Oleh :
JIMI LUMANGKUN
21012200136
Saat ini generasi muda khususnya remaja zaman sekarang, telah digembleng berbagai disiplin ilmu. Hal itu tak
lain adalah persiapan mengemban tugas pembangungan pada masa yang akan datang, masa penyerahan tanggung jawab
dari generasi tua ke generasi muda. Sudah banyak generasi muda yang menyadari peranan dan tanggung jawabnya
terhadap negara. Pada umunya kenakalan remaja ini dilakukan oleh anak yang berumur antara 15-18 tahun. Masa
remaja anakn sekolah merupakan masa dimana sedang beralihnya masa anak-anak menuju masa kedewasaan.
Pada masa ini jiwa mereka masih labil dan mereka tidak memiliki pegangan yang pasti. Mereka berbuat sesuai
dengan pikiran dan nalar, perbuatan itu mereka lakukan dalam mencari jati diri mereka sebenarnya. Kenakalan remaja
itu harus diatasi, dicegah dan dikendalikan sedini mungkin agar tidak berkembang menjadi tindak kriminal yang lebih
besar yang dapat merugikan dirinya sendiri, lingkungan masyarakat dan masa depan bangsa. Masalah remaja sebagai
usia bermasalah. Setiap periode hidup manusia punya masalahnya sendiri-sendir, termasuk periode remaja. Remaja
seringkali sulit mengatasi masalah mereka. Perilaku menyimpang pada remaja anak sekolah sangat sulit untuk
ditentukan karena tidak semua orang menganut norma yang sama sehingga ada perbedaan mengenai apa yang
menyimpang dan tidak menyimpang. Orang yang dianggap menyimpang berarti melakukan perilaku menyimpang
terutama dikalangan pelajar atau siswa di suatu sekolah.
Menurut Kotter dan Hasket7 budaya adalah totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan
semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang
ditransmisikan bersama. Pengertian Budaya menurut Montago dan Dawson8 merupakan way of life, yaitu cara hidup
tertentu yang memancarkan identitas tertentu pula dari suatu bangsa. Kemudian Kotter dan Hasket mendefinisikan
kebudayaan secara formal sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni,
agama, kelembagaan dan segala hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.
membolos, membawa senjata tajam, merokok, berkelahi dan kebut-kebutan di jalan sampai pada
perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum, seperti
pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang dan tindak kekerasan
lainnya yang sering diberitakan di media masa.Sunarwiyati (dalam Purwandari 2011: 31) membagi kenakalan
remaja
Kemendiknas menerangkan bahwa dalam memperkuat pendidikan karakter yang bersumber dari agama,
pancasila, budaya, serta tujuan nasional pendidikan, ada 18 nilai karakter yaitu nilai religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan bertanggung jawab.
A. Metode Keteladanan
Metode keteladanan ialah sebuah metode pendidikan dengan melakukan pemberian contoh baik
terhadap peserta didik, baik di dalam bentuk ungkapan ataupun tindakan. (Nofiaturrahmah, 2014).
Senada dengan hal tersebut menurut Nasihin keteladanan pada pendidkan merupakan sebuah metode
yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses penyiapan dan pembentukan nilai moral,
spiritualitas dan etos peserta didik dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritualitas dan
etos sosial anak. Hal ini karena pendidik adalah figur terbaik dalam pandangan anak, yang sopan
santunnya, tindak tanduknya, disadari atau tidak akan ditiru anak didiknya. (Nashihin, 2015). Menelaah
dari pendapat diatas metode keteladanan dalam pembentukan karakter merupakan cara yang efektif
dalam mempersiapkan peserta didik dari segi akhlak, mental dan sosialnya. Karena dalam hal ini
peserta didik akan meniru baik akhlak, perkataan, perbuatan yang dicerminkan oleh seorang pendidik.
Tujuan penelitian adalah: (1) menguji dan menganalisis pengaruh Religiusitas terhadap keimanan dan akhlak dalam
keterlibatan siswa; (2) menguji dan menganalisis pengaruh dukungan orang tua terhadap keterlibatan siswa belajar; (3)
menguji dan menganalisis pengaruh pendidikan karakter terhadap keterlibatan siswa (4) menguji dan menganalisis
pengaruh kenakalan (5 ) dropout /surat pengatan atau pengunduran siswa di masa pandemi Covid 19.
Data pendidikan di atas dapat dikatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Disamping data mengenai
mutu pendidikan, data dan juga fakta yang tidak kalah penting adalah mengenai prestasi belajar siswa yang masih rendah.
Said (2008) menemukan prestasi belajar siswa di Indonesia tahun ajaran 2007-2008 belum memuaskan, karena secara total
daya serap siswa baru mencapai 60,93%, atau siswa yang mendapat nilai kurang dari 65 mencapai 39,07%. Sedangkan,
menurut Hasbullah (2005: 85) bahwa keberhasilan pembelajaran akan dicapai jika daya serap siswa sekurangkurangnya
mencapai 75% dari pelajaran pada kurikulum yang ada.
Semua nilai KMO lebih besar dari 0,5, berarti bahwa sampel telah memenuhi syarat kecukupan pengukuran sampel.
Selanjutnya dilihat dari nilai loading factor untuk variabel kemandirian belajar (X1) sejumlah 12 item, terdapat 11 item
valid karena loading factor memiliki nilai > 0,4 dan ada 1 item tidak valid. Variabel ketertarikan individual pada mapel
kimia (X2) semua item ( 6 item) nilai loading factor > 0,4, artinya semua item valid. Variabel dukungan orang tua (X3)
terdapat 11 item dari 13 item dinyatakan valid yakni nilai loading factor > 0,4 dan 2 item tidak valid. Variabel
keterlibatan siswa belajar (Y) sejumlah 13 item semuanya memiliki nilai loading factor > 0,4, artinya semua item valid.
(Z) Sejumlah item semuanya memiliki nilai loading factor >0,5 artinya semua item Valid.
Kemudian dilakukan Uji Normalitas data, dengan tujuan untuk menilai sebaran data, apakah sebaran data
tersebut berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji
normalitas diperoleh nilai Asymp.Sig (2-tailed) sebesar 0,200 > 0,05 artinya data berdistribusi normal.
Sampel penelitian sebanyak 200 orang atau lebih yakni siswa. SMK Negeri dikota Cilegon 2020/2021. Kuesioner
disebarkan kepada seluruh responden melalui aplikasi Google Form, dan seluruh kuesionair yang disebar kembali dan
dapat dianalisis. Dari 182 responden tersebut berjenis kelamin putri sebanyak 113 responden (62,09 %) dan
responden putra sebanyak 69 responden (37,91 %). Selanjutnya berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif dari
masing masing variable menunjukkan nilai rata rata (mean) nya relative tinggi. Secara rinci nilai mean variable
berurutan mean variable kemandirian belajar (X1)= 3,8; mean variable ketertarikan individu (X2)= 3,6; mean
variable dukungan orang tua (X3)= 3,7;; dan mean variable keterlibatan belajar (Y) sebesar 3,8. (Z) sebesar 3,6
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Berdasarkan hasil uji regresi sebagaimana terlihat dalam tabel 4 maka temuan penelitian sebagai berikut: Kemandirian
belajar berpengaruh positif terhadap keterlibatan siswa belajar (nilai signifikansi = 0,036 < 0,05 dan nilai β sebesar
0,255). Artinya semakin tinggi kemandirian belajar siswa semakin tinggi keterlibatan siswa belajar. Siswa yang memiliki
kemandirian belajar yang tinggi berkecenderungan memiliki intensitas belajar yang tinggi. Temuan hasil penelitian
mendukung temuan penelitian Herrmann (2013), yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif kemandirian belajar
terhadap keterlibatan siswa dalam belajar atau kenakalan siswa dakam belajar. Oleh karena itu, individu yang memiliki
kemandirian belajar yang tinggi dalam kegiatan belajar akan lebih cenderung memiliki intensitas keterlibatan belajar
yang tinggi pula. Adapun tujuan yang akan dicapai individu tersebut adalah keterlibatannya dalam belajar dan hasil dari
belajar itu sendiri dalam bentuk prestasi belajar.
Kemandirian merupakan suatu hal yang berperan penting dalam pembelajaran khususnya pembelajaran di masa
pandemic Covid 19 pada sekarang ini. Hal ini karena kemandirian belajar merupakan kemampuan siswa untuk
melakukan kegiatan belajar dengan dorongan sendiri dan tanpa paksaan dari siapapun. Senada dengan pendapat Bilda &
Fadillah (2020), yang menyatakan kemandirian belajar merupakan kemampuan seseorang dalam kegiatan proses
pembelajaran untuk mengoptimalkan dan mengatur semua bahan ajar dan sumber belajar secara tepat, efektif, dan
efisien. Kemandirian belajar berperan dalam peningkatan keterlibatan siswa belajar, sehingga perlu dikembangkan
kemandirian belajar siswa agar lebih maksimal. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar
berpengaruh positif dan signifikan terhadap keterlibatan siswa belajar pada siswa SMK.
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Ketertarikan individual pada pembelajaran disekolah berpengaruh positif terhadap keterlibatan siswa belajar (nilai
signifikansi = 0,006 < 0,05 dan nilai β sebesar 0,334). Artinya semakin tinggi ketertarikan individu, semakin tinggi
keterlibatan siswa belajar. Siswa yang memiliki ketertarikan individu belajar yang tinggi berkecenderungan memiliki
intensitas belajar yang tinggi. Hasil uji hipotesis di atas sesuai dengan penelitian Subramaniam (2009), bahwa
terdapat pengaruh positif ketertarikan individual terhadap keterlibatan siswa dalam belajar.
Pada masa pandemi Covid 19 pembelajaran dilaksanakan secara offline yang menyebabkan banyak siswa. Kesulitan
belajar itu dapat muncul karena karakteristik materi pelajaran sendiri yang sebagian Dukungan orang tua
berpengaruh positif terhadap keterlibatan siswa belajar (nilai signifikansi = 0,022 < 0,05 dan nilai β sebesar 1,373).
Artinya semakin tinggi dukungan orang tua semakin tinggi keterlibatan siswa belajar.
Siswa yang mendapat dukungan orang tua penuh berkecenderungan memiliki intensitas belajar yang tinggi. Temuan
hasil penelitian ini mendukung temuan (Shernoff et al., 2016; Din et al., 2016; Ansong et al., 2017; Hunt et al.,
2014).
1. Apakah ada pengaruh religiusitas terhadap kenakalan remaja pada murid SMK Kota Cilegon, Provinsi
Banten?
2. Berapa besar pengaruh (sumbangan efektif) religiusitas terhadap kenakalan remaja pada murid SMK Kota
Cilegon, Provinsi Banten?
3. Bagaimana gambaran kenakalan remaja pada murid SMK Kota Cilegon, Provinsi Banten?
4. Bagaimana gambaran religiusitas pada murid SMK Kota Cilegon, Provinsi Banten?
5. Apa yang dimaksud dengan kenakalan remaja di lingkungan sekolah
6. Faktor apa yang mejadi kenakalan remaja di lingkungan sekolah
7. Apa saja bentuk kenakalan remaja di lingkungan sekolah
8. Bagaimana cara mengatasi kenakalan remaja di lingkungan sekolah
9. Apa yang dimaksud dengan Religiusitas?
10.Faktor apa yang menjadi remaja menjadi religiusitas
2. Manfaat Praktis
c) Bagi Peneliti
d) Memberikan wawasan tambahan mengenai pengelola kinerja pendidik yang berkelanjutan menggunakan
pengembangan dalam dunia pendidikan di SMK.
e) Bagi Peneliti Selanjutnya
f) Sebagai referensi untuk dapat digunakan dan disempurnakan pada penelitian selanjutnya.
g) Bagi Inttitut Pendidikan
h) Sebagai sumbangan pengetahuan dari pemikiran tentang pengelolaan kinerja pendidik yang berkelanjutan
menggunakan pengembangan pendidikan di SMK Kota Cilegon.
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
BAB II
TINJAUAN TEORITIS DAN KERANGKA
PEMIKIRAN
Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat individu mencari kekuatan Allah dari sekitarnya yang dapat dijadikan
sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di dalam dasar hatinya, yaitu Allah.
Hawari (Mangunwijaya, 1982) mengungkapkan bahwa religiusitas adalah penghayatan keagamaan dan kedalaman rasa
kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci secara berulang-
ulang dan tekun. Religiusitas adalah segala sesuatu yang menunjuk dari pedoman religi yang telah dihayati oleh individu
serta memberikan kekuatan akan ketenangan, kebijaksanaan, dan pengelolaan terhadap diri individu maupun individu lain.
Thouless (2000), mengungkapkan bahwa religiusitas adalah suatu hubungan antara seorang hamba dengan sang
pemilik yang dirasakan dengan apa yang dipercayai sebagai mahkluk atau wujud yang lebih tinggi daripada manusia. Allah
menurutnya, adalah kebenaran pertama yang menyebabkan manusia terdorong untuk mengadakan reaksi yang penuh
hikmat dan sungguh-sungguh tanpa menggerutu atau menolaknya (Surutin, 2004).Berdasarkan definisi uraian di atas, maka
dapat di simpulkan bahwa religiusitas adalah segala pikiran dan tindakan yang dimiliki bersama oleh sekelompok individu
sebagai acuan dalam memberikan kerangka pengarahan hidup terhadap obyek yang ditaati dan diteladani kepada individu
baik secara anggota maupun secara berkelompok.
Segala pikiran dan tindakan tersebut meliputi ibadah yang dilakukan secara berulang-ulang (istiqomah), konsisten,
dan tanpa adanya suatu keterpaksaan dari individu lain yang dilandasi dengan rasa keikhlasan, rasa ketulusan, kepasrahan
diri, kerendahan diri, dan mengharap rahmat serta ridhonya ketika menghadap kepada sang pemilik.
Dimensi ritual (the ritualisticdimension) yaitumengukur sejauh mana seseorang melakukan kewajiban ritualnya dalam
agama yang dianut. Misalnya pergi ke tempat ibadah, berdoa secara pribadi, berpuasa, dan lain-lain. Dimensi ritual ini
merupakan perilaku keberagaman yang berupa peribadatan yang berbentuk upacara keagamaan. Pengertian lain
mengemukakan bahwa ritual merupakan sentiment secara tetap dan merupakan pengulangan sikap yang benar dan pasti.
Perilaku seperti ini dalam Islam dikenal dengan istilah mahdah yaitu meliputi shalat, puasa, haji, zakat, dan kegiatan
lain yang bersifat ritual.
Dimensi pengetahuan (the intellectualdimension) dimensi ini berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman
seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama
paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar- dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-
tradisi, dan Al-qur'an merupakan pedoman hidup sekaligus sumber ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat difahami bahwa
sumber ajaran Islam sangat penting agar religiusitas seseorang tidak sekedar atribut dan hanya sampai dataran simbolisme
ekstoterik. Maka, aspek dalam dimensi ini meliputi empat bidang yaitu, akidah, ibadah, akhlak, serta pengetahuan Al-
qur'an dan Hadist. Dimensi pengetahuan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai sesuatu meliputi
syarat bagi penerimaannya.
Dimensi konsekuensi (the consequential dimension) konsekuensi komitmen religiusitas berlainan dari keempat dimensi
yang sudah dibicarakan diatas. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik,
pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Dimensi ini berkaitan dengan kegiatan keagamaan untuk merealisasikan ajaran-ajaran dan lebih mengarah pada
hubungan manusia tersebut dengan sesamanya dalam sehari-hari yang berlandaskan pada etika dan spiritualitas agama
yang dianutnya. Pada hakekatnya, dimensi konsekuensi ini lebih dekat dengan aspek sosial. Yang meliputi ramah dan baik
terhadap orang lain, menolong sesama, dan menjaga lingkungan. (Ancok dan Suroso, 2005).Firmansyah (2011)
menyebutkan bahwa religiusitas merupakan konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur konatif,
perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku agama sebagai unsur kognitif. Jadi aspek religiusitas
merupakan integrasi dari pengetahuan, perasaan dan perilaku keagamaan dalam diri manusia.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa dimensi religiusitas meliputi keyakinan, praktek agama, ihsan dan
penghayatan, pengetahuan agama, serta pengalaman dan konsekuensi. Kelima dimensi ini merupakan satu kesatuan yang
saling terhubung satu sama lain dalam memahami religiusitas. Kelima dimensi tersebut juga cukup relevan dan mewakili
keterlibatan religiusitas pada setiap orang dan bisa diterapkan dalam sistem agama Islam untuk diuji cobakan dalam
rangka menyoroti lebih jauh kondisi religiusitas mahasiswa muslim dalam hal ini mengetahui, mengamati dan menganalisa
tentang kondisi religiusitas mahasiswa yang akan diteliti, maka akan diambil lima dimensi keberagamaan Glock dan Stark
sebagai skala untuk mengukur religiusitas mahasiswa (Ancok dan Suroso, 1994).
Sementara dalam sebuah laporan penelitian yang di terbitkan oleh Underwood (1999) menjelaskan 11 dimensi
religiusitas yaitu daily spiritual experiences, meaning, values, beliefs, forgiveness, private religious practices, religious
atau spiritual coping, religious support, commitment, organizational religiousness, religious preference
Daily spiritual experiences merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hal yang
transenden (Tuhan, sifatnya) dan persepsi interaksi dengan melibatkan transenden dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
daily spiritual experiences lebih mengarah kepada hal yang bersifat pengalaman individu dibandingkan dengan hal yang
kognitif, (Underwood, 1999). Persepsi “merupakan kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang
serta merta mengenai sesuatu” (Chaplin, 2008). Jadi, daily spiritual experiences merupakan kesadaran individu terhadap
sesuatu yang berkaitan dengan hal yang transenden, yang mampu memberikan pengaruh terhadap kehidupannya sehari-
hari. Meaning disebut dengan istilah kebermaknaan hidup. Adapun, meaning yang di maksud di sini adalah yang berkaitan
dengan religiusitas atau disebut religion-meaning yaitu sejauh mana religiusitas dapat menjadi tujuan hidupnya,
Pargament (Fetzer, 1999). Seseorang yang hidupnya dilandasi dengan religiusitas akan merasa bahwa dirinya mempunyai
tanggung jawab untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan berharga di hadapan Allah.
keinginan untuk hidup bermakna merupakan bagian penting dari karakteristik manusiawi, yang dapat menyebabkan gejala
fisik dan mental jika terhalangi atau tidak terpuaskan (Frankl, 1963 dalam Fetzer 1999).
Values, (Fetzer, 1999) yaitu menggambarkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama sebagai tujuan hidup, dan
norma-norma sebagai sarana untuk tujuan hidup tersebut. Para ahli yang lain menganggap bahwa values sebagai kriteria
yang digunakan orang untuk memilih dan membenarkan tindakan (William dan Kluckhohn dalam Fetzer, 1999). Aspek ini
menilai sejak mana perilaku individu mencerminkan ekspresi normatif atau religiusitas sebagai nilai tertinggi. Dengan
kata lain, values yang dimaksud adalah pengaruh religiusitas terhadap nilai-nilai dan norma-norma kehidupan. Nilai-nilai
tersebut mengajurkan tentang nilai religiusitas yang mendasarinya untuk saling menolong, melindungi, menjaga dan
sebagainya. John J. Macionis (1997) menyebutkan bahwa norma merupakan segala aturan, nilai-nilai, ketentuan-
ketentuan, dan harapan masyarakat yang memandu segala perilaku anggota masyarakat.
Beliefs, (Fetzer, 1999) merupakan sentral dari religiusitas. Beliefs merupakan keyakinan akan konsep-konsep yang
dibawa oleh suatu religiusitas. Dalam ajaran religiusitas, konsep beliefs dikenal dengan istilah rukun iman, yaitu: iman
kepada Allah, Malaikat, Kitab (Al-Qur’an), Rasul, hari akhir atau hari kiamat, takdir Qodho dan Qodar. Iman adalah
“ucapan dengan lisan serta dalam bertutur kata yang sopan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota tubuh,
meliputi baik dengan mulut maupun tangan” Tarmizi (Bakhri, 2011). Dari pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan
beliefs atau iman yaitu keyakinan yang diucapkan dengan lisan dengan bertutur kata yang sopan, dihayati dengan hati, dan
diamalkan dengan perilaku dan perbuatan, yang dimana proses iman tersebut akan menjadi kebijaksanaan seseorang
dalam menentukan suatu tindak keputusan dalam hal menilai sesuatu yang dirasa benar dan sesuatu yang dirasa salah.
Forgiveness, (Fetzer, 1999) mencakup lima dimensi, yaitu : pengakuan dosa atau kesalahan, yaitu melakukan
pengakuan atas kesalahan ataupun dosa yang telah diperbuat, baik kepada diri sendiri, sesama manusia maupun kepada
Allah. Menurut agama Islam, istilah pengakuan dosa lebih dikenal dengan istilah taubat. Merasa diampuni oleh Allah, yaitu
merasa bahwa Allah akan mengampuni kesalahan yang telah diperbuat dengan cara bertaubat hanya kepada Allah semata
bukan selain kepada Allah. Merasa dimaafkan oleh orang lain, yaitu merasa bahwa orang memberi maaf terhadap dirinya
yang pernah melakukan kesalahan.
Private religious practices, (Fetzer, 1999) merupakan perilaku religiusitas dalam praktik religiusitas yang meliputi
ibadah, mempelajari kitab, dan kegiatan- kegiatan lain untuk meningkatkan religiusitasnya. Ibadah merupakan perbuatan
untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan mengerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya.
Sedangkan mempelajari kitab disini berarti tidak hanya sekedar membaca Al-Qur’an, tetapi juga memahami kandungan atau
makna dari isi Al-Qur’an tersebut serta mengaplikasikan untuk diri sendiri di dalam menjalani kehidupan.
Religious coping atau spiritual coping, (Fetzer, 1999) merupakan coping stres dengan menggunakan pola dan metode
religious. Bentuk spiritual coping diantaranya berdoa, beribadah untuk menghilangkan stress dan depresi, mengaji dan
sebagainya. Pargament (1999) menjelaskan bahwa ada tiga jenis coping secara religious, yaitu deffering style, colaborative
style, dan self-directing style. Deferring style, yaitu meminta penyelesaian masalah kepada Allah saja, yaitu dengan cara
berdoa dan meyakini bahwa Allah akan menolong hamba-Nya yang sedang mengalami kesusahan agar diberikan kemudahan
dan perlindungan. Colaborative style, yaitu senantiasa berusaha untuk melakukan coping dengan cara meminta solusi
kepada Allah dan juga kepada individu lainnya. Self- directing style, yaitu individu bertanggung jawab sendiri dalam
menjalankan coping dan merefresh ulang dengan bersungguh-sungguh menjalankannya.
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Hubungan sosial antara individu dengan individu lain dalam religiusitas di sini dapat berupa pemberian bantuan, baik
itu dalam bentuk tenaga (fisik), pikiran (kognitif), afektif (kasih sayang), infak ataupun sekolah kepada individu yang
membutuhkan. Kemudian hubungan sosial antar individu dengan kelompok atau lembaga dalam religiusitas dapat berupa
pemberian zakat kepada kelompok mustahiq zakat. Commitment, (Fetzer, 1999) adalah seberapa jauh individu
mementingkan religiusitasnya, komitmen, serta berkontribusi kepada religiusitasnya. Komitmen dalam mementingkan
agamanya dapat di misalkan dengan kesungguhan individu untuk berusaha menerapkan keyakinan religiusitasnya yang di
anutnya ke dalam seluruh aspek kehidupan. Sedangkan kontribusi individu terhadap agamanya dapat berupa pemberian
sumbangan baik moril maupun materil demi siar religiusitasnya.
Organizational religiousness, (Fetzer, 1999) merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam
organisasi religiusitasnya yang ada di masyarakat dan beraktivitasnya di dalamnya. Dalam hal ini termasuk perilaku dan
sikap terhadap individu organisasi religiusitasnya misalkan, keaktifan seseorang untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan
organisasi religiusitas. Religious preference, (Fetzer, 1999) yaitu memandang sejauh mana individu membuat pilihan dalam
memilih religiusitasnya dan memastikan pilihan religiusitasnya tersebut, yang termasuk pandangan individu dalam memilih
religiusitasnya misalkan, merasa bangga ataupun nyaman atas agama yang dianutnya. Sedangkan yang termasuk ke dalam
individu memastikan pilihan religiusitasnya misalkan, dia merasa yakin bahwa religiusitas yang dianutnya akan
menyelamatkan kehidupannya kelak.
Bersikap lebih terbuka dan berwawasan lebih luas. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga
kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani. Sikap
keberagaman cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh
kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. Terlihat adanya hubungan
antara sikap religiusitas dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial sudah
berkembang.
Berdasarkan indikator yang telah diuraikan di atas, maka dapat di simpulkan bahwa indikator religiusitas adalah
mampu menerima kebenaran agama, selalu berperilaku dan berfikiran positif terhadap ajaran agama dan norma-norma
agama, tanggung jawab terhadap tingkat ketaatan beragama, bersikap lebih terbuka dan berwawasan lebih luas, bersikap
lebih kritis terhadap ajaran agama, sikap keberagaman terhadap tipe-tipe kepribadian masing-masing, saling keterkaitan
antara hubungan sikap religiusitas dengan kehidupan sosial.
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Religiusitas
Menurut Jalaluddin (2008) religiusitas bukan merupakan aspek psikis bersifat
instinktif, atau unsur bawaan yang siap pakai. Religiusitas juga mengalami proses
perkembangan dalam mencapai tingkat kematanganya. Religiusitas tidak luput
dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh
tersebut baik yang bersumber dalam diri seseorang maupun yang bersumber dari
faktor luar, faktor-faktor itu antra lain:
Tingkat usia adalah berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tingkat usia dengan kesadaran
beragama, meskipun tingkat usia bukan satu-satunya faktor penentu dalam kesadaran beragama seseorang. Kenyataan
ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada tingkat usia yang berbeda. Kepribadian adalah
sebagai identitas diri atau jati diri seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain
di luar dirinya. dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadian.
Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap aspek-aspek kejiwaan temasuk kesadaran beragama.
Kondisi kejiwaan adalah banyak kondisi kejiwaan yang tak wajar seperti schizophrenia, paranoia, maniac, dan infatile
autism. Tetapi yang penting dicermati adalah hubungannya dengan perkembangan kejiwaan agama. Sebab
bagaimanapun seseorang yang mengidap schizophrenia akan mengisolasi diri dari kehidupan sosial serta persepsinya
tentang agama akan dipengaruhi oleh halusinasi.
Lingkungan institusional yang berisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan guru sebagai pendidik serta
pergaulan antar sekolah dinilai berperan penting dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik
merupakan bagian dan pembentukan moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
Lingkungan masyarakat sepintas, bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan
hanya merupakan unsur pengaruh belaka. Tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang pengaruhnya lebih besar
dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk postif maupun negatif.
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yaitu
fanatisme dan ketaatan. Mengacu pada pendapat Erich Fromm (Jalaluddin 2008) bahwa katakter terbina melalui
asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut. Suatu tradisi keagamaan membuka
peluang bagi seorang mahasiswa untuk berhubungan dengan mahasiswa lainya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi
hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi).
.
Seperti pada media sosial instagram, dimana instagram menyediakan fasilitas yang dinamakan fanpage Islami yang
memuat berbagai hal yang berhubungan dengan ajaran agama, yang pada saat sekarang merupakan media yang dijadikan
oleh remaja khususnya mahasiswa untuk melakukan interaksi dengan Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan
karakter seseorang. Menurut Thouless (Ramayulis, 2002) faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas yaitu pengaruh
pendidikan atau pengajaran dari berbagai tekanan sosial (faktor sosial), berbagai pengalaman yang dialami oleh individu
dalam membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai keindahan, keselarasan, dan kebaikan dunia luar
(faktor alamiah), berbagai proses pemikiran verbal atau proses intelektual.
Pengaruh Pendidikan atau pengajaran dari berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial
dalam perkembangan sikap keagamaan, termasuk pendidikan dan pengajaran orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk
menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh lingkungan. Berbagai pengalaman yang dialami oleh
individu dalam membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai keindahan, keselarasan, dan kebaikan dunia
luar (faktor alamiah), adanya konflik moral (faktor moral) dan pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif). Faktor-
faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi terutama kebutuhan terhadap
keamanan, cinta, kasih, harga diri, dan ancaman kematian.
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas adalah Religiusitas
tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber
dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan
kondisi kejiwaan. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, lingkungan institusional, dan lingkungan
masyarakat. Ramayulis (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas ada empat meliputi pengaruh pendidikan atau
pengajaran dari berbagai tekanan sosial (faktor sosial), berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk
sikap keagamaan, faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan
berbagai proses pemikiran verbal atau proses intelektual.
.
Pada perguruan tinggi yang berbasis agama terdapat visi dan misi yaitu visinya menjadi universitas Islam yang
unggul dan kompetitif bertaraf internasional sedangkan misinya yaitu menyelenggarakan pendidikan ilmu- ilmu
keIslaman multidisipliner serta sains dan teknologi yang unggul dan berdaya saing, mengembangkan riset ilmu-ilmu
keIslaman multidisipliner serta sains dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, mengembangkan pola
pemberdayaan masyarakat yang religius berbasis riset. Ada fakultas yang menjadi dasar perkuliahan yaitu fakultas
adab dan humaniora, fakultas dakwah dan komunikasi, fakultas tarbiyah dan keguruan, fakultas usluhudin dan
filsafat, fakultas Syariah dan hokum, fakultas sains dan teknologi, fakultas ekonomi dan bisnis Islam, fakultas ilmu
sosial dan politik, fakultas psikologi. Slogannya yaitu building Character Qualities: for the Smart, Pious, Honorable
Nation
Dan terdapat pula 18 nilai-nilai karakter dalam perguruan tinggi berbasis agama yaitu religious, jujur, toleran, displin,
kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, berdaya ingin tahu, nasionalis, menghargai prestasi, bersahabat atau
komunikatif, cinta damai, cinta ilmu, peduli lingkungan dan sosial, bertanggung jawab, berpikir metakognitif. Di dalam
perguruan tinggi berbasis agama mayoritas mahasiswanya adalah lulusan dari pondok pesantren, sehingga mahasiswa di
tuntut untuk mengerti tentang nilai-nilai keIslaman seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan syariat Islam.
Semua nilai keIslaman ini mengendalikan seluruh kegiatan sehari-hari dikampus yang berbasis agama.
Misalnya kegiatan baca Al-Qur’an, sholat jum’at, kegiatan menjalankan puasa sunnah senin kamis, maupun beribadah
sunnah dan wajib. Serta kajian-kajian keagamaan yang sering diadakan oleh organisasi mahasiswa. Selain itu juga terdapat
mata kuliah berbasis agama yang wajib di ikuti oleh seluruh mahasiswa pada awal semester yang mengajarkan tentang
dasar-dasar agama Islam seperti mata kuliah Fiqih, Aqidah, akhlaq, Studi Islam, Bahasa arab, dsb. Adapun diantaranya laki-
laki yang memakai penampilan dengan berbusana Syar’I dan perempuan yang memakai penampilan dengan berbusana
hijab.
Dan terdapat pula 10 nilai-nilai karakter dalam perguruan tingi tidak berbasis agama yaitu religious dan toleran, jujur,
disiplin dan tanggung jawab, kerja keras dan menghargai prestasi, rasa ingin tahu, kreatif dan inovatif, mandiri,
demokratis, semangat kebangsaan dan cinta tanah air, kerja sama, peduli lingkungan sosial, dan budaya. Sedangkan pada
penampilan dalam berbusana hanya sedikit diantara laki-laki maupun perempuan yang memakai penampilan dengan
berbusana Syar’I dan sedikit diantara perempuan yang memakai penampilan dengan berbusana hijab. Misalnya kegiatan
baca Al-Qur’an, sholat jum’at, kegiatan menjalankan puasa sunnah senin kamis, maupun beribadah sunnah dan wajib
hanya sedikit diantaranya yang mengikuti kegiatan tersebut.
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Sedangkan pada perguruan tinggi yang tidak berbasis agama terdapat visi dan misi yaitu visinya terwujudnya program
studi sarjana psikologi yang unggul dan kompetitif, berbasis nilai dan karakter bangsa dalam penyelenggaraan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat pada Tahun 2035. Sedangkan misinya yaitu melaksanakan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang psikologi yang berbasis pada standar nasional dan
internasional, menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai moral, akademik, dan budaya, serta karakter bangsa Indonesia
dalam penyelenggaraan tri dharma perguruan tinggi, memberdayakan sumberdaya Program Studi serta menggalang
jejaring dengan institusi dalam negeri dan luar negeri untuk mengoptimalkan terselenggaranya tri dharma perguruan
tinggi.Ada fakultas yang menjadi dasar perkuliahan yaitu fakutas sosial dan ilmu politik, fakultas ekonomi, fakultas hukum,
fakultas Teknik, dan fakultas psikologi.
Dan terdapat pula 10 nilai-nilai karakter dalam perguruan tingi tidak berbasis agama yaitu religious dan toleran, jujur,
disiplin dan tanggung jawab, kerja keras dan menghargai prestasi, rasa ingin tahu, kreatif dan inovatif, mandiri,
demokratis, semangat kebangsaan dan cinta tanah air, kerja sama, peduli lingkungan sosial, dan budaya. Sedangkan pada
penampilan dalam berbusana hanya sedikit diantara laki-laki maupun perempuan yang memakai penampilan dengan
berbusana Syar’I dan sedikit diantara perempuan yang memakai penampilan dengan berbusana hijab. Misalnya kegiatan
baca Al-Qur’an, sholat jum’at, kegiatan menjalankan puasa sunnah senin kamis, maupun beribadah sunnah dan wajib
hanya sedikit diantaranya yang mengikuti kegiatan tersebut.
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Serta kajian-kajian keagamaan yang hanya satu atau dua kali diadakan oleh organisasi mahasiswa. Selain itu
juga terdapat mata kuliah berbasis agama yang wajib di ikuti oleh seluruh mahasiswa pada awal semester yang
mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam seperti Pendidikan agama Islam. Lalu seberapa besar tingkat
religiusitas antara perguruan tinggi yang berbasis agama dan perguruan tinggi yang tidak berbasis agama. Usaha
untuk mengatasi religiusitas itu sendiri yaitu bagaimana cara masing-masing perguruan tinggi yang bisa
mengendalikan tingkat religiusitas tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas baik yang bersumber dalam diri seseorang maupun yang
bersumber dari faktor luar, Menurut Jalaluddin (2008) religiusitas antra lain:
H0 : Tidak ada perbedaan tingkat religiusitas pada mahasiswa Islam perguruan tinggi berbasis
agama dan tidak berbasis agama
Ha : Ada perbedaan tingkat religiusitas pada mahasiswa Islam perguruan tinggi berbasis agama
dan tidak berbasis agama
Menurut Sudirman N. pendidikan adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan
yang lebih tinggi dalam arti mantap.3 Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk
memajukan budi pekerti, pikiran, dan jasmani anak agar selaras dengan alam dan masyarakatnya.4 Sedangkan secara
terminologi, pengertian pendidikan banyak sekali dimunculkan oleh para pemerhati/tokoh pendidikan, di antaranya:
Pertama, menurut Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.5
Setelah kita mengetahui esensi pendidikan secara umum, maka yang perlu diketahui selanjutnya adalah hakikat
karakter sehingga bisa ditemukan pengertian pendidikan karakter secara komprehensif.Istilah karakter digunakan secara
khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad 18, terminologi karakter mengacu pada pendekatan idealis
spiritualis yang juga yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif, dimana yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai
transenden yang dipercaya sebagai motivator dan dominisator sejarah baik bagi individu maupun bagi perubahan nasional.
Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter
diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang
pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral
contitution).
Sementara dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ‘karakter’ diartikan sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dangan yang lain, dan watak. Ki Hadjar Dewantara memandang karakter sebagai
watak atau budi pekerti. Menurutnya budi pekerti adalah bersatunya antara gerak fikiran, perasaan, dan kehendak atau
kemauan yang kemudian menimbulkan tenaga. Dari beberapa definisi karakter tersebut dapat disimpulkan secara ringkas
bahwa karakter adalah sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan
dinamis; sifat alami seseorang dalam merespons siruasi secara bermoral; watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbgai kebajikan, yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap dan bertindak; sifatnya jiwa manusia, mulai dari angan-angan sampai menjelma menjadi
tenaga.
Thomas Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara
bermoral yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab,
menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles,
bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona
menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the
good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan
pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.10
Menurut Khan pendidikan karakter adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya dan upaya secara sadar
dan terencana untuk mengarahkan anak didik. Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan yang mengarah pada
peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budi harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina
setiap menusiauntuk memiliki kompetensi intelektual, karakter, dan keterampilan menarik. Nilai-nilai pendidikan karakter
yang dapat dihayati dalam penelitian ini adalah religius, nasionalis, cerdas, tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, dan
arif, hormat dan santun, dermawan, suka menolong, gotong-royong, percaya diri, kerja keras, tangguh, kreatif,
kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi, solidaritas dan peduli.
Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal,
peduli, dan menginternalisasikan nilai-nilai sehingga peserta didik menjadi insan kamil. Pendidikan karakter juga dapat
diartikan sebagai suatu system penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesana, lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang sempurna. Penanaman nilai
pada warga sekolah maknanya bahwa pendidikan karakter baru akan efektif jika tidak hanya siswa, tetapi juga para guru,
kepala sekolah dan tenaga non-pendidik disekolah harus terlibat dalam pendidikan karakter.
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Tujuan Pendidikan Karakter
Pada dasarnya Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang
mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang,
sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai- nilai
karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan adalah pendidikan budi pekerti plus,
yaitu yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas
Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan
secara sistematis dan berkelanjutan
Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas, tidak hanya otaknya namun juga cerdas secara
emosi. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan
kecerdasan emosi, seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk
berhasil secara akademis. Hal ini sesuai dengan rumusan tujuan pendidikan nasional yang terdapat pada UUSPN No.20
tahun 2003 Bab 2 pasal 3: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.17
Dengan demikian, menurut penulis tujuan pendidikan karakter memiliki fokus pada pengembangan potensi peserta
didik secara keseluruhan, agar dapat menjadi individu yang siap menghadapi masa depan dan mampu survive mengatasi
tantangan zaman yang dinamis dengan perilaku-perilaku yang terpuji.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, peran keluarga, sekolah20 dan komunitas sangat menentukan pembangunan
karakter anak-anak untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Dengan menciptakan lingkungan yang kondusif,
anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat
berkembang secara optimal. Oleh karena itu diperlukan cara yang baik dalam membangun karakter seseorang. Salah satu
cara yang sangat baik adalah dengan menciptakan lingkungan yang kondusif. Untuk itu peran keluarga, sekolah dan
komunitas amat sangat menentukan pembangunan karakter anak-anak untuk kehidupan yang lebih baik di masa
mendatang.22
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Konsep Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013
Pada saat ini yang diperlukan adalah kurikulum pendidikan yang berbasis karakter; hal ini kemudian dijawab
pemerintah melalui Kemendikbud dengan mengimplementasikan kurikulum 2013 pada 15 juli 2013. Konsep pendidikan
karakter pada kurikulum 2013 bisa dilihat dari penyusunan kompetensi inti yang kemudian menjadi acuan untuk membuat
kompetensi dasar. Berikut adalah contoh Kompetensi inti yang digunakan dalam kurikulum 2013 pada mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam di kelas VII:
a) Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. Merupakan bentuk dan manifestasi karakter religius
b) Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun,
percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan
keberadaannya.
c) Memahami pengetahuan (faktual, konseptual dan procedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata Mencoba, mengolah, dan
menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah
abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah
dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.
d) Dari kompetensi inti tersebut bahwa kurikulum 2013 memang memberikan penekanan khusus pada pendidikan
karakter.
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Nilai-nilai Dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut)
yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang
pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar
tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun,
kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan
kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan.
Pendidikan karakter dianggap sebagai pendidikan nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan
nyata. Tampak di sini terdapat unsur pembentukan nilai tersebut dan sikap yang didasari pada pengetahuan untuk
melakukannya. Nilai-nilai itu merupakan nilai yang dapat membantu interaksi bersama orang lain secara lebih baik
(learning to live together). Nilai tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan, seperti hubungan dengan sesama (orang
lain, keluarga), diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, lingkungan dan Tuhan.23 Tentu saja dalam penanaman nilai
tersebut membutuhkan tiga aspek, baik kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Lebih lanjut, Kemendiknas melansir bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan
atau hukum, etika akademik, dan prinsip- prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan
menjadi lima, yaitu:
a)Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa
b)Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan diri sendiri
c)Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan sesama manusia
d)Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan lingkungan
e)Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan kebangsaan.
Setelah diketahui nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, tampak bahwa pendidikan karakter di Indonesia ingin
membangun individu yang berdaya guna secara integratif. Hal ini dapat terlihat dalam nilai-nilai yang diusung, yakni
meliputi nilai yang berhubungan dengan dimensi ketuhanan, diri sendiri dan juga orang lain.
Akhlak dipahami oleh banyak pakar dalam arti “kondisi kejiwaan yang menjadikan pemiliknya melakukan sesuatu
secara mudah, tidak memaksakan diri, bahkan melakukannya secara otomatis.” Apa yang dilakukan bisa merupakan
sesuatu yang baik, dan ketika itu ia dinilai memiliki akhlak karimah/mulia/terpuji, dan bisa juga sebaliknya, dan ketika itu
ia dinilai menyandang akhlak yang buruk. Baik dan buruk tersebut berdasar nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dimana
yang bersangkutan berada.
Bentuk jamak pada kata akhlak mengisyaratkan banyak hal yang dicakup olehnya. Secara garis besar dapat dikatakan
bahwa ia bukan saja aktifitas yang berkaitan dengan hubungan antar manusia tetapi juga hubungan manusia dengan Allah,
dengan lingkungan. Baik lingkungan maupun bukan, serta hubungan diri manusia secara pribadi. Di samping itu juga perlu
diingat bahwa Islam tidak hanya menuntut pemeluknya untuk bersikap baik terhadap pihak lain dalam bentuk lahiriah,
sebagaimana yang ditekankan oleh sementara moralis dalam hubungan antar-manusia, tetapi Islam menekankan perlunya
sikap lahiriah itu sesuai dengan sikap batiniah.
Pendidikan akhlak sebagaimana FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Miskawaih dan dikutip oleh Abudin Nata, merupakan upaya ke
arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari
seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kreteria benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada
Al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber tertinggi ajaran Islam. Dengan demikian maka pendidikan akhlak bisa dikatakan
sebagai pendidikan karakter dalam diskursus pendidikan Islam.
Telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti
Ibnu Miskawaih, Al-Qabisi, Ibn Sina, Al-Ghazali dan Al-Zarnuji, menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak
adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat
mulia Tuhan dalam kehidupan manusia. 28
“Usamah bin Zaid ra. berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Akan dihadapkan orang
yang berilmu pada hari kiamat, lalu keluarlah semua isi perutnya, lalu ia berputar-putar dengannya,
sebagaimana himar yang ber-putar-putar mengelilingi tempat tambatannya. Lalu penghuni neraka
disuruh mengelilinginya seraya bertanya: Apakah yang menimpamu? Dia menjawab: Saya pernah
menyuruh orang pada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak mengerjakan-nya, dan saya mencegah orang
dari kejahatan, tetapi saya sendiri yang mengerjakannya”.
(Muttafaq Alaih) 29
Dalam hadits riwayat Bukhori-Muslim di atas menguraikan bahwa pembentukan karakter yang didasari keteladanan akan
menuai kebaikan bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Pengertian kenakalan peserta didik, istilah kenakalan siswa merupakan penggunaan lain dari kenakalan anak/peserta
didik. Kenakalan siswa adalah tindakan seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum yang diketahui oleh
anakitu sendiri bahwa jika perbuatannya ini diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman.21 Sedangkan “remaja”
menurut Zakiah Daradjat, seorang pakar psikologi agama Islam, memaparkan: “Remaja adalah suatu
masa dari umur manusia, yang paling banyak mengalami perubahan, sehingga membawanya pindah dari masa anak-
anak menuju kepada masa dewasa. Perubahan-perubahan yang terjadi itu meliputi segala segi kehidupan manusia, yaitu
jasmani, rohani, pikiran, perasaan dan sosial.
Kekuatan dari dalam individu adalah kekuatan yang dibawa oleh anak sejak lahir, dari dirinya sendiri kelainan sejak
lahir (keturunan fisik maupun psikis), lemahnya kemampuan pengawasan diri, pondasi agama yang belum kokoh karena
disebut sebagai faktor dasar. Sedangkan kekuatan dari luar diriindividu disebut faktor lingkungan, baik dari benda mati
maupun benda hidup semuanya ikut serta membawa pengaruh bagi kelangsungan tingkah laku seseorang, dan pada
akhirnya lingkungan dipengaruhi dan diubah oleh manusia itu sendiri. Sehingga nyatalah antara manusia dan lingkungan
saling mempengaruhi.
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Kedua faktor di atas oleh H. Muh. Farozin dan Kartika Nur Fathiyah lebih memperjelas dengan mengelompokkan dua bagian
tersebut seperti :
1. Faktor internal ( dari dalam), potensi dasar yang mempengaruhi tingkah laku seseorang dari dalam dirinya ada dua
macam yaitu yang berwujud fisik dan psikis.
2. Fisik, kondisi fisik seorang sering diidentikkan dengan keadaan jasmani (tubuh) baik yang nampak berupa raut muka
panjang pendek lengan, besar kecil badan, maupun yang tidak tampak, misalnya susunan saraf, otak, kelenjar-kelenjar,
jenis darah dan tekanannya, sedikit banyaknya cairan dalam tubuh.
Kehidupan sehari-hari sangat nampak adanya perbedaan tingkah laku antara satu orang dengan yang lainnya disebabkan
postur tubuh mereka yang berbeda. Seseorang yang berusia sama apabila ingin meraih sesuatu memperlihatkan tingkah
laku yang berbeda, yang bertubuh tinggi dan panjang lengannya kemungkinan tidak perlu bantuan apa-apa untuk
mengambil buku di atas lemari, tetapi yang satunya dengan bentuk badan yang pendek akan mengambil kursi dan berdiri di
atasnya untuk mengambil buku.
variabel bebas adalah suatu variabel yang variasinya tergantung adalah variabel penelitian yang diukur untuk
mengetahui besarnya efekatau pengeruh variabel lain.
mempengaruhi variabel lain atau dapat dikatakan bahwa
Dalam penelitian ini sebagai variabel terikat adalah
variabel bebas adalah variabel yang pengaruhnya
kenakalan remaja.
terhadap variabel lain ingin diketahui. Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah religiusitas
1. Religiusitas
Religiusitas didefinisikan sebagai suatu keadaan gambaran dalam diri siswa dan siswi SMK di kota Cilegon yang
mendorong mereka untuk bertingkah laku (baik yang tampak maupun tak tampak) yang berupa penghayatan terhadap
nilai-nilai agama yang dianutnya tidak hanya secara ritual, tetapi juga terkandung keyakinan, pengalaman dan
pengamalan agama yang dianutnya. Religiusitas dalam penelitian ini tergambar dari derajat skor skala religiusitas
berdasarkan penggabungan beberapa dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Ancok dan Suroso dengan
berpandangan terhadap dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark serta dimensi religiusitas yang
dikemukakan oleh Allport dan Fetzer. Berdasarkan hasil penggabungan beberapa dimensi tersebut, didapatkan empat
dimensi yang dianggap telah mewakili religiusitas. Keempat dimensi tersebut yaitu :
a) Dimensi keyakinan (akidah islam)
b) Dimensi peribadatan (praktek agama) atau syariah
c) Dimensi pengamalan (akhlak)
d) Dimensi pengalaman atau penghayatan.
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BINABANGSA SERANG
Pada penelitian ini tidak melibatkan dimensi pengetahuan disebabkan dimensi pengetahuan dianggap kurang dapat
menggambarkan religiusitas yang ada dalam diri individu. Seperti yang diungkapkan oleh Glock & Stark (dalam Ancok dan
Suroso 1995: 78) menurutnya keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak
selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya,
atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit.
Keempat dimensi tersebut diturunkan menjadi indikator-indikator yang digunakan untuk membuat item skala religiusitas.
Semakin tinggi skor skala religiusitas maka semakin tinggi pula religiusitas yang ditunjukkan, semakin rendah skor skala
religiusitas maka semakin rendah pula religiusitas yang ditunjukkan.
Semakin tinggi skor angket perilaku kenakalan remaja maka semakin tinggi pula perilaku kenakalan remaja, semakin
rendah skor angket perilaku kenakalan remaja maka semakin rendah pula perilaku kenakalan remaja yang dilakukan.
Populasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah siswa yang tercatat dalam Jurnal Buku Sanksi sebagai siswa
yang memiliki perilaku kenakalan remaja dengan cara melanggar tata tertib sekolah yang berjumlah 100 siswa dari 500
siswa. Peneliti memperoleh data dengan melihat jurnal buku sanksi siswa. Data ini diambil pada bulan Januari-Maret
2023.
Alasan populasi penelitian diambil dari karena menurut pemaparan dari guru Bimbingan dan Konseling di SMK
tersebut, jumlah kenakalan siswa lebih banyak didominasi oleh siswa-siswi.
Pendapat ini diperkuat oleh Josselson (1980 dalam Desmita 2008: 212), menurutnya berada pada sub-Tahap
Differentiation yaitu tahap perkembangan identitas pada usia 12-15 tahun dengan karakteristik bahwa mereka
berbeda secara psikologis dari orang tuanya. Kesadaran ini sering membuat mereka mempertanyakan dan menolak
nilai-nilai dan nasehat-nasehat orang tuanya, sekalipun nilai-nilai dan nasehat tersebut masuk akal
Angket perilaku kenakalan remaja ini menggunakan empat alternatif pilihan jawaban terhadap item yang berupa
pertanyaan dengan kriteria jawaban (a) dengan skor 0; (b) dengan skor 1; (c) dengan skor 2; dan (d) dengan skor
3.Alternatif dari masing-masing indikator akan berbeda karena aspek-aspek tersebut memiliki standar frekuensi yang
berbeda-beda meskipun kriteria skoring pada setiap kode jawaban sama. Berikut adalah kriteria skoring perilaku
kenakalan remaja.
Tabel 3.3 Skoring Angket Perilaku Kenakalan Remaja