Anda di halaman 1dari 35

Madrasah Ruhani | 1

DIRI, HATI, AKAL DAN JIWA:


PSIKOLOGI SUFI UNTUK MEMAHAMI KONSEP DIRI DAN
KESEIMBANGAN JIWA
Oleh: Farhan al-Fuadi, S.Ud.

Mari, ketahuilah bahwa indera dan imajinasi serta pengertianmu bagaikan batang bambu yang ditunggangi anak-
anak.
Pengetahuan spiritual manusia membumbungkannya ke atas; pengetahu-an inderawi manusia adalah beban.
Tuhan telah berfirman, „Seperti keledai yang membawa kitab-kitab‟: betapa berat pengetahuan yang tak diilhami
oleh-Nya;
Namun apabila engkau membawanya bukan untuk kepentingan diri sendiri, maka beban itu akan terangkat dan kau
akan merasa bahagia.
Bagaimana engkau bisa bebas tanpa anggur-Nya, wahai engkau yang puas dengan tanda-Nya?
Apa yang lahir dari sifat dan nama? Khayalan; namun khayalan hanya menunjukan jalan menuju kebenaran.

-Jalaludin Rumi-

Tujuan utama tasawuf adalah mengantarkan manusia mengenali dirinya yang


sesungguhnya. Tasawuf tidak seperti ilmu kalam yang menghadirkan „Tuhan‟ di depan akal dan
memaksakan akal mengerti tentang „Tuhan‟ sedekat dan sedalam yang bisa dijangkau oleh akal,
akhirnya yang berhasil diketahui hanyalah konsep tentang Tuhan. Tasawuf berusaha
mendekatkan seorang salik dengan Tuhan yang sebenarnya, menghilangkan jarak antara
pengetahuan manusia dengan Dzat yang suci tak terjamah akal makhluk-Nya.
Tidak ada jalan lain kecuali mensucikan diri lebih dulu agar Tuhan pun berkenan
memperkenalkan diri-Nya dengan jalan-Nya sendiri dan memilih pengetahuan yang sesuai
dengan kadar dan daya tampung akal manusia, agar tidak saja dikenali tetapi “dilihat”.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, tasawuf berusaha menyediakan media-media yang
subur ditaburi benih-benih pengetahuan ketuhanan di dalam diri manusia; media itu tidak lain
ialah hati, akal, jiwa dan tentu saja diri kita sendiri. Oleh sebab itu studi-studi ketasawufan yang
dilakukan oleh para praktisi dan analis telah menempatkan tema diri, hati, akal dan jiwa begitu
sentral di dalam diskursus ketasawufan.
Dalam mendiskusikan tema-tema seperti hati, akal, jiwa dan diri tasawuf menghindari
diskusi tema-tema tersebut dalam pengertian fisikal dan medikal. Semua tema tersebut
dipandang dari sudut pandang spiritualisme dan jika pun menyangkut dengan fisik, tetap
dibatasi sejauh mana berhubungan dengan dunia ruhani kita.

HATI, AKAL DAN JIWA

Siapa kita? Bagaimana kita berperilaku? Dan apa yang mengendalikan segala perilaku
kita? Hingga bagaimana kehidupan kita di akhirat? Para sufi telah banyak membicarakan
pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sangat intens. Hampir semua buku-buku tasawuf
memberi perhatian pada persoalan-persoalan itu. Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut,
Madrasah Ruhani | 2

para sufi telah memulainya dari dengan mengajukan pertanyaan apakah sesungguhnya diri kita
hanya struktur fisik yang hidup sebagaimana layaknya binatang atau tumbuh-tumbuhan?
Dengan penuh kesadaran para sufi menjawab bahwa manusia tidak bisa disamakan dengan
binatang, meski tabiatnya yang menyimpang dari fitrahnya bisa menjadikannya sama dengan
binatang atau lebih buruk dari pada binatang. Semua berpangkal pada hati.
Tapi persoalannya apakah yang dimaksud hati itu adalah bagian dari organ tubuh kita?
Robert Frager sudah memberikan penjelasan yang gamblang dengan bahasa yang ringan di
dalam bukunya Hati, Diri dan Jiwa – sebuah buku yang ditranslit dari buku aslinya Heart, Self
and Soul: The Sufi Psychology of Growth. Dengan berusaha membuat perbandingan antara
psikologi modern dengan psikologi sufi, ia berkesimpulan bahwa para psikolog modern telah
membatasi perhatiannya pada aspik fisik, mereka sekedar menangkap fenomena kejiwaan tidak
berhasil memahami jiwa manusia yang sesungguhnya, yaitu aspek ruhani manusia.
Sementara kaum sufi telah dengan penuh dedikasi memberikan penjelasan yang luas
tentang hati dari aspek ruhaninya. Para sufi telah sampai pada hakikat manusia sesungguhnya.1
Sebagaimana juga metafisika Islam mengajar-kan bahwa unsur diri kita yang abadi adalah ruh.
Badan kita tidaklah abadi dan lekang dimakan zaman. Ruh yang akan kembali kepada
Pemiliknya itu, sepenuhnya membawa serta kualitas hati yang kita pelihara di dalam kehidupan
ini.
Hati dalam khazanah tasawuf dikenal qalbu. Tentu saja kita masih ingat konsep
managemen qalbu yang digagas oleh Aa Gimnastiar. Intinya bagaimana mengatur suasana hati
agar tidak terbawa arus hawa nafsu dan cemaran-cemaran duniawi. Para sufi klasik sudah
banyak bicara soal hati. Aktifitasnya, potensinya, karakter dan segala fenomenologi kejiwaan
yang dibawanya. Semua sufi merujuk kepada hadits Nabi yang masyhur “Di dalam jasad ada
segumpal daging, jika daging itu sehat, maka seluruh jasad dalam keadaan sehat, ingatlah, daging yang
dimaksud adalah hati.” Hadits tersebut merujuk kepada wujud fisik dan wujud ruhani sekaligus.
Dan rupanya seluruh amalan sufi diorientasikan untuk mendapatkan kesehatan bathiniyah
yang membawa dampak kepada kesehatan jasmaniyah.
Hati kita adalah sumber kecerdasan dan kearifan kita yang terdalam. Lokus atau pusat
pengetahuan spiritual manusia.2 Bahkan al-Gazali menyebut dengan tegas, qalbu yang kita
terjemahkan hati itu adalah hakikat diri kita, ialah yang menerima perintah dan larangan
Tuhan. Pengetahuan ini di dalam tradisi sufi sering kali dikenal dengan istilah ma‟rifat. Suatu
istilah yang tidak bisa disamakan dengan apa yang didefenisikan oleh para teolog sebagai
pengetahuan yang bersumber pada dalil-dalil yang meyakinkan dengan mengikuti penalaran
silogisme Aristotelian. Suatu defenisi yang diusahakan oleh para sufi sepenuhnya
berorientasikan spiritual. Pada batas-batas yang lebih matang ma‟rifat juga didefenisikan suatu
tahap dimana seorang sufi mengalami ketersingkapan bathiniyah (Mukasyafah). Tentunya kita
tidak memiliki kepentingan lebih banyak di dalam buku ini kepada pembahasan soal
mukasyafah, kadang kala para sufi menganggapnya dengan pengetahuan rahasia.
1
Saya ingin para pembaca merujuk buku Hati, Diri dan Jiwa, buku yang tidak saja memberikan penjelasan
hakikat hati, diri dan jiwa, tapi juga mengajarkan metode transformasi menjadi energi melejitkan aspek ruhani
kita sebagai manusia yang tengah dilenakan oleh modernitas yang semakin mutakhir. Lihat, Robert Frager,
Diri, Hati dan Jiwa, Psikologi Sufi untuk Transformasi, (Jakarta: Serambi, 2003), p. 30-39.
2
Ibid., p. 30.; defenisi serupa juga dianut oleh Abu Hamid al Gazali seperti dijabarkannya di dalam buku Ihya
Ulum al Din jilid 3 dalam sebuah kitab yang ia beri judul Syarh „Ajaib al Qalbi, bahkan al-Gazali mengatakan ia
adalah hakikat dari manusia yang sesungguhnya. Abu Hamid al-Gazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid 3, (Indonesia:
Daar Ihya al-Kutub al-„Arabiyah), p. 3.
Madrasah Ruhani | 3

Para sufi telah menjadikan hati mereka kekuatan cinta yang maha dahsyat. Yang dengan
cinta itu pengetahuan rahasia itu terpaut dengan wahyu Islam. Tasawuf dengan pola itu telah
menjadi sarana praktis bagi kesadaran akan yang riil, para sufi mensimbolkan yang riil itu
dengan al-Haq.3 Para sufi telah menjadi orang yang memiliki hati begitu peka untuk menangkap
segala fenomena keilahian. Oleh karena itu mereka selalu menjaga kualitas hati mereka agar
tidak tercemari oleh sifat-sifat negatif yang melunturkan cinta mereka.
Akal adalah bagian dari diri kita yang halus (al-Lathifah) yang cerdas (al-Mudrik),4 ia dapat
mengetahui dan memahami segala sesuatu. Para ahli sudah banyak berupaya memahami apa
sebenarnya yang menjadikan manusia dapat memahami segala sesuatu yang oleh karenanya ia
mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kejahatan. Penjelasan ini
sejalan dengan sebuah hadits yang masyhur “Yang pertama Aku ciptakan adalah akal.” Di dalam
riwayat yang didapat pada riwayat al-Kullaini melalui jalur Imam Muhamad ibn Ali al-Baqir
“Dan setelah selesai penciptaan akal, Allah pun berbicara kepadanya, majulah maka ia pun maju,
mundurlah maka ia pun mundur; lantas Allah pun berfirman: „Demi keagungan-Ku dan kemuliaan-Ku,
tidaklah Aku ciptakan makhluk yang lebih Aku cintai melebihi dirimu, dan Aku tidak sempurnkan dirimu
kecuali pada diri siapa pun yang aku cintai, ada pun aku akan menetapkan padamu perintah dan larangan,
karena itu pula aku akan menghukum dan akan memberimu pahala.”5 Dengan menempatkan akal ke
dalam spiritualitas manusia, Tuhan pun telah menjadikan manusia sebagai eksistensi yang
dapat dipikirkan.
Akal kerap kali dihubung-hubungkan dengan ilmu praktis atau cara memecahkan
masalah. Ini sebenarnya salah satu yang paling sederhana dari fungsi akal. Di dalam tradisi
ilmu pengetahuan di dunia Barat, akal selalu dihubung-hubungkan dengan pengetahuan rasional
yang bersifat pasti dan empirik. Sehingga kita pun kadang kala mempersamakan persepsi kita
atas akan dengan apa yang kita bawa dari pengetahuan Barat. Oleh karena pengaruh itu kita
dengan mudahnya mengelompokan ilmu-ilmu sains, filsafat, dan matematika ke dalam
kelompok ilmu-ilmu akliyah. Padahal jika kita mempelajari keterangan-keterangan al-Quran
yang menyuruh untuk berpikir, semua materi yang dibawa serta dalam perintah tidak
dimaksudkan untuk sampai kepada pengetahuan empirik semata, semua ditujukan untuk
beriman, mengenal Allah (Ma‟rifatullah) dan karenanya kita beragama.
Para sufi memiliki pandangan yang khas soal hakikat akal. Tidak seperti para filosof yang
di bawah pengaruh tradisi Hellenis mengidentikan istilah akal dengan naous. Oleh karena itu
para filosof – termasuk filosof muslim – menduga akal itu tersimpan pada otak di kepala kita, ia
adalah daya berpikir (al-„Aqlu al-nathiqoh).6 Para sufi melihat hakikat akal adalah sinonim
dengan hakikat hati. Ia merupakan bagian yang halus (al-Lathifah) yang cerdas, mengetahui dan
memahami. Yang dengannya tergambarkan hakikat manusia. Rasanya agak sulit memahami
kata akal sebagaimana ditunjukan oleh khabar yang menyebutnya „makhluk‟, itu menandakan ia
merupakan sesuatu yang eksistensi-real (maujud) bukan sifat abstrak. Maka kata, akal dalam
khabar tersebut dipahami dengan lathifah hati. Defenisi ini diisyaratkan al-Quran (Q.S. 7: 179),
secara eksplisit menyebut kata qulub bentuk plural dari qalbu, artinya hati, diberi predikat la
yafqohun biha, “mereka tidak memahami dengan menggunakannya.” Di bagian yang lain al-

3
Seyyed Hossein Nasr, Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bagian Pertama,
ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, (Bandung: Mizan, 2003), p. 459-460.
4
Al-Gazali, Ihya... p. 4.
5
Muhamad ibn Ya‟qub al-Kulaini, Ushulul Kafi, Juz 1, (Beirut: Mansyur al-Fakhr, 2007), p. 5.
6
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: UI Press, 1986), p. 8.
Madrasah Ruhani | 4

Quran pun menyebut kata af`idah bentuk plural dari pada fuad, sering kali dipahami dengan arti
bagian hati “paling dalam” kata af`idah dihubungkan dengan potensi mengetahui dan
memahami dengan media telinga dan mata.
Kita harus menggariskan dengan tegas, di dalam pengetahuan sufi, akal tidaklah otak –
seperti dipahami oleh dunia Barat – tetapi ia adalah daya berpikir yang dapat menjadikan
seorang manusia mengetahui segala sesuatu dan memahami, ia terdapat pada jiwa yang
dikandung oleh hati.7 Robert Frager menyebut secara spesifik akal itu dikandung pusat hati
spiritual (Lubb), yaitu bagian hati terdalam, yaitu hatinya hati.8 Tentu saja apa yang dimaksud
al-Quran dengan qalbu di atas dalam pengertian Frager merujuk pada makna hatinya hati.
Jiwa, di dalam bahasa Arab disebut nafs. Penggunaan istilah nafs ketika digunakan di
dalam khazanah keislaman merujuk kepada dua makna. Yang pertama membawa arti negatif,
yaitu dorongan untuk berbuat buruk, keserakahan, dan lain sebagainya; yang kedua membawa
arti hakikat diri kita.
Al-Gazali memberikan penjelasan bahwa jiwa yang berarti juga hakikat diri manusia,
yang sinonim dengan hati, disifati dengan berbagai sifat sesuai dengan keadaannya ketika
dihadapkan dengan amar syahwat dan amar Allah.9 Di dalam al-Quran ada banyak istilah yang
menggambarkan kondisi jiwa kita sesuai dengan perkembangan ruhaninya masing-masing, kita
mendapati istilah al-nafs al-ammarah, ada juga istilah al-nafsu al-lawwamah, sedikit lebih baik dari
dua tingkat ini disebut al-nafsu al-marhumah dan al-nafsu al-muthmainah. Mayoritas para sufi
menggunakan tiga istilah al-nafsu al-ammarah, al-nafsu al-lawamah, dan al-nafsul muthmainah.
Apa yang dipelajari oleh para psikolog Barat dari sifat dasa manusia terbatas pada nafs.
Seluruh aktifitas jiwa atau nafs dapat diidentifikasi secara empiris melalui perilaku manusia.
Karena sesungguhnya nafs atau jiwa ini menjadi kekuatan pendorong manusia untuk berbuat.
Oleh karena itu, tujuan tasawuf bukan untuk mematikan jiwa atau nafs, tetapi untuk
mengendalikannya, melatih dan membimbingnya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu jiwa yang
suci. Robert Frager mengatakan, jiwa dapat tumbuh menjadi alat yang maha dahsyat yang tidak
terhingga nilainya, sekali pun jiwa tirani atau ammarah, jika sudah terdidik di bawah sinaran
cahaya Tuhan. Kepribadian seorang yang sudah berhasil sampai para derajat jiwa yang suci
bagaikan Kristal murni dan sempurna yang memantulkan cahaya Tuhan, hampir tanpa cacat
maupun penyimpangan.10
Para sufi telah melihat jiwa – tentunya berdasarkan observasi diri dan kontemplasi yang
dalam – berkembang berdasarkan prinsip evolusi. Setidaknya jiwa memiliki tujuh dimensi:
mineral, nabati, hewani, pribadi, insani dan jiwa rahasia, serta jiwa maha rahasia. Tujuh
dimensi ini dimiliki oleh setiap orang, saya ataupun anda. Tasawuf akan membimbing anda –
juga saya – agar tujuh jiwa yang ada di dalam diri yang membentuk kesadarannya masing-
masing dapat bekerja secara seimbang dan selaras. 11 Ketujuh jiwa itu terwujud dari hasil
interaksi antara tubuh spiritual kita atau dalam bahasa agama diistilahkan ruh dengan tubuh
materi kita, jasad kita. Ketujuh jiwa ini boleh saja dipahami secara alegorik, semua
mensimbolkan dinamika dan konstanta kepribadian kita.

