Anda di halaman 1dari 7

Rusydan Fathy

Muhammad Farhan Al-Ja’fary

DURKHEIM DAN ALEXIS DE TOCQUEVILLE: MASYARAKAT SIPIL DAN


POLITIK

PENDAHULUAN

Dengan melihat konteks historis dari perkembangan ilmu sosiologi, kemunculan suatu
mazhab atau aliran teoritis yang satu tidak serta merta melenyapkan mazhab atau aliran teoritis
yang lama. Karena itulah disiplin ilmu sosiologi dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu
berparadigma ganda. Sejak akhir 1950-an, setelah mazhab Chicago (Interaksionisme Simbolik)
mengalami kemunduran, perdebatan utama dalam sosiologi mengantarkan kita kepada mazhab
konflik dan konsensus. Mazhab konflik sampai saat ini tidak lain berpedoman kepada tulisan-
tulisan Marx dan Weber, di mana penekanannya adalah pada kontradiksi, ketegangan dan
konflik kelas di masyarakat.

Sementara mazhab konsensus menggambarkannya dengan berbeda. Meskipun juga


menyoroti masalah pembagian (kelas), tetapi didasari atas persetujuan atau keyakinan.
Stabilitas dapat dicapai berkat bekerjanya institusi sosial secara kontinyu, terutama institusi
pendidikan, keluarga dan agama. Ketika politik dibangkitkan, itu bukanlah politik dari
pembagian kerja dan eksploitasi, melainkan politik yang menciptakan ataupun menciptakan
kembali lembaga penting masyarakat dalam mengingatkan mereka akan peristiwa dan simbol-
simbol. Paradoks politik yang dalam kehidupan sehari-hari kita anggap sebagai arena
pertarungan mengadu kelompok yang satu dengan yang lain, dipandang oleh para ahli teori
konsensual sebagai arena keharmonisan mendasar dan diproduksinya persatuan, yang mana hal
itu tidak didasarkan atas pembagian dan ketegangan.

Pembahasan kita kali ini akan melihat bagaimana dua tokoh teoritisi mazhab konsensus,
Durkheim dan Tocqueville yang memberikan penekanan atau arti penting bagi masyarakat sipil
(civil society) dalam pembangunan politik, di mana hal itu berbeda dengan Marx yang
menekankan pada ekonomi dan Weber yang menekankan pada negara.
PEMBAHASAN

1. Emile Durkheim

Bagi Durkheim, Sosiologi adalah studi mengenai fakta sosial. Fakta sosial dapat
diartikan kekuatan eksternal yang memaksa, menjadi panduan bersama yang telah
diinternalisasi ke dalam diri individu menganai apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan.
Dengan kata lain, seperti lazim diketahui bahwa Durkheim sangat mengakui keutamaan
masyarakat atas diri manusia secara individual, di mana hal tersebut (fakta sosial) telah menjadi
semacam tatanan moral yang menjaga integrasi dan harmonisasi kelompok masyarakat. Salah
satu karya Durkheim – suicide misalnya, ingin menjelaskan bahwa perilaku bunuh diri bukan
disebabkan oleh faktor psikologis, melainkan sosial. Individu dapat memutuskan bunuh diri
dikarenakan dua hal, yaitu dinamika regulasi dan integrasi di dalam sistem sosial –
masyarakatnya.

Teoritisi sosial klasik seperti Comte, Spencer, Marx, Weber termasuk Durkheim
berusaha ingin menjelaskan proses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat akibat dari
revolusi politik dan industri. Perubahan sosial tentunya berimplikasi pada hancurnya tatanan
moral lama digantikan dengan tatanan moral baru yang memiliki dampak tersendiri dan
dianggap menimbulkan chaos dan conflict. Khusus bagi Durkheim, berpendapat bahwa
penyebabnya ialah kegagalan dari prinsip-prinsip institusi sosial untuk menanamkan dengan
benar norma dan nilai masyarakat. Bagi Durkheim, institusi sosial dibutuhkan untuk semacam
rejuvenation (peremajaan, pemulihan atau perbaikan) moral. Oleh karena itulah, Durkheim
sangat menekankan pentingnya pendidikan moral dan sekolah – institusi pendidikan menjadi
pusat bagi perbaikan atau pembaruan masyarakat mencakup keterlibatannya dalam
memberikan arahan secara hati-hati terkait dengan sifat tatanan moral. Durkheim percaya
bahwa masyarakat adalah sumber moralitas. Untuk itu, pendidikan moral adalah penting agar
individu dapat mengambil perannya di masyarakat dan pada suatu waktu tertentu memberikan
intervensi-intervensi sosial bagi isu-isu politik.

