Oleh:
Juster Donal Sinaga, M.Pd
P. 2345
ABSTRAK
Kompetensi kemandirian bidang pribadi-sosial pada remaja menjadi salah
satu aspek perkembangan yang urgen dimiliki para remaja. Ketidaktercapaian
memiliki kemandirian bidang pribadi-sosial pada masa remaja akan berdampak
buruk pada usia selanjutnya. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan
tingkat kompetensi kemandirian bidang pribadi-sosial siswa SMP Pangudi Luhur
Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015, (2) mengidentifikasi item-item instrumen
Kompetensi Kemandirian Bidang Pribadi-Sosial yang masuk kategori rendah dan
sangat rendah untuk dijadikan dasar penyusunan topik-topik bimbingan pribadi-
sosial di SMP Pangudi Luhur Yogyakarta. Subjek penelitian adalah siswa kelas
VII, VIII, dan IX yang berjumlah 141 siswa. Instrumen penelitian yang digunakan
adalah Kuesioner Kompetensi Kemandirian Pribadi-Sosial Remaja yang disusun
berdasarkan standar kompetensi kemandirian ASCA Model, dengan nilai
reliabilitas 0.935. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan
kategorisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat
kompetensi kemandirian aspek pribadi-sosial siswa SMP Pangudi Luhur berada
pada kategori “mandiri”, dengan rincian 18 siswa (12,7%) berada pada kategori
sangat tinggi, 104 siswa (73,7%) berada pada kategori tinggi, sebanyak 19 siswa
(13.48) berada pada kategori sedang, dan tidak ada siswa yang berada pada
kategori rendah dan sangat rendah. Terdapat perbedaan tingkat kompetensi
kemandirian pada aspek pribadi-sosial antara kelas VII, VIII, dan IX. Tingkat
kompetensi kemandirian aspek pribadi-sosial siswa kelas VII lebih baik
dibangdingkan dengan siswa kelas VIII dan IX. Temuan lain adalah diidentifikasi
10 item instrument dengan skor terendah. Item-item instrument tersebut akan
dijadikan dasar penyusunan topic-topik bimbingan kelasikal bidang pribadi-sosial.
PENDAHULUAN
Masa remaja sebagai salah satu tahap dalam perkembangan manusia
merupakan tahap yang memiliki karakter tersendiri. Dalam proses berkembang
tersebut ada sejumlah faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor bawaan dan
1
lingkungan. Remaja adalah individu yang terentang pada perkembangan sejak
berakhir masa anak-anak sampai datangnya awal masa dewasa.
Remaja merupakan individu yang sedang berada dalam proses perkembangan
atau menjadi yaitu berkembang ke arah kematangan, kedewasaan, atau
kemandirian yang terkait dengan pemaknaan dirinya sebagai mahluk yang
berdimensi biopsikososiospritual. Dalam masa perkembangan para remaja
mengemban tugas-tugas perkembangan, yaitu seperangkat tugas pada periode
perkembangan tertentu yang harus diselesaikan dengan baik. Tugas
perkembangan bersumber dari: tuntutan masyarakat, sosial budaya, kematangan
fisik, dan norma agama. Tugas perkembangan remaja meliputi: kematangan hidup
religius, kematangan perilaku ertis, kematangan emosional, kematangan
intelektual, kesadaran tanggungjawab, peran sosial sebagai pria atau wanita,
penerimaan diri dan pengembanganya, kemandirian perilaku ekonomis, wawasan
dan persiapan karir, kematangan hubungan dengan teman sebaya, dan persiapan
diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga. Tugas-tugas perkembangan tersebut
merupakan penjabaran dari aspek-aspek perkembangan individu yang meliputi
perkembangan fisik, perkembangan bahasa, perkembangan intelektual,
perkembangan sosial, perkembangan emosi, perkembangan moral dan etika,
perkembangan kepribadian, dan perkembangan agama.
Secara psikologis masa remaja merupakan masa yang penuh potensi, vitalitas,
dan dinamis tetapi labil. Keberhasilan seorang remaja melalui masa remajanya
dipengaruhi oleh perubahan pola kehidupan keluarga, kondisi sosial-budaya-
ekonomi, dan pengaruh situasi global. Seorang remaja yang mampu melaksanakan
tugas-tugas perkembangannya dengan baik akan menjadi pribadi yang sehat dan
berkembang secara optimal. Pribadi yang sehat dan berkembang secara optimal
tampak dalam wujud perilaku dan prestasi yang dicapai para remaja.
Salah satu dimensi perkembangan remaja adalah dimensi perkembangang
pribadi-sosial. Yusuf (2006: 122) mengatakan, perkembangan sosial merupakan
pencapaian kematangan dalam hubungan sosial dan dapat juga dimaknai sebagai
proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral
2
dan tradisi; meleburkan diri menjadi satu kesatuan, saling berkomunikasi, dan
bekerja sama.
Pada usia remaja terdapat tugas perkembangan dan kompetensi pribadi-sosial
yang harus dimiliki remaja. Pada usia ini, remaja semestinya sudah memiliki
kompetensi: 1) pengetahuan, sikap dan keterampilan interpersonal untuk
membantu mereka memahami dan menghormati diri sendiri dan orang lain, dan 2)
mampu membuat keputusan menetapkan tujuan dan mengambil tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan. Namun, kompetensi kemandirian bidang
pribadi sosial pada beberapa remaja masih rendah. Bahkan sebaliknya, ada remaja
yang memiliki masalah dalam bidang pribasi- sosial. Masalah-masalah tersebut
berpotensi menghancurkan kehidupan remaja.
Fenomena remaja yang mengalami masalah pribadi dan sosial, misalnya
menjadi pelaku dan korban tawuran, menggunakan Narkoba, menjadi pelaku dan
korban bullying, menjadi pelaku dan korban begal, menjual diri sebagai pekerja
seks, dan berbagai masalah-pribadi lainnya, semakin mengkawatirkan. Angkanya
setiap tahun cenderung miningkat. Hampir setiap hari kasus kenakalan remaja
yang terjadi diberitakan di media-media, baik media massa maupun elektronik.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 180 remaja di Kabupaten Kudus
menunjukkan 94 % menyatakan pernah melakukan tindakan tidak menyenangkan
terhadap orang lain. Tindakan tidak menyenangkan yang paling sering dilakukan
adalah mengejek dan memberi julukan. Sasaran atau kepada siapa tindakan tidak
menyenangkan tersebut dilakukan adalah 50 % kepada teman sekelas, 16 % adik
kelas, 14 % kepada anak dari sekolah lain, 7 % kepada kakak kelas, 5 % kepada
guru dan 8 %. (Mahardayani, 2010). Penelitian lebih luas lagi dilakukan oleh
SEJIWA, Plan Indonesia dan Universitas Indonesia yang melibatkan sekitar 1233
orang siswa SD, SMP, dan SMA di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan kekerasan antarsiswa di tingkat SMP secara
berurutan terjadi di Yogyakarta (77.5%), Jakarta (61.1%), dan Surabaya (59.8%).
Kekerasan ditingkat SMA terbanyak terjadi di Jakarta (72.7%), diikuti Surabaya
(67.2%), dan terakhir Yogyakarta (63.8%) (www.Sejiwa.org).
3
Bertitik tolak dari latar belakang yang diuraikan di atas, perlu diperoleh
gambaran yang jelas dan valid tentang tingkat kompetensi kemandirian bidang
pribadi-sosial siswa SMP. Apakah gambaran tingkat kompetensi kemandirian
bidang pribadia-sosial siswa SMP merefleksikan keadaan remaja sekarang.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan Seberapa tinggi/rendah kompetensi
kemandirian bidang pribadi-sosial siswa SMP Pangudi Luhur Yogyakarta Tahun
Ajaran 2014/2015? Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi intem-item
instrumen yang intensitasnya rendah dalam membentuk kompetensi kemandirian
bidang pribadi-sosial siswa SMP Pangudi Luhur Yogyakarta.
KAJIAN PUSTKA
Standar Kompetensi Kemandirian merupakan capaian siswa melingkupi upaya
pengembangan dan mewujudkan potensi diri siswa secara penuh dalam aspek
pribadi, sosial, belajar dan karier. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Repubik Indonesia Nomor. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dijelaskan bahwa kompetesi
lulusan yang harus dicapai peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai
mata pelajaran. Dalam konteks bimbingan dan koseling standar kompetensi ini
dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di
dalamnya mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan
sebelas aspek perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek
perkembangan tersebut adalah: (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku
etis; (3) Kematangan emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung
jawab sosial; (6) Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; (8 ) Perilaku
kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan
karier; (10) Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan (11) Kesiapan diri
untuk menikah dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-masing
aspek perkembangan memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu:(1)
pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang aspek
dan tugas perkembangan/standar kompetensi yang harus dikuasai); (2) akomodasi
(memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan
4
[standar kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam
kehidupan sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan/standar kompetensi]
yang harus dikuasai).
Aspek perkembangan dan beserta dimensinya tampaknya sudah disusun
sedemikian rupa dengan mengikuti dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip,
kaidah-kaidah dan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai individu.
Berikut ini rumusan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
5
Aspek Tataran/Internalisasi Tujuan
No
Perkembangan Pengenalan Akomodasi Tindakan
perilaku ekonomis) dan konpetitif dalam konpetitif dalam dalam kehidupan sehari-
kehidupan sehari- kehidupan sehari-hari. hari.
hari.
Mengidentifikasi ragam
Mengekspresikan
Menyadari keragaman alternatif pekerjaan,
ragam pekerjaan,
nilai dan persyaratan dan pendidikan dan aktifitas
Wawasan dan pendidikan dan
9 aktivitas yang menuntut yang mengandung
kesiapan karier aktivitas dalam
pemenuhan kemampuan relevansi dengn
dengan kemampuan
tertentu kemampuan diri
diri
Mempelajari norma-
Menyadari keragaman Bekerja sama dengan
Kematangan norma pergaulan
latar belakang teman teman sebaya yang
10 hubungan dengan dengan teman sebaya
sebaya yang mendasari beragam latar
teman sebaya yang beragam latar
pergaulan belakangnya
belakangnya
7
Bimbingan pribadi-sosial merupakan proses bantuan untuk memfasilitasi
siswa agar mampu mengembangkan pemahaman dan keterampilan berinteraksi
sosial, serta memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Bimbingan
pribadi-sosial meliputi pengembangan: (a) pemahaman tentang keragaman suku
dan budaya; (b) sikap-sikap sosial (empati, altruis, toleransi, dan kooperasi); dan
(c) kemampuan berhubungan sosial secara positif (Yusuf, 2009).
Yusuf (2006) menjelaskan bahwa bimbingan pribadi-sosial diarahkan
untuk memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan individu
dalam menangani masalah-masalah dirinya. Bimbingan ini merupakan layanan
yang mengarah pada pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan
keunikan karakteristik pribadi serta ragam permasalahan yang dialami oleh
individu. Bimbingan pribadi-sosial diberikan dengan cara menciptakan
lingkungan yang kondusif, interaksi pendidikan yang akrab, mengembangkan
sistem pemahaman diri dan sikap-sikap yang positif, serta keterampilan-
keterampilan sosial yang tepat.
Prayitno (1997:66) mengatakan dalam konteks bimbingan pribadi-sosial,
bimbingan diarahkan untuk membantu siswa mengenal dan berhubungan dengan
lingkungan sosialnya yang dilandasi budi pekerti luhur, tanggungjawab
kemasyarakatan dan kenegaraan. Pokok-pokok bimbingan sosial meliputi: (a)
pemantapan kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tertulis secara efektif;
(b) pemantapan kemampuan menerima dan mengemukakan pendapat serta
berargumentasi secara dinamis dan produktif; (c) pemantapan kemampuan
bertingkahlaku dan berhubungan sosial, baik di rumah, di sekolah maupun di
masyarakat luas dengan menjunjung tinggi tata krama, sopan santun, serta nilai-
nilai agama, adat istiadat, hukum, ilmu dan kebiasaan yang berlaku; (d)
pemantapan hubungan yang dinamis, harmonis, dan produktif dengan teman
sebaya, baik di sekolah yang sama, di sekolah lain, di luar sekolah, maupun di
masyarakat pada umumnya; (e) pemantapan pemahaman tentang peraturan,
kondisi dan sekolah serta upaya pelaksanaannya secara dinamis dan
bertanggungjawab; serta (f) orientasi tentang hidup berkeluarga.
8
Bimbingan pribadi-sosial bertujuan untuk membantu siswa agar mampu
mengembangkan kompetensinya dalam hal sebagai berikut: (a) bersikap respek
(menghargai dan menghormati) terhadap orang lain; (b) memiliki rasa tanggung
jawab dan komitmen terhadap tugas, peran hidup dalam bersosialisasi; (c)
memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship); (d) memiliki
kemampuan berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal; (e) Memiliki
kemampuan untuk menyesuaikan diri (adjusment).
Secara spesifik tujuan bimbingan yang terkait dengan pribadi-sosial adalah
agar siswa atau peserta didik: (a) memiliki komitmen yang kuat dalam
mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya,
sekolah/madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya; (b)
memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling
menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing; (c) memiliki
pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang
menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta dan
mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut; (d)
memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik
yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis; (e)
memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain; (f)
memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat; (g) bersikap respek
terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan
martabat atau harga dirinya; (h) memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan
dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya; (i) memiliki
kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam
bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama
manusia; (j) memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik
bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain; dan (k) memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
Nurihsan dan Sudianto (2005:9) menyatakan tujuan bimbingan pribadi-
sosial pada akhirnya membantu individu dalam mencapai: (a) kebahagiaan hidup
9
pribadi sebagai mahluk Tuhan; (b) kehidupan yang produktif dan efektif dalam
masyarakat; (c) hidup bersama dengan individu-individu lain; dan (d) harmoni
antara cita-cita mereka dengan kemampuan yang dimilikinya.
Ditinjau dari sudut pandang bimbingan dan konseling komprehensif,
bimbingan pribadi-sosial diberikan melalui komponen layanan dasar atau
kurikulum bimbingan (guidance curriculum). Komponen layanan dasar
merupakan proses pemberian bantuan kepada seluruh konseli melalui kegiatan
penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau kelompok yang disajikan
secara sistematis dalam rangka mengembangkan perilaku jangka panjang sesuai
dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan (yang dituangkan sebagai standar
kompetensi kemandirian) yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan
memilih dan mengambil keputusan dalam menjalani kehidupannya. Layanan
dasar diharapkan dapat memfasilitasi peningkatan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan tertentu dalam diri siswa yang tepat dan sesuai dengan tahapan
perkembangannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, fokus perilaku yang dikembangkan
menyangkut aspek-aspek pribadi, sosial, belajar dan karir. Semua hal tersebut
berkaitan erat dengan upaya membantu konseli dalam mencapai tugas-tugas
perkembangannya sebagai standar kompetensi kemandirian. Materi layanan dasar
dirumuskan dan dikemas atas dasar standar kompetensi kemandirian antara lain
mencakup pengembangan: (a) self-esteem, (b) motivasi berprestasi, (c)
keterampilan pengambilan keputusan, (d) keterampilan pemecahan masalah, (f)
keterampilan hubungan antar pribadi atau berkomunikasi, (g) penyadaran
keragaman budaya, dan (h) perilaku bertanggung jawab. Hal-hal yang terkait
dengan perkembangan karir (terutama di tingkat SMP/SMA) mencakup
pengembangan: (a) fungsi agama bagi kehidupan, (b) pemantapan pilihan
program studi, (c) keterampilan kerja profesional, (d) kesiapan pribadi (fisik-
psikis, jasmaniah-rohaniah) dalam menghadapi pekerjaan, (e) perkembangan
dunia kerja, (f) iklim kehidupan dunia kerja, (g) cara melamar pekerjaan, (h)
kasus-kasus kriminalitas, (i) bahayanya perkelahian masal (tawuran), dan (j)
dampak pergaulan bebas.
10
Fungsi layanan bimbingan dalam bimbingan pribadi-sosial, seperti juga
fungsi bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut.
a. Fungsi Pemahaman
Fungsi pemahaman adalah fungsi bimbingan yang membantu peserta didik
(siswa) agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan
lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan
pemahaman tersebut, siswa diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya
secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan
konstruktif.
b. Fungsi Preventif
Fungsi preventif merupakan fungsi yang berkaitan dengan upaya guru
bimbingan dan konseling untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang
mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh
peserta didik. Melalui fungsi ini, guru bimbingan dan konseling memberikan
bimbingan kepada siswa tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau
kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan
adalah layanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah
yang perlu diinformasikan kepada para siswa dalam rangka mencegah terjadinya
tingkah laku yang tidak diharapkan, di antaranya: bahaya minuman keras,
merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
c. Fungsi Pengembangan
Fungsi pengembangan adalah fungsi bimbingan yang sifatnya lebih
proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Guru bimbingan dan konseling senantiasa
berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang
memfasilitasi perkembangan siswa. Guru bimbingan dan konseling dan personel
sekolah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama
merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan
berkesinambungan dalam upaya membantu siswa mencapai tugas-tugas
perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan adalah layanan
informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home
room, dan karyawisata.
11
d. Fungsi Perbaikan (Penyembuhan).
Fungsi perbaikan (penyembuhan) adalah fungsi bimbingan yang bersifat
kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada siswa
yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar,
maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial
teaching.
e. Fungsi Penyaluran
Fungsi penyaluran merupakan fungsi bimbingan dalam membantu siswa
memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan
penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-
ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, guru bimbingan dan
konseling perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar
lembaga pendidikan.
f. Fungsi Adaptasi/Penyesuaian
Fungsi adaptasi atau penyesuaian adalah fungsi bimbingan dalam
membantu siswa (siswa) agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan
lingkungannya secara dinamis dan konstruktif. Fungsi adaptasi atau penyesuaian
juga membantu para pelaksana pendidikan, kepala sekolah dan staf, konselor, dan
guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang
pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan siswa (siswa). Dengan
menggunakan informasi yang memadai mengenai siswa, guru bimbingan dan
konseling dapat membantu para guru dalam memperlakukan siswa secara tepat,
baik dalam memilih dan menyusun materi sekolah, memilih metode dan proses
pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan
kecepatan siswa.
Masa remaja atau masa adolesence merupakan masa transisi. Istilah
adolesecence tidak hanya sekedar individu tersebut sedang menuju usia dewasa
yang siap mengadakan reproduksi. Artinya tidak hanya melihat kematangan faktor
fisik tetapi mencakup kematangan mental, emosional, sosial (Hurlock, 2004: 206).
Usia remaja berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan
usia belasan yang tidak menyenangkan. Pada usia ini terjadi perubahan pada diri
12
remaja baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Harold Alberty (Makmun, 2003:
130) menyatakan bahwa periode masa remaja dapat didefinisikan secara umum
sebagai suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang
terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai datang awal masa
dewasa.
Piaget (Hurlock, 2004: 206) mengatakan bahwa secara psikologis, masa
remaja adalah usia individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia ketika
anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan
berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Saat
seorang remaja berintegrasi dalam masyarakat (dewasa) terjadi perubahan dalam
aspek efektif, dan perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual
yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai
integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri
khas yang umum dari periode perkembangan ini.
Dalam pemikiran Barat, remaja dipandang sebagaip proses transisi menuju
otonomi diri. Dalam masa ini muncul karakteristik tertentu seperti perilaku yang
tidak pantas, perubahan suasana hati, menantang adat-istiadat dan nilai-nilai
secara teratur. Sejumlah karakteristik remaja mengidentifikasi tahap
perkembangan remaja.
Erikson dalam studinya, melihat kehidupan remaja sebagai masa krisis
identitas (identity crisis). Artinya, serangkaian tahapan orang-orang muda harus
membentuk identitas yang koheren dan mengatasi rasa kehilangan identitas (difusi
identity). Remaja harus mengambil keputusan besar hari ini di hampir setiap
bidang kehidupan, dan masing-masing melibatkan krisis dan kebutuhan untuk
mengalahkan kehilangan identitas. Terdapat empat hal yang mempengaruhi sikap
ini. Pertama, takut keintiman, komitmen dan terlibat sepenuhnya dalam
hubungan pribadi yang erat, yang mengakibatkan hilangnya identitas diri dan
pribadi. Banyak remaja butuh waktu lama untuk bisa membangun hubungan
dengan orang lain sebelum mereka sepenuhnya percaya dalam relasi tersebut.
Kedua, kebutuhan untuk memerangi. Dalam hal ini remaja merasa sulit untuk
merencanakan masa depan. Ada ambivalensi atas kemungkinan masa depan yang
13
menjanjikan: di satu sisi percaya bahwa waktu yang akan membawa perubahan, di
sisi lain ada kecemasan pada perubahan tersebut. Ketiga, ada difusi industri, di
mana remaja merasa sulit untuk memanfaatkan sumber daya dengan cara yang
realistis, baik dalam pekerjaan praktis atau belajar. Ini adalah kondisi
ketidakberdayaan dan redundansi, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau
keasyikan dengan satu aktivitas tunggal dengan mengesampingkan semua yang
lain. Keempat, ada daya tarik untuk membentuk identitas negatif, yang
bertentangan dengan apa yang disukai oleh orang tua atau orang dewasa yang
signifikan. Keinginan untuk menentang proses menemukan identitas sejati. Hal ini
dinyatakan sebagai bantahan untuk membenci peran yang dianggap terhormat dan
tepat untuk keluarga atau komunitas.
Menurut Havighurts (Hurlock, 2004: 9) tugas perkembangan adalah tugas
yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan
individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa kearah
keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi, kalau
gagal melaksanakan tugas tersebut, akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan
kesulitan dalam menghadapai tugas-tugas berikutnya. Pada umumnya, tugas-
tugas perkembangan di setiap tahap perkembangan manusia muncul akibat dari
kematangan fisik, adanya tekanan-tekanan budaya dari masyarakat, dan nilai-nilai
dan aspirasi-aspirasi individual, yang muncul secara serempak.
Lebih lanjut Hurlock (2004:9) menjelaskan bahwa tugas perkembangan
mempuntau tujuan: 1) memberikan petunjuk bagi individu untuk mengetahuai
apa yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia-usia tertentu, 2)
memberikan motivasi kepada setiap individu untuk melakukan apa yang
diharapkan dari mereka oleh kelompok sosial pada usia tertentu sepanjang
kehidupan mereka, 3) menunjukkan kepada setiap individu apa yang mereka akan
hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dari mereka kalau sampai pada tingkat
perkembangan berikutnya.
Menurut Huvighurst (Hurlock, 2004: 10) ada 8 (delapan) tugas perkembangan
pada masa remaja, yaitu 1) mencapai hubungan baru dan yang lebih matang
dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, 2) mencapai peran sosial pria dan
14
wanita, 3) menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif,
4) mengharapakan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab, 5)
mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya,
6) mempersiapkan karier ekonomi, 7) mempersiapkan perkawinan dan keluarga,
dan 8) memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
perilaku mengembangan ideologi.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan tingkat
kompetensi kemandirian bidang pribadi-sosial yang dihadapi siswa SMP Pangudi
Luhur Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015. Populasi pada penelitian ini adalah
siswa SMP Pangudi Luhur Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015. Teknik
sampling yang digunakan adalah sampling purposive, yaitu penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010). Rincian subjek penelitian
sebagai mana tampak dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2: Jumlah Subjek Penelitian
No Kelas Jumlah
1 Kelas VII 34 siswa
2 Kelas VIII 67 siswa
3 Kelas IX 40 siswa
Total 141 siswa
15
dilakukan uji keterbacaan untuk memberi masukan kepada peneliti mengenai
gambaran kemudahkan atau kesulitan yang mungkin dialami populasi dan sempel
dalam memahami instrument penelitian yang diberikan. Uji keterbacaan dilakukan
kepada 2 (dua) siswa SMP kelas VIII. Berdasarkan uji keterbacaan, instrumen
dapat dipahami oleh subjek uji keterbacaan. Setelah uji keterbacaan, instrumen
kemudian diujicoba untuk mendapatkan koefisien validitas dan reliabilitas. Untuk
mendapatkan validitas instrument dilakukan validitas isi dan uji konsistensi
internal untuk menghasilkan koefisien korelasi item-total (rix).. Untuk komputasi
koefisien korelasi item-total digunakan korelasi Product Moment dari Pearson
(Azwar, 2005:59). Nilai koefisien reliabilitas instrument dihitung menggunakan
product moment. Nilai koefiesien relibilitas instrumen sebesar 0.935. Nilai
koefisien reliabilitas instrumen masuk dalam kategori sangat tinggi. Artinya,
instrument ini sangat terpercaya digunakan sebagai instrument penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan untuk mendapatkan gambaran tingkat
kompetensi kemandirian bidang pribadi-sosial yang dihadapi siswa SMP Pangudi
Luhur Tahun Ajaran 2014/2015 adalah pengkategorian menggunakan distribusi
normal dengan menghitung mean, rata-rata berdasarkan data teoritis. Norma
kategorisasi adalah sebagai berikut.
16
HASIL PENELTIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan data penelitian tingkat kompetensi kemandirian pribadi-sosial
siswa SMP Pangudi Luhur Yogyakarta dideskripsikan dalam bentuk tabel dan
grafik sebagai berikut.
Tabel 5: Deskripsi Tingkat Kompetensi Kemandirian Pribadi-Sosial Siswa
SMP Pangudi Luhur Yogyakarta
Kelas
Rentang Kelas IX Kelas VII Total
Kategori VIII
skor
f % f % f % f %
164-195 Sangat Tinggi 6 15.00 4 5.97 8 23.53 18 12.77
133-163 Tinggi 29 72.50 54 80.60 21 61.76 104 73.76
111-132 Sedang 5 12.50 9 13.43 5 14.71 19 13.48
70-110 Rendah 0 0.00 0 0 0 0 0 0
39-69 Sangat Rendah 0 0.00 0 0 0 0 0 0
40 67 34 141
17
Secara umum tingkat kompetensi kemandirian aspek pribadi-sosial siswa
SMP Pangudi Luhur Yogyakarta berada pada kategori “tinggi”, dan tidak ada
siswa yang tingkat kemandiriannya berada pada kategori “rendah” dan “sangat
rendah”. Artinya, siswa SMP Pangudi Luhur Yogyakarta memiliki
pengetahuan dan kesadaran pengembangan dan mewujudkan potensi diri
siswa secara penuh dalam aspek pribadi-sosial. Secara visual profil tingkat
kompetensi kemandirian aspek pribadi-sosial siswa SMP Pangudi Luhur
Yogyakarta Tahun Ajaran 2014/2015 ditampilkan dalam gambar di bawah ini.
18
Tabel 6: Sepuluh Butir Instrumen dengan Skor Terendah
No Nomor Item Skor
Item
1 Item 34 Saya mampu mengungkapkan perasaan yang sedang saya 488
alami
2 Item 21 Saya tidak memiliki solusi aternatif setiap kali saya 493
menghadapi masalah.
3 Item 28 Saya selalu berkomunikasi dengan orang lain dengan kata- 500
kata yang tidak menyakiti perasaan orang lain.
4 Item 25 Saya tidak tahu sama sekali bagaimana menerapkan 501
keterampilan mencari solusi atas masalah yang belum
terselesaikan dengan baik.
5 Item 23 Saya bingung kepada siapa saya meminta bantuan jika saya 502
menghadapi masalah.
6 Item 26 Saya tidak mengetahui situasi pertemanan seperti apa saja 504
yang mempengaruhi saya mengambil keputusan mengatasi
masalah.
7 Item 19 Saya memecahkan masalah tampa pertimbangan yang 505
matang.
8 Item 29 Saya mengenali nilai-nilai yang saya yakini dalam hidup saya. 507
21
meningkatkan kemandirian pada aspek pribadi-sosial, misalnya layanan
bimbingan kelompok berbasis experiential learning (Sinaga, 2013).
2. KESIMPULAN
Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Sebagian besar (73,7%) siswa SMP Pangudi Luhur Yogyakarta
memiliki kompetensi kemandirian aspek pribadi-sosial kategori
“tinggi”. Sebagian kecil (12,7%) berada pada kategori “sangat tinggi”,
dan 13,4% berada pada kategori “sedang”.
b. Terdapat perbedaan tingkat kompetensi kemandirian pada aspek
pribadi-sosial antara kelas VII, VIII, dan IX. Tingkat kompetensi
kemandirian aspek pribadi-sosial siswa kelas VII lebih baik
dibangdingkan dengan siswa kelas VIII dan IX.
c. Teridentifikasi sepuluh butir instrument dengan skor terendah yang
menunjukkan bahwa siswa SMP Pangudi Luhur Yogyakarta intensitas
kemandirian aspek pribadi-sosial rendah pada 10 butir instrument
tersebut. Sepuluh butir interumen tersebut kemudian dijadikan sebagai
dasar penyusunan topik-topik bimbingan yang bersifat prefentif untuk
meningkatkan kemandirian aspek pribadi-sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Ali & Asrori. (2009). Psikologi Remaja Pengembangan Peserta Didik. Edisi 6.
Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Aprilia, I. D. (2011). Pengembangan kemandirian remaja tuna rungu. [online].
Diakses dari http://file.upi.edu/ (diakses pada 10 April 2016).
ASCA. (2004). ASCA National Standards for Students. Alexandria: ASCA
ASCA. (2012). ASCA National Model, A Framework for School Counseling
Programs. Third Edition. Alexandria: ASCA
Barus, Gendon. (2012). Pengungkapan Masalah-masalah Sosiopsikologis Siswa
Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian, Vol. 15 No.2 Mei, 237-252.
22
Daddies & Smetana. (2006). Middle-Class African American Families,
Expectations for Adolescent Behavioral Autonomy. International Jurnal of
Behavioral Development, 29 (5), 371-381.
Hurlock, E. B. (1980). Developmental Psichology: A Life Span Approach. Alih
Bahasa (2004). Istiwidayanti dan Soedjarwo. Psikologi Perkembangan.
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kemendikbud RI. 2006. Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan
Dasar Dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud RI
Makmun, Abin Syamsyudin.(2003). Psikologi Kependidikan : Perangkat Sistem
Pengajaran Modul. Bandung:Rosda.
NN, (2009). Tawuran Antara Pelajar DKI Jakarta. (Online) Tersedia:
http://tawuran-kelompokbsi.blogspot.com. [7 April 2016].
NN. (2010). Penelitian Mengenai Kekerasan di Sekolah (2008). (Online)
Tersedia: http://sejiwa.org/penelitian-mengenai-kekerasan-di-sekolah-2008/.
[7 April 2016].
Permana, M. (2011). Program BK untuk Meningkatkan Kemandirian Siswa.
(Penelitian Pra-eksperimen terhadap Siswa kelas IX SMPN 3 Margahayu
Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi S1 FIP UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Prayitno, dkk. (1997). Pelayanan Bimbingan dan Konseling di SMP. Jakarta: PT.
Ikrar Mandiriabadi.
Rusmana, Nandang. (2009). Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah.
Bandung: Rizqi.
Sadiyah, Euis. (2008). Program Bimbingan Pribadi Sosial Untuk
Mengembangkan Kemandirian Siswa. Skripsi PPB FIP UPI Bandung:
Tidak diterbitkan.
Sinaga, Juster Donal. (2013). Efektivitas Program Bimbingan Pribadi-Sosial
Berbasis Experiential Learning untuk Meningkatkan Karakter Humanis
Siswa Sekolah Menengah Pertama. Widya Dharma, Jurnal Pendidikan, Vo.
25 (1), Oktober, 104-121.
Steinberg. (1993). Adolescence, Third Edition, New York: McGraw-Hill, Inc.
Sudianto Akur dan Juntika Nurihsan. (2005). Manajemen bimbingan dan
konseling di SMA kurikulum 2004. Jakarta: Grafindo.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Yusuf, Syamsu.(2009). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah (SLTP dan
SLTA). Bandung: Rizqi Press.
Yusuf, Syamsu. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:
Rosda.
23
Winkel, WS. (1997). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta:
Grasindo.
24