7
Ibi., p. 13.
8
Robert Frager, Hati, Diri dan Jiwa... p. 69.
9
Al-Gazali, Ihya... p. 4.
10
Frager, Hati, Diri dan Jiwa… p. 31-32.
11
Ibid., p. 32.
Madrasah Ruhani | 5

Pengaruh jiwa-jiwa ini terhadap aktifitas fisik kita adalah batasan perhatian para psikolog
dan spiritual Barat. Adapun tasawuf menawarkan sebuah pendekatan yang holistik, sebuah
model yang mengintegrasikan aspek fisik, psikis dan spiritual. Bagi para sufi, keseimbangan
emosi dan hubungan yang sehat dan menyehatkan adalah sama pentingnya dengan kesehatan
spiritual dan jasmani. Untuk tujuan itu para sufi mengajarkan murid-muridnya, termasuk
mereka sendiri melakukan observasi diri, disiplin diri dan melihat diri sendiri dalam diri orang
lain.12 Di dalam metode ini, sekali lagi, sejalan dengan hukum alamiah manusia yang
menampung entitas yang terpikirkan, maka manusia pun dapat dipikirkan.

RUH: SUMBER CAHAYA SPIRITUAL

Para filsul dan para sufi melihat manusia sebagai eksistensi yang dapat dipikirkan.
Hampir seluruh – meski tidak utuh – dari aspek diri dan kehidupan manusia dapat dipelajari,
karena sifat itu pula Allah di dalam al-Quran memerintahkan manusia untuk pandai-pandai
mempelajari diri sendiri “Dan di dalam dirimu, apakah engkau sekalian tidak mempelajarinya?”
Ruh, rupanya menjadi pengecualian. Sejak zaman Nabi Muhamad hidup, persoalan ruh ini
telah mengundang perhatian banyak kalangan. Bahkan al-Quran memberi perhatian khusus
terhadap masalah ini. Ruh termasuk perkara yang dirahasiakan dari pengetahuan manusia.
Manusia tidak dapat mengetahui perkara ruh secara sempurna terutama menyangkut persoalan
hakikat dari ruh. Hanya sedikit saja pengetahuan yang dapat diraih manusia dari ruh, itu pun
atas karunia Tuhan (Q.S. al-Isra [17]: 85).
Seorang perawi hadits al-Hafidz Abu Bakr ibn al-Hussaini al-Baihaqiy menulis di dalam
buku bertajuk al-Asma wal Shifat “..maka ruh yang ditiupkan ke dalam diri Adam a.s. berwujud
makhluk ciptaan Allah, dengannya Allah menjadikan jasad hidup..”13 Ruh – berdasarkan
banyak riwayat dari para ulama salaf – Tuhan telah menciptakan ruh sesuai dengan wujud
manusia, tetapi tidak bisa disamakan dengan manusia bairpun memiliki tangan dan kaki
layaknya manusia memiliki tubuh.14 Hati, akal dan jiwa ketiganya adalah substansi yang tak
terpisahkan dari ruh.
Tuhan telah menciptakan ruh dari cahaya substansial dan dijadikanlah cahaya yang luhur
itu berupa fisik substantif. Ketika ditiupkan ke dalam jasad manusia yang telah diciptakan dari
unsure materi, ruh ini mengalir ke seluruh anggota tubuh seperti air yang mengisi ruang tanpa
terbagi-bagi dan tidak bercampur dengan tubuh materi, ia memancar ke seluruh tubuh fisik
yang kita miliki.15
Al-Gazali menyebutnya lathifah, dan rupanya mayoritas para sufi sudah menggunakan
istilah lathifah untuk mendefenisikan ruh, yang disimpan oleh Tuhan ke dalam rongga jantung
manusia. Ia mengalir bersama darah dan memancarkan cahaya kehidupan, karenanya pula
manusia dapat melihat, mendengar, mencium dan seluruh indera manusia. Ruh dapat
diumpamakan dengan lampu pijar (Siraj) di tengah-tengah rumah, ia memancarkan cahaya ke
seluruh bagian dari rumah. Cahaya yang dimiliki ruh inilah yang telah mangalirkan hawa panas

12
Ibid., p. 32-33.
13
Abu Bakr ibn al-Hussain ibn Ali al-Baihaqiy, al-Asma wal Shifat, (al-Qahiroh: Daar al-Hadits, 2005), p. 373.
14
Ibid., p. 376-377.
15
Al-Sayid al-Sabiq, al-„Aqa`id al-Islamiyah, (BeirutL Daar al-Fikri, 1992), p. 224.
Madrasah Ruhani | 6

dari dalam jantung. Inilah sebenarnya hakikat manusia sebagaimana yang dipahami dengan hati
atau qalbu.16
Frager menyebut ruh dengan istilah jiwa maharahasia, atau sirrul asrar. Jiwa ini bersifat
konstan, tidak mengenal ketidakseimbangan, karena ia adalah percikan ilahi di dalam diri
masing-masing kita. Karena itu ia sangat sukar didefenisikan, wujudnya melampaui
pemahaman manusia dan melampaui batasan jiwa manusia.17
Ruhlah sebenarnya yang memiliki jiwa, akal dan hati. Ketiganya merupakan unsur-unsur
potensi yang halus dari ruh. Yang dengan seluruh potensi itu manusia dapat memahami segala
realitas dan akhirnya berpengetahuan; bertindak karena dorongan jiwa, dan berpikir dengan
akal. Tasawuf, memperhatikan perkembangan spiritual yang seimbang dengan perkembangan
tubuh, akal dan jiwa. Prinsip dasar zse5sufisme memandang seluruh kehidupan tidak
terpisahkan dari praktik spiritual,18 bahkan praktik spiritual itu sendiri.
Pembeda di antara dimensi nyata dan gaib alam spiritual dan alam fisik pada tingkat
kelembutan dan substansialitas, meski berbeda, tetap ada entitas-entitas yang bersesuaian di
kedua alam ini.

ALAM SPIRITUAL DAN ALAM FISIK

Di dalam kesadaran sufisme kehidupan lahiriah ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
spiritual. Para sufi melihat alam, juga manusia, tak ubah hanyalah pencitraan dari sifat-sifat
Tuhan. Tidak ada satu jengkal pun dari ala mini yang terlepas dari wujud Tuhan. Mereka
memahami semua ini di atas premis “Tuhan meliputi segala sesuatu.” Ini artinya Tuhan adalah
Zat yang tak berbatas oleh ruang dan waktu. Ketika kesadaran ini kuat terpatri di dalam hati
para sufi, mereka telah benar-benar memperlakukan lingkungan-nya menurut visi spiritual.
Para sufi telah melihat dualitas pada realitas alam yang keduanya saling berhubungan.
Satu bagian dari alam adalah alam yang terbatas, bagian lainnya alam tidak terbatas. Seorang
sufi yang hidup di pertengahan abad 14, „Ala‟ud Dawlah as-Simnani (l. 1261-w.1336). menyebut
alam yang terbatas ini dengan istilah „alam al-afaq pengertiannya merujuk kepada alam fisik,
meliputi alam persepsi indera dan berkualitas kesementaraan. Adapun alam yang tidak terbatas
diinisiasi dengan istilah „alam al-anfus atau alam spiritual. Baik alam terbatas atau tidak terbatas
keduanya merupakan cermin bagi sifat-sifat Tuhan. Alam fisik cerminan sifat-sifat-Nya yang
nyata dan alam spiritual mencerminkan sifat-sifat-Nya yang tersembunyi.19
Allah mensifati diri-Nya dengan nama al-Zhahir wal Btahin (Q.S. al-Hadid [57]: 3), Dialah
yang Nampak dan yang Tidaknampak. Syekh Halimiy memberi penjelasan makna al-Zhahir
sebagaimana dinuqil oleh al-Hafidz Abu Bakar ibn al-Husaini al-Baihaqiy Dia Nampak dalam
perbuatan-perbuatan-Nya.20Sedangkan Dia disebut al-Bathin, karena Dzat-Nya tidak Nampak
kecuali melalui atsar-atsar-Nya.21Al-Khuttabiy memberi penjelasan predikasi sifat al-Zhahir al-
Bathin pada Tuhan memperlihatkan hubungan sifat alam yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan.
Alam ini tidak lain tajalli sifat-sifat Tuhan bagi siapa pun yang mau berfikir, maka ia menjadi

16
Al-Gazali, Ihya... p. 3-4.
17
Frager, Hati, Diri dan Jiwa... p. 162.
18
Ibid., p. 138.
19
Jamal J. Elias, Sang Penyangga Singgasana Tuhan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), p. 106-107.
20
Al-Baihqiy, al-Asma wal Shifat... p. 25.
21
Ibid., p. 50
Madrasah Ruhani | 7

al-Zhahir; tapi Tuhan tetap terselubung (Mahjub) bagi siapa saja yang melakukan pengamatan
dengan panca-indera.22 Alam fisik, sebagian sufi lainnya menyebut alam syahadat, sebagian lain
menyebut alam madah, ia telah menyembunyikan Dzat Tuhan dari pandangan lahiriyah
manusia, oleh karenya Tuhan pun menjadi tidak Nampak (al-Bathin). Tetapi bagi yang melihat
Tuhan dengan mata ruhaninya, Dia Nampak jelas.
Adapun alam semesta yang luas ini, semuanya terangkum di dalam diri manusia.
Sebagaimana Allah telah menentukan asal usul penciptaan tubuh manusia. Tubuh jasmaninya
Allah ambil dari tanah di bumi ini, dan tubuh ruhaninya Allah tiupkan dari Ruh-Nya.23 Sejauh
ini, para pemikir muslim rupanya hampir berkesimpulan serupa, bahwa manusia
mencerminkan diri sebagai mikro-kosmos. Dalam hal ini as-Simnani rupanya memiliki
pandangan yang tidak sejalan dengan konsep mikrokosmos pada manusia dan mikrokosmos
untuk alam semesta. Bagi as-Simnani, meskipun alam semesta yang kelihatannya lebih luas dari
pada alam spiritual, alam fisik adalah manusia mikrokosmos, sedang manusia adalah alam
makrokosmos. Hati adalah lokus alam spiritual manusia, meski tersimpan di dalam rongga
dada, dia berada di luar batasan-batasan alam sementara dan struktur-struktur seeperti dada
manusia.24
Melalui teori mikrokosmos dan makrokosmos ini, as-Simnani menggambarkan hubungan
antara alam fisik dan alam spiritual. Sebenarnya pendekatan-pendekatan dan teoritisasi al-
Simnani bukan sesuatu yang sama sekali baru. Banyak sufi telah memberikan penjelasan
gnostik terhadap hubungan alam fisik dan alam spiritual. Semua teori sufi terikat dalam simpul
al-zhahir wal bathin atau ghaibu wa syahadat. Alam spiritual manusia mengandung seluruh unsur,
sifat, dan struktur yang serupa dengan apa yang dimiliki alam fisik. Untuk sekedar
menyebutkan contoh, „Azizudin an-Nasafi dalam menjelaskan hubungan mikrokosmos dan
makrokosmos, ia melihat tujuh langit tujuh isi rongga perut, tujuh planet sebagai tujuh organ,
empat unsur sebagai empat kesenderungan jiwa, dua belas stasiun zodiac sebagai dua belas
indera.25
Sebaiknya kita membaca penjelasan as-Simnani untuk teori makrokosmos alam spiritual
sebagaimana dinukil oleh Jamal J. Elias seorang asisten professor di Amherst Colledge Amerika
Serikat.

“Ketahuilah bahwa dalam alam fisik ada yang gaib dan yang nyata dan dalam alam spiritual
terdapat yang gaib dan nyata. Yang gaib di alam spiritual lebih lembut dan lebih besar dari pada
yang gaib di alam fisik. Taman dan api (surga dan neraka) ada dalam yang gaib di alam spiritual
dan lebih besar tinimbang yang ada dalam yang gaib di alam fisik… yang nyata di alam spiritual
lebih „kasar‟ dan lebih kecil dari pada yang nyata di alam.”26

Kekeliruan kita selama ini dalam melihat alam dan diri kita ada pada pemilahan mana
yang gaib dan mana yang zahir. Bagi kita seluruh alam fisik adalah zahir seluruhnya, sedangkan

22
Ibid., p. 50
23
Seperti hadits yang diriwayatkan melalui al-Hafidz al-Baihaqi, Allah mengutus malaikat maut untuk
mengambil tanah dari tiga jenis tanah di bumi ini: tanah merah, tanah putih dan tanah hitam. Oleh karena itu
anak cucu Adam pun berkembang dengan ragam ras dan warna kulit. Lihat, ibid., p. 371.
24
Elias, Sang Penyangga... p. 108.
25
Ibid., p. 108.
26
Ibid., p. 109.
Madrasah Ruhani | 8

yang batin hanya berlaku pada alam spiritual kita. Seperti terbaca jelas di dalam nukilan dari
tulisan as-Simnani, baik alam fisik atau alam spiritual keduanya memiliki dua wajah yang
sama, yang zahir dan yang batin. Yang batin dari alam spiritual yang kita kandung di dalam
hati adalah unsur-unsur yang halus (lathaif). Karena alam spiritual adalah makrokosmos alam
fisik, seluruh yang kita temukan di dalamnya secara kualitatif lebih besar ketimbang yang
ditemukan di dalam alam fisik.
Di alam fisik kita bisa menemukan langit dan bumi, semua platet, binatang, tumbuhan.
Padanan dari dimensi ini adalah dimensi nyata (zhahir) dari alam spiritual. Yaitu badan
manusia berupa fakultas - fakultas, kecenderungan - kecenderungan, jiwa, syaraf-syaraf, dan
organ-organ. Begitu pun dimensi gaib dari alam fisik mengandung ruh, jin dan malaikat,
dimensi gaib alam spiritual mencakup jiwa (nafs), hati (qalbu), wujud terdalam (sir), ruh (ruh)
dan misteri (khafi) batin manusia. Hati yang terkandung dalam dimensi gaib dari manusia –
bagi as-Simnani – adalah sumber potensial bagi kesempurnaan manusia, dan karenanya
memiliki signifikansi yang tidak dapat tergantikan dan tertandingi oleh segala yang ada di alam
fisik.27
Melalui hati pula hubungan antara alam fisik dan alam spiritual terbangun dengan baik.
Hati menghubungkan alam spiritual kita dengan alam fisik. Untuk memahami hubungan ini
mari kita lihat penjelasan Robert Frager “Hati batiniah berfungsi hampir sama dengan hati
jasmaniah. Hati jasmaniah terletak di titik pusat batang tubuh; hati batiniah terletak di antara
diri rendah dan jiwa. Hati jasmaniah mengatur fisik; hati batiniah mengatur psikis. Hati
jasmaniah memelihara tubuh dengan mengirimkan darah segar dan beroksigen kepada tiap sel
dan organ di dalam tubuh. Ia juga menerima darah kotor melalui pembuluh darah. Demikian
pula, hati batiniah memelihara jiwa dengan memancarkan kearifan dan cahaya, dan ia juga
menyucikan kepribadian dari sifat-sifat buruk. Hati memiliki satu wajah yang menghadap ke
dunia spiritual, dan satu wajah lagi menghadap ke dunia diri rendah dan sifat-sfat buruk kita.”28
Selanjutnya Frager mengutip deskripsi at-Tirmidzi mengenai empat stasiun hati: dada, hati,
hati lebih dalam, dan lubuk hati terdalam. Kita tidak akan mendiskusikannya secara panjang
lebar di di sini, ada sesi tersendiri di bawah akan kita diskusikan secara panjang lebar. Keempat
stasiun ini saling bersusunan bagaikan sekumpulan lingkaran, dada bagian terluar yang
mewadahi cahaya amaliah dari bentuk praktik setiap agama; hati mewadahi cahaya iman; hati
lebih dalam mewadahi cahaya makrifat, atau pengetahuan akan kebenaran spiritual; lubuk hati
terdalam mewadahi dua cahaya kesatuan dan cahaya keunikan yang merupakan dua wajah ilahi.
Dada adalah batasan terluar yang menghubungkan dunia dengan hati, 29 sedangkan hati itu
sendiri memiliki interaksi yang kuat dengan hati paling dalam, bahkan pada waktu tertentu
tidak dapat dibedakan. Hati mengetahui dan hati paling dalam melihat apa yang diketahui oleh
hati.30 Dada yang memimpin interaksi kita dengan dunia luar. Ia berperan sebagai pembatas
antara hati dengan diri rendah (Nafsu). Segala pertentangan hati kita dengan dorongan nafsu
atau diri rendah yang membawa dorongan-dorongan negatif dan kearifan-kearifan yang
membawa kekuatan positif berlangsung di dalam dada. Jika kekuatan positif kita kuat, mampu
melawan selurluh kekuatan negatif yang dimiliki nafsu, maka dada akan dipenuhi cahaya dan

27
Ibid., p. 110.
28
Frager, Hati, Diri dan Jiwa..., p. 54.
29
Ibid., p. 57
30
Ibid., p. 66
Madrasah Ruhani | 9

berada di bawah pengaruh jiwa ilahiah yang letaknya di dalam lubuk hati paling dalam.
Sebaliknya jika dada diliputi hal-hal yang negatif, dia akan sakit dan dilingkupi kegelapan, hati
akan mengeras dan cahaya batiniah yang terpancar dari dalam lubuk hati paling dalam redup
atau bahkan akan mengalami kematian.31 Inilah yang disebut oleh para sufi “mati sebelum
mati.” Hanya hati yang tercerahi oleh cahaya ilahi yang memancari dari lubuk spiritual kita
segala hal yang batin di dunia fisik dapat tersibak dan yang zahir semakin tajam.
Usaha para sufi sepenuhnya dimaksudkan memelihara kesehatan dan kejernihan hati.
Para sufi berusaha memelihara kejernihan hati sumber spiritual. Tasawuf dengan sederhana bisa
dipahami sebagai metode berinteraksinya ruh dengan alam fisik yang melibatkan aktifitas
kejiwaan kita yang paling dalam sekali pun.

