UU Administrasi Pemerintahan
Setelah sekian lama diperdebatkan batas-batasnya, Pemerintah
dan DPR akhirnya menyetujui bersama masalah diskresi diatur.
Maka, materi muatan tentang diskresi bisa ditemukan dalam UU
No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).
Diskresi diatur dalam satu bab khusus berisi 11 pasal (Pasal 22-
32). Diskresi menurut UUAP adalah Keputusan dan atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat
pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi
dalam penyelengggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur,
tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan.
Dari definisi ini ada beberapa poin yang bisa diambil. Pertama,
diskresi hanya bisa dilakukan oleh pejabat yang berwenang.
Pejabat yang tak berwenang tidak bisa melakukan diskresi. Lalu,
muncullah pertanyaan: apakah seorang pelaksana harian (Plh)
atau pelaksana tugas (Plt) bisa melakukan mutasi dan rotasi
pejabat dengan dalih diskresi? Kedua, lingkup diskresi itu
meliputi : (i) peraturan perundang-undangan memang
memberikan pilihan atau opsi kepada pejabat berwenang; (ii)
peraturan perundang-undangan tidak mengatur; (iii) peraturan
perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan (iv) ada
stagnasi pemerintahan sehingga perlu tindakan guna
kepentingan yang lebih luas.
Persyaratan diskresi
Seorang pejabat yang berwenang bisa melakukan diskresi jika
memenuhi syarat. UUAP memuat setidaknya enam syarat
penting. Pertama, diskresi itu harus sesuai dengan salah satu
atau beberapa tujuan yang dapat dibenarkan, yakni: (i)
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; (ii) mengisi
kekosongan hukum; (iii) memberikan kepastian hukum; atau (iv)
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum.
Syarat kedua, diskresi itu tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good
governance). Keempat, berdasarkan alasan-alasan yang objektif.
Alasan-alasan objektif dalam konteks ini mengandung arti
alasan itu sesuai fakta dan kondisi faktual, tidak memihak,
rasional, serta berdasarkan asas good governance.Kelima, tidak
menimbulkan konflik kepentingan. Keenam, dilakukan dengan
iktikad baik. Iktikad baik dalam konteks ini adalah keputusan
yang ditetapkan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan
motif kejujuran dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Persetujuan, pemberitahuan, pelaporan
Di dalam konstruksi UUAP, akan terlihat diskresi yang mengatur
syarat lain berupa persetujuan, pemberitahuan, dan pelaporan.
Pejabat yang mengambil tindakan diskresi wajib,
mendapatkan persetujuan dari Atasan Pejabat jika (i)
penggunaan diskresi berpotensi mengubah alokasi anggaran
wajib; atau (ii) jika diskresi dilakukan karena ada opsi, tak ada
peraturan, atau peraturan tidak jelas namun tindakan itu
berpotensi membebani keuangan negara. Dalam praktiknya,
pejabat harus membuat permohonan persetujuan tertulis.
Syarat pemberitahuan harus ditempuh sebelum diskresi diambil
jika diskresi (i) menimbulkan keresahan masyarakat; (ii) keadaan
darurat; (iii) mendesak; atau (iv) terjadi bencana alam.
Pemberitahuan juga wajib dilakukan jika diskresi diambil guna
mengatasi stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih
luas sepanjang diyakini langkah itu berpotensi menimbulkan
keresahan masyarakat.
Syarat pelaporan (setelah penggunaan diskresi) diberlakukan
jika langkah mengatasi stagnasi pemerintahan itu dilakukan
saat terjadi keadaan darurat, keadaan mendesak, atau terjadi
bencana alam. Artinya, pejabat yang mengambil diskresi harus
melaporkan tindakannya kepada Atasan Pejabat setelah selesai
dijalankan.
Menurut Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia,
Eko Prasojo, merangkum jenis diskresi, kondisi, dan
prasyaratnya dalam presentasinya ‘Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan dalam Reformasi Penyelenggaraan Pemerintahan’.
Jenis-Jenis Diskresi
Jenis/Bentuk Pra/syarat
Kondisi
Diskresi Melakukan Diskresi
Akibat Hukum Tindakan Diskresi
UUAP membagi akibat hukum diskresi ke dalam tiga kategori.
Kategori pertama, melampaui wewenang yang berakibat diskresi
menjadi tidak sah. Kategori ini dianggap terjadi jika: (a) pejabat
bertindak melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan; (b) pejabat
bertindak melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yang
diberikan; atau (c) tidak sesuai dengan ketentuan prosedur
penggunaan diskresi yang diatur dalam Pasal 26-28 UUAP.
Kategori kedua adalah mencampuradukkan wewenang yang
berakibat diskresi itu dapat dibatalkan. Kategori ini terjadi jika
penggunaan diskresi tidak sesuai tujuan wewenang yang
diberikan, tak sesuai prosedur penggunaan, atau bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kategori ketiga adalah tindakan sewenang-wenang yang
berakibat diskresi menjadi tidak sah. Ini terjadi jika diskresi itu
dilakukan atau dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.