dan

konsumen (pembeli) masih merupakan PPJB, maka:

a. Hak atas tanah secara hukum belum beralih dari developer kepada konsumen;

46
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014
47
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 10 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara


32

b. PPJB sewaktu-waktu dapat dibatalkan oleh developer, apabila konsumen

lalai/wanprestasi/cidera janji berdasarkan ketentuan dalam PPJB; dan

c. Apabila bank mengklaim penjaminan (buy back guarantie) kepada developer

yang mengakibatkan developer harus membayar seluruh utang konsumen

(baik utang pokok, bunga, dan lain-lain) kepada bank, maka kedudukan

developer masih “sangat kuat” dan mudah “menghadapi” konsumen, antara

lain karena developer berhak sewaktu-waktu membatalkan PPJB sehubungan

adanya klaim tersebut dan melaksanakan tindakan-tindakan hukum

selanjutnya.

Dengan penggunaan buy back guarantie, lembaga perbankan dituntut untuk

melakukan penyelesaian yang lebih cepat dan efisien, sehingga lembaga penjaminan

yang telah ada dan bersifat eksekutorial seperti lelang hak tanggungan lebih dihindari

oleh lembaga perbankan. Hal ini juga untuk menjaga performance dan nama baik

debitor agar tidak masuk dalam daftar hitam (black list) Bank Indonesia. Sehingga

saat ini hampir seluruh KPR yang diberikan perbankan harus di back up dengan buy

back guarantie,48 meskipun masih terjadi persepsi dan interpretasi yang berbeda-

beda, baik Notaris maupun lembaga perbankan terhadap lembaga buy back guarantie.

Perbedaan pandangan tersebut terjadi oleh karena buy back guarantie belum

diatur secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan, tetapi muncul

48
Ariadin Nadjamuddin, Op.Cit., hal. 419.

Universitas Sumatera Utara


33

berdasarkan perjanjian (kesepakatan para pihak).49 Hal ini merupakan konsekuensi

dari sifat terbukanya hukum perikatan sebagaimana kehendak dari prinsip kebebasan

berkontrak (freedom of contract) yang diatur di dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

C. Bentuk Perjanjian Buy Back Guarantie

Apabila dibandingkan dengan perjanjian penjaminan yang telah ada dan

dinormatifisasi dalam sistem hukum jaminan, yang lazimnya dituangkan dalam

bentuk akta otentik dihadapan Notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),

seperti Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), akta Fidusia dan akta Hipotek,

maka akta-akta jaminan ini mempunyai dasar dan kekuatan hukum eksekutorial yang

tegas dan memberikan implikasi hukum bagi lembaga perbankan dalam hal terjadinya

wanprestasi, oleh karena dasar perundang-undangannya telah ada dan jelas.50 Namun,

terhadap buy back guarantie yang lahir karena perjanjian tidak demikian halnya,

sehingga itikad baik (good faith) para pihak untuk melaksanakan isi atau klausula

akta sangat menentukan maksud diadakannya lembaga penjaminan tersebut sebagai

alternatif penjaminan. Keberadaan akta buy back guarantie dalam hal ini semestinya

tetap dapat mengakomodasi dan berperan untuk memberikan perlindungan hukum

dan preferensi bagi para pihak seperti halnya keberadaan lembaga penjaminan yang

telah ada dan dikenal di dalam sistem hukum jaminan.51

Meskipun dalam kedudukannya sebagai alternatif lembaga penjaminan yang

memiliki kelebihan dan kelemahan, namun bagi penjamin, akta buy back guarantie
49
G. Rai Widjaya, Op.Cit., hal.34.
50
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013.
51
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013.

Universitas Sumatera Utara


34

ini sebenarnya merupakan bentuk tindakan over confidence dan over collateral

lembaga perbankan, oleh karena dengan penggunaan akta jaminan membeli kembali

ini setelah dilakukan pembebanan hak tanggungan atau pengikatan fidusia terhadap

objek/benda jaminan, dapat menimbulkan kekisruhan pelaksanaan dari akta-akta

pengikatan jaminan satu sama lain. Padahal, maksud diadakannya akta buy back

guarantie adalah sebagai alternatif cara penyelesaian kredit bermasalah atau macet

pada saat terjadinya wanprestasi debitor dan penjamin.