SIAPA DIRI KITA?

Siapa sebenarnya kita? Jika pada diri kita terkumpul yang materi dan ruhani sekaligus, kitakah
yang zahir ini, yang setiap saat wajahnya bisa kita raba, rupanya yang indah bisa kita nikmati
dari cermin? Kita sudah singgung di bagian kesatu, bahwa tujuan utama dari pada pengajaran
dan praktek tasawuf adalah menyingkap rahasia jati diri kita sebenarnya sebagai manusia
seutuhnya. Setidaknya kita sudah sampai pada pengetahuan bahwa diri kita mewakili seluruh
eksistensi di luar diri. Di dalam diri manusialah sebenarnya Yang Zhahir dan Yang Bhatin itu
termanifestasikan dengan sempurna. Untuk mencoba memahami hakikat diri kita, ada baiknya
menyimak tulisan Seyed Hossein Nasr.

“Saat kita melangkah di jalan pengetahuan diri ni dengan bantuan sarana yang diberikan tradisi –
sarana yang tanpanya perjalanan semacam itu sesungguhnya mustahil – kita mendapatkan
perspektif baru tentang setiap jenis kenyataan yang telah kita identifikasi pada awal perjalanan
kita. Kita mulai menyadari bahwa meski pun kita adalah laki-laki atau perempuan, atribut itu tidak
benar-benar mendefenisikan kita. Ada realitas yang telah mendalam, sebutlah sebuah realitas
androgynic, yang mentransendeni dikotomi laki-laki dan perempuan sehingga identitas kita tidak
ditentukan oleh jenis kelamin kita semata. Dan kita bukan pula hanya tubuh dan pancaindra kita
walaupun kita sering mengidentifikasi diri dengannya. Saat kita menempuh jalan sufi, akan
menjadi semakin jelas bahwa apa yang kita sebut „Aku‟ memiliki eksistensi yang terlepas dari
persepsi indra dan tubuh secara keseluruhan meski pun jiwa terus memiliki kesadaran tentang tubuh
sambil juga menyadari melalui pelatihan spiritual kemungkinan untuk meninggalkannya demi
menuju ranah yang lebih tinggi.”32

Tasawuf mengantarkan kita untuk memahami bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah
“…„Aku‟ (yang) memiliki eksistensi yang terlepas dari persepsi indra dan tubuh secara keseluruhan meski
pun jiwa terus memiliki kesadaran tentang tubuh…” tapi, tubuh kita tidak mendefenisikan diri kita
yang sesungguhnya. Tubuh yang menjadi identitas luar dari diri kita tidak memiliki kualitas
yang lebih tinggi dari “Aku” yang bereksistensi secara mandiri di dalam tubuh. Oleh karenanya
ia memiliki kuasa sepenuhnya mengatur dan mengendalikan seluruh perilaku dan perangai kita.
Oleh karena itu kita sering berkata “Kendalikan dirimu” atau “Aku harus mengendalikan

31
Ibid., p. 58.
32
Seyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2010), p. 20-21.
Madrasah Ruhani | 10

perangaiku.” Perhatikanlah sebuah hadits dari Nabi yang terkenal “Istafti qalbaka/mintalah
nasihat kepada hatimu” tentu saja hati yang dimaksud hadits itu adalah hati spiritual, yaitu ruh
yang berakal dan tercerahi oleh cahaya Allah. Sangat keliru pemikiran mekanik yang banyak
berkembang di Barat tentang hakikat ruh. Psikologi materialistik memahami ruh layaknya
“nyawa” pada sebuah mesin motor atau sejenisnya. Rangka tubuh yang tidak ubahnya dengan
mesin dengan berbagai onderdilnya, adalah seonggok kerangka yang mati. Ketika pemantiknya
dihidupkan dan mesin pun hidup maka saat itu “nyawa” mesin itu juga hidup. Tetapi ingat,
bahwa “nyawa” pada mesin tidaklah bereksistensi ia hanyalah energi penggerak saja, hidupnya
ada bersama seluruh rangkaian mekanik di dalam mesin.
Fisik dengan indra yang dimilikinya memang dapat menggambarkan identitas kita yang
terikat suasana emosi dan kejiwaan. Oleh karenanya berlaku dikotomis karena perbedaan rupa
fisik, laki-laki dan perempuan. Masing-masing memiliki suasana emosi dan kejiwaannya
sendiri-sendiri. Tapi rupa tersebut tidaklah bisa mendefenisikan diri kita yang sesungguhnya,
“Ada realitas yang telah mendalam, sebutlah sebuah realitas androgynic, yang mentransendeni dikotomi
laki-laki dan perempuan sehingga identitas kita tidak ditentukan oleh jenis kelamin kita semata.” Kita
memang mengalami emosi, menjadi egois, karenanya seakan-akan kita memiliki diri kita
seutuhnya, dan segala sesuatu yang memiliki hubungan emosional dengan diri kita diasumsikan
menjadi bagian dari diri kita. “Kita memang mengalami emosi, tapi kita tidak didefenisikan olehnya”33
meski esmosi itu sendiri ada dan melekat pada jiwa kita. Ketika seseorang menyakiti hati anda,
dan anda merasa terhinakan oleh rasa sakit itu, mungkin anda marah atau menangis, luapan
emosi yang terjadi di dalam hati anda saat itu memang adalah bentuk pengakuan jiwa akan jati
diri anda dan karenanya anda sangat emosional. Tetapi pengenalan jati diri yang terbatas pada
fakultas-fakultas psikologis saja tidaklah cukup mendefenisikan diri kita. Tasawuf menuntun
anda memahami “Aku” yang ada di bagian terdalam.
Pada saat yang sama kita juga memilik fakultas imajinatif. Suatu fakultas dari jiwa kita
yang mampu menggambarkan segala sesuatu, menyimpan memori dan mengingatnya kembali
melampaui batas ruang dan waktu. Di dalam fakultas imajinatif ini tidak ada penghalang yang
benar-benar memisahkan kedisinian dan kekinian dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Dengan fakultas ini anda memiliki pengetahuan yang menyuluruh tentang diri anda dari satu
waktu ke waktu yang lain. Wujud anda sebagai kanak-kanak yang di masanya anda begitu
menikmatinya dengan nyata, kini hanya hadir di dalam fakultas imajinatif anda dan karenanya
ada hubungan emosional yang kuat dengan ke-Aku-an anda sekarang. Sekali lagi kita tidak
ditentukan oleh bentuk-bentuk imajinal itu. Tasawuf membantu mentransformasi lanskap
imajinal batin kita. Secara metafisik, fakultas imajinatif yang menjadi pusat kekuatan memori
yang penyimpanan gambar-gambar dan pengalaman di masa lalu memiliki relasi antemporal
kita dengan Sumber Wujud dan dunia yang dapat dipahami akal tempat sebelum turun dan
hidup di bumi. Dan oleh karena itu tasawuf diidentifikasi sebagai tahapan-tahapan mengingat
sang Sahabat.34 Rupanya ingatan tentang masa lalu yang azali itu masih terus bersemayam di
dalam fakultas imajinatif dan tersadari oleh “Aku” batiniyah kita. Disinilah ketika anda hanya
mengenal diri sebagaimana yang terindra dan menafikan identitas terdalam diri kita, selalu ada
guncangan emosi yang tidak wajar. Ingatan akan seluruh pengalaman-pengalaman yang
teralami setiap hari, sekali lagi, bukanlah hakikat dirikan. Pada nyatanya kita bisa melupakan

33
Ibid., p. 21.
34
Ibid,. p. 21.
Madrasah Ruhani | 11

seluruh pengalaman itu dan tetap menjadi manusia. “Kehidupan spiritual bisa didefenisikan
sebagai “Pengalaman teknik-teknik yang memungkinkan kita untuk melupakan semua yang
kita ingat tentang dunia kemajemukan”35 Kemajemukan yang telah membutakan pandangan
batin dan melupakan Kesatuan yang menjadi Sumber segala realitas. Perjalanan spiritual atau
ruhani pada gilirannya merupakan sarana kembali kepada Kesatuan itu dengan mengingat
kembali “Kebenaran yang menyelamatkan” Kebenaran yang inhern di dalam diri kita, ia
merupakan “Realitas batin kita.”
Jalan sufi mengikuti perintah Tuhan agar mau memikirkan rahasia yang terselubung di
dalam diri “Dana tidakkah kau melihat (dengan mata batinmu) ke dalam dirimu sendiri” begitu juga
petunjuk Nabi untuk mengingat-ingat pengalaman hidup yang telah berlalu dalam hitugan hari
untuk memahami momen-momen dimana kita pernah melupakan “Kebenaran yang
menyelamatkan” dan terlena di dalam kemajemukan hingga kita semakin jauh dari Kesatuan
“Tidakkah engkau memperhatikan apa yang ada pada dirimu sendiri?” (Q.S. Ad-Dzariyat [51]: 21).
Kini kita menyentuh aspek dari diri kita yang lebih halus, yaitu pemikiran. Seorang filosof
Yunani, Aristoteles, menyebut manusia sebagai makhluk yang berpikir. Berpikir telah
mencirikan manusia dari makhluk lainnya. Karena kemampuan berpikir ini, manusia tidak bisa
disamakan dengan hewan, bahkan malaikat sekalipun. Begitu juga perhatian Tuhan kepada
aspek khas ini sangat besar, di dalam al-Quran setidaknya terulang sebanyak 51 kali yang
tersebar di berbagai surat dan tema yang beragam. Rumi pun berujar di dalam Masnawi:

“Wahai saudara, engkau adalah pikiran itu sendiri,


Dirimu selebihnya bukanlah apa-apa kecuali otot dan tulang.”

Para sufi memiliki perspektif yang lebih dalam ketika ia menyebutkan kata berpikir atau
pikiran dibanding para filosof, teolog dan saintis. Sementara mereka merujuk pikiran kepada
berpikir diskursif yang melompat dari satu konsep ke konsep yang lain, para sufi telah sampai
pada pikiran yang melampaui permainan mental, untuk sampai kepada “Kebenaran yang
menyelamatkan” setiap orang harus berani “mencabik tabir pikiran” yaitu meruntuhkan
kemutlakan dari pada kebenaran-beneran konseptual yang dihasilkan melalui pikiran diskursif.
Singkatnya, “Sementara kita memiliki pikiran, identitas kita yang sebenarnya terdapat pada
tingkatan yang lebih dalam dari pada wujud kita.”36
Aspek terdalam dari wujud kita adalah hati atau akal atau ruh. Diskusi tentangnya sudah
kita gelar dalam pembuka bagian ini, ketiga kata tersebut sinonim, merujuk kepada tubuh halus
spiritual kita (Lathifah ruhaniyah). Para sufi meyakini hati adalah tempat Realitas Ilahi
bersemayam di dalam diri manusia, laki-laki dan perempuan, seperti ditegaskan di dalam hadits
qudsi “Langit dan bumi tidak mampu meliputi-Ku, tetapi hati hambaku yang beriman mampu meliputi-
Ku.”

“Di sinilah, tepat di pusat hati tempat beradanya sang Ilahi, ditemukan akar dari „Aku‟ dan
jawaban terakhir bagi pertanyaan „siapakah aku?‟ Tasawuf berusaha membawa sang murid ke

35
Ibid., p. 22.
36
Ibid., p. 22.
Madrasah Ruhani | 12

dalam hati, tempat mereka menemukan diri mereka yang sejati sekaligus Kekasuh mereka, dan
untuk alasan itu kaum sufi terkadang disebut „ahli hati (ahl –i-dil, dalam bahasa Persia).”37

Tasawuf membimbing siapa pun yang tengah melakukan pencarian diri melalui usaha
mengingat dan menyadarkan akan Realitas yang tersembunyi di dalam hati, melintasi semua
tahapan eksistensi terbatas dari fisik ke mental ke nou-menal, lalu menyadari “non-eksistensi”
dirinya sendiri dan melalui peniadaan diri yang palsu, yang Nampak melalui persepsi indrawi,
“kembali ke akarnya di dalam Realitas Ilahi dan menjadi sebuah bintang terdekat dengan
Matahari Supernal dan pada akhirnya adalah satu-satunya Aku.” Seperti pandangan Rumi “di
dalam diri hanya ada Aku.”38
Tasawuf adalah sarana transformasi diri seutuhnya, yang memandang dan memahami
manusia secara menyeluruh. Manusia harus dipahami tanpa dikotomis antara aspek fisik dan
spiritual atau ruhani. Setelah kita menemukan hakikat dari diri kita yang sesungguhnya yang
bersumber pada Realitas Ilahi, tasawuf membimbing kita untuk kembali ke diri kita yang
rendah, dilihat sebagai identitasnya dalam pengertian yang baru, tidak seperti pada awalnya.
Kemudian ditransformasi sehingga masing-masing pada tingkatnya sendiri-sendiri – fisik,
indra, emosi, fakultas-fakultas imajinatif – mencerminkan sesuatu dari Realitas Ilahi yang
supernal itu.39 Para sufi telah dengan mantap dan yakin melihat segala wujud eksternal dan
supernal dari seluruh realitas di alam ini tidak lain hanyalah perwujudan dari realitas Tuhan.
Segalanya menampakan sifat-sifat jamaliyah dan jalaliyah-Nya. Jadi dalam satu waktu tasawuf
memahamkan kita semua akan diri kita yang supernal sekaligus temporal.
Semua bermula dari usaha melenturkan hati yang keras. Seluruh amalan-amalan tasawuf
diformulasi untuk melenturkan lapisan luar dari hati yang mengeras, kemudian memancarkan
cahaya menyinari pikiran, kini pikiran tidak lagi melompat dengan pola diskursif dari satu
konsep ke konsep lainnya. Menjadi instrument akal yang tercerahkan, mampu memahami
pengetahuan yang benar serta membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, substansi dan
aksiden, keniscayaan dan kemungkinan, tingkat-tingkat keberadaan, dan di atas semua itu yang
Mutlak dan yang relatif. Begitupun fakultas-fakultas imajinatif, mengalami perubahan dengan
cara tertentu, ia tidak lagi menciptakan bentuk-bentuk imajinal yang rendah, semua bentuk
imajinal yang tercipta kini merupakan bentu-bentuk imajinal yang lebih tinggi. Memudahkan
setiap sufi menjalani kontemplasi teofanik tentang bentuk-bentuk yang sakral. Emosi kita pun
tumbuh menjadi energi yang positif dari cinta, kasih, empati dan lainnya, dikontrol oleh
kebajikan. Kita pun memiliki memori yang menyimpan sang Teman bukan lagi bentuk-bentuk
konseptual yang imaji yang spele dan buram. 40 Suasana ini digambarkan al-Quran dengan
konsep ashabul yamin (Golongan kanan). Merekalah kelompok yang akan dikumpulkan bersama
para imam mereka yang qudus, dan diberikan dokumen memoriam seluruh pengalaman
hidupnya di masa lalu yang penuh kebaikan dan mereka ini orang-orang yang telah mengisi
memori hidupnya dengan seluruh kebaikan dan kebenaran, memori yang terus melantunkan
pujian-pujian rindu kepada Temannya, dan mereka sedikit pun tidak akan disakiti (Q.S. al-Isra
[17]: 71; al-Haaqoh [69]: 19).