Society (Masyarakat)

Masyarakat menjadi fokus dalam kajian Durkheim. Terdapat beberapa unsur kunci
pembentuk masyarakat, yaitu: norma dan hukum; institusi-institusi; simbol-simbol termasuk
ritual di dalamnya; dan pembagian kerja.
Norma dan Hukum Sosial

Norma dan hukum merupakan elemen dasar masyarakat – fakta sosial. Institusi sosial
seperti keluarga, pendidikan dan agama menjadi pusat dalam proses transmisi nilai-nilai
masyarakat. Nilai, norma dan hukum tersebut nantinya akan menjadi panduan berpikir dan
berperilaku. Durkheim menjelaskan bahwa terdapat perbedaan jenis hukum yang diakui
bersama antara masyarakat primitif dan masyarakat modern. Dalam masyarakat primitif,
berlaku hukum represif. Karena kelompok masyarakat ini memiliki jenis solidaritas mekanis
yang mana identik dengan homogenisasi dan memiliki tingkat kesadaran kolektif tinggi.
Mereka sangat percaya pada moralitas bersama, di mana pelanggaran terhadap sistem nilai
bersama akan diberikan hukuman yang berat.

Selanjutnya, masyarakat modern – solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif.


Pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau segmen tertentu dari
masyarakat dan bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Hukum jenis ini sangat erat
kaitannya dengan individualisme moral.

Institusi

Institusi menyediakan panduan norma dan hukum bagi masyarakat. Mereka dicirikan
dengan perbedaan tugas dan fungsi satu sama lain. Pendidikan merupakan pusat untuk
mensosialisasikan cara dan norma yang berlaku pada masyarakat tertentu. Kegagalan
masyarakat seperti timbulnya perilaku kriminal dapat ditelusuri sebagai akibat dari kegagalan
institusi pendidikan. Begitupun dengan institusi agama, ia memiliki posisi sentral dalam sistem
sosial. Agama memberikan perekat dasar atau integritas bagi tatanan sosial, baik itu tatanan
sosial primitif maupun modern. Agama menyediakan hukum dan nilai pokok bagi masyarakat.

Bagi Durkheim, esensi agama adalah dengan mengidentifikasi antara yang sakral dan
yang profan. Sakral diartikan sebagai sesuatu yang suci mencakup ritual-ritual keagamaan yang
berubah menjadi simbol religius nyata. Agama yang dipandang Durkheim sebagai institusi
penting untuk mengerti bagaimana masyarakat atau bangsa bekerja menjadi bertentangan
dengan pandangan Marx (agama adalah refleksi kapitalisme).
Budaya, Simbol dan Ritual

Masyarakat tertentu memiliki simbol-simbol yang mempersatukan mereka dan


mempertahankannya dalam jangka waktu yang panjang. Hal itu bisa berupa lagu ataupun
bendera kebangsaan. Atau berupa kekaguman terhadap para tokoh pendiri bangsa. Ritual
menjadi vital untuk mengingatkan masyarakat akan simbol-simbol tersebut. Ritual
menegaskan manusia sebagai sebuah kelompok masyarakat atau bangsa. Dalam masyarakat
modern voting bisa menjadi contoh dari ritual yang dimaksud. Sementara dalam masyarakat
primitif, perayaan asal-usul atau kehidupan dewa-dewa merupakan contoh yang lazim.

Pembagian Kerja

Ketika Marx dan Weber menggunakan konsep kelas sosial, maka Durkheim memilih
untuk menggunakan konsep pembagian kerja. Ketika Herbert Spencer mengatakan masyarakat
akan mengalami peningkatan kompleksitas seperti yang dialami oleh organisme biologi, maka
Durkheim menjelaskan, meningkatnya masyarakat akan meningkatkan pembagian kerja.
Masyarakat modern akan terspesialisasi dengan beragam pekerjaan yang berbeda satu sama
lain. Lain halnya dengan Comte yang mengatakan meningkatnya pembagian kerja akan
meruntuhkan moral sosial, bagi Durkheim justru hal ini akan menciptakan moralitas sosial
baru. Morlitas ini akan menjadi landasan yang mengikat dan memaksa masyarakat untuk tetap
hidup bersama.

