PENDAHULUAN
Dengan melihat konteks historis dari perkembangan ilmu sosiologi, kemunculan suatu
mazhab atau aliran teoritis yang satu tidak serta merta melenyapkan mazhab atau aliran teoritis
yang lama. Karena itulah disiplin ilmu sosiologi dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu
berparadigma ganda. Sejak akhir 1950-an, setelah mazhab Chicago (Interaksionisme Simbolik)
mengalami kemunduran, perdebatan utama dalam sosiologi mengantarkan kita kepada mazhab
konflik dan konsensus. Mazhab konflik sampai saat ini tidak lain berpedoman kepada tulisan-
tulisan Marx dan Weber, di mana penekanannya adalah pada kontradiksi, ketegangan dan
konflik kelas di masyarakat.
Pembahasan kita kali ini akan melihat bagaimana dua tokoh teoritisi mazhab konsensus,
Durkheim dan Tocqueville yang memberikan penekanan atau arti penting bagi masyarakat sipil
(civil society) dalam pembangunan politik, di mana hal itu berbeda dengan Marx yang
menekankan pada ekonomi dan Weber yang menekankan pada negara.
PEMBAHASAN
1. Emile Durkheim
Bagi Durkheim, Sosiologi adalah studi mengenai fakta sosial. Fakta sosial dapat
diartikan kekuatan eksternal yang memaksa, menjadi panduan bersama yang telah
diinternalisasi ke dalam diri individu menganai apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan.
Dengan kata lain, seperti lazim diketahui bahwa Durkheim sangat mengakui keutamaan
masyarakat atas diri manusia secara individual, di mana hal tersebut (fakta sosial) telah menjadi
semacam tatanan moral yang menjaga integrasi dan harmonisasi kelompok masyarakat. Salah
satu karya Durkheim – suicide misalnya, ingin menjelaskan bahwa perilaku bunuh diri bukan
disebabkan oleh faktor psikologis, melainkan sosial. Individu dapat memutuskan bunuh diri
dikarenakan dua hal, yaitu dinamika regulasi dan integrasi di dalam sistem sosial –
masyarakatnya.
Teoritisi sosial klasik seperti Comte, Spencer, Marx, Weber termasuk Durkheim
berusaha ingin menjelaskan proses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat akibat dari
revolusi politik dan industri. Perubahan sosial tentunya berimplikasi pada hancurnya tatanan
moral lama digantikan dengan tatanan moral baru yang memiliki dampak tersendiri dan
dianggap menimbulkan chaos dan conflict. Khusus bagi Durkheim, berpendapat bahwa
penyebabnya ialah kegagalan dari prinsip-prinsip institusi sosial untuk menanamkan dengan
benar norma dan nilai masyarakat. Bagi Durkheim, institusi sosial dibutuhkan untuk semacam
rejuvenation (peremajaan, pemulihan atau perbaikan) moral. Oleh karena itulah, Durkheim
sangat menekankan pentingnya pendidikan moral dan sekolah – institusi pendidikan menjadi
pusat bagi perbaikan atau pembaruan masyarakat mencakup keterlibatannya dalam
memberikan arahan secara hati-hati terkait dengan sifat tatanan moral. Durkheim percaya
bahwa masyarakat adalah sumber moralitas. Untuk itu, pendidikan moral adalah penting agar
individu dapat mengambil perannya di masyarakat dan pada suatu waktu tertentu memberikan
intervensi-intervensi sosial bagi isu-isu politik.
Society (Masyarakat)
Masyarakat menjadi fokus dalam kajian Durkheim. Terdapat beberapa unsur kunci
pembentuk masyarakat, yaitu: norma dan hukum; institusi-institusi; simbol-simbol termasuk
ritual di dalamnya; dan pembagian kerja.
Norma dan Hukum Sosial
Norma dan hukum merupakan elemen dasar masyarakat – fakta sosial. Institusi sosial
seperti keluarga, pendidikan dan agama menjadi pusat dalam proses transmisi nilai-nilai
masyarakat. Nilai, norma dan hukum tersebut nantinya akan menjadi panduan berpikir dan
berperilaku. Durkheim menjelaskan bahwa terdapat perbedaan jenis hukum yang diakui
bersama antara masyarakat primitif dan masyarakat modern. Dalam masyarakat primitif,
berlaku hukum represif. Karena kelompok masyarakat ini memiliki jenis solidaritas mekanis
yang mana identik dengan homogenisasi dan memiliki tingkat kesadaran kolektif tinggi.
Mereka sangat percaya pada moralitas bersama, di mana pelanggaran terhadap sistem nilai
bersama akan diberikan hukuman yang berat.
Institusi
Institusi menyediakan panduan norma dan hukum bagi masyarakat. Mereka dicirikan
dengan perbedaan tugas dan fungsi satu sama lain. Pendidikan merupakan pusat untuk
mensosialisasikan cara dan norma yang berlaku pada masyarakat tertentu. Kegagalan
masyarakat seperti timbulnya perilaku kriminal dapat ditelusuri sebagai akibat dari kegagalan
institusi pendidikan. Begitupun dengan institusi agama, ia memiliki posisi sentral dalam sistem
sosial. Agama memberikan perekat dasar atau integritas bagi tatanan sosial, baik itu tatanan
sosial primitif maupun modern. Agama menyediakan hukum dan nilai pokok bagi masyarakat.