37
Ibid., p. 23.
38
Ibid., p. 23.
39
Ibid., p. 24.
40
Ibid., p. 24.
Madrasah Ruhani | 13

Kini kita tiba pada tubuh yang di dalam perspektif tasawuf tubuh adalah bagian dari diri
kita yang nyata, tetap bagian lain dari diri kita adalah sangat penting. Tasawuf melihat kita
memiliki banyak tubuh secara bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan kosmik yang naik
menuju Tuhan. Tasawuf memungkinkan kesadaran tubuh-tubuh ini dan menjelaskan peran
masing-masing di dalam kehidupan spiritual. Ketika jiwa tercerahkan oleh ruh dan „Aku” sejati
menyorotkan cahaya pada diri individual, tubuh pun tertransformasi oleh percerahan batin
bahkan tercerahkan pula (Q.S. al-Hadid [57]: 12). Tubuh pun menjadi sumber lahiriah dari
barokah dan rahmat, menjadi bentuk luaran yang akan menggambarkan ruh di dalamnya, tubuh
bagi para sufi adalah kuil bagi ruh.41 Pada kondisi ini tubuh memancarkan sima yang akan
menandakan pencerahan batin dan oleh karenanya ia menjadi kelompok yang unggul (Q.S. al-
A‟raf [07]: 46). Kini sampailah kita kepada jawaban konseptual atas pertanyaan “Siapa diri kita
sebenarnya?” kita adalah “arketipe laten yang tertanam di dalam Realitas Ilahi, yang merupakan
akar utama dari setiap „Aku‟, dan bahwa melalui arketipe yang telah diadakan oleh Tuhan itu,
kita memiliki keberadaan di dalam seluruh ranah wujud, dari spiritual hingga yang fisikal,
secara mikrokosmik dan juga makrokosmik.”42
Setelah ini seorang sufi memelihara diri agar tetap dalam keadaan sadar akan hakikat
dirinya sendiri yang paling hakiki. Pada situasi-situasi tertentu, ada sebagian sufi yang hanyut
ke dalam tingkat capaian tertinggi dari perjalanan ruhani dan terbakar api kesadaran
kebersatuan dengan Realitas Ilahi. “Suatu kondisi yang mengantarkan manusia kepada
pembebasan dari kekangan semua batasan.”43 Tetapi – pada saat yang sama – tasawuf juga
menyadarkan diri kita yang memiliki diri manusiawi dan individual ciptaan Tuhan pada
tingkatannya sendiri. Oleh karena itu tasawuf menegaskan kedudukan kita yang sebenarnya di
hadapan Tuhan, yaitu sebagai hamba Allah. Setiap kita harus menyadari kehambaannya
sepenuhnya. Di dalam tasawuf kesadaran ini dipahami di dalam konsep „ubudiyah, “dan sebagai
hamba kita tidak akan pernah menjadi Tuhan.”44 Kesadaran akan kebersatuan dengan Realitas
Ilahi, bagi para sufi, tidak menjadikannya lupa akan hakikat dirinya sebagai hamba dan tidak
menjadikannya gelap mata untuk menjadi “tuhan.” Dan bukan tujuan tasawuf mengantarkan
manusia untuk merasa diri sebagai tuhan, tetapi justru untuk menyadari kedudukannya sebagai
hamba yang derajatnya tidak setara dengan tuannya. Para tokoh sufi besar menyadari kondisi
ini dengan sangat benar, Abu al-Hasan al-Syazili misalnya menegaskan hasrat diri untuk
bersatu dengan Tuhan hanya akan menjadikan diri kita semakin jauh dari-Nya. Pendapat
senada dengannya diutarakan Ibnu Arabi, hamba („abdun) tetaplah hamba dan Tuhan akan tetap
Tuhan.45
Di dalam rasa kehambaan itu kita mendapati kedekatan dan keberjarakan sekaligus antara
„Aku‟ diri kita dengan Dzat Ilahi yang dipertautkan dengan cinta dan rahmat. Semakin „Aku‟

41
Ibid., p. 25.
42
Ibid., p. 25.
43
Ibid., p. 25.
44
Ibid., p. 26; Syekh Nawawi al-Bantani di dalam kitab Syarah Maraqi al-Ubudiyah „ala Bidayat al-Hidayah al-Imam
al-Gazali, menulis penjelasan singkat tentang makna dan kedudukan konsep ubudiyah di dalam tradisi tasawuf.
Ibadah untuk syari‟ah, ubudiyah untuk tarekat dan „abudah untuk hakikat atau ma‟rifat. Merujuk pendapat Abu
„Ali al-Daqaq, ibadah adalah tahapan untuk kaum „awwam, sedangkan ubudiyah untuk kaum khawas dan
„abudah untuk kaum „arif. Syekh al-Islam mendefenisikan ubudiyah sebagai kondisi dimana seorang salik
meridoi dan merasakan kenyamanan terhadap seluruh kehendak Allah. Syekh Muhamad Nawawi al-Bantani,
Syarah Maraqil Ubudiyah „ala Bidayat al-Hidayah, (Jakarta: Daar al-Kutub al-Ilmiyah al-Islamiyah, 2010), p. 9.
45
Nasr, The Garden of Trith..., p. 26.
Madrasah Ruhani | 14

diri kita dalam di dalam kehambaan maka kita temukan jarak yang amat jauh dengan Tuhan,
api cinta pun semakin mengobarkan rasa rindu („isyq) dank arena rahmat Tuhan pula, “percikan
Ilahi di dalam kemanusiaan, yang dikenali dengan akal, dapat melampaui semua dualitas,
termasuk dualitas hamba dan Tuhan, untuk mencapai Yang Satu, Dzat Ilahi, yang termasuk
akar dari “Aku” sang hamba.”46 Tanpa mewujudkan kehambaan yang sempurna, kita tidak
dapat mewujudkan Kesatuan puncak, karena ego kita akan menjadi penghalang antara diri kita
dan Allah, “di dalam diri yang berkata „Aku.”47
Para sufi memahami konsep kehambaan manusia tidak lepas dari petunjuk-petunjuk al-
Quran. Berulang kali al-Quran bicara tentang konsep ini dengan berbagai konteks yang variatif.
Setidaknya ada 38 kali pengulangan di dalam al-Quran yang tersebar di berbagai surat dengan
bentuk perintah menyembah. Dari jumlah itu beberapa ayat menghubungkan perintah
menyembah dengan asa jati diri manusia ciptaan Allah dan petunjuk menuju jalan yang lurus
(Q.S. al-Baqoroh [02]: 21; Ali Imran [03]: 51; al-An‟am [06]: 102; al-Hijr [15]: 99; Tha-ha [20]: 14;
al-Anbiya [21]: 25; al-Anbiya [21]: 92; Zukhruf [43]: 64; al-Najm [53]: 62; Yasin [36]: 61). Pada
tempat yang lain perintah menyembah dihubungkan dengan larangan menduakan Allah, atau
syirik dalam istilah teologi Islam (al-Nisa [04]: 36; al-Maidah [05]: 72; al-A‟raf [07]: 59, 65, 73,
85; Hud [11]: 50, 61, 84; al-Mu‟minun [23]: 23, 32, al-Ankabut [29]: 17). Di dalam khazanah sufi
konsep syirik equivalen dengan suatu kondisi dimana diri kita terbelenggu dan terjebak di
dalam kebergandaan yang menjadi sifat realitas di alam fisik. Sementara kesadaran akan
kehambaan diri sebagaimana didiskusikan di atas adalah jalan yang lurus, yang akan
mengantarkan diri kita kembali ke “ke-Aku-an” yang bersifat ilahi.
Sekali perintah menyembah dibarengi perintah menjauhi taghut (Q.S. al-Nahl [16]: 36).
Thaghut dalam arti kebahasaannya adalah sikap berlebihan (Sebuah istilah yang diderivasi dari
kata dasarnya thagha). Suatu sikap yang bersumber dari ego yang terbutakan oleh hawa nafsu
dan oleh karenanya menjauhkan diri dari Aku percikan Ilhi. “Aku” yang berkata di dalam diri
saat dikuasai oleh hawa nafsu adalah “Aku” yang bersumber dari syetan oleh karenanya ia akan
menjadi tiran bagi diri. Situasi psikis yang tidak seimbang ini akan menjadikan diri jauh dari
asal-usul dan alasan penciptaannya. Thaghut dalam istilah teologi Islam merujuk kepada tuhan-
tuhan palsu baik dalam pengertian sebenarnya atau dalam pengertian psikis, hal yang paling
buruk dari segalanya adalah mempertuhankan diri, dimana saat diri kita tidak bisa membedakan
dan tertipu oleh „aku-aku-an‟ di dalam diri kita.
Para sufi mengajarkan disiplin yang sangat ketat dalam memelihara ibadah. Setiap sufi
membawa serta kerendahan diri di hadapan Allah tiap kali menjalankan seluruh disiplin
ibadahnya sebagai aplikasi dari perintah “Bersujudlah kepada Allah dan menghambalah (Q.S. al-
Najm [53]: 62; begitu juga Q.S. Nuh [71]: 3; al-Mu‟min [40]: 14, 65).” Disiplin ibadah di dalam
tasawuf menjadi dasar bagi seluruh amalan-amalan sufi yang lebih berat seperti zikir, tafakur
dan ibadah-ibadah sunah lainnya ditambah latihan memelihara akhlak dan adab. Latihan
berdisiplin di dalam beribadah sungguhlah suatu latihan permulaan yang sangat berat, butuh
ketulusan yang total dan luar biasa. Oleh karena itu Allah pun mengingatkan kepada setiap kita,
yang mungkin saja menganggap remeh dan menyombongkan diri dalam menjalankan praktik
latihan dasar ini, bahwa praktik latihan dasar ini adalah sulit (Q.S. al-Baqoroh [02]: 45). Hanya

46
Ibid., p. 26.
47
Ibid., p. 26.
Madrasah Ruhani | 15

orang-orang yang yakin kepada Allah saja yang dapat khusyu‟ di dalam menjalani praktik dasar
latihan spiritual ini (al-Mu‟minun [23]: 1-2).
Ibnu Arabi pernah berujar, dengan menyembah-Nya, setiap hamba dapat membumbung
tinggi mencapai jarak yang sedemikian dekat, hanya dua ujung busur dengan Tuhannya (Q.S.
An-Najm [53]: 9). Dalam bahasa yang intim Allah pun berfirman dengan bahasa spiritual
“Perlu kalian ketahui orang yang menjadi bagian dari kita tidak boleh mengambil satu orang
dari kita kecuali mengambil dari kita semuanya.”48 Inilah saat seorang hamba fana di dalam
lautan Cinta Ilahi.
Inilah makna tertinggi dari pada penghambaan. Saat seorang hamba memahami hakikat
dirinya dan tujuan dari penciptaannya, sebagai hamba yang faqir. Maka penghambaan tidak saja
menjadi realisasi dari pada mematuhi Allah sebagai tuan kita, melainkan juga menyadari segala
sesuatu itu miliki Allah Tuhan Yang Maha Kaya dan kepada-Nya segala sesuatu akan kembali
dan menyadari hakikat diri sendiri bahwa di dalam diri sendiri kita adalah seorang faqir.
Berdasarkan sebuah hadits qudsi yang terkenal, kita tidak lain hanyalah cermin yang
memantulkan semua Nama dan Sifat Tuhan; kita adalah wujud yang diciptakan berdasarkan
“citra (Shurah) Tuhan.” Citra di dalam hadits ini bukanlah rupa fisik, melainkan Nama dan
Sifat-sifat Ilahi. Oleh karena itu tasawuf memahami “untuk menyembah-Ku” berarti “untuk
mengenalku.” Seorang hamba yang larut di dalam penghambaannya pada kenyataannya adalah
kesadaran tentang “ketiadaan” diri kita di hadapan Allah. Hanya dalam peniadaan ini seorang
hamba dapat meraih kekekalan, baqa, di dalam Tuhan dan mencapai akan dari “Aku” kita dan
karenanya juga yang Ilahi. Sekali lagi harus ditegaskan, “menjadi manusia sepenuhnya berarti
mewujudkan kehambaan sempurna kita dan melepaskan tabir keberadaan yang terpisah melalui
amalan spiritual sehingga Allah, yang transenden dan imanen di dalam diri kita, dan berucap
“Aku.”49 Seorang sufi pada akhirnya adalah orang yang tidak terperangkap di dalam jubah
sosialnya. Mereka dengan kesadaran penuh, menjadi seseorang tidaklah menjadi siapa-siapa.
Melainkan menjadi orang semata dan cermin Ilahi yang sempurna. 50

EMPAT STASIUN HATI

Semuanya diawali dari mengelola hati. Karena di dalam hatilah “Aku” yang Ilahi itu
berada dan hatilah sumber segala ke-Aku-an manusia. Ketika Nabi memberi nasihat agar kita
senantiasa meminta fatwa kepada hati “Istafti qalbaka” pintalah nasihat kepada hatimu sendiri.
Berdasarkan hadits ini hati diinisiasikan sebagai pemandu Diri kita. Hati tidak semata-mata
berfungsi sebagai anggota tubuh, Hati yang dirujuk Nabi sudah tentu wujud yang bereksistensi,
ia mandiri, tidak terikat oleh Diri yang lekat dengan jasmani kita.
Karena agungnya nilai dan kedudukan hati di dalam kehidupan kita sebagai manusia,
penting kiranya dalam ruang yang sempit ini kita diskusikan struktur hati dari hati yang terikat
dengan dunia fisik dan hati spiritual. Dalam hal ini kita akan merujuk kepada karya sufisme
yang ditulis oleh Robert Frager atau Syekh Raghib al-Jerahi. Perhatikanlah diagram hati yang
dibuat oleh Frager.

48
Ibnu Arabi, Rahasia Asmaul Husna: Mengungkap Makna 99 Nama Allah, (Jakarta Selatan: Turats, 2015), p. 53-54.
49
Nasr., The Garden of Truth... p. 27.
50
Ibid., p. 41.
Madrasah Ruhani | 16

Dada
Hati

Hati-
lebih-
Lubuk-hati- dalam
terdalam

Gambar 2.1.
Diagram hati Robert Frager
(Dengan sedikit modifikasi untuk penyesuaian ruang)

Empat stasiun yang dimaksud oleh Frager adalah dada bagian terluar dan menjadi rongga
tubuh dimana hati jasmani yang disebut jantung ditempatkan, ialah batas paling luar antara hati
spiritual dengan dunia fisik; bagian berikutnya adalah hati inilah rumah spiritual kita aspek
psikis dari diri kita yang dengannya kita dapat memilih sikap dan menjalin hubungan dengan
dunia luar dan dunia sepiritual sekaligus; hati lebih dalam ia adalah hati spiritual dari diri kita,
ia ibarat kamar utama yang megah yang menyimpan harta kekayaan kita yang sebenarnya,
yaitu lubuk hati terdalam; lubuk hati terdalam disitulah “Aku” yang tercerahkan oleh cahaya
Ilahi berdiam. Setiap lapisan hati mewakili tingkat spiritualnya sendiri dan membiaskan cahaya
berdasarkan kualitas spiritual yang dimilikinya, tiap tingkat hati kita memiliki pengetahuannya
sendiri dan situasinya sesuai dengan tingkat spiritual.
Dada (Shadr) dalam bahasa Arab disebut shadr. Secara fisik dada mungkin merujuk kepada
rongga tengah dari tubuh kita yang terlapisi tulang rusuk dan otot-otot. Dalam terminology
sufi shadr selalu merujuk kepada aspek spiritual yang paling dangkal yaitu “hati dan akal.”
Ketika anda berdoa “Rabbi isyrah li shadri wa yassir li amri wahlul „uqdatan min lisani.” Tentu saja
anda tidak bermaksud meminta agar tulang-tulang rusuk rongga dada anda direnggangkan dan
di luaskan, tentu saja ini adalah hati dan akal yang lebih bersifat psikis. Begitu juga firman
Madrasah Ruhani | 17