Negara, Politik dan Masyarakat

Marx menganggap bahwa negara merupakan refleksi dari sistem ekonomi kapitalisme
yang menindas. Begitupun Weber yang melihat negara sebagai bentuk dominasi yang sah dan
erat kaitannya dengan kekerasan. Sementara Durkheim, meyakini bahwa negara sama halnya
dengan institusi sosial lain. Negara adalah wadah bagi terciptanya konsensus secara
menyeuluruh bagi masyarakat. Kehadiran negara menjadi penting untuk menjaga komitmen
moral bersama yang telah dibangun. Tujuan negara tidak lain merupakan tujuan
masyarakatnya.

Namun demikian, negara mungkin saja memiliki tujuannya sendiri yang ternyata sering
sengaja bertentangan dengan kebutuhan dan kepentingan sebagian besar warga negara atau
masyarakatnya. Untuk itu Durkheim mengatakan bahwa negara modern sebenarnya jauh dari
pengaruh masyarakat. Sementara pembagian kerja merupakan elemen inti masyarakat yang
dapat menghubungkan negara dengan masyarakat modern dan kehidupan individu. Oleh
karena itulah Ia menekankan pentingnya organisasi sosial kelompok kerja dalam Ritzer atau
Ginddens menyebutnya asosiasi golongan karya. Untuk menjaga komitmen moral,
sesungguhnya diperlukan kelompok konkret yang terikat dengan prinsip dasar organisasi
modern. Dengan kata lain, kelompok kerja ini dapat menjadi salah satu bentuk dari masyarakat
sipil.

2. Alexis de Tocqueville

Menurut Alexander de Tocqueville, masyarakat sipil merupakan representasi kekuatan


publik untuk membatasi kekuasaan negara. Demokrasi yang membentuk kekuasaan
administratif negara telah menjadi penjara bagi kebebasan masyarakat sipil karena dengan
adanya keabsahan suara Pemilu, maka negara dapat bertindak apapun atas nama individu, dan
menjadi ancaman bagi kebebasan individu. Oleh sebab itulah, Tocquieville menghendaki agar
masyarakat sipil sebagai asosiasi kumpulan dari berbagai asosiasi otonom dan berperan sebagai
pengawas kekuasaan negara.

Dalam konteks asosiasi otonom itu, Tocqueville melihat bahwa sistem demokrasi yang
mapan berpotensi membentuk rezim order yang membatasi kebebasan. Pemikiran ini berbeda
dengan pemikiran Hegel yang mengutamakan order. Bukan berarti ia tidak memandang
penting kebebasan, hanya saja ada kekhawatiran apabila kebebasan tanpa batas justru
menghancurkan eksistensi dari masyarakat sipil. Selain itu, negara tetap perlu memiliki
kedaulatan terhadap masyarakat, walaupun tetap perlu ada pembatasan wewenang negara
melalui hukum, dan hukum itu juga berlaku kepada masyarakat.

Pemikiran Tocqueville menggambarkan bahwa civility merupakan satu bentuk otoritas


sipil, yaitu kaidah moral yang melekat pada masyarakat sipil. Esensi dasar dari otoritas sipil
adalah otonom dan inovatif. Bahwa negara tetap perlu memiliki kedaulatan terhadap
masyarakat, walaupun tetap perlu ada pembatasan wewenang negara melalui hukum, dan
hukum itu juga berlaku kepada masyarakat. Oleh sebab itulah ketiga unsur civility tersebut
tetap menjadi penting, walaupun penekanan unsur –unsur terkait itu harus disesuaikan dengan
konteks ruang dan waktu. Selain itu, Tocquiville menilai bahwa hakikat kebebasan bukan
segalanya, atau tujuan, melainkan satu sarana untuk mencapai tujuan bersama, dengan
menguatkan civility.
3. Robert Belah

Bellah mengadopsi ide dari Durkheim, dan Ia berpendapat bahwa politik di Amerika
telah menjadi apa yang disebutnya sebagai agama sipil. Masyarakat perlu menegakkan secara
berkala mengenai sentimen dan ide-ide kolektif dalam meningkatkan kesatuan. Bellah
mungkin mengira politik, bukan sebagai politik dalam arti konvensional, tetapi sebagai
semacam cara hidup, atau beragama, bagi warga negara Amerika. Dalam pengamatan Bellah,
Akar agama sipil Amerika, dapat ditemukan dalam beberapa pernyataan utama dan interpretasi
dari tokoh politik terkemuka.