Bagi Durkheim, esensi agama adalah dengan mengidentifikasi antara yang sakral dan
yang profan. Sakral diartikan sebagai sesuatu yang suci mencakup ritual-ritual keagamaan yang
berubah menjadi simbol religius nyata. Agama yang dipandang Durkheim sebagai institusi
penting untuk mengerti bagaimana masyarakat atau bangsa bekerja menjadi bertentangan
dengan pandangan Marx (agama adalah refleksi kapitalisme).
Budaya, Simbol dan Ritual
Pembagian Kerja
Ketika Marx dan Weber menggunakan konsep kelas sosial, maka Durkheim memilih
untuk menggunakan konsep pembagian kerja. Ketika Herbert Spencer mengatakan masyarakat
akan mengalami peningkatan kompleksitas seperti yang dialami oleh organisme biologi, maka
Durkheim menjelaskan, meningkatnya masyarakat akan meningkatkan pembagian kerja.
Masyarakat modern akan terspesialisasi dengan beragam pekerjaan yang berbeda satu sama
lain. Lain halnya dengan Comte yang mengatakan meningkatnya pembagian kerja akan
meruntuhkan moral sosial, bagi Durkheim justru hal ini akan menciptakan moralitas sosial
baru. Morlitas ini akan menjadi landasan yang mengikat dan memaksa masyarakat untuk tetap
hidup bersama.
Marx menganggap bahwa negara merupakan refleksi dari sistem ekonomi kapitalisme
yang menindas. Begitupun Weber yang melihat negara sebagai bentuk dominasi yang sah dan
erat kaitannya dengan kekerasan. Sementara Durkheim, meyakini bahwa negara sama halnya
dengan institusi sosial lain. Negara adalah wadah bagi terciptanya konsensus secara
menyeuluruh bagi masyarakat. Kehadiran negara menjadi penting untuk menjaga komitmen
moral bersama yang telah dibangun. Tujuan negara tidak lain merupakan tujuan
masyarakatnya.
Namun demikian, negara mungkin saja memiliki tujuannya sendiri yang ternyata sering
sengaja bertentangan dengan kebutuhan dan kepentingan sebagian besar warga negara atau
masyarakatnya. Untuk itu Durkheim mengatakan bahwa negara modern sebenarnya jauh dari
pengaruh masyarakat. Sementara pembagian kerja merupakan elemen inti masyarakat yang
dapat menghubungkan negara dengan masyarakat modern dan kehidupan individu. Oleh
karena itulah Ia menekankan pentingnya organisasi sosial kelompok kerja dalam Ritzer atau
Ginddens menyebutnya asosiasi golongan karya. Untuk menjaga komitmen moral,
sesungguhnya diperlukan kelompok konkret yang terikat dengan prinsip dasar organisasi
modern. Dengan kata lain, kelompok kerja ini dapat menjadi salah satu bentuk dari masyarakat
sipil.
2. Alexis de Tocqueville
Dalam konteks asosiasi otonom itu, Tocqueville melihat bahwa sistem demokrasi yang
mapan berpotensi membentuk rezim order yang membatasi kebebasan. Pemikiran ini berbeda
dengan pemikiran Hegel yang mengutamakan order. Bukan berarti ia tidak memandang
penting kebebasan, hanya saja ada kekhawatiran apabila kebebasan tanpa batas justru
menghancurkan eksistensi dari masyarakat sipil. Selain itu, negara tetap perlu memiliki
kedaulatan terhadap masyarakat, walaupun tetap perlu ada pembatasan wewenang negara
melalui hukum, dan hukum itu juga berlaku kepada masyarakat.
Bellah mengadopsi ide dari Durkheim, dan Ia berpendapat bahwa politik di Amerika
telah menjadi apa yang disebutnya sebagai agama sipil. Masyarakat perlu menegakkan secara
berkala mengenai sentimen dan ide-ide kolektif dalam meningkatkan kesatuan. Bellah
mungkin mengira politik, bukan sebagai politik dalam arti konvensional, tetapi sebagai
semacam cara hidup, atau beragama, bagi warga negara Amerika. Dalam pengamatan Bellah,
Akar agama sipil Amerika, dapat ditemukan dalam beberapa pernyataan utama dan interpretasi
dari tokoh politik terkemuka.
Coleman mengusulkan bahwa individu memiliki sesuatu yang disebut modal sosial,
menggambar inspirasi yang coba diaplikasikan oleh ekonom Glenn Loury. Modal sosial
mengacu pada sumber daya sosial yang memiliki individu dan di mana mereka dapat menarik
dalam membuat keputusan penting dan mengambil tindakan kritis. Loury menggunakan
konsep ini untuk merujuk pada keluarga dan jaringan hubungan dalam menjelaskan prestasi
ekonomi individu.
Coleman menggambarkan ide modal sosial dengan berbagai referensi. Dia merujuk,
misalnya, untuk ide dari "asosiasi kredit berputar," sebuah asosiasi yang dibuat terkenal oleh
sebuah artikel oleh Geertz. Asosiasi kredit berputar adalah bentuk usaha ekonomi koperasi di
kalangan orang-orang dari masyarakat Asia tenggara. Dengan bergabung bersama-sama, dalam
usaha umum, mereka yang memiliki sumber daya sedikit, dan kemudian dapat memutar dalam
menggambar pada dana umum kredit yang diciptakan oleh kolam besar. Ini memberikan
jawaban yang sukses pada situasi di mana tidak ada satu anggota memiliki cukup dana untuk
memulai usaha ekonomi, di mana kumpulan individu tersebut dapat memberikan dana tersebut
secara rutin ke sesama anggota. Setelah anggota mengacu pada dana, ia diharuskan membayar
mereka kembali dari pendapatan usaha nya.
Referensi:
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terj. Jakarta: PT Gramedia.