Allah di dalam al-Quran “Barang siapa yang Allah inginkan baginya kebaikan, Allah lapangkan
dadanya untuk menerima Islam.” Sekali lagi dada itu bukanlah rongga dada yang bertulang ruas.
Kata karja sha-da-ra berarti pergi, memimpin, dan juga melawan atau menentang. Karena
ia terletak di antara hati dan diri terendah (hawa nafsu), shadr juga mengistilahkan hati terluar.
Pada lapisan ini bertemu hati dan diri rendah, serta mencegah agar satu pihak tidak melanggar
pihak lainnya. Ia memimpin interaksi diri kita dengan dunia. Di dalamnya kita menentang
dorongan-dorongan negatif diri rendah. Dada menjadi medan perang antara kekuatan positif
yang dipancarkan oleh hati dan kekuatan positif yang dihembuskan oleh hawa nafsu. Tempat
kita diuji dengan kecenderungan-kecenderungan negative kita. Jika kekuatan positif yang
mempengaruhi diri kita, maka dada tengah diliputi cahaya dan berada di bawah pengaruh jiwa
ilahiah yang tempatnya ada di lubuk hati terdalam. Sebaliknya, ketika dengki, syahwat, dan
kesombongan masuk ke dalam dada dan memenuhinya, dada kita tengah dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan negatif. Jika dada kita dipenuhi dengan kepedihan, derita, dan tragedi yang
berlangsung dalam jangka waktu yang lama itu artinya hati dipenuhi dengan kegelapan. Hati
akan mengeras, dan cahaya hati yang memancar dari lubuk hati terdalam akan redup. 51
Dada akan menjadi sumber kehendak yang menggerakan seluruh jasmani kita. Dada
memancarkan cahaya amaliah dan secara langsung terjadi timbal balik balik antara dada dan
perbuatan kita. Pada satu sisi dada yang mengatur seluruh amal atau perbuatan, pada saat yang
lain ia dipengaruhi oleh kata-kata dan perilaku kita. Ibadah, doa, derma, pelayanan serta
pengamalan seluruh prinsip-prinsip agama memelihara kesehatan, kebugaran dan cahayanya.
Hal yang penting untuk mendorong seluruh ibadah dan amalan-amalan positif kita adalah
ketulusan yang memancar dari lubuk hati terdalam.52 Inilah dada yang lapang, yang
memancarkan cahaya Islam dari dalamnya.
Tasawuf sebagai jalan spiritual membawa misi pembersihan dada dan pembukaan hati.
Salah satu obat untuk hati yang mengeras itu adalah mengingat Tuhan, zikir, melalui shalat dan
mengulang-ulang nama atau sifat Allah. Cukup baik disini kita mendengarkan perkataan Syekh
Muzaffer dalam kutipan Frager “cukup mudah untuk melaksanakan salat lahir, tetapi lebih sulit
mengajarkan hati kita untuk salat. Tidak sulit untuk mandi dan mengenakan pakaian bersih,
tapi akan sangat sulit untuk membersihkan hati kita.”53 Dengan perkataan itu, kita bisa
menangkap pesan tersirat yang menjadi tujuan tasawuf melatih dan membersihkan dada dari
segala unsur dan dorongan-dorongan negative jiwa rendah kita, yatitu untuk menjadikan hati
kita salat. Nafs atau jiwa kita taat kepada seluruh perintah Tuhan dan bergerak di bawah
bimbingan cahaya ilahi yang memancar dari hati terdalam.
Nafs atau jiwa atau nafsu (Terjemahan yang lumrah kita pakai) sebenarnya merupakan
daya hidup kita. Komponen penting dari seluruh tindakan kita, karena kapasitas tindakan kita
terletak pada nafs. Kata Frager hatilah yang merasakan nafs yang bertindak. Maka dapat
dikatakan praktik agama adalah menggunakan nafs sesuai dengan kehendak Tuhan dengan cara
menundukan kehendak pribadi kepada kehendak Tuhan, mengabdi dan menempuh jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya. Kekeliruan kita selama ini adalah memanjakan kehendak pribadi
dengan melakukan hal-hal yang mudah dan lebih menarik tanpa menimbang apakah yang kita

51
Frager, Hati, Diri dan Jiwa… p. 58-59.
52
Ibid., p. 59.
53
Ibid., p. 59.
Madrasah Ruhani | 18

lakukan benar atau tidak. Kehendak pribadi kita harus dilatih mengikuti jalan kebenaran yang
terdapat pada agama.54
Kehadiran nafs di dalam dada kita sebagai ujian bagi kita. Kalau kita menengok al-Quran
inilah yang dimaksudkan Q.S. al-Insan [76]: 02: “Kami telah ciptakan manusia dari air mani yang
bercampur untuk kami uji maka kami jadikannya mendengar dan melihat” (Q.S. al-Insan [76]: 02).
Agama diturunkan melalui para nabi sebagai jalan (Sabil) bagi manusia untuk meretas
kebenaran dan bertindak benar. Setiap kita yang kemudian berhasil menundukan kehendak
pribadi di bahwa kehendak Tuhan al-Quran melabelinya dengan sebutan orang yang bersyukur
(Syakur) dan yang congkak disebut ingkar (Kafur). Agar berhasil menundukan memenangkan
pergulatan nafs, kita harus berpegang teguh kepada praktik keagamaan dan spiritual kita, terus
menerus (Dawam) berperilaku tulus dan penuh kasih sayang. 55 Semua perbuatan itu akan
membersih-kan dada dari segala kotoran batiniyah. Hati pun akan menjadi lebih sensitif untuk
melihat kebenaran-kebenaran yang selama ini tertutup karena kegelapan yang menyelimuti
dada.
Dada juga berarti akal, tempat seluruh pengetahuan yang dapat dipelajari dengan dikaji,
dihafalkan, dan usaha individual; dapat didiskusikan, ditulis, dan diajarkan kepada orang lain. 56
Sebuah pengetahuan yang disebut, oleh sarjana Barat, diskursus. Tentu saja akal yang dimaksud
di dalam kategori ini tidak bisa disamakan dengan akal yang sudah kita diskusikan di awal bab
ini. Akal yang dimaksud di sini bisa disamakan dengan nous. Kecuali saja berbeda dalam
identifikasi tempat dimana dia berada, filosof Yunani menempatkan nous di kepala dan para sufi
menempatkannya di dalam dada. Di dalam perspektif sufi pengetahuan dikelompokan menjadi
dua jenis, pengetahuan luar atau pengetahuan duniawi dan pengetahuan dalam atau
pengetahuan ukhrowi.57 Sekali lagi sifatnya dada merupakan bagian terluar dari hati yang
bersentuhan langsung dengan dunia luar. Maka pengetahuan dada juga memberi manfaat untuk
kepentingan kehidupan duniawi. Sebuah pengetahuan yang menjadi mapan melalui perjuangan,
pengulangan serta pemusatan pemikiran.58 Pengetahuan ini masuk dari luar dan didapatkan
melalui usaha pengamatan dan pemikiran terhadap dunia luar.
Ada juga pengetahuan yang masuk ke dalam dada dari dalam, yaitu dari hati. Inilah
pengetahuan batiniah, ia lebih mudah menetap di dalam dada; ia mencakup kelembutan kearifan
batiniah dan petunjuk ilahi. Untuk memeliharanya kita mesti berbuat berdasarkan pengetahuan
ini. Kearifan yang tidak tercerminkan ke dalam prilaku akan segera memudar. 59
Hati (Qalbu). Seperti tergambar dalam diagram Frager, ia menempati lapisan kedua yang
terbungkus langsung oleh lapisan dada. Ialah wujud halus (Lathifah) yang bersemayam di dalam
sanubari kita. Hakikat diri kita yang menyimpan cahaya kecerdasan dan cahaya ilahi.
Setelah seorang kita membersihkan dadanya dengan amalan-amalan agama, dada kita
menjadi jernih dan memancarkan cahaya ilahi dengan kuat, kita mulai mampu melampaui
permukaan luar dan merasakan apa yang ter-sembunyi di dalam dada kita. Menjadi seorang
salik adalah memelihara kelembutan dan kejernihan hati, hati yang peka dan penuh
54
Ibid., p. 60.
55
Ibid., p. 60.
56
Ibid., p. 61.
57
Di dalam hadits Nabi pengetahuan dipisahkan menjadi pengetahuan lisan dan pengetahuan hati. Redaksi
haditsnya menggunakan istilah ilmun fi lisan dan ilmun fi shudur. Yang pertama mensimbolkan pengetahuan luar
dan yang kedua mensimbolkan pengetahuan hati atau batin.
58
Ibid., p. 61.
59
`Ibid., p. 61.
Madrasah Ruhani | 19

pemahaman. Karena hati sudah terlatih melalui pengalaman. Karena elemen penting di dalam
pengetahuan hati adalah mengalami apa yang telah kita ketahui. Pengetahuan hati diperdalam
oleh pengalaman.60 Oleh karenanya kebenaran-kebenaran yang diperoleh bukanlah kebenaran-
kebenaran yang berupa spekulasi-spekulasi intelek-tual. Suatu pengetahuan yang banyak dicela
oleh para sufi.
Sistem pengetahuan yang selama ini diajarkan kepada siswa sampai tingkat perguruan
tinggi berada di bawah pengaruh filsafat ilmu yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Barat.
Nabi – sebagaimana yang dikembangkan oleh para sufi – menjelaskan dua jenis pengetahuan
“Ada dua jenis pengetahuan: pengetahuan lidah dan pengetahuan hati, pengetahuan hati benar-
benar berharga.”61 Masyarakat Barat dengan gagasan “diskursus” Machiavelly telah memberi
pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang dikembangkan di berbagai
perguruan tinggi Islam sekali pun. Para sarjana muslim lulusan-lulusan perguruan tinggi Islam
pada akhirnya tumbuh menjadi kelompok intelektual yang hanya berhasil mengunyah cangkang
kacang yang “garing.” Mata kuliah-mata kuliah tasawuf pun dipelajari hanya terbatas pada
memahami diskursusnya. Mereka telah men-devaluasi studi-studi tasawuf dan oleh karenanya
studi tasawuf di perguruan-perguruan tinggi Islam mengalami degradasi dari fungsinya yang
sebenarnya. Syekh Safer, seorang guru dari Robert Frager, syekh Halveti-Jerrahi pernah berujar
“Saya tidak mengetahui banyak mengenai tasawuf, tetapi saya mencintai apa pun yang telah
saya pelajari, dan saya telah mengamalkannya selama lebih dari empat puluh tahun.” 62 Tasawuf
bukanlah sebatas pengetahuan diskursif, dia tidak berhenti pada penelaahan terhadap buku-buku
atau karya-karya sufi untuk menangkap ajaran-ajaran mereka. Tasawuf mengajarkan siapa pun
untuk bisa mengamalkan ilmu yang telah dipelajari. Inilah saat pengetahuan diskusif masuk ke
dalam dada dan menjadi pelita yang cemerlang di bawah sinaran cahaya hati. Hati membantu
siapa pun yang dengan sungguh-sungguh mengamalkan seluruh pengetahuannya untuk melihat
kebenaran-kebenaran. Robert Frager pun berkomentar:

“Sedikit pengetahuan yang diterapkan akan membawa kearifan, sedangkan pengetahuan buku yang
berlebihan akan mengakibatkan kelemahan mental dan spiritual.”63

Antara hati dan dada ada ikatan yang menghubungkan bahkan saling mempengaruhi.
Hati ibarat akar dan dada adalah batang pohonnya. Hati mengalirkan air pengetahuan yang
akan memberi dadaa makanan yang bergizi, maka pengetahuan akliyah atau rasional yang
dimiliki dada akan lebih berdaya dan bermanfaat setelah dipupuk dengan pengetahuan batiniah
yang disuplay hati ke dada. Karena pengetahuan batiniah adalah “pemahaman terhadap realitas
yang harus menyertai tindakan luar agar mampu memberinya makna dan kehidupan.
Pengetahuan batiniah membutuhkan tindakan luar untuk mendukung dan memeliharanya,
serta memperdalamnya melalui pengalam-an.”64
Ada perbedaan yang kuat antara dada dan hati. Dada mengalami pluktuasi yang labil, dia
mengalami penyusutan dan pengembangan. Hati adalah sumber cahaya iman yang memancar
ke dalam dada. Hati bersifat tetap ibarat matahari yang tidak berubah biar pun tertabiri awan

60
Ibid., p. 62.
61
Ibid., p. 62.
62
Ibid., p. 62.
63
Ibid., p. 62.
64
Ibid., p. 64.
Madrasah Ruhani | 20

atau kegelapan, ia akan tetap bersinar. Kealpaan, keingkaran dan ketidak-pedulian akan
menabiri pancaran cahaya hati untuk menerangi diri rendah kita. Kecuali dengan perjuangan
yang tulus cahaya iman akan bersinar kembali. 65 Seperti inilah sebenarnya yang terjadi pada apa
yang dikatakan ulama arifin “iman itu bertambah dan berkurang.” Sebenarnya cahaya iman
tidak terpengaruh apa pun, kecuali kegelapan yang meliputi dada karena berbagai perbuatan-
perbuatan yang mengikuti diri rendah yang menabirinya. Untuk itu kita mengucap ikrar di
dalam setiap shalat melalui surat al-Fatihah [01]: 4: “Kepada-Mu kami menghamba dan kepada-Mu
kami memohon pertolongan.”
Cara pandang sufi terhadap jati diri manusia senafas dengan digtum Islam, Islam adalah
fitrah. Konsep ini mengambil asas bahwa manusia diciptakan Tuhan berdasarkan fitrah, ia
membawa kesucian fitriah yang. Secara substantif manusia itu suci, ia tidak membawa dosa
bawaan. Setiap kita memiliki cahaya iman yang sama kuatnya. Pengalaman hiduplah yang
kemudian menabirinya menjadi beragam pembiasan hingga tak terlihat sama sekali. Di dalam
Islam, sebagai sumber ajaran para sufi yang utama, banyak isyarat yang memberikan bimbingan
kepada kita untuk menjaga kefitahan diri kita. Semua dimulai dari konsumsi pangan, larangan
untuk mengkonsumsi makanan dan minuman haram, cara-cara mendapatkan penghidupan,
mengelola harta, mengelola emosi, akhlak dan adab, hingga praktik agama semua dimaksudkan
agar manusia tetap dalam keadaan fitrah, suci sesuci-sucinya. Substansi dari seluruh praktik
tasawuf adalah menjaga agar manusia senantiasa ada pada fitrahnya. Fitrah itu sekali lagi Allah
titipkan di dalam lubuk hati kita yang terdalam. Frager menulis: “Tugas kita adalah menyingkap
tabir dari cahaya yang telah dipancarkan oleh Tuhan ke dalam diri kita, dan memohon kepada-Nya agar
membantu kita, dan menjadikan segala upaya kita tidaklah sia-sia.”66 Indikator keberhasilan seorang
salik pada pengetahuan batiniah ini manakala Tuhan menampakkan pengetahuan batiniah
tentang kebajikan-kebajikan spiritual seperti sifat mulia, murah hati, sabar dan kegigihan
melawan kecenderungan negatif. Lalu ada yang difasihkan untuk berbicara tentang sifat-sifat
dan nama-nama Allah. Menulis puisi indah yang menyentuh, tulisan-tulisan mengenai Tuhan
dan jalan spiritual. Sebagian melakukan perenungan yang dalam mengenai keunikan dan
keesaan Tuhan, sehingga mereka melihat Tuhan di mana-mana. “Arif sejati bagaikan pencari
mutiara. Ia terus menerus mencari dengan menyelam jauh ke dalam.”67
Di dalam hatilah ketakwaan kita bersumber, ia adalah rumah takwa. Karena dalam
keadaan tersingkapnya pengetahuan batiniah, seorang salik atau pengamal sufi akan semakin
peka terhadap kehadiran Tuhan. Ia pun “takut kepada Tuhan.” Pada tingkat terendah takwa
berarti takut akan hukuman dari Tuhan. Tidak bagi sufi atau seorang salik, rasa takutnya telah
bergeser menjadi takut kehilangan rasa cinta kepada Tuhan, rasa kedekatan dengan Tuhan, dan
cinta Tuhan. Inilah suasan hati yang sudah menyadari kehadiran Tuhan. Ia menjadi semakin
peka akan Tuhan. Kesadaran inilah yang membuat kita berpikir dan bertindak lebih hati-hati
dan lebih peka.68 Syekh Abdul Qadir al-Jilani suatu ketika pernah memberikan nasihatnya, ia
berkata: “barang siapa yang menginginkan kekayaan dunia dan akhirat, hendaknya ia bertakwa
kepada Allah bukan kepada yang lain dan berdiam dirilah di depan pintu-Nya seraya merasa
malu untuk mendatangi pintu yang lain dan hendaklah ia menutup kedua matanya dari

