Anda di halaman 1dari 5

TUGAS HUKUM KETENAGAKERJAAN

“NORMA IMPERATIF DAN NORMA FAKULTATIF


DALAM UNDANG-UNDANG NO 13 TAHU 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN”

OLEH:
NAMA : CINDY SHAFIRA
NIM : E0017106
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

DOSEN PENGAMPU :
PURWONO SUNGKOWO RAHARJO
NIP. 196106131986011001
Perkembangan Sifat Hukum Ketenagakerjaan

Sifat hukum ketenagakerjaan dari aspek norma menurut Achmad Rachmad B yaitu:
a. Hukum mengatur (Fakultatif) : hukum sebagai pelengkap dan dapat dikesampingkan
pelaksanaannya. misalnya, perjanjian kerja bisa secara tertulis atau lisan.
b. Hukum memaksa (Imperatif) : hukum harus ditaati dan tidak boleh dilanggar, jika
dilanggar ada sanksi pidananya.
Hukum ketenagakerjaan awalnya merupakan bagian dari Hukum Perdata oleh karena
hubungan kerja adalah hubungan privat yang masuk dalam lingkup Hukum Perjanjian
(kerja). Perkembangan masyarakat dan perkembangan pemikiran tentang fungsi Negara
dan hukum khususnya menyangkut peran Negara dalam mewujudkan masyarakat
sejahtera (welfare state) telah meninggalkan konsep Negara “penjaga malam”.
Wujud campur tangan Negara dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakatnya antara
lain dengan membuat aturan‐aturan untuk masalah hubungan kerja (ketenagakerjaan)
di mana hubungan kerja merupakan hubungan/peristiwa privat. 

a. Sifat Hukum Ketenagakerjaan sebagai Hukum Mengatur (Fakultatif)


Ciri utama dari Hukum Perburuhan/ketenagakerjaan yang sifatnya mengatur ditandai
dengan adanya aturan yang tidak sepenuhnya memaksa, dengan kata lain boleh dilakukan
penyimpangan atas ketentuan tersebut dalam perjanjian (perjanjian kerja, peraturan
perusahaan dan perjanjian kerja bersama). Sifat Hukum mengatur disebut juga bersifat
fakultatif (regelendrecht/aanvullendrecht) yang artinya hukum yang
mengatur/melengkapi, sebagai Contoh aturan ketenagakerjaan/perburuhan yang bersifat
mengatur/ fakultatif adalah:

NORMA FAKULTATIF
1. Pasal 51 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang berbunyi : “(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau
lisan.”
Mengenai pembuatan penjanjian kerja bisa tertulis dan tidak tertulis. Dikategorikan
sebagai Pasal yang sifatnya mengatur oleh karena tidak harus/wajib perjanjian kerja itu
dalam bentuk tertulis dapat juga lisan, tidak ada sanksi bagi merka yang membuat
perjanjian secara lisan sehingga perjanjian kerja dalam bentuk tertulis bukanlah hal yang
imperative/memaksa;

2. Pasal 60 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan yang berbunyi :” (1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan”

Mengenai perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan 3
(tiga) bulan. Ketentuan ini juga bersifat mengatur oleh karena pengusaha bebas untuk
menjalankan masa percobaan atau tidak ketika melakukan hubungan kerja waktu tidak
tertentu/permanen.
3. Pasal 105 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang berbunyi : “(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan
menjadi anggota organisasi pengusaha.”
Bagi pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
Merupakan ketentuan hukum mengatur oleh karena ketentuan ini dapat dijalankan
(merupakan hak) dan dapat pula tidak dilaksanakan oleh pengusaha.

b. Sifat Memaksa Hukum Ketenagakerjaan (Imperatif)


Hukum perburuhan/Ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
pengusaha, yang berarti mengatur kepentingan orang perorangan. Atas dasar itulah,
maka Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan bersifat privat (perdata). 
Di samping itu, dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah‐masalah tertentu
diperlukan campur tangan pemerintah. Campur tangan ini menjadikan
hukum ketenagakerjaan bersifat publik.Sifat publik dari Hukum
Perburuhan/Ketenagakerjaan ditandai dengan ketentuan‐ketentuan memaksa
(dwingen), yang jika tidak dipenuhi maka negara/pemerintah dapat melakukan
aksi/tindakan tertentu berupa sanksi. Bentuk ketentuan memaksa yang memerlukan
campur tangan pemerintah itu antara lain: 
a. Adanya penerapan sanksi terhadap pelanggaran atau tindak pidana bidang
ketenagakerjaan. 
b. Adanya syarat‐syarat dan masalah perizinan, misalnya:
• Perizinan yang menyangkut Tenaga Kerja Asing; 
• Perizinan menyangkut Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ; 
• Penangguhan pelaksanaan upah minimum dengan izin dan syarat tertentu
• Masalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan
kerja; 
• Syarat mempekerjakan pekerja anak, dan sebagainya. 
Hukum bersifat imperatif atau dwingenrecht (hukum memaksa) 
artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak, tidak boleh 
dilanggar.

NORMA IMPERATIF
4. Pasal 74 Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
berbunyi:
“(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk. (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1)
meliputi : a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk
pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk
produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. (3)
Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak
sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.“

Mengenai mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.


Berkaitan dengan Pasal 183 Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan : “(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.”

5. Pasal 167 ayat (5) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan yang berbunyi: “(5) Dalam hal pengusaha tidak
mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena
usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada
pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Mengenai pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun. Berkaitan dengan Pasal 184
Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan : “(1) Barang siapa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.”

6. Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2)Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang berbunyi: “(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan
tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuk. (2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga
kerja asing.”

Mengenai mempekerjakan tenaga kerja asing. Berkaitan dengan Pasal 185 Undang‐
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan : “(1) Barang siapa melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal
69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan
ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.”

7. Pasal 138 ayat (1)Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan yang berbunyi: “(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok
kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar
hukum.”
Mengenai mogok kerja dilakukan dengan tidak melanggar hukum. Berkaitan dengan
Pasal 186 Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan : “(1) Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara
paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.”

8. Pasal 67 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan yang berbunyi: “(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga
kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatannya.”

Mengenai tenaga kerja penyandang cacat Berkaitan dengan Pasal 187 Undang‐Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan : “(1) Barang siapa melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45
ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat
(1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan
paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.”

9. Pasal 111 ayat (3) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan yang berbunyi: “(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling
lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.”

Mengenai Masa berlaku peraturan perusahaan. Berkaitan dengan Pasal 188 Undang‐
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan : “(1) Barang siapa melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63
ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal
148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.”

10. Pasal 114 Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


yang berbunyi: “Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta
memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada
pekerja/buruh.”

Mengenai naskah peraturan perusahaan. Berkaitan dengan Pasal 188 Undang‐Undang


Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan : “(1) Barang siapa melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63
ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal
148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.”

Anda mungkin juga menyukai