Anda di halaman 1dari 9

Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Ritual Tradisi Ogoh-ogoh

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberagaman kebudayaan dan kepercayaan yang dimiliki oleh setiap
kelompok masyarakat di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perjalanan
sejarah bangsa yang memiliki kondisi letak geografis strategis sebagai kategori
kekayaan intelektual, baik secara nasional maupun internasional. Penyebabnya
Indonesia mempunyai bukan hanya satu atau dua jenis suku, melainkan berbagai
suku, kebudayaan, adat istiadat, kepercayaan, sistem mata pencaharian dan
keagamaan yang beragam. Oleh karena itu kondisi georgrafis inilah yang
mendukung terbentuknya suatu kelompok masyarakat berbudayaan yang
digunakan sebagai bentuk pengetahuan dan gagasan (Rahmawati, 2018:3).
Tyler (Rachmawati, 2017:130) menyebutkan bahwa kebudayaan atau
peradaban adalah bagian dari sistem keseluruhan secara kompleks yang terdiri
dari sistem pengetahuan, bahasa kearifan lokal, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, serta berbagai aneka kemampuan dan pola kebiasaan manusia sebagai
anggota dari kelompok masyarakat. Salah satu bagian yang disebutkan ke dalam
bagian definisi mengenai kebudayaan tersebut yaitu kearifan lokal yang dimiliki
oleh kelompok masyarakat. Hal ini tentunya menjadi pandangan yang relevan
jika dilihat melalui ciri-ciri kebudayaan khas dari suatu suku dengan
diidentifikasi dari sisi kebudayaan yang dimiliki sebagai kekayaan hasil
peninggalan nenek moyang.
Kearifan lokal merupakan suatu tatanan sosial dan kebudayaan dari suatu
kelompok masyarakat yang berbentuk pengetahuan, aturan tata kelakuan, nilai,
norma, serta keterampilan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup secara
individu maupun kelompok sebagai mata pencaharian. Kearifan lokal ini
merupakan wujud warisan kebudayaan secara turun temurun dari nenek moyang,
fungsinya sebagai modal sosial yang dapat senantiasa berkembang di dalam pola
kehidupan masyarakat guna menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara
kehidupan sosial budaya dengan kelestarian dari sumber daya alam (Hidayati,
2017:40). Hal ini juga sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
Bali melalui ogoh-ogoh sebagai acara tahunan pada saat sehari menjelang Hari
Raya Nyepi. Ogoh-ogoh memberikan peluang usaha dalam bentuk mata
pencaharian bagi masyarakat Bali dalam mengembangkan industri kreatif
berbasis kebudayaan lokal. Oleh karena itu peluang ini tidak hanya
dimanfaatkan oleh kalangan industri lokal sebagai bentuk pelestarian
kebudayaan namun juga digunakan untuk memperoleh keuntungan, mulai dari
menjual bahan sampai dengan menjual ogoh-ogoh yang sudah jadi kepada
konsumen. Ogoh-ogoh sendiri bernilai penting berdasarkan pada ajaran agama
Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali yaitu berupa konsep satyam atau
kebenaran, siwam atau kebijakan dan sundaram atau keindahan (Sukaesih dkk,
2020:35).
Kearifan lokal yang dihasilkan dari kegiatan ogoh-ogoh berperan untuk
mempererat rasa kesatuan dan kesamaan persaudaraan antara masyarakat Bali,
terutama pada saat perayaan hari raya nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu
di Bali. Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai
bagaimana makna kearifan lokal tradisi ogoh-ogoh yang terdapat masyarakat
Bali dan bagaimana perwujudan nilai kearifan lokal tradisi ogoh-ogoh yang
dimiliki oleh masyarakat Bali ke dalam unsur bahasa, kesenian, teknologi, mata
pencaharian, kekerabatan dan religi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah makalah ini yaitu:
1. bagaimana makna kearifan lokal tradisi ogoh-ogoh yang terdapat masyarakat
Bali?
2. Bagaimana perwujudan nilai kearifan lokal tradisi ogoh-ogoh di masyarakat
Bali dalam unsur bahasa, kesenian, teknologi, mata pencaharian, kekerabatan
dan religi?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui makna kearifan lokal tradisi ogoh-ogoh yang terdapat
masyarakat Bali?
2. Untuk mengetahui perwujudan nilai kearifan lokal tradisi ogoh-ogoh di
masyarakat Bali dalam unsur bahasa, kesenian, teknologi, mata pencaharian,
kekerabatan dan religi?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Makna Nilai Kearifan Lokal Tradisi Ogoh-ogoh yang Terdapat