65
Ibid., p. 64.
66
Ibid., p. 65.
67
Ibid., p. 65.
68
Ibid., p. 65.
Madrasah Ruhani | 21

memandang yang lain maksud saya kedua mata hati bukan mata lahir.” 69 Inilah ketersingkapan
yang diupayakan setiap salik.
Hati Lebih Dalam (Fuad) adalah tempat penglihatan batiniyah dan inti “cahaya ma‟rifat”
yaitu “kearifan batiniyah” atau “pengetahuan hakikat spiritual.” Frager menjelaskan antara hati
(qalbu) dan hati lebih dalam (fuad) hampir tidak bisa dibedakan, keduanya berkaitan erat dan
saling melengkapi. Perbedaan antara keduanya sangatlah tipis, hati mengetahui sedang hati
lebih dalam melihat. Pengetahuan hakikat spiritual akan terkuak manakala keduanya,
pengetahuan dan penglihatan dipadukan. Tidak ada sekat antara yang gaib dan nyata,
keyakinan kita pun akan semakin kuat. 70
Dalam hal hubungan kita dengan objek-objek pengetahu-an spiritual, orang yang memiliki
pengetahuan dan penglihatan terhadap dunia spiritual ibarat seorang sarjana yang mengetahui
seluk beluk suatu negeri asing. Ia telah mempelajarinya bertahun-tahun namun tidak pernah
mengunjunginya. Seberapa pun banyaknya informasi yang ia dapat tentang negeri asing
tersebut, tetap akan mendapati kekurangan dalam pemahaman mereka. Sebaliknya seorang
yang melihat objek pengetahuan spiritual namun ia tidak memiliki pengetahuannya bagaikan
seorang turis yang mengunjungi suatu negeri asing, tetapi tidak memiliki pengetahuan bahasa,
sejarah, adat istiadatnya dan lain sebagainya. Turis tersebut mungkin memiliki pengelaman
langsung terhadap negeri asing yang ia kunjungi, tapi kosong dari pengetahuan untuk
menghargai atau memahaminya. Hanya orang yang mengetahui dan mengalaminya secara
langsunglah yang memiliki pengetahuan tertentu.71 Mengenai ini Ibnu Arabi pernah menulis
seperti berikut:

“Tuhan menaruh di dalam diri manusia pengetahuan tentang segala sesuatunya, lalu merintangi
mereka dari merasakan hal itu; inilah salah satu misteri Tuhan yang ditolak habis-habisan dan
dianggap mustahil oleh rasio.
Dekatnya misteri itu dengan mereka yang tak mengetahuinya sama dengan kedekatan Tuhan
dengan hamba-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, „Kami lebih dekat pada-Nya dari
pada kamu, tetapi kamu tidak mengetahui‟ (Q.S. 56:83) dan firman-Nya „Kami lebih dekat dari
pada-Nya dari pada urat nadinya‟ (Q.S. 50:16). Meski sedekat itu, si hamba tidak merasakan atau
mengetahui apa pun; tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang ada dalam dirinya sendiri
hingga disingkapkan baginya sedikit demi sedikit.”72

Pengetahuan hakikat spiritual sampai kapan pun tetap misteri. Jika pun ada diantara kita,
siapa pun, mengalami atau merasakan pengetahun tersebut, pengetahuannya tidaklah bersifat
menyeluruh, hanya sedikit saja yang dapat diketahui dan dialami oleh kita. Ibnu Arabi
menggambarkan kemisterian pengetahuan hakikat spiritual tidak lepas dari faktor kesengajaan
yang dilakukan Tuhan untuk tetap menjadi rahasia. Tentu saja semua itu dimaksudkan agar
manusia, saya, anda dan siapa pun, menjaga agar tidak beranjak dari kedudukan kita yang azali,
sebagai hamba-Nya.

69
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, al-Fathul Rabbaniy wal Faidh al-Rahmaniy, (Beirut: Daar al-Fikri, 2005), p. 158
70
Frager, Hati, Diri dan Jiwa… p. 66.
71
Ibid., p. 67.
72
Andrew Harvey, Seribu Ilham Kearifan Sufi: Mutiara Hikmah Tokoh-tokoh Tasawuf, (Jakarta: Alifia Books, 2018),
p. 32.
Madrasah Ruhani | 22

Penglihatan batiniah atau pengetahuan hakikat spiritual disamakan dengan ihsan di dalam
istilah agama kita. Kategorinya berdasarkan hadits Jibril yang terkenal sangat identik “Engkau
menyembah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya; jika pun tidak mampu melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” Pengetahuan dan kesadaran seperti ini menjadi pertanda puncak
dari pada pengalaman keberagamaan kita. Ihsan dimiliki oleh setiap kita yang telah mampu
menghidupkan hati lebih dalamnya.
Tentu saja penglihatan yang dimaksud di dalam hadits Jibril tersebut bukanlah
penglihatan mata telanjang, tapi mata batin. Setiap yang beriman selalu merasa Tuhannya
mengawasi dia di mana dan kapan pun. Tidak ada sedikit pun dari kehidupannya yang lepas
dari pengawasan Tuhan. Dalam suasana merasakan kehadiran Tuhan, kita akan mendapati
kehidupan yang istimewa dan berbeda. Saat inilah kita akan merasakan manisnya iman.
Penglihatan batin adalah penglihatan yang sejati. Dan kearifan sejati datang dari pengetahuan
batiniah yang dipadukan dengan penglihatan batiniah.73 Inilah menurut Frager yang dimaksud
dengan firman-Nya: “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (Q.S. An-Najm [53]:
11). Hati di dalam ayat ini disebut fuad, hati lebih dalam.
Lubuk Hati Terdalam (Lubb), sampailah kita pada inti dari hati spiritual kita. Inilah sumber
Cahaya Ilahi, hatinya hati. Seperti disiratkan dalam arti kata lubb, inti dan pemahaman
batiniah. Frager menyebutnya dasar hakiki agama. Cahaya yang memancar dari dalam lubuk
hati terdalam mengandung karakater keunikan dan kesatuan, sumber bagi cahaya hati yang
lainnya.74 Lubuk hati terdalam (Lubb) adalah hati yang dimaksud hadits Nabi yang masyhur
berikut

“Manusia adalah rahasiaku dan aku adalah rahasianya. Pengetahun batin tentang hakikat spiritual
adalah rahasia dari rahasiaku. Aku hanya menempatkannya dalam hati hamba sejatiku, dan tak
seorang pun dapat mengetahui keadaannya selain Aku.”75

Tuhan menjadikan hati manusia begitu unik, sehingga ia tidak bisa dipahami lebih banyak
oleh akal manusia sekali pun. Dia ibarat hamparan langit yang tak terbatas. Tidak ada satu
orang pun atau siapa pun dari makhluk Tuhan yang dapat menyentuhnya. Karena ia ada di
tangan Tuhan langsung. Dialah yang memeliharanya secara langsung tanpa perantara apa pun.
Kemurahan Tuhan pun tumpah ke dalamnya, tumbuh subur dan Tuhanlah yang memupuknya.
Tidak ada satu tempat pun di dalam lubb ini untuk disentuh apalagi didiami oleh nafs dengan
hasrat dan kelalaiannya, apalagi mengambil satu sudut darinya untuk didiami. 76 Ruzbihan Baqli
melukiskan keagungan lubb seperti berikut

“Aku melihat Tuhan di jalan tersembunyi dengan sesuatu di tangan-Nya.


Aku bertanya, “Tuhan, apa yang Kau pegang itu?”
Ia menjawab, “Hatimu.”
Aku berkata, “Apakah hatiku punya derajat sedemikian tinggi hingga pantas berada di tangan-
Mu?”

73
Fager Hati, Diri dan Jiwa…, p. 68.
74
Ibid., p. 68.
75
Harvey, Seribu Ilham Kearifan…., p. 38.
76
Frager, Hati, Diri dan Jiwa…, p. 69.
Madrasah Ruhani | 23

Ia memandangi hatiku, yang terlihat seperti sesuatu yang terlipat. Ia meratakan dan
menghamparkannya, dan hatiku memenuhi segenap ruang dari Arasy (Singgasana Allah) hingga
bumi. “Inilah hatimu,” kata-Nya, “Inilah hal paling besar yang pernah ada.” Lalu Ia membawa
hatiku ke dunia malaikat dan aku pergi bersama-Nya, hingga aku mencapai harta karun
tersembunyi dalam ketersembunyian.”77

Bahkan diri kita pun tidak bisa mengetahuinya. Dalam hubungan dengan pengetahuan
hakikat spiritual, Tuhan hanya akan menganugrahkan pemahaman atasnya kepada siapa pun
yang berpaling dari sifat-sifat buruknya dan membuka jalan masuk ke dalam lubuk hati
terdalam melalui ketegunannya dalam latihan-latihan spiritual melebihi kewajibannya kepada
Tuhan, akan memperoleh pemahaman batiniah “Allah menganugrahkan kearifan kepada siapa pun
yang Ia kehendaki. Dan barang siapa dianugrahi kearifan itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (Q.S. al-
Hujurat [49]: 7).” Kebenaran hakiki hanyalah dapat dipahami melalui lubuk hati terdalam. 78
Dalam hal hubungannya dengan stasiun hati yang lainnya, lubuk hati terdalam
memberikan pemahaman atas pengetahuan batiniah yang telah tersingkap oleh penglihatan
batiniah. Oleh sebab itu siapa pun berhasil sampai pada tahap ini, memiliki kearifan yang
tinggi, ia akan bertindak dan berlaku sesuai dengan kebenaran yang ditemukan melalui
pengetahuan dan penglihatan batiniah. Saat itulah kita telah mengalami kesatuan dengan
pengetahuan dan kebenaran. Al-Hallaj pun berujar “ana al-Haq” setelah sampai pada kedudukan
ini.
Salah satu prestasi gemilang yang dicari oleh para pengembara di jalan spiritual adalah
menggambarkan puncak pengalam psikologis manusia, yaitu bersatu dengan Tuhan. Suatu
istilah mistik yang sulit dipahami dan mengundang banyak kontroversi sepanjang sejarah
tasawuf. Para sufi memberikan terminologi mistik yang berlainan dalam hal menjelaskan
pengalaman ini, sebagian menyebutnya wahdat al wujud, hulul atau ittihad. Intinya adalah sama
pengalaman bersatu dengan Tuhan. Mereka yang sampai pada tahap ini hanya memikirkan
Tuhan, tidak ada tempat bagi yang lainnya. Frager menggambarkan orang yang sampai pada
pengalaman ini seperti orang yang mengalami haus sekaligus tidak, lapar sekaligus kenyang,
telanjang sekaligus berpakaian, melihat sekaligus buta, terpelajar sekaligus bodoh, bijak
sekaligus dungu, kaya sekaligus miskin, dan hidup sekaligus mati.79

HATI YANG MERAJAI KOTA NAFS

Perjalanan ruhani di jalan sufi adalah perjalanan yang penuh kekaguman menelusuri seluk
beluk diri kita atau nafs. Nafs ibarat sebuah kota yang makmur, dimana ditengah-tengah kota itu
ada sebuah kuil yang indah; di dalamnya, tepat di pusat kota (lubb), ada seorang raja yang arif.
Raja itu adalah hati yang darinya memancar cahaya ilahi dari dasarnya (lubb). Akal
menjadi perdana menterinya, ia ditempatkan bersama cahaya ilahi di pusat (lubb) jantung hati
berdasarkan identifikasi Frager. Kekuatan syahwat menjadi gubernur sementara kekuatan
amarah sebagai tentara-tentaranya. Berdasarkan diagram Frager tentang stasiun hati, syahwat

77
Harvey, Seribu Ilham Kearifan…, p. 37.
78
Frager, Hati, Diri dan Jiwa…, p. 69.
79
Ibid., p. 76.
Madrasah Ruhani | 24

dan amarah itu ada di dalam dada (Shadr). Sementara tangan dan kaki serta seluruh anggota
tubuh adalah daerah-daerah kekuasaan yang berada di luar kerajaan. Dada sebagaimana kita
diskusikan di atas, memiliki dunianya sendiri, ia langsung berinteraksi dengan dunia fisik.
Daerah-daerah itu dikuasai oleh para gubernur yang sewaktu-waktu bisa saja ia memberontak
atau membelot dari kuasa raja. Oleh karena itu raja bersama perdana menterinya harus selalu
waspada mengontrol dan mengendalikan para gubernur itu.
Kota nafs akan makmur apabila akal, menurut diagram Frager berada di dalam hati
terdalam – yaitu pusat dari hati spiritual yang tidak lain hakikat diri kita – sebagai wazirnya
memegang kendali atas para gubernur dan tentaranya agar mereka tetap berada dalam kendali
hukum yang telah ditetapkan hati, sang raja. Al-Gazali menyebut situasi ini sebagai sebab
tercapainya puncak kebahagiaan dan pengetahuan akan hadirat ilahiah.80
Hati telah Allah ciptakan untuk menyaksikan kehadiran ilahi. Para sufi percaya dengan
penuh keyakinan bahwa tidak ada hati yang kotor, setiap kita, apa pun dan bagaimana pun
keadaannya, hati yang suci senantiasa bersemayam di pusat diri setiap individu.
Ingatkah anda kepada kisah Firaun? Firaun ketika dibisiki para penyihir yang menjadi
penasehat di kerajaannya, bahwa ia akan dincurkan oleh seorang anak laki-laki; Firaun dengan
kuasanya memerintahkan para tentaranya berbuat lalim dengan membunuh semua anak laki-
laki yang lahir. Hingga akhirnya ia menemukan bayi laki-laki yang sangat manis di sungai Nil
dan diambil anak oleh istrinya sendiri. Ia pun jatuh cinta kepada Musa kecil dan
memanjakannya sebagai putranya sendiri. Tidakkah cukup berhatinya Firaun? Yah, hati selalu
menjadikan orang tampil berbeda. Sikap yang ditampilkan Firaun di dalam bahasa kita yang
sederhana telah dialamatkan pada keadaan hati yang peka. Seburuk apa pun diri kita, hati tetap
menyimpan cahaya ilahiah. Kecuali saja, hati telah dikuasai oleh nafsu negatif.
Oleh karena itu al-Gazali mengisyaratkan kepada kita, akal adalah basis terakhir
keselamatan hati. Seandainya akal telah dikendalikan oleh syahwat dan amarah, maka kota nafs,
yaitu diri kita sendiri dan hakikat kita, di dalam diri kita akan mengalami kehancuran, hati pun
sakit.81
Indikasi sehat dan sakitnya hati spiritual kita, berdasarkan uraian al-Gazali, ditunjukan
oleh akhlak atau moral. Apabila solih hatinya, maka seluruh jasad dengan panca indera yang
menjadi gerbang terluar dari kota nafs yang berhadapan langsung dengan alam fisik, akan sehat
pula. Semua rangsangan yang diterima mendapat saringan yang ketat, sehingga tidak memberi
pengaruh negatif kepada syahwat dan amarah, atau diri terendah kita. Kesungguhan
menjernihkan hati dari pengaruh diri negatif dengan penuh komitmen adalah makna dari
„menjadi hamba‟ yang sejalan dengan desain penciptaan manusia. Oleh karena itu, setiap kita,
harus menjadikan hati sebagai raja di negeri nafs yang menguasai seluruh penjurunya dengan
dada sebagai batas kerajaannya terluar. Berkiblat ke hadirat ilahi dan menjadikannya sebagai
orientasi kerjanya. Akhirat sebagai negeri idamannya, nafsu kendaraan, dunia sebagai
persinggahan, kaki-tangan para pelayannya, akal sebagai perdana menterinya, syahwat pekerja-
pekerjanya, amarah tentaranya, dan indera sebagai teliksandi. Imajinasinya diabdikan menjadi
agen-agen penghubung antara raja dan teliksandinya, sedangkan kekuatan memori adalah ahli-
ahli pemetaan yang menggambarkan seluruh data dari teliksandi. Tugas seorang salik dalam
usaha penjernihan diri bukanlah mematikan syahwat dan amarahnya, yang ada hanyalah

80
Abu Hamid al-Gazali, Kimiya al-Sa‟adah, (al-Hidayah), p. 12.
81
Ibid., p. 12.
Madrasah Ruhani | 25

mengendalikan dan menyalurkan seluruh potensi positifnya untuk menghidupkan diri


tertingginya.82
Ketika tujuan-tujuan ini tercapai seorang salik akan memasuki suatu situasi dimana
akhlak mulia mendominasi seluruh perangainya yang akan menjadi sebab dari kebahagiaan
yang utuh. Sebaliknya kegagalan dalam seluruh usaha menempatkan hati sebagai raja di negeri
nafs menjadikan perangainya buruk, dan kebahagiaannya adalah semu. Kita menghadapi
persoalan moral yang berat di masa sekarang ini. Dimana hukum tidak dapat menegakan
keadilan yang sejati, negara tidak dapat menjamin kesejahteraan rakyat secara merata, korupsi
meraja lela, persoalan kita ada pada kegagalan menempatkan hati sebagai raja di negeri nafs.
Tasawuf dengan begitu membawa misi membumikan kerajaan Tuhan di dunia ini.