Asumsi negatif penjamin atas keberadaan dan penggunaan akta buy back

guarantie ini, dapat berakibat pada pelaksanaan kewajiban penjamin di dalam akta

dalam hal terjadi wanprestasi, oleh karena penjamin beranggapan bahwa bila terjadi

wanprestasi, kreditor cukup melakukan lelang eksekusi barang/benda jaminan

debitor. Kondisi ini tentu saja tidak diharapkan oleh para pihak yang terkait atas

penggunaan akta buy back guarantie, karena keberadaan akta semestinya dapat

memberikan perlindungan, kepastian dan implikasi hukum para pihak khususnya bagi

lembaga perbankan terhadap resiko kerugian dalam pemberian fasilitas pinjaman/

kredit. Oleh karena itu penjaminan buy buck guarantie ini biasanya dibuat secara

terpisah dari perjanjian kredit kepemilikan rumah, dalam arti dibuat secara intern

antara pihak bank dengan pihak developer dalam bentuk perjanjian kerjasama tanpa

diketahui oleh pihak Debitor maupun pihak pemberi hak tanggungan.52

52
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013

Universitas Sumatera Utara


35

Kecenderungan akta buy back guarantie tidak dapat memberikan implikasi

hukum cukup beralasan, oleh karena akta buy back guarantie memang tidak diatur

secara tegas baik di dalam buku II KUHPerdata maupun di dalam buku III

KUHPerdata, seperti halnya lembaga penjaminan lainnya. Apalagi di dalam

KUHPerdata tidak dapat dijumpai sedikitpun adanya ketentuan tentang jaminan

(kewajiban) membeli kembali objek jaminan, melainkan hanya dikenal adanya hak

untuk membeli kembali (Pasal 1519 KUHPerdata). Ketiadaan pengaturan demikian

memberi konsekuensi hukum bahwa penggunaan akta buy back guarantie nantinya

hanya sekedar pelengkap dari berbagai macam akta penjaminan yang sudah ada dan

memiliki kekuatan eksekutorial (seperti APHT, akta Hipotik dan akta Fidusia),

sehingga implikasi hukum terhadap harta benda penjamin dalam hal terjadi

wanprestasi dikhawatirkan dapat melemahkan posisi kreditor dalam pelaksanaan

perjanjian.

Hal ini sangat berbeda pada lembaga penanggungan (borgtocht), sehingga

dalam pelaksanaan akta apakah dimungkinkan untuk menggunakan dan menerapkan

ketentuan-ketentuan borghtocht di dalam Buku III KUHPerdata, khususnya Pasal

1820-1850 KUHPerdata. Atau, jika sebaliknya ketika penjamin telah melaksanakan

kewajiban sesuai kehendak dari penjaminan buy back guarantie, apakah ketentuan

subrogasi di dalam Pasal 1400-1405 KUHPerdata dapat digunakan oleh penjamin

untuk menuntut haknya kepada debitor.

Kebanyakan Notaris juga beranggapan bahwa penggunaan akta buy back

guarantie ini semata-mata hanya memberi dampak sanksi moral terhadap penjamin,

Universitas Sumatera Utara


36

oleh karena akta ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial seperti layaknya APHT dan

akta fidusia. Padahal suatu akta otentik/notaril semestinya tidak boleh hanya memiliki

ikatan dan kekuatan moral saja, tetapi harus dapat berimplikasi pada pemenuhan hak-

hak dan kewajiban yang terkandung di dalam klausula-klausula akta otentik

sebagaimana maksud dari Pasal 1868 KUHPerdata, terutama implikasinya terhadap

harta kekayaan pemberi jaminan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 1131

KUHPerdata, dan tidak semata-mata hanya berimplikasi pada tanggung jawab moral

belaka.53

Jika ditinjau dari kekuatan hukum pelaksanaan akta, maka akta buy back

guarantie seharusnya mempunyai implikasi hukum sebagaimana halnya dengan

bentuk akta jaminan lainnya. Implikasi hukum ini akan menjadi persoalan ketika

penjamin tidak mau membeli kembali objek jaminan debitor sesuai yang telah

disepakati di dalam akta buy back guarantie.

