A. Mukaddimah
1
(kebijaksanaan abadi) yang merupakan judul buku dari Ibnu Maskawaih (932-
1030). Selanjutnya di abad ke 20 filsafat perennial dihidupkan kembali oleh
beberapa pemikir kontemporer, seperti Aldoux Huxley, Charles B. Schmitt,
dan Huston Smith. Sedangkan di dunia pemikiran Islam kontemporer wacana
filsafat perennial dikembangkan, khususnya oleh Sayyed Husein Nasr dan
Fritjouf Schoun (Muhammad Isa Nuruddin).
Filsafat perennial atau yang disebut dengan kebijaksanaan universal
karena beberapa alasan yang kompleks, secara berangsur-angsur runtuh
menjelang akhir abad ke 16 atau awal masuknya zaman renaisance. Itulah
sebabnya Emanuel Wora menyebut filsafat perenial sebagai filsafat yang
terlupakan. Salah satu alasan yang paling dominan dari runtuhnya filsafat
perennial adalah perkembangan yang pesat dari filsafat materialis. Filsafat
materialis yang menjadi dasar filosofis modernisme telah merubah secara
radikal paradigma hidup dan pemikiran masyarakat. Berbeda dengan filsafat
perenial yang memandang alams semesta sebagai satu kesluruhan yang
tunggal, yang diresapi oleh suatu realitas transenden, dan yang menemukan
penjelasannya dalam realitas transenden tersebut. Filsafat materialis
memandang bahwa alam semesta didasarkan pada prinsip dan pola yang
mekanistik. Oleh karena itu, filsafat materialis sama sekali tidak memberikan
tempat bagi realitas transenden yang justru menurut pandangan filsafat
perennial menjadi inti dari realitas. Namun, seiring dengan perkembangan
zaman, di mana modernisme sampai pada klimaks dan manusia tiba pada
titik jenuh dari kehidupan yang serba materi dan fana. Kerinduan manusia
akan sisi primordialnya akan memanggil manusia untuk menggapai alam
transenden yang abadi. Dan filsafat perennial adalah salah satu jawabannya.
Oleh karena itu, ada yang meramalkan hari ini merupakan zaman
kebangkitan kembali dari filsafat perennial yang telah terkubur selama
berabad-abad.
Filsafat perennial, setidaknya dapat didekati dengan tiga sudut
pandang, yaitu epistemologis, ontologis, dan psikologis. Secara
epistemologis, filsafat perennial membahas makna, substansi, dan sumber
kebenaran agama serta bagaimana kebenaran itu berproses mengalir dari
Tuhan Yang Absolut dan kemudian tampil dalam kesadaran akal budi
manusia serta mengambil bentuk dalam tradisi keagamaan yang menyejarah.
Sedang dari pendekatan ontologis, filsafat perennial berusaha menjelaskan
adanya sumber dari segala yang ada (wujud qua wujud), bahwa segala
wujud ini hanyalah nisbi, realitas alam tak lebih dari sekedar jejak, kreasi,
maupun cerminan dari Dia (theophany). Sedangkan melalui pendekatan
psikologis, filsafat perennial berusaha mengungkapkan apa yang disebut
sebagai wahyu batiniah, kebenaran abadi, atau sophia perennis yang
terukir di dalam lembaran hati seseorang yang paling dalam yang senantiasa
rindu pada Tuhan dan senantiasa mendorong seseorang untuk berpikir dan
berprilaku benar. Dengan kata lain, secara psikologis filsafat perennial
2
meyakini pandangan bahwa dalam setiap diri manusia terdapat atman yang
merupakan pancaran dari Brahman.
3
(esoteris) dari agama maka kita akan tiba pada satu kesimpulan akan
kesatuan agama-agama (wahdah al-adyan) pada wilayah esoteris, kendati
berbeda pada ranah eksoteris.
1. Hanya ada satu Tuhan, abadi, satu-satunya Wujud, tak ada yang
eksis kecuali Dia.
Bagi kaum esoterik (mistikus atau sufi), Tuhan adalah sumber dan
tujuan dari segalanya, dan "segalanya adalah Tuhan". "Tuhan adalah setiap
hal dari segala" (Tuhan sebagai modes existence). Meskipun pada waktu
yang bersamaan, dari sudut pandang yang lain, setiap sesuatu "tidak berarti
apa pun". Karena keterbatasan akalnya, manusia tak dapat memahami
Tuhan sepenuhnya. Yang dapat dilakukan adalah membentuk konsepsi
tentang Tuhan bagi dirinya sendiri agar dapat membuat sesuatu yang dapat
dipahami dari hal yang tidak terbatas. Tuhan adalah Realitas Sejati (yang
nyata), Tugas kehidupan spiritual adalah menjadikan Tuhan sebagai realitas
sejati, sehingga bukan semata-mata imajinasi. Hubungan yang terjalin antara
manusia dengan Tuhan adalah lebih nyata jika dibandingkan hubungan
hubungan manusia yang lain dengan segala sesuatu yang ada di dunia.
Sesungguhnya pandangan dan gagasan tentang Tuhan adalah
sebuah jembatan yang menghubungkan kehidupan yang terbatas dengan
realitas yang tak terbatas. Siapa pun yang melewati jembatan ini akan
selamat melewati kehidupan yang terbatas menuju kehidupan yang tidak
terbatas. Gagasan tentang Tuhan atau pikiran ketuhanan adalah kedalaman
kehidupan, kedalaman aktivitas yang kepadaNya seluruh dan setiap aktivitas
dihubungkan.
Berbeda dengan kaum eksoterik yang membatasi Tuhan hanya
dalam doktrin teologinya semata, Kaum esoterik berpandangan, bahwa
Tuhan yang ia yakini adalah Tuhan dari setiap keyakinan, dan Tuhan dari
4
semua makhluk, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat pemahaman teologis.
Meskipun realitasNya hanya satu, tapi ia disebut dengan banyak nama. Allah,
Tuhan, God, Gott, Khuda, Brahma, Baghwan, semua nama ini adalah
namaNya. Namun, sesungguhnya dia berada di luar batasan nama.
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, kaum esoterik memandang
Tuhan adalah "setiap hal dari segala". Kaum esoterik melihat Tuhan di
matahari, api, patung, yang disembah sekte-sekte yang berbeda-beda., dan
mereka mengenalNya dalam segala bentuk semesta. Tuhan adalah yang
lahir dan yang batin, satu-satunya Wujud, Tuhannya kaum esoterik bukan
semata-mata keyakinan religius, tetapi juga cita-cita tertinggi yang dapat
dibayangkan dan dijangkau oleh manusia.
5
menyaksikan sisi Ilahi atau Ketuhanan dalam imanensiNya yang maujud di
alam semesta, dan baginya kehidupan menjadi penyingkapan sempurna lahir
dan batin. Pada saat kita berusaha untuk membangkitkan potensialitas roh
bimbingan dalam diri kita, maka kita akan menemukannnya dalam wujud
Bodhi satva, guru-guru spiritual, para rasul atau para imam. Roh bimbingan
itu akan selalu ada dan dengan cara inilah pesan Tuhan akan disampaikan
dari masa ke masa.
Seringkali yang menyebabkan pertengkaran serta peperangan di
antara manusia adalah kebergantungan pada guru-guru tertentu (mengakui
sebagian dan menolak sebagian yang lain). Masing-masing mereka
mengklaim guru yang satu lebih superior ketimbang yang lain dan
merendahkan guru-guru yang lain yang dihormati oleh orang-orang yang dari
bukan golongannya. Pembeda-bedaan seperti ini tentu saja sama dengan
membeda-bedakan manifestasi-manifestasi Ilahi dalam wujud bimbinganNya.
Pada dasarnya guru atau mursyid kita hanyalah media atau guide yang
mengantarkan kita pada JalanNya, sedangkan guru atau mursyid yang lain
juga sama pembimbing bagi orang lain di tempat dan waktu yang berbeda
dengan kita. Dan oleh karena itu, klaim superioritas guru kita dengan
menafikan guru-guru spiritual yang lain bertentangan dengan ajaran esoterik
yang memandang bahwa risalah kebenaran itu satu tanpa mesti membeda-
bedakannya.
3. Hanya ada satu kitab suci, manuskrip alam yang sakral, satu-satunya
teks suci yang dapat mencerahkan pembacanya.
6
oleh kata-kata, dan karena itu mereka menjaga kebanaran batin ketika
mereka sendiri tak lagi mengungkapkannya.
4. Hanya ada satu agama, jalan kebenaran yang kokoh menuju cita-cita
yang memenuhi tujuan hidup setiap jiwa.
5. Hanya ada satu hukum, hukum timbal balik yang dapat dilihat oleh
kesadaran yang tidak egois, dan rasa keadilan yang terbangkitkan
7
agama-agama berbeda dalam ajaran tentang bagaimana manusia mesti
berbuat secara harmonis dan damai dengan sesamanya. Berbeda-beda
dalam penetapan hukum, namun sesungguhnya semuanya bertemu dalam
satu kebenaran, "berbuatlah kepada orang lain, sebagaimana engkau ingin
orang lain berbuat terhadap dirimu sendiri".