TUJUH JIWA KITA

Pada prinsipnya Islam tidak mengenalkan pluralitas bagian jiwa kita; jiwa, akal, ruh dan
hati adalah satu. Pemilahan tersebut lebih cenderung kepada fungsi dari struktur metafisika
pada Diri. Begitu juga tujuh jiwa yang akan kita uraikan dalam bagian ini. Semuanya
menggambarkan fungsi ruhani pada masing-masing anatomi badan material.
Kita memiliki tujuh jiwa: jiwa mineral, jiwa nabati, jiwa hewani, jiwa pribadi, jiwa insani,
jiwa rahasia, dan jiwa Maharahasia. Tujuh jiwa ini menggambarkan diri kita sebagai wujud
alam besar. Tiap jiwa memiliki potensi yang berharga bagi perkembangan spiritual setiap kita.
Tasawuf tidak saja mengaktifkan bagian jiwa yang lebih tinggi, tapi memperhati-kan dan
melatih perkembangan setiap individu secara seimbang. Tubuh, jiwa dan akal sepenuhnya
dilatih dan ditumbuh-kembangkan. Pada prinsipnya bagi tasawuf seluruh kehidupan adalah
bagian dari praktik spiritual.83
Secara ringkas berikut ini akan kita diskusikan bagaimana ketujuh jiwa kita
menyumbangkan aset yang besar bagi perkembangan diri dan kehidupan kita, terutama ruhani
kita yang menjadi dasar bagi kehidupan duniawi yang tengah kita jalani dan kita nikmati.

TABEL TUJUH JIWA TEMPAT DAN SIFATNYA


SKEMA ROBERT FRAGER

Jiwa Tempat Sistem Tubuh Perilaku Sisi Positif

Mineral tulang punggung sistem Terlalu kaku Dukungan


kerangka bathiniyah
Nabati Hati Sitem Kemalasan, Kesehatan,
pencernaan Askifitas berlebihan, penyembuhan,
kekurangan gizi pemberian gizi
Hewani Jantung Sistem Amarah, ketamakan, Motivasi
peredaran kecenderungan akan
darah kesenangan
Pribadi Otak Sistem syaraf Egois, ego lemah Kecerdasan,
ego yang sehat
Insani Hati spiritual Sentimentalitas Belas kasih,
kreatifitas
Rahasia Hati spiritual (hati- Penolakan dunia Kebebasan

82
Ibid., p. 14.
83
Frager, Hati, Diri dan Jiwa.., op.cit. p. 138.
Madrasah Ruhani | 26

lebih-dalam) penuh,
kearifan
Maha Hati spiritual (lubuk Tidak ada Kesatuan
rahasia hati terdalam dengan Tuhan

Jiwa Mineral (Ruh Madaniy), jika anda memperhatikan pada kerangka tubuh anda yang
terus berkembang dari waktu ke waktu. Adakah anda merasa ketika usia balita tubuh kita kecil
dengan tulang-tulang yang tidak sekuat sekarang? Seiring usia kita bertambah, tubuh kita kian
tumbuh dan berkembang semakin kuat. Perkembangan dan pertumbuhan yang dialami oleh
tubuh adalah fenomena jiwa mineral atau disebut juga ruh madaniy.
Jiwa mineral ditempatkan di dalam kerangka. Ia merupakan struktur bathiniyah yang
tersembunyi di dalam tubuh, yaitu sistem kerangka yang ditopang sepenuhnya oleh tulang
belakang. Jiwa mineral sebenarnya sangat dekat dengan Tuhan. Ia tidak pernah memberontak
kepada kehendak Tuhan. Adakah seseorang dari kita yang mampu merekayasa perkembangan
dan pertumbuhan kerangka tubuh sesuai dengan kehendaknya? Tentu saja tidak. Sepenuh-nya
kerangka tubuh hidup di bawah kehendak Tuhan.84
Struktur mineral yang dalam mencakup kesadaran akan keberadaan kita. Ia bahan dasar
yang ditempati oleh wujud kita, dan pada tingkat atom dan subatom terhubung dengan seluruh
bahan-bahan lainnya di alam semesta. Di dalam tradisi sufisme subatom yang membentuk
tubuh kita memiliki sumber yang terhubung langsung dengan asal usul penciptaan berdasarkan
teori emanasi yang berlangsung sejak masa azali, suatu waktu dahulu subatom yang membentuk
kerangka tubuh kita adalah bagian dari bintang-bintang.85
Ia juga menjadi asal dari wujud kita turunan dari wujud Adam. Al-Quran mengisyaratkan
ini dengan kata shulbi dan tara`ib (Q.S. al-Thariq [86]: 7) yang dihubungkan dengan penciptaan
manusia; “Keluar dari pada tulang punggung dan tulang rusuk”. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa`i, Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban, dan Malik ibn Anas melalui Abu Hurairoh Nabi menyebut tulang ekor yang melekat
pada ujung tulang punggung adalah asal darinya manusia diciptakan di dalam rahim dan
darinya pula manusia akan dibangkitkan seperti kecambah setelah tersiram air khusus dari
langit: “Seluruh bagian tubuh anak Adam akan dimakan bumi kecuali tulang ekor. Darinyalah ia
diciptakan dan dengannya pula ia dirakit kembali.”86
Kerangka memiliki nilai besar di dalam menopang seluruh aktifitas tubuh. Kerangka
tubuh kita telah memudahkan kita untuk terlibat dalam beragam aktifitas dan gerakan yang luar
biasa. Kerangka telah menggabungkan fleksibelitas dan stabilitas dengan cara yang luar biasa.
Dari mulai aktifitas yang dikerjakan oleh jari jemari seperti menulis, bermain piano, memetik
guitar, berlari yang menggabungkan kekuatan otot, kecepatan gerak dan kelenturan sendi-sendi
yang ditopang kesetabilan. Meditasi agama-agama dan mistisisme sekalipun mengandalkan
kekuatan dan fleksibelitas kerangka tubuh kita.
Jiwa mineral kita menjadi aspek dari jiwa yang paling kecil kesadarannya, namun ia
menjadi tempat munculnya perubahan yang mendasar. Ia tidak terganggu dengan interaksi
dengan dunia yang bersifat kompleks yang terus meningkat. Keberadaannya bagi kehidupan
spiritual sangat mendukung seluruh aktifitas meditasi dan kontemplasi (Zikir). Tanpa tulang

84
Ibid. p. 140.
85
Ibid., p. 141.
86
Zaghlul An-Najjar, Pembuktian Sains dalam Sunah, buku 1, (Jakarta: Amzah, 2006), p. 83.
Madrasah Ruhani | 27

belakang yang bersambung dan sistem kerangka yang mendukung, kita tidak dapat berdiri
tegak, tanpa disadari, bahwa ia telah menjadi bagian dari praktek meditasi dan sembahyang dari
seluruh agama. Sebuah struktur yang relative tidak berubah memerintah perilaku dari mineral;
ia menyamarkan kondisi-kondisi yang menciptakan dirinya, dan perilaku yang dihasilkan
sesudah itu secara kontinu mencerminkan kondisi diam ini. Ini adalah kekuatan dan kelemahan
dari jiwa mineral.87
Sifat berubah dan kesetabilan yang dimiliki jiwa mineral mencerminkan kepribadian kita
yang dapat ditransformasikan dari kerendahan ke keluhuran yang hening di bawah pancaran
cahaya Tuhan dalam ruh kita yang paling dalam.
Jiwa Nabati (Ruh Nabatiy), artinya ruh tumbuhan. Terletak di dalam hati (dalam
pengertian fisik; liver) dan dikaitkan dengan sistem pencernaan. Ia mengatur pertumbuhan dan
asimilasi dari bahan-bahan makanan. Ia tidak bisa disamakan dengan jiwa mineral yang tidak
membutuhkan makanan, lebih baru secara evolusioner. Di dalam tubuh kita terdapat jiwa yang
serupa dengan jiwa yang diberikan Tuhan kepada tumbuhan.88 Coba perhatikan anggota tubuh
kita, seperti, rambut yang tumbuh di kepala dan beberapa bagian dari tubuh kita. Sistem
pencernaan yang kita miliki dan lain sebagainya, adalah fenomena dari fungsi jiwa tumbuhan
yang ada pada diri kita.
Antara jiwa mineral dan jiwa nabati memiliki hubungan kuat, saling melengkapi dan
menyempurnakan. Jiwa mineral memancar-kan energi dan jiwa nabati adalah tempat
dimulainya perubahan. Tumbuhan merubah energi cahaya untuk menghasilkan makanan. 89
Jiwa nabati dengan cerdas mengendalikan seluruh tubuh jasmaniah kita memanfaatkan
makanan yang masuk ke dalam sistem cerna sebagai energi positif untuk tumbuh dan kembang
tubuh bahkan tulang-tulang kerangka tubuh.
Bagi para sufi konsep „makan‟ memiliki nilai spiritual yang tinggi. Seorang sufi di
Amerika, Syekh Thosun, bermaksud membuka pusat Sufi Jerahi yang pertama di Amerika
Serikat, Syekh Muzaffer memberi arahan padanya dengan berkata: “Pertama-tama bukalah
dapur. Pusat sufi sesungguhnya adalah dapur. Jika kau dapat memberi makanan pada tubuh
manusia, maka kau akan mampu memberi makanan bagi rohani mereka.”90
Belajarlah kepada kiah Adam dan Hawa. Keduanya ditempatkan di Surga dan dikeluarkan
karena makanan. Ketika pertama-tama Allah menempatkan Adam dan Hawa di dalam Surga,
seluruh makanan diperbolehkan untuk dimakan kecuali satu – tradisi Islam mengenalnya
dengan nama – buah khuldi. Tetapi Iblis menggoda mereka dengan meyakinkan keduanya
bahwa keberadaan keduanya di Surga tidaklah kekal dan keduanya diciptakan untuk tinggal di
bumi sebagai manusia, bukan malaikat. Bagi Adam dan Hawa ini adalah ajaran agama yang
pertama dan mendasar yang ditetapkan Allah bagi keduanya. Tetapi keduanya melanggar
larangan Tuhannya, mereka pun tersingkap rasa malunya, setelah itu Allah pun mengajari
keduanya menenun pakaian dari daun-daun Surga agar dapat menutupi rasa malunya, maka
agama bagi keduanya ibarat pakaian yang menyelematkan keduanya dari aib yang saling
terlihat antara dua manusia ini, sementara makan adalah praktek ketaatan kepada perintah dan
larangan Tuhannya. Sebagaimana juga Allah kenalkan kepada kita tentang keindahan Surga

87
Frager, Hati, Diri dan Jiwa, op.cit.., p. 144.
88
Ibid. p. 145.
89
Ibid., p. 146.
90
Ibid., p. 146.
Madrasah Ruhani | 28

dengan ragam makanan dan minuman yang menyegarkan dan menyehatkan kemudian pakaian
yang konon berbahan sutra, emas, perak, berlian; setelah itu barulah ada istana-istana yang
dilengkap dipan-dipan yang indah lagi nyaman. Begitu juga Nabi Muhamad SAW. mengajari
kita mengatur pola makan dan berpakaian agar tidak berlebihan atau tidak melanggar kaidah
“baik lagi halal.” Makanan yang masuk ke dalam tubuh kita memiliki pengaruh dan berfungsi
menopang ruhani kita. Oleh Tasawuf mengajarkan menyeimbangkan kebutuhan makanan
tubuh, emosional dan spiritual dengan baik.
Jiwa nabati memiliki kecerdasan yang berkembang sejak ribuan tahun evolusi. Seluruh
kerja tubuh kita yang paling mendasark diatur oleh kecerdasan ini, suatu kecerdasan yang jauh
di bawah alam sadar kita. Siapa yang dapat menyadari perpanjangan pada rambut? Tidak ada.
Dengan kecerdasan ini pula jiwa nabati mengetahui sebab dan bagaimana menyembuhkan
berbagai penyakit, seperti jantung, kanker dan beberapa kondisi fisik yang berada di luar kontrol
dan pemahaman akal. Sejauh yang dapat diketahui oleh manusia, kecerdasan ini ditempatkan di
dalam otak yang paling dalam, atau otak pertama, mencakup batang otak, sistem pengaktifan
retikular, dan basal ganggalia yang melingkari batang otak, serta urat saraf tulang belakang.
Otak pertama mengelola informasi yang diterima mealalui arus balik yang berhubungan dengan
pancaindera dan sel, serta berinteraksi dengan lingkungan luar melalui dorongan-dorongan pada
dan dari otot dan kulit. Otak pertama menjadi wadah dari sebagian besar kecerdasan dasar kita
dan berhubungan dengan fungsi-fungsi seperti pengembangan, penyusutan dan respons
terhadap bahaya. Walau pun begitu, tetap jiwa nabati memiliki kekurangan, yaitu terbatasnya
kemampuan untuk melakukan respons terhadap lingkungan. Seperti tumbuhan yang tidak
dapat belajar dari lingkungan yang hanya dimiliki jiwa hewani kita. Dengan jiwa hewani kita
membangun mobilitas, motivasi dan kemampuan untuk belajar. 91
Jiwa Hewani (Ruh Hayawaniy), terletak di dalam hati jasmani (Liver) dan berhubungan
dengan sistem peredaran darah. Rasa takut, amarah dan hasrat adalah fenomena jiwa hewani di
dalam diri kita. Ketiga kondisi itu mendukung hidup kita yang dapat diperbandingkan dengan
hewan yang lebih dinamis dari pada tumbuhan. Hasrat mendorong kita mendekati apa pun yang
mendatangkan hasil; rasa takut menjauhkan kita dari apa pun yang berbahaya dan menyakitkan;
sedangkan amarah menyulut kita menolak apa pun yang menyakitkan.92
Hasrat, takut dan amarah adalah naluri dasar untuk mempertahankan diri dan pertahanan
spesies yang muncul pertama kali dengan jiwa hewani, naluri yang tidak dimiliki jiwa nabati.
Meski ada tumbuh kembang di dalam tumbuhan, tapi itu tidak didasarkan pada hasrat,
sementara hasrat di dalam jiwa hewani menjadi akar untuk berkembang biak. Aktifitas fisik
dari hasrat ini ditunjukan pada prilaku seksual. Selain seksualitas, ada juga hasrat mencinta dan
mengasuh.93
Pada kondisi yang tidak baik, ketiga naluri dasar ini menjadi potensi buruk pada diri kita.
Tasawuf melatih keseimbangan tujuh jiwa agar tetap sehat dan menjadi aset penting dalam
kehidupan spiritual. Jiwa hewani harus berkembang dengan seimbang melalui kontrol dalam
menyalurkan hasrat dan selera, kendali pada ekspresi rasa takut yang berlebihan. Jika,

