Anda di halaman 1dari 11

PENJATUHAN PIDANA MATI DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG HAK

ASASI MANUSIA (HAM)

DI SUSUN OLEH :

MONIKA
B011181315

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak
bisa dipisahkan. Hukum mencampuri urusan manusia sebelum ia lahir dan
masih mencampurinya sesudah ia meninggal.1 Salah satu bidang hukum yang
berlaku di Indonesia adalah hukum pidana. Hukum pidana adalah keseluruhan
dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan
termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap yang melakukannya.2
Hukum pidana dapat berfungsi sebagai pencegahan terjadinya tindak
pidana maupun sebagai penyelesaian dari suatu tindak pidana. Hukum pidana
sebagai penyelesaian atas suatu tindak pidana yang terbukti bersalah di dalam
pengadilan akan merujung pada pemberian sanksi pidana bagi pelaku. Sanksi
pidana ini memberikan penderitaan kepada pelaku. Sanksi tersebut bertujuan
sebagai upaya menjaga ketentraman (atau keamanan) pengaturan (control)
lebih baik di masyakat.3
Semantara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Indonesia, stelsel pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, yang menyebutkan ada
2 jenis pidana yaitu: (1) Pidana Pokok, yang terdiri dari: (a) pidana mati, (b)
pidana penjara, (c) pidana kurungan, dan (d) pidana denda; (2) Pidana
Tambahan, yang terdiri dari: (a) pencabutan hak tertentu, (b) perampasan
barang tertentu, (c) pengumuman putusan hakim; (3) Pidana Tutupan, dengan
dasar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Pidana Tutupan.
Dalam sejarah hukum Indonesia, pada jaman Mojopahit (abad 13-16)
misalnya keberadaan pidana mati sudah dikenal. Bahkan dikategorikan
sebagai pidana pokok di samping pidana potong anggota badan, denda serta

1 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1971), hlm. 6.
2 Muchsin,Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Iblam, 2006), hlm. 84.
3 J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 3 Hukum Penitensier, terjemahan dari Inleiding Tot
De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, Alih Bahasa, Tristam P. Moeliono, Maharsa, Yogyakarta,
2017, hlm. 4.
penggantian kerugian4 Begitu juga dalam hukum pidana islam yang mengakui
adanya asas keadilan, asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas
pemaafan, eksistensi pidana mati masih dibenarkan. Sebagaimana tercantum
dalam surat V ayat 33.
Konstitusi Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 menjamin
Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28A-28J. Dalam
konstitusi tersebut dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia sangat dijunjung tinggi
bagi setiap orang baik. Adapun pengaturan lebih lanjut terkait Hak Asasi
Manusia akan diatur dalam perundang-undangan yang ada5
Pihak yang menentang hukuman mati memandang bahwa penjatuhan
pidana mati sangat tidak sesuai dengan Konstitusi Indonesia yang menjamin
hak hidup setiap masyarakat. Hak hidup secara filosofis adalah hak yang paling
utama (the supreme rights) dan alamiah karena merupakan hak yang diberikan
Tuhan kepada manusia karena dia adalah manusia. Dalam hal ini pihak kontra
sangat menentang pidana mati yang tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia
sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945 tepatnya Pasal 28 I ayat 1 yang
menegaskan bahwa Hak Asasi Manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun (non-derogable rights). Demikian pula menurut Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merumuskan tentang
hak hidup.
Sementara pihak yang mendukung pidana mati berpandangan bahwa
pidana mati merupakan hukuman yang efektif dan memberikan efek jera
terhadap pelaku kejahatan dan memberikan efek gentar terhadap orang yang
akan melakukan kejahatan sehingga kejahatan itu sendiri dapat dicegah
dengan diberlakukannya pidana mati ini. Pihak yang mendukung pidana mati
ini juga mengatakan bahwa hak untuk hidup seperti yang tertuang dalam UUD
1945 bukan hanya ditujukan untuk pelaku kejahatan yang dipidana mati
melainkan untuk korban yang mengalami tindak kejahatan karena si korban
juga berhak untuk hidup dan mendapatkan rasa aman, dan hukuman mati ini
dapat menjamin keamanan hidup masyarakat.