pada Masyarakat Bali
Ogoh-ogoh merupakan hasil karya seni budaya kreatif masyarakat Bali
yang menggambarkan mengenai kepribadian dari Bhuta Kala. Menurut ajaran
pada masyarakat Hindu Dharma, Bhuta Kala menampilkan makna sebagai
kekuatan atau Bhu yaitu alam semesta material dan Kala atau di sebut juga
dengan waktu yang tidak dapat diukur dan tidak dapat terbantahkan oleh
manusia. Kata Bhuta Khala pada masyarakat Bali identik dengan kekuatan
negatif yang dinilai mempunyai sifat senang mengganggu kehidupan dari
manusia. Ogoh-ogoh ini berbentuk seperti boneka atau patung yang dipadu
padankan dengan spon dan perlengkapan lainnya. Umumnya tradisi ogoh-ogoh
ini dirangkai ke dalam sebuah upacara ritual penyucian yang berfungsi untuk
membersihkan sis negatif dari Bhuta Kala. Upacara ritual ini disebut dengan
tawur kesanga atau persembahan yang diberikan kepada Bhuta Kala berbentuk
pecaruan. Pelaksanaan upacara ritual ini dilakukan pada saat bertepatan dengan
pengerupukan atau ngerebeg yang biasanya dilakukan oleh masyarakat
beragama Hindu pada saat sehari sebelum hari raya Nyepi di laksanakan
(Sudiarthi, 2019:3). Oleh karena itu pelaksanaan upacara ritual tawur kesanga
atau Bhuta Yadya atau Pecaruan memiliki tujuan sebagai nyomya yang artinya
menetralkan atau menghapuskan sifat-sifat buruk atau negatif untuk dapat
berubah menjadi sifat-sifat positif atau baik. Sehingga kekuatan yang dimiliki
oleh Bhuta Kala dapat bermanfaat untuk mensejahterakan umat manusia dan
menyeimbangkan alam.
Ogoh-ogoh berfungsi sebagai alat representasi dari Bhuta Kala yang
dibuat pada saat menjelang perayaan hari raya Nyepi umat Hindu. Ogoh-ogoh
yang telah dibuat kemudian di arak secara beramai-ramai oleh masyarakat untuk
berkeliling desa pada saat satu malah sebelum hari raya Nyepi dilaksanakan.
Kekuatan yang dimiliki oleh ogoh-ogoh tersebut dipercaya sebagai Bhuana
Agung atau alam raya dan Bhuana Alit atau gambaran dari diri manusia. Jika
dilihat melalui pandangan filsafat atau Tattwa hal ini bermakna sebagai kekuatan
yang dapat mengantarkan makhluk hidup terutama manusia dan seluruh dunia
untuk menuju kebahagiaan maupun kehancuran. Hal tersebut tergantung pada
bagaimana niat yang diberikan oleh para leluhur manusia sebagai makhluk
Tuhan dengan derajat paling mulia dalam melakukan penjangaan terhadap diri
sendiri maupun seisi dunia.
Makna yang terkandung di dalam ogoh-ogoh pada masyarakat Bali yaitu
sebagai simbol dari wujud keangkaramukaan atau keburukan atau penderitaan.
Oleh karena itu, ogoh-ogoh yang di arak untuk mengelilingi perkampung di
masyarakat Bali memiliki tujuan sebagai simbol yang bermakna untuk menyerap
segala perilaku negatif maupun tidak baik untuk dapat masuk ke dalam boneka
ogoh-ogoh tersebut. Selanjutnya ogoh-ogoh tersebut dimuskanahkan dengan
harapan dapat menghilangkan segala sifat negatif di dalam diri pribadi setiap
manusia dan segala sesuatu yang tidak baik di alam akan di hilangkan.
Meskipun pada akhirnya segala sesuatunya dikembalikan kepada kemampuan
diri sendiri yang hanya disimbolkan pada perwujudan boneka maupun patung
ogoh-ogoh. Maka dari itu, dengan dimusnahkannya segala sesuatu yang tidak
baik maka seluruh umat manusia yang ada di bumi terutama pada masyarakat
Bali akan kembali menjadi damai dan tentram (Setyaningrum dan Cahyono,
2019:87).

