Anda di halaman 1dari 31

HARTA / ASET / AKTIVA

PENGERTIAN
Harta adalah benda baik yang memiliki wujud maupun yang semu yang dimiliki
oleh perusahaan. Klaim atas harta yang tidak berwujud disebut ekuitas / equities yang
dapat mendatangkan manfaat di masa depan.

FASB mendefinisi aset dalam kerangka konseptualnya sebagai berikut (SFAC No


6, prg 25):

Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a


perticular entity as a result of past transactions or events.

(Aset adalah manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti atau diperoleh
atau dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas akibat transaksi atau kejadian
masa lalu.)

Dengan makna yang sama, IASC mendefinisi aset sebagai berikut:

An assets is resource controlled by the enterprise as a result of past events and


from which future economic benefits are expected to flow to the enterprise.

Dalam Statement of Accounting Concepts No. 4, Australian Accounting Standard


Board (AASB) mendefinisi aset sebagai berikut:

Assets are service potential or future economic benefits controlled by the


reporting entity as a result of past transaction or other past events.

Definisi FASB dan AASB cukup dibanding definisi yang lain luas karena aset
dinilai mempunyai sifat sebagai manfaat ekonomik (economic benefits) dan bukan
sebagai sumber ekonomik (resources) karena manfaat ekonomik tidak membatasi bentuk
atau jenis sumber ekonomik yang dapat dimasukkan sebagai aset.

Berdasar uraian diatas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga
karakteristik utama yang harus dipenuhi agar suatu objek atau pos dapat disebut aset,
yaitu:

1. Manfaat ekonomik yang datang cukup pasti

Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek harus mengandung manfaat
ekonomik di masa datang yang cukup pasti. Uang atau kas mempunyai manfaat atau
potensi jasa karena daya belinya atau daya tukarnya. Sumber selain kas mempunyai
manfaat ekonomik karena dapat ditukarkan dengan kas, barang, atau jasa, karena dapat
digunakan untuk memproduksi barang dan jasa, atau karena dapat digunakan untuk
melunasi kewajiban.
2. Dikuasai atau dikendalikan entitas

Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek atau pos tidak harus dimiliki oleh
entitas tetapi cukup dikuasai oleh entitas. Oleh, karena itu, konsep penguasaan atau
kendali lebih penting daripada konsep kepemilikan. Penguasaan disini berarti
kemampuan entitas untuk mendapatkan, memelihara/menahan, menukarkan,
menggunakan manfaat ekonomik dan mencegah akses pihak lain terhadap manfaat
tersebut. Hal ini dilandasi oleh konsep dasar substansi mengungguli bentuk yuridis
(substance over form). Pemilikan (ownership) hanya mempunyai makna yuridis atau
legal.

3. Timbul akibat transaksi masa lalu

Kriteria ini sebenarnya menyempurnakan kriteria penguasaan dan sekaligus


sebagai kriteria atau tes pertama (first-test) pengakuan objek sebagai aset. Aset harus
timbul akibat dari transaksi atau kejadian masa lalu adalah kriteria untuk memenuhi
definisi. Penguasaan harus didahului oleh transaksi atau kejadian ekonomik. FASB
memasukkan transaksi atau kejadian sebagai kriteria aset karena transaksi atau kejadian
tersebut dapat menimbulkan (menambah) atau meniadakan (mengurangi) aset. Misalnya
perubahan tingkat bunga, punyusutan atau kecelakaan.

Pengukuran

Salah satu kriteria pengakuan aset adalah keterukuran (measureability) manfaat


ekonomik yang akan datang. Yang dimaksud pengukuran di sini adalah penentuan jumlah
rupiah yang harus dilekatkan pada suatu objek aset pada saat terjadinya, yang akan
dijadikan data dasar untuk mengikuti aliran fisis objek tersebut.

Dan jika suatu sumberdaya yang diperoleh suatu perusahaan tidak andal (reliable)
pada elemen pengukurannya, maka sumberdaya tersebut tidak dapat ditampilkan sebagai
aset melainkan diakui sebagai pendapatan ketika terjadi transaksi.

Penilaian

Di dalam akuntansi, istilah pengukuran dan penilaian sering tidak dibedakan


karena adanya asumsi bahwa akuntansi menggunakan unit moneter untuk mengukur
makna ekonomik (economic attribute) suatu objek, pos, atau elemen. Pengukuran
biasanya digunakan dalam akuntansi untuk menunjuk proses penentuan jumlah rupiah
yang harus dicatat untuk objek pada saat pemerolehan. Penilaian biasanya digunakan
untuk menunjuk proses penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada tiap elemen
atau pos statemen keuangan pada saat penyajian.

Tujuan dari penilaian aset adalah untuk merepresentasi atribut pos-pos aset yang
berpaut dengan tujuan laporan keuangan dengan menggunakan basis penilaian yang
sesuai. Sedangkan tujuan pelaporan keuangan adalah menyediakan informasi yang dapat
membantu investor dan kreditor dalam menilai jumlah, saat, dan ketidakpastian aliran kas
bersih ke badan usaha. Singkatnya, tujuan penilaian aset harus berpaut dengan tujuan
pelaporan keuangan.

FASB mengidentifikasi lima makna atau atribut yang dapat direpresentasi


berkaitan dengan aset, dasar penilaian menurut FASB (SFAC No. 5, prg. 67) dapat
diringkas sebagai berikut:

a. Historical cost. Tanah, gedung, perlengkapan, perlengkapan pabrik, dan


kebanyakan sediaan dilaporkan atas dasar kos* historisnya yaitu jumlah
rupiah kas atau setaranya yang dikorbankan untuk memperolehnya. Kos
historis ini tentunya disesuaikan dengan jumlah bagian yang telah didepresiasi
atau diamortisasi.

b. Current (replacement) cost. Beberapa sediaan disajikan sebesar nilai sekarang


atau penggantinya yaitu jumlah rupiah kas atau setaranya yang harus
dikorbankan kalau aset tertentu diperoleh sekarang.

c. Current market value. Beberapa jenis investasi dalam surat berharga disajikan
atas dasar nilai pasar sekarang yaitu jumlah rupiah kas atau setaranya yang
dapat diperoleh kesatuan usaha dengan menjual aset tersebut dalam kondisi
perusahaan yang normal (tidak akan dilikuidasi). Nilai pasar sekarang juga
digunakan untuk aset yang kemungkinan akan laku dijual dibawah nilai
bukunya.

d. Net realizable value. Beberapa jenis piutang jangka pendek dan sediaan barang
disajikan sebesar nilai terealisasi bersih yaitu jumlah rupiah kas atau setaranya
yang akan diterima (tanpa didiskun) dari aset tersebut dikurangi dengan
pengorbanan (kos) yang diperlukan untuk mengkonversi aset tersebut menjadi
kas atau setaranya.

e. Present (or discounted) value of future cash flows. Piutang dan investasi jangka
panjang disjikan sebesar nilai sekarang penerimaan kas di masa mendatang
sampai piutang terlunasi (dengan tarif diskun implisit) dikurangi dengan
tambahan kos yang mungkin diperlukan untuk mendapatkan penerimaan
tersebut.

Pengakuan

Pada umumnya pengakuan aset dilakukan bersamaan dengan adanya transaksi,


kejadian, atau keadaan yang mempebgaruhi aset. Disamping memenuhi definisi aset,
kriteria keterukuran, keberpautan, dan keterandalan harus dipenuhi pula. Menurut
Sterling, Belkaoui (1993) menunjukkan kondisi perlu (necessary) dan kondisi cukup
(sufficient) yang merupakan penguji (test) yang cukup rinci untuk mengakui aset tersebut,
yaitu:

1. Deteksi adanya aset (detection of existence test). Untuk mengajui aset, harus
ada transaksi yang menandai timbulnya aset

2. Sumber ekonomik dan kewajiban (economic resources and obligation test).


Untuk mengakui aset, suatu objek harus merupakan sumber ekonomik yang
langka, dibutuhkan dan berharga.

3. Berkaitan dengan entitas (entity association test). Untuk mengakui aset,


kesatuan usaha harus mengendalikan atau menguasai objek aset.

4. Mengandung nilai (non-zero magnitude test). Untuk mengakui aset, suatu objek
harus mempunyai manfaat yang terukur secara moneter.

5. Berkaitan dengan waktu pelaporan (temporal association test). Untuk mengakui


aset, semua penguji di atas harus dipenuhi pada tanggal pelaporan (tanggal
neraca).

6. Verifikasi (verification test). Untuk mengakui aset, harus ada bukti pendukung
untuk meyakinkan bahwa kelima penguji diatas dipenuhi.

Yang dikemukakan Belkoui di atas sebenarnya adalah apa yang disebut dengan
kaidah pengakuan (recognition rules) yang merupakan petunjuk teknis atau prosedur
untuk menerapkan empat kriteria pengakuan (recogniton criteria) FASB yaitu definisi,
keterukuran, keberpautan, dan keterandalan. Kaidah tersebut diperlukan karena kriteria
pengakuan sifatnya konseptual atau umum.

Penyajian

Pengungkapan dan penyajian pos-pos aset harus dipelajari dari standar yang
mengatur tiap pos. Secara umum, prinsip akuntansi berterima umum memberi pedoman
penyajian dan pengungkapan aset sebagai berikut:

a. Aset disajikan di sisi debit atau kiri dalam neraca berformatakun atau di bagian
atas dalam neraca berformat laporan.

b. Aset diklasifikasi menjadi aset lancar dan aset tetap.

c. Aset diurutkan penyajiannya atas dasar likuiditas atau kelancarannya, yang


paling lancar dicantumkan pada urutan pertama.

d. Kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan pos-pos tertentu harus diungkapkan


(misalnya metoda depresiasi aset tetap dan dasar penilaian sediaan barang).
2.2 JENIS-JENIS ASET
1. Harta Lancar / Aktiva Lancar / Current Assets
Harta lancar adalah harta yang berbentuk uang tunai maupun aktiva lainnya yang
dapat ditukarkan dengan uang tunai dalam jangka satu tahun.
Contoh : piutang dagang, biaya atau beban dibayar di muka, surat berharga, kas, emas
batangan, persediaan barang dagang, pendapatan yang akan diterima, dan lain
sebagainya.

2. Harta Investasi / Aktiva Ivestasi / Investment Assets


Harta Investasi adalah harta yang diinvestasikan pada produk-produk investasi untuk
mendapatkan keuntungan.
Contoh : Reksadana, saham, obligasi, dan lain-lain.

3. Harta Tak Berwujud / Intangible Assets


Aset tak berwujud adalah harta yang tidak memiliki bentuk tetapi sah dimiliki
perusahaan dan dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
Contoh : Merk dagang, hak paten, hak cipta, hak pengusahaan hutan / hph, franchise,
goodwill, dan lain sebagainya.

4. Harta Tetap / Aktiva Tetap / Fixed Assets


Harta tetap adalah harta yang menunjang kegiatan operasional perusahaan yang
sifatnya permanen kepemilikannya.
Contoh : Gedung, mobil, mesin, peralatan dan perlengapan kantor, dan lain-lain.
5. Harta Lainnya / Other Assets
Harta lain adalah perkiraan atau akun yang tidak dapat dikategorikan pada harta
atau aset di atas baik dalam bentuk aset tetap, aset investasi, aset tak berwujud dan aset
lancar.
Contoh : Mesin rusak, uang jaminan, harta yang masih dalam proses kepengurusan yang
sah, dan lain-lain.

2.3 RUMUS UNTUK AKTIVA


Adapun rumus untuk menghitung aktiva sebuah perusahaan adalah sebagai
berikut:
Rumus Aktiva ---> Aktiva = Kewajiban + Modal

2.4 PEROLEHAN AKTIVA


Perolehan Aktiva tetap diakui sebesar HARGA PEROLEHAN–nya (the
acquisition cost). Sementara itu yang dimaksud dengan harga perolehan adalah
pengeluaran-pengeluaran yang timbul mulai dari peroses pembelian hingga aktiva
tersebut siap beroperasi.
Maka harga perolehan dapat dirumuskan dengan :

Nilai Beli + Pengeluaran yang timbul dari proses pembelian hingga aktiva tersebut siap
operasi.
2.4.1 Macam-macam cara perolehan Aktiva Tetap.
Aktiva tetap dapat diperoleh dengan berbagai macam cara, diantaranya (yang
paling sering terjadi) :
1. Dibeli tunai (kontan)
2. Dibeli dengan mencicil (kontrak jangka panjang)
3. Dibeli dengan saham
4. Dibangun Sendiri
5. Pertukaran

2.4.1.1 Aktiva tetap dibeli tunai


Contoh kasus :
Pada tanggal 1 Desember 2007, PT. XYZ (PMA) yang berdomisili di Bekasi,
membeli 10 unit mesin dari Jepang dengan harga (FOB) JPY 150,000,000.00 yang setara
dengan Rp 12,779,711,574,- dengan biaya angkut dari Tokyo hingga Tanjung periok
sebesar USD 1,800.00 yang setara dengan Rp 16,883,995,- Tariff bea masuk untuk mesin
tersebut adalah 15%, karena PT. XYZ (PMA) menggunakan fasilitas penanaman modal
asing, atas import barang modal dikenakan bea masuk hanya setengahnya. Untuk
menjamin keselamatan barang dalam perjalanan, pengangkutan mesin tersebut dilindungi
dengan asuransi ber premi USD 1,500.00 setara dengan Rp 14,069,995,- . Biaya angkut
dari tanjung periok hingga ke bekasi sebesar Rp 1,500,000,-. Untuk instalasi pemasangan
PT. XYZ membayar konsultan sebesar Rp 15,000,000,-

Permasalahan: Bagaimanakah perlakuan Akuntansi atas pembelian 10 unit mesin


tersebut?
a. Penilaian (pengukuran)
Jika kita uraikan, maka pengeluan-pengeluaran PT. XYZ (PMA) atas pembelian
mesin tersebut adalah sebagai berikut :
Maka Jurnalnya adalah:

Dimana:

b. Pengakuan (pencatatan)
Pencatatan-1 : Wajar
Pencatatan-2 : Tidak wajar

Mengapa pencatatan yang pertama dikatakan wajar dan pencatatan yang dibawahnya
dikatakan tidak wajar ?

Jawabannya adalah Matching Principles, yaitu : Pengeluaran hendaknya diakui


pada periode kapan potensi pendapatan akan diperoleh atas pengeluaran tersebut. Dalam
kasus di atas, jika yang dilakukan adalah pencatatan seperti pada pencatatan yang kedua,
maka : pada saat penutupan buku (31 Desember 2007), akan nampak beban yang begitu
tinggi, bahkan sangat mungkin PT. XYZ kelihatan seolah-olah mengalami kerugian yang
besar akibat pembebanan : Shipping Cost, Insurance Cost, Import Duty, Import Tax,
Trucking & Installation Cost dengan SEKALIGUS. Sementara mesin belum berproduksi,
belum menghasilkan outpun samasekali. Diperiode-periode berikutnya (2008, 2009, 2010
hingga mesin tersebut ditarik dari penggunaan) akan nampak laba yang tinggi, akibat
semua pengeluaran tersebut telah dibebankan sekaligus saat pembelian.

Akan menjadi wajar apabila, semua pengeluaran-pengeluaran tersebut


dikapitalisasi (diakui sebagai perolehan) untuk kemudian dibebankan secara gradual
selaras dengan penggunaan mesin tersebut (utilization), yaitu dengan cara
menyusutkannya (depreciating).

2.4.1.2 Aktiva tetap dibeli dengan mencicil


Perolehan aktiva dengan pembayaran dicicil, tentu pengeluaran kas tidak akan
terjadi sekaligus, melainkan bertahap sesuai dengan kesepakatan dengan kreditur (Bank).
Lain daripada itu, tentu akan ada bunga yang harus ditanggung.

Contoh Kasus :
PT. XYZ membeli sebidang tanah untuk tempat usaha seluas 1 Ha seharga Rp
1,900,000,000,-, dengan sistem pembayaran sebagai berikut :
Pembayaran pertama adalah sebesar Rp 900,000,000,- sedangkan sisanya dicicil
sebanyak 10 kali selama 10 Tahun. Atas Pokok cicilan dikenakan BUNGA TETAP 18%
pertahun.

Maka Transaksi ini, dicatat (dijurnal) sebagai berikut :


Bagaimana jika dengan bunga menurun? Maka transaksinya dicatat sebagai berikut :

2.4.1.3 Aktiva dibeli dengan saham/obligasi


Konsep dasarnya :
 Perolehan aktiva tetap diakui sebesar HARGA PASAR saham yang dikeluarkan pada
saat pembelian aktiva terjadi.
 Jika harga pasar lebih tinggi dari harga nominal saham, maka harus diakui adanya
AGIO SAHAM (premium) sebesar selisihnya.
 Jika harga pasar lebih rendah dari harga nominal nya, maka diakui adanya DISAGIO
SAHAM (discount).

Contoh Kasus :
PT.XYZ, membeli sebuah truck dengan cara mengeluarkan saham sebanyak 1000
lembar @ Rp 100,000. Jika harga pasar saham PT. XYZ saat itu adalah @ Rp 95,000,
maka transaksi dicatat dengan jurnal:
Truck Rp 95,000,000,-
Disagio Saham (discount) Rp 5,000,000,-
Modal Saham Rp 100,000,000,-

Jika harga pasar saham PT.XYZ saat itu adalah @ Rp 110,000, maka transaksi dicatat
dengan jurnal:
Truck Rp 110,000,000
Modal Saham Rp 100,000,000,-
Agio Saham Rp 10,000,000,-
2.4.1.4 Aktiva yang dibangun
Dalam banyak kejadian, untuk aktiva bangunan lebih sering diperoleh dengan
dibangun terlebih dahulu (tidak membeli bangunan siap pakai).
Konsep dasarnya :
 Jika menggunakan jasa kontraktor (diborongkan), maka harga perolehan aktiva
bangunan diakui sebesar nilai kontraknya.
 Jika dibangun sendiri, maka harga perolehan aktiva diakui sebesar seluruh
pengeluaran atas pembangunan gedung (property) tersebut.
2.4.1.5 Aktiva diperoleh dengan pertukaran
Pertukaran aktiva tetap disini maksudnya adalah aktiva yang telah dimiliki
ditukarkan dengan aktiva yang dimiliki oleh pihak (perusahaan/orang) lain. Pada kasus
pertukaran yang menjadi persoalan utama adalah penentuan nilainya. Hal ini disebabkan
oleh karena adanya berbagai kondisi atas pertukaran yang terjadi. Yang menjadi patokan
dasar adalah :
 Pertukaran aktiva sejenis atau tidak
 Harga Pasar diketahui atau tidak
 Disertai arus kas atau tidak

Berikut adalah berbagai kemungkinan kombinasi atas kondisi pertukaran aktiva tetap dan
perlakuan akuntansinya :
a. Harga pasar diketahui, tidak disertai arus kas, maka :
Aktiva tetap yang diterima dicatat sebesar harga pasar aktiva yang memiliki
keabsahan bukti transaksi yang lebih memadai. Jika sama-sama kuat ke absahannya,
maka yang diakui adalah harga pasar aktiva yang diserahkan, tetapi jika aktiva yang
diterima memiliki bukti transaksi yang lebih lengkap maka perolehan aktiva dicatat
sebesar aktiva yang diterima.

b. Harga Pasar tidak diketahui (sejenis maupun beda jenis)


Harga perolehan aktiva dicatat sebesar NILAI BUKU aktiva yang diserahkan. Untuk
kasus seperti ini, diperlukan penghapusan akumulasi penyusutan atas aktiva yang
diserahkan.

Contoh kasus :
PT. XYZ menukarkan peralatannya dengan sebuah mesin dari pihak lain, Harga
perolehan perlatan yang diserahkan adalah sebesar Rp 1,500,000,- dan nilai bukunya saat
ditukarkan adalah Rp 1,000,000,- sementara Harga Perolehan mesin yang diterima dari
pihak lain adalah Rp 1,700,000 sedangkan nilai bukunya adalah Rp 1,200,000,- HARGA
PASAR TIDAK DIKETAHUI.

Maka jurnalnya adalah :


Aktiva Tetap Mesin Rp 1,000,000,-
Akumulasi penyusutan Rp 500,000,-
Peralatan Rp 1,500,000,-

c. Aktiva Beda Jenis, Harga Pasar Diketahui, Disertai Arus Kas.


Adanya arus kas, kemungkinannya ada 2 :
 Disertai arus kas keluar, berarti ada rugi pertukaran, maka rugi diakui
 Disertai arus kas masuk, berarti ada laba pertukaran, maka laba diakui

Aktiva Sejenis, Harga Pasar diketahui, Disertai arus kas :


 Indikasi rugi, maka rugi diakui
 Indikasi laba, maka laba jangan diakui

2.5 PENGGUNAAN AKTIVA TETAP (Utilization)


Penggunaan aktiva tetap (utilization) adalah 2nd phase dari siklus hidup aktiva
tetap. Pada masa inilah aktiva tetap diharapkan berproduksi, menghasilkan output dan
memberikan hasil kembali (gains / laba / profit / earning) atas cost yang pernah
dikeluarkan pada masa perolehannya.

Namun demikian, setiap revenue yang dihasilkan tentunya memerlukan adanya


pengorbanan, yang dalam suatu transaksi lumrah kita sebut sebagai beban/biaya
(expenses) maupun harga pokok (cost).

Untuk berproduksi, menghasilkan output yang pada akhirnya menghasilkan


revenue, aktiva tetap harus dipekerjakan (occupied) secara maksimal. Atas aktivitas-
aktivitas yang dilakukan pada suatu aktiva tetap, ada 2 (dua) konsekwensi utama yang
akan timbul :
1. Adanya pengeluaran (expenditure) untuk pemeliharaan (maintenance), perbaikan
(repair/betterment), penggantian komponen (replacement), turun mesin (overhaul).
2. Adanya penurunan fungsi sekaligus berkurangnya umur ekonomis atas aktiva tetap
yang dipergunakan, yang biasa kita kenal dengan PENYUSUTAN (depreciation).

2.5.1 Pengeluaran (Expenditure) di masa penggunaan


Seperti disebutkan diatas, konsekwensi pertama atas penggunaan aktiva tetap
adalah adanya pengeluaran-pengeluaran.
The main issue on this phase is :

“WHETHER THOSE EXPENDITURES SUPPOSED TO BE TREATEN AS AN


EXPENSE OR TO BE CAPITALIZED”.

Berikut adalah aktivitas-aktivitas yang biasa terjadi pada penggunaan aktiva tetap
beserta panduan dasar perlakuan akuntansinya (sekalikus akan menjawab pertanyaan
besar di atas) :

1. Pemeliharaan (Maintenance)
Tindakan atau aktivitas yang ditujukan “hanya” untuk membuat suatu aktiva tetap
berfungsi sebagaimana mestinya disebut dengan PEMELIHARAAN (Maintenance), dan
pengeluaran yang timbul hendaknya di bebankan (dijadikan biaya) pada periode yang
sama.
Contoh Kasus :
PT. Royal Bali Cemerlang, membayar sebesar Rp 75,000,- untuk membersihkan 1
unit AC di ruangan Accounting sekaligus menambah Freon sebanyak 5 psi. Jelas bisa kita
lihat bahwa aktivitas ini adalah dimaksudkan hanya untuk membuat AC tersebut dapat
berfungsi sebagaimana mestinya, maka atas pengeluaran tersebut dicatat sebagai berikut :
Office Maintenance Rp 75,000,-
Petty Cash Rp 75,000,-

2. Perbaikan (Repair/betterment)
Perbaikan (repair) diperhitungkan sebagai aktivitas yang lebih besar dibandingkan
dengan pemeliharaan (maintenance). Dikatakan perbaikan (repair) apabila; untuk
membuat aktiva tersebut berfungsi sebagaimana mestinya diperlukan tindakan pemulihan
kondisi atas bagian/sparepart/komponen yang mengalami penurunan fungsi, akan tetapi
belum diperlukan suatu penggantian.

Contoh Kasus :
Dari kasus yang sama di atas, akan tetapi tehnisi AC perlu melakukan
penyambungan kabel ulang dan melakukan pengelasan pada pangkal pipa selang yang
sudah mengalami korosi ringan. Untuk itu PT. Royal Bali Cemerlang harus
mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp 350,000,-
Dapat kita lihat bahwa tindakan ini tidak hanya sekedar melakukan pemeliharaan
(maintenance) melainkan sudah terjadi aktivitas perbaikan (repaires). Untuk itu PT.
Royal Bali Cemerlang melakukan pencatatan sebagai berikut :

Akumulasi penyusutan AC Rp 350,000,-


Office Maintenace Rp 75,000
Petty Cash Rp 425,000,-

3. Penggantian Komponen (replacement)


Istilah penggantian komponen (replacement) jelas artinya. Ditandai dengan adanya
penggantian atas satu komponen atau lebih dari suatu aktiva tetap.

Contoh Kasus :
Bagian IT menemukan salah satu mouse computer tidak berfungsi lagi, dan
sebuah DVD RW pada computer yang lain juga tidak berfungsi, untuk itu diperlu
dilakukan penggantian terhadap kedua kompenen tersebut secara terpisah. Dari nota
pembelian komponen terlihat harga mouse adalah Rp 35,000,- sedangkan harga DVD
RW adalah Rp 450,000,-

Atas transaksi tersebut, dilakukan pencatatan sebagai berikut :


Maintenance Rp 35,000,-
Akumulasi penyusutan komputer Rp 450,000,-
Petty Cash Rp 485,000,-
Mengapa tidak dikapitalisasi semua? Mengapa tidak di debit Akumulasi Penyusutan saja?
(jawabannya ada di akhir sub pokok bahasan ini).

4. Pengangkatan Kapasitas (Up-grading)


Pada fase pertumbuhan perusahaan, biasanya disertai dengan peningkatan
produksi, sebagai konsekwensinya, tidak jarang perusahaan harus melakukan upgrade
(peningkatan kapasitas) terhadap aktiva tetap yang digunakan (entah itu mesin, peralatan
bahkan gedungnya). Atas suatu upgrading, tentu akan memicu adanya pengeluaran-
pengeluaran yang biasanya cukup material.

Contoh Kasus :
Sudah beberapa bulan belakangan ini listrik di pabrik PT. XYZ sering mengalami
padam ditempat. Setelah diselidiki oleh electrician, diketahui penyebabnya adalah karena
penggunaan listrik di pabrik yang semakin meningkat seiring dengan adanya
penambahan beberapa mesin. Untuk itu diperlukan penambahan daya. Atas penambahan
daya tersebut, terjadi pengeluaran kas dengan rincian sebagai berikut :
1 unit Generator 30 KWH = Rp 18,000,000,-
1 unit panel MCB = Rp 1,500,000,-
400 meter Kabel = Rp 500,000,-
Biaya pemasangan = Rp 1,000,000,-
Total Pengeluaran = Rp 21,000,000,-

Transaksi tersebut dicatat :


Peralatan Listrik Rp 21,000,000,-
Kas Bank A Rp 21,000,000,-

5. Turun Mesin (overhaul)


Istilah turun mesin (overhaul) terjadi pada aktiva tetap yang bekerjanya
menggunakan mesin. Misalnya: Mobil, Kendaraan, mesin produksi, peralatan produksi.
Dikatakan mengalami turun mesin apabila untuk membuatnya berfungsi lebih baik,
diperlukan tindakan pembongkaran terhadap hampir seluruh komponen atau komponen
utama dari aktiva tersebut, untuk kemudian dilakukan pemasangan kembali. Pada proses
turun mesin hampir pasti akan terjadi sekaligus tindakan: Pemeliharaan, Perbaikan,
penggantian koponen. Turun mesin (overhaul) biasanya terjadi disaat-saat aktiva tersebut
mengalami penurunan fungsi (kapasitas) yang sangat signifikan akibat penggunaan yang
sudah relatif lama.

Aktifitas turun mesin (overhaul) sudah pasti akan membuat umur ekonomis aktiva
tersebut menjadi bertambah. Untuk itu, pengeluaran-pengeluaran yang timbul hendaknya
dikapitalisasi dengan cara mendebit rekening akumulasi penyusutan (accumulated
depreciation) sebesar pengeluaran overhaul tersebut.

Contoh Kasus :
Memasuki tahun ke-8, salah satu mesin produksi PT. Royal Bali Cemerlang yang
7 tahun lalu diperoleh Rp 10,000,000,- (life time estimation 8 tahun), perlu dilakukan
turun mesin, untuk melakukan turun mesin, perusahaan membayar sebesar Rp
7,000,000,- setelah turun mesin, mesin tersebut diperkirakan akan masih produktif
sampai 7 tahun ke depan.

Maka dilakukan pencatatan sebagai berikut :


Akumulasi penyusutan Rp 7,000,000,-
Kas Rp 7,000,000,-

Catatan : Jurnal di atas adalah untuk mengkapitalisasi pengeluaran atas overhaul (turun
mesin) sebesar Rp 7,000,000,-

Masalah berikutnya :
Berapa besarnya akumulasi penyusutan (Accum Deprec) setelah terjadi overhaul?
Berapa besarnya Nilai Buku (book value) setelah overhaul?
Berapa biaya penyusutan (depreciation) yang akan dibebankan pada tahun ke-8 ini?
Berapa Nilau Buku Tutup Tahun ke-8 (Closing Book Value) nanti?

Untuk menjawab semua pertanyaan di atas, maka perlu kita lakukan perhitungan awal
sebagai berikut :

Selanjutnya perhatikan perhitungan pada gambar dibawah ini :


Dapat kita lihat bahwa :
Setelah pengeluaran overhaul di kapitalisasi sebesar Rp 7,000,000 dengan cara mendebit
rekening Akumulasi penyusutan sebesar Rp 7,000,000, maka :
Akumulasi Penyusutan berkurang sebesar Rp 7,000,000, sehingga Akumulasi Penyusutan
setelah overhaul adalah Rp 8,750,000 – Rp 7,000,000 = Rp 1,750,000

Nilai Buku menjadi Rp 10,000,000 – Rp 1,750,000 = Rp 8,250,000. Penyusutan yang


Dapat dibebankan pada tahun ke-8 ini adalah sebesar Rp 8,250,000 : 7 = Rp 1,178,571
(angka 7 adalah umur ekonomis setelah overhaul, ingat : “setelah overhaul diperkirakan
mesin akan tetap produktif sampai 7 tahun ke depan”).
Nilai Buku tutup tahun ke-8 ini pun menjadi bisa kita hitung, yaitu : Rp 8,250,000 – Rp
1,178,571,- = Rp 7,071,429,-

Faktor-faktor Lain yang Perlu Dipertimbangkan


In term to determine whether the expenditure supposed to be treaten as an expense or to
be capitalized, using all the above approach is simply not enough :-), seems that we need
another terminology.

Misalnya : terjadi penggantian salah satu komponen (dalam contoh di atas penggantian
mouse untuk sebuah unit PC ), penggantian komponen seharusnya di kapitalisasi, tetapi
mau dikapitalisasi juga nilainya koq kecil, harga mouse cuma Rp 35,000,- sementara
harga satu unit komputer standar (termasuk mouse tentunya) mungkin antara Rp
4,000,000 s/d. Rp 5,000,000,- .

Kita perlu pendekatan lain untuk melengkapinya. Berikut adalah faktor-faktor


yang PERLU dipertimbangkan untuk mendeterminasi apakah suatu pengeluaraan di masa
penggunaan aktiva “dibebankan atau di kapitalisasi”:

1. Tingkat Keseringan
Jika jenis pengeluaran tersebut sering terjadi dan sifatnya rutin (repetitive), sebaiknya
pengeluaran tersebut dibiayakan saja, and vice versa.
2. Metrialitas
Jika pengeluaran tersebut sifatnya material, maka sebaiknya dikapitalisasi, jika tidak
berarti di bebankan (silahkan diukur dengan membandingkan antara pengeluaran yang
terjadi dengan harga perolehan aktiva-nya).

3. Lama Manfaat
Jika pengeluaran tersebut diperkirakan akan memberikan manfaat lebih dari satu tahun
buku, maka sebaiknya di kapitalisasi, jika hanya satu tahun buku atau kurang, sebaiknya
dibebankan diperiode yang sama saja.

4. Pengaruhnya terhadap Umur Ekonomis atau kapasitas


Jika pengeluaran tersebut diperkirakan akan menambah umur ekonomis atau
meningkatkan kapasitas, maka sebaiknya di kapitalisasi. Demikian sebaliknya.

2.6 PENARIKAN AKTIVA TETAP (Retirement of Plant Asset)


Permasalahan disekitar penarikan aktiva tetap yaitu :
 Penjualan Aktiva Tetap
 Penukaran Aktiva Tetap
 Laba-Rugi Penarikan Aktiva Tetap

hal-hal terkait dengan aktiva tetap yaitu :


 Audit dan Rasio Aktiva Tetap
 Penilaian Investasi atas Aktiva Tetap
 Sekilas mengenai Aktiva Tetap Sumber Alam

2.6.1 PENJUALAN AKTIVA TETAP


Salah satu jenis penarikan aktiva adalah PENJUALAN AKTIVA TETAP.
Perlakuan Akuntansinya (Prosedur, perhitungan, pencatatan dan pelaporannya) akan
dibahas lebih lanjut, termasuk aspek perpajakannya.

Pada dasarnya, tidak satupun perusahaan bermaksud dan merencanakan untuk


menjual aktiva tetapnya, karena aktiva tetap dibeli dimaksudkan untuk dipergunakan
selama umur ekonomisnya untuk menjaga kelangsungan usaha (entah untuk berproduksi,
dijadikan tempat usaha, dijadikan peralatan kerja, dan lain sebagainya). Akan tetapi ada
kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan perusahaan menjual aktiva tetapnya, antara
lain:
 Karena perusahaan kekurangan supply dana, sehingga perusahaan dengan
terpaksa menjual aktiva tetap-nya untuk memperoleh tambahan dana entah untuk
modal kerja, atau untuk memenuhi kewajiban (bayar hutang) jangka
pendek/panjangnya.
 Karena perusahaan berganti jenis produk, sehingga mesin-mesin dan perlatan
tertentu tidak diperlukan lagi (tidak memberi manfaat lagi). Hal ini biasanya
terjadi pada perusahaan-perusahaan manufaktur yang memproduksi “fast moving
product”, misalnya: Perusahaan Apparel, perubahan trend mode akan membuat
perusahaan tidak mempergunakan mesin untuk jenis pengerjaan bagian tertentu
lagi.
 Karena perusahaan berganti technology, misalnya: perusahaan menjual semua
komputer ber spesifikasi Pentium III, karena perusahaan akan membeli komputer
yang berspefisifikasi Pentium IV. Atau perusahaan menjual monitor non-flat
karena akan menggunakan flat-monitor.
 Karena perusahaan akan ditutup (berhenti beroperasi) karena alasan tertentu.

2.6.1.1 Prosedur dan Perlakuan Akuntansi atas penjualan Aktiva Tetap


Pada garis besarnya prosedur dan jurnal penjualan aktiva tetap hanya terdiri dari 2
(dua) langkah saja, yaitu:
1. Update Buku Aktiva yang dijual
2. Hapus Aktiva Tetap
Tentu saja ada beberapa langkah detail dari masing-masing langkah di atas

Contoh Kasus:
Pada tanggal 18 April 2008, PT. ROYAL BALI CEMERLANG menjual salah
satu mesin produksinya seharga Rp 15,000,000. Dahulunya dibeli pada tanggal 22
February 2005 dengan harga perolehan sebesar Rp 25,000,000.
Catatan:
PT. Royal Bali Cemerlang menggunakan metode garis lurus untuk menghitung
penyusutan aktiva tetapnya, tanpa “Salvage Value (nilai residu)”, umur ekonomis (life
time) mesin diperkirakan 8 Tahun. Posisi Aktiva Tetap Mesin PT. Royal Bali Cemerlang
per 31 Des 2007 adalah sebagai berikut:
Perolehan = Rp 25,000,000
Accum Deprec = (Rp 8,854,167)
----------------------------------------
Nilai Buku = Rp 16,145,833
Prosedur dan Perlakuan-nya:
1. Update Buku Aktiva Tetap
Hitung Penyusutan 01 January – 18 Maret 2008:
Karena mesin dijual pada tanggal 18 April 2008, dimana tanggal 18 sudah
melewati tengah bulan, oleh karenanya untuk bulan April dianggap mesin telah
dipergunakan selama satu bulan penuh (jika dibawah tanggal 15 maka dianggap belum
dipergunakan), maka.
Penyusutan 01 Jan – 18 Apr 2008: 4/12 x (25,000,000/8) = Rp 1,041,667

Bebankan Penyusutan dengan jurnal:


Depreciation Rp 1,041,667
Accum Deprec Rp 1,041,667
Catatan: Jurnal di atas akan menambah "Depreciation Cost" dan menambah "Accum
Deprec" mesin sebesar Rp 1,041,667. Sehingga "Accum Deprec Mesin" per tanggal 18
April 2008 adalah:
Accum Deprec per 31 Dec 2007 = Rp 8,854,167
Accum Deprec 01 Jan-18 Apr 2008 = Rp 1,041,667
Accum Deprec per 18 April 2008 = Rp 9.895,833

Dan nilai "Buku Aktiva Tetap Mesin" per 18 April 2008 adalah:
Rp 25,000,000 – Rp 9,895,833 = Rp 15,104,167

Langkah berikutnya adalah penghapusan


2. Penghapusan Aktiva Tetap Mesin
Aktiva Tetap Mesin dihapus dengan jurnal:
Kas/Piutang Rp 15,000,000
Accum Deprec Mesin Rp 9,895,833
Rugi Penjualan Aktiva Rp 104,167
Aktiva Tetap Mesin Rp 25,000,000
Catatan:
Jurnal di atas akan:
 Menghapus Aktiva Tetap Mesin dan Akumulasi penyusutannya. Penghapusan
terjadi karena posting Aktiva Tetap Mesin di masukkan di credit (berlawanan
dengan perolehan aktiva tetap mesin yang berada di debit) dan Deprec Accum di
masukkan ke sisi Debit (berlawanan dengan saldonya yang berada di sisi kredit).
 Mencatat Kas masuk atau mengakui piutang sebesar nilai penjualan
 Mengakui Rugi Penjualan Aktiva Tetap sebesar selisih antara harga perolehan
dengan (Kas+ Accum Deprec), dengan kata lain selisih antara nilai buku aktiva
tetap setelah di-update dengan nilai penjualan.

Bagaimana jika mesin dijual seharga Rp 16,000,000?


Jurnalnya:
Kas/Piutang Rp 16,000,000
Accum Deprec Mesin Rp 9,895,833
Aktiva Tetap Mesin Rp 25,000,000
Laba Penjualan Aktiva Rp 895,833
Catatan: terjadi Laba dan diakui sebagai Laba Penjualan Aktiva Tetap sebesar Rp
895,833, yang dihitung dengan cara mencari selisih antara Nilai Buku Aktiva Tetap
Mesin dengan Nilai Penjualan (Rp 6,000,000 - Rp 15,104,167).

2.6.1.2 Pelaporan Laba/Rugi Penjualan Aktiva Tetap


Laba atau Rugi Penjualan Aktiva Tetap di laporkan pada “Laporan Laba/Rugi”
masuk dalam kelompok “Pendapatan Lain-Lain” bernilai positif jika untung, dan bernilai
negative jika rugi.

Laba/Rugi Penjualan Aktiva Tetap Pada Laporan Laba/Rugi Fiskal


Laba/Rugi atas PENJUALAN AKTIVA TETAP adalah Obyek pajak PPh Badan,
sehingga dalam Laporan Laba/Rugi Fiskal, Laba/Rugi Penjualan Aktiva Tetap juga
masuk ke dalam pendapatan lain-lain, bernilai positif jika untung, dan bernilai negative
jika rugi. Sedangkan pada SPT PPh Badan (Pasal 29), Laba/Rugi atas PENJUALAN
AKTIVA TETAP di masukkan pada kelompok “Laba/Rugi Penjualan Aktiva".

2.6.2 Aktiva tetap yang rusak, terbakar atau hilang.


Aktiva Tetap yang: RUSAK, TERBAKAR atau HILANG, juga merupakan salah
satu alasan penarikan aktiva tetap (Plant Asset Retirement). Dalam hal ini akan dibahas
mengenai perlakuannya dan prosedur penghapusannya.

2.6.2.1 Aktiva Tetap Hilang Tercuri (Theft Asset)


Sangat mungkin salah satu atau lebih dari aktiva tetap yang telah dibukukan
hilang (tercuri). Dalam hal ini aktiva yang hilang tentunya harus dihapus dari buku
(catatan) perusahaan. Pengahapusan buku dilakukan atas dasar bukti “Surat Lapor
Kehilangan” kepada pihak kepolisian.

Kasus:
Pada tanggal 19 April 2008, PT. XYZ kehilangan Handycam merk SONY™ yang
dahulu dibeli pada tanggal 01 Maret 2008 dengan harga perolehan Rp 16,000,000. atas
kehilangan tersebut pihak PT. XYZ telah melaporkannya kepada pihak kepolisian dengan
surat lapor no. 120/IV/SLK/POLRI/2008 tertanggal 19 April 2008.
Catatan: Dalam menghitung penyusutannya, PT. XYZ menggunakan metode garis lurus.
Umur ekonomis handycam diperkirakan 4 Tahun, PT. XYZ tidak memperhitungkan
salvage value (nilai residu).

Prosedur penghapusannya sederhana saja:


1. Update Buku Aktiva Tetap (Handycam)
Upadate buku dengan menghitung penyusutan handycam dari tanggal perolehan hingga
tanggal hilangnya handycam.

Penyusutan 01 Maret – 19 April 2008:


Penyusutan = 2/12 x (16,000,000/4) = Rp 666,667
(catatan: handycam telah dipergunakan 2 bulan)

Akui penyusutan tersebut dengan jurnal:


Depreciation Rp 666,667
Accum Deprec Rp 666,667

Jurnal diatas untuk:


 Mengakui “Biaya Penyusutan” sebesar Rp 666,667
 Mengakui “Accum Deprec” dengan nilai yang sama.

Dengan demikian, maka Nilai Buku Handycam per 19 April 2008:


Perolehan Handycam = Rp 16,000,000
Accum Deprec = (Rp 666,667)
--------------------------------------------------
* Nilai Buku = Rp 15,333,333
2. Hapus Aktiva Tetap (Handycam) yang hilang
Aktiva tetap yang hilang dihapuskan dengan jurnal:
Accum Deprec Rp 666,667
Rugi Kehilangan Aktiva Rp 15,333,333
Aktiva Tetap (Handycam) Rp 16,000,000

Kesimpulan: Kerugian diakui sebesar “Nilai Buku” Aktiva Tetap yang hilang.

2.6.2.2 Aktiva Tetap Rusak (Fatal Damaged) & Terbakar (Fire Loss)
Kerusakan aktiva tetap bisa disebabkan oleh:
a. Kelalaian pihak perusahaan sendiri (oleh pemilik, atau pegawainya)
Kelalaian itu ada berbagai macam kemungkinanya, yang paling sering terjadi adalah:
 Salah mengoperasikan, jika ini yang terjadi biasanya yang bertanggung jawab
adalah operator (yang menggunakan mesin/peralatan) dan supervisornya,
tentunya juga tergantung policy perusahaan. Tanggung jawab diwujudkan dalam
bentuk penggantian kerugian.

 Salah instalasi, jika ini yang terjadi maka yang bertanggung jawab adalah
technician atau electrician, jika menggunakan jasa tehnisi dari luar perusahaan
(out-sourcing) tentu yang bertanggung jawab (ganti rugi) adalah pihak yang
menyediakan jasa.

b. Force Majeur (kerusakan akibat bencana alam)


Bentuknya bisa bermacam-macam: Kebakaran (Fire), Banjir (Flood), Gempa Bumi
(Earthquake), bahkan badai, atau yang paling popular belakangan ini adalah Tsunami.
Untuk melindungi asset dari kemungkinan kerugian atas force majeur biasanya
perusahaan menggunakan asuransi (insurance) untuk loss coverage.

Catatan: ada pertanyaan yang timbul, apakah “Huru-hara dan penjarahan” bisa
dimasukkan ke dalam kategori force majeur? Rasanya sangat beralasan, mengingat
kerusakan terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan dar pihak perusahaan atau
pihak pegawai. Tetapi yang saya tahu belakangan ini semakin banyak insurance company
yang sudah menyediakan option untuk category “All Risk Coverage” termasuk huru-hara
dan penjarahan. Tentu ini kemajuan yang menggembirakan mengingat potensi resiko
yang semakin kompleks belakangan ini. Sudah barang tentu premium untuk jenis ini
menjadi lebih tinggi. Tetapi melihat potensi resiko yang begitu besar, seharunya masih
option terbaik.

Semua kategori force majeur harus dilengkapi oleh bukti lapor ke pihak kepolisian.
Prosedur penghapusannya:
Sama saja dengan kasus kehilangan, hanya saja menjadi sedikit berbeda apabila
setelah kerusakan ada ganti rugi maupun insurance coverage.
Kasus:
Pada tanggal 18 April 2008 Gedung PT. DEF yang diperoleh tanggal 15 Oktober
2004 senilai Rp 500,000,000 mengalami kebakaran, beruntung gedung telah dilindungi
oleh asuransi dan memperoleh uang pertanggungan pada tanggal 19 April 2008 sebesar
Rp 400,000,000
Catatan:
 PT. DEF menggunakan metode garis lurus dalam menghitung penyustan
gedungnya.
 Gedung diperkirakan memiliki umur ekonomis 30 tahun.
 Posisi Aktiva Tetap Gedung per tanggal 31 December 2007 adalah sebagai
berikut:
Perolehan Gedung = Rp 500,000,000 dan Accum Deprec Rp 52,777,778.

Step-1: Up-date Buku Aktiva Tetap Bangunan


Penyusutan 01 Jan – 18 April 2008:
Penyusutan = 4/12 x (Rp 500,000,000/30) = Rp 5,555,556

Akui penyusutan dengan jurnal:


Depreciation Rp 5,555,556
Accum. Deprec Rp 5,555,556

Dengan jurnal diatas, maka Accum. Deprec per 18 April 2008 menjadi:
Accum Deprec per 31 Dec 2007 = Rp 52,777,778
Accum Deprec 01 Jan- 18 Apr 2008 = Rp 5,555,556
-------------------------------------------------------------------- (+)
* Accum Deprec 18 April 2008 = Rp 58,333,333

Sehingga Nilai buku gedung per 18 April 2008 menjadi:


Perolehan = Rp 500,000,000
Accum Deprec = (Rp 58,333,333)
----------------------------------------------------
* Nilai Buku = Rp 441,666,667

Step-2: Hapus Aktiva Tetap Gedung


Pada tanggal 18 April 2008, Aktiva Tetap Gedung yang terbakar dihapus dengan jurnal:
Accum. Deprec Rp 58,333,333
Fire Lost Rp 441,666,667
Aktiva Tetap Gedung Rp 500,000,000

Step-3: Pengakuan Claim Asuransi


Pada tanggal 19 April 2008, penerimaan pembayaran atas claim asuransi sebesar Rp
400,000,000 dicatat dengan jurnal:
Kas Rp 400,000,000
Fire Lost Rp 400,000,000

Dengan jurnal diatas, maka Saldo Fire Lost per tanggal 19 April 2008 tinggal Rp
41,667,000 saja.

Pelaporan Pengahapusan Aktiva Tetap Rusak, Terbakar, Hilangan


Di akhir periode nanti, Aktiva Tetapnya tentu sudah tidak kelihatan di neraca
karena saldo-nya sudah 0 (nol), sedangkan kerugiannya di masukkan ke dalam kelompok
“POS-POS LUAR BIASA” atau “EXTRA ORDINARY ITEMS”. Dan didalam catatan
laporan keuangan sudah pasti harus diberikan penjelasan mengenai terjadinya
Extraordinary Items.

2.6.3 Rugi Dalam Pemerolehan Aset


Sebelum pendapatan terjadi yang ditumbulkan oleh upaya yang
direpresentasikan oleh biaya, kos semata-mata mengalami penghimpunan,
penggabungan dan reklasifikasi. Kos yang terhimpun tersebut tetap
merepresentasikan asset kalau asset tersebut belum dikeluarkan sebagai biaya.
Akan tetapi, dapat terjadi bahwa karena sesuatu hal (atau kejadian yang tidak
normal) potensi jasa tertentu menjadi tidak mempunyai lagi kemampuan atau daya
dalam menghasilkan pendapatan pada waktu mendatang. Dalam keadaan semacam
itu, dapat dikatakan bahwa manfaat ekonomik telah hangus atau menguap dan
merupakan rugi. Sebelum kos potensi jasa dinyatakan hangus maka sebenarnya
dapat dikatakan bahwa kos tersebut statusnya adalah menunggu perlakuan
berikutnya (In Suspense). Rugi dapat saja terjadi sebelum penjualan atau sebelum
perusahaan mulai berproduksi.
Pengikatan atau kontrak yang tidak bijaksana, kecurangan pihak lain atau
sekedar musibah belaka yang tidak jarang mengakibatkan hangusnya (dissipation)
manfaat ekonomik dalam periode pendirian badan usaha atau pembangunan
bencana lainnya adalah contoh keadaan khusus atau tidak normal yang dapat
mengakibatkan rugi besar. Kalau keadaan memang menunjukkan dengan jelas
bahwa rugi telah diderita, satu-satunya perlakuan yang tepat adalah pemisahan
jumlah rupiah rugi tersebut sebagai defisit atau dalam keadaan tertentu
penghapusan jumlah rupiah rugi tersebut dengan pengurangan modal. Jadi, rugi
hendaknya tidak dikapitalisasi atau diasetkan karena criteria manfaat ekonomik
masa datang tidak dipenuhi lagi.
Jadi disimpulkan bahwa, kecuali karena hal-hal yang tidak normal yang
mengharuskan kos yang terjadi segera diakui sebagai rugi yang dapat terjadi pada
tahapan kegiatan usaha manapun, semua kos yang terjadi merupakan asset atau
merupakan bagian dari jumlah rupiah total asset perusahaan paling tidak dalam
beberapa saat. Berbagai kos tersebut dapat mempresentasikan objek finis maupun
nonfisis. Tiap asset yang direpresentasikan dengan kos tersebut berbeda dalam hal
kecepatannya untuk diserap habis sebagai pengurang atau beban pendapatan.

2.7. Syarat-syarat Asset


Secara konseptual, kos bunga memang dapat dikapitalisasi untuk semua
asset yang periode memperolehnya cukup lama. Akan tetapi, tidak dalam setiap
pemerolehan asset dilakukan kapitalisasi bunga yang terlibat. Salah satu faktor
yang harus dpertimbangkan adalah manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya
kapitalisasi tersebut dibandingkan dengan mengurangkan langsung kos bunga
sebagai biaya periode terjadinya. Dalam keadaan tertentu kapitalisasi bunga tidak
perlu dilakukan. Standar akuntansi menentukan asset yang memenuhi syarat (cukup
disebut asset memenuhi) untuk dilekati kos bunga (qualifying assets) yang dalam
PSAK No. 26 disebut asset tertentu. FASB (SFAS No. 34, Prg. 9) menetapkan
bahwa kapitalisasi bunga hendaknya dilakukan hanya untuk asset yang menenuhi
syarat :
a. Asset yang dibangun atau diproduksi untuk digunakan sendiri oleh perusahaan
(termasuk asset yang dibangun atau diproduksi oleh pihak lain atas pensanan
perusahaan untuk digunakan sendiri oleh perusahaan dan untuk
pesanan/kontrak tersebut persuahaan melakukan pembayaran uang muka atau
pembayaran bertahap atas dasar kemajuan pekerjaan pembangunan asset
bersangkutan.
b. Asset dibangun atau diproduksi dengan tujuan untuk dijual sebagai suatu uni
atau projek yang berdiri sendiri terpisah dari objek atau kegiatan operasi
lainnya (misalnya Kapal, kawasan industry, reas estat, jembatan, atau
semacamnya.
c. Investasi jangka panjang (ekuitas, pinjaman, dan penanaman kas) yang
diperlakukan dengan metode ekuitas sementara terinvestasi (investee) sedang
melaksanakan kegiatan pembangunan fasilitas fisis asalkan kegiatan tersebut
menggunakan dana investasi itu untuk memperoleh fasilitas fisis tersebut.
Sediaan barang yang diproduksi secara rutin atau diproduksi secara masa dan
berulang-ulang tiap periode tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek
kapiatalisasi bunga. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa manfaat informasional
tambahan yang diperoleh dari kapitalisasi tersebut tidak sepadan dengan tambahan
kos akuntansi dan administrasinya. Karakteristik lain suatu asset yang tidak dapat
menjadi objek kapitalisasi adalah:
a. Asset yang sudah digunakan atau yang sudah siap digunakan sesuai dengan
tujuan penggunaan dalam operasi menghasilkan pendapatan.
b. Asset yang belum digunakan dalam kegiatan menghasilkan pendapatan
perusahaan dan juga tidak mengalami penyelesaian/perbaikan atau kegiatan lain
yang diperlukan untuk menjadikan asset tersebut siap digunakan dalam operasi.
Jadi, kalau kegiatan konstruksi berhenti, bunga selama berhentinya kegiatan
tidak dapat dikapitalisasi.
c. Asset yang tidak dimasukkan dalam neraca konsolidasian perusahaan induk dan
perusahaan-perusahaan anaknya.
d. Investasi yang diperlakukan dengan metode ekuitas setelah kegiatan operasi
utama yang direncanakan oleh terinvestasi dimulai.
e. Investasi dalam perusahaan regulasian (regulated investees) yang
mengkapitalisasi baik kos utang maupun ekuitas (cost of debt and equity
capital).
f. Asset yang diperoleh dengan dana hadiah atau hibah yang dibatasi
penggunaannya oleh penghadiah atau penghibah semata-mata untuk
pemerolehan asset tersebut.
2.8. Sewaguna Asset
Sewaguna (lease) menumbulkan masalah pelik dalam pengakuan asset
karena di Amerika pada mulanya sewaguna digunkan sebagai sarana pemerolehan
asset tetap atau fasilitas fisis tanpa harus menunjukkan utang yang timbul dari
pemerolehan tersebut. Dengan kata lain, sewaguna diperlakukan sebagai sewa-
menyewa biasa sehinga jumlah rupiah sewa yang dibayarkan diperlakukan
sebagai biaya sewa. Praktik semacam ini disebut off balance-sheet financing
dipandang tidak sehat dari segi pelaporan keuangan karena terdapat utang yang
cukup besar yang tidak dilaporkan dalam neraca.
Oleh karena itu, dengan konsep dasar substansi di atas bentuk (substance
overform), FASB mewajibkan untuk mengakui dan melaporkan kewajiban yang
timbul dari sewaguna dan mengakui (mengkapitalisasi) fasilitas yang disewaguna
sebagai asset perusahaan kalau secara substantive perjanjian sewaguna tersebut
sebenarnya merupakan pembelian angsuran. Yang menjadi masalah adalah apa
kriteria yang harus dipenuhi agar suatu sewaguna dapat dinyatakan sebagai
pembelian angsuran. FASB mengajukan empat criteria berikut ini (SFAS No. 13,
Prg.7) :
a. Kontrak sewaguna menyebutkan adanya transfer hak milik barang atau
properties (property) kepada tersewaguna (lessee) pada akhir jangka
sewaguna.
b. Kontrak sewaguna memuat pasal bahwa tersewaguna boleh pilih untuk
membeli pada tanggal yang ditetapkan dalam jangka sewaguna dengan harga
yang ditetapkan dan harga tersebut cukup murah sehingga dapat dipastikan di
muka bahwa tersewaguna akan memilih membeli properitas bersangkutan.
Pasal semacam ini disebut bargain purchase option.
c. Jangka sewaguna adalah 75% atau lebih dari sisa umur ekonomik taksiran
properitas sewaguna sejak penandatanganan kontrak. Bila sisa umur
ekonomik mulai dari penandatanganan kontrak kurang dari 25% umur
ekonomik total, criteria ini tidak berlaku.
d. Pada saat penandatanganan kontrak sewaguna, nilai sekarang semua
pembayaran sewaguna minimum selama jangka sewaguna adalah sama atau
lebih besar dari 90% nilai wajar bersih bagi pesewaguna. Nilai wajar bersih
bagi pesewaguna adalah nilai wajar dipandang dari sudut pesewaguna setalah
dikurangi dengan kredit pajak investasi, kalau ada, yang menjadi hak
pesewaguna.
Kalau suatu kontrak sewaguna memuat pasal-pasal atau ketentuan-
ketentuan yang memenuhi salah satu atau lebih criteria di atas maka sewaguna
tersebut harus diperlakukan sebagai kontrak pembelian angsuran dan properitas
yang terlibat harus dikapitalisasi. Mengapa demikian? Karena kalau salah satu
pasal di atas dipenuhi, secara substantive kontrak tersebut jelas merupakan
pembelian angsuran walaupun bentuk yuridisnya tampak sebagai sewa-menyewa
biasa atau sewaguna operasi (operating lease). Bahwa hanya salah satu criteria
yang harus dipenuhi menunjukkan bahwa FASB sangat menekankan kapitalisasi.
Lebih dari itu, tiap criteria cukup ketat bagi perusahaan untuk menghindari
Kapitalisasi.
IAI juga mengeluarkan standard untuk mengkapitalisasi sewaguna.
Criteria yang diajukan adalah (PSAK No. 30, Bab II, Prg. 3) :
a. Penyewaguna usaha memiliki hak opsi untuk membeli asset yang
disewagunakan pada akhir masa sewaguna usaha dengan harga yang disetujui
bersama pada saat dimulainya perjanjian sewaguna usaha.
b. Seluruh pembayaran berkala yang dilakukan oleh penyewaguna usaha
ditambah dengan nilai sisa mencakup pengembalian harga perolehan barang
modal yang disewagunausahakan serta bunganya, sebagai keuntungan
perusahaan sewa guna usaha.
c. Masa sewaguna usaha minimum 2 tahun.
Untuk mengakapitalisasi sewaguna, IAI menetapkan bahwa ketiga criteria
di atas harus dipenuhi. Kalau salah satu saja criteria di atas tidak terpenuhi maka
sewaguna diperlakukan sebagai sewaguna operasi. Bila dianlisis secara terpisah,
maka tidak satupun criteria diatas menjadikan suatu sewaguna secara substantive
merupakan pembelian angsuran padahal inilah yang seharusnya merupakan esensi
dari tipa criteria.kriteria a menyebutkan adanya hak opsi membeli dengan dengan
demikian sewa guna tersebut otomatis menjadi sewa guna operasi dengan kata
lain, adanya hak opsi membeli tidak menjadikan sewa guna secara subtatif
merupakan pembelian angsuran. Hal ini sangat berbeda dengan criteria b FASB
yang disebut bargain purchase option yang berarti bahwa harga yang disepakati
harus cukup murah sehingga tersewa guna pasti akan membelinya. Harga opsi
yang sangat murah inilah yang menjadi indikasi bahwa sewa guna yang
bersangkutan sebenarnya merupakan pembelian secara kredit. Selain itu opsi tidak
harus dutawarkan pada akhir tahun, tetapi pada saat atau tanggal kapapun
(exercisable date) selama jangka sewa guna.
Criteria b tidak menegaskan apakah mencakup berarti jumlah total
pembayaran sewa ditambah nilai sisa harus sama atau lebih besar dari kos
pemerolehan bagi pesewa guna ditambah bunga yang diperhitungkannya . apakah
kalau jumlah pertama lebih kecil dari jumlah rupiah kedua lalu sewa guna
tersebut secara subtatif tidak dapat dikatakan sebagai pembelian angsuran?
Dengan kata lain, criteria ini secara konseptual tidak valid dan secara intuitif tidak
jelas sebagai penentu kesubtitatifan sewa guna sebagai pembelian karena tidak
dibandingkan dengan alternative bagi tersewa guna sebagai pembelian karena
tidak dibandingkan dengan alternative atau bagi tersewa guna untuk membeli
tunai. Penggunaan nilai nominal bukannya nilai sekarang (present value)
mengabaikan pembelian tunai sebagai alternatif atau pembanding untuk
menentukan kesubstatifan transaksi sewa guna sebagai pembelian. Hal ini sangat
berbeda dengan apa yang digunakan oleh FASB dalam kriteria d. penalaran di
balik kriteria ini adalah bahwa klau nilai sekarang total pembayaran lebih besar
dari 90% nilai wajar barang yang di sewa guna, maka secara teoritis, prkatis, atau
bahkan ituintif transaksi sewa guna tersebut jelas merupakan pembelian sehingga
tersewa guna tidak dapat menyembunyikan hal tersebut sebagai sewa guna
operasi. Jadi, dapat di pandang bahwa tersewa guna seakan-akan meminjam uang
untuk memebeli barang tersebut secaraa tunai. Hal ini tidak terkandung dalam
kriteria IAI.
Kriteria c sama sekali tidak mengandung makna kesubstatifan transaksi
sewa guna sebagai trasaksi pembelian. Tanpa dikaitkan dengan umur ekonomik
proporitas yang di sewa guna, angka 2 (tahun) sama sekali tidak dapat di pakai
untuk menentukan apakah suatu transaksi adalah sewa-menyewa atau pembelian.
Dengan kriteria ini berarti bahwa sewa guna yang berjangka kurang dari 2 tahun
secara subtatif dan teoritis tidak dapat dikatakan sebagai pembelian kredit.
Konsep yang melandasi penetapan 2 tahun yang dapat diterima adalah semata-
mata alasan kepraktisan bukan substantif. Secara teoritis, kalau suatu perusahaan
menyewa guna komputer selama kurang dari 2 tahun tetapi pada akhir jangka
sewa guna komputer tersebut tidak mempunyai nilai lagi karena keausan
teknologi, perusahaan tersebut yang sebenarnya dapat dikatakan memebeli
komputer tersebut apalagi kalau nilai sekarang pembayaran sewa guna mendekati
nilai pasar komputer pada saat penandatanganan kotrak. Kriteria c ini praktis
tidak mempunyai daya klasifikasi karena pada umumnya kortrak sewa guna
berjangka lebih dari 2 tahun sehingga selalu dapat dipenuhi.
Jadi, kriteria kapatilisasi menurut PSAK no 30 adalah lemah bahkan
kosong dengan makna kesubstantifan transaksi sebagai pembelian sehingga kalau
suatu sewa guna memenuhi ketiga kriteria kapitalisasi tersebut maka klasifikasi
tersebut akan bersifat arbitrer. Sewa guna yang memenuhi krireria tersebut
sebagai sewa guna kapital mungkin secara substantif adalah sewa guna biasa atau
sebaliknya yang diklasifikasi sewa guna biasa sebenarnya sewa guna kapital.
Karena ketitiga kriteria harus dipenuhi, sementara kriteria c tidak relevan,
maka kriteria a dan b yang potensial membedahkan sewa guna. Kalau kriteria b
dipenuhi tetapi kriteria a tidak dipenuhi atau tidak termuat dalam kotrak, praktis
sewa guna akan masuk sebagai sewa-menyewa biasa. Jadi, dapat dikatakan bahwa
IAI sangat cenderung untuk memperlakukan sewa guna sebagai sewa guna biasa
yang berarti mendorong adanya off-balance-sheet financing.

Kos Bunga

Telah disebutkan bahwa kos suatu asset adalah semua pengeluaran


(menjadi unsur kos) yang diperlukan untuk menyiapkan asset tersebut sampai siap
dipakai atau dikonsumsi sebagimana direncanakan (intended use). Masalah yang
berkaitan dengan hal ini adalah perlakuan kos bunga sebagai unsur kos fasilitas
fisik (gedung atau pabrik) yang dibangun sendiri. Bilah kesatuan usaha
membangun sendiri fasilitas fisis dengan dana pinjaman dan pembangunannya
memakan waktu yang cukup lama, masalahnya adalah apakah kos bunga selama
masa pembangunan/konstruksi dapat dikapitalisasi.
FASB menyebutkan bahwa tujuan mengkapitalisasi kos bunga adalah
untuk mendapatkan angka kos pemerolehan yang paling merefleksi investasi total
kesatuan usaha dalam asset dan untuk membebankan suatu kos yang berkaitan
dengan pemerolehan suatu sumber ekonomik yang akan member manfaat di masa
datang untuk ditandingkan dengan pendapatan yang dihasilkan oleh menfaat
tersebut. Tujuan terakhir dimaksudkan agar terjadi penandingan yang tepat
terutama bila waktu pembangunan atau periode pemerolehan (acquisition period)
cukup lama. Akan tetapi, kapitalisasi kos bunga hanya di lakukan apabila manfaat
informasi melebihi kos penyediaan informasi (kos administrasi dalam
mengkapitalisasi bunga).

Argumen Pendukung

beberapa argumen diajukan untuk mendukung kapitalisasi kos bunga.


Argumen-argumen tersebut adalah:

1. Dengan kesiapan pemakaian atau penggunaan (readiness for intended use)


sebagai batas kegiatan pengukuran kos asset, kos bunga jelas merupakan unsur
kos asset. Hal ini sejalan dengan argumen yang ditunjukkan FASB (SFAS no
34, prg. 40) berikut :

…the historical cost off acquiring an asset should include all cost necessarily
incurred to bring it to the condition and location necessary for its intended use,
the Board concluded that, in principle, the cost incurred in financing
expenditures for an asset during a required construction or development period
is itself a part of the asset’s historical acquisition cost.

2. Bilah kesatuan usaha tidak membangun sendiri faslitas fisis bersangkutan,


penghargaan kesepakatan sebagai kos pemerolehan pada umumnya termasuk
pula bunga yang harus dibayar oleh kontraktor selama pembangunannya.
3. Pembebanan kos bunga langsung pendapatan selama masa konstruksi (periode
pemerolehan akan mendistorsi laba terutama kalau konstruksi di danai dari
pinjaman khusus untuk keperluan tersebut dengan kata lain, pembebanan
langsung menyimpang dari konsep penandingan yang tepat (proper matching
concept).
4. Kos bunga selama masa pembangunan bukan merupakan kos pendanaan
(financing cost) karena kalau pembangunan di danai dari penerbitan ekuitas
baru, kos pedanaan secara konseptual tetap terjadi dan digeser ke pemegang
saham dalam bentuk dividen yang pembyarannya mungkin ditunda sampai
pembangunan selesai.

Argumen Penolak

Beberapa argumen menolak dikapitalisasinya bunga. Penolakan tersebut


didasar atas argumen-argumen berikut :

1. Bunga lebih merupakan kos pedanaan dari pada unsur kos asset karena
perusahaan sebenarnya dapat menghindari bunga tersebut dengan memilih
alternative pedanaan dengan ekuitas. Hal ini dibantah dengan argument
pendukung 4 di atas.
2. Dengan konsep nilai setara tunai (cash equivalent) atau nilai sekarang aliran
kas diskunan dalam mengukur kos suatu asset, kos pemerolehan suatu fasilitas
fisis harusnya tidak dipengaruhi oleh kebijakan pemilihan cara pendanaan
pembangunannya. Jadi, secara teoritis, kos suatu fasilitas fisis yang dibangun
sendiri oleh suatu kesatuan usaha yang mendanainya dengan ekuitas
seharusnya tidak akan berbeda dengan fasilitas yang sama yang dibangun
perusahaan lain yang mendanainya dengan hutang.
3. Dengan konsep kesatuan usaha, bunga lebih bermakna sebagai pembagian laba
(setara dengan deviden) dari pada sebagai upaya untuk memperoleh
pendapatan. Mengakui bunga sebagai kos fasilitas fisis sama saja dengan
penyangkalan konsep kesatuan usaha itu dan sama saja dengan pengakuan kos
hipotetis karena mengkapitalisasi bunga (setara deviden) seperti itu sama saja
dengan mengkapitalisasi deviden yang telah dibayarkan sebagai asset.
4. Karena merupakan kos pendanaan yang terpisah dengan kos pemerolehan
asset, alokasi kos bunga ke semua asset nonmoneter hanya akan kecil
pengaruhnya terhadap laba periodic karena jumlah yang periodic karena
jumlah yang dikapitalisasi dalam suatu periode akan dikompensasi dengan
amortisasi bunga yang dikapitalisasi pada periode-periode sebelumnya.
Dengan demikian, manfaat informasional tambahan tidak sepadan dengan kos
akuntansi dan administrative tambahan sehingga tidak memenuhi criteria
manfaat lebih besar dari kos dalam karakteristik kualitatif informasi.

Alternative Perlakuan

berbagai argument yang mendukung dan menolak di atas akhirnya


menghasilkan berbagai kemungkinan perlakuan kos bunga selama masa
pembangunan. Beberapa alternative perlakuan adalah :

1. Bunga tidak di kapitalisasi dan diperlakukan sebagai biaya periode.


2. Bunga dikapitalisasi dan dimasukkan sebagai bagian dari kos fasilitas fisis
yang di bangun sendiri. Jumlah yang dikapitalisasi dapat sebesar :

a. Jumlah rupiah seluruh bunga yang sesungguhnya dibayar atau terjadi


untuk dana yang khusus dipinjam untuk pembangunan.
b. Jumlah rupiah semua bunga yang sesungguhnya dibayar atau terjadi
untuk semua dana pinjaman yang ada. ini dilakukan apabila tidak ada dana
khusus yang disediakan untuk pembangunan asset bersangkutan.
c. Bunga dikapitalisasi sebesar jumlah rupiah bunga implisit dana yang
tertanam dalam perusahaan tanpa memperhatikan sumbernya.
3. Bunga dikapitalisasi tetapi tidak dimasukkan sebagai elemen kos fasilitas fisis
yang dibangun sendiri. Besarnya bunga yang dikapitalisasi dapat didasarkan
pada perhitungan seperti alternative 2 dia atas.

Perlakuan (1) jelas merupakan konsekuensi dari diterimanya argumen


pihak yang menolak kapitalisasi sedangkan perlakuan (2) merupakan konsekuensi
logis yang diterimanya argumen pihak yang mendukung kapitalisasi. Perlakuan
(3) merupakan kompromi dari kedua argumen yang saling bertentangan. Pengusul
perlakuan (3) memandang bahwa kos bunga memang merupakan kos pendanaan
tetapi tidak menginginkan adanya distorsi laba yang dapat menimbulkan kesan
keliru tentang prestasi perusahaan pada masa konstruksi khususnya kalau
pendapatan pada masa itu belum cukup besar untuk menutup bunga. Oleh karena
itu, kos bunga selama masa konstruksi perlu dikapitalisasi dan kemudian
diamortisasi selama beberapa periode yang layak. Amortisasi ini independent
terhadap (tidak harus sejalan dengan) umur ekonomik dan metode depresiasi asset
bersangkutan.

Jumlah Rupiah Kapitalisasi

Tiap alternative jumlah rupiah bunga yang harus dikapitalisasi didasarkan


atas argumen atau dasar pemikiran yang dibahas dibawah ini.
Alternatif (2a) didasarkan pada argument bahwa bunga merupakan elemen
kos konstruksi tetapi hanya bunga yang memang benar- benar dibayar untuk dana
khusus tersebut yang menunjukkan unsur kos pemerolehan asset. Hal ini cukup
logis karena memang mudah untuk mengidentifikasi dana yang benar- benar
digunakan untuk membangun konstruksi fasilitas fisis bersangkutan. Masalah
dapat timbul kalau dana pinjaman memang tidak secara khusus dipisahkan untuk
keperluan pembangunan tersebut. Masalah ini timbul karena seluruh dana yang
tertanam dalam perusahaan pada dasarnya lebur manjadi satu yang tidak mungkin
dilakukan identifikasi untuk menentukan dana mana yang digunakan dalam
konstruksi dan mana yang tidak, khususnya bagi perusahaan yang sudah
beroperasi cukup lama. Untuk perusahaan yang baru berdiri dan masih dalam
masa persiapan, Identifikasi tersebut masih dapat dilakukan.
Alternatif (2b) berusaha untuk mengatasi kesulitan dalam usulan pertama.
Dasar pikirannya adalah bahwa semua utang dianggap digunakan untuk investasi
dalam pembangunan sarana fisis. Kos bunga di sini dianggap sebagai kos
kesempatan (opportunity cost) adalah suatu pengorbanan (bunga) yang
sebenarnya dapat dihindari seandainya kesatuan usaha tidak mengadakan
pinjaman atau bunga yang tidak harus dibayar seandainya dana untuk
pembangunan asset digunakan untuk melunasi utang. Argumen ini sering di
sanggah karena dari sudut pemegang saham, dana yang berasal dari ekuitas yang
tertanam dalam perusahaan pun sebenarnya mengandung kos kesempatan
sehingga perlu juga diperhitungkan sebagai kos seperti bunga.
Alternative (2c) mendasar diri pada asumsi bahwa bunga seluruh dana
yang tertanam dalam perusahaan merupakan kos ekonomik. Kos asset di sini
diartikan sebagai nilai barang dan jasa yang dikorbankan dalam rangka
memperoleh asset tersebut. Bunga dianggap sebagai nilai jasa uang yang terikat
dalam suatu asset yang sebelum dioperasikan. Karena sumber ekonomik (kas)
tidak digunakan untuk kegiatan operasi berjalan tetapi untuk operasi masa
mendatang, cukup layaklah untuk memperhitungkan bunga implisit yang
sebenarnya dapat diperoleh kalau perusahaan tidak membangun suatu fasilitas
fisis yang memakan waktu lama. Bunga implisit di sini di ukur atas dasar laba
yang dapat diperoleh seandainya kas digunakan untuk kegiatan operasi bukan
untuk pembangunan. Dasar pikiran ini mirip dengan usulan kedua di atas dalam
hal pengakuan bunga implisit atau hipotesis. Hanya dalam hal ini, bunga di
anggap sebagai pendapatan yang hilang karena dana di gunakan untuk
pembangunan sarana fisis.

Rangkuman

Asset merupakan elemen neraca pembentuk informasi semantik berupa


posisi keuangan dan merepresentasi potensi jasa fisis dan nonfisis yang
memampukan badan usaha untuk menyediakan barang dan jasa. Secara resmi
asset di devinisi sebagai manfaat ekonomik masa datang yang ckup pasti yang
dikuasai oleh suatu intintasn sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
Manfaat ekenomik asset ditunjukkan oleh potensi jasa atau utilitas yang
melengkat padanya yaitu suatu daya atau kapasitas langka yang dapat
dimanfaatkan kesatuaan usaha dalam upayanya untuk mendatangkan pendapatan
melalui kegiatan ekonomik konsumsi, produksi, dan pertukaran.
Atas dasar konsep substansi dalam pada bentuk, suatu obyek cukup
dikuasai dan tidak perlu dimiliki oleh kesatuan usaha untuk dapat disebut sebagai
asset kesatuan usaha. Penguasaan dapat diperoleh melaui pembelian, pemberian,
penemuan, perjanjian, produksi, penjualan, pertukaran, peminjaman, penjaminan
dan berbagai transaksi komersial lainnya.

Penguasaan harus didahului transaksi atau kejadian ekonomik, bahwa


asset harus timbul akibat transaksi atau kejadian masa lalu adalah criteria untuk
memenuhi devinisi tetapi bukan criteria untuk pengakuan. Manfaat ekonomik dan
penguasaan atau hak atas manfaat saja tidak cukup untuk memasukan obyek ke
dalam asset kesatuan usaha untuk dilaporkan ke via statement keuangan (neraca).
Criteria pengakuan yang lain harus di penuhi (keteradalan, keberpautan dan
keterukuran). Jadi, devinisi asset harus dibedahkan dengan pengakuan asset.
Devinisi hanya merupakan salah satu criteria pengakuan.
Beberapa karakteristik merupakan pendukung yang meyakinkan adanya
asset. Karakteristik tersebut adalah melibatkan kos, berwujud, tertukarkan,
terpisahkan, dan penegasan atau kekuatan secara legal. Karakteristik pendukung
tersebut lebih menguatkan atau meyakinkan adanya asset, tetapi tidak harus
dipenuhi untuk memasukan suatu obyek sebagai asset.
Dengan konsep kontituitas usaha, pos atau sumber ekonomik akan
mengalami tiga tahap perlakuan sejalan dengan aliran fisis kegiatan usaha yaitu
tahap pemerolehan, pengololahan (prosesing), dan penjualan/penyerahan objek
harus direpsentasi dalam kos sehingga hubungan antarobjek bermakna sebagai
informasi. Kos merupakan representasi kuantatif suatu obyek. Oleh karena, kos
juga mengalami tiap tahap perlakuan akuntansi mengikuti aliran fisis yaitu :
pengukuran (measurement), penelurusan (trancing), dan pembebanan (charging).
Criteria manfaat masa datang yang cukup pasti dalam definisi asset
menjadikan terjadinya pengeluaran yang menjadi kos mengalami masalah teknis
yaitu dicatat sebagai asset atau biaya. Kalau tia dicatat sebagai asset, tia
dikategori menjadi pengeluaran untuk kapital (capital expenditures) sedangakan
kalau tia dicatat sebagai biaya, tia dikategor sebagai pengeluaran untuk
pendapatan (revenue expendure). Walaupun secara teknis kos dapat di catat
sebagai biaya, secara konseptual dianggap bahwa tia telah dicatat sebagai asset
meskipun sekejap. Artinya, dianggap kos dicatat sebagai asset dan pada saat yang
sama langsung dipindah ke biaya. Karena hal ini lah makna kos, biaya, dan asset
sering dirancukan.
Penentuan kos suatu objek pada saat pemorelahan merupakan hal yang
sangat kritis karena penentuan ini akan mempengaruhi pengukuran asset dan
biaya selajutnya khususnya pada tahap pembebanan. Pengukur asset pada saat
pemerolehan yang paling objektif adalah penghargaan sepakatan. Penghargaan
sepakatan merupakan estimator terbaik nilai sebenarnya (true value). penghargaan
sepakatan menghindari adanya transaksi sepihak dan menjamin bawa kos
merupakan nilai wajar pada saat transaksi.
Pengakuan dan penyajian asset biasanya ditentukan dalam standart
akuntansi yang mengatur tiap pos asset. Masalah akuntansi yang menyangkut
pengakuan biasanya berkaitan dengan masalah apakah suatu kos atau jumlah
rupiah yang terlibat dalam transaksi, kejadian, atau keadaan tertentu dapat
diassetkan. Hal ini biasanya berkaitan dengan antara lain sewa guna, bunga
selama masa konstruksi asset tetap, riset dan pengembangan, eksplorasi minyak
dan gas bumi, rugi selisih kurs valuta asing, dan sumber daya manusia.

Anda mungkin juga menyukai