4 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, 1981.


5 Laras Astuti, 2016, Penegakan Hukum Pidana Indonesia dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi
Manusia, Jurnal Kosmik Hukum, 16(2), hlm. 108
Meski pada kenyataannya pidana mati merupakan jenis pidana yang
masih kontroversial dan menimbulkan begitu banyak perdebatan oleh dua
pandangan yang saling bertentangan, Pemerintah Indonesia hingga saat ini
tetap memberlakukan pidana mati dalam sistem hukum Indonesia, bukan
hanya untuk warga negara Indonesia saja, namun warga negara asing yang
melakukan kejahatan di wilayah hukum Indonesia juga dieksekusi mati oleh
pemerintah Indonesia, sebagaimana diatur dalam KUHP peninggalan Belanda
meskipun oleh pihak kontra dianggap bertentangan dengan identitas bangsa
Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk hak hidup.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan pidana mati di Indonesia pasca reformasi?
2. Bagaimana perspektif HAM mengenai pidana mati di Indonesia?
3. Apa kriteria penjatuhan pidana mati yang tidak bertentangan dengan HAM?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pidana mati di Indonesia pasca reformasi
2. Untuk mengetahui perspektif HAM mengenai pidana mati di Indonesia
3. Untuk mengetahui kriteria penjatuhan pidana mati yang tidak bertentangan
dengan HAM.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia Pasca Reformasi


Pada masa pemerintahan presiden Soekarno hukuman mati tetap diatur
di dalam Wetboek van Strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP). Pada saat itu ada beberapa kasus yang dijatuhi
hukuman mati seperti kasus Kartosuwirjo, Kusni Kasdut, dan tragedi Cikini.
Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto,
banyak pula kasus hukuman mati yang dilakukan oleh pemerintah. Namun
pada masa ini tidak terlalu dipertentangkan karena pemerintahan saat itu
terkenal sangat represif. Sebagian besar yang dieksekusi mati adalah lawan
politik Soeharto. Pada masa itu dikenal istilah Petrus (penembak misterius)
yang menebar teror dengan menembak mati siapa saja yang “dianggap”
mengganggu ketertiban.
Pasca reformasi, Pemerintah Indonesia telah melakukan eksekusi mati
terhadap 33 orang terpidana mati, dimana 13 orang dieksekusi pada masa
pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, satu orang pada masa
pemerintahan presiden Megawati, dan 18 orang pada masa pemerintahan
presiden Jokowi saat ini. Pada masa pemerintahan presiden Habibie dan
presiden Abdurrahman Wahid tidak ada pelaksanaan eksekusi mati.
B. Perspektif HAM Mengenai Pidana Mati di Indonesia
Secara historis, kemunculan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah proses
pembelaan kepada masyarakat atas tindakan sewenang-wenangan yang
dilakukan oleh negara dan juga karena tidak seimbangnya posisi negara
dengan masyarakat6 Dalam perspektif Universal Declaration Of Human Rights,
deklarasi umum tentang hak asasi manusia (DUHAM) hukuman mati dilarang7
hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Deklarasi Universal.

