Anda di halaman 1dari 16

DOSEN : Dr. Mansyur Rajab, M.

Si
MATA KULIAH : Teori – Teori Sosiologi

TEORI EMILE DURKHEIM

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3
MUHAMMAD RIFADLY UTINA E032181005
MUHAMMAD NUR AKBAR T E032181007
AKSAN AMADI E032181011
RIDHA VIVIANTI SAM ACHMAD E032181014

SOSIOLOGI
PASCASARJANA ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
EMILE DURKHEIM

A. Biografi Emile Durkheim

Emile Durkheim lahir di Epinal, provinsi Lorraine, Perancis Timur pada


15 April 1858. Durkheim boleh disebut sebagai sosiologi Perancis pertama yang
sepanjang hidupnya menempuh jenjang ilmu sosiologi yang paling akademis.
Dialah yang juga memperbaiki metode berfikir sosiologis yang tidak hanya
berdasarkan pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi sosiologi akan menjadi
ilmu pengetahuan yang benar katanya apabila mengangkat gejala sosial sebagai
fakta-fakta yang dapat diobservasi. 
“A thing he definite as anything that could be observed. Social
phenomena, he said, must be treated as “things”, If Sociology was to be made a
science.” dan Durkheim pula dengan kukuh menolak interpretasi yang biologistik
dan psikoligistik terhadap masalah-masalah sosial. Itulah sebabnya Sorokin
memasukkan Durkheim masuk ke dalam aliran sosiologistik.
Dia dilahirkan dalam keluarga agamis namun pada usia belasan tahun
minat terhadap agama lebih akademis daripada teologis. Pada usia 21 tahun
Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure setelah sebelumnya gagal dalam
ujian masuk. Di Universitas tersebut dia merupakan mahasiswa yang serius dan
kritis, kemudian pemikiran Durkeim dipengaruhi oleh dua orang profesor di
Universitasnya itu (Fustel De Coulanges dan Emile Boutroux).
Setelah menamatkan pendidikan di Ecole Normale Superieure, Durkheim
mengajar filsafat di salah satu sekolah menengah atas (Lycees Louis-Le-Grand) di
Paris pada tahun 1882 sampai 1887. Kemudian masih pada tahun 1887 (29 tahun)
disamping prestasinya sebagai pengajar dan pembuat artikel dia juga berhasil
mencetuskan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang sah di bidang akademik karena
prestasinya itu dia dirgai dan diangkat sebagai ahli ilmu sosial di fakultas
pendidikan dan fakultas ilmu sosial di universitas Bourdeaux.
Tahun 1893 Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa
perancis yaitu The Division of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa Latin
tentang Montesqouieu. Kemudian tahun 1895 menerbitkan buku keduanya yaitu
The Rules of Sociological Method. Tahun 1896 diangkat menjadi professor penuh
untuk pertama kalinya di Prancis dalam bidang ilmu sosial. Tahun 1897
menerbitkan buku ketiganya yang berjudul Suicide (Le-Suicide) dan mendirikan
L’Anée Sociologique (jurnal ilmiah pertama tentang Sosiologi). Tahun 1899
Durkheim ditarik ke Sorbonne dan tahun 1906 dipromosikan sebagai profesor
penuh dalam ilmu pendidikan. Enam tahun keudian (1912) menerbitkan karya
keempatnya yaitu The Elementary Forms of Religious Life. Satu tahun setelahnya
(1913) kedudukannya diubah menjadi professor ilmu Pendidikan dan Sosiologi.
Pada tahun ini Sosiologi resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat
terhormat di Prancis. Tahun 1915 Durkheim mendapat musibah, putranya (Andre)
cedera parah dan meninggal. Pada 15 November 1917 (pada usia 59 tahun)
Durkheim meninggal sesudah menerima penghormatan dari orang-orang
semasanya untuk karirnya yang produktif dan bermakna, serta setelah dia
mendirikan dasar Sosiologi ilmiah.

B. Teori – teori Emile Durkheim

Teori Solidaritas (The Division of Labour in Society)


The Divisoin of Labor in Society telah disebut sebagai karya klasik
pertama sosiolog, dalam karya durkheim tersebut melacak perkembangan relasi
modern diantara para individu dan masyarakat. Tesis The Divisoin of Labor in
Society ialah bahwa mayarakat modern tidak disatukan oleh kemiripan-kemiripan
di antara orang–orang yang melakukan hal-hal yang pada dasarnya sama. Malahan
pembagian kerja itu sendirilah yang menarik orang-orang bersama dengan
memaksa mereka saling tergantung satu sama lain. Mungkin tampak bahwa
pembagian kerja adalah suatu kebutuhan ekonomis yang merusak perasaan
solidaritas, tetapi Durkheim berargumen bahwa “layanan-layanan ekonomis yang
dapat ia berikan tidak begitu penting di bandingkan dengan efek moral yang ia
hasilkan dan fungsinya yang sebenarnya ialah untuk menciptakan perasaan
solidaritas antara dua orang atau lebih”.

Durkheim paling tertarik pada cara berubah yang menghasilkan solidaritas


sosial, dengan kata lain cara berubah yang mempersatukan masyarakat dan
bagaimana para anggotanya melihat dirinya sebagai bagian dari suatu
keseluruhan. Untuk menangkap perbedaan tersebut durkheim mengacu kepada
dua tipe solidaritas mekanis dan organik. Suatu masyarakat yang dicirikan oleh
solidaritas mekanis bersatu karena semua orang adalah generalis. Ikatan diantara
orang-orang itu ialah karena mereka semua terlibat di dalam kegiatan-kegiatan
yang mirip dan mempunyai tanggung jawab-tanggung jawab yang mirip.
Sebaliknya suatu masyarakat yang dicirkan oleh solidaritas organik dipersatukan
oleh perbedaan-perbedaan diantara orang-orang, oleh fakta bahwa semuanya
mempunyai tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda.

 1. Solidaritas mekanis 


Solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif (pelaku suatu kejahatan
atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas
kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu), karena anggota masyarakat
jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain, dan karena mereka cenderung sangat
percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap system nilai
bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Pelanggar akan
dihukum atas pelanggaranya terhadap system moral kolektif. Meskipun
pelanggaran terhadap system moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja
akan dihukum dengan hukuman yang berat.

2. Solidaritas organik 
Masyarakat solidaritas organik dibentuk oleh hokum restitutif (bertujuan
bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari
suatu masyarakat yang kompleks). Dimana seseorang yang melanggar harus
melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat sebagai serangan
terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari masyarakat bukannya
terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya moral kebanyakan
orang tidak melakukan reaksi secara emosional terhadap pelanggaran hukum.
Durkheim berpendapat masyarakat modern bentuk solidaritas moralnya
mengalami perubahan bukannya hilang. Dalam masyarakat ini, perkembangan
kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan
kesadaran-kesadaran individual yang lebih mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi
semakin tergantung satu sama lain, karena masing-masing individu hanya
merupakan satu bagian saja dari suatu pembagian pekerjaan sosial.
Perbedaan mekanis dan organis diantaranya solidaritas mekanis dicirikan
dengan masyarakat tradisional, tersegmentasi, hukum represif dan kesadaran
kolektifnya tinggi. Sedangkan  solidaritas organis dicirikan dengan masyarakat
modern, terdiferensiasi, hukum restitutif, dan spesialisasi.
Dalam The Division of Labor, Durkheim menggunakan ide patologi untuk
mengkritik beberapa bentuk “abnormal” yang ada dalam pembagian kerja
masyarakat modern, yaitu:
1. Pembagian kerja anomik
Pembagian kerja anomik adalah tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang
menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberitahu
masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan.
2. Pembagian kerja yang dipaksakan
Patologi kedua ini merujuk pada fatwa bahwa norma yang ketinggalan zaman
dan harapan bisa memaksa individu, kelompok dan kelas masuk ke dalam
posisi yang tidak sesuai bagi mereka. Tradisi, kekuatan ekonomi atau status
bisa men-jadi lebih menentukan pekerjaan yang akan dimiliki ketimbang bakat
dan kualifikasi.
3. Pembagian kerja yang terkoordinasi buruk
Hal ini terjadi katika fungsi-fungsi khusus yang dilakukan oleh orang-orang
yang berbeda-beda dan tidak diatur dengan baik.