D. Kedudukan Dan Peran Buy Back Guarantie Dalam Praktek Kredit


Kepemilikan Rumah

Mengingat buy back guarantie adalah perjanjian penjaminan yang lahir dari

sistem terbuka hukum perjanjian yang dianut Buku III KUHPerdata, maka tidak ada

ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengaturnya, yang artinya kembali kepada

para pihak yang terlibat bebas untuk mengatur sesuai dengan kehendak mereka.

53
Hasil wawancara dengan Notaris Jensen Ricardo Sitanggang, Notaris PPAT Kota Medan,
tanggal 13 Desember 2013

Universitas Sumatera Utara


37

Buy back guarantie tidak termasuk dalam salah satu perjanjian bernama yang

diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat

KUHPerdata). Buy back guarantie lahir karena kebutuhan praktik dan hal tersebut

adalah dimungkinkan berdasarkan sistim terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Sistem terbuka yang dimiliki Hukum Perjanjian telah memberikan kebebasan

sedemikian rupa sehingga setiap orang berhak dan bebas untuk membuat atau

mengadakan perjanjian yang segala sesuatunya sesuai dengan kehendak para pihak

yang membuat. Untuk itu terbuka kebebasan yang seluas-luasnya (beginsel der

contractsvrijheid) untuk mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian, asalkan tidak

melanggar Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Bahkan dimungkinkan

untuk mengatur sesuatu hal dengan cara yang berbeda atau menyimpang dari

ketentuan yang telah diatur yang terdapat di dalam pasal-pasal hukum perjanjian

(KUHPerdata).54

Buy back guarantie tidak terbentuk dalam satu perjanjian tersendiri. Buy back

guarantie timbul dalam rangka kerja sama penyaluran KPR oleh bank kepada

konsumen yang membeli unit rumah dari developer. Buy back guarantie terdapat

dalam perjanjian kerja sama pemberian fasilitas KPR, yang dibuat oleh dan antara

developer dan Bank. Unsur utama dalam perjanjian kerja sama pemberian fasilitas

KPR adalah ketentuan mengenai prosedur pemberian KPR oleh bank kepada
54
G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2003), hal.33.

Universitas Sumatera Utara


38

konsumen dan ketentuan mengenai jaminan (buy back guarantie).55 Kedua unsur

tersebut diatur dan disesuaikan dengan kesepakatan antara developer dan bank. Bila

dilihat dari aspek namanya, perjanjian tersebut dapat digolongkan dalam perjanjian

tidak bernama karena perjanjian tersebut tidak dapat dimasukkan dalam perjanjian

yang dikenal dalam KUHPerdata yaitu sebagaimana diatur dalam Bab V sampai

dengan Bab XVIII.56

Jika dilihat dari bentuk dan isinya, akta buy back guarantie ini menyerupai

bentuk perjanjian penanggungan (personal guarantie atau coorporate guarantie),

yang di dalam Pasal 1820 BW dikenal sebagai borghtocht, hanya saja subjek hukum

dari buy back guarantie berbeda dengan borghtocht. Oleh karena di dalam borghtocht

yang menjadi penjamin adalah pihak ketiga (personal guarantie dan atau corporate

guarantie) yang awalnya tidak mempunyai hubungan hukum dengan debitor,

sedangkan pada buy back guarantie yang bertindak sebagai penjamin adalah orang

atau badan hukum yang sebelumnya telah mempunyai hubungan hukum dengan

debitor. Buy back guarantie ini banyak dijumpai dalam perjanjian kredit konstruksi,

kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA) dan kredit

pemilikan mobil (KPM). Namun, jika ditinjau dari akibat hukum dalam hal terjadi

wanprestasi debitor, maka hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian buy back

55
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 06 Desember 2013
56
Ariadin Nadjamuddin, Aspek Hukum Akta Buy Back Guarantee Dan Implikasinya Bagi
Lembaga Perbankan, (FH Unhas: Jurnal Penelitian Hukum, 2012), hal.415.

Universitas Sumatera Utara


39

guarantie ini mirip dengan subrogasi yang dikenal di dalam Pasal 1400 BW, oleh

karena baik di dalam buy back guarantie maupun pada subrogasi terjadi penggantian

hak-hak oleh seorang pihak ketiga/ penjamin yang membayar kepada kreditor,

bedanya adalah, buy back guarantie hanya timbul berdasarkan perjanjian sedangkan

pada subrogasi bisa juga timbul karena undang-undang.57

Lazim terjadi di dalam praktik, buy back guarantie ada di dalam Perjanjian

Kerja Sama Pembiayaan KPR (selanjutnya disebut PKS) antara bank dan developer.

Di dalam praktiknya pula, telah terjadi pengembangan atas penerapan buy back

guarantie yang menurut peneliti adalah kurang tepat. Hal tersebut tercermin dari

penerapan buy back guarantie sebagai penanggungan utang dan menggunakan

ketentuan-ketentuan penanggungan utang untuk menjabarkan buy back guarantie.

Padahal konsep buy back guarantie bukan penanggungan utang. Namun, hal tersebut

sulit dihindari mengingat hubungan hukum yang terjadi antara bank dan debitor

adalah utang-piutang atau pinjam-meminjam yang diatur dalam perjanjian kredit

dan/atau perjanjian pengakuan hutang. Prestasi yang wajib dipenuhi debitor kepada

bank (kreditor) adalah pemenuhan kewajiban pembayaran utang, sehingga demi

kepentingan bank, buy back guarantie dijabarkan sebagai jaminan terhadap

kewajiban pembayaran utang debitor apabila debitor wanprestasi;

Perjanjian kerja sama tersebut biasanya dibuat dalam bentuk akta notaris,

sehingga dengan demikian perjanjian tersebut merupakan akta otentik dan


57
Ibid., hal.417

Universitas Sumatera Utara


40

mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs/ full evident).

Pertimbangan hukum yang mendasari pemilihan bentuk formil perjanjian tersebut

adalah kewajiban bank untuk menanggung risiko dalam pemberian KPR. Dengan

risiko tersebut, bank melindungi kepentingannya dalam perjanjian tersebut dengan

membuatnya dalam bentuk notariil sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna terutama mengenai jangka waktu, tanggal pembuatan, isi perjanjian,

penandatanganan, tempat pembuatan dan dasar hukumnya.

Sebagai akibat hukum juga yang terdapat dalam suatu akta otentik adalah

apabila ternyata perjanjian tersebut disangkal, maka yang mempunyai kewajiban

untuk membuktikan adalah pihak yang menyangkal. Developer dan bank sepakat

untuk melakukan kerja sama dengan syarat dan ketentuan yang disepakati bersama

sebagaimana tertuang dalam PKS. Syarat dan ketentuan yang ditentukan oleh

developer kepada tiap-tiap bank tentunya tidak sama begitu pula syarat dan ketentuan

yang ditetapkan oleh bank kepada tiap-tiap developer. Sehingga dalam tiap-tiap PKS

terdapat perbedaan baik secara materiil maupun redaksional. Pada umumnya terdapat

beberapa materi ketentuan yang selalu ada dalam PKS adalah sebagai berikut:

1. Fasilitas KPR

Pemberian fasilitas KPR menjadi materi utama dalam perjanjian. Ketentuan

yang mengatur fasilitas KPR dalam perjanjian kerja sama tersebut dapat bagi menjadi

dua bagian, yaitu:

a. Prosedur pemberian fasilitas KPR

Universitas Sumatera Utara


41

Pemberian fasilitas KPR merupakan kewenangan bank sebagai lembaga

keuangan perbankan. Namun dengan adanya kerja sama ini, developer diikutsertakan

dalam proses pemberian fasilitas KPR tersebut. Prosedur tersebut dalam perjanjian

kerja sama ini diatur sebagai berikut:

1) Konsumen dapat mengajukan permohonan fasilitas KPR secara langsung

maupun melalui developer.

2) Developer turut mendukung permohonan tersebut dengan melampirkan surat-

surat yang diperlukan termasuk tetapi tidak terbatas PPJB.

3) Pertimbangan atau keputusan dikabulkan atau tidak permohonan konsumen

merupakan keputusan bank sepenuhnya.

b. Ketentuan dalam pemberian fasilitas KPR

Syarat dan ketentuan dalam pemberian fasilitas KPR merupakan kewenangan

bank sepenuhnya. Kalaupun ada negosiasi, tentunya akan melibatkan konsumen

sebagai debitor penerima fasilitas kredit. Akan tetapi dengan perjanjian kerja sama,

syarat dan ketentuan dalam pemberian fasilitas KPR juga merupakan materi yang

dinegosiasikan antara bank dan developer. Syarat dan ketentuan tersebut adalah

sebagai berikut:58

1) plafon (baki debet) fasilitas KPR;