B. Perwujudan Nilai Kearifan Lokal Tradisi Ogoh-ogoh di Masyarakat Bali


dalam Unsur Bahasa, Kesenian, Teknologi, Mata pencaharian,
Kekerabatan dan Religi
Kearifan lokal berwujud ke dalam nilai yang mencerminkan suatu pola
perilaku masyarakat sesuai dengan fenomena sosial budaya dari masyarakat
tersebut. Hal ini juga yang sebagaimana ada pada kelompok masyarakat Bali
yang tentunya mempunyai penyebaran aspek unsur kebudayaan Bali
sebagaimana yang disampaikan oleh Koenjaraningrat (Purnami, 2019:49) yaitu,
suatu kebudayaan di dalamnya terdapat unsur-unsur meliputi bahasa, kesenian,
teknologi atau peralatan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan atau
kekerabatan, dan religi atau kepercayaan.
1. Bahasa
Levi Strauss (Rachmawati, 2017:131) menyebutkan bahwa bahasa
dan kebudayaan mempunyai keterkaitan satu sama lain oleh suatu kelompok
masyarakat sebagai refleksi dari keseluruhan sistem simbol atau gambaran
kebudayaan masing-masing. Pada kearifan lokal masarakat Bali melalui
ogoh-ogoh, bahasa yang disampaikan ditunjukkan melalui ritual, leksikon
ritual, fungsi dan metafora. Hal ini ditunjukkan melalui sehari sebelum
dilaksanakannya perataan hari raya Nyepi masyarakat Bali akan mengadakan
upacara Bhuta Yajna yang bermakna sebagai pengusiran atau penyingkiran
terhadap berbagai roh-roh jahat dengan menciptakan hiasan berupa patung
atau boneka berbentuk gambaran dari Bhuta Kala atau dalam bahasa Bali
disebut dengan raksasa jahat atau ogoh-ogoh (Rachmawati, 2017:131).
2. Kesenian
Ogoh-ogoh merupakan kesenian dari masyarakat Bali yang
diciptakan melalui karya seni manusia sebagai makna berlandaskan pada
nilai semangat tinggi tentang berperilaku dan berkesenian. Tentunya hal ini
tidak dapat dipisahkan dari peranan krasa sebagai potensi dari kekayaan
intelektual dengan melahirkan macam-macam teknologi dalam berkarya
seni. Umumnya kesenian ini ditampilkan sebagai simbol kekayaan dari
masyarakat Bali yang berkaitan dengan upacara ritual keagamaan pada saat
sehari sebelum hari raya Nyepi dilaksanakan. Kegiatan upacara ritual ini
dilakukan dengan rangkaian atraksi kesenian berupa arak-arakan patung
ogoh-ogoh dari masing-masing desa maupun banjar (Gunawan dan Buana,
2016:2).
3. Teknologi
Ogoh-ogoh merupakan hasil kearifan lokal masyarakat Bali yang
diwariskan secara turun temurun melalui nenek moyang dari satu generasi ke
generasi selanjutnya. Hal ini lah yang menjadikan kesenian ogoh-ogoh
dianggap sebagai simbol dari kekayaan dan karakteristik dari masyarakat
Bali yang senantiasa berkaitan dengan ritual kegamaan berupa penyucian
atau menghilangkan sifat negatif pada diri manusia dan alam. Melalui spirit
berperilaku, berkesenian, dan peranan krasa sebagai wujud intelektual maka
munculah berbagai kolaborasi antar kelompok masyarakat terutama anak
muda atau sekehe taruna untuk melakukan kerjasama. Hal inilah yang
mendukung modernisasi pada penggarapan ogoh-ogoh, misalnya pada
bentuk ogoh-ogoh yang semakin menarik dan pemanfaatan alat pembuatan
ogoh-ogoh yang semakin cangih (Gunawan dan Buana, 2016:2).
4. Mata Pencaharian
Kelompok masyarakat hidup berdampingan dengan sistem
kebudayaan dan aktivitas ekonomi melalui sistem mata pencaharian sebagai
proses atau cara yang dilakukan kelompok masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Hal ini juga sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat Bali melalui ogoh-ogoh sebagai acara tahunan saat sehari
menjelang Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh memberikan peluang usaha dalam
