Anda di halaman 1dari 3

Pendahuluan

Sejalan dengan perkembangan pemikiran khususnya masalah teologi agama


(theology of religions) menjadi pokok perhatian dikalangan intelektual
muslim ataupun nonmuslim, claim kebenaran yang menjadi pangkal
tumbuhnya sikap eklusif agama yang selama ini membingkai umat dalam
dinding-dinding keyakinan dan keimanan kembali terusik, semua pemeluk
agama dituntut melakukan sebuah refleksi dan konstruksi pemahaman diri
dalam kondisi pluralisme agama yang semakin kuat dan sekaligus menjadi
gerakan keagamaan yang dinamis dan progresif yang sudah menimbulkan
sebuah kesadaran ingin mempertahankan pemahaman lama meskipun begitu
banyak biaya, tenaga dan pikiran yang harus dikorbankan.

Diskursus keagamaan dapat dilacak dari beberapa pendekatan dan


perspektif; Kebudayaan, normative dan filsafat. Dilihat dari keterkaitan
agama dan kebudayaan dalam tulisan karya Khoirul Muqtafa mengenai hal
ihwal relasi agama dan kebudayaan terbagi tiga fase; Pertama, fase dimana
agama dan kebudayaan dipandang sebagai dua komponen yang sulit
dipisahkan antara satu dan lainnya. Sehingga sulit melakukan diferensiasi
nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebudayaan. Kedua, fase dimana agama dan
kebudayaan mulai mengalami diferensiasi structural, agama dan
kebudayaan mulai menjadi institusi tersendiri. Ketiga, fase dimana
diferensiasi agama dan kebudayaan semakin transparan dan mulai ada jarak
interaksi keduanya.1 Khoirul Muqtafa terlihat nampak ingin menegaskan
bahwa secara sosial budaya agama bersifat dinamis dan progresif seiring
dengan tingkat perkembangan pemikiran dan peradaban.

Keberagaman merupakan sunnatullah yang sudah semestinya harus


direnungi dan diyakini setiap umat, kesadaran umat beragama menjadi

1
M. Khoirul Muqtafa, dalam “Nilai-nilai pluralisme dalam Islam; bingkai gagasan
yang berserak” ed.sururin, tahun 2005 hal. 52.
kunci keberlangsungan dalam menjalankan agamanya masing-masing.
Setiap agama mempunyai substansi kebenaran, dalam filsafat perenial suatu
konsep dalam wacana filsafat yang banyak membicarakan hakekat Tuhan
sebagai wujud absolut yang merupakan sumber dari segala sumber wujud.
Sehingga semua agama samawi berasal dari wujud yang satu, atau adanya
visi bersama menghubungkan kembali the man of good dalam realitas
eksoterik agama-agama. Disamping itu pluralisme juga harus dipahami
sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan
pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan manusia, melalui
mekanisme dan pengimbangan masing-masing pemeluk agama dan
mengkisahkan secara obyektif dan transparan tentang historis agama yang
dianutnya. (QS. Al-Baqarah 2 : 251).

Pengertian Pluralisme

Pluralisme berasal dari kata pluralis yang berarti jamak, atau pluralizzing
sama dengan jumlah yang menunjukkan lebih dari satu, atau lebih dari dua
yang memiliki dualis, sedangkan pluralisme sama dengan keadaan atau
paham dalam masyarakat yang majemuk bersangkutan dengan system social
politiknya sebagai budaya yang different dalam satu masyarakat.2 Dalam
kamus filsafat, pluralisme memiliki beberapa ciri; Pertama, realitas
fundamental bersifat jamak, berbeda dengan dualisme yang mengatakan
bahwa realitas fundamental ada dua dan monisme menyatakan bahwa
realitas fundamental hanya satu. Kedua; Banyak tingkatan
peristiwa/kejadian dalam alam semesta yang terpisah tidak bisa diredusir
dan pada dirinya independen. Ketiga; alam semesta pada dasarnya tidak
ditentukan dalam bentuk dan tidak mempunyai unity atau kontinuitas
harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan kohern dan rasional
fundamental. Pluralisme agama merupakan sebuah konsep yang memiliki
2
Fuad Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke II (Jakarta: Balai Pustaka,
1990), 777.
arti yang luas, berhubungan dengan penerimaan terhadap agama-agama
yang berbeda dan dimanfaatkan dalam cara yang berlainan pula.3

3
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2006), 853.

Anda mungkin juga menyukai