58
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara


42

2) batas maksimal pemberian fasilitas KPR, misalnya tidak melebihi maksimum

80% (delapan puluh persen) dari harga rumah;

3) jangka waktu pembayaran fasilitas KPR, misalnya maksimum 10 (sepuluh)

tahun;

4) penggunaan dana KPR hanya semata-mata untuk membayar harga rumah kepada

developer; kewajiban membayar bunga, provisi dan biaya administrasi kepada

Bank; pemberian fasilitas KPR akan dijamin dengan Hak Tanggungan atas

rumah;

2. Pernyataan Dan Jaminan Developer

Pemberian fasilitas KPR yang diberikan oleh bank pada akhirnya diterima dan

dinikmati oleh developer. Barang yang akan dijadikan jaminan atas fasilitas KPR

tersebut merupakan rumah yang dalam kenyataan hukum belum beralih

kepemilikannya. Dengan pertimbangan tersebut, dalam PKS, developer diminta

membuat pernyataan dan jaminan yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 59

a. legalitas dan keabsahan tindakan developer sebagai suatu badan hukum;

Dalam setiap aktivitasnya, developer sebagai suatu badan hukum berbentuk

perseroan terbatas terikat dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan perseroan terbatas termasuk tetapi tidak terbatas pada Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Perseroan Terbatas dan ketentuan yang diatur

59
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara


43

dalam anggaran dasar perseroannya. Sebagai suatu badan hukum, developer

direpresentasikan dengan Direksi yang mewakili perseroan baik di dalam maupun di

luar pengadilan. Dalam membuat dan melaksanakan perjanjian kerja sama ini,

developer tidak melanggar ketentuan perundang undangan dan tidak bertentangan

dengan anggaran dasar perseroan. Hal ini menunjukkan bahwa kausa yang halal

dalam perjanjian kerja sama tersebut telah dipenuhi.

b. Tanggung Jawab Developer Sebagai Penjual Rumah;

Dalam proses pemberian fasilitas KPR dibutuhkan peran serta developer.

Oleh karenanya dalam perjanjian tersebut developer menyatakan peran sertanya

sebagai kewajiban developer. Peran serta developer tersebut sebagai berikut:60

1) mengusulkan para calon debitor untuk memperoleh fasilitas KPR dari bank;

2) bertindak sebagai penghubung antara bank dan debitor;

3) memberi bantuan kepada bank dalam mengawasi dan memonitor ketaatan dan

pelaksanaan Perjanjian kredit antara konsumen dan bank;

4) membantu bank menghadirkan debitor dalam pengikatan kredit dan jaminan;

5) mengurus dan menyelesaikan penerbitan dokumen legalitas tanah;

Developer juga menyatakan bahwa developer adalah pemilik yang sah dan

mempunyai hak yang penuh atas unit rumah yang akan dijual kepada konsumen, dan

tidak ada pihak lain yang turut memiliki atau mempunyai hak apapun juga terhadap

60
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara


44

unit rumah tersebut ataupun bagian daripadanya belum pernah dijual,

dipindahtangankan/dialihkan haknya atau dijaminkan/dipertanggungkan dengan cara

bagaimanapun kepada orang/pihak lain (kecuali dapat diroya sebagian/roya parsial

berdasarkan surat pelepasan hak dari bank), tidak tersangkut dalam perkara/sengketa

dan juga tidak berada dalam suatu sitaan. Pernyataan ini berkaitan dengan ketentuan

jual beli sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Buku III Bab V tentang Jual Beli.

Dalam hal penandatanganan perjanjian utang piutang dahulu dari penandatanganan

akta jual beli rumah dan pada saat penandatanganan tersebut konsumen belum

memberikan perjanjian penjaminan dalam bentuk APHT maka:61

1) penandatanganan Akta Jual Beli atas rumah hanya akan dilaksanakan oleh

developer dan konsumen bersamaan dengan penandatanganan APHT oleh

konsumen dan bank;

2) penandatanganan Akta Jual Beli dan APHT hanya akan ditandatangani di

hadapan pejabat berwenang yang sama; dan

3) penandatanganan Akta Jual Beli antara developer dan konsumen tidak akan

dilakukan/tidak pernah akan terjadi bilamana pada saat yang bersamaan dengan

penandatanganan Akta Jual Beli ternyata debitor tidak mau menandatangani

APHT atas rumah yang digunakan untuk menjamin fasilitas KPR;