91
Ibid., p. 147.
92
Ibid., p. 147-148.
93
Ibid., p. 148.
Madrasah Ruhani | 29

keseimbangan berhasil dibangun dan dipelihara, jiwa hewani yang berkembang dengan baik
akan menjadi aset tak terhingga nilainya bagi kesehatan dan kesejahteraan. 94
Selain naluri dasar tersebut, jiwa hewani juga memiliki kemampuan melepaskan kekuatan
dan vitalitas luar biasa dari dalam diri kita. Jiwa hewani adalah sumber yang laur biasa bagi
motivasi, kekuatan bertindak, juga mencakup potensi untuk melakukan hal-hal yang luar
biasa.95
Ada satu hadits yang mensiratkan sistem kerja jiwa hewani. Hadits yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari, Muslim dan Ahmad ibn Hanbal dari Nu‟man bin Bashir dari Rasulallah
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berempati, berkasih sayang, dan bersimpati antar mereka
seperti satu tubuh yang apabila salah satu anggota tubuh mengeluh sakit maka seluruh anggota tubuh
yang lain saling menanggapinya dengan tidak bisa tidur dan demam.”
Ungkapam “saling menanggapi” (Tada‟a) – seperti penjelasan Dr. Zaghlul An-Najjar –
menyembunyikan sistem kerja vitalitas dan kekebalan tubuh yang dimiliki manusia. Syaraf-
syaraf perasa akan mengirimkan sinyal melalui zat-zat kimia dan hormon dari pusat sakit ke
otak. Otak akan mengirimkan intruksi ke seluruh oragan yeng bertugas mengontrol dan
mengendalikan aktivitas vital untuk menolong bagian yang sakit. Jantung, liver, kelenjar
endokrin, otot dan anggota lainnya adalah bagian penting yang berfungsi membangun vitalitas
tubuh kita. Thalamus yang berada di bagian bawah otak juga bagian penting yang tidak bisa
diabaikan dalam proses ini; ia berperan mengendalikan kontrol dan kewaspadaan penginderaan
acap kali menghadapi situasi yang berbahaya. 96 Oleh karenanya, tiap kita dimana mengalami
sakit – entah kecelakaan atau apa pun – selalu bersikap waspada terhadap segala sebab pemicu
sakit yang kita derita.
Jiwa Pribadi (Ruh Nafsani) jiwa nafsani ini terletak pada otak dan terkait langsung dengan
sistem syaraf. Sistem syaraf yang dimiliki manusia lebih kompleks dibanding sistem syaraf
yang dimiliki hewan. Tingkat kompleksitas pada sistem syaraf yang tinggi pada otak manusia
menghasilkan kapasitas memori yang dimiliki manusia lebih besar dan memungkin manusia
merancang perencanaan dan pemikiran yang lebih kompleks. 97 Dengan begitu manusia
memiliki kecerdasan yang lebih matang dari hewan, tumbuhan dan binatang.
Kemampuan berpikir manusia melampaui dan perkembangan yang lebih sempurna dari
kesadaran dalam diri tentang hal yang terjadi di luar diri sebagaimana dimiliki oleh hewan; para
filusuf muslim menyebut kesadaran ini dengan istilah idrak. Pada hewan daya ini diolah melalui
pancainderanya, sementara pada manusia daya ini diolah melalui pikirannya. Pikiran bekerja
dengan kekuatan yang ada di tengah-tengah otak yang memberi kesanggupan menangkap
bayangan berbagai benda yang bisa diterima panca-indera, dan kemudian mengembalikan
benda-benda itu ke dalam ingatannya sambil mengembangkannya lagi dengan bayangan lain
dari bayang-bayang benda di luar panca-inderanya. Melalui kerja oprasional ini kita mampu
menganalisa dan membangun sintesa. Perangkat ruhani yang berperan mengelola sistem
oprasional yang rumit ini adalah fuad, ini juga yang dirangkum dalam al-Quran surah al-Mulk
[67]: 23.98

94
Ibid., p. 149.
95
Ibid., p. 150.
96
An-Najjar, Pembuktian Sains dalam Sunah…, op.cit. p. 79-80.
97
Frager, Hati, Diri dan JIwa…, op.cit. p. 151.
98
Ibnu Khaldun, Muqadimah Ibnu Khaldun, terj. Ahmadie Thaha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), p. 522.
Madrasah Ruhani | 30

Dengan kemampuan oprasional ini, kita mampu merespon dunia di sekeliling secara lebih
efektif. Termasuk kemampuan merencanakan dan mempersiapkan diri untuk menghadapi
berbagai efek dari tindakan kita. Kecerdasan yang membuat kita memiliki rencana jangka
panjang dan berfungsi secara lebih efektif di dunia ini.99 Seorang filusuf dan saintis muslim
Turki, Adnan Oktar yang menggunakan nama pena Harun Yahya, menulis sebuah buku
berjudul Miracle of the Quran yang mengungkap berbagai keajaiban saintifik yang dikandung al-
Quran. Pada satu babnya ia bicara soal fungsi otak dalam mengendalikan dan bertanggung
jawab untuk gerakan kita. Al-Quran sudah bicara di dalam surah al-„Alaq [96]: 15-16:

“Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya Kami tarik ubun-
ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.”
(Q.S. al-„Alaq [96]: 15-16)

Ia menulis dalam refleksinya atas ayat ini:

“Ungkapan „ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka‟ dalam ayat di atas sungguh
menarik. Penelitian yang dilakukan pada tahun-tahun belakangan mengungkap-kan bahwa bagian
prefrontal, yang bertugas mengatur fungsi-fungsi khusus otak, terletak pada bagian depan tulang
tengkorak.”100

Bagian prefrontal dari otak yang kita sebut ubun-ubun tidak saja berfungsi mengatur
fungsi-fungsi khusus otak, ia juga sumber motivasi dan keinginan untuk merencanakan dan
memulai gerakan. Para ahli neurologi menyebutnya juga korteks asosiasi. Bagian ini juga yang
bertanggung jawab untuk memulai perilaku dan perkataan baik dan buruk, benar dan dusta. 101
Kita harus tahu bahwa jiwa pribadi adalah sumber ego negatif dan positif. Jiwa pribadi
masih memiliki ketertarikan dan keterikatan dengan dunia. Ego positif mengatur keserdasan
kita dan memberikan kepekaan terhadap diri kita sendiri. Ia dapat berupa tekanan untuk
menghargai diri sendiri, bertanggung jawab, dan integritas. Ia adalah teman baik di jalan
spiritual, karena dapat meberikan ketentraman batin pada saat guncangan-guncangan muncul
selama kita berada di jalan spiritual. Ada pun ego negative adalah tekanan untuk bersikap egois,
angkuh, dan merasa terpisah dari manusia lain dan Tuhan. Di jalan spiritual ego negatif adalah
musuh yang merusak pandangan dan mencemari hubungan kita dengan dunia.102
Tasawuf dalam hubungan dengan kedua sifat ego ini adalah seperangkat program latihan
kepekaan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Melalui pelatihan ini kita sebenarnya
meningkatkan hubungan antara sel-sel di dalam cortext asosiasi atau neocortext. Kepekaan ego
positif dapat menumbuhkan sifat belas kasih terhadap sesama. 103 Peristiwa -peristiwa yang
menistakan kemanusiaan yang terjadi di negeri kita belakangan ini; pelaku bom bunuh diri,
bahkan ada yang sampai hati melibatkan anggota keluarganya, membuka mata hati kita, bahwa
ada yang keliru dalam memahamkan makna jihad dan prakteknya yang lebih manusiawi.

99
Frager, Hati, Diri dan JIwa…., op.cit. p. 151.
100
Harun Yahya, Keajaiban al-Quran, terj. Rini N. Badariyah dan Ary Nilandary, (Bandung: Arkan Publishing,
2008), p. 101.
101
Ibid., p. 101.
102
Frager, Hati, Diri dan Jiwa.., op.cit. p. 151-152.
103
Ibid., p. 152.
Madrasah Ruhani | 31

Bukankah jihad dalam syariat Islam adalah untuk memperjuangkan harkat dan martabat
kemanusiaan? Ideologi yang kering dari sentuhan spiritual yang jernih lagi santun tidak
memberikan vitamin yang menggemukan bagi kerahmatan Islam.
Keterampilan mengembangkan ego positif dalam kancah drama modernisme yang
mengglobal seperti sekarang sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. Dan tentu saja tasawuf
bertanggung jawab mengambil peran untuk mentransformasikan diri setiap manusia modern
untuk bereksistensi lebih manusiawi.
Jiwa Insani (Ruh Insani), letaknya pada qalbu yakni hati spiritual. Kualitasnya lebih baik
dari jiwa pribadi; seperti juga letak dimana jiwa ini berada, jiwa pribadi berbasis pada dada atau
shadr, lapisan paling luar yang bersentuhan langsung dengan dunia luar, berdasarkan skema hati
yang tunjukan Frager dan kita sudah bicarakan di atas. Sedangkan jiwa insani terletak pada
qalbu yang menduduki lapisan dalam dari skema hati di atas.
Jiwa insani ini menggambarkan bagian halus dari jiwa kita. Ia menjadi wadah dari belas
kasih, keimanan, dan kreativitas. Di satu sisi jiwa insani mencakup juga di dalamnya jiwa
rahasia dan jiwa maharasia yang merupakan wadah dari nilai-nilai dan pengalaman spiritual
kita.104 Secara sederhana, jiwa insani dapat kita maknai dengan garda terdepan dari aspek
spiritual di dalam diri kita.
Di era ini tengah berkembang paradigma ESQ dalam ilmu pengembangan diri. Jika kita
bandingkan dengan paradigm ESQ maka dapat disebut jiwa insani adalah pemilik kecerdasan
emosional yang memancar dari jiwa rahasia dan jiwa maharasia.
Banyak survey saintifik kontemporer yang berhasil menemukan ada hubungan antara
perkembangan emosional diri kita dengan jiwa spiritual yang rahasia. Michael Spinger yang
melakukan penelitian pada tahun 1990 kemudian diikuti oleh VS Ramachandran dari California
University menemukan eksistensi God Spot di dalam otak manusia, inilah sebenarnya pusat
spiritual kita sebagai manusia. Lalu, Ary Ginanjar dalam komentarnya menulis “God Spot
sebenarnya dapat dirasakan melalui velue lewat suara hati.” Dan karena bersifat buil in dalam
diri manusia, maka potensi ini berlaku pada semua manusia tak terkecuali, sekali pun bukan
seorang spiritualis.105
Jiwa Rahasia (Ruh Sirriy) adalah bagian dari diri kita yang mengingat Tuhan. Bisa juga
disebut jiwa bathiniyah, karena memang diletakan di dalam hati bathiniah. Frager menyebut
jiwa inilah yang mengetahui dari mana dia berasal dan kemana ia pergi. Jiwa ini pula yang
menjalin perjanjian dengan Tuhan seperti digambarkan di dalam al-Quran ketika Tuhan
bertanya “Apakah Aku ini Tuhanmu?” jiwa-jiwa kita semua, tidak terkecuali, menjawab dengan
mantap”Sungguh, benar.”106
Jiwa ini, seperti digambarkan di dalam tabel Frager, adalah jiwa yang terbebas dari ikatan
materi. Jiwa ini lebih tertarik pada nilai-nilai spiritual. Dengan jiwa ini, kita dapat terbebas dari
belenggu materi, akan lahir ketulusan utuh.
Jiwa Maha Rahasia (Ruh Sirril Asrar) mencakup sesuatu yang benar-benar transcendental,
melampaui ruang dan waktu. Ini adalah jiwa azali (ruh) yang ditiupkan oleh Tuhan ke dalam

104
Ibid., p. 153.
105
Ary Ginanjar Agustian, ESQ: Emotional Spiritual Quotient, (Jakarta: Arga Publisher, 2007), p. 11.
106
Frager, Hati, Jiwa dan Ruh…op.cit. p.154.
Madrasah Ruhani | 32

diri Adam dan dalam diri manusia. Ialah inti kita, jiwa dari sang jiwa. Ialah percikan Ilahi yang
suci di dalam diri kita.107
Syekh Abdul Qadir al-Jilani mengatakan bahwa jiwa maharahasia ini ditempatkan Tuhan
di dalam lubuk hati terdalam untuk menjaga rahasia antara Tuhan dan hamba-Nya. Seluruh
aktifitas jiwa ini disebut “jiwa yang bergerak” yang memikirkan secara kontinyu berkaitan dari
makna-makna rahasia, yaitu kearifan ilahiah.108 Kearifan ilahian memancar di dalam diri kita
tanpa bisa dibatasi. Dan amalan zikir sufi membimbing kita menemukan kembali jiwa
maharahasia di dalam diri kita. Etika sufi tertinggi berpedoman pada pengetahuan terhadap
eksistensi jiwa maharahasia. Kita akan memperlakukan setiap orang dengan sangat hormat dan
belas kasih tertinggi apabila kita mengingat bahwa semua manusia mempunyai jiwa
maharahasia. Seluruh hubungan kita akan berubah, dan kehidupan kita secara mendasar ikut
berubah.109 Ary Ginanjar menyamakannya dengan Insan Kamil. Hati sebagai pusat orbit, amal
saleh sebagai garis aplikasi.110

MENJAGA KESEIMBANGAN JIWA

Kita harus mengingat setiap jiwa yang enam berpotensi baik dan buruk, kecuali jiwa
maharahasia yang tidak tersentuh dan terpengaruh, karena ia adalah lokus ilahiah yang suci di
dalam lubuk hati kita terdalam yang langsung menghadap kepada wajah Allah.
Ketertarikan kepada dunia yang bersifat materi, dalam hubungannya dengan
perkembangan jiwa-jiwa kita, menjadi stimulant di samping faktor kejahatan bujuk rayu dan
tipu daya syetan. Di dalam sistem spiritual Islam seperti tergambar di dalam al-Quran ada tiga
hal yang menjadi pengganggu kesetabilan jiwa-jiwa kita: dunia, syetan dan hawa-nafsu.
Ketiganya sering kali digambarkan dengan istilah fithnah. Ketertarikan terhadap dunia
disimbolkan dengan hub; sementara gangguan syetan diekspresikan dengan was-was; dan ittiba‟
(menuruti) hawa-nafsu digunakan untuk ketidak-berdayaan diri mengendalikan jiwa-jiwa kita.
Frager menggarisbawahi ketika jiwa kita berada di luar keseimbangan atau disalah-gunakan, sisi
negatifnya akan muncul.111
Dalam pembicaraan sebelumnya, kita banyak diskusi seputar sisi positif yang potensial
kita kembangkan untuk menopang perkembangan kualitas diri kita baik dalam kebutuhan
temporal kita atau kebutuhan spiritual. Kiranya baik bagi kita mengetahui sisi negatif dari
ketujuh jiwa kita. Agar kita memanfaatkannya sebagai pendukung dalam pendakian spiritual
yang panjang dan melelahkan. Setidaknya kita akan lebih waspada dan mengetahui bagaimana
seharusnya kita mengelola dinamika kejiwaan kita agar mampu memenuhi kebutuhan spiritual,
dan melayani panggilan ilahi yang berbisik dari dalam hati kita yang paling dalam.
Jika jiwa mineral berada di luar keseimbangan atau disalahgunakan, maka di satu sisi akan
menjadi tidak fleksibel, keras, dan kaku. Jika kecenderungan ini menjadi kuat pada diri manusia,
ia akan menjadi orang yang sulit menerima informasi, sementara informasi sebagai sumber
pengetahuan sangat dibutuhkan dalam perkembangan spiritual. Sulit menerima perubahan.

107
Frager, ibid., p. 155.
108
Frager, ibid., p. 155.
109
Frager, ibid., p. 156.
110
Ary Ginanjar Agustian, Rahasis Sukses Membangkitkan ESQ Power, Sebuah JourneyMelalui Ihsan., (Jakarta: Arga
Publusher, 2003), p. 13.
111
Frager, Hati, Diri dan Jiwa, op.cit. p. 156.
Madrasah Ruhani | 33

Karena di jalan spiritual ini kita membutuhkan perubahan radikal dan transformasional. Bagi
yang cenderung kaku dan tidak fleksibel akan sulit menyesuaikan diri. Pada sis lain jiwa ini
memiliki sifat lemah, cengeng, atau terlalu mudah ditundukan. Tidak memiliki batas-batas
yang tegas danjernih. Bagi orang-orang yang cenderung lemah seperti ini, perubahan konstan
yang dibutuhkan di jalan spiritual terlalu traumatis dan mengerikan. 112
Diantara kita ada yang didominasi oleh jiwa nabati, sehingga menyerupai pepohonan yang
cukup memiliki pertumbuhan dan memenuhi kebutuhan makan-minum. Dalam bahasa kiasan
yang kita kenal dalam budaya kita, “kerbau” mensimbolkan kepribadian orang yang memiliki
pola hidup makan-minum, tidaur dan membesarkan tubuhnya. Jika ada orang yang pemalas
kerap kali kita tuding “seperti kerbau”. Sisi yang lain, jiwa nabati memiliki kecenderungan
aktifitas berlebihan. Seperti digambarkan pada orang-orang yang aktif atau bahkan hiperaktif.
Mereka sulit diam. Bagi Frager, kedua sifat kecenderungan ini tidak baik bahkan mengganggu
secara spiritual. Kurang aktif hasilnya kemalasan, salah satu musuh terbesar di jalan spiritual.
Seorang pemalas akan mendapati kesulitas berlatih spiritual dan kewajiban-kewajiban
keagamaan formal sehari-hari. Sebaliknya, bagi seorang hiperaktif, aktifitas spiritual yang
menekankan kontemplasi dengan berduduk-duduk melantunkan zikir-zikir, akan menjadi
aktifitas yang sangat membosankan.113
Kebudayaan modern yang digerakan dunia Barat telah menjadikan efisiensi waktu dan
percepatan pertumbuhan sebagai spirit hidup yang tak terelakan. Imbasnya, nalar modernisme
cenderung mempersempit ruang aktifitas spiritual. Dan inilah semangat sekularisme yang kita
kenal dalam berbagai kajian sosiