Anda di halaman 1dari 79

JAMINAN DALAM PERJANJIAN

UTANG PIUTANG

FAKULTAS HUKUM
BAB I
DASAR-DASAR JAMINAN

A. Perjanjian Utang Piutang


Menurut hukum, Perjanjian utang piutang/ pinjam meminjam adalah suatu
perjanjian dengan mana :
- Pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
barang yang habis karena pemakaian.
- Dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah
yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Pasal 1754 KUH Perdata.

Yang menjadi ciri khas dari perjanjian utang piutang adalah barang yang dapat
menjadi obyek perjanjian utang piutang adalah “barang-barang yang habis karena
pemakaian”, misalnya uang.
Kalau barang tersebut berbentuk barang yang tidak habis karena pemakaian maka
bentuk perjanjiannya adalah “pinjam pakai” bukan “utang piutang” (Pasal 1742 KUH
Perdata).
Misalnya ada orang meminjam mobil, maka perjanjiannya bukan utang piutang/
pinjam meminjam tetapi pinjam pakai.

 Perbedaan antara “perjanjian utang piutang” dengan “perjanjian pinjam pakai”


yaitu:
- Dalam pinjam pakai tidak ada peralihan Hak milik (Pasal 1740 KUH Perdata).
- Dalam utang piutang, Hak milik beralih kepada pihak lainnya dengan janji pihak lain
akan menggantinya (Pasal 1754 KUH Perdata), karena itu dalam perjanjian pinjam
meminjam obyeknya adalah barang yang dapat diganti dengan uang.

Pihak-pihak yang harus ada dalam suatu perjanjian utang piutang yakni:
Minimal harus ada 2 (dua) pihak yaitu:
- Kreditor, pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang piutang tertentu.
- Debitor, pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang piutang tertentu.
Kewajiban utama dari Debitor (pihak yang berutang) kepada pihak Kreditor (pihak
Pemberi utang) dalam perjanjian utang piutang tertentu adalah melunasi utangnya
kepada Kreditor, dimana menurut:
- Pasal 1763 KUH Perdata, Debitor wajib mengembalikan sesuatu pinjaman dalam
jumlah dan keadaan yang sama pada waktu yang telah ditentukan.
- Pasal 1764 KUH Perdata, jika Debitor tidak mampu melakukan kewajiban tersebut
maka ia wajib membayar harga barang yang dipinjamnya.

Kewajiban dari Pemberi pinjaman dalam perjanjian pinjam meminjam yaitu yang
member pinjaman tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya
sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian (Pasal 1759 KUH Perdata).

B. Jaminan Dalam Utang Piutang


Hal yang biasanya diminta oleh Kreditor (yang memberikan utang) kepada Debitor
(yang menerima utang) ketika melakukan perjanjian utang piutang tertentu adalah
ada tidaknya Jaminan yang dimiliki oleh Debitor.
Jaminan pada dasarnya untuk memberikan kedudukan lebih baik kepada Kreditor
dalam usahanya untuk mendapatkan pemenuhan (pelunasan) piutangnya dari
Debitor dibandingkan dengan pada Kreditor yang tidak mempunyai Hak Jaminan,
dengan perkataan lain pemenuhan piutangnya lebih terjamin tetapi bukan berarti
pasti terjamin (J.Satrio, 1991 : 3-4).

Bentuk Jaminan yang diberikan Debitor kepada Kreditor dalam perjanjian utang
piutang adalah:
- Dalam bentuk Jaminan harta Benda Debitor.
- Dalam bentuk Jaminan orang (person Debitor).
- Dalam bentuk Jaminan yang lain.

C. Jaminan Harta Benda Debitor


Asas umum dari Jaminan dari Debitor kepada Kreditor adalah “Segala barang-barang
bergerak dan tak bergerak milik Debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan
ada, menjadi Jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan Debitor itu” (Pasal 1131
KUH Perdata).

 Hal yang menjamin Hak tagihan (piutang) seorang Kreditor adalah:


- Segala Benda bergerak maupun tidak bergerak milik Debitor yang sudah ada,
artinya Benda yang ada pada saat hutang dibuat.
- Segala Benda bergerak maupun tidak bergerak milik Debitor yang akan ada, artinya
Benda yang pada saat pembuatan hutang belum menjadi kepunyaan Debitor tetapi
kemudian menjadi miliknya.

Dengan demikian pada dasarnya seluruh harta Debitor menjadi Jaminan hutang
kepada Debitor.

Konsekuensi yuridis dari asas “bahwa seluruh harta Debitor menjadi Jaminan hutang
kepada Kreditor” yaitu Kreditor dapat menyita dan menjual harta mana saja milik
Debitor untuk melunasi hutang Debitor.
Prinsip “semua harta Debitor menjadi Jaminan utangnya” berlaku mutlak tetapi
terdapat pengecualian yang diatur UU, yakni dalam hal dan keadaan tertentu ada
barang-barang milik Debitor tidak bisa disita kemudian dijual untuk pelunasan
hutangnya, misalnya dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 197 ayat (8) HIR, 1200
KUH Perdata.
Dalam aturan-aturan tersebut mengecualikan Benda-Benda atau harta-harta milik
Debitor sebagai Jaminan hutangnya kepada Kreditor sehingga harta-harta tersebut
tidak bisa dieksekusi dan dijual untuk pemenuhan piutang Kreditor.

Jika seorang Debitor memiliki hutang kepada lebih dari satu Kreditor, maka semua
harta Debitor tersebut menjadi Jaminan untuk seluruh Kreditornya karena pada
asasnya “Barang-barang itu menjadi Jaminan bersama bagi semua Kreditor
terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang
masing-masing kecuali bila di antara para Kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk
didahulukan” (Pasal 1132 KUH Perdata).
Artinya :
- Semua Kreditor mempunyai Hak untuk dilunasi yang sama dari harta Debitor.
Dengan demikian umur atau lahirnya Hak tagihan lebih dahulu pada dasarnya tidak
memberikan suatu kedudukan yang lebih baik kepada Kreditor yang bersangkutan.

Akibat hukum jika seorang Debitor memiliki banyak Kreditor jika dihubungkan dengan
asas bahwa semua Kreditor berkedudukan sama terhadap harta milik Debitor yaitu
harta milik Debitor menjadi Jaminan bagi semua piutang Kreditor-Kreditor,
konsekuensinya atas hasil penjualan barang-barang milik Debitor itu dibagi menurut
perbandingan piutang masing-masing.
Pendapatan dari penjualan Benda-Benda Debitor tersebut harus dibagi di antara para
penagih menurut perimbangan jumlah piutang masing-masing kecuali jika di antara
para Kreditor tersebut ada yang oleh undang-undang telah diberikan Hak untuk
mengambil pelunasan lebih dahulu dari pada penagih-penagih yang lainnya.

Alasan-alasan sah yang dapat mengakibatkan Kreditor mempunyai Hak untuk


didahulukan dalam pelunasan piutangnya adalah Kreditor yang mempunyai Hak
Istimewa (Privelege), Gadai dan Hipotek (Pasal 1333 KUH Perdata). Kreditor ini diberi
istilah sebagai Kreditor Preferent. Dengan lahirnya UU Fidusia dan UU Hak
Tanggungan maka Kreditor yang memiliki Jaminan Fidusia dan Hak Tanggungan juga
diberikan Hak untuk didahulukan.
Dengan demikian Kreditor yang mempunyai Hak Istimewa, Kreditor yang memiliki
Hak Gadai/ Fidusia, Kreditor yang memiliki Hak Hipotek/ Hak Tanggungan (Kreditor
Preferent) memiliki kedudukan untuk didahulukan mendapatkan pelunasan
piutangnya dari harta milik Debitor dibandingkan Kreditor lainnya (Kreditor
Konkuren).

 - Hak Privelege / Hak Istimewa merupakan Hak Debitor karena sifat piutang itu sendiri
(Pasal 1134 KUH Perdata), dimana Hak Privelege terdiri dari Hak Privelege umum dan
Hak Privelege khusus. Hak ini diberikan kepada Kreditor oleh UU, sehingga Hak ini
tidak perlu diperjanjikan Kreditor dan Debitor, jadi Hak ini muncul secara otomatis.
Hak Privelege bukan merupakan Hak keBendaan, yang artinya pemilik Hak Privelege
tidak mempunyai Hak untuk menjual sendiri Benda-Benda atas mana ia mempunyai
Hak yang didahulukan untuk mengambil pelunasannya, ia tidak mempunyai Hak yang
mengikuti Bendanya seperti yang dimiliki pemegang Gadai, Fidusia, Hipotek, dan
Hak Tanggungan.
- Gadai merupakan Hak yang diperoleh seorang Kreditor atas suatu Benda bergerak
yang diserahkan kepadanya oleh Debitor (Pasal 1150 KUH Perdata).
- Fidusia merupakan Hak yang diperoleh seorang Kreditor atas suatu Benda bergerak
dimana Benda tersebut tidak diserahkan kepada Kreditor tetapi tetap berada di
tangan Debitor.
Fidusia adalah pengalihan Hak kepemilikan suatu Benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa Benda yang Hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik Benda (Pasal 1 angka 1 UU Fidusia).
- Hipotek merupakan Hak keBendaan atas barang-barang yang tidak bergerak yang
dijadikan Jaminan dalam pelunasan suatu perikatan (Pasal 1162 KUH Perdata).
Hak Tanggungan atas tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah (Hak
Tanggungan), adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada Hak atas tanah, berikut
atau tidak berikut Benda-Benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lain (Pasal 1 angka 1
UU Hak Tanggungan).
- Gadai, Fidusia, Hipotek, Hak Tanggungan termasuk Hak keBendaan, Hak ini
diberikan kepada Kreditor berdasarkan perjanjian yang dibuat sebelumnya oleh
Kreditor dan Debitor, jadi tidak secara otomatis ada, kalau tidak diperjanjikan maka
Hak Gadai/ Fidusia/ Hak Tanggungan tidak akan ada.
Dengan demikian lahirnya Hak didahulukan karena UU dan Karena diperjanjikan.
- Hak Privelege khusus mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari Hak Privelege
umum (Pasal 1138 KUH Perdata). Sedangkan Gadai dan Hipotek pada asasnya
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Privelege baik umu maupun khusus (Pasal
1134 ayat 2 KUH Perdata).
- Gadai berkembang dengan adanya lembaga Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999),
dimana dengan adanya UU Jaminan Fidusia maka lembaga Gadai dimodifikasi
sehingga barang yang menjadi Jaminan tidak berada di tangan Kreditor (seperti
dalam Gadai) akan tetapi tetap berada di tangan Debitor.
- Hipotek berkembang dengan adanya Hak Tanggungan atas tanah beserta Benda-
Benda yang berkaitan dengan tanah/ Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996),
dimana dengan adanya UU Hak Tanggungan maka Hipotek khusus Benda tidak
bergerak dalam bentuk tanah dan Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah
disebut dengan Hak Tanggungan.
- Hak Privelege mengikat seluruh harta baik bergerak maupun tidak bergerak. Harta
bergerak dapat terikat dengan Gadai dan Fidusia. Harta tidak bergerak dapat
terikat dengan Hipotek dan Hak Tanggungan (khusus untuk tanah).
- Selain lembaga hukum yang diatas ada pula lembaga hukum lainnya yaitu sewa
beli, kompensasi, Hak Retensi, Kreditor perseroan.

D. Jaminan Orang
Pihak ketiga Penanggung Utang

Jaminan Orang secara garis besar dibedakan menjadi dua bentuk, yakni :
- Pihak ketiga yang menjamin.
- Pihak persoon Debitor sendiri yang dapat mendapat Jaminan.
Jaminan yang diberikan pihak ketiga berupa suatu pernyataan bahwa ia akan
menanggung pelaksanaan perjanjian apabila yang wajib (Debitor) tidak memenuhi
janjinya, hal ini dalam hukum disebut sebagai penanggungan utang.
Dimana menurut Pasal 1820 KUH Perdata dikatakan sebagai perjanjian dengan mana
seseorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.

Pihak-pihak yang ada dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu Kreditor, Debitor,
dan Penanggung utang.

Akibat hukum dari penanggungan utang bagi Penanggung dan Kreditor adalah :

- Penanggung tidak wajib membayar kepada Kreditor kecuali Debitor lalai membayar
utangnya, dalam hal itupun barang kepunyaan Debitor harus disita dan dijual
terlebih dahulu untuk melunasi utangnya (Pasal 1831 KUH Perdata), dalam hal ini :
o Penanggung wajib menunjukkan barang kepunyaan Debitor itu kepada
Kreditor dan membayar lebih dahulu biaya-biaya untuk penyitaan dan
penjualan tersebut (Pasal 1834 KUH Perdata).
o Kreditor bertanggung jawab terhadap penanggung atas ketidakmampuan
Debitor yang terjadi kemudian dengan tiadanya tuntutan-tuntutan, sampai
sejumlah harga barang-barang yang ditunjuk itu (Pasal 1835 KUH Perdata).
- Kreditor tidak wajib menyita dan menjual lebih dahulu barang kepunyaan Debitor,
kecuali bila pada waktu pertama kalinya dituntut di muka Hakim, penanggung
mengajukan permohonan untuk itu (Pasal 1833 KUH Perdata).

Akibat hukum dari penanggungan utang bagi Penanggung dan Debitor adalah :

- Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu
dari Debitor, dalam bentuk uang pokok, bunga serta biaya-biaya (Pasal 1839 KUH
Perdata).
- Penanggung yang telah membayar lunas utangnya, menggantikan Kreditor dengan
segala Haknya terhadap Debitor semula (Pasal 1840 KUH Perdata).
- Penanggung yang telah membayar utangnya sekali, tidak dapat menuntutnya
kembali dari Debitor utama yang telah membayar untuk kedua kalinya bila ia tidak
memberitahukan pembayaran yang telah dilakukan itu kepadanya (Pasal 1842 KUH
Perdata).
- Penanggung dapat menuntut Debitor untuk meminta ganti rugi atau untuk
dibebaskan dari perikatannya, bahkan sebelum ia membayar utangnya :
o Apabila ia digugat di muka Hakim untuk membayar;
o Apabila Debitor telah berjanji untuk membebaskannya dari
penanggungannya pada waktu tertentu;
o Apabila utangnya sudah dapat ditagih karena lewatnya jangka waktu yang
telah ditetapkan untuk pembayarannya;
o Setelah lewat waktu sepuluh Tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung
suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya kecuali bila perikatan
pokok sedemikian sifatnya, hingga tidak dapat diakhiri sebelum lewat suatu
waktu tertentu, seperti suatu perwalian.

Tidak ada aturan mengenai berakhirnya perjanjian penanggungan utang, tetapi yang
diatur dalam UU adalah berakhirnya perikatan-perikatan yang lahir dari
penanggungan, dimana menurut Pasal 1845 KUH Perdata, perikatan yang timbul
karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang
menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya.
Tetapi dengan memperhatikan penanggungan merupakan buntut (accessoir) dari
perjanjian pokok hutang piutang maka penanggungan berakhir bila perjanjian pokok
tersebut berakhir.

Jaminan Persoon Debitor (Lembaga Paksa Badan)

Jaminan orang tersebut bisa dalam bentuk lembaga sandera (Gijzeling) yakni Debitor
yang tidak mau melunasi hutangnya kepada Kreditor maka akan dikenakan sandera
dalam tempat dan waktu tertentu.
Lembaga Sandera tersebut diatur dalam Pasal 209 sampai dengan 224 HIR/ 242
sampai dengan 258 Rbg.
Dimana sandera tersebut merupakan tindakan “perampasan kebebasan bergerak
seseorang” dalam rangka eksekusi perkara perdata yang telah memiliki kekuatan
hukum pasti, putusan perkara mana telah dimulai dengan penyitaan barang-barang
milik pihak yang kalah, akan tetapi telah ternyata bahwa orang itu sama sekali tidak
memiliki barang atau barang-barang miliknya tidak cukup banyak untuk melunasi
hutang-hutangnya. Penyanderaan dalam HIR/ Rbg ditujukan kepada orang yang tidak
mampu yang tidak mungkin dapat melunasi hutang-hutangnya.

Paksa badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukan seseorang
Debitor yang beritikad tidak baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan
oleh Pengadilan untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya (Vide

Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2000).


Syarat utama agar Debitor tersebut dapat dikenakan paksa badan adalah Debitor
tersebut harus Debitor yang beritikad tidak baik yakni Debitor, penanggung atau
penjamin hutang yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk
membayar hutang-hutangnya (Vide Pasal 1 huruf b Perma No. 1 Tahun 2000).

Untuk dapat dikenakan lembaga paksa badan Debitor yang beritikad tidak baik
tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut :
- Debitor yang beritikad tidak baik tersebut harus berusia kurang dari 75 Tahun.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2000 dinyatakan paksa badan tidak dapat
dikenakan terhadap Debitor yang beritikad tidak baik yang telah berusia 75 Tahun.
- Hutang yang dimiliki Debitor yang beritikad tidak baik tersebut harus sekurang-
kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Dalam Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2000 dinyatakan paksa badan hanya dapat
dikenakan pada Debitor yang beritikad tidak baik yang mempunyai hutang
sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Pihak lain selain Debitor yang tidak beritikad baik yang dapat dikenakan paksa badan
yakni ahli waris yang telah menerima warisan dari Debitor yang beritikad tidak baik
(Vide Pasal 3 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2000).
Tata cara paksa badan adalah :
- Paksa badan dilakukan dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan Pengadilan
(Pasal 1 huruf a jo. Pasal 7 Perma No. 1 Tahun 2000).
- Paksa badan ditetapkan untuk 6 (enam) bulan lamanya, dan dapat diperpanjang
setiap 6 (enam) bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 (tiga) Tahun (Pasal
5 Perma No. 1 Tahun 2000).
o Pelaksanaan paksa badan dilakukan oleh Panitera / Juru sita atas perintah
Ketua Pengadilan Negeri, bilamana perlu dengan bantuan Alat Negara
(Pasal 8 Perma No. 1 Tahun 2000).

Pihak yang dibebani untuk membayar biaya selama Debitor melaksanakan paksa
badan yaitu Pemohon Paksa Badan (Pasal 9 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2000),
dimana selama menjalani Paksa Badan Debitor yang beritikad tidak baik dapat
memperbaiki kehidupannya atas biaya sendiri (Pasal 9 ayat (2) Perma No. 1 Tahun
2000).

E. Jaminan Lainnya
Jaminan bisa berbentuk harta Benda maupun Jaminan orang. Dalam praktek dikenal
bentuk Jaminan dalam bentuk lain yang tak dapat dimasukan ke dalam salah satu
kelompok tersebut yaitu Jaminan dalam wujud ijasah, surat pension dan lain-lain
yang berupa Jaminan Benda tertentu/ sekelompok Benda tertentu, tetapi tidak
mempunyai sifat Hak keBendaan dan bukan pula merupakan Jaminan perorangan. Di
samping itu Benda Jaminan bagi oarng lain tidak mempunyai nilai ekoNomis
(J.Satrio, 1991 : 11-12).

F. Bergunanya Jaminan

Suatu Jaminan baik itu Jaminan umum maupun Jaminan khusus terlihat berguna
dalam pelunasan piutang apabila Debitor tidak memenuhi kewajibannya atau
wanprestasi. Contohnya, dalam perjanjian utang piutang, Debitor pada waktu yang
telah ditentukan tidak membayar utangnya, maka Kreditor dapat melakukan atau
meminta dilakukan penjualan barang yang menjadi Jaminan utang piutang tersebut.

Pada asasnya penjualan barang Jaminan yang diberikan oleh Debitor harus melalui
sarana eksekusi terlebih dahulu dari Pengadilan, tetapi dalam hal-hal tertentu
Kreditor (yang memiliki Jaminan khusus/ keBendaan) dapat langsung menjual barang
yang menjadi Jaminan.
BAB II
HAK ISTIMEWA (PRIVELEGE)

A. Sifat Hak Privelege

Yang menjadi ciri khas dari Hak Privelege adalah :


- Hak Privelege tidak memberikan suatu kekuasaan terhadap suatu Benda, seorang
Kreditor dengan Hak Privelege tidak dapat menyita sesuatu Benda jika ia tidak
mempunyai memegang title eksekutorial.
- Hak Privelege tidak termasuk sebagai Jaminan keBendaan, seperti halnya Gadai/
Hipotek. Karena Privelege bukan Hak atas sesuatu Benda, tetapi Privelege adalah
Hak terhadap Benda yaitu terhadap Benda Debitor.

Konsekuensi dari Hak Istimewa (Privelege) bukan sebagai Hak keBendaan yakni Hak
Privelege hanya merupakan Hak untuk lebih didahulukan dalam pelunasan/
pembayaran piutangnya.

B. Pengertian Hak Privelege

Hak Privelege adalah Suatu Hak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seorang
Kreditor yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada Kreditor yang
lainnya yang piutangnya tidak didahulukan, semata-mata berdasarkan sifat piutang
itu (Pasal 1134 KUH Perdata).

Hal yang menjadikan piutang Kreditor terkualifikasi sebagai Hak Privelege yakni
dilihat dari sifat piutangnya dan sifat piutang tersebut ditentukan oleh undang-
undang.
Dalam Pasal 1134 KUH Perdata disebutkan Hak Privelege lahir karena diberikan
undang-undang bukan diperjanjikan seperti Gadai, Fidusia, Hipotek dan Hak
Tanggungan.

Hak Privelege baru lahir apabila suatu kekayaan milik Debitor yang telah disita
ternyata tidak cukup untuk melunasi semua hutang.

C. Macam-Macam Hak Privelege

Undang-undang membedakan Hak Privelege dalam dua kelompok besar yakni :


- Privelege umum, yaitu Hak didahulukan terhadap semua harta orang yang
berhutang (Debitor) (Pasal 1149 KUH Perdata). Dimana piutang dengan Hak
Privelege umum terdiri dari 7 macam.
Privelege yang umum menentukan urutannya, yang lebih dahulu disebut juga
didahulukan dalam pelunasannya (Soedewi, 1981 : 34 ).
- Privelege khusus, yaitu Hak didahulukan terhadap suatu Benda tertentu, yakni
Benda-Benda yang disebutkan secara khusus (Pasal 1139 KUH Perdata). Dimana
piutang dengan Hak Privelege khusus terdiri dari 9 macam.
Privelege yang khusus tidak menentukan urutannya, meskipun disebut berturut-
turut tidak mengharuskan adanya urutan tersebut.

Privelege Khusus
Jenis-jenis Hak Privelege khusus yaitu Piutang-piutang tersebut terdiri dari 9
(sembilan) macam yakni :

1. Ongkos-ongkos pengadilan
2. Hak Privelege orang yang menyewakan
3. Hak Privelege penjual
4. Biaya untuk menyelamatkan suatu barang
5. Biaya pengerjaan suatu barang yang masih harus dibayar kepada pekerjanya
6. Hak Privelege pemilik rumah penginapan
7. Upah pengangkutan
8. Hak Privelege tukang batu, tukang katu dan tukang bangunan
9. Hak Privelege atas penggantian dan pembayaran yang dipikul oleh pegawai yang
memangku jabatan umum.

Dan seperti tersebut di atas, urutan jenis Hak Privelege khusus ini tidak menunjukkan
yang disebut terlebih dahulu juga didahulukan dalam pelunasannya.

Jenis Hak Privelege khusus yang pertama adalah ongkos-ongkos pengadilan.


Ongkos-ongkos Pengadilan yakni :

- Biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang bergerak atau
barang tak bergerak sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai
pemilikan atau penguasaan (Pasal 1139 Sub 1 KUH Perdata).

Tagihan tersebut meliputi :

- Ongkos penyitaan
- Biaya pelaksanaan putusan pengadilan
- Biaya penyusunan tingkatan-tingkatan Kreditor
- Biaya Pelelangan.

Kegunaan utama biaya yang dikeluarkan untuk ongkos Pengadilan adalah untuk
menyelamatkan barang tersebut dari kemungkinan diasingkan oleh Debitor sebelum
sampai pada pelelangan dan dimaksudkan untuk menghasilkan sejumlah uang untuk
kemudian diambil sebagai pelunasan bagi piutang-piutang para / semua Kreditor.

Ongkos-ongkos pengadilan mempunyai kedudukan yang didahulukan dibandingkan


piutang yang didahulukan lainnya, bahkan ongkos pengadilan harus didahulukan
dibayar dibandingkan dengan Gadai / Hipotek.

- Biaya ini dibayar dengan hasil penjualan barang tersebut, lebih dahulu daripada
segala utang lain yang mempunyai Hak didahulukan, bahkan lebih dahulu daripada
Gadai Hipotek (Pasal 1139 Sub 1 KUH Perdata).

Dari aturan ini semakin memperjelas ketentuan Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata bahwa
Gadai dan Hipotek lebih tinggi daripada Hak Istimewa, kecuali dalam hal undang-
undang dengan tegas menentukan kebalikannya.

Ongkos-ongkos di Pengadilan dikeluarkan pada dasarnya untuk kepentingan Kreditor


itu sendiri, jikalau tidak ada proses di Pengadilan maka kemungkinan harta Debitor
tersebut terasing atau bahkan hilang, karenanya pantas kalau biaya-biaya tersebut
diambil lebih dahulu dari hasil penjualan sebelum dibayarkan kepada para Kreditor.
Jenis Hak Privelege khusus yang kedua adalah Hak Privelege orang yang menyewakan.
Hak Privelege orang yang menyewakan yakni lahir apabila penyewa berutang
kepada orang yang menyewakan dalam bentuk :

- Uang sewa barang tetap


- Biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewa
- Segala sesuatu yang berhubungan dengan pemenuhan perjanjian sewa penyewa itu
(Pasal 1139 sub 2 KUH Perdata).

Dengan demikian Hak ini berwujud tagihan sewa atas barang tetap atau barang-barang
tidak bergerak saja. Misalnya tagihan sewa rumah.

Menurut undang-undang tagihan orang yang menyewakan terbatas untuk tagihan


sewa, reparasi dan ganti rugi selama 3 (tiga) Tahun terakhir dan selama Tahun yang
sedang berjalan.

Hal ini diatur dalam Pasal 1143 KUH Perdata yang menyatakan ”Hak didahulukan pihak
yang menyewakan meliputi segala uang sewa yang sudah dapat ditagih selama tiga
Tahun terakhir dari Tahun yang berjalan”.

Dalam Pasal 1140 ayat (1) KUH Perdata diatur orang yang menyewakan dapat
melaksanakan Hak Istimewanya terhadap Benda-Benda milik penyewa atau pun bukan
kepunyaan penyewa yang ada dalam objek penyewaan yakni :

- Buah-buah yang masih bergantung pada cabang-cabang di pohon, atau yang masih
terikat erat oleh akar-akar pada tanah.
- Buah-buah baik yang sesudah dipanen maupun yang belum dipanen dan masih
berada di atas tanah.
- Sesuatu yang ada di atas tanah, baik untuk menghias rumah atau kebun yang
disewa.
- Sesuatu untuk menggarap atau menggunakan tanah itu, aeperti : ternak, perkakas-
perkakas pembangunan.

Kedudukan piutang orang yang menyewakan ditaruh di belakang dari tagihan :

- Orang yang menagih harga pembelian bibit yang masih terutang.


- Orang yang menagih biaya panenan yang sedang berjalan yang belum dibayar,
harus dibayar dari hasil panenan itu.
- Harga pembelian perkakas yang belum dibayar harus dari hasil penjualan perkakas
itu.
( Vide Pasal 1141 KUH Perdata).
Dengan demikian jika ada tagihan dalam bentuk yang tersebut dalam Pasal 1141 KUH
Perdata maka piutang orang yang menyewakan kedudukannya tidak didahulukan.
Pihak yang menyewakan berHak melakukan penyitaan barang-barang bergerak
dalam bentuk sita Revindicatoir atas barang :
- Yang diperuntukkan bagi perkebunan yang diangkut tanpa izin orang yang
menyewakan
- Barang perhiasan sebuah rumah yang diangkut tanpa izin orang yang menyewakan.
( Vide Pasal 1142 KUH Perdata).

Dengan jangka waktunya yakni :

- Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah barang diangkut jika barang yang
diangkut tersebut berupa peralatan perkebunan/ pertanian dan ternak.
- Dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah barang diangkut jika barang yang
diangkut tersebut berupa perhiasan sebuah rumah.
(Vide Pasal 1142 KUH Perdata).

Jenis Hak Privelege khusus yang ketiga adalah Hak Privelege penjual.
Hak Privelege penjual berupa piutang atas harga pembelian Benda-Benda bergerak
yang belum dibayar (Pasal 1139 Sub 3 KUH Perdata).

Dimana penjual barang bergerak yang belum mendapat pelunasan dapat


melaksanakan Hak didahulukan atas uang pembelian barang itu, bila barang-barang
itu masih berada di tangan Debitor, tanpa memperhatikan apakah ia telah menjual
barang-barang itu dengan tunai atau tanpa penentuan waktu (Pasal 1144 KUH
Perdata).

Dengan demikian Hak penjual ini muncul dalam hal jual beli Benda-Benda yang
bergerak.

Yang menjadi dasar sehingga seorang penjual Benda bergerak diberikan Hak
Privelege adalah karena jual beli merupakan perjanjian timbal balik, dimana kedua
prestasi berkaitan erat sekali satu sama lain, sehingga pembuat undang-undang
merasa perlu untuk membantu pihak yang satu, kalau pihak lain wan prestasi. Penjual
menyerahkan barangnya, karena ia mengharapkan uang dari pembeli dan sebaliknya
(P. Scholten dalam J.Satrio, 1991 : 62 ).

Hak Privelege ini baru muncul apabila barang yang sudah dijual sudah di tangan
pembeli.
Hak ini masih ada apabila ”barang-barang itu masih berada di tangan Debitor” (Pasal
1144 KUH Perdata). Dan ketentuan ini sebaiknya dibaca dalam bentuk ”barang-
barang itu masih milik Debitor”.

Hak Privelege penjual menjadi hilang apabila barang tersebut telah dijual oleh
pembeli asal kepada pihak lain. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 1146 a ayat
(1) KUH Perdata yang menyatakan ”Hak penjual hapus, bila barang-barang itu,
setelah berada dalam penguasaan pembeli semula atau kekuasaannya, dibeli dengan
itikad baik oleh pihak ketiga dan telah diserahkan kepadanya”. Dengan demikian
Hak penjual hapus apabila :

- Barang-barang itu telah dibeli dengan itikad baik oleh pihak ketiga.
- Barang itu telah diserahkan kepada pihak ketiga tersebut.

Ada aturan jika ternyata barang yang dijual pembeli kepada pihak ketiga tersebut
ternyata oleh pihak ketiga uang pembeliannya belum dibayar yakni penjual semula
dapat menuntut uang itu sampai memenuhi jumlah tagihannya, asalkan tagihan itu
dilakukan dalam waktu enam puluh hari setelah penyerahan semula (Pasal 1146a ayat
(2) KUH Perdata.

Sarana hukum yang dimiliki oleh penjual jika dalam hal penjualan barang-barang
bergerak telah dilakukan dengan tunai dan pembeli tidak mau membayar harganya
yaitu menurut Pasal 1145 KUH Perdata penjual tersebut memiliki Hak untuk
menuntut kembali barangnya tersebut dengan syarat :

1. Barang-barang itu masih berada di tangan pembeli


2. Barang-barang masih dalam keadaan yang sama dengan pada waktu barang
tersebut diserahkan
3. Penuntutan kembalinya barang itu dilakukan dalam waktu tiga puluh hari setelah
penyerahannya.

Dan yang paling utama jual beli tersebut dilakukan terhadap barang bergerak yang
diperjanjikan dijual secara tunai.

Istilah dari Hak penjual untuk menuntut barang bergerak yang tidak dibayar oleh
pembelinya, Hak penjual tersebut dinamakan dengan Hak Reklame.

Cara pelaksanaan Hak Reklame tidak terikat kepada bentuk tertentu. Penjual tidak
perlu, tetapi boleh mengajukan tuntutan di depan Hakim, cukup kalau ia menegurnya
melalui eksploit juru sita, bahkan dapat secara lisan atau tertulis lain (Volmar dalam J.
Satrio, 1991 : 68).
Dengan demikian sarana hukum yang melindungi penjual dari barang yang telah
dijualnya yaitu Hak Privelege penjual dan Hak Reklame.

Perbedaan yang mendasar dari Hak Privelege penjual dengan Hak Reklame
penjual yakni :

- Hak reklame hanya diberikan untuk jual beli secara tunai sedangkan Hak Privelege
tidak terbatas pada jual beli secara tunai.
- Hak Reklame ditujukan agar barang bisa kembali kepada penjual sedangkan Hak
Privelege bertujuan agar mendapat pelunasan lebih dahulu dari hasil penjualan
barang yang dulunya milik penjual tersebut.

Menurut Pasal 1146 KUH Perdata kedudukan atau tingkatan dari Hak Privelege penjual
jika dibandingkan dengan Hak Privelege orang yang menyewakan itu tahu bahwa
barang itu bukan miliknya si penyewa atau tidak yaitu :

- Jika orang yang menyewakan tidak tahu maka Hak Privelege orang yang menyewakan
didahulukan dari Hak Privelege penjual (Vide Pasal 1146 jo 1140 KUH Perdata)

- Jika orang yang menyewakan tahu maka Hak Privelege penjual didahulukan dari Hak
Privelege orang yang menyewakan (Vide Pasal 1146 KUH Perdata)

 Jenis Hak Privelege khusus yang keempat adalah Biaya untuk menyelamatkan suatu
barang. Jadi menurut Pasal 1139 sub 4 KUH Perdata, biaya yang dikeluarkan untuk
menyelamatkan suatu barang diberikan kedudukan sebagai piutang yang
diIstimewakan atas hasil penjualan barang tersebut ( Pasal 1139 Sub 4 KUH
Perdata ) .Yang menjadi catatan barang disini tidak bergerak, akan tetapi para ahli
menyatakan biaya tersebut merupakan biaya penyelamatan barak yang bergerak saja
.

Yang menjadi dasar sehingga biaya penyelamatan barang merupakan Hak Privelege
yaitu pada dasarnya penyelamatan barang merupakan Hak yang menguntungkan
pada para Kreditor itu sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena
kalau tidak ada penyelamatan barang kemungkinan barangnya akan musnah atau
nilainya akan berkurang.

Pelaksanaan untuk pemenuhan Hak Privelege bentuk ini adalah Hak tersebut
dilakukan atas barang yang untuk penyelamatan telah di keluarkan biaya (Pasal 1147
ayat (1) KUH Perdata ).

Kedudukan Hak Privelege berupa biaya untuk menyelamatkan suatu barang


dibandingkan dengan Hak Privelege lain adalah menurut hukum , piutang untuk
menyelamatkan barang mendapat Hak didahulukan dan Hak-Hak Privelege khusus
lainnya.

Dalam Pasal 1148 KUH Perdata dinyatakan “ jika beberapa Kreditor dengan Hak
didahulukan seperti yang tercantum dalam bagian ini muncul bersama , maka biaya-
biaya yang telah dikeluarkan untuk penyelamatan barang itu mendapat Hak
didahulukan, bila biaya itu dikeluarkan setelah timbul utang-utang lain yang
mempunyai Hak didahulukan”.

 Jenis Hak Privelege khusus yang kelima adalah Biaya pengerjaan suatu barang yang
masih harus dibayar kepada pekerjanya.

Hak Privelege ini diberikan untuk biaya pengerjaan suatu barang yang masih harus
dibayar kepada pekerjanya ( Pasal 1139 Sub 5 KUH Perdata ) atau untuk upah tukang.

Biaya upah tukang meliputi biaya pembuatan maupun perubahanya .

Pelaksanaan untuk pemenuhan Hak Privelege bentuk ini yakni Hak tersebut dilakukan
atas barang yang telah di garap (Pasal 1147 ayat 2 KUH Perdata).

 Jenis Hak Privelege khusus yang keenam adalah Hak Privelege pemilik rumah
penginapan.

Pemilik rumah penginapan diberikan Hak Privelege terhadap hasil penjualan barang-
barang yang dibawa oleh seorang tamu ke dalam rumah penginapan. (Pasal 1139 Sub
6KUH Perdata).

Pelaksanaan untuk pemenuhan Hak Privelege bentuk ini yakni Hak tersebut di
lakukan atas barang-barang yang telah di bawa kerumah penginapan oleh tamu
rumah penginapan (Pasal 1147 ayat 3 KUH Perdata).

 Jenis Hak privilege khusus yang ketujuh adalah Upah pengangkutan.


Upah pengangkutan dan biaya tambahan lain merupakan Hak Privelege yang
didahulukan atas hasil penjualan barang-barang yang dulu pernah diangkut dan
ongkos angkutannya belum dilunasi (Pasal 1139 Sub 7 jo. Pasal 1147 ayat (4)KUH
Perdata).

Pelaksanaan untuk pemenuhan Hak Privelege bentuk ini yakni Hak tersebut dilakukan
atas barang-barang yang diangkut (Pasal 1147 ayat(4) KUH Perdata).
 Jenis Hak Privelege khusus yang kedelapan adalah Hak Privelege tukang batu, tukang
kayu, dan tukang bangunan.

Hak ini diberikan kepada seseorang tukang batu, tukang kayu, dan tukang lain yang
telah membangun, menambah dan memperbaiki barang-barang tak bergerak, yang
upahnya belum dibayar (Pasal 1139 Sub 8 KUH Perdata )

Syarat khusus sehingga upah tukang tersebut terkualifikasi sebagai Hak Privelege
adalah :

- Tukang tersebut membangun, menambah dan memperbaiki barang-barang tidak


bergerak.
- Piutang tukang tersebut tidak lebih lama dari tiga Tahun
- Hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap ada pada si Debitor (Pasal
1139 Sub 8 KUH Perdata )

Pelaksanaan untuk pemenuhan Hak Privelege bentuk ini yakni Hak tersebut
dilakukan atas hasil dan penjualan persil yang telah dibangun. Ditambah atau
diperbaiki (Pasal 1147 ayat 5 KUH Perdata).

Jenis Hak Privelege khusus yang kesembilan adalah Hak Privelege atas penggantian
dan pembayaran yang dipikul oleh pegawai yang memangku jabatan umum .

Hak ini muncul dari tagihan atas penggantian dan pembayaran yang dipikul oleh
pegawai yang memangku jabatan umum karena kelalaian, kesalahan, pelanggaran,
dan kejahatan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya (Pasal 1139 Sub 9 KUH
Perdata).

Pelaksanaan untuk pemenuhan Hak Privelege bentuk ini yakni Hak tersebut dilakukan
atas sejumlah Jaminan yang telah diberikan pegawai-pegawai dimaksud beserta
bunganya yang harus dibayar untuk itu ( Pasal 1147 ayat 5 KUH Perdata).

 Privelege Umum
Bentuk Hak Privelege kedua adalah Hak tagihan yang diIstimewakan terhadap seluruh
Benda-Benda Debitor baik Benda bergerak maupun Benda tetap (Privelege Umum).
Jenis Privelege umum diatur dalam Pasal 1149 yang menyatakan piutang-piutang atas
segala barang bergerak dan buang tak bergerak pada umumnya adalah yang disebut di
bawah ini, dan ditagih menurut urutan berikut ini :

1. Biaya perkara untuk pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.


2. Biaya penguburan
3. Biaya pengobatan terakhir
4. Tagihan buruh atas upah.
5. Piutang karena penyerahan bahan makanan
6. Piutang para pengusaha sekolah asrama
7. Piutang anak di bawah umur terhadap walinya dan curandi terhadap curatornya.

Dengan demikian, harta Debitor yang dapat diliputi dengan Hak Privelege umum yaitu
secara jelas disebutkan dalam Pasal 1149 KUH Perdata bahwa Hak Privelege umum
meliputi segala barang bergerak dan barang tak bergerak milik Debitor.

Tingkatan dari Hak Privelege umum yang di atur dalam Pasal 1149 KUH Perdata
tersebut adalah rumusan Pasal 1149 KUH Perdata yang menyebutkan “menyatakan
piutang-piutang atas segala barang bergerak dan barang tak bergerak pada umumnya
adalah yang disebut dibawah ini, dan ditagih menurut urutan berikut ini:” ,
konsekuensinya jelas Hak yang disebut terlebih dahulu mempunyai tingkatan yang
lebih tinggi dari yang berikutnya.