Resiprositas hukum dan kesadaran dalam ajaran esoterisme.
Esoterisme mengarahkan kita pada kedewasaan untuk terbiasa pada
berbagai sudut pandang individu. Namun, bukan berarti esoterisme tidak
mengindahkan sudut pandang individu. Ia menekankan pentingnya
kesadaran, bahwa pandangan kita hanyalah satu sudut pandang belaka dan
bahwa kita mesti belajar memandang segala sesuatu dari semua sudut.
Spiritualitas menggali perspektif yang lebih semakin luas. Membiarkan diri
kita terkungkung dalam sudut pandang sempit kita sendiri tidak akan
membawa kita kemana-mana kecuali berputar-putar dalam lingkaran,
"bagaikan seekor lalat dalam botol, yang tak dapat keluar". Intinya dalam
ajaran esoteriklah manusia dapat membangun harmonisasi kehidupan, untuk
itu diperlukan kesamaan pandangan dan kesadaran dalam wilayah
fondasional hukum yang tidak memihak pada salah satu sudut pandang saja.
8
7. Hanya ada satu moral, yakni cinta yang memancar dari penolakan
diri dan merekah dalam prilaku kebajikan
Dikatakan. Dalam sebuah hadis bahwa, "Allah itu Indah dan menyukai
keindahan". Hadis ini mengekspresikan kebenaran bahwa manusia, yang
menerima ruh Tuhan, memiliki keindahan dalam dirinya dan mencintai
keindahan, kendati keindahan bagi seseorang belum tentu indah bagi orang
lain. Manusia menanamkan rasa keindahan ini saat dia tumbuh, dan
menyukai aspek keindahan yang lebih tinggi ketimbang yang rendah. Tetap
ketika ia menyaksikan visi tertinggi dari keindahan, yakni yang Maha Gaib
melalui evolusi bertahap dari keindahan di dunia yanng tampak, maka
seluruh eksistensi menjadi satu visi keindahan tunggal bagi dirinya. Dengan
menyadari hal tersebut, kaum esoterik memuja keindahan dalam segala
aspeknya. Keindahan yang sejati terletak pada dimensi noumenal yang
9
"berada" di balik sisi fenomenal yang kita cerap oleh indera. Fenomena
estetis yang empirik hanyalah sarana bagi jiwa kita untuk mampu
"menangkap" gejala keindahan yang luar biasa di balik penampakan
empirikal tersebut.
Gerakan alam semesta dari sudut pandang esoteris menjadikan musik
sebagai awal dan akhir dari seluruh ritme alam semesta. Perbuatan dan
gerakan yang dibuat di dunia yang fenomenal maupun noumenal bersifat
musikal. Mereka terdiri dari berbagai vibrasi yang menyinggung bidang
eksistensi tertentu. Demikian pula dalam ritme gerakan dan alunan pujian
yang dilakukan oleh kaum esoterik untuk memuja Sang Kekasih merupakan
alunan musikal yang membentuk ritme syahdu yang mengantarkan jiwa sang
sufi untuk lebur dalam alunan ritme kesemestaan yang berporos (berawal
dan berakhir) pada Sang Realitas Pemilik Keindahan. Bagi para sufi
kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah karakter dasar dari diri kosmik
universal. Yang dari ketiga hal ini melahirkan keharmonisan alam semesta.
10
adalah pengenalan diri sebagai fondasi dalam pencapaian kebermaknaan,
keharmoniasan, dan kebahagiaan hidup.
10. Hanya ada satu jalan, pelenyapan ego palsu ke dalam ego sejati,
yang mengangkat ego yang fana' menuju keabadian, tempat segala
kesempurnaan
11
Filsafat perennial memberikan suatu pendekatan lain untuk menuju
konsepsi pluralisme. Filsafat perennial membangun konsep pluralisme
agama dengan menggunakan metode kritis-kontemplatif. Filsafat perennial
mendasarkan konsep pluralismenya pada pendekatan trans-historis dan
metafisis serta tidak terpaku pada pendekatan akademik historis atau
sosiologis belaka. Kearifan sosial yang terbangun dalam bentuk-bentuk
sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad Fathi Osman merupakan
implikasi dari pendekatan pemahaman agama yang trans-historis dan
metafisis.