Durkheim berargumen bahwa masyarakat-masyarakat primitif memiliki


nurani kolektif yang lebih kuat, yakni pengertian-pengertian, norma-norma dan
kepercayaan-kepercayaan yang lebih banyak dianut bersama. Pembagian kerja
yang bertambah telah meyebabkan berkurangnya nurani kolektif. Nurani kolektif
jauh kurang berarti dalam masyarakat dalam solidaritas organik dalam masyarakat
mekanik. Manusia dalam masyarakat modern lebih mungkin dipertahankan
bersama dengan pembagian tenaga kerja dan kebutuhan yang dihasilkan sebgaai
fungsi yang dilakukan oleh orang lain, bahkan mereka sendiri melalui nurani
kolektif bersama yang kuat. Namun demikian, masyarakat-msyarakat organik pun
mempunyai suatu nurani kolektif, meskipun dalam bentuk yang lebih lemah yang
memungkinkan perbedaan-perbedaan individu yang lebih banyak.

Durkheim percaya bahwa penyebab peralihan dari solidaritas mekanis ke


solidaritas organis ialah kepadatan dinamis. Konsep itu mengacu pada jumlah
orang di dalam suatu masyarakat dan jumlah interaksi yang terjadi di antara
mereka. Masalah-masalah yang dihubungkan dengan dinamika intensitas biasanya
dipecahkan melalui diferensiasi dan pada akhirnya muncul bentuk-bentuk baru
organisasi sosial. Munculnya pembagian kerja memungkinkan orang-orang untuk
saling melengkapi ketimbang berkonflik dengan satu sama lain. Selanjutnya
pembagian kerja yang bertambah menghasilkan efisiensi yang lebih besar dengan
hasil bahwa sumber-sumber daya bertambah yang membuta persaingan antara
mereka lebih damai. Dengan demikian di dalam suatu masyarakat yang dicirikan
oleh solidaritas organik, ada lebih banyak solidaritas dan lebih banyak
individualitas daripada yang ada pada masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas
mekanis (Rueschemeyer, 1994). Maka individualitas bukanlah lawan dari ikatan-
ikatan sosial yang erat melainkan suatu persyaratan untuk itu (Muller, 1994).

Argumen Durkheim bahwa suatu masyarakat dengan solidaritas mekanis


dicirikan oleh hukum yang represif (menindas), karena itu orang-orang sangat
mirip di dalam tipe masyarakat tersebut dan karena mereka cenderung percaya
sangat kuat pada moralitas bersama. Seorang pelaku kejahatan kemungkinan besar
dihukum keras untuk setiap perbuatan yang menyerang sistem mora kolektif.
Sebaliknya suatu masyarakat dengan solidaritas organik dicirikan dengan hukum
restitutif yang menghendaki para pelanggar memberikan ganti rugi atas kejahatan
mereka. Di dalam masyarakat demikian, pelanggaran-pelanggaran lebih mungkin
dilihat sebagai perbuatan melawan individu tertentu atau segmen masyarakat
daripada melawan sistem moral itu sendiri.

Klaim yang paling kontroversial oleh durkheim yang mengatakan bahwa


ia mampu membedakan antara mayarakat yang sehat dan patologis yang ia tulis
dalam bukunya The Rules of Sosiological Method (1895/1982). Ia mengklaim
bahwa masyarakat yang sehat dapat dikenali karena ia menemukan kondisi-
kondisi serupa di dalam masyarakat-masyarakat lain pada tahap-tahap yang
serupa. Jika suatu masyarakat menyimpang dari apa yang ditemukan secara wajar,
mungkin masyarakat itu patologis. Di dalam The Division of Labor dia
menggunakan ide patologi untuk mengktritik beberapa bentuk “abnormal”
pembagian kerja yang diterima di dalam masyarakat modern. Dia mengenali tiga
bentuk abnormal yakni pembagian kerja anomik, pembagian kerja yang
dipaksakan dan pembagian kerja ynag dikoordinasikan dengan buruk. Dari ketiga
bentuk ini Durkheim mengingatkan bahwa solidaritas organik mengalir dari
interdependensi masyarakat. Jika spesialisasi orang-orang tidak menghasilkan
interdependensi yang bertambah tetapi hanya pengasingan, pembagian kerja tidak
akan menghasilkan solidaritas sosial.

Pembagian kerja agar dapat berfugsi sebagai kekuatan moral dan


mengeraskan secara sosial di masyarakt modern, anomie, pembagian kerja yang
dipaksakan dan koordinasi spesialisasi yang tidak tepat harus diperhitungkan.
Masyarakat-masyarakat modern tidak lagi dipersatukn oleh pengalaman dan
kepercayaan bersama. Sebagai gantinya mereka di persatukan melalui perbedaan-
perbedaan mereka sendiri selama diizinkan berkembang dalam suatu cara yang
mendorong interdependensi. Kunci bagi Durkheim untuk hal tersebut adalah
keadilan sosial.

Maka tugas masyarakat-masyarakat yang paling maju adalah suatu


pekerjaan mewujudkan keadilan, sebagaimana ide mengenai masyarakat-
masyarakat yang lebih rendah ialah menciptakan atau memelihara sekuat
tenaga kehidupan bersama, yang menyerap individu, begitu juga lah cita-
cita kita adalah membuat relasi-relasi sosial selalu lebih pantas, sehingga
menjamin perkembangan bebas seluruh kekuatan kita yang bermanfaat
secara sosial. (Durkheim, 1893/1964:387).

Masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang


melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat
masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. solidaritas
menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan / atau kelompok
yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang
diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.

Fakta Sosial (The Rule Of Sociological Method) 


Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat
berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga
dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai
suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari
manifestasi-manifestasi individual.
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial:
a.  Fakta sosial Material
Fakta sosial material lebih mudah dipahami karena bisa diamati. Fakta
sosial material  tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih
besar dan kuta yang sama-sama berada di luar individu dan memaksa mereka.
Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.
b.   Fakta sosial Nonmaterial
Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan
tertentu, ia ada dalam fikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang
memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi
hukumnya sendiri. Individu masih perlu sebagai satu jenis lapisan bagi fakta
sosial nonmaterial, namun bentuk dan isi partikularnya akan ditentukan oleh
interaksi dan tidak oleh individu. Oleh karena itu dalam karya yang sama
Durkheim menulis : bahwa hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi
melalui manusia; mereka adalah produk aktivitas manusia.

Jenis-jenis fakta sosial nonmaterial:


a.   Moralitas
Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama,
Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas
bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa
individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas
bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti
dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog
moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada “kesehatan” moral
masyarakat modern.

b.   Kesadaran Kolektif
Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh
kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat
akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita
boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan
demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari
lewat kesadaran-kesadaran partikular”.
Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran
kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut
“keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami
kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta
sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis
material sebagaimana yang dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru
bisa “terwujud” melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan
kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adalah konsep yang sangat terbuka dan
tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa
masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian,
norma, dan kepercayaan bersama, lebih dari masyarakat modern.

c.   Representasi Kolektif
Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda
populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan
mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi
kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari
interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung
berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, atau berhubungan
dengan praktik seperti ritual.
d.  Arus Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak
menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan
“dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam
kumpulan publik.

e.   Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan
pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling
bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-
menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri
berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka
sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis,
hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa.