Dengan demikian :

 Pelunasan biaya perkara untuk pelelangan dan penyelesaian suatu warisan lebih
didahulukan dari biaya penguburan.
 Pelunasan biaya penguburan lebih didahulukan dari pada biaya pengobatan
terakhir Debitor.
Dan seterusnya.

 Urutan pertama dari Privelege umum adalah biaya perkara untuk pelelangan dan
penyelesaian suatu warisan.

Biaya perkaranyang semata-mata timbul dari penjualan barang sebagai pelaksanaan


putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan penyelamatan
harta Benda ; ini didahulukan daripada Gadai dan Hipotek (Pasal 1149 sub 1 KUH
Perdata).

 Urutan kedua dari Privelege umum adalah biaya penguburan.


Hak ini dalam bentuk piutang biaya penguburan, tanpa mengurangi wewenang Hakim
untuk menguranginya, bila biaya itu berlebihan (Pasal 1149 sub 2 KUH Perdata).

Yang termasuk biaya penguburan:

- Ongkos-ongkos upacara keagamaan


- Batu Nisan
- Pakaian duka untuk para keluarga

Maksud dari Pemberian Hak Privelege terhadap biaya penguburan adalah agar orang
yang mati dengan meninggalkan warisan yang penuh dengan hutang-hutang pun
diharapkan masih bias mendapatkan penguburan yang layak.

 Urutan ketiga dari Privelege umum adalah biaya pengobatan terakhir.


Segala biaya pengobatan terakhir merupakan tagihan yang diIstimewakan dan
karenanya didahulukan di dalam pelunasan atas hasil penjualan kekayaan milik
Debitor yang meninggal tersebut (Pasal 1149 sub 3 KUH Perdata).

 Urutan keempat dari Privelege umum adalah tagihan buruh atas upah.
Piutang tersebut dalam bentuk upah para buruh dari Tahun yang lampau dan apa
yang masih harus dibayar untukTahun berjalan, serta jumlah kenaikan upah menurut
Upah 160 q (Pasal 1149 sub 4 KUH Perdata ).

 Urutan kelima dari Privelege umum adalah piutang karena penyerahan bahan
makanan.

Piutang tersebut atas penyerahan bahan-bahan makanan, yang dilakukan kepada


Debitor dan keluarganya selama enam bulan terakhir (Pasal 1149 sub 5 KUH Perdata).

 Urutan keenam dari Privelege umum adalah piutang para pengusaha sekolah asrama.
Piutang para pengusaha sekolah berasrama untuk Tahun terakhir (Pasal 1149 sub 6
KUH Perdata).

 Urutan ketujuh dari Privelege umum adalah piutang anak di bawah umur terhadap
walinya dan curandi terhadap curatornya.
 Piutang anak-anak yang masih di bawah umur atau dalam pengampuan wali
atau pengampuan mereka berkenaan dengan pengurusan mereka.
 Tunjangan untuk pemeliharaan dan pendidikan yang masih harus dibayar oleh
para orang tua untuk anak-anak sah mereka yang masih di bawah umur (Pasal
1149 sub 7 KUH Perdata).

 Ada jenis Privelege yang lain di luar aturan dalam KUH Perdata yaitu :
Dalam Pasal 13 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dikenal adanya Piutang
Pelayaran yang Didahulukan yakni tagihan yang wajib dilunasi lebih dahulu dari hasil
eksekusi kapal mendahului tagihan pemegang Hipotek kapal. Dimana ketentuan
Pasal 65 ayat (1) UU

Pelayaran menyatakan apabila terdapat gugatan terhadap piutang yang di jamin


dengan kapal, pemilik, pencarter, atau operator kapal harus mendahulukan
pembayaran Piutang Pelayaran yang didahulukan.

Jenis piutang pelayaran yang harus didahulukan yakni :

o Untuk pembayaran upah dan pembayaran lainnya kepada Nakhoda, Anak Buah Kapal,
dan awak pelengkap lainnya dari kapal dalam hubungan dengan penugasan mereka di
kapal, termasuk biaya repratiasi dan kontribusi asuransi social yang harus dibiayai;
o Untuk membayar uang duka atas kematian atau membayar biaya pengobatan atas
luka-luka badan, baik yang terjadi di darat maupun di laut yang berhubungan langsung
dengan pengoperasian kapal;
o Untuk pembayaran biaya salvage atas kapal ;
Salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan terhadap kapal dan / atau
muatannya yang mengalami kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan
termasuk mengangkat kerangka kapal atau rintangan bawah air atau Benda lainnya
(Pasal 1 angka 55)

o Untuk biaya pelabuhan dan alur-pelayaran lainnya serta biaya pemanduan; dan
o Untuk membayar kerugian yang ditimbulkan oleh kerugian fisik atau kerusakan yang
disebabkan oleh pengoperasian kapal selain dari kerugian atau kerusakan terhadap
muatan, peti kemas, dan barang bawaan penumpang yang diangkut di kapal. (Pasal 65
ayat (2) UU Pelayaran).

D. TINGKATAN HAK PRIVELEGE


Tingkatan / kedudukan dari Privelege khusus dan Privelege umum, yang lebih
diutamakan adalah Hak-Hak Privelege mengenai barng-barang tertentu (khusus)
lebih didahulukan dari pada Hak Privelege mengenai semua barang-barang bergerak
dan tak bergerak pada umumnya (umum) (Pasal 1138 KUH Perdata). Dengan
demikian Privelege Khusus lebih didahulukan dari Privelege umum.

Tingkatan/kedudukan antara Hak Privelege dengan Gadai/Hipotek, yang lebih


diutamakan adalah Gadai dan Hipotek lebih tinggi daripada Hak Privelege, kecuali
dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya (Pasal 1134 ayat 2
KUH Perdata). Artinya dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan barang mana
diletakan Hak Gadai, Hipotek dan Hak Privelege maka Pemegang Gadai dan Hipotek
mengambil dahulu baru sisanya untuk pemilik Hak Privelege.

Ketentuan Gadai dan Hipotek lebih tinggi dari Hak Privelege berlaku tidak mutlak
karena dalam hal ditentukan undang-undang Hak Privelege lebih diutamakan dari
Gadai dan Hipotek, seperti :

o Ongkos-ongkos Pengadilan mempunyai kedudukan yang didahulukan dibayar


dibandingkan dengan Gadai/Hipotek (Pasal 1139 sub 1 KUH Perdata)
o Biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang sebagai pelaksanaan
putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan penyelamatan harta
Benda; ini didahulukan daripada Gadai dan Hipotek (Pasal 1149 sub 1 KUH Perdata)
o Pasal 1150 KUH Perdata, pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan
atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatanbarang
itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai Gadai dan yang harus didahulukan.
o Pembayaran Piutang Pelayaran yang didahulukan diutamakan dari pembayaran
piutang Gadai, Hipotek, dan piutang-piutang yang terdaftar (Pasal 66 ayat (1) UU
Pelayaran ).

Cara untuk menentukan Kreditor mana yang didahulukan jika Kreditor tersebut
semuanya memiliki Hak yang didahulukan yakni antara pihak-pihak Kreditor yang
mempunyai Hak didahulukan, tingkatannya diatur menurut sifat Hak didahulukan
mereka (Pasal 1135 KUH Perdata).

Para Kreditor dengan Hak didahulukan yang mempunyai tingkatan sama, dibayar
secara berimbang (Pasal 1136 KUH Perdata). Jadi pembagiannya menurut
perimbangan besarnya tagihan mereka.

Jika Kreditornya adalah Negara atau badan hukum public lainnya adalah menurut
Pasal 1137 KUH Perdata, Hak tagih Negara dan badan hukum memiliki Hak untuk
didahulukan.
E. PENENTUAN TINGKATAN HAK PRIVELEGE

Setelah mengetahui bentuk-bentuk Hak Privelege dan tingkatan/kedudukan untuk


didahulukan, maka Hak Privelege baru lahir atau baru mempunyai nilai apabila
kekayaan Debitor tidak memenuhi kewajibannya dan ternyta dari penyitaan yang
dilanjutkan dengan penjualan harta Debitor tersebut tidak mencukupi untuk
menutupi hutang-hutangnya.

Contoh 1 :

A mempunyai utang kepad B sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) kemudian
atas Putusan Pengadilan A diwajibkan untuk membayar utangnya kepada B tersebut total
dengan bunga sejumlah Rp. 110.000.000,- (seratus sepuluh juta rupiah) dan akhirnya
hartannya A disita dan dieksekusi dengan biaya pelelangan sebesar Rp. 5000.000,- (lima
juta rupiah).

A sendiri mempunyai harta kekayaan sebagai berikut :

- 1 (satu) buah televise 42 inci seharga Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) yang dibeli dari c
dan TV tersebut baru dibayar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Hasil eksekusi TV tersebut
terjual dengan nilai Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah).

- 1 (satu) set sofa seharga Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) yang baru diperbaiki D dan
ongkos kerja D sejumlah Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) belum dibayar A.
Hasil eksekusi sofa tersebut terjual dengan nilai Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

- 1 (satu) buah lemari seharga Rp. 5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu rupiah) yang baru dibeli
kontan oleh A dan diangkat oleh E tetapi ongkos angkutnya sejumlah Rp. 200.000,- (dua ratus
ribu rupiah) belum dibayar oleh A.
Hasil eksekusi lemari tersebut terjual dengan nilai Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah).

- 1 (satu) set perhiasan senilai Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Hasil eksekusi perhiasan tersebut terjual dengan nilai Rp. 25.000.000,- (dua puluh luima juta
rupiah).

A juga ternyata belum membayar bahan-bahan makanan yang dikirim F,2 (dua) bulan sebelum
hartanya dieksekusi dengan nilai Rp.1000.000,- (satu juta rupiah).

Yang berHak untuk didahulukan untuk mendapat pelunasan utang-utang A tersebut adalah

1. Kreditor konkurent : B dengan piutang senilai Rp. 110.000.000,- seratus sepuluh juta rupiah).
2. Kreditor dengan Hak Privelege Khusus :
o Biaya untuk pelelangan
o C, dengan Hak Privelege penjual atas 1 (satu) buah televise 42 inci dengan piutang Rp.
2000.000,- (dua juta rupiah)
o D, dengan Hak Privelege biaya pengerjaan suatu barang yang masih harus dibayar
kepada pekerjanya atas sofa dengan piutang Rp. 5000.000,- (lima ratus ribu rupiah)
o E, dengan Hak Privelege upah pengangkutan lemari dengan piutang sejumlah Rp.
200.000,- (dua ratus ribu rupiah)
3 Kreditor dengan Hak Privelege Umum.
o F, dengan Hak Privelege piutang karena penyerahan bahan makanan sejumlah Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah).
Maka asas yang harus diperhatikan untuk menentukan tingkatan pelunasan piutang Kreditor
tersebut adalah :

- Ongkos-ongkos Pengadilan mempunyai kedudukan yang didahulukan dibandingkan piutang


yang didahulukan lainnya ( Pasal 1139 sub 1 KUH Perdata).
- Kreditor yang didahulukan adalah Kreditor yang mempunyai Hak Istimewa (Privelege), Gadai
dan Hipotek (Pasal 1333 KUH Perdata).
- Hak-Hak Privelege Khusus lebih didahulukan dari Hak Privelege Umum (Pasal 1138 KUH
Perdata)
Dengan demikian tingkatan pelunasan Kreditor dari A urutannya adalah :

1. Biaya pelelangan sejumlah Rp. 5.000.000,-


2. Atas penjualan TV , C didahulukan sejumlah Rp. 2000.000,- (dua juta rupiah).
Atas penjualan sofa, D didahulukan sejumlah Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Atas penjualan lemari E didahulukan sejumlah Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).

3. Atas penjualan seluruh harta A, F didahulukan sejumlah Rp. 1000.000,-


4. Sisa penjualan harta A (TV ,sofa,lemari,perhiasan) untuk pelunasan utang kepada B.

Contoh 2:

A yang mempunyai harta dengan total nilai Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)
mempunyai utang kepada B sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) kemudian atas
Putusan Pengadilan A diwajibkan untuk membayar utangnya kepada B tersebut total dengan
bunga sejumlah Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)dan akhirnya hartanya A disita dan
dieksekusi dengan biaya pelelangan sebesar Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah).

Ternyata selain ke B, A mempunyai piutang berupa:

- Tagihan upah buruh atas nama C senilai Rp. 1000.000,-


- Tagihan dari D selaku pengusaha sekolah asrama senilai Rp. 5000.000,-
- Tagihan penyerahan bahan makanan atas nama E senilai Rp. 2000.000,-
Dalam kasus diatas piutang pihak manakah yang didahulukan untuk dilunasi dari harta A
tersebut ?

Dalam kasus di atas maka terdapat A memiliki Kreditor sebagai berikut :

1. Kreditor konkurent : B dengan piutang senilai Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
2. Kreditor dengan Hak Privelege Umum :
o Biaya untuk pelelangan
o C, dengan Hak Privelege tagihan atas upah buruh.
o D, dengan Hak Privelege pengusaha sekolah asrama.
o E, dengan Hak Privelege penyerahan bahan makanan.

Maka asas yang harus diperhatikan untuk menentukan tingkatan pelunasan piutang Kreditor
tersebut adalah :

- Ongkos-ongkos Pengadilan mempunyai kedudukan yang didahulkan dibandingkan piutang


yang didahulukan lainnya (Pasal 1139 sub 1 KUH Perdata).
- Kreditor yang didahulukan adalah Kreditor yang mempunyai Hak
Istimewa (Privelege), Gadai, dan Hipotek (Pasal 1333 KUH Perdata)
- Privelege yang umum menentukan urutannya, yang lebih dahulu disebut juga didahulukan
dalam pelunasannya (Soedewi, 1981 : 34 ), yakni urutannya :
1. Biaya perkara untuk pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
2. Biaya penguburan
3. Biaya pengobatan terakhir
4. Tagihan buruh atas upah
5. Piutang karena penyerahan bahan makanan.
6. Piutang para pengusaha sekolah asrama
7. Piutang anak di bawah umur terhadap walinya dan curandi terhadap curatornya.

Dengan demikian tingkatan peluanasan Kreditor dari A urutannya adalah :

1. Biaya pelelangan sejumlah Rp. 5000.000,-


2. C, dengan Hak Privelege tagihan atas upah buruh sejumlah Rp. 1000.000,-
3. E, dengan Hak Privelege penyerahan bahan makanan, sejumlah Rp. 2000.000,-
4. D, dengan Hak Privelege pengusaha sekolah asrama sejumlah Rp. 5000.000,-
Total nilai utang yang dilunasi terlebih dahulu Rp. 13.000.000,- sehingga sisa harta A (Rp.
30.000.000 – Rp. 13.000.000,-) = Rp. 17.000.000,- untuk melunasi utangnya kepada B.
BAB III
GADAI DAN FIDUSIA
(JAMINAN KHUSUS BENDA BERGERAK)

 Salah satu asas dalam Jaminan adalah “seluruh harta milik Debitor menjadi Jaminan
utangnya kepada Kreditor”.

Hal tersebut mengakibatkan pelunasan piutang Debitor menjadi kurang terjamin


apabila :

o Debitor memiliki utang kepda Kreditor-Kreditor lainnya karena Kreditor harus bersaing
dengan Kreditor lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya tersebut.
o Berubahnya harta kekayaan Debitor yang kadangkala harta Debitor menjadi berkurang
sehingga tidak dapat menutupi utangnya kepada Kreditor.

Sarana yang lahir untuk lebih menjamin piutang dari Kreditor adalah harus memiliki
Jaminan yang khusus.

Bentuk Jaminan yang khusus tersebut adalah :

o Memberikan Jaminan yang lebih baik atas pelunasan piutang Kreditor dibandingkan
dengan Kreditor lainnya
o Memberikan sarana yang mudah untuk mengambil pelunasan dalam hal Debitor tidak
mau melunasi utangnya.
Salah satu bentuk yuridis dari Jaminan khusus adalah bagian harta Debitor menjadi
barang Jaminan khusus, misalnya barang bergerak.
 Yang dimaksud dengan Benda/barang bergerak itu sendiri menurut hukum adalah
Jenis-jenis dan pengaturan tentang Benda yang dikategorikan sebagai Benda
bergerak diatur dalam Buku II Bagian 4 KUH Perdata tentang Barang Bergerak.

Dimana pada pokoknya, yang dinamakan dengan barang bergerak adalah :

o Karena sifatnya adalah barang yang dapat berpindah sendiri atau dipindahkan (Pasal
509 KUH Perdata). Kapal, perahu, sampan tambang, kincir, dan tempat penimbunan
kayu yang dipasang di perahu atau yang terlepas (Pasal 510 KUH Perdata).
o Karena ditentukan undang-undang, yakni :
i. Hak pakai hasil dan Hak pakai barang-barang bergerak
ii. Hak atas bunga yang dijanjikan, baik bunga yang terus-menerus, maupun bunga
cagak hidup
iii. Perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau
mengenai barang bergerak.
iv. Bukti saham atau saham dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan
perdaganganm atau persekutuan perusahaan, sekalipun barang barang
bergerak yang bersangkutan dan perusahaan itu merupakan milik persekutuan.
Barang bergerak, tetapi hanya terhadap masing-masing peserta saja,selama
persekutuan berjalan.
v. Saham dalam utang Negara Indonesia, baik yang terdaftar dalam buku besar,
maupun sertifikat, surat pengakuan utang, obligasi atau surat berharga lainnya,
beserta kupon atau surat-surat bukti bunga yang berhubungan dengan itu.
vi. Sero-sero atau kupon obligasi dari pinjaman lainnya, termasuk juga pinjaman
yang dilakukan Negara-negara asing.
(Pasal 511 KUH Perdata)

Macam-macam Jaminan terhadap barang bergerak milik Debitor adalah Jaminan tersebut bisa
berbentuk Gadai dan Fidusia.

o Gadai, barang bergerak yang dijaminkan diserahkan kepada Kreditornya.


o Fidusia, barang bergerak yang dijaminkan tidak diserahkan kepada Kreditornya, tetapi
tetap berada dalam tangan Debitor.

GADAI

 Perbedaan utama antara Gadai dengan Hak Privelege adalah Gadai lahir karena
diperjanjikan, sedangkan Privelege lahir karena diberikan oleh undang-undang.

Pengertian dari lembaga hukum yang diberi nama “Gadai” adalah Suatu Hak yang
diperoleh Kreditor atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh
Kreditor, atau oleh kuasanya, sebagai Jaminan atas utangnya, dan yang memberi
wewenangkepada Kreditor untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu
dengan mendahului Kreditor-Kreditor lain; dengan pengecualian biaya penjualan
sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan,
dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai
Gadai dan yang harus didahulukan (Pasal 1150 KUH Perdata).

Yang menjadi sifat utama dari Gadai adalah:

- Gadai bersifat accesoir yaitu merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokoknya
(perjanjian utang piutang). Lahirnya Gadai setelah ada perjanjian utang piutang.
- Gadai merupakan Hak keBendaan yang bersifat memberi Jaminan pelunasan piutang.

Para pihak yang ada dalam Gadai yakni dari pengertian Gadai menurut Pasal 1150 KUH
Perdata maka terlihat dalam Gadai terdiri dari 2 (dua) pihak yakni :

- Pemberi Gadai, pihak yang memberikan Jaminan Gadai


- Penerima Gadai, pihak yang menerima Jaminan Gadai.

Yang oleh hukum ditunjuk sebagai pihak Penerima Gadai adalah asasnya Penerima Gadai
dalah pihak yang menerima/ memegang barang yang menjadi Jaminan Gadai yakni pihak
Kreditor tetapi dapat pula diperjanjikan barang Jaminan Gadai tersebut dipegang oleh pihak
ketiga ( Vide Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata).

Dengan demikian Penerima Gadai biasa dibedakan dalam dua bentuk, yakni :

o Kreditor Pemegang Gadai.


o Pihak Ketiga Pemegang Gadai.

Yang menjadi kewajiban dari Pemegang Gadai adalah Kreditor Pemegang Gadai maupun
pihak ketiga Pemegang Gadai berkewajiban untuk memelihara/ merawat Benda Gadai yang
ada di tangannya, Pemegang Gadai bertanggung jawab atas kehilangan atau susutnya barang
Gadai sejauh hal itu terjadi akibat kelalaian (Pasal 1157 KUH Perdata).

Imbalan yang dapat diperoleh dari Pemegang Gadai yang merawat Benda Gadai tersebut
adalah menurut Pasal 1157 KUH Perdata Debitor wajib mengganti kepada Kreditor itu biaya
yang berguna dan perlu di keluarkan oleh Kreditor itu untuk penyelamatan barang Gadai itu.

Jadi Pemegang Gadai berHak memperhitungkan ongkos perawatan terhadap Debitor/ pemilik
Benda.
Ciri-ciri khas dari Gadai adalah:
- Barang yang menjadi Jaminan adalah barang bergerak.
- Barang bergerak tersebut diserahkan Debitor kepada Kreditor atau oleh kuasanya (pihak
ketiga)
- Kreditor mempunyai wewenang untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang tersebut.

Ciri khas Gadai adalah hanya dapat dilakukan terhadap barang bergerak. Jenis-jenis
barang bergerak menurut undang-undang yang dapat diGadaikan adalah:

o Yang berwujud, misalnya motor, mobil.


o Yang tidak berwujud, misalnya piutang, dimana dalam KUH Perdata khusus dalam
Gadai dikenal piutang dengan bentuk :
- Piutang atas bawa - Piutang atas tunjuk.

Ciri khas Gadai selanjutnya adalah barang bergerak tersebut harus diserahkan kepada
Penerima Gadai yakni hal inilah yang menjadi pembeda Gadai dengan Jaminan Fidusia,
dimana Gadai mengharuskan Benda Gadai dikeluarkan dari kekuasaan si Pemberi
Gadai, kalau Benda yang menjadi objek Jaminan tidak dikeluarkan dari kekuasaan
Debitor maka hal tersebut tidak mungkin disebut sebagai Gadai.

Bahkan dalam Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata secara tegas dinyatakan tidak sah Hak
Gadai atas segala Benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si
Pemberi Gadai ataupun yang kembali atau kemauan si berutang.

Syarat mutlak Gadai harus diserahkan kepada Pemegang Gadai. Tata cara
penyerahan barang yang menjadi objek Gadai dari Pemberi Gadai kepada Penerima
Gadai yang diatur oleh undang-undang adalah KUH Perdata membedakan tata cara
penyerahan objek Gadai dengan berdasarkan pada jenis barangnya, dimana KUH
Perdata membedakan tata cara penyerahan antara :

 Barang bergerak berwujud dan barang bergerak tidak berwujud dalam bentuk
tagihan atas tunjuk
 Barang bergerak tidak berwujud dalam bentuk tagihan atas bawa.

Cara penyerahan jika barang yang diGadaikan adalah barang bergerak berwujud maka
penyerahannya dilakukan dengan penyerahan nyata (Pasal 1152 jo 1153 KUH Perdata).
Jadi barangnya tersebut diserahkan langsung secara nyata kepada Penerima Gadai.
Apabila barang bergerak yang berwujud dan piutang atas bawa yang diGadaikan
tersebut lepas dari Pemegang Gadai maka Hak Gadai hapus bila Gadai itu lepas dari
kekuasaan Pemegang Gadai (1152 ayat (3) KUH Perdata).

Bila barang Gadai tersebut (barang bergerak berwujud dan piutang atas barang) hilang
maka ia berHak untuk menuntutnya kembali menurut Pasal 1977 alinea kedua (1152
ayat (3) KUH Perdata).

Bila barang bergerak berwujud dan piutang atas barang yang hilang tersebut kemudian
ditemukan kembali maka Hak Gadai itu dianggap tidak pernah hilang (1152 ayat (3)
KUH Perdata).

Cara penyerahan jika barang yang diGadaikan adalah barang bergerak tidak berwujud
dalam bentuk tagihan atas bawa maka penyerahanya dilakukan dengan endossement
disertai dengan penyerahan nyata (Pasal 1152 bis KUH Perdata).

Pasal 1152 bis KUH Perdata menyatakan untuk melahirkan Hak Gadai atas surat tunjuk,
selain penyerahan endossemennya, juga dipersyaratkan penyerahan suratnya.

 Pihak yang berHak untuk mengGadaikan sesuatu barang adalah menurut Pasal 1152
ayat (4) KUH Perdata yang berHak untuk mengGadaikan yakni pihak Pemberi Gadai
yang memiliki kewenangan bertindak.

Kreditor (Pemegang Gadai) bertanggung jawab apabila Pemberi Gadai ternyata tidak
memiliki kewenangan bertindak menurut Pasal 1151 ayat (4) KUH Perdata menyatakan
dalam hal tidak adanya wewenang Pemberi Gadai untuk bertindak bebas atas barang
itu, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada Kreditor, tanpa mengurangi Hak orang
yang telah kehilangan atau kecurian barang itu untuk menuntutnya kembali (Pasal 1152
ayat (4) KUH Perdata).

Dengan demikian alasan “adanya ketidakwenangan bertindak dari Pemberi Gadai”


tidak dapat diajukan kepada Pnerima Gadai.

Rasio dari ketentuan Pasal 1142 ayat (4) tersebut adalah aturan ini selaras dengan
ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata yang mengatur bahwa pihak ketiga dengan
itikad baik menerima suatu Benda bergerak tidak atas nama dari pemegang Benda
tersebut dilindungi oleh hukum. Artinya pihak ketiga boleh beranggapan apabila ada
orang yang memegang Benda bergerak tidak bernama adalah pemilik Benda tersebut
sehingga dianggap sebagai orang berwenang mengambil tindakan-tindakan hukum
atas Benda tersebut.
Konsekuensi dari ketentuan Pasal 1142 ayat (4) KUH Perdata tersebut adalah kalau
seseorang Debitor mengGadaikan barang tersebut maka perjanjian Gadai yang lahir
adalah sah dan Pemegang Gadai dilindungi oleh hukum, akibatnya pemilik dari Benda
yang bersangkutan tidak dapat menuntut kembali barangnya tersebut.

Misalnya A meminjam pakai barang dari B, apabila ternyata barang yang pinjam pakai
A tersebut diGadaikan kepada C, maka menurut hukum C dilindungi oleh hukum dan B
harus memikul resikonya sendiri, hukum menyatakan salahnya B mempercayai
meminjam pakaikan barangnya tersebut kepada A.

Jika barang yang diGadaikan tersebut ternyata barang curian, maka pemilik barang
yang asli dapat menuntut untuk menuntutnya kembali barang tersebut dari Pemegang
Gadai / Revindikasi (Pasal 1152 ayat (4) KUH Perdata).

 Apabila Debitor/Pemberi Gadai tidak memenuhi kewajibannya, maka Pemegang


Gadai tidak dapat secara otomatis menjadi pemilik dari barang diGadaikan tersebut
karena dalam Pasal 1154 KUH Perdata tegas dinyatakan Dalam hal Debitor atau
Pemberi Gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajiban, Kreditor tidak diperkenankan
mengalihkan barang yang diGadaikan itu menjadi miliknya (Pasal 1154 KUH Perdata).

Apabila hal tersebut di atas diperjanjikan sebelum, dalam arti diperjanjikan jika
Debitor/Pemberi Gadai tidak memenuhi kewajibannya maka barang yang diGadaikan
tidak bisa menjadi milik Pemegang Gadai karena dalam aturan Pasal 1154 KUH
Perdata diatur lebih lanjut “Segala persyaratan perjanjian yang bertentangan dengan
ketentuan ini adalah batal”.

Yang menjadi rasio dari ketentuan Pasal 1154 KUH Perdata bahwa dalam Gadai tidak
diperbolehkan Kreditor secara otomatis memiliki Benda Gadai apabila Debitor tidak
memenuhi kewajibannya yaitu aturan Pasal 1154 KUH Perdata dibuat untuk
melindungi kepentingan dari para peminjam uang (Debitor) yang pada umumnya
berada dalam posisi yang sangat lemah, sehingga syarat-syarat yang berat dan tidak
sebanding seringkali harus diterima.

Contoh konkrit kejadian apabila tidak ada larangan dalam Pasal 1154 KUH Perdata
tersebut yakni dapat muncul keadaan Kreditor berharap Debitor tidak memenuhi
kewajibannya kalau Benda yang di Gadaikan nilainya lebih besar dari nilai utangnya
Debitor kepada Kreditor tersebut.

Misalnya jika A meminjam uang Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah) kepada B dengan
mengGadaikan motornya seharga Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) maka jika
tidakada larangan memiliki barang Gadai maka B pasti mengharapkan A tidak
mambayar utangnya sebesar Rp. 5000.000,- agar bias mendapatkan motor A seharga
Rp. 10.000.000,- tersebut.

 Apabila Debitor / Pemberi Gadai tidak memenuhi kewajibannya (wan prestasi ) dan
Kreditor/Penerima Gadai tidak dapat memiliki langsung barang yang diGadaikan ,
maka cara untuk pemenuhan kewajiban dari Debitor itu sendiri, dalam hal Debitor
tidak memenuhi kewajiban maka :

 Kreditor dapat menjual sendiri barang Gadai (Pasal 1155 KUH Perdata).
 Memohon kepada Hakim agar menentukan cara penjualan barang Gadai (Pasal
1156 KUH Perdata)
 Memohon kepada Hakim agar mengizinkan Kreditor/Pemegang Gadai untuk
membeli sendiri barang Gadai dengan harga yang ditentukan Hakim.

Aturan mengenai Kreditor dapat menjual sendiri barang Gadai apabila Debitor tidak
memenuhi kewajibannya yakni apabila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati
lain, maka jika Debitor atau Pemberi Gadai tidak memenuhi kewajibannya,setelah
lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukan peringatan untuk
pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti,
Kreditor berHak untuk menjual barang Gadainya dihadapan umum menurut kebiasaan-
kebiasaan setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan agar
jumlah utang itu dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu
(Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata). Hak menjual sendiri barang Gadai ini
dikenal dengan nama Parate Eksekusi.

Ketentuan mengenai Parate Eksekusi dalam Pasal 1155 KUH Perdata tersebut bersifat
mengikat yang artinya para pihak bebas untuk memperjanjikan bentuk lain misalnya
memperjanjikan tidak diperkenankanya Parate Eksekusi.

Dalam hal para pihak tidak mengatur hal tersebut maka ketentuan tentang Parate
Eksekusi tesebut berlaku.

Cara penjualan barang Gadai dalam Parate Eksekusi yakni :

- Kreditor berHak untuk menjual barang Gadainya dihadapan umum menurut


kebiasaan-kebiasaan setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku. Hak ini
muncul setelah Debitor sudah wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya.

- Kreditor melakukan penjualan barang Gadai tanpa perantaraan pengadilan, tidak


memerlukan penyitaan melalui juru sita, penjualan tersebut dapat dilakukan sendiri
oleh Pemegang Gadai.
Yang menjadi ciri khas dari Parate Eksekusi adalah Hak tersebut melekat dan selalu siap
diGunakan oleh Kreditor / Pemegang Gadai apabila Debitor wanprestasi.

Penjualan dalam parate eksekusi tersebut harus dilakukan di muka umum, ketentuan
tersebut mutlak harus dilakukan tidak dapat disimpangi, penjualan barang Gadai harus
dilakukan di muka umum, hal ini untuk menjaga kepentingan Debitor jangan samapai
penjualan barang Gadai tersebut dilakukan secara tidak benar oleh Kreditor sehingga
merugikan Debitor.

Tata cara pelunasan piutang Kreditor setelah barang Gadai dijual di muka umum yaitu
apabila barang Gadai tersebut sudah terjual maka Kreditor mangambil yang menjadi
Haknya, apabila ada lebihnya maka hasil penjualan tersebut harus dikembalikan
kepada Debitor. Hal ini secara dinyatakan dalam rumusan terakhir Pasal 1155 ayat (1)
KUH Perdata.

Tata cara penjualan apabila barang Gadai berbentuk surat-surat berharga yakni hal ini
diatur dalam Pasal 1155 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan apabila Gadai itu
terdiri dan barang dagangan atau dan efek-efek yang dapat diperdagangkan dalam
bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat itu juga, asalkan dengan
perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam bidang itu.

Dengan demikian penjualan tersebut syaratnya:

- dilakukan di bursa di tempat dimana Pemegang Gadai tinggal,

- penjualan harus dihadiri dua orang makelar.

Hal yang melandasi Pemegang Gadai meminta Hakim menentukan cara penjualan
barang Gadai adalah hal tersebut dilakukan untuk menjaga agar harga penjualan
barang Gadai tinggi dan dapat menguntungkan Kreditor / Pemegang Gadai. Biasanya
permohonan ini ditujukan dalam hal penjualan piutang atas nama.

Debitor dapat menuntut kepada Kreditor/ Pemegang Gadai untuk mengembalikan


barang Gadai,selama Pemegang Gadai itu tidak menyalahGunakan barang yang
diberikan kepadanya sebagai Gadai, Debitor tidak berwenang untuk menuntut kembali
barang itu sebelum ia membayar penuh, baik jumlah utang pokok maupun bunga dan
biaya utang yang dijamin dengan Gadai itu, beserta biaya yang dikeluarkan untuk
penyelamatan barang Gadai itu (Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata. Hak ini disebut
dengan Hak Retensi Pemegang Gadai.

Hal yang menyebabkan Debitor / Pemberi Gadai dapat menuntut Pemegang Gadai
untuk mengembalikan barang Gadai meskipun utangnya belum dibayar yakni dalam
hal Pemegang Gadai telah menyalahGunakann barang yang diberikan kepadanya
sebagai Gadai, meskipun Debitor belum membayar penuh utangnya kepada Kreditor/
Pemegang Gadai (Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata.

Kreditor tidak wajib untuk melepaskan barang Gadai itu sebelum ia menerima
pembayaran penuh kedua utang itu, walaupun tidak diadakan perjanjian untuk
mengikatkan barang Gadai itu bagi pembayaran utang yang kedua ( Pasal 1159 ayat (2)
KUH Perdata).

Apabila Debitor/ Pemberi Gadai meninggal dunia dan meninggalkan beberapa ahli
waris, maka menurut Pasal 1160 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan Gadai itu tidak dapat
dibagi-bagi, meskipun utang itu dapat dibagi antara para ahli waris Kreditor. Dengan
demikian Gadai tidak dapat dibagi-bagi dan hal ini berlaku juga bagi ahli waris dari
Kreditor.

Konsekuensi dari Gadai tidak dapat dibagi-bagi terhadap ahli waris dari Debitor/
Pemberi Gadai dan ahli waris Kreditor/ Pemegang Gadai adalah

- ahli waris Debitor yang telah membayar bagiannya tidak dapat menuntut kembali
bagiannya dalam barang Gadai itu, sebelum utang itu dilunasi sepenuhnya ( Pasal 1160
ayat (2) KUH Perdata.

- ahli waris Kreditor yang telah menerima bagiannya dan piutang itu, tidak boleh
mengembalikan barang Gadai itu atas kerugian sesame ahli warisnya yang belum
menerima pembayaran.

Jadi intinya utang harus dibayar lunas baru kemudian barang Gadai dikembalikan.

 Tingkatan atau kedudukan Gadai yaitu:


- Gadai lebih tinggi daripada Hak Privelege, kecuali dalam hal undang-undang dengan
tegas menentukan kebalikannya (Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata). Artinya dalam
mengambil pelunasan atas hasil penjualan barang mana diletakan Hak Gadai dan Hak
Privelege maka Pemegang Gadai mengambil dahulu baru sisanya untuk pemilik Hak
Privelege.

- Pemegang Gadai memiliki Hak untuk didahulukan mengambil pelunasan piutangnya


dari Kreditor-Kreditor lain kecuali biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas
tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu
harus didahulukan daripada Gadai (Pasal 1150 KUH Perdata).

Hal-hal yang menjadikan hapusnya Gadai yakni:


- Apabila perikatan pokok yang dijamin dengan Gadai telah hapus, misalnya utang
Debitor telah dibayar lunas maka Gadai otomatis menjadi hapus

- Terlepasnya Benda Gadai dari kekuasaan Pemegang Gadai, apabila Benda Gadai
berupa barang bergerak yang berwujus dan piutang atas bawa lepas dari Pemegang
Gadai maka Hak Gadai hapus

- Musnahnya Benda Gadai.

FIDUSIA

 Selain lembaga Gadai, dikenal bentuk Jaminan lain yang dapat dilakukan terhadap
barang bergerak yakni dikenal Jaminan dalam bentuk Jaminan Fidusia, dengan
demikian atas Benda bergerak dapat dijaminkan dalam bentuk Gadai dan Fidusia.

Perbedaan mendasar dari Gadai dan Fidusia yakni:

- Dalam Gadai, Benda yang menjadi objek Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan
pemilik Benda/ Debitor.

- Dalam Fidusia, Benda yang menjadi objek Fidusia tetap berada dalam penguasaan
pemilik Benda/ Debitor.

Latar belakang lahirnya Jaminan dalam bentuk Jaminan Fidusia yakni:

Jaminan Fidusia ini lahir karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah,
dan cepat, karena Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para Pemberi
Fidusia untuk menguasai Benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan Usaha
yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan Jaminan Fidusia.

Perkembangan dari Jaminan Fidusia yakni telah diGunakan di Indonesia sejak zaman
penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk Jaminan yang lahir dari yurisprudensi. Bentuk
Jaminan ini diGunakan secara luas dalam transaksi pinjam meminjam karena proses
pembebanannya dianggap sederhana, mudah, dan cepat, tetapi tidak menjamin
adanya kepastian hukum karenanya untuk lebih menjamin kepastian hukum dari
Fidusia pada Tahun 1992 lahir UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dan
menurut asal 40 UU No. 42 Tahun 1999 tersebut disebut dengan nama
UNDANG_UNDANG FIDUSIA.
Yang dimaksud dengan Fidusia dan Jaminan Fidusia menurut UU Fidusia adalah: -
Fidusia adalah pengalihan Hak kepemilikan suatu Benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa Benda yang Hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik Benda (Pasal 1 angka 1 UU Fidusia)

- Jaminan Fidusia adalah Hak Jaminan atas Benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan Benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang
tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No.4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,
sebagai aGunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap Kreditor lainnya (Pasal 1 angka 2 UU
Fidusia).

Yang menjadi objek Fidusia adalah pada awalnya, terbatas pada kekayaan Benda
bergerak yang berwujud dalam bentuk Benda bergerak yang terdiri dari Benda dalam
persediaan (inventory), Benda dagangan, piuang, peralatan mesin, dan kendaraan
bermotor. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, Benda yang menjadi objek
Fidusia termasuk juga kekayaan Benda bergerak yang tak berwujud, maupun Benda tak
bergerak.

Hal ini ternyata dalam padal 1 angka 4 UU Fidusia bahwa Benda adalah segala sesuatu
yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupunyang tidak berwujud,
yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak
bergerak yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau Hipotek.

Jenis-jenis Benda lain yan dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia adalah:

- menurut Pasal 15 UU No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman, yang
menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak
lain dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia.

- menurut UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun mengatur mengenai Hak milik
atas satuan rumah susun yang dapat dijadikan Jaminan utang dengan dibebani Fidusia,
jika tanahnya tanah Hak Pakai atas tanah Negara.

Benda yang tidak dapat dijaminkan dalam Fidusia adalah jika dilihat pada
ketentuan Pasal 3 UU Fidusia maka Benda tersebut berwujud :

- Tanah dan Bangunan, sepanjang peraturan perUUan yang berlaku menentukan


Jaminan atas Benda tersebut wajib daftar. Berdasarkan ketentuan ini, maka Bangunan
di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan
berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek
Jaminan Fidusia.

- Kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 M3 atau lebih.

- Pesawat terbang.

Lahirnya perjanjian Fidusia yakni sepertim perjanjian Jaminan lainnya, Fidusia lahir
setelah perjanjian pokonya lahir yakni perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian
utang piutang yang dilakukan oleh Kreditor dan Debitor.

Hal ini ternyata dalam Pasal 4 UU Fidusia bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian
ikutan dan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi suatu prestasi.

Dimana yang dimaksud dengan ”prestasi” itu sendiri adalah memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.