Filsafat perennial tidak meyakini bahwa semua agama sama atau tidak
menghargai religuisitas yang partikular serta mereduksi praktek-praktek
keberagamaan yang eksoterik menjadi tidak bernilai. Apalagi sampai
menelanjangi identitas dan simbol-simbol lahiriyah agama, karena hal
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai perennial itu sendiri. Filsafat
perennial berpandangan bahwa Kebenaran Mutlak hanyalah satu, tetapi dari
Yang Satu itu memancar berbagai kebenaran sebagaimana matahari yang
secara niscaya memancarkan cahayanya. Hakikat cahaya adalah satu dan
tanpa warna tetapi spektrum cahayanya ditangkap oleh mata manusia dalam
kesan yang beraneka warna. Artinya, meskipun hakekat dari agama itu satu
sebagaimana yang diuraikan dalam kesepuluh prinsip universalitas esoteris.
Tetapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu tidak secara simultan,
maka pluralitas dan partikularitas bentuk dari bahasa agama tidak bisa
dielakkan dalam realitas sejarah. Dengan kata lain, pesan kebenaran yang
Absolut itu bersimbiose dan berpartisipasi dalam dialektika sejarah. Itulah
sebabnya secara eksoterik-historis agama tampil dalam berbagai wajah,
namun pada ranah esoterik-transhistoris agama pada dasarnya satu karena
berasal dari realitas trans-historis yang tak mengenal partikularitas dan
pluralitas. Dalam konsep eskatologis, karena filsafat perennial memandang
semua agama menuju pada tujuan yang sama dan berdasar pada kearifan
dan kebanaran yang sama pula. Maka akan terbangun sikap pluralis karena
memandang keselamatan eskatologis terbuka untuk seluruh manusia, dari
berbagai latar belakang agama maupun keyakinan.
Dengan memahami kesatuan agama secara substansial, maka filsafat
perennial akan mengantarkan kita untuk memahami agama -meminjam istilah
Alport- secara intrinsik dan tidak beragama menurut pola ekstrinsik. Pola
keberagamaan intrinsik kan mengantarkan kita untuk selalu memaknai dan
menghayati agama secara obyektif dalam ranah kehidupan kita. Secara
sosiologis hal ini akan membuat kita senantiasa bersikap arif dan menghargai
terhadap berbagai perbedaan yang tampak dengan orang lain. Ruang dialog,
saling memahami, kerjasama, dan persaudaraan sebagai perwujudan konsep
pluralisme akan lebih mudah untuk terbangun dalam ranah kehidupan sosial
umat beragama yang berbeda.
12
Dalam konteks membangun tatanan kemanusiaan yang ideal, filsafat
perennial akan mengantarkan manusia pada konsep pluralisme yang aktif,
arif dan konstruktif. Aktif dalam artian, pluralisme yang terbangun tidak hanya
sebatas pada koeksistensi pasif saja, melainkan sampai pada terbukanya
kerjasama dan dialog yang aktif. Arif dalam artian, pluralisme yang terbangun
tidak hanya berhenti pada toleransi semata, tapi pluralisme yang terbangun
menghasilkan persaudaraan universal yang humanis tanpa dibatasi oleh
sekat-sekat keyakinan. Selain itu pluralisme yang terbangun juga akan
mengantarkan manusia untuk menghargai persamaan nilai-nilai universal dari
semua agama. Konstruktif dalam artian pluralisme yang terbangun akan
membentuk sistem-sistem sosial yang akan mengarahkan manusia pada
sebuah kemajuan peradaban manusia yang humanis dan damai.
Sebagaimana dikatakan oleh Ayatullah Sayyid Ali KhameneI
(pemimpin spiritual Iran), pada suatu pertemuan agama-agama di Teheran.
Pluralisme perennial berpandangan bahwa agama pada dasarnya
menganggap keselamatan dan kesejahteraan umat manusia sebagai tujuan
utamanya. Setiap agama pada dasarnya menampilkan program Tuhan
kepada umat manusia sesuai dengan tuntutan zaman, ruang, dan kapasitas
umatnya. Pembawa misi agama (para nabi dan pelanjut setianya) sebagian
besar menanggung perjuangan berat dan panjang untuk menyampaikan dan
merealisasikan misinya. Perjuangan dan dan jerih payah penuh keimanan ini
ditujukan pada keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Dengan
demikian dengan memahami merealisasikan konsepsi pluralisme perennial
maka diharapkan akan terwujud tatanan sosial kemanusiaan yang ideal yang
mengantarkan manusia pada pintu gerbang kejayaan peradaban yang
humanis dan damai.
13