6 Syamsul Haling, et.all., 2018, Perlindungan Hak Asasi Anak Jalanan dalam Bidang Pendidikan
Menurut Hukum Nasional dan Konvensi Internasional, Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(2), hlm. 365
7 Saharuddin Daming, 2016, Konfigurasi Pertarungan Abolisionisme Versus Retensionisme dalam
Diskursus Keberadaan Lembaga Pidana Mati di Tingkat Global dan Nasional, Yustisi, 3(1), hlm. 40.
Ketentuan dalam DUHAM ini kemudian dipertegas dalam kovenan di
bidang hak-hak sipil dan politik yaitu Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 7 Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights-lCCPR) sekaligus dikuatkan lagi oleh Protocol Opsional Kedua
(Second Optional Protocol) atas Perjanjian Internasional Mengenai Hak-hak
Sipil dan Politik Tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati. Isi dari
Pasal 6 ayat (1) yaitu : Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang
melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun
dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
Sedangkan dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik menyatakan, Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau
perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek
eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.
Dalam pandangan HAM versi PBB, penerapan hukuman mati
digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam/keji dan tidak manusiawi,
melanggar Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights); dan Pasal 7 (International Covenant on Civil and
Political Rights-ICCPR). Berdasarkan kovenan tersebut sekalipun asasnya
dilarang tetapi jika ada negara-negara yang masih memperlakukan/belum
menghapuskan hukuman mati hanya terbatas diperlakukan kepada
kejahatan/atau tindak pidana tertentu (khusus/serius) seperti kejahatan
genosida atau terorisme (Pasal 6 ayat 2 International Covenant on Civil and
Political Rights-ICCPR).
Pada Konstitusi Republik Indonesia setelah perubahan (amandemen)
termaktub dalam Pasal 28A disebutkan: "Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya." Hak untuk hidup serta
mempertahankan hidup dan kehidupan (Pasal 28A) mirip sekali dengan isi dari
Pasal 3 DUHAM PBB. Ketentuan dalam Pasal 28A UUD RI 1945 tersebut
kemudian dirinci dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pada Bab III: Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia;
Bagian Kesatu: Hak untuk Hidup pada Pasal 9.
Baik kontra maupun yang pro, alasan yang diberikannya semua
bertumpu pada Hak Asasi Manusia (HAM). Perlu kiranya diuraikan tentang
argumentasi bagi keduannya, tentunya dengan tetap mengacu pada hukum
Nasional.8 Menurut The Indonesian Human Rights Watch, terdapat tiga alasan
utama mengapa penjatuhan hukuman mati seringkali digunakan oleh
pengadilan, antara lain:
1. Hasil penerapan ancaman pidana mati digunakan oleh rezim kolonial
Belanda, kemudian dalam prakteknya terus digunakan sampai rezim
otoritarian Orde Baru untuk memberikan rasa takut bahkan menghabiskan
lawan politik. Hal ini dapat dilihat pada penerapan kejahatan politik Pasal
104 KUHP.
2. Upaya menerbitkan beberapa ketentuan hukum baru yang mencantumkan
ancaman pidana mati sebagai langkah kopensasi politik akibat
ketidakmampuan membenahi sistem hukum yang korup. Padahal ancaman
pidana mati tidak pernah bisa membuktikan efektifitasnya mengurangi
angka kejahatan termasuk narkotika.
3. Meningkatnya angka kejahatan dilihat semata sebagai tanggung jawab
individu pelaku9

Pidana mati yang diterapkan oleh pemerintah menimbulkan dampak di


kalangan masyarakat, baik positif maupun dampak negatif. Akan tetapi, positif
atau negatif dampak tersebut hanya dapat ditentukan melalui perspektif
masing-masing pihak, karena pidana mati hingga saat ini masih merupakan
suatu isu yang diperdebatkan. Alasan yang paling kuat dari perdebatan yang
terjadi sangat erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Bagi pihak yang
kontra hukuman mati, tak ada satu pun pihak yang bisa menghabisi nyawa
seseorang, kecuali Tuhan.

Hukuman mati juga kerap disandingkan dengan tuduhantuduhan


melanggar HAM. Para pegiat HAM yang dalam hal ini merupakan pihak kontra
pidana mati mengemukakan setidaknya ada tiga alasan kenapa hukuman mati
harus ditolak. Pertama, mencabut nyawa seseorang merupakan hak Tuhan

8 Waluyadi, 2009, Kejahatan,Pengadilan dan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, hlm.57.
9 Ibid. hlm. 58
semata. Dua, hakim yang memvonis mati terhadap terdakwa adalah manusia
yang tidak sempurna sehingga selalu ada kemungkinan menghasilkan
keputusan salah. Tiga, sejelek-jeleknya manusia seharusnya diberi
kesempatan untuk menjalani pertobatan atas kejahatan yang diperbuat.

Bagi pihak pro pidana mati, hukuman mati memang harus diberlakukan
karena dapat memberikan efek jera dan menakutkan bagi pelaku kejahatan,
kemudian kejahatan yang dilakukan memang harus dibalas dengan nyawa
lantaran tingkat bahaya dampak kejahatannya harus dibalas dengan nyawa.
Pihak pro sangatlah yakin bahwa hukuman mati sangat diperlukan karena
selain dapat memberi efek cegah dan rasa takut bagi orang lain untuk tidak
melakukannya pelanggaran, juga dapat memberikan rasa aman dan terlindung
bagi setiap orang, sesuai dengan Pasal 28 G UUD 1945. Bagaimana mungkin
rasa aman & terlindung itu dapat terjadi, bila si pelaku kejatahan tersebut masih
diberi kesempatan di dunia ini.

C. Kriteria Penjatuhan Pidana Mati yang Tidak Bertentangan dengan Hak


Asasi Manusia
Di Indonesia sendiri tujuan dari hukum pidana itu diorientasikan pada
aspek social welfare dan social defence, sebagaimana yang termaktub dalam
tujuan negara yang terdapat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar
1945.10 Ada 3 hal yang menjadi titik pembicaraan dalam hukum pidana yaitu
tindak pidana (crimmal act), pertanggungjawaban pidana (criminal
responsibility), dan pengenaan pidana (punishment). Penerapan pidana dalam
perspektif humanistis harus berdasarkan pada kesalahan pelaku atau yang
dikenal dengan asas culpabilitas. Asas ini menyatakan bahwa "Nulfa Poena
Sine Culpa" yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan dari pelaku. Kesalahan
dimanifestasikan dalam sikap batin tindak pidana yang berupa dengan sengaja
atau dengan kealpaan.
Tujuan pemidanaan integratif dalam menjatuhkan pidana terutama
pidana mati, harus memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut HAM
terpidana, dan menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional.

10 Ferawati, 2015, Kajian Hukum dan HAM Terhadap Penjatuhan Pidana Mati Bagi Terpidana
Narkotika, Jurnal Ilmu Hukum, 4 (3), hlm. 139
Penjatuhan pidana mati dapat dikalkulasi terhadap dampaknya bagi
perlindungan masyarakat (defense social) dan bagi terpidana sendiri. Aliran
modern pemidanaan menekankan pada doktrin determinisme dimana manusia
dianggap tidak mempunyai kebebasan kehendak, tapi kehendak manusia
dipengaruhi oleh watak dari pelaku dan motif dari lingkungan di luar pelaku.
Sehingga manusia tidak dapat dipertanggungjawabkan dan menolak
pembalasan berdasarkan kesalahan subyektif.
Mendasarkan pada konsep tersebut di atas maka dalam menerapkan
pidana mati terhadap pelaku kejahatan dengan mengedepankan kriteria tindak
pidana yang dilakukan sebagai berikut:
1. Melampaui batas kemanusiaan,
2. Mencelakai dan mengancam banyak manusia,
3. Merusak generasi bangsa,
4. Merusak peradaban bangsa,
5. Merusak tatanan di muka bumi,
6. Merugikan serta menghancurkan perekonomian negara.