Hal yang lahir dari perjanjian utang piutang adalah pihak Debitor, Kreditor dan juga
melahirkan utang serta piutang itu sendiri.

- Debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau UU (Pasal 1
angka 9). Utang adalah kewajiban yang dinyatakan dala jumlah uang baik dalam mata
uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara langsung maupun Kontinjen (Pasal
1 angka 7 UU Fidusia).

- Kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau UU (Pasal 1
angka 8). Piutang adalah Hak untuk menerima pembayaran (Pasal 1 angka 3 UU
Fidusia).

Para pihak yang ada dalam Fidusia yakni:

- Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia (Pasal 1 angka 5).

- Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai


piutangyang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia (Pasal 1 angka 6).

 Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam
bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia (Pasal 5 ayat (1) UU Fidusia).
Dimana dalam Akta Jaminan Fidusia selain dicantumkan hari dan tanggal, juga
dicantumkan mengenai waktu (jam) pembuatan Akta tersebut.
Dengan demikian perjanjian Jaminan Fidusia harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris
dan disebut dengan Akta Jaminan Fidusia.

Hal-hal yang sekurang-kurangnya harus ada dalam Akta Jaminan Fidusia yakni:

- Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia

Yang dimaksud dengan “identitas” adalah meliputi nama lengkap, agama,


tempat tinggal, atau tempat kedudukan, tempat dan tanggal lahir, jenis
kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan.

- Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia.

Yang dimaksud dengan “data perjanjian pokok” adalah mengenai macam


perjanjian dan utang yang dijamin dengan Fidusia.

- Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia cukup dilakukan
dengan mengidentifikasikan Benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat
bukti kepemilikannya.

- Nilai penJaminan; dan

- Nilai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia (Pasal 6 UU Fidusia).

Utang yang pelunasannya dijamin dengan Fidusia dapat berupa :

- Utang yang telah ada.

- Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah
tertentu.

Utang yang akan timbul dikemudian hari yang dikenal dengan istilah “Kontinjen”,
misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh Kreditor untuk
kepentingan Debitor dalam rangka pelaksanaan garansi bank.

Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian
pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi, yaitu utang bunga atas
pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan kemudian (Pasal 7
UU Fidusia).

Jaminan Fidusia dapat dibuat/ diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia dalam
rangka pembiayaan kredit konsorsium diatur dalam Pasal 8 UU Fidusia yang
menyatakan Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia
atau kepada kuasa atau wakil dan Penerima Fidusia tersebut.

Kuasa adalah orang yang mendapat kuasa khusus dari Penerima Fidusia untuk mewakili
kepentingannya dalam Penerimaan Jaminan Fidusia dari Pemberi Fidusia.

Wakil adalah orang yang secara hukum dianggap mewakili Penerima Fidusia dalam
Penerimaan Jaminan Fidusia, misalnya wali Amanat dalam mewakili kepentingan
Pemegang obligasi.

Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi (Pasal 10 huruf b), dengan demikian jika Benda
yang menjadi objek Fidusia diasuransikan, maka klaim asuransi tersebut merupakan
Hak Penerima Fidusia.

 Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan pada Kantor
Pendaftaran Fidusia (Pasal 11 ayat (1) jo Pasal 12 ayat (1) UU Fidusia).

Dimana segala keterangan mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang
ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum (Pasal 18 UU Fidusia).

Kantor pendaftaran Fidusia merupakan bagian dalam lingkungan Departemen


KeHakiman dan bukan institusi yang mandiri atau unit pelaksana teknis.

Kantor pendaftaran Fidusia didirikan untuk pertama kali di Jakarta dengan wilayah
kerja mencakup seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan secara bertahap, sesuai
keperluan, di ibukota propinsi di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

Dalam hal Kantor Pendaftaran Fidusia belum didirikan di tiap daerah Tingkat 11 maka
wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia di ibukota propinsi meliputi seluruh daerah
Tingkat 11 yang berada di lingkungan wilayahnya.

Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 Tentang
Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di Setiap Ibukota Propinsi Di Wilayah Negara
Republik Indonesia, Kantor pendaftaran Fidusia dibentuk di setiap Ibukota Propinsi di
Wilayah Negara Republik Indonesia dan berada di Kantor Wilayah Departemen
KeHakiman dan Hak Asasi Manusia (Pasal 1 jo Pasal 2).

Wilayah kerja Kantor Pandaftaran Fidusia meliputi wilayah kerja Kantor Wilayah
Departemen KeHakiman dan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan (Pasal 3).

Pendaftaran Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia dilaksanakan di tempat


kedudukan Pemberi Fidusia.
Tata cara pendaftaran Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia adalah :

- Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau
wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia yang memuat :

a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia.

b. Tanggal, Nomor Akta Jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan Notaris yang
memuat Akta Jaminan Fidusia.

c. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia.

d. Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

e. Nilai Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.

- Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada
tanggal yang sama dengan tanggal Penerimaan pendaftaran.

Dengan demikian Kantor Pendaftaran Fidusia tidak melakukan penilaian terhadap kebenaran
yang dicantumkan dalam pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia, akan tetapi hanya
melakukan pengecekan data. (Pasal 13 UU Fidusia).

Bukti bahwa Jaminan Fidusia tersebut telah didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia
yakni Kantor Pandaftaran Fidusia akan menerbitkan dan menyerahkan kepada Penerima
Fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal Penerimaan
permohonan pendaftaran (Pasal 14 ayat (1) UU Fidusia).

Kedudukan dari sertifikat Jaminan Fidusia yang diberikan kepada Penerima Fidusia tersebut
adalah Salinan dari Buku Daftar Fidusia memuat catatan tentang hal-hal yang tersebut dalam
pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia (Pasal 14 ayat (2) UU Fidusia).

Ciri utama yang termuat dalam sertifikat Jaminan Fidusia yakni dalam Sertifikat Jaminan
Fidusia dicantumkan kata-kata ” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA ”, hal ini berarti Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 15
ayat (1) jo ayat (2) UU Fidusia).

Konsekuensi dari Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial tersebut dapat
langsung dilaksanakan tanpa melalui Pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak
untuk melaksanakan putusan tersebut, apabila ternyata Debitor cedera janji, Penerima Fidusia
mempunyai Hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya
sendiri (Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia) dan Hak ini dikenal dengan nama Parate Eksekusi.
Prosedur yang harus ditempuh apabila akan dilakukan perubahan hal-hal yang tercantum
dalam Sertifikat Jaminan Fidusia adalah :

- Penerima Fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut


kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.

- Kantor pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal Penerimaan
permohonan perubahan, melakukan pencatatan perubahan tersebut dalam buku Daftar
Fidusia dan menerbitkan Pernyataan Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dan
Sertifikat Jaminan Fidusia ( Pasal 16 UU Fidusia ).

Perubahan dalam Sertifikat Jaminan Fidusia tidak perlu dilakukan dengan Akta Notaris karena
dalam rangka efisiensi untuk memenuhi kebutuhan dunia Usaha. Dan mengenai hal-hal yang
tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia, harus diberitahukan kepada para pihak
(Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU Fidusia).

Benda Jaminan Fidusia yang telah didaftarkan tidak dapat dijaminkan Fidusia lagi (Pasal 17 UU
Fidusia) karena Hak kepemilikan atas Benda tersebut teah beralih kepada Penerima Fidusia.
Hal tersebut dinamakan Fidusia Ulang.

Besaran biaya yang terkait dengan pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dan pembuatan
Sertifikat Jaminan Fidusia diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2005 Tentang jenis dan tariff atas jenis Penerimaan Negara bukan pajak yang berlaku
pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Dimana pada lampiran PP tersebut tercantum biayanya, yakni :

- Biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia :

a. Untuk nilai penJaminan sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) per
Akta Rp. 25.000,-

b. Untuk nilai penJaminan di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) per Akta Rp.
50.000,-

- Biaya permohonan perubahan hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia. Per
permohonan Rp. 10.000,-

- Biaya permohonan penggantian Sertifikat Jaminan Fidusia yang rusak atau hilang :

a. Untuk nilai penJaminan sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) per
Akta Rp. 25.000,-
b. Untuk nilai penJaminan di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) per Akta Rp.
50.000,-

 Menurut hukum Jaminan Fidusia itu lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal
dicatatnya Jaminan Fidusia dalm Buku Daftar Fidusia (Pasal ayat (3) UU Fidusia).

Ketentuan ini mengurangi berlakunya Pasal 613 KUH Perdata bagi pengalihan piutang
atas nama dan keBendaan tak berwujud lainnya.

Dimana Pasal 613 KUH Perdata menyatakan ”Penyerahan piutang-piutang atas nama
dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat Akta
otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan Hak-Hak atas barng-barang itu
kepada orang lain”.

Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu
diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya.

Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya


penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama
endosemen surat itu.

 Piutang yang dijamin dengan Fidusia dapat dialihkan atau dipindahtangankan, dalam
Pasal 24 UU Fidusia diatur mengenai tata cara pengalihan piutang yang dijamin
dengan Fidusia.

”Pengalihan Hak atas piutang” ini dikenal dengan istilah ”cessie” yakni pengalihan
piutang yang dilakukan dengan Akta otentik atau Akta di bawah tangan.

Akibat yuridis dari pengalihan Hak piutang yang dijamin dengan Fidusia adalah
beralihnya demi hukum segala Hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada Kreditor
baru (Pasal 19 ayat (1) UU Fidusia).

Dengan demikian dengan adanya cessie ini, maka segala Hak dan kewajiban Penerima
Fidusia lama beralih kepada Penerima Fidusia baru dan pengalihan Hak atas piutang
tersebut diberitahukan kepada Pemberi Fidusia.

Pengalihan Hak piutang yang dijamin dengan Fidusia kepada pihak lain harus juga
didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia, dengan dasar Pasal 19 ayat (2) UU Fidusia.

Adanya asas ”Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia” menyebabkan Benda Jaminan Fidusia tersebut tidak dapat dipindahtangankan
atau dialihkan kepada pihak lain, akan tetapi dalam UU Fidusia ada pengecualiannya
yakni Benda-Benda Jaminan Fidusia tertentu yang dapat dialihkan/ dipindahtangankan,
Benda tersebut dalam bentuk persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia (Pasal 20
UU Fidusia) dan hal ini semakin dinyatakan dalam Pasal 21 ayat (1) UU Fidusia yakni
Pemberi Fidusia dapat mengalihkan Benda persediaan yang menjadi objek Jaminan
Fidusia.

Dari ketentuan di atas nyata Pemberi Fidusia dapat mengalihkan Benda persediaan
yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Mengalihkan disini antara lain termasuk menjual atau menyewakan dalam rangka
kegiatan Usahanya yang dilakukan dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan
dalam Usaha perdagangan (Pasal 21 ayat (1) UU Fidusia).

Kewajiban hukum dari Pemberi Fidusia yang telah memindahtangankan Benda


persediaan yang dijamin Fidusia adalah wajib mengganti Benda yang menjadi objek
JaminanFidusia yang telah dialihkan dengan objek yang setara (Pasal 21 ayat (3) UU
Fidusia). Dimana yang dimaksud dengan ”setara” tidak hanya nilainya tetapi juga
jenisnya.

Penggantian dengan barang yang setara inilah yang menjaga kepentingan Penerima
Fidusia.

Ketentuan ”Pemberi Fidusia dapat mengalihkan Benda persediaan yang menjadi objek
Jaminan Fidusia” berlaku tidak mutlak karena dalam hal Debitor dan atau Pemberi
Fidusia pihak ketiga telah terjadi cidera janji maka pengalihan Benda persediaan
kepada pihak lain dilarang (Pasal 21 ayat (2) UU Fidusia).

Yang dimaksud dengan “cidera janji” adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang
berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian Jaminan
lainnya.

Dalam hal Pemberi Fidusia cidera janji, maka hasil pengalihan dan atau tagihan yang
timbul karena pengalihan demi hukum menjadi objek Jaminan Fidusia pengganti dan
objek Jaminan Fidusia yang dialihkan (Pasal 21 ayat (4) UU Fidusia).

Perlindungan hukum yang diberikan kepada pembeli Benda persediaan yang dijamin
dengan Fidusia adalah dalam bentuk pembeli tersebut bebas dari tuntutan meskipun
pembeli tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia itu, dengan ketentuan
bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan Benda tersebut sesuai dengan
harga pasar (Pasal 22 UU Fidusia).
Harga pasar adalah harga yang wajar yang berlaku di pasar pada saat penjualan Benda
tersebut, sehingga tidak mengesankan adanya penipuan dari pihak Pemberi Fidusia
dalam melakukan penjualan Benda tersebut (Penjelasan Pasal 22 UU Fidusia).

Tindakan yang dapat dilakukan oleh Pemberi Fidusia terhadap Benda Jaminan Fidusia
adalah Pemberi Fidusia dapat menggunakan, menggabungkan, mencampur, atau
mengalihkan Benda atau hasil dari Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, atau
menyetujui melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas piutang (Pasal 23
ayat (1) UU Fidusia).

Yang dimaksud dengan ”menggabungkan” adalah penyatuan bagian-bagian dari


Benda tersebut.

Yang dimaksud dengan ”mencampur” adalah penyatuan Benda yang sepadan dengan
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Pemberi Fidusia dapat mengalihkan, mengGadaikan, atau menyewakan kepada pihak


lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan Benda
persediaan, dengan syarat harus adanya persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
Penerima Fidusia (Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia).

Yang dimaksud dengan ”Benda yang tidak merupakan Benda persediaan”, misalnya
mobil pribadi yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Perbedaan yang nyata antara tata cara peralihan Benda persediaan dengan Benda
bukan persediaan yakni :

a. Peralihan Benda persediaan pada dasarnya diperbolehkan.

b. Peralihan Benda bukan persediaan pada dasarnya dilarang, kecuali ada persetujuan
terulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.

Dengan demikian perbedaannya dalam hal peralihan Benda bukan persediaan harus dilakukan
dengan persetujuan tertulis dari Penerima Fidusia.

Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian
Pemberi Fidusia baik yang timbul dan hubungan kontraktual atau yang timbul dari
perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia (Pasal 24 UU Fidusia).

 Yang menyebabkan Jaminan Fidusia berakhir adalah :


A. Hapusnya utang yang dijamin dengan Fidusia.
B. Pelepasan Hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau
C. Musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
( Pasal 25 ayat (1) UU Fidusia).

Dengan demikian sesuai dengan sifat ikutan dari Jaminan Fidusia, maka adanya Jaminan
Fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya.

Apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya utang atau karena pelepasan, maka dengan
sendirinya Jaminan Fidusia yang bersangkutan menjadi hapus.

Yang dimaksud dengan ”hapusnya utang” antara lain karena pelunasan dan bukti hapusnya
utang berupa keterangan yang dibuat Kreditor.

Selanjutnya apabila Benda objek Jaminan Fidusia musnah maka hapuslah Jaminan Fidusia
tetapi tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b
(Pasal ayat (2) UU Fidusia).

Langkah yang harus dilakukan oleh Penerima Fidusia dalam hal Jaminan Fidusia telah berakhir
adalah Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia dengan
melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan Hak, atau musnahnya Benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut (Pasal 25 ayat (3) UU Fidusia).

Akibat jika Kantor Pendaftaran Fidusia telah menerima pernyataan tentang


hapusnya Jaminan Fidusia dari Penerima Fidusia yakni :

a. Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari Buku Daftar
Fidusia.
b. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan
Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.
(Pasal 26 UU Fidusia).

 Tingkatan / kedudukan dari Jaminan Fidusia atas pelunasan piutangnya adalah


Penerima Fidusia memiliki Hak yang didahulukan terhadap Kreditor lainnya. Hak
yang didahulukan adalah Hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan
piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia (Pasal 27
UU Fidusia).

Hak ini dinamakan dengan Hak mendahulu.

Jaminan Fidusia memiliki Hak untuk didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Jadi bukan pada saat Jaminan Fidusia tersebut dibuat akan tetapi lahirnya pada saat
Jaminan Fidusia tersebut didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.

Apabila Pemberi Fidusia mengalami kepailitan dan atau likuidasi, maka Hak untuk
didahulukan dari Jaminan Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau
likuidasi Pemberi Fidusia (Pasal 27 ayat (3) UU Fidusia.

Ketentuan tidak hapusnya Hak mendahulu dari Jaminan Fidusia berhubungan dengan
ketentuan bahwa Jaminan Fidusia merupakan Hak aGuna atas keBendaan bagi
pelunasan utang. Di samping itu, ketentuan dalam UU tentang Kepailitan menentukan
bahwa Benda yang menjadi objek Jamina Fidusia berada di luar Kepailitan dan atau
likuidasi.

Untuk menentukan Jaminan Fidusia yang harus didahulukan adalah dalam bentuk
didahulukan untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia diberikan kepada pihak yang lebih dahulu
mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia (Pasal 28 UU Fidusia).

Penerima Fidusia yang mempunyai Sertifikat Jaminan Fidusia yang di dalamnya


dicantumkan kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”, diberikan Hak untuk menjuak Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaannya sendiri apabila Debitor cidera janji (Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia) dan Hak
ini dikenal dengan nama Parate Eksekusi.

 Apabila Debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :

a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh Penerima Fidusia.


b. Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan.
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan
Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak.
(Pasal 29 ayat (1) UU Fidusia).

Pelaksanaan penjualan objek Jaminan Fidusia yang dilakukan di bawah tangan yakni
dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi
dan Penerima Fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan
sedikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan (Pasal 29
ayat (2) UU Fidusia).
Cara penjualan Benda Jaminan Fidusia yang berbentuk Benda perdagangan atau efek
yakni dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-
tempat tersebut sesuai dengan Peraturan PerUU-an yang berlaku (Pasal 31 UU Fidusia).

Tata cara penjualan dalam Pasal 29 dan Pasal 31 berlaku mutlak tidak bisa disimpangi,
bahkan setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum (Pasal 32 UU Fidusia).

Kewajiban dari Pemberi Fidusia ketika dilakukan eksekusi atas Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia yakni menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia
(Pasal 30 UU Fidusia).

Jika saat eksekusi Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang dijamin Fidusia
tersebut maka Penerima Fidusia berHak mengambil Benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bentuan pihak yang berwenang
(Penjelasan Pasal 30 UU Fidusia).

Aturannya jika dari eksekusi Benda Jaminan Fidusia hasilnya melebihi atau bahkan
kurang dari nilai utang Debitor maka :

a. Apabila hasil eksekusi melebihi nilai penJaminan, Penerima Fidusia wajib


mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia (Pasal 34 ayat (1) UU
Fidusia).
b. Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang maka Debitor tetap
bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar (Pasal 34 ayat (2) UU Fidusia).

 Dalam UU Fidusia dikenal 2 (dua) bentuk pokok tindak pidana yang berkaitan
dengan Jaminan Fidusia yakni :

a. Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau


dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal
tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 Tahun dan paling lama 5 Tahun dan
denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 35 UU Fidusia).
b. Pemberi Fidusia yang mengalihkan, mengGadaikan, atau menyewakan Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam asal 23 ayat (2) yang
dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 Tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta) rupiah (Pasal 36 UU Fidusia).
Kedudukan perjanjian Jaminan Fidusia yang dibuat sebelum berlakunya UU Fidusia
yakni UU Fidusia mulai berlaku tanggal 30 September 1999, dan apabila ada perjanjian
Jaminan Fidusia yang dibuat sebelum tanggal 30 September 1999 dinyatakan tetap
berlaku sepanjang isinya tidak bertentangan dengan UU Fidusia (Pasal 37 ayat (1) UU
Fidusia).

Bentuk kewajiban hukumdari para pihak yang membuat perjanjian Jaminan Fidusia
apabila di suatu daerah telah didirikan Kantor Pendaftaran Fidusia adalah dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 60 hari terhitung sejak berdirinya Kantor Pendaftaran
Fidusia, semua perjanjian Jaminan Fidusia harus sesuai dengan ketentuan dalam UU
Fidusia, kecuali ketentuan mengenai kewajiban pembuatan Akta Jaminan Fidusia yang
harus dibuat dengan Akta Notaries (Pasal 37 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) UU Fidusia).