3. Jaminan Buy Back Guarantie

61
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara


45

Ketentuan buy back guarantie merupakan bagian yang penting dalam

perjanjian kerja sama pemberian fasilitas KPR, yang diatur dalam ketentuan buy back

guarantie diantaranya adalah sebagai berikut:62

a. Jangka Waktu Berlakunya Buy back Guarantie;

Selama Akta Jual Beli dan APHT atas Rumah belum ditandatangani oleh

konsumen, developer dengan ini wajib bertanggung jawab sepenuhnya dan mengikat

diri sebagai penjamin atas pembayaran seluruh jumlah uang yang terutang oleh

debitor kepada bank. Buy back guarantie akan berakhir dengan sendirinya apabila

AJB dan APHT ditandatangani oleh konsumen. Buy back guarantie juga akan

berakhir bila setelah pemberitahuan tertulis dari developer kepada bank untuk

diadakan penanda tanganan AJB, ternyata bank belum siap untuk mengadakan

penandatanganan APHT. Dalam praktek kredit kepemilikan rumah di Bank Bukopin

Tbk Cabang Medan jangka waktu buy back guarantie tersebut berlaku sampai dengan

kredit kepemilikan rumah tersebut selesai atau dilunasi debitor.

b. Kewajiban Pembayaran Yang Dijamin

Kewajiban pembayaran konsumen sehubungan dengan KPR yang diterimanya

adalah meliputi utang pokok, bunga, provisi, bunga denda dan/atau biaya-biaya

lainnya berdasarkan fasilitas KPR yang diterimanya, baik dalam mata uang Rupiah

ataupun mata uang lainnya, jumlah-jumlah uang mana besarnya akan ditentukan

sendiri oleh bank.

62
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara


46

c. Pelaksanaan Buy back Guarantee

Buy back guarantee akan diklaim oleh bank apabila konsumen/debitor telah

melalaikan kewajiban kepada BANK untuk membayar angsuran fasilitas KPR

sebanyak 3 (tiga) kali angsuran berturut-turut atau apabila fasilitas KPR yang telah

diberikan kepada konsumen tidak dijamin dengan rumah karena akibat/alasan yang

disebabkan oleh developer menjadi tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. Dalam

waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak bank memberitahukan secara tertulis kepada

developer bahwa telah terjadi salah satu sebab tersebut di atas maka developer wajib

membayar jumlah uang tersebut kepada bank.63

4. Syarat dan Ketentuan Buy Back Guarantie

Buy back guarantie diberikan oleh developer kepada bank dengan melepaskan

hak-hak utama, hak-hak istimewa serta exceptie-exceptie yang oleh Undang-Undang

diberikan kepada seorang penjamin, antara lain:

a. Hak untuk memperjuangkan apa yang wajib dibayar kepada debitur utama, tetapi

debitur utama tak diperkenankan memperjumpakan apa yang harus dibayar

kreditur kepada penanggung utang (Pasal 1430 KUHPerdata);

b. Hak untuk memberikan jaminan gadai atau hipotik sebagai ganti seorang

penanggung (Pasal 1830 KUHPerdata);

c. Hak untuk terlebih dahulu menyita dan menjual barang kepunyaan debitor untuk

melunasi hutangnya (Pasal 1831 KUHPerdata);

63
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara


47

d. Hak untuk mengajukan permohonan di hadapan hakim untuk menyita dan

menjual lebih dahulu barang kepunyaan debitor (Pasal 1833 KUHPerdata);

e. Hak untuk menuntut supaya kreditor terlebih dahulu membagi piutangnya, dan

mengurangkannya sebatas bagian masing-masing penanggung hutang yang terikat

secara sah (Pasal 1837 KUHPerdata);

f. Hak untuk menggunakan segala tangkisan yang dapat dipakai oleh debitur utama

dan mengenai utang yang ditanggungnya sendiri (Pasal 1847 KUHPerdata);

g. Hak untuk dibebaskan dari kewajibannya bila atas kesalahan kreditor ia tidak

dapat lagi memperoleh hak hipotek dan hak istimewa kreditor itu sebagai

penggantinya (Pasal 1848 KUHPerdata);