Teori Bunuh Diri


Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative
merupakan fenomena konkrit dan spesifik, di mana tersedia data yang bagus cara
komparatif. Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh
diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin Sosiologi. Dia melakukan
penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa. Secara statistik
hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa
gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan
untuk melakukan bunuh diri. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri
sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu
dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur
sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.
Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang
pokok dalam masyarakat:
a.  Bunuh Diri dalam Kesatuan Agama. Dari data yang dikumpulan Durkheim
menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan
dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya. Penyebabnya
terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing
agama tersebut kepada para penganutnya.
b.  Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga. Dari penelitian Durkheim disimpulkan
bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin
kecil pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar,
mengikat orang pada kegiatan-kegiatan sosial di antara anggota-anggota
kesatuan tersebut.
c.  Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik. Dari data yang dikumpulkan, Durkheim
menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan militer lebih
terintegrasi dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai. Sebaliknya
dengan masyarakat sipil. Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa
angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi atau pergolakan
politik, dibandingkan dengan dalam masa tidak terjadi pergolakan politik.
Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam: 
  
1. Bunuh Diri Egoistis.
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam
masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik
dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan
bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula
bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang
khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya
pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan
kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik didominasi oleh
perasaan kesia-siaan, moralitas dilihat sebagai pilihan individu, dan
pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakbermaknaan hidup,
begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial
dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu
menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
2.  Bunuh Diri Altruistis.
Terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah
dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu
contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di
Jonestown, Guyana pada tahun 1978. Contoh lain bunuh diri di Jepang
(Harakiri). Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan
yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu
yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seorang
akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat
dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.

3. BunuhDiri Anomic.
Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat
terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa
tidak puas karena lemahnya control terhadap nafsu mereka, yang akan
bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan.
Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama
tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada
pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti
pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerja nya kehilangan pekerjangan,
dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan.
Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang
tiba-tiba individu menjauh dari struktur tradisional tempat mereka
sebelumnya melekatkan diri.

4. Bunuh Diri Fatalistis.

Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim


menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti
seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh
disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan.
Teori tentang Agama (The Elementary Forms of Religious Life). 
Dalam teori ini Durkheim mengulas sifat-sifat, sumber bentuk-bentuk,
akibat, dan variasi agama dari sudut pandang sosiologistis. Agama menurut
Durkheim merupakan ”a unified system of belief and practices relative to sacret
things”, dan selanjutnya “ that is to say, things set apart and forbidden – belief
and practices which unite into one single moral community called church all
those who adhere to them.” Agama menurut Durkheim berasal dari masyarakat
itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap
sakral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.
Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari
collective consciouness sekalipun selalu ada perwujudaan-perwujudan lainnya.
Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang
sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective
representation. Tuhan itu hanya lah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang
menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah
personifikasi masyarakat).
Penelitian Durkheim lainnya adalah tentang masyarakat primitif yang
berguna untuk mengetahui asal-usul agama. Dalam penelitian itu, dimenyatakan
bahwa sumber dari agama adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat
mendefinisikan hal-hal tertentu sebagai sakral dan hal-hal lainnya sebagai profan.
Penelitiannya mengenai totemisme dilakukan pada masyarakat Arunta di
Australia. Totemisme adalah sistem agama di aman sesuatu–bisa binatang dan
tumbuhan–dianggap sakral dan menjadi simbol klan. Dari ritual keagamaan ini,
Durkheim mengkostruksi sosiologi pengetahuannya di mana  bahwa konsep dan
kategori-kategori fundamental kita (waktu yang berasal dari irama kehidupan
sosial; tempat dikembangkan dari pembagian tempat yang ditempati oleh
masyarakat; klasifikasi dilekatkan pada kelompok manusia; kekuatan berasal dari
pengalaman dengan kekuatan sosial; kausalitas sebagai ritual imitasi; dan
masyarakat sebagai representasi dari totalitas) adalah representasi kolektif yang
diciptakan masyarakat.
Pemujaan Individu
Di dalam diri manusia terdapat dua hakikat (homo duplex), yaitu (1)
didasarkan pada individu-alitas tubuh kita yang terisolasi; dan (2) hakikat kita
sebagai mahluk sosial. Point nomor dua (2) adalah yang merupakan diri kita yang
tertinggi dan merepresentasikan segala sesuatu yang deminya kita rela
mengorbankan kedirian dan kepentingan jasmaniah kita sendiri.
Pengertian kita tentang individualitas kita berkembang sebagaimana
berkembangnya masya-rakat. Hal ini terjadi dengan pembagian kerja yang
memahami diri kita sebagai bagian individu. Ketika kita sadar tentang individu
kita, kebutuhan dan hasrat nonsosial tersebut adalah egosime. Di pihak lain,
individu yang menjadi representasi kolektif dan oleh karena itu mengikat harapan
kohesi sosial di sekitar ide individualitas disebut individualisme moral. Homo
duplex merepresentasikan perbedaan antara mengejar ego dan hasrat individual
kita dengan kesiapan untuk mengorbankan mereka atas nama individualitas yang
kita percaya bahwa semua manusia memiliki keadaan yang sama.

Pendidikan Moral Dan Reformasi Sosial

Program refomasi dan pendekatan reformis Durkheim berkaitan dengan


keyakinannya bahwa masyarakat adalah sumber moralitas yang ditentu-kan oleh
fakta bahwa masyarakat perlu memiliki kemampuan untuk saling menghasilkan
tuntutan moral bagi individu.

Moralitas bagi Durkheim memiliki tiga kom-ponen, yaitu:


1. Disiplin
Otoritas yang menghalangi dorongan-dorongan idiosinkratis.
2. Keterikatan
Keterikatan yang dimaksud adalah keterikatan seseorang dengan kelompok
sosialnya atau masyarakatnya karena masyarakat adalah sumber dari moralitas
itu sendiri.
3. Otonomi
Di mana individu bertanggung jawab dengan atas tindakan mereka. Otonomi
baru memiliki ke-kuatan penuh dalam modernitas ketika mitos dan simbol-
simbol sistem moral terdahulu yang di-gunakan untuk menerapkan disiplin dan
menciptakan keterikatan sudah mandul.
Kesimpulannya, agama merupakan lambang collective representation
dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat
kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara
keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin
bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa
dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective
consciouness tersebut semakin lemah kembali.

Kritik Terhadap Emile Durkheim


Durkheim mendapat kritik terhadap jalan pikirannya yang tidak kenal
kompromi tentang besarnya peran jiwa kelompok yang membentuk individu-
individu anggota masyarakat yang oleh pengeritiknya dianggap berat sebelah.
Namun, Durkeim membantah kritikan tersebut sebab teori-teorinya bukan tak
berdasar, melainkan diperoleh dari penelitian-penelitian langsungnya dan dengan
metode-metode scientific.
Tampilnya Durkheim denganteori yang dikembangkannya telah merupakan
kekuatan tersendiri untuk menopang kedudukan Sosiologi di dalam
perkembangan selanjutnya. Dia telah mendapat tempat tersendiri di dalam
pemikiran sosiologi dan jasanya begitu besar. Sudah barang tentu tokoh sosiologi
ini tidak lepas dari berbagai kritik tajam yang dialamatkan kepadanya. Terutama
tentang jalan pikirannya tersebut.

Perlu dicatat, kebolehan Durkheim untuk menerapkan metode yang begitu


scientific di dalam menunjang teori-teori yang diajukannya. Sebagaimana kita
lihat dia beranjak dari fakta-fakta yang diatemukan dan kumpulkan secara
mendetail. Hampir semua teori yang diajukannya itu didukung oleh fakta-fakta
dan ini merupakan prestasi tersendiri dari Sosiolog Perancis ini.
DAFTAR PUSTAKA

Doyle P Johnson. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jil 1.  Jakarta:
Gramedia
Ritzer George. 2011. Teori Sosiologi. Jil 6. Bantul: Kreasi Wacana
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi.
Jakarta: Erlangga

Ritzer George. 2012. Teori Sosiologi. Jil 8. Bantul: Kreasi Wacana

Anda mungkin juga menyukai