Akibat hukumnya jika perjanjian Jaminan Fidusia tidak didaftarkan di Kantor


Pendaftaran Fidusia, padahal di tempat tersebut telah didirikan Kantor tersebut adalah
perjanjian Jaminan Fidusia tersebut bukan merupakan Hak aGunan atas keBendaan
artinya perjanjian Jaminan Fidusia yang tidak didaftar tidak mempunyai Hak yang
didahulukan (preferen) baik di dalam maupun di luar Kepailitan dan atau likuidasi.

Dalam Pasal 37 ayat (3) UU Fidusia tegas dinyatakan jika dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dilakukan penyesuaian, maka perjanjian
Jaminan Fidusia tersebut bukan merupakan Hak aGunan atas keBendaan sebagaimana
dimaksud dalam UU ini.
BAB IV
HIPOTEK DAN HAK TANGGUNGAN
(JAMINAN KHUSUS BENDA TIDAK BERGERAK)

 Jaminan khusus Benda tidak bergerak bisa berbentuk Hipotek/ Creditverband dan Hak
Tanggungan.

Hipotek dan Hak Tanggungan objeknya adalah Benda tetap/ tidak bergerak, namun :

a. Dalam Hak Tanggungan, Benda tetap yang dijaminkan adalah tanah dan Benda-Benda
yang berkaitan dengan tanah.
b. Dalam Hipotek Benda tetap yang dijaminkan adalah Benda tetap pada umumnya, kecuali
tanah.
Dengan demikian jika yang dijaminkan adalah tanah Jaminannya dinamakan dengan Hak
Tanggungan, sedangkan jika yang dijaminkan adalah Benda tetap bukan tanah Jaminannya
berbentuk Hipotek.

Menurut hukum, pengertian dari Benda tetap/ tidak bergerak adalah :

a. Karena sifatnya, yakni yang disebut dalam Pasal 506 KUH Perdata, Barang tak bergerak
adalah :
- Tanah pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya.

- Penggilingan.

- Pohon dan tanaman ladang yang dengan akarnya menancap dalam tanah, buah pohon
yang belum dipetik, demikian pila barang-barang tambang seperti batu bara, samaph bara
dan sebagainya, selama barang-barang itu belum dipisahkan dan digali dari tanah.
- Kayu belukar dari hutan tebangan dan kayu dari pohon yang tinggi, selama belum
ditebang.

- Pipa dan saluran yang diGunakan untuk mengalirkan air dari rumah atau pekarangan dan
pada umumnya segala sesuatu yang tertancap dalam pekarangan atau terpaku pada
Bangunan.

b. Karena tujuannya/ peruntukannya, yakni yang disebut dalam Pasal 507 KUH Perdata, yang
temasuk barang tak bergerak adalah :

- Pada pabrik: barang hasil pabrik, penggilingan, penempaan besi dan barang tak
bergerak semacam itu, apitan besi, ketel kukusan, tempat api, jambangan, tong dan
perkakas-perkakas sebagainya yang termasuk bagian pabrik, sekalipun barang itu tidak
terpaku.

- Pada perumahan: cermin, lukisan dan perhiasan lainnya bila dilekatkan pada papan
atau pasangan batu yang merupakan bagian dinding, sekalipun barang itu tidak
terpaku.

- Dalam pertanahan: tumbuhan pupuk yang diperGunakan untuk merabuk tanah, ikan
yang ada di dalam kolam.

- Runtuhan bahan Bangunan yang dirombak, bila diperGunakan untuk pemBangunan


kembali; dan pada umumnya semua barang yang oleh pemiliknya dihubungkan dengan
barang tak bergerak Guna diPakai selamanya.

c. Karena Uandang-Undang, yakni yang disebut dalam Pasal 508 KUH Perdata, yakni :

- Hak Pakai hasil dan Hak paki barang tak bergerak.

- Hak Pengabdian tanah.

- Hak numpang karang.

- Hak Guna Usaha.

- Bunga tanah, dalam bentuk uang maupun dalam bentuk barang

- Hak sepersepuluhan.

- Bazar atau pasar yang diakui oleh pemerintah dan Hak Istimewa yang berhubungan
dengan itu.

- Gugatan Guna menuntut pengembalian atau penyerahan barang tak bergerak.


HIPOTEK

 Aturan tentang Hipotek termuat dalam Bab ke XXI KUH Perdata, tetapi dalam
praktek ketentuan itu tidak atau belum berlaku karena masih ada ketentuan yang
belum pernah berlaku. Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hukum formil
Hipotek dinyatakan tidak berlaku oleh Bepalingen Omtrent de invoering van de
overgang tot de nieuwe wetgeving S 148 No : 10 (Ov Bep). Ketentuan-ketentuan yang
dinyatakan tidak berlaku itu antara lain mengenai cara pendaftaran dan pencoretan
Hipotek (Mariam Darus Badarulzaman, 1978 : 13).

Menurut hukum pengertian Hipotek adalah suatu Hak keBendaan atas barang tak
bergerak yang dijadikan Jaminan dalam pelunasan suatu perikatan (Pasal 1162 KUH
Perdata).

Perbedaan utama antara Hipotek dengan Hak Privelege adalah Hipotek lahir karena
diperjanjikan, sedangkan Privelege lahir karena diberikan oleh Udang-Undang.

Setiap Hipotek mencakup juga segala perbaikan yang dilakukan kemudian atas
barang yang dibebani, dan juga mencakupsemua yang menyatu dengan barang itu
karena pertambahan atau pemBangunan (Pasal 1165 KUH Perdata).

Sifat utama dari perjanjian Hipotek adalah :

a. Perjanjian Hipotek bersifat accessoir yaitu merupakan perjanjian tambahan dari


perjanjian pokoknya (perjanjian utang piutang). Lahirnya Hipotek setelah ada
perjanjian utang piutang.
b. Hipotek merupakan Hak keBendaan yang bersifat member Jaminan pelunasan
piutang.

 Hipotek tidak dapat diadakan selain oleh orang yang mempunyai wewenang untuk
memindahtangankan barang yang dibebani itu (Pasal 1168 KUH Perdata).

Dengan demikian hanya orang yang berwenang memindahtangankan baranglah


yang bisa mengHipotekkan barang tersebut.

Pihak-pihak khusus yang disebut oleh Undang-Undang sebagai pihak yang tidak dapat
melakukan Hipotek adalah :

a. Mereka yang atas barang tak bergerak hanya mempunyai Hak yang ditangguhkan
oleh suatu syarat, atau yang dalam hal tertentu dapat dihapuskan atau dibatalkan,
tidak dapat memberikan Hipotek selama yang tunduk pada syarat penangguhan,
penghapusan atau pembatalan (Pasal 1169 KUH Perdata).
b. Semua barang milik anak yang masih berada di bawah umur, orang yang ada dalam
pengampuan dan orang yang dalam keadaan tak hadir, yang penguasaan atasnya
hanya diberikan untuk sementara waktu saja, tidak dapat dibebani dengan Hipotek
selain dengan alasan yang sesuai dengan persyaratan formal yang ditetapkan oleh
UU (Pasal 1170 KUH Perdata).

 Barang-barang/ Benda-Benda yang ditunjuk oleh hukum sebagai Benda yang


dapat diHipotekkan adalah :

- Dalam Pasal 1164 KUH Perdata dinyatakan yang dapat dibebani dengan Hipotek hanyalah :

1. Barang-barang tak bergerak yang dapat diperdagangkan, beserta semua yang termasuk
bagiannya, sejauh hal yang tersebut terakhir ini dianggap sebagai barang tak bergerak.
2. Hak Pakai hasil barang-barang itu dengan segala sesuatu yang termasuk bagianya.
3. Hak numpang karang dan Hak Usaha.
4. Bunga tanah yang terutang, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk hasil tanah.
5. Hak sepersepuluhan.
6. Bazar atau pecan raya, yang diakui oleh pemerintah, beserta Hak Istimewanya yang
melekat.
- Dalam Pasal 1167 KUH Perdata dinyatakan Barang bergerak tidak dapat dibebani Hipotek.

- Dalam Pasal 60 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Kapal yang telah
didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan Jaminan utang dengan pembebanan
Hipotek atas kapal.

- Dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, Pesawat terbang dan
Helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat
dibebani Hipotek.

Perkembangan dari Benda-Benda yang dapat diHipotekkan adalah :

a. Dahulu semua jenis barang tidak bergerak / tetap apabila dijaminkan harus berbentuk Hipotek.
Lahir S. 1908 No. 542 tentang Creditverband yang mengatur Hak-Hak atas tanah yang tidak
dikenal dalam KUH Perdata dapat dijaminkan.

b. Kemudian lahir UU No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan,
maka tanah/ Hak-Hak atas tanah tidak lagi menjadi objek Hipotek akan tetapi menjadi objek
dari Hak Tanggungan.
Dengan demikian semua Benda tetap kecuali tanah/ Hak-Hak atas tanah dan Benda-Benda
lain yang berkaitan dengan tanah dapat dijaminkan dalam bentuk Hipotek, dimana dalam
perkembangannya sekarang Benda yang merupakan objek Hipotek adalah : Kapal dan
Pesawat Terbang.

Hipotek hanya dapat diletakkan atas barang-barang yang sudah ada, Hipotek atas
barang yang belum ada adalah batal (Pasal 1175 ayat (1) KUH Perdata) tetapi ada
pengecualiannya yang terdapat dalam Pasal 1175 ayat (2) KUH Perdata (jadi pada saat
perjanjian Hipotek barang tersebut mungkin belum menjadi miliknya).

Jadi Benda yang akan diHipotekkan tersebut harus yang sudah dimiliki oleh Pemberi
Hipotek.

Suatu benda tetap yang dapat diHipotekkan dimiliki secara bersama-sama oleh lebih
dari satu orang, maka benda tersebut dapat di Hipotekkan oleh salah satu pemiliknya,
karena dalam Pasal 1166 KUH Perdata diatur tentang andil seseorang dalam suatu Hak
bersama dapat pula diHipotekkan.

Bagian yang tidak terbagi dan barang tak bergerak milik bersama, dapat dibebani
dengan Hipotek. Setelah barang itu dibagi, Hipotek tersebut hanya tetap membebani
bagian yang diberikan kepada Debitor yang telah memberikan Hipoteknya, tanpa
mengurangi ketentuan Pasal 1341 (Pasal 1166 KUH Perdata).

Tata cara pencantuman jumlah uang yang menjadi dasar pembebanan Hipotek itu
sendiri yakni dalam Pasal 1176 KUH Perdata dikatakan suatu Hipotek hanya berlaku,
bila jumlah uang yang diberikan untuk Hipotek itu pasti dan ditentukan dalam Akta.

Bila utang itu bersyarat dan besarnya tidak tentu, maka Pemberian Hipotek itu boleh
dilakukan samapi sebesar jumlah harga taksiran, yang oleh pihak-pihak yang
bersangkutanharus dicantumkan dalam Akta itu.

Artinya dalam perjanjian Hipotek harus ditetapkan samapi jumlah berapa jaminan
Hipotek diberikan oleh Pemberi jaminan.

Kreditor sekali-kali tidak dapat menuntut penambahan Hipotek kecuali bila


diperjanjikan atau ditentukan sebaliknya dalam UU (Pasal 1177 KUH Perdata).

 Ciri dari Hipotek adalah Hak itu pada Hakikatnya tidak dapat dibagi-bagi, dan
diadakan atas semua barang tak bergerak yang terikat secara keseluruhan, atas
masing-masing dari barang-barang itu, dan atas tiap bagian dari barang-barang itu
(Pasal 1163 ayat (1) KUH Perdata).

Barang-barang tersebut tetap memikul beban itu meskipun barang-barang tersebut


berpindah tangan kepada siapapun juga (Pasal 1163 ayat (2) KUH Perdata) (mengikuti
bendanya).

Ciri yang pertama dari Hipotek adalah tidak dapat di bagi-bagi, artinya :

Hipotek membebani secara utuh obyek Hipotek dan setiap bagian daripadanya,
konkritnya apabila telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti
terbebasnya sebagian obyek Hipotek dari beban Hipotek, melainkan Hipotek itu
tetap membebani seluruh obyek Hipotek untuk sisa utang yang belum dilunasi.

Ciri yang kedua dari Hipotek adalah tetap mengikuti bendanya, artinya :

Sifat ini menunjukkan Hipotek sebagai Hak kebendaan, dimana ciri pokoknya Hak
kebendaan adalah droit de suite, yaitu Hak tersebut mengikuti benda yang dibebani
Hipotek tidak perduli ditangan siapa benda tersebut berada, dan ciri Hak kebendaan
tersebut ditegaskan dalam Pasal 1163 ayat (2) KUH Perdata.

Yang menjadi konsekuensi yuridis Hipotek adalah ”Hak kebendaan” adalah sesuai
dengan sifat Hak kebendaan itu sendiri yakni Hak kebendaan yang lebih tua
mempunyai kedudukan lebih tinggi/ didahulukan daripada Hak kebendaan yang lahir
di belakangan.

 Perjanjian Hipotek dibuat dalam bentuk :


a. Perjanjian Hipotek harus dibuat dengan Akta otentik dan dinamakan dengan Akta
Hipotek, hal ini ternyata dari ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata.
b. Pembebanan Hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan Akta Hipotek oleh
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal ( Pasal 60 ayat (20) UU Pelayaran).

MengHipotekkan barang yang berada di Indonesia dengan menggunakan perjanjian


yang dibuat di luar negeri itu tidak dapat dilakukan, kecuali diperjanjikan lain dalam
suatu traktat.

Hal ini ternyata dalam Pasal 1173 KUH Perdata, atas dasar perjanjian yang dibuat di luar
negeri, tidak dapat diadakan pendaftaran Hipotek atas barang-barang yang terletak di
Indonesia, kecuali bila dalam suatu traktat ditentukan sebaliknya.

 Hal atau janji yang dapat termuat dalam perjanjian Hipotek adalah :
a. Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri,
Kreditor dapat memperjanjikan dia dapat diberikan kuasa mutlak untuk menjual benda
yang diHipotekkan di muka umum.

Dalam Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan namun Kreditor Hipotek pertama,
pada waktu penyerahan Hipotek boleh mensyaratkan dengan tegas, bahwa jika utang
pokok tidak dilunasi sebagaimana mestinya, atau bila bunga yang terutang tidak
dibayar, maka ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual persil yang terikat itu
di muka umum, agar dari hasilnya dilunasi, baik jumlah uang pokoknya maupun bunga
dan biayanya.

b. Janji untuk tidak menyewakan,


Pemegang Hipotek berHak memperjanjikan dengan tegas bahwa kekuasaan pemilik
untuk menyewakan benda-benda jaminan dibatasi (Pasal 1185 KUH Perdata).
Pembatasan tersebut berwujud :

- Larangan sama sekali untuk menyewakan,

- Pembatasan mengenai cara penyewaan,

- Pembatasan mengenai lamanya penyewaan,

- Pembatasan mengenai perjanjian uang muka sewa.

c. Janji asuransi,
Kreditor Pemegang benda jaminan berkepentingan agar benda jaminannya tetap
mempunyai nilai yang tinggi, karenanya Kreditor diperkenankan memperjanjikan
bahwa benda-benda yang dipertanggung jawabkan wajib diasuransikan terhadap
bahaya kebakaran pada suatu perusahaan asuransi yang ditunjuk oleh Kreditor atas
biaya pemilik benda jaminan/ Debitor (J.Satrio, : 1991 310).

Pada dasarnya janji-janji tersebut dibuat agar memudahkan/ semakin menjamin Pemegang
Hipotek mendapatkan pelunasan utangnya dan menjamin agar benda jaminan mempunyai
nilai yang tinggi.

Segala perjanjian yang menentukan bahwa Kreditor diberi kuasa untuk menjadikan barang-
barang yang diHipotekkan itu sebagai miliknya adalah batal (Pasal 1178 ayat (1) KUH Perdata).

Dengan demikian secara yuridis apabila Debitor tidak melunasi utangnya maka Kreditor tidak
dapat secara otomatis menguasai harta Debitor yang diHipotekkan tersebut.

 Hipotek lahir sejak saat pendaftaran oleh Kantor Pendaftaran Tanah (Pasal 1179 ayat
(2) KUH Perdata).

Dengan demikian UU mensyaratkan Hipotek tersebut harus didaftarkan, dimana


menurut Pasal 1179 ayat (1) KUH Perdata Pendaftaran ikatan Hipotek harus dilakukan
dalam daftar-daftar umum yang disediakan untuk itu.
Akibat hukum jika ikatan Hipotek tidak didaftarkan yakni dalam hal tidak ada
pendaftaran, Hipotek itu tidak mempunyai kekuatan apapun, bahkan juga terhadap
Kreditor yang tidak mempunyai ikatan Hipotek (Pasal 1179 ayat (2) KUH Perdata).

Pendaftaran suatu Hipotek tidak berlaku, bila hal itu dilakukan pada waktu Hak milik
atas barang itu telah beralih kembali kepada pihak ketiga, karena Debitor telah
kehilangan Hak miliknya atas barang itu (Pasal 1180 KUH Perdata).

Konsekuensi yuridis dari adanya pendaftaran dari Hipotek adalah karena Hipotek
adalah Hak kebendaan maka Hipotek yang didaftarkan lebih dahulu mempunyai
kedudukan lebih didahulukan daripada yang didaftarkan belakangan.

Dimana urutan tingkat para Kreditor Hipotek ditentukan menurut tanggal pendaftaran
ikatan Hipotek mereka (Pasal 1181 ayat (1) KUH Perdata).

Pihak yang dapat melakukan pendaftaran perjanjian Hipotek adalah Kreditor sendiri
atau orang ketiga.

Dalam Pasal 1186 KUH Perdata dinyatakan Untuk menyelenggarakan pendaftaran,


Kreditor sendiri atau orang ketiga, harus menyerahkan kepada juru simpan Hipotek di
wilayah tempat barang-barang itu suatu salinan otentik dari Akta Hipotek itu, beserta
dua Akta ikhtisar yang ditandatangani oleh Kreditor atau orang ketiga ersebut, yang
satu ditulis di atas salinan dari alas Hak yang telah dikeluarkan.

Apabila Pendaftaran Hipotek dilakukan pada hari yang sama, maka mereka bersama-
sama mempunyai Hipotek yang bertanggal sama, tanpa membedakan jam berapa
pendaftaran itu dilakukan, juga kalau jamnya telah dicatat oleh penyimpannya (Pasal
1181 ayat (2) KUH Perdata).

 Pendaftaran Hipotek akan menjadi hapus jika adanya pencoretan dari dalam daftar.
Tata cara pencoretan pendaftaran tersebut, yakni dalam Pasal 1195 KUH Perdata
dinyatakan Pencoretan itu dilakukan atas biaya Debitor :

a. Dengan izin pihak yang berkepentingan dan berwenang, atau;


b. Dengan putusan Hakim, baik yang dijatuhkan dalam tingkat tertinggi, maupun yang
telah diperoleh kekuatan hukum yang pasti.

Langkah hukum yang harus ditempuh apabila ada perselisihan tentang berwenang tidaknya
mereka yang telah memberikan izin pencoretan pendaftaran Hipotek atau tentang salah
tidaknya tanda bukti yang diajukan, yakni mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Negeri yang dalam daerah hukumnya dilakukan pendaftaran, dimana surat permohonan
sederhana yang disampaikan kepada Pengadilan Negeri dengan melampirkan surat-surat yang
bersangkutan.

Langkah hukum yang harus ditempuh jika suatu pencoretan pendaftaran tidak memperoleh
persetujuan, yakni hal ini harus diminta pada Hakim yang di daerah hukumnya dilakukan
pendaftaran, kecuali bila tuntutanitu merupakan kelanjutan dari suatu perselisihanyang masih
ditangani Hakim lain, dalam hal itu tuntutan pencoretan ditujukan kepada Hakim yang sedang
menangani perkara tersebut (Pasal 1197 KUH Perdata).

Pencoretan pendaftaran Hipotek hanya akan dilakukan atas barang itu sendiri atau atas bagian
yang telah diperGunakannya untuk melunasi piutang itu, atau penguasa ketiganya telah
melunasi utangnya, sedangkan atas barang-barang lainnya yang terikat, tidak akan dilakukan
pencoretan sebelum orang yang telah membayar atau yang barangnya telah dijual akibat
putusan Hakim atau sebelum ia mengizinkan pencoretan itu. (Pasal 1203 KUH Perdata).

 Akibat hukum dari adanya pendaftaran Hipotek terhadap barang yang menjadi objek
Hipotek, maka Kreditor yang memegang Hipotek yang telah terdaftar, dapat
menuntut Haknya atas barang tak bergerak yang terkait itu, biat di tangan siapa pun
barang itu berada, untuk diberi urutan tingkat dan untuk dibayar menurut urutan
pendaftarannya (Pasal 1198 KUH Perdata).

Inilah ciri selanjutnya dari Hipotek yang menunjukkan sebagai Hak kebendaan yakni
Haknya mengikuti benda.

Langkah hukum yang dapat ditempuh oleh Kreditor Pemegang Hipotek apabila benda Hipotek
dikuasai oleh pihak ketiga, yakni Kreditor,setelah memperingatkan Debitor, berHak menyita
barang tetap yang terikat dari tangan pihak ketiga yang menguasai barang tetap itu, dan
mengUsaHakan penjualannya (Pasal 1199 KUH Perdata).

Langkah hukum yang dapat ditempuh oleh pihak ketiga yang menguasai benda Hipotek
apabila benda Hipotek tersebut dijual oleh Kreditor, yakni pihak ketiga yang menguasai
barang yang bersangkutan dapat mengadakan perlawanan terhadap penjualan barang itu, bila
ia dapat menunjukkan:

a. Debitor semula masih menguasai satu atau beberapa barang tetap yang ikut terikat
Hipotek untuk utang yang sama, dan ternyata penjualan barang itu cukup untuk melunasi
utang itu.
b. Dalam hal demikian, dengan menangguhkan penjualan sebagai pelaksanaan keputusan
Hakim atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan terhadap Hak miliknya, ia
dapat menuntut supaya dilakukan lebih dahulu penjualan barang yang ikut terikat tetapi
masih berada pada Debitor semula itu. (Vide Pasal 1200 KUH Perdata).
Akibat hukum jika suatu Hipotek diletakkan atas satu barang dan satu atau beberapa
bagian dari barang itu telah beralih kepada pihak ketiga yang menguasai barang itu,
maka Kreditor tetap mempunyai wewenang untuk menerapkan Haknya atas seluruh
barang yang terikat itu, atau atas suatu bagian dari barang itu yang dianggapnya perlu
atau cukup, seolah-olah barang yang terikat itu masih belum terbagi dalam
penguasaan Debitor (Pasal 1201 KUH Perdata).

Akibat hukum jika pihak ketiga yang menguasai barang itu telah melunasi utangnya
baik secara paksa maupun secara sukarela kepada Kreditor Pemegang Hipotek, maka
berdasarkan UU ia menggantikan tempat kedudukan hukum Kreditor, sehingga setelah
bagiannya dikurangkan sebanding dengan jumlah harga barang-barang yang terikat, ia
mempunyai wewnang untuk menerapkan Hak Hipotek selanjutnya untuk piutang ini
atas barang-barang yang sama-sama terikat, atau atas bagian dan barang-barang itu
(Pasal 1202 KUH Perdata).

Untuk menjamin Haknya, Kreditor yang menggantikan Kreditor lama wajib menuntut
supaya Haknya itu didaftar dalam daftar-daftar umum, dengan menunjukkan Akta
otentik yang menjadi bukti adanya penggantian Hak (Pasal 1203 ayat (2) KUH Perdata).

Akibat hukum jika benda Hipotek yang dikuasai oleh pihak ketiga nilainya menjadi berkurang
karena kesalahan atau kelengahan pihak ketiga yang menguasai barang sehingga
menimbulkan kerugian bagi Kreditor Hipotek, maka hal tersebut :

a. Menimbulkan tuntutan hukum kepada pihak ketiga untuk mengganti kerugian.


b. Pihak ketiga tidak dapat menuntut kembali biaya dan perbaikan yang telah dilakukannya,
kecuali sebesar pertambahan harga barang itu, yang disebabkan oleh perbaikan tersebut.
(Pasal 1207 KUH Perdata).

Hal yang dapat diminta oleh pihak ketiga yang menguasai barang yang telah
membayar utang Hipotek itu atau menderita penjualan harta bendanya akibat putusan
Hakim atas penuntutan pemilikan atau penguasaan, yakni pihak ketiga tersebut berHak
menuntut jaminan terhadap gangguan dan tuntutan dari Debitor (Pasal 1208 KUH
Perdata).

 Tata cara penjualan benda Hipotek yang menyebabkan pembeli dari benda
tersebut dapat mengajukan penghapusan Hipoteknya, yakni :
a. Penjualan itu telah terjadi di depan umum menurut kebiasaan setempat, dan
dihadapan pegawai umum.
b. Para Kreditor yang terdaftar perlu diberitahukan tentang hal itu, selambat-lambatnya
tiga puluh hari sebelum barang yang bersangkutan ditunjuk pembeli, dengan surat juru
sita yang harus disampaikan di tempat-tempat tinggal yang telah dipilih oleh para
Kreditor itu pada waktu pendaftaran. (Pasal 1211 KUH Perdata).

 Tingkatan atau kedudukan Hipotek, yakni :


a. Hipotek lebih tinggi daripada Hak privilege, kecuali dalam hal UU dengan tegas
menentukan kebalikannya (Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata). Artinya dalam mengambil
pelunasan atas hasil penjualan barang mana diletakkan Hak Hipotek dan Hak privilege
maka PemegangHipotek mengambil dahulu baru sisanya untuk pemilik Hak privilege.
b. Pemegang Hipotek memiliki Hak untuk didahulukan mengambil pelunasan piutangnya
dari Kreditor-Kreditor lain kecuali biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas
tuntutanmengenai pemilikan atau penguasaan , dan biaya penyelamatan barang itu
harus didahulukan daripada Hipotek.

Hal-hal yang menjadikan Hipotek menjadi hapus adalah :

a. Karena hapusnya perikatan pokoknya.


b. Karena pelepasan Hipotek itu oleh Kreditor.
c. Karena pengaturan urutan tingkat oleh Pengadilan, dan seterusnya.
(Pasal 1209 KUH Perdata).

Hipotek atas sebagian benda dapat dihapuskan jika orang yang telah member
barangyang berbeban, baik pada penjualan sebagi pelaksanaan putusan akim atas
tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, maupun pada penjualan sukarela
untuk harga yang ditentukan dalam bentuk uang, dapat menuntut agar persil yang
dibelinya dibebaskan dari segala beban Hipotek yang melampaui harga pembeliannya
(Pasal 1210 ayat 1 KUH Perdata)

Dan ketentuan tersebut tidak dapat dilakukan pada penjualan sukarela, bila pihak-
pihak yang berjanji pada waktu mengadakan Hipotek telah menyepakati hal itu dan
persyaratan perjanjian itu telah didaftarkan dalam daftar umum (Pasal 1210 ayat 2 KUH
Perdata).

 Bentuk Hipotek atas benda-benda tertentu yang diatur oleh aturan di luar KUH
Perdata, yakni :

a. Kapal (UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran).


b. Pesawat terbang dan Helikopter (UU No. 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan).
Yang dimaksud dengan Hipotek kapal itu adalah, menurut Pasal 1 angka 12 UU Pelayaran,
Hipotek Kapal adalah Hak aGunan kebendaan atas kapal yang terdaftaruntuk menjamin
pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor
tertentu terhadap Kreditor lain.

Syarat dari kapal yang dapat diHipotekkan adalah Pasal 60 ayat 1 UU Pelayaran, kapal yang
dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan Hipotek adalah kapal yang telah
didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia.

Cara pembebanan Hipotek atas kapal, yakni :

a. Pembebanan Hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan Akta Hipotek oleh Pejabat
Pendaftardan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam
daftar Induk Pendaftaran Kapal.
b. Setiap Akta Hipotek diterbitkan 1 Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada Penerima
Hipotek.
(Pasal 60 ayat (2) dan (3) UU Pelayaran).

Ciri utama dari Grosse Akta Hipotek yakni mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Pasal 60
ayat 4 UU Pelayaran).

Apabila Grosse Akta Hipotek hilang maka dapat diterbitkan Grosse Akta pengganti
berdasarkan penetapan pengadilan (Pasal 60 ayat 5 UU Pelayaran).

Kapal dapat diHipotekkan lebih dari satu kali karena menurut Pasal 61 UU Pelayaran, kapal
dapat dibebanlebih dari 1 Hipotek, dimana untuk menentukan peringkat masing-masing
Hipotek ditentukan sesuai dengan tanggal dan Nomor urut Akta Hipotek.

Piutang yang dijamin dengan Hipotek kapal dapat dialihkan kepada pihak lain oleh Penerima
Hipotek dengan syarat dilakukan dengan membuat Akta pengalihan Hipotek oleh Pejabat
Pandaftar dan Pancatat Balik Nama Kapal di tempat Kapal didaftarkan dan dicatat dalam
Daftar Induk Pendaftaran Kapal (Pasal 62 UU Pelayaran).

Untuk dapat dilakukannya pencoretan Hipotek (roya) kapal dilakukan oleh Pajabat
Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal dengan syarat :

a. Apabila yang meminta adalah Penerima Hipotek maka harus dilakukan dengan
permintaan tertulis dari Penerima Hipotek tersebut.
b. Apabila yang meminta adalah Pemberi Hipotek maka harus ada permintaan dari
Pemberi Hipotek dilampiri dengan surat persetujuan pencoretan dari Penerima
Hipotek.
(Pasal 63 UU Pelayaran).

Syarat pembebanan Hipotek atas pesawat terbang dan helicopter adalah :

a. Pesawat terbang dan helicopter yang dapat dibebani Hipotek adalah yang telah
mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia.
b. Pembebanan Hipotek pada pesawat terbang dan helicopter tersebut harus didaftarkan.
(Pasal 12 UU No. 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan).

HAK TANGGUNGAN

 Salah satu bentuk benda tetap adalah tanah.


Tanah termasuk benda tetap dapat dijadikan jaminan dalam perjanjian utang piutang,
tetapi yang dijaminkan bukan tanahnya akan tetapi dalam bentuk ”Hak atas tanahnya”.

Jaminan atas Hak atas tanah ini dinamakan dengan Hak Tanggungan.

Bentuk-bentuk dari Hak atas tanah, yaitu dalam Pasal 16 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Hak-Hak atas tanah sebagai
mana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 ialah :

a. Hak milik,
b. Hak Guna Usaha,
c. Hak Guna Bangunan,
d. Hak Pakai,
e. Hak sewa,
f. Hak membuka tanah,
g. Hak memungut hasil hutan,
h. Hak-Hak lain yang tidak termasuk dalam Hak-Hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta Hak-Hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 (Hak Gadai, Hak Usaha
bagi hasil, Hak menumpang dan Hak sewa tanah pertanian).
Dalam Pasal 51 UUPA dinyatakan Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak
milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39
diatur dengan Undang-Undang.
Dengan demikian Hak atas tanah yang dapat dijadikan Tanggungan/ jaminan utang
adalah :

a. Hak milik, dalam Pasal 25 UUPA dinyatakan Hak milik dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani Hak Tanggungan.
b. Hak Guna Usaha, dalam Pasal 33 UUPA dinyatakan Hak Guna Usaha dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
c. Hak Guna Bangunan, dalam Pasal 39 UUPA dinyatakan Hak Guna Bangunan dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Hak Tanggungan atas Hak-Hak atas tanah diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Dalam UU Hak Tanggungan, Hak tersebut dinamakan dengan Hak Tanggungan atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang disingkat dengan Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada Hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor
tertentu terhadap Kreditor-Kreditor lain (Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan).

Hal-hal pokok yang lahir dari pengertian Hak Tanggungan yakni :

a. Hak jaminan yang dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas tanah :
- berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu,

b. Untuk pelunasan utang tertent

c. Yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap


Kreditor-Kreditor lain.

Lahirnya perjanjian Hak Tanggungan yakni seperti perjanjian lainnya, Hak Tanggungan lahie
setelah perjanjian pokoknya lahir yakni perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian utang
piutang yang dilakukan oleh Kreditor dan Debitor.

a. Kreditor adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang piutang tertentu.
b. Debitor adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang piutang tertentu.

 Pihak yang harus ada dalam perjanjian Hak Tanggungan adalah :


a. Pemberi Hak Tanggungan yakni orang perseorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyekHak
Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat 1 UU Hak Tanggungan)/ Debitor.
b. Pemegang Hak Tanggungan yakni orang perseorangan atau bada hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9 UU Hak Tanggungan)/
Kreditor.
Syarat mutlak dari orang/ badan hukum yang dapat menjadi Pemberi Hak Tanggungan yakni
harus mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan (Pasal 8
ayat 1 dan 2 UU Hak Tanggungan).

Dikatakan kewenangan orang/ badan hukum untuk menjadi Pemberi Hak Tanggungan harus
ada pada saat pendaftaran Hak tersebut karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat
didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan diharuskan ada pada Pemberi Hak Tanggungan pada saat
pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan
tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.

 Sifat dari Hak Tanggungan yaitu tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat 1 UU Hak
Tanggungan), artinya Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak
Tanggungan dan setiap bagian daripadanya.

Bentuk konkrit dari Hak Tanggungan bersifat tidak dapat dibagi-bagi adalah apabila telah
dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian obyek Hak
Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani
seluruh obyek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.

Ketentuan tentang ”tidak dapat dibagi-baginya Hak Tanggungan” bersifat tidak mutlak, dalam
arti Hak Tanggungan dapat dibagi-bagi apabila telah diperjanjikan sebelumnya dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan.

Aturan tentang dapatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan memperjanjikan bahwa Hak
Tanggungan dapat dibagi-bagi yaitu apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa Hak
atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan,
bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya
sama dengan nilai masing-masing Hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak
Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak
Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang
yang belum dilunasi (Pasal 2 ayat 2 UU Hak Tanggungan).

Dengan demikian apabila Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa Hak atas tanah
yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri
sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi
asas hal itu diperjanjikan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan.

Maksud dari adanya ketentuan diperbolehkannya Hak Tanggungan dibagi-bagi itu untuk
menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan, antara lain untuk mengakomodasi
keperluan pendanaan pemBangunan kompleks perumahan yang semula menggunakan kredit
untuk pemBangunan seluruh kompleks dan kemudian akan dijual kepada pemakai satu
persatu, sedangkan untuk membayarnya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan
jaminan rumah yang bersangkutan.

Utang yang dapat dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan yakni :

a. Utang yang sudah ada maupun yang belum ada tetapi sudah diperjanjikan.
Ketentuan tersebut artinya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dapat berupa
utang yang sudah ada maupun yang belum ada tetapi sudah diperjanjikan, misalnya utang
yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh Kreditor untuk kepentingan Debitor
dalam rangka pelaksanaan bank garansi.

Ketentuan tersebut ternyata dalam Pasal 3 ayat 1 UU Hak Tanggungan.

Dengan bentuk/ jumlah utangnya tersebut dapat :

- Ditentukan secara tetap di dalam perjanjian yang bersangkutan.

- Ditentukan kemudian berdasarkan cara perhitungan yang ditentukan dalam perjanjian


yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan.

Misalnya utang bunga atas pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru
dapat ditentukan kemudian.

b. Utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau yang berasal dari beberapa hubungan
hukum.
Ketentuan tersebut untuk mengcover peristiwa dimana Debitor berutang kepada lebih dari
satu Kreditor, masing-masing didasarkan pada perjanjianutang piutang yang berlainan,
misalnya Kreditor adalah suatu bank dan suatu badan afiliasi bank yang bersangkutan.
Piutang para Kreditor tersebut dijamin dengan satu Hak Tanggungan kepada semua
Kreditor, Hak Tanggungan tersebut dibebankan atas tanah yang sama.

Hubungan para Kreditor satu dengan yang lain, diatur oleh mereka sendiri, sedangkan
dalam hubungannya dengan Debitor dan Pemberi Hak Tanggungan kalau bukan
Debitor sendiri yang memberinya, mereka menunjuk salah satu Kreditor yang akan
bertindak atas nama mereka. Misalnya mengenai siapa yang akan menhadap PPAT
dalam Pemberian Hak Tanggungan yang diperjanjikan dan siapa yang akan menerima
dan menyimpan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan. (Pasal 3 ayat 2 UU Hak
Tanggungan).

 Bentuk dari Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan
adalah :

a. Hak milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai atas tanah Negara
(Vide Pasal 4 UU Hak Tanggungan).

Unsur mutlak dari Hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan
adalah :

a. Hak tersebut wajib didaftar dala daftar umum pada kantor pertanahan. Unsur ini
berkaitan dengan kedudukan diutamakan (Preferent) yang diberikan kepada
Kreditor PemegangHak Tanggungan terhadap Kreditor lainnya. Untuk itu harus ada
catatan mengenai Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat Hak
atas tanahyang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas
publisitas).
b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan, sehingga apabila
diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar utang yang dijamin
pelunasannya. (penjelasan Umum UU Hak Tanggungan angka 5).

Tanah yang sudah diwakafkan tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan karena Hak Milik
yang sudah diwakafkan tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, karena sesuai dengan Hakikat
perwakafan, Hak Milik yang demikian sudah dikekalkan sebagai harta keagamaan. Sejalan
dengan itu, Hak atas tanah yang diperGunakan untuk keperluan pribadatan an keperluan suci
lainnya juga tidak dapat dibebani Hak Tanggungan.

Hak pertama yang dapat diHipotekkan adalah Hak Milik. Hak milik adalah :

a. Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dan
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 20 ayat 1 dan 2 UUPA).
b. Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak milik ( Pasal 21 ayat 1 UUPA).

Hak kedua yang dapat diHipotekkanadalah Hak Guna Usaha (HGU). HGU adalah :

a. Hak untuk mengUsaHakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka
waktu 25 Tahun sampai dengan 35 Tahun Guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan (Pasal 28 (1) jo Pasal 29 UUPA).
b. Diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika
luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik
perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman (Pasal 28 ayat 2 UUPA).
c. Hanya warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai HGU (Pasal 30 ayat 1 dan 2
UUPA).

Hak ketiga yang dapat diHipotekkan adalah Hak Guna Bangunan (HGB). HGB adalah :

a. Hak untuk mendirikan dan mempunyai Bangunan-Bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 Tahun dan dapat diperpanjang
paling lama 20 Tahun (Pasal 35 ayat 1 dan 2 UUPA).
b. Hanya warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai HGB (Pasal 36 ayat 1 dan 2
UUPA).
Dimana dalam UU Hak Tanggungan, Hak Guna Bangunan yang dapat dibebani Hak Tanggungan
adalah meliputi Hak Guna Bangunan di atas tanah Negara, di atas tanah Hak Pengelolaan,
maupun di atas tanah Hak Milik.

Hak keempat yang dapat diHipotekkan adalah Hak Pakai. Hak Pakai dalah :

a. Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain (Pasal 41 ayat 1 UUPA).
Dimana menurut Pasal 4 ayat 2 UU Hak Tanggungan hanya Hak Pakai tas tanah
Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya
dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.

Hak Pakai yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah :

a. Hak Pakai atas tanah Negara yang dapat dipindahtangankan meliputi Hak Pakai yang
diberikan kepada orang perseorangan atau badan hukum untuk jangka waktu tertentu
yang ditetapkan di dalam keputusan Pemberiannya.
b. Walaupun di dalam Pasal 43 UUPA ditentukan bahwa untuk memindahtangankan Hak
Pakai atas tanah Negara diperlukan izin dari pejabat yang berwenang, namun menurut
sifatnya Hak Pakai itu memuat Hak untuk memindahtangankan kepada pihak lain. Izin
yang diperlukan dari pejabat yang berwenang hanyalah berkaitan dengan persyaratan
apakah Penerima Hak memenuhi syarat untuk menjadi Pemegang Hak Pakai.

Hak atas tanah yang dimiliki seseorang berdasarkan hukum adat (Hak lama) dapat dibebani
Hak Tanggungan dengan syarat harus dipenuhi aturan Pasal 10 ayat 3 UU Hak Tanggungan,
yakni :
a. Telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum
dilakukan.
b. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran
Hak atas tanah yang bersangkutan.
Maksud dari ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Hak Tanggungan tersebut di atas adalah
mengingat tanah dengan Hak adat pada waktu itu masih benyak, pembebanan Hak
Tanggungan pada Hak atas tanah itu dimungkinkan asalkan Pemberiannya dilakukan
bersamaan dengan permohonan pendaftaran Hak atas tanah tersebut.

Kemungkinan ini dimaksudkan untuk :

a. Memberi kesempatan kepada Pemegang Hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk
memperoleh kredit.
b. Mendorong persertifikatan Hak atas tanah pada umumnya.
Dengan adanya ketentuan ini berarti bahwa penggunaan tanah yang bukti kepemilikannya
berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis masih dimungkinkan sebagai aGunan
sebagaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992tentang Perbankan.

Selain Hak-Hak atas tanah, ada hal-hal lain yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan
yakni Hak atas tanah berikut Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan
ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) UU Hak
Tanggungan).

Jika Bangunan, tanaman, dan hasil karya tidak dimiliki oleh Pemegang Hak atas tanah, maka
cara pembebanan dari benda-benda tersebut, yakni pembebanannya hanya dapat dilakukan
dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan
oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan Akta otentik (Pasal 4 ayat (5)
UU Hak Tanggungan). Yang artinya Akta Pemberian Hak Tanggungan harus
ditandatanganibersamaoleh pemiliknya dan Pemegang Hak atas tanahnya atau kuasa mereka,
keduanya sebagai pihak Pemberi Hak Tanggungan.

Menurut Pasal 27 UU Hak Tanggungan, Hak milik atas satuan rumah susun dapat menjadi
obyek Hak Tanggungan yang berlaku terhadap pembebanan Hak jaminan atas rumah susun
dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Dengan ketentuan ini Hak Tanggungan dapat
dibebankan pada Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang didirikan di atas
tanah Hak Pakai atas tanah Negara.

Obyek-obyek Hak Tanggungan di atas dapat dibebani dengan Hak Tanggungan lebih dari satu
kali karena menurut Pasal 5 ayat (1) UU Hak Tanggungan, suatu obyek Hak Tanggungan dapat
dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan Guna menjamin pelunasan lebih dari satu
utang.
Yang menjadi akibat dari diperbolehkannya membebani obyek Hak Tanggungan lebih dari
satu kali yakni konsekuensinya akan lahir Pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama,
peringkat kedua, dan seterusnya.

Cara untuk menentukan dan melihat urutan kedudukan Pemegang Hak Tanggungan
ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan (Pasal 5 ayat (2) UU Hak
Tanggungan), yakni tanggal buku tanah Hak Tanggungan.

Cara untuk menentukan peringkat dari Pemegang Hak Tanggungan apabila Hak tersebut
didaftarkan pada hari yang sama ditentukan oleh Nomor urut Akta Pemberiannya. Hal ini
dimungkinkan karena pembuatan beberapa Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut hanya
dapat dilakukan oleh PPAT yang sama.

Hak yang dimiliki Pemegang Hak Tanggungan pertama apabila Debitor cidera janji, yakni :

a. Untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum.
b. Mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut (Pasal 6 UU Hak
Tanggungan).

Kedudukan Hak Tanggungan atas obyek Hak Tanggungan yakni tetap mengikuti obyeknya
dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada (Pasal 7 UU Hak Tanggungan). Sifat ini
merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan Pemegang Hak Tanggungan.
Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindahtangan dan menjadi milik pihak lain,
Kreditor masih tetap dapat menggunakan Haknya melakukan eksekusi, jika Debitor cidera
janji.

 Hal yang harus ada sebelum perjanjian Hak Tanggungan dibuat, yakni sesuai dengan
accessoir dari Hak Tanggungan, Pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari
perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang
piutangyang dijamin pelunasannya.

Hal ini ternyata dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Hak Tanggungan, Pemberian Hak
Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian
tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang tersebut.

Perjanjian utang piutang yang merupakan dasar dari Hak Tanggungan tersebut dapat
dibuat dalam bentuk :

a. Akta di bawah tangan,


b. Akta otentik.
Dalam hal hubungan utang piutang itu timbul dari perjanjian utang piutang atau perjanjian
kredit, perjanjian tersebut :

a. Dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri,


b. Dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit
yang bersangkutan diperGunakan untuk kepentingan pemBangunan di wilayah Negara
Republik Indonesia.

Pihak yang berHak untuk melakukan pembebanan atas Hak Tanggungan ialah pada asasnya
pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan. Hanya
apabila benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir
dihadapan PPAT, diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT).

Dimana Surat Kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh Pemberi Hak Tanggungan dan
harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya.

Syarat mutlak dari Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yakni Akta tersebut wajib
dibuat dengan Akta Notaries atau Akta PPAT (Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan).

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dari Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang
dibat dengan Akta Notaries/PPAT, yakni :

a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan
Hak Tanggungan.
b. Tidak memuat kuasa substitusi. Substitusi adalah penggantian Penerima kuasa melalui
pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika Penerima kuasa memberikan kuasa
kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya.
c. Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta
identitas Kreditornya, nama dan identitas Debitor apabila Debitor bukan Pemberi Hak
Tanggungan.
(Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan).

Ketentuan yuridis yang harus dipenuhi dalam pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan (SKMHT), yakni :

a. Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat
berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena
telah habis jangka waktunya. (Pasal 15 ayat (2) UU Hak Tanggungan).
b. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai Hak atas tanah yang sudah terdaftar
wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1
bulan sesudah diberikan (Pasal 15 ayat (3) UU Hak Tanggungan).
c. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai Hak atas tanah yang belum terdaftar
wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3
bulan sesudah diberikan (Pasal 15 ayat (4) UU Hak Tanggungan).

Akibat hukumnya jika Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan maka Surat
Kuasa tersebut batal demi hukum, dengan demikian ketentuan mengenai batas waktu
berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dimaksudkan untuk mencegah
berlarut-larutnya waktu pelaksanaan kuasa itu. Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan
dibuatnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan baru.

Akibat hukumnya jika syarat formil dan materiil dari Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan tersebut tidak terpenuhi maka Surat Kuasa yang bersangkutan batal demi
hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat diGunakan sebagai
dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib meNolak permohonan untuk
membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, apabila Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan tidak dibuat sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan atau tidak memenuhi
persyaratan termaksud di atas.

Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh PPAT (Pasal 10 ayat (2) UU Hak Tanggungan).

Hal-hal yang tercantum dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yakni :

a. Hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT.


b. Janji-janji yang dapat dicantumkan janji-janji.

Hal-hal yang wajib ada dalam APHT yakni :

1. Nama dan identitas Pemegang dan Pemberi Hak Tanggungan.


Apabila Hak Tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain daripada
Pemegang Hak atas tanah, Pemberi Hak Tanggungan adalah Pemegang Hak atas
tanh bersama-sama pemilik benda tersebut.

2. Domisili pihak-pihak dala Hak Tanggungan dan apabila di antara mereka ada yang
berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan
di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT
tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili
yang dipilih.
3. Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin.
Yang meliputi juga nama dan identitas Debitor yang bersangkutan.

4. Nilai Tanggungan.
5. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan, meliputi rincian mengenai
sertifikat Hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar
sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan
luas tanahnya.
(Pasal 11 ayat (1) UU Hak Tanggungan).

Akibatnya jika APHT tidak mencantumkan hal-hal yang wajib dalam APHT tersebut di atas
maka Akta yang bersangkutan batal demi hukum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik mengenai subyek, obyek, maupun
utang yang dijamin.

Janji-janji yang dapat dicantumkan dalam APHT yakni :

1. Janji yang membatasi kewenangan Pemberi Hak Tanggungan :


a. Untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka
waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka.
b. Untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan
persetujuan tertulis lebih dahulu dari Pemegang Hak Tanggungan.
2. Janji yang diberikan kewenangan kepada Pemegang Hak Tanggungan :
a. Untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila Debitor
sungguh-sungguh cidera janji agar tidak merugikan Pemberi Hak Tanggungan.
b. Untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan
eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya Hak yang menjadi
obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-
undang, yang bentuk konkritnya yaitu mengurus perpanjangan Hak atas tanah yang
dijadikan obyek Hak Tanggungan dan melakukan pekerjaan lain yang diperlukan untuk
menjaga agar obyek Hak Tanggungan tidak berkurang nilainya.
3. Janji Pemegang Hak Tanggungan pertama :
a. Mempunyai Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila
Debitor cidera janji.
b. Obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan yang tujuannya
untuk melindungi kepentingan Pemegang Hak Tanggungan kedua dan seterusnya yang
tetap membebani obyek Hak Tanggungan, walaupun obyek itu sudah dieksekusi untuk
pelunasan piutang Pemegang Hak Tanggungan pertama.
4. Janji bahwa Pemberi Hak Tanggungan :
a. Tidak akan melepaskan Haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis
lebih dahulu dari Pemegang Hak Tanggungan.
b. Akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.
5. Janji bahwa Pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian :
a. Ganti rugi yang diterima Pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila
obyek Hak Tanggungan dilepaskan Haknya oleh Pemberi Hak Tanggungan atau
dicabutnya Haknya untuk kepentingan umum.
b. Uang asuransi yang diterima Pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika
obyek Hak Tanggungan diasuransikan.
6. Janji sertifikat Hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan diserahkan kepada Pemegang
Hak atas tanah yang bersangkutan.
Tanpa dicantumkannya janji ini, sertifikat Hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
diserahkan kepada Pemberi Hak Tanggungan (Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan).

Akibatnya jika dalam APHT tercantum janji-janji seperti di atas maka Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang kemudian didaftar pada Kantor Pertanahan, janji-janji tersebut
juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.

Akibatnya jika dalam APHT tidak tercantum janji-janji seperti di atas maka pihak-pihak
bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak janji-janji itu dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan karena janji-janji tersebut bersifat fakultatif dan tidak mempunyai
pengaruh terhadap sahnya Akta.

Janji yang dilarang dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut
yakni janji yang memberikan kewenangan kepada Pemegang Hak Tanggungan untuk
memiliki obyek Hak Tanggungan apabila Debitor cidera janji (Pasal 12 UU Hak
Tanggungan).

 Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan (Pasal 13 ayat
(1) UU Hak Tanggungan) karena salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas
publisitas sehingga dengan didaftarkannya Pemberian Hak Tanggungan maka Hak
Tanggungan lahir dan mengikat terhadap pihak ketiga.

Mekanisme/ tata cara pendaftaran Pemberian Hak Tanggungan, yaitu :

a. Selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberin Hak


Tanggungan, PPAT wajib mengirimkan Akta dan warkah lain yang diperlukan
kepada Kantor Pertanahan (Pasal 13 ayat (2) UU Hak Tanggungan).
b. Pendaftaran dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah
Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah Hak atas tanah yangmenjadi
obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat Hak atas
tanah yang bersangkutan (Pasal 13 ayat (3) UU Hak Tanggungan).
c. Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah
Penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan
jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi
bertanggal hari kerja berikutnya (Pasal 13 ayat (4) UU Hak Tanggungan).
d. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan (Pasal 13 ayat
(5) UU Hak Tanggungan).

 Bukti telah mendaftarkan pembebanan Hak Tanggungan (APHT) adalah Kantor


Pertanahan menerbitkan Hak Tanggungan (Pasal 14 ayat (1) UU Hak Tanggungan).

Ciri utama dari sertifikat Hak Tanggungan adalah memuat irah-irah dengan kata-kata
”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 14 ayat (2)
UU Hak Tanggungan) yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagi
pengganti Grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai Hak atas tanah (Pasal 14 ayat (3)
UU Hak Tanggungan).

Pihak yang memegang sertifikat Hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
dan yang memegang sertifikat Hak Tanggungan adalah :

a. Sertifikat Hak atas tanah dikembalikan kepada Pemegang Hak atas tanah yang
bersangkutan, kecuali apabila diperjanjikan lain (Pasal 14 ayat (4) UU Hak
Tanggungan)
b. Sertifikat Hak Tanggungan diserahkan kepada Pemegang Hak Tanggungan (Pasal
14 ayat (5) UU Hak Tanggungan).

Proses pembebanan Hak Tanggungan dilakukan dalam dua proses yaitu :

1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak


Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT,
yang didahului dengan perjanjian utang piutang yang dijamin.
2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak
Tanggungan yang dibebankan.

 Piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dapat dialihkan kepada pihak lain/
Kreditor lain dengan cara :

a. Cessie dalah perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh Kreditor Pemegang Hak
Tanggungan kepada pihak lain.
b. Subrogasi adalah penggantian Kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi utang
Debitor.
c. Sebab-sebab lain misalnya dalam hal terjadi pengambilalihan atau penggabungan
perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya piutang dari perusahaan semula
kepada perusahaan yang baru yang dapat dilakukan berdasarkan Akta yang
membuktikan beralihnya piutang yang dijamin kepada Kreditor yang baru.

Teknis pendaftaran peralihan Hak Tanggungan adalah :


a. Pendaftaran dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku
tanah Hak Tanggungan dan buku tanah Hak atas tanah yang menjadi obyek Hak
Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan dan
sertifikat Hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 16 ayat (3) UU Hak
Tanggungan).
Dimana menurut Pasal 53 PP Pendaftaran Tanah, Pendaftaran peralihan Hak
Tanggungan dilakukan dengan mencatatnya pada buku tanah serta sertifikat Hak
Tanggungan yang bersangkutan dan pada buku tanah serta sertifikat Hak yang
dibebani berdasarkansurat tanda bukti beralihnya piutang yang dijamin karena
cessie, subrogasi, pewarisan atau penggabungan serta peleburan perseroan.

b. Tanggal pencatatan pada buku tanah adalah tanggal hari ketujuh setelah
diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran
beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan
itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya (Pasal 16 ayat (4) UU Hak Tanggungan).

 Hal-hal yang menyebabkan hapusnya Hak Tanggungan yakni (Pasal 18 ayat (1)
UU Hak Tanggungan) :

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.


Sesuai dengan accessoir dari Hak Tanggungan, adanya Hak Tanggungan tergantung
pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya.

b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh Pemegang Hak Tanggungan.


Dilakukan dengan Pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak
tenggungan tersebut oleh Pemegang Hak Tanggungan kepada Pemberi Hak
Tanggungan (Pasal 18 ayat (2) UU Hak Tanggungan).

c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua


Pengadilan Negeri, yang terjadi karena permohonan dari pembeli Hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan tersebut agar Hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan
dari beban Hak Tanggungan (Pasal 18 ayat (3) UU Hak Tanggungan) yang dilakukan
dengan pernyataan tertulis dari Pemegang Hak Tanggungan yang berisi dilepaskannya
Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian (Pasal 19 ayat (2) UU Hak
Tanggungan).
d. Hapusnya Hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Pembeli benda obyek Hak Tanggungan tidak dapat melakukan permohonan pembersihan
obyek Hak Tanggungan jika dalam hal pembelian demikian itu dilakukan dengan jual beli
sukarela dan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak telah
dengan tegas memperjanjikan bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari
beban Hak Tanggungan (Pasal 19 ayat (4) UU Hak Tanggungan).
Hal keempat yang menghapuskan Hak Tanggungan apabila Hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan hapus ialah :

a. Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal
27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA atau peraturan perundang undangan lainnya.

b. Dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang dijadikan obyek
Hak Tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan
permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Tanggungan
dimaksud tetap melekat pada Hak atas tanah yang bersangkutan.

c. Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya Hak atas tanah yang dibeban Hak
Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.

 Tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan jika Hak Tanggungan telah
hapus adalah :

a. Kantor Pertanahan akan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah Hak
atas tanah dan sertifikatnya (Pasal 22 ayat (1) UU Hak Tanggungan).
- Pencoretan catatan atau roya Hak Tanggungan dilakukan demi ketertiban administrasi
dan tidak mempunyai pengaruh hukum terhadap Hak Tanggungan yang bersangkutan yang
sudah hapus.

b. Sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah Hak
Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan ( Pasal 22 ayat (2) UU Hak
Tanggungan).

c. Apabila sertifikat karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal
tersebut dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan (Pasal 22 ayat (3) UU Hak Tanggungan).

Pihak yang dapat mengajukan permohonan pencoretan catatan atau roya Hak
Tanggungan yakni :

Permohonan pencoretan diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan


sertifikat Hak Tanggungan :

a. Yang telah diberi catatan oleh Kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang
yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau;
b. Pernyataan tertulis dari Kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang
dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau;
c. Karena Kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(Pasal 22 ayat (4) UU Hak Tanggungan).
Akibat hukum jika Kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan tentang telah
hapusnya Hak Tanggungan yakni :

Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut


kepada :

a. Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang
bersangkutan didaftar (Pasal 22 ayat (5) UU Hak Tanggungan).
b. Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan apabila
permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh
Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara tersebut (Pasal 22 ayat (6) UU Hak
Tanggungan).

Langkah hukum selanjutnya setelah ada penetapan atau putusan dari Pengadilan Negeri
tentang perintah pencoretan catatan atau roya Hak Tanggungan adalah:

a. Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan diajukan kepada Kepala Kantor


Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri
yang bersangkutan (Pasal 22 ayat (7) UU Hak Tanggungan).
b. Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan dalam waktu 7
hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan (Pasal 22 ayat (8) UU Hak
Tanggungan).

 Jika Debitor cidera janji maka yang dapat dilakukan Kreditor (Pemegang Hak
Tanggungan) adalah melakukan eksekusi dalam bentuk menjual obyek Hak
Tanggungan dengan cara :

a. Dijual melalui pelelangan umum,


b. Dijual yang dilaksanakan di bawah tangan.

Cara pertama mengeksekusi Hak Tanggungan adalah dengan pelelangan umum, UU Hak
Tanggungan memperbolehkan Kreditor menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan
jika Debitor cidera janji karena titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan sehingga obyek Hak Tanggungan dapat dijual melalui pelelangan umumuntuk
pelunasan piutang Pemegang Hak Tanggungan dengan Hak mendahulu dari pada Kreditor-
Kreditor lainnya (Pasal 20 ayat (1) huruf b UU Hak Tanggungan).

Dimana pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan
umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk
obyek Hak Tanggungan. Kreditor berHak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari
hasil penjualan obyek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada
piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai Tanggungan, sisanya menjadi Hak
Pemberi Hak Tanggungan.

Maksud dari adanya titel eksekutorial dalam sertifikat Hak Tanggungan adalah merupakan
perwujudan dari kemudahan yang disediakan oleh UU bagi para Kreditor Pemegang Hak
Tanggungan dalam hal harus dilakukan eksekusi.

Cara kedua eksekusi Hak Tanggungan adalah dengan penjualan di bawah tangan, ialah atas
kesepakatan Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan
dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) UU Hak Tanggungan).

Hal yang mendorong penjualan obyek Hak Tanggungan dengan cara di bawah tangan tidak
dengan cara pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, diberi
kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut
disepakati oleh Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan.

Kemungkinan ini dimaksudkan untuk mempercepat penjualan obyek Hak Tanggungan


dengan harga penjualan tertinggi.

Mekanisme penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan yakni pelaksanaan
penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh Pemberi dan/atau Pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah
yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan
keberatan (Pasal 20 ayat (3) UU Hak Tanggungan).

Batasan waktu untuk dapat diadakannya penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah
tangan dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya
Pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga, dan Kreditor lain dari Pemberi Hak Tanggungan.

Membuat tata cara pengeksekusian Hak Tanggungan dengan cara lain yang berbeda dengan
aturan dalam UU Hak Tanggungan itu terlarang maka hal itu akan batal demi hukum (Pasal
20 ayat (4) UU Hak Tanggungan).

Hal yang dapat menghindarkan penjualan obyek Hak Tanggungan adalah sampai saat
pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan dapat dihindarkan dengan pelunasan
utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah
dikeluarkan (Pasal 20 ayat (5) UU Hak Tanggungan).

Dengan demikian untuk menghindarkan pelelangan obyek Hak Tanggungan, pelunasan


utang dapat dilakukan sebelum saat pengumuman lelang dikeluarkan.
Pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala Hak yang diperolehnya
menurut ketentuan UU ini (Pasal 21 UU Hak Tanggungan).

Ketentuan ini lebih memantapkan kedudukan diutamakan Pemegang Hak Tanggungan


dengan mengecualikan berlakunya akibat kepailitan Pemberi Hak Tanggungan terhadap
obyek Hak Tanggungan.

Anda mungkin juga menyukai