Anda di halaman 1dari 5

DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN

Diskresi merupakan langkah mendobrak stagnasi, mencari jalan


pintas agar suatu program berjalan, atau menyiasati sesuatu
agar tujuan yang diinginkan cepat tercapai. Lantas, apakah
sebenarnya diskresi itu? Sederhananya, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2015: 334) mengartikan diskresi sebagai kebebasan
mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang
dihadapi.
Kamus Hukum terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN, 2004: 68) mendefinisikannya sebagai kekuasaan
bertindak dari pejabat pemerintah dalam situasi tertentu
berdasarkan keyakinannya yang mengarah pada kebaikan,
keadilan, dan kelayakan.
Kata diskresi berasal dari bahasa asing. Coba simak makna
kata discretion dalam Black’s Law Dictionary, edisi ketujuh
(1999: 479) discretion mengandung dua pengertian. Diskresi bisa
diartikan sebagai ‘a public official’s power or right to act in certain
circumstances according to personal judgement and conscience’.
Pengertian yang pertama ini sering disebut juga discretionary
power. Diskresi juga bisa bermakna ‘the capacity to distinguish
between right and wrong, sufficient to make a person responsible
for his/her own actions’. Lalu, diskresi juga bisa diartikan
sebagai ‘wise conduct and management; cautious discernment;
prudence’.
 
Discretie dalam kamus bahasa Belanda diartikan sebagai
‘kesederhanaan, sifat hati-hati, sifat diam, kesadaran untuk
tidak menyampaikan sesuatu’ (S. Wojowasito, 2003: 146).
 
Istilah diskresi selama ini lebih banyak dikaji dalam bidang
hukum administrasi negara. Namun, diskresi tampaknya bukan
hanya domain bupati, walikota, gubernur, atau menteri. Aparat
penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim pun dianggap
punya diskresi.
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, dua
orang hakim, menulis buku Diskresi Hakim, Sebuah Instrumen
Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara
Pidana (2013). Mereka menulis berdasarkan sifatnya diskresi
dibagi atas diskresi terikat dan diskresi bebas. Pembagian ini
terkait kebebasan hakim memilih langkah apa yang akan
ditempuh. Misalnya keputusan untuk menahan atau
menghukum seseorang.
 
Mantan hakim agung, Abbas Said, termasuk yang mencoba
menjadikan diskresi sebagai fokus kajiannya saat menempuh
doktor ilmu hukum di Universitas Padjadjaran Bandung.
Disertasinya, ‘Pengawasan Terhadap Penggunaan Diskresi oleh
Polisi dan Jaksa dalam Proses Penegakan Hukum Pidana’,
banyak mengutip definisi dan cakupan diskresi. Menurut Abbas
(2013: 40), pada dasarnya diskresi adalah kebebasan bertindak
atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang
berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai
pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan
bahwa setiap tindakan atau perbuatan administrasi negara
harus berdasarkan ketentuan undang-undang. Masalahnya,
tidak semua undang-undang mengatur semua tindak tanduk
pejabat pemerintah. Karena itu diperlukan kebebasan atau
diskresi bagi pejabat dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya.

UU Administrasi Pemerintahan
Setelah sekian lama diperdebatkan batas-batasnya, Pemerintah
dan DPR akhirnya menyetujui bersama masalah diskresi diatur.
Maka, materi muatan tentang diskresi bisa ditemukan dalam UU
No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).
Diskresi diatur dalam satu bab khusus berisi 11 pasal (Pasal 22-
32). Diskresi menurut UUAP adalah Keputusan dan atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat
pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi
dalam penyelengggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur,
tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan. 
Dari definisi ini ada beberapa poin yang bisa diambil. Pertama,
diskresi hanya bisa dilakukan oleh pejabat yang berwenang.
Pejabat yang tak berwenang tidak bisa melakukan diskresi. Lalu,
muncullah pertanyaan: apakah seorang pelaksana harian (Plh)
atau pelaksana tugas (Plt) bisa melakukan mutasi dan rotasi
pejabat dengan dalih diskresi? Kedua, lingkup diskresi itu
meliputi : (i) peraturan perundang-undangan memang
memberikan pilihan atau opsi kepada pejabat berwenang; (ii)
peraturan perundang-undangan tidak mengatur; (iii) peraturan
perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan (iv) ada
stagnasi pemerintahan sehingga perlu tindakan guna
kepentingan yang lebih luas.
Persyaratan diskresi
Seorang pejabat yang berwenang bisa melakukan diskresi jika
memenuhi syarat. UUAP memuat setidaknya enam syarat
penting. Pertama, diskresi itu harus sesuai dengan salah satu
atau beberapa tujuan yang dapat dibenarkan, yakni: (i)
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; (ii) mengisi
kekosongan hukum; (iii) memberikan kepastian hukum; atau (iv)
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum.
Syarat kedua, diskresi itu tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good
governance). Keempat, berdasarkan alasan-alasan yang objektif.
Alasan-alasan objektif dalam konteks ini mengandung arti
alasan itu sesuai fakta dan kondisi faktual, tidak memihak,
rasional, serta berdasarkan asas good governance.Kelima, tidak
menimbulkan konflik kepentingan. Keenam, dilakukan dengan
iktikad baik. Iktikad baik dalam konteks ini adalah keputusan
yang ditetapkan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan
motif kejujuran dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Persetujuan, pemberitahuan, pelaporan
Di dalam konstruksi UUAP, akan terlihat diskresi yang mengatur
syarat lain berupa persetujuan, pemberitahuan, dan pelaporan.
Pejabat yang mengambil tindakan diskresi wajib,
mendapatkan persetujuan dari Atasan Pejabat jika (i)
penggunaan diskresi berpotensi mengubah alokasi anggaran
wajib; atau (ii) jika diskresi dilakukan karena ada opsi, tak ada
peraturan, atau peraturan tidak jelas namun tindakan itu
berpotensi membebani keuangan negara. Dalam praktiknya,
pejabat harus membuat permohonan persetujuan tertulis.
Syarat pemberitahuan harus ditempuh sebelum diskresi diambil
jika diskresi (i) menimbulkan keresahan masyarakat; (ii) keadaan
darurat; (iii) mendesak; atau (iv) terjadi bencana alam.
Pemberitahuan juga wajib dilakukan jika diskresi diambil guna
mengatasi stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih
luas sepanjang diyakini langkah itu berpotensi menimbulkan
keresahan masyarakat.
Syarat pelaporan (setelah penggunaan diskresi) diberlakukan
jika langkah mengatasi stagnasi pemerintahan itu dilakukan
saat terjadi keadaan darurat, keadaan mendesak, atau terjadi
bencana alam. Artinya, pejabat yang mengambil diskresi harus
melaporkan tindakannya kepada Atasan Pejabat setelah selesai
dijalankan.
Menurut Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia,
Eko Prasojo, merangkum jenis diskresi, kondisi, dan
prasyaratnya dalam presentasinya ‘Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan dalam Reformasi Penyelenggaraan Pemerintahan’.

Jenis-Jenis Diskresi

Jenis/Bentuk Pra/syarat
  Kondisi
Diskresi Melakukan Diskresi

  Diskresi  Berpotensi Persetujuanatasan.


D dalam mengubah Sebelum diskresi
keadaan alokasi dilakukan
I normal anggaran,  
S atau; Paling lama 5 hari
K  Membebani harus ditetapkan
R keuangan
E negara
 Menimbulkan Pemberitahuan
keresahan atasan. Sebelum
masyarakat; diskresi dilakukan
Diskresi
 Keadaan (5 hari
S dalam
darurat. disampaikan)
I keadaan
 Mendesak,  
tidak normal
dan/atau Pelaporan. Setelah
 Bencana diskresi dilakukan
alam (5 hari setelah)

 
Akibat Hukum Tindakan Diskresi
UUAP membagi akibat hukum diskresi ke dalam tiga kategori.
Kategori pertama, melampaui wewenang yang berakibat diskresi
menjadi tidak sah. Kategori ini dianggap terjadi jika: (a) pejabat
bertindak melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan; (b) pejabat
bertindak melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yang
diberikan; atau (c) tidak sesuai dengan ketentuan prosedur
penggunaan diskresi yang diatur dalam Pasal 26-28 UUAP.
Kategori kedua adalah mencampuradukkan wewenang yang
berakibat diskresi itu dapat dibatalkan. Kategori ini terjadi jika
penggunaan diskresi tidak sesuai tujuan wewenang yang
diberikan, tak sesuai prosedur penggunaan, atau bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kategori ketiga adalah tindakan sewenang-wenang yang
berakibat diskresi menjadi tidak sah. Ini terjadi jika diskresi itu
dilakukan atau dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.

Anda mungkin juga menyukai