Penjatuhan pidana mati harus tetap memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Proses peradilan dilakukan dengan adil dan atas dasar pembuktian yang
faktual,
2. Kesalahan terpidana harus benar-benar dibuktikan di pengadilan,
3. Pengadilan yang memproses merupakan pengadilan yang berwenang,
4. Hukum yang digunakan harus hukum yang sah,
5. Hukuman mati dijatuhkan secara selektif dan telah berkekuatan hukum
tetap,
6. Terpidana mati didampingi rohaniawan sejak putusan bersifat tetap hingga
menjelang eksekusi,
7. Permintaan terakhir terpidana mati harus dapat dipenuhi oleh negara,
8. Eksekusi dilaksanakan setelah semua hak-hak terpidana mati terpenuhi,
9. Eksekusi dilaksanakan seeklusif mungkin dan tanpa menimbulkan
penderitaan terpidana,
10. Jenazah diperlakukan sebagaimana layaknya manusia tanpa mengadakan
pembedaan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Di awal era reformasi, tidak banyak terjadi eksekusi mati atau
dijatuhkannya pidana mati. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, tidak
dilakukan pidana mati, begitu pula dengan Presiden Abdurrahman Wahid.
Pelaksanaan pidana mati baru terjadi pada pemerintahan Presiden Megawati
sampai Presiden Joko Widodo. Adapun pelaksanaan pidana mati tersebut
adalah sebagai berikut 13 orang dieksekusi pada masa pemerintahan presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, satu orang pada masa pemerintahan presiden
Megawati, dan 18 orang pada masa pemerintahan presiden Jokowi saat ini.
Menurut pandangan kalangan yang menolak pidana mati, keberadaan
pidana mati di Indonesia bertentangan dengan amanat konstitusi yang secara
tegas memberikan jaminan atas hak hidup. Sehingga mempertahankan
penerapan pidana mati telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Secara
komprehensif, baik dilihat dari aspek sejarah, budaya (culture), maupun
kecenderungan-kecenderungan masyarakat internasional, secara obyektif
pidana mati di Indonesia telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Hukuman mati dalam pandangan HAM yang ada dalam UUD NRI 1945,
dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM berusaha mengadopsi piagam
HAM PBB untuk menghapuskan hukuman mati; tetapi masih tetap
memperlakukan hukuman mati pada beberapa kasus kejahatan luar biasa
(ordinary crime).
B. Saran
Dalam pelaksanaan pidana mati, sebaiknya pemerintah membahas
lebih spesifik mengenai kasus kejahatan apa saja yang dapat dijatuhkan pidana
mati, dimana menurut pendapat saya, seharusnya pidana mati ini diberlakukan
pada kasus kejahatan luar biasa karena pidana mati ini menyangkut nyawa
seseorang, dan selain itu agar tidak ada konflik dalam masyarakat mengenai
pidana mati ini.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Djoko Prakosa dan Nurwachid, 1985, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengeni

Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta.

J. Remmelink. 2017. Pengantar Hukum Pidana Material 3 Hukum Penitensier,

terjemahan dari Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, Alih

Bahasa, Tristam P. Moeliono, Maharsa, Yogyakarta.

Muchsin. 2006. Ikhtisar Ilmu Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Iblam.

Sudarto. 1975. Hukum Pidana I. Semarang: Badan Penyediaan Bahan Ilmiah

Fakultas Hukum UNDIP.

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1971)

Jurnal

Agustinus, Samuel, Eko Soponyono, Rahayu. 2016. Pelaksanaan Pidana Mati Di

Indonesia Pasca Reformasi Dari Perspektif Hak Asasi Manusia.

DIPONEGORO LAW JOURNAL, 5(4), 1-16.

Anjari, Warih, 2015, Penjatuhan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia, Jurnal Widya Yustisia, 1 (2).

Ferawati, 2015, Kajian Hukum dan Ham Terhadap Penjatuhan Pidana Mati Bagi

Terpidana Narkotika, Jurnal Ilmu Hukum, 4 (3).

Muzakkir, Faisal A. Rani, Dahlan Ali. 2014. Pidana Mati Dalam Perspektif

Peradilan Di Indonesia. Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah

Kuala, 2(2), 67-76.

Sumanto, Atet, 2004, Kontradiksi Hukuman Mati di Indonesia Dipandang dari Aspek

Hak Asasi Manusia. Agama dan Para Ahli Hukum, Perspektif, 9(3).

Anda mungkin juga menyukai