h. Hak untuk dibebaskan dari tanggungannya, sekalipun barang itu kemudian harus

diserahkan oleh kreditur kepada orang lain berdasarkan putusan Hakim untuk

kepentingan pembayaran utang tersebu, apabila kreditor secara sukarela

menerima suatu barang tak bergerak atau barang lain sebagai pembayaran utang

pokok (Pasal 1849 KUHPerdata), dan

i. Hak memaksa debitur untuk membayar utangnya atau membebaskan penanggung

dari tanggungannya, dalam hal adanya penundaan pembayaran sederhana yang

diizinkan kreditur kepada debitur (Pasal 1850 KUHPerdata).

Developer selanjutnya berjanji dan mengikat diri kepada/terhadap bank

selama developer tidak/belum membayar dengan penuh dan dengan sebagaimana

mestinya seluruh jumlah uang yang wajib dibayar oleh developer kepada bank

berdasarkan buy back guarantie ini, maka developer tidak akan menjalankan hak-

Universitas Sumatera Utara


48

haknya untuk disubrogasi dalam kedudukan bank (kreditor) terhadap konsumen

(debitor).

Dalam hal konsumen lalai melakukan kewajibannya atau wanprestasi, bank

akan meminta pelaksanaan jaminan buy back guarantie kepada developer. Dalam

waktu 3 (tiga) hari sejak surat pemberitahuan bank, developer wajib membayar

seluruh kewajiban pembayaran konsumen.

Dengan adanya pembayaran kewajiban konsumen/pelaksanaan buy back

guarantie, maka bank wajib menyerahkan seluruh dokumen kredit konsumen

termasuk tetapi tidak terbatas perjanjian kredit, akta pengakuan utang dan perjanjian

jaminan. Bersamaan dengan pembayaran buy back guarantee oleh developer kepada

bank, kedua belah pihak membuat dan menandatangani perjanjian subrogasi.

5. Peranan Buy Back Guarantie Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah

Buy back guarantie merupakan suatu penjaminan atas pembelian kembali unit

apartemen yang dibeli oleh konsumen, yang di dalam praktek karena adanya

hubungan hukum utang-piutang antara bank dan debitor KPR, bentuk

pengembangannya dijabarkan sebagai jaminan atas pelunasan KPR yang diberikan

oleh bank kepada debitor.

Apabila terjadi klaim, pembayaran kepada bank dianggap oleh developer

sebagai pembelian kembali unit rumah milik konsumen dan oleh bank dianggap

Universitas Sumatera Utara


49

sebagai pelunasan utang debitor KPR. Sehingga dengan adanya buy back guarantie

bank memperoleh kepastian atas pelunasan KPR.64

Buy back guarantie yang diberikan oleh developer kepada bank dalam PKS

KPR bertujuan untuk memfasilitasi atau mempermudah konsumen dalam mencari

sumber dana guna melunasi harga unit apartemen yang dibelinya.

Fasilitas kredit yang dapat diberikan buy back guarantie oleh developer

adalah hanya fasilitas KPR. Dengan demikian lembaga buy back guarantie tidak

dapat diberikan atas jenis kredit lain seperti Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit

Investasi dan lain sebagainya.

Jenis fasilitas KPR yang dapat diberikan buy back guarantie tersebut adalah

fasilitas KPR yang pencairan dananya digunakan untuk pelunasan harga pembelian/

pengikatan (KPR murni) bukan KPR/KPR refinancing, KPR pembiayaan

pembangunan di atas tanah kavling, KPR renovasi atau KPR penambahan/

pengembangan bangunan atau bentuk lainnya.

Apabila pembayaran atas pembelian unit rumah sudah dilunasi oleh

konsumen sendiri, apalagi sertipikat hak atas tanah sudah selesai atau hubungan

hukum antara developer dan debitor sudah bisa dilakukan dengan perbuatan hukum

jual beli dengan akta jual beli di hadapan PPAT yang berewenang, maka lembaga buy

back guarantie sudah tidak diperlukan dan tidak relevan lagi bagi developer maupun

pihak bank.

64
Hasil wawancara dengan Akbar Yudha Dewanto, Legal Officer PT. Bank Bukopin Tbk
Cabang Medan, tanggal 03 Januari 2014

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai