Dampak Industri Ekstraktif Pertambangan bagi Masyarakat Adat
Industri pertambangan kembali menggeliat sejalan dengan munculnya kebijakan
pemerintah terkait dibukanya keran ekspor bahan mentah pertambangan (PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi dan Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian). Terlepas dari persoalan pro dan kontra yang muncul dari berbagai kalangan terkait dengan kebijakan pemerintah tersebut, masyarakat hukum adat memberi sikap dan penilaian tersendiri berdasarkan penilaian secara objektif, tanpa menggabaikan sisi positif dan negatifnya kebijakan pemeritah tersebut. Pada akhirnya bagaimana sikap masyarakat hukum adat membuat penilaian sebagai kesimpulan akhir yang mewakili pendapat masyarakat hukum adat secara kolektif (masyarakat hukum adat sub suku Dayak Tobak Kalimantan Barat). 1. Pertama, dari perspektif ekonomi. Tidak dapat dipungkiri merosotnya berbagai komoditi utama di Kalimantan Barat berdampak besar bagi masyarakat hukum adat yang mengantungkan kehidupannya dari sektor pertanian dan perkebunan, yakni karet dan sawit. Kedua komoditi tersebut saat ini mengalami penurunan harga yang cukup signifikan (harga karet di Pontianak per Februari 2017 sebesar Rp 12.858/kg, sedangkan harga tandan buah segar per Februari 2017 sebesar Rp 1.250/kg). Kondisi ini berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat hukum adat di satu sisi, di sisi lain, harga barang dan kebutuhan lainnya semakin meningkat. Itu berarti bahwa secara mikro kebutuhan real masyarakat dan pendapatan masyarakat idak berbanding lurus. Kebijakan pemerintah untuk membuka keran ekspor bahan mentah tambang (orie) seakan bisa menjawab persoalan sebagian masyarakat hukum adat dalam jangka pendek, misalnya terkait dengan penyerapan tenaga kerja, rekognisi terkait dengan lahan tambang milik masyarakat, aktivitas ekonomi di sekitar perusahaan tambang. 2. Kedua, dari perspektif ekologis. Maraknya aktivitas penambangan di Kalimantan Barat baik yang berijin dan tidak berijin (baca : illegal) membawa dampak yang luar biasa terkait dengan lingkungan hidup (ruang tinggal dan ruang hidup) masyarakat hukum adat. Hal ini diperparah dengan tanpa adanya aktivitas reklamasi lahan secara berimbang dengan aktivitas penambangan. Dengan demikain, maka ruang tinggal dan ruang hidup masyarakat hukum adat akan terancam, bahkan dampak yang lebih parah lagi bisa menghancurkan struktur budaya dan struktur sosial masyarakat hukum adat secara masif. 3. Ketiga, perspektif religio magis. Tanah, hutan, lahan bagi masyarakat hukum adat dianggap sebagai “ibu”,”hidup” itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan mitologi masyarakat hukum adat terkait dengan “keberadaan” dan “ada”-nya mereka yang secara keseluruhan berhubungan dengan tanah, hutan dan lahan sekaigus juga dilihat sebagai “hidup” itu sendiri oleh karena mereka hidup dan dihidupi oleh tanah (yang menjadi ruang kediaman dan ruang hidup) bagi mereka masa lalu, kini dan akan datang. Jika tanah, hutan dan lahan yang mereka anggap sebagai “ibu” dan “hidup” itu sendiri bagi mereka rusak dan punah sebagai akibat berbagai aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan secara masif dan strutural, termasuk didalamnya aktivitas pertambangan yang tidak terkontrol (tanpa semleter), maka hidup mereka dan generasi mereka juga akan punah. 4. Keempat perspektif sosial. Hutan, tanah dan lahan merupakan “ruang” sosial bagi masyarakat hukum adat dalam membangun kehidupan komunitasnya. Kehidupan gotong royong (filosofi dan sendi kehidupan masyarakat hukum adat) tidak akan ada jika hutan, tanah dan lahan mereka hancur karena kehidupan mereka bertani, berkebun secara bergotong-royong tidak ada lagi akibat tanah, hutan dan lahan mereka telah rusak dan musnah. 5. Kelima, perspektif politis. Tanah, hutan dan lahan terhubung secara keseluruhan dengan wilayah adat. Aktivitas pertambangan tanpa kontrol (tanpa smelter) seperti yang terjadi saat ini karena lemahnya pengawasan dan sanksi (sanksi hanya bersifat administratif) akan akan mengancam eksistensi wilayah adat dan kepemimpinan adat. Padahal keberadaan masyarakat hukum adat diakui secara konstitusional (sepanjang masih ada dan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kepentingan nasional). Berdasarkan tinjauan dari berbagai perspektif tersebut, maka menurut hemat kami, masyarakat hukum adat sub suku Dayak Tobak Kalimantan Barat, bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan dibukanya keran ekspor bahan mentah pertambangan tanpa adanya smelter akan mempercepat kerusakan lingkungan hidup (ruang tinggal dan ruang hidup) masyarakat hukum adat secara masif dan mengabaikan keadilan ekologis masyarakat hukum adat (padahal keadilan ekologis merupakan hak dasar bagi masyarakat, termasuk didalamnya masyarakat hukum adat).