bagi masyarakat Bali dalam mengembangkan industri kreatif berbasis
kebudayaan lokal. Oleh karena itu peluang ini tidak hanya dimanfaatkan
kalangan industri lokal dalam melestarikan kebudayaan, namun juga
digunakan memperoleh keuntungan mulai dari menjual bahan sampai
dengan menjual ogoh-ogoh yang sudah jadi kepada konsumen. Ogoh-ogoh
sendiri bernilai penting berdasarkan pada ajaran agama Hindu yang dianut
oleh masyarakat Bali yaitu berupa konsep satyam atau kebenaran, siwam
atau kebijakan dan sundaram atau keindahan (Aristrawati, 2018:159).
5. Kekerabatan
Pada kelompok masyarakat Bali terdapat istilah Nyama Braya yang
artinya mengacu pada sistem kekerabatan atau keterikatan dalam hubungan
sosial melalui persaudaraan. Ogoh-ogoh membentuk sistem kekerabatan
melalui hubungan kerjasama antar masyarakat dalam proses pembuatan
ogoh-ogoh yang berlangsung selama satu bulan menggunakan bahan seperti
bambu, kertas berwarna, pecahan kaca, dan kain perada menjadi patung atau
boneka berbagai ukuran (Tungkagi dan Sila, 2022:15).
6. Religi
Pengarakan ogoh-ogoh dilaksanakan satu hari sebelum hari raya
Nyepi sebagai representasi yang ditampilkan di ruang publik atau jalan raya
sebagai wahana menyampaikan penguatan emosi keagamaan. Oleh karena
itu, ruang publik digunakan sebagai ajang untuk menampilkan ritual
spriritual dalam bentuk melasti, pawai dan ogoh-ogoh. Tujuannya untuk
menyucikan dan menghilangkan pengaruh negatif (Budiwanti, 2018:226).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kearifan lokal merupakan wujud warisan kebudayaan turun temurun dari
nenek moyang kepada generasi mendatang. Fungsinya sebagai modal sosial
yang terus senantiasa mengalami perkembangan dalam pola kehidupan
masyarakat guna menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan
sosial budaya dengan kelestarian dari sumber daya alam. Misalnya kearifan
lokal masyarakat Bali pada upacara sehari sebelum perayaan Hari Raya Nyepi
dilakukan dengan mengarak ogoh-ogoh. Makna yang terkandung dalam ogoh-
ogoh yaitu sebagai simbol dari wujud keangkaramukaan atau keburukan atau
penderitaan. Oleh karena itu, ogoh-ogoh yang di arak untuk mengelilingi
perkampung dengan tujuan sebagai simbol bermakna guna menyerap segala sifat
negatif maupun tidak baik dapat masuk dalam boneka ogoh-ogoh. Selanjutnya
ogoh-ogoh dimuskanahkan dengan harapan dapat menghilangkan segala sifat
negatif dalam diri manusia dan segala sesuatu yang tidak baik di alam.
Perwujudan nilai kearifan lokal tradisi ogoh-ogoh di masyarakat Bali
masuk dalam unsur kebudayaan seperti bahasa yaitu berupa gambaran mengenai
ritual, leksikon ritual, fungsi dan metafora sebagai wujud pengusiran atau
penyingkiran terhadap berbagai roh jahat. Kesenian sebagai simbol kekayaan
dari masyarakat Bali yang berkaitan dengan upacara ritual keagamaan pada saat
sehari sebelum hari raya Nyepi. Teknologi berupa modernisasi penggarapan
ogoh-ogoh, misalnya pada bentuk dan alat pembuatan ogoh-ogoh. Mata
pencaharian berupa peluang usaha bagi masyarakat Bali dalam mengembangkan
industri kreatif berbasis kebudayaan lokal. Kekerabatan melalui kerjasama
masyarakat dalam proses pembuatan ogoh-ogoh selama satu bulan. Religi
dengan memanfaatkan ruang publik atau jalan raya sebagai wahana penguatan
emosi keagamaan.
B. Saran
Studi pembahasan mengenai kearifan lokal pada masyarakat Bali
terutama bahasan tentang ogoh-ogoh perlu ditingkatkan. Tujuannya untuk
memberikan pengetahuan mengenai kondisi sosial masyarakat Bali dan wujud
ritual yang ada sebagai kekayaan intelektual.
DAFTAR PUSTAKA

Aristrawati, N. L. P. (2018). Evaluasi Parade Ogoh-Ogoh Sebagai Pendukung


Pengembangan Pariwisata Budaya Di Kota Denpasar. Jurnal Master Pariwisata
(JUMPA), 5(1), 147-170. https://ojs.unud.ac.id/index.php/jumpa/41002/24860.

Budiwanti, E. (2018). Pawai Ogoh-Ogoh Dan Nyepi Di Pulau Seribu Masjid: Penguatan
Identitas Agama Di Ruang Publik. Harmoni, 17(2), 208-227.
https://doi.org/10.32488/harmoni.v17i2.319.

Gunawan, I. W., & Buana, A. A. N. G. S. (2016). Seni Ogoh-ogoh (Konteks, Teks Dan
Efek). Prabangkara: Jurnal Seni Rupa dan Desain, 19(23), 1-16.
https://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/prabangkara/article/view/132.

Purnami, I. A. P. (2019). Pelestarian Kearifan Lokal Bali Melalui Konservasi Naskah


Lontar. Prasi: Jurnal Bahasa, Seni, dan Pengajarannya, 14(01), 48-55.
https://doi.org/10.23887/prasi.v14i1.17894.

Rachmawati, D. K. (2017). Kearifan Lokal Dalam Leksikon Ritual-Kesenian Ogoh-


Ogoh Di Pura Kerthabumi Dusun Bongso Wetan Desa Pengalangan Kecamatan
Menganti Kabupaten Gresik-Jawa Timur. PAROLE: Journal of Linguistics and
Education, 5(2), 129-144. https://doi.org/10.14710/parole.v5i2.144

Setyaningrum, G. M. N., & Cahyono, A. (2019). Strategi Adaptasi Masyarakat Non


Hindu pada Pertunjukan Ogoh-Ogoh di Desa Linggoasri Kecamatan Kajen
Kabupaten Pekalongan. Jurnal Seni Tari, 8(1), 83-94.
https://doi.org/10.15294/jst.v8i1.31438.

Sudiarhti, D. N. A. (2019). Pemaknaan Mitos Bhuta Kala dalam Tradisi Ogoh-Ogoh


Sebagai Media Pendidikan: Suatu Kajian Pustaka. WACANA: MAJALAH
ILMIAH TENTANG BAHASA, SASTRA DAN PEMBELAJARANNYA, 19(1), 2-2.
https://doi.org/10.46444/wacanasaraswati.v19i1.33.

Sukaesih, N. M. P., Sukardi, S., & Sholeh, K. (2020). Nilai Kearifan Lokal Tradisi
Ogoh-ogoh di Desa Rous Kabupaten Oku Selatan Sebagai Sumber Pembelajaran
Sejarah di Pasraman Widya Dharma. Kalpataru: Jurnal Sejarah dan
Pembelajaran Sejarah, 6(1), 30-38.
http://dx.doi.org/10.31851/kalpataru.v6i1.4650.
Tungkagi, D., & Sila, M. A. (2022). Baku Tolong, Torang Samua Basudara:Modal
Sosial dan Titik Temu dalam Mengelola Keberagaman Etnoreligius di Wilayah
Transmigrasi Dumoga, Selawesi Utara. Harmoni, 21(1), 1-24.
https://doi.org/10.32488/harmoni.v21i1.608.

Anda mungkin juga menyukai