Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Yogyakarta merupakan kota pelajar yang banyak diminati oleh para remaja diluar
daerah sana serta para orang tua sangat menyarankan kepada anaknya untuk menimba ilmu
dikota ini. Pada dasarnya perkembangan masyarakat di daerah Yogyakarta cukup bervariasi
tiap kabupaten. Pada kesempatan kali ini akan membahas secara umum mengenai tantangan
yang dihadapi serta solusi antar generasi. Ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku
masyrakat di Yogyakarta untuk sekarang ini. Dalam hal ini akan membahas tantangan remaja
terlebih dahulu untuk menghadapi pengaruh negatif yang sekarang lagi trend dikalangan
masyarakat. Tantangan untuk menghindari dari perbuatan yang buruk dapat berasal dari
lingkungan bermain mereka atau dari keluarga sendiri. Faktor internal berasal dari keluarga
dan faktor eksternal yang memengaruhi sikap remeja berasal dari luar lingkungan keluarga
yang orang tua sulit mengawasinya. Dampak dari salahnya arah pergaulan pada remaja dapat
berakibat pada meningkatnya jumlah kriminalitas. Banyak kasus yang terjadi di Yogyakarta
terkait penurunan moral yang ada di masyarakat. Yogyakarta terkenal dengan keramahan
masyarakatnya serta sikap yang lemah lembut pada masa lalu, akan tetapi berbeda halnya
dengan waktu sekarang ini yang semakin lunturnya sikap dan perilaku tersebut. Fakta yang
terjadi di lapangan atau yang sedang trend dikalangan remaja kota ini adalah klitih dan
vandalism. Klitih adalah menyerang seseorang tanpa mengetahui siapa korbannya dan pergi
meninggalkan tanpa ada rasa bersalah. Pada waktu klitih remaja akan sering mengumpat dan
memancing emosi yang berada didekatnya sehingga akan memicu terjadi perkelahian.
Vandalism sangat populer di kota ini karena dapat dilihat pada dinding-dinding bangunan
sekitar kota yang penuh dengan coretan-coretan tidak bertanggung jawab. Kenakalan remaja
tersebut tidak dapat ditoleransi karena berpotensi menimbulkan masalah yang besar di dalam
masyarakat dan berujung pada ancaman pidana. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh
Indati dan Ekowarni (2006) disebutkan bahwa anak remaja Jawa sering tidak paham tentang
aturan atau nilai-nilai budaya Jawa. Banyaknya aktivitas remaja yang lebih condong ke arah
yang negatif membuat para orang tua merasa khawatir dengan keselamatannya pada saat
keluar dari rumah. Dalam hal ini sangat merugikan antara pihak orang tua dengan anaknya.
Awal mula terjadinya yaitu pada saat para remaja nongkrong atau kumpul di sebuah warung.
Entah apa yang terbesit didalam pikiran mereka sehingga ingin melakukan perbuatan tercela
tersebut. Para ahli mengamati bahwa mereka terkena pengaruh dari senior mereka serta

1
tontonan film yang sering ditayangkan pada hari ini.
Berdasarkan data yang tercatat pada tahun 2017 (Januari sampai Maret) sudah terjadi
22 kasus klithih yang melibatkan 43 pelaku, 15 diantaranya berasal dari keluarga bercerai, 4
orang anak kost yang jauh dari rengkuhan orang tua, dan sejumlah yang lain berasal dari orang
tua LDR karena pekerjaan dan sebab lainnya. jumlah klithih tahun 2016 dengan trimester
pertama tahun 2017 terdapat peningkatan yang signifikan (42/tahun dan 22/trimester), yang
tidak bergeser adalah penyebabnya yakni ketahanan dan keharmonisan keluarga yang rendah.
Kenakalan remaja yang merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial dapat
dikelompokkan dalam satu kelas defektif secara sosial dan mempunyai sebab-musabab yang
majemuk; jadi sifatnya multi-kausal.
Santrock (1999) menyebutkan bahwa remaja sebagai masa periode perkembangan dari
anak- anak ke masa dewasa awal, mulai pada usia 10 sampai 12 tahun dan berakhir pada usia
18 sam- pai 22 tahun. Remaja dimulai dengan perubahan sik secara cepat pada tinggi dan berat,
perubahan bentuk tubuh dan karakteristik perubahan seksual, perkembangan bentuk dada, bulu
rambut, dan suara. Menurut WHO batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja.WHO
tersebut terutama didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut berlaku
juga untuk remaja pria. WHO membagi kurun usia dalam dua bagian, yaitu remaja awal 10-14
tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.
Pengaruh dari perubahan-perubahan sik tersebut, hingga mempengaruhi pada perkembangan
pada aspek lain, yaitu:
a. Perkembangan emosi
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosional yang tinggi.
Pertumbuhan serta organ-organ seksual memengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-
perasaan dan dorongan-dorongan baru yang dialami sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu,
dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis.
b. Perkembangan Sosial
Masa remaja berkembang “social cognition” yaitu kemampuan untuk memahami orang lain.
Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat
peribadi, minat nilai-nilai maupun perasaan. Pemahamannya ini, mendorong remaja untuk
menjalin hubungan sosial yang lebih akrap dengan mereka (terutama teman sebaya),baik
melalui jalinan persahabatan maupun percintan (pacaran). Dalam hubun- gan persahabatan,
remaja memilih teman yang memiliki kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya,
baik menyangkut, sikap, nilai, dan kepribadian. 


2
c. Perkembangan moral
Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya, atau orang
dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia
anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas
seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan. 

d. Perkembangan kepribadian
Sifat-sifat kepribadian mencerminkan perkembangan sik, seksual, emosional, sosial, kognitif,
dan nilai-nilai. Masa remaja merupakan saat berkembangnya jati diri. Perkembangan “identity”
merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa. Dapat
juga dikatakan sebagai aspek sentral bagi kepribadian yag sehat yang memberikan kesadaran
diri. Kemampuan mengidentifikasi orang lain dan mempelajari tujuan-tujuan agar dapat
berpartisipasi dalam kebudayaannya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Perubahan apa saja yang dihadapi remaja di Yogyakarta?
2. Bagaimana cara generasi muda dalam menghadapi perubahan kebudayaan di Yogyakarta?
3. Siapa saja pihak yang bertanggung jawab atas perubahan kebudayaan pada remaja di
Yogyakarta?

1.3 Tujuan penulisan


1. Mengungkapkan pentingnya arti berbudaya Yogyakarta
2. Menjelaskan dampak perubahan budaya pada remaja
3. Mengendalikan peruubahan sikap pada remaja

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Nilai Budaya Jawa


Pengertian Nilai Budaya Jawa berdasarkan pemahaman kebudayaan menurut
Koentjaraningrat (1985), maka dapat diartikan bahwa kebudayaan Jawa merupakan gagasan
ataupun konsep mengenai apa saja yang hidup dalam alam pikiran, sebagian besar dari
masyarakat mengenai hal yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga
dapat berfungsi sebagai suatu pedoman hidup bagi masyarakat Jawa. Sistem nilai budaya
merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Hal ini disebabkan
nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai,
berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang
memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi
(Koentjaraningrat,1985). Fungsi Nilai Budaya Jawa pada masyarakat Jawa, kebudayaan atau
nilai budaya memiliki fungsi sebagai pengarah dan pendorong bagi kelakuan manusia,
memengaruhi pilihan makna dan perilaku. Fungsi ini dicapai dengan menjabarkannya menjadi
tata aturan yang lebih konkrit yaitu norma positif maupun norma negatif, sebagian besar nilai
ditaati karena kebenarannya telah menjadi keyakinan individu.
2.2.Perkembangan budaya dan perilaku di Pulau Jawa
Hubungan antara nilai budaya Jawa dengan perilaku nakal pada remaja Jawa adalah
antara nilai penting yaitu nilai budaya dan sikap memiliki keterkaitan erat, yakni nilai adalah
konsep dasar mengenai apa yang dipandang sebagai baik dan diinginkan (Azwar, 2005).
Monghaddam dan Studer (Utama, 2003) menyatakan budaya menentukan perilaku yang
dianggap tepat tentang bagaimana seharusnya seseorang berperilaku. Nilai kebudayaan yang
diperoleh dari proses belajar menghasilkan sikap dan perilaku tertentu dalam menjalaninya.
Kebudayaan mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia (Soekanto, 1990). Prinsip
yang mengarahkan perilaku ini dikenal dengan istilah value atau nilai. Rokeach (Muniarti dan
Beatrix, 2000) mendefinisikan nilai sebagai tujuan yang diharapkan seseorang, berfungsi
sebagai prinsip yang mengarahkan perilaku, dan memiliki derajat kepentingan yang berbeda-
beda. Dalam pandangan Moghaddam dan Studer (Utama, 2003) perilaku manusia bukan dilihat
dari hubungan sebab akibat melainkan dari keterkaitan normatif manusia dan lingkungan
sekitarnya. Budaya menentukan perilaku yang dianggap tepat tentang bagaimana seharusnya
seseorang berperilaku.

4
Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang dahulunya sangat kental
dengan budayanya. Tiap orang menjunjung tinggi harkat martabat dan menghormati hak-hak
orang lain. Sikap yang ditonjolkan adalah lemah lembut dan cenderung menhindari konflik.
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi yang
beriringan dengan modernisasi menyebar ke seluruh penjuru dunia sebagai proses yang tak
terelakkan. Globalisasi yang didorong oleh teknologi informasi komunikasi sedang
memerankan sebuah revolusi sosial yang merasuki semua sudut kehidupan. Ia mengaburkan
batas-batas tradisional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan, merombak struktur
dunia usaha, mendorong pemaknaan ulang perdagangan dan investasi, kesehatan, hiburan,
pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antarmasyarakat dan
antarindividu. Inilah tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu di seluruh dunia
(Justiani, 2009).
Kekhawatiran masyarakat Yogyakarta terkait dengan meningkatnya kriminalitas yang
dilakukan oleh remaja. Perlunya penanganan yang serius agar tidak semakin parah kondisinya,
terbukti pada operasi yang dilakukan pihak kepolisian dalam menangani kejadian tawuran,
klitih, dan vandalism. Hal tersebut dilakukan oleh remaja yang seharusnya sibuk menimba ilmu
atau membantu orang tuanya. Misal saja pada kasus yang sering dilakukan remaja adalah klitih,
klitih merupakan hal yang trend dilakukan remaja akhir-akhir. Ada perasaan bangga melakukan
klitih. Perilaku klitih sebagaimana namanya acap kali tidak memiliki motivasi yang mendasar.
Meskipun begitu akibatnya sering tidak terduga duga. Akhir tahun 2016 satu nyawa melayang,
lalu pada tahun ini satu nyawa menyusul kealam baka. Penyebab perkelahian yang
mengakibatkan kematian itupun bukan perkara besar yang pantas dibela dengan nyawa. Sejauh
dilaporkan oleh media massa penyebabnya seringkalihanya karena saling pandang, saling
melotot, saling melirik, saling menghina dan bahkan hanya karena saling “blayer” (menggeber-
geberkan gas sepeda motor). Harga nyawa remaja di Jogja mengalami inflasi parah beberapa
tahun belakangan, solidaritas memudar, bahkan dilihat dari segi kemanusiaan melemah.
Kehidupan tidak lagi sesuatu yang dipentingkan. Apresiasi remaja terhadap kehidupan
memudar. Orang tua perlu tahu jawabannya, mengapa anak-anak kita menjadi sedemikian
brutal dan tidak terkendali.
2.3.Ketahanan Keluarga
Keluarga adalah unit paling dasar dari sebuah lingkungan sosial. Ketahanan keluarga
menjadi sangat penting bagi kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, terkait ketahanan keluarga
menjadi penting dalam penanganan klithih. Topik-topik yang sering muncul dalam
perbincangan tentang ketahanan keluarga adalah rasa saling mencintai, rasa saling

5
menghormati, saling komitmen satu dengan yang lain dan rasa tanggungjawab. Bila kondisi
kondisi dasar tersebut terjadi di sebagian besar keluarga di Yogyakarta, maka ketahanan
keluarga dapat diharapkan menjadi obat yang mujarab dalam menangani fenomena klithih,
vandalisme, dan lain-lain.
Euis (2011) mencetuskan tiga komponen besar untuk menandai apakah sebuah
keluarga memiliki ketahanan yang cukup atau tidak. Ketiga indikator itu adalah indikator
ketahanan fisik, indikator ketahanan psikologis dan indikator ketahanan sosial.Pertama
indikator ketahanan fisik. Suatu keluarga dapat dikatakan memiliki ketahanan fisik yang bagus
ditandai dengan adanya salah satu anggota keuarganya mampu mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya yang diutamakan adalah seorang ayah. Dapat diasumsikan
bahwa keluarga tersebut mampu menghadapi situasi perubahan ekonomi yang sewaktu-waktu
dapat mengalami kenaikan atau lonjakan.
Indikator Ketahanan Psikologi adalah terbebasnya anggota keluarga dari pembiaran
dan gambaran diri yang kabur. Remaja yang mengalami pembiaran dan tidak memiliki
gambaran diri yang jelas akan mengembangkan potensi kenakalannya karena hal negatif
sangat mudah untuk memengaruhi pikiran remaja yang merasa paling benar. Seorang anak dari
sebuah keluarga banyak mengalami perasaan cemas, takut, marah, kecewa, putus harapan,
maka disinyalir peran keluarga untuk membantu keluar dari permasalah klithih ini akan sulit.
Sebaliknya keluarga keluarga yang sudah membebaskan diri dari perasaan perasaan tersebut
akan lebih mudah memberikan kontribusi untuk keluar dari masalah klithih ini.
Indikator Ketahanan sosial merujuk pada adanya partisipasi yang baik dari setiap
individu dalam kehidupan keluarga maupun di masyarakat. Peran sosial ini akan membangun
identitas sosial setiap individu.

6
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Budaya Jawa yang dahulu terknal dengan kesantunannya kini sudah menghilang
predikat tersebut. Klitih dan vandalisme semakin marak di kota pelajar ini. Yogyakarta
merasa dinodai karena ulah remaja yang tidak bertanggung jawab dan merasa bangga
melakukan tindakan tidak manusiawi tersebut. Menipisnya karakter budaya jawa serta
perilaku tidak terpuji dari remaja Yogyakarta merupakan sebuah cambuk bagi para orang
tua agar memerhatikan perilakunya setiap hari. Kejahatan klitih yang sering kali terdengar
ini adalah tren yang digemari para remaja. Tren tersebut mempunyai dampak yang sangat
buruk bagi dirinya sendiri ataun orang lain. Klitih dapat mengakibatkan kecelakaan bahkan
yang paling tragis adalah menghilangnya nyawa. Korban klitih merasa tidak mengetahui
apa kesalahannya. Tidak ada manfaatnya dan sangat merugikan bagi korban klitih. Sudah
seharusnya warga Yogyakarta menjunjung tinggi moral bermasyarakat dan menhindari
dari kejahatan maupun kriminalistas.

3.2. Saran
Saran penulis berdasarkan fenomena tersebut adalah semua lini harus bekerjasama
dalam memberantas kasus tersebut. Dari pihak kepolisian harus menangani kasus tersebut
secara serius dan tidak cuma menganggap masih anak-anak. Dalam hal ini yang paling dapat
mengendalikan para remaja adalah orang tua mereka masing-masing. Orang tua
memberikan pengarahan serta nasihat karena remaja tersebut masih kurag mampu berpikir
jangka panjang. Banyak cara yang bisa ditempuh yaitu dengan membangun komunikasi
secara intens kepada anak. Hubungan yang baik tersebut akan membentuk ikatan batin yang
kuat sehingga anak akan lebih mudah untuk dikendalikan. Pengawasan ketika anak pergi
bermain dengan teman-temanya, didalam kumpulan anak mungkin saja berpotensi untuk
melakukan tindakan yang tidak terpuji. Perlunya pendekatan secara bertahap agar anak
merasa nyaman untuk mencurahkan isi hatinya kepada orang tua. Hal ini orang tua sangat
diperlukan untuk mendampingi anak yang sedang memiliki masalah apa pun.ketahanan
keluarga adalag fondasi awal agar perilaku anak tidak menyimpang.

7
DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, S. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada


Sunarti, E. (2011) Ketahanan Keluaga: Lingkup, komponen dan indikator 2003. Ekonometrika
Dasar. Terjemahan Sumarno Zain. Jakarta: Erlangga.
Muniarti, J. & Beatrix, S (2000). Perbedaan Nilai Remaja Sekarang dengan Remaja Generasi
Sebelumnya. Jakarta. Jurnal Psikologi Sosial. No. 7. Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Utama, S,J. (2003). Psikologi Budaya (Cultural Psychology); Kritik dan Konstruksi
Pemikirannya. Yogyakarta. Jurnal Sukma. Vol.2. No.1. Universutas Sanata
Dharma

Anda mungkin juga menyukai