4. James S. Coleman dan Robert Putnam

Coleman mengusulkan bahwa individu memiliki sesuatu yang disebut modal sosial,
menggambar inspirasi yang coba diaplikasikan oleh ekonom Glenn Loury. Modal sosial
mengacu pada sumber daya sosial yang memiliki individu dan di mana mereka dapat menarik
dalam membuat keputusan penting dan mengambil tindakan kritis. Loury menggunakan
konsep ini untuk merujuk pada keluarga dan jaringan hubungan dalam menjelaskan prestasi
ekonomi individu.

Coleman menggambarkan ide modal sosial dengan berbagai referensi. Dia merujuk,
misalnya, untuk ide dari "asosiasi kredit berputar," sebuah asosiasi yang dibuat terkenal oleh
sebuah artikel oleh Geertz. Asosiasi kredit berputar adalah bentuk usaha ekonomi koperasi di
kalangan orang-orang dari masyarakat Asia tenggara. Dengan bergabung bersama-sama, dalam
usaha umum, mereka yang memiliki sumber daya sedikit, dan kemudian dapat memutar dalam
menggambar pada dana umum kredit yang diciptakan oleh kolam besar. Ini memberikan
jawaban yang sukses pada situasi di mana tidak ada satu anggota memiliki cukup dana untuk
memulai usaha ekonomi, di mana kumpulan individu tersebut dapat memberikan dana tersebut
secara rutin ke sesama anggota. Setelah anggota mengacu pada dana, ia diharuskan membayar
mereka kembali dari pendapatan usaha nya.

Coleman meninggal sebelum ia mampu menelusuri dan menjelajahi berbagai


kemungkinan konsep kaya modal sosial. Untungnya untuk dia-dan bagi kita-itu sebuah ide
yang digunakan sebagai jalan penelitian yang dilakukan ilmuwan politik Robert Putnam.
Putnam, bersama dengan Robert Leonardi dan Raffaella Nanetti, mampu mempelajari
pembentukan pemerintah baru di Italia dari awal kemunculan mereka di awal 1970-an.
Pemerintah Italia telah memutuskan untuk memulai upaya besar untuk keluar dari adanya
kelembapan pada program nasional dan menciptakan pemerintahan baru yang bisa menutupi
kebijakan-arena dan juga bekerja lebih erat dengan warga setempat. Itu adalah usaha yang
bersejarah untuk Italia, dan dalam hal ini Putnam dan rekan-rekannya diminta untuk
mengevaluasi.

Putnam dan koleganya mempelajari pemerintah daerah dengan melakukan survei


berkala dengan para pejabat lokal serta warga setempat. Mereka memeriksa, antara lain, reaksi
warga negara atas rasa puas dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain
itu, Putnam dan rekan-rekannya juga mengukur efektivitas dan kinerja pemerintah daerah.
Mereka mengukur kinerja tersebut bersama dua belas dimensi yang berbeda dari cara kerja
pemerintah daerah, termasuk yang berikut: undang-undang reformasi; tempat penitipan anak;
perumahan dan pembangunan perkotaan; inovasi legislatif; stabilitas kabinet; tanggap
birokrasi; dan ketepatan anggaran. Putnam, yang dianggap bertanggung jawab untuk lini utama
argumen. Memulai pesiar teoritis sebagai advokat dari jenis tampilan yang diajukan oleh alexis
de Tocqueville. Dia berasumsi bahwa sesuatu seperti tradisi sipil, atau kebiasaan hati, hadir
antara orang-orang, dan bahwa mereka dapat menjelaskan demokrasi pada umumnya, dan
untuk hubungan antara efektivitas pemerintah dan kepuasan warga.

Referensi:

On Civil Society and Politics: Emile Durkheim and Alexis de Tocqueville.

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terj. Jakarta: PT Gramedia.

Transnasionalisasi Masyarakat Sipil. Depok: Fisip UI Press.

Anda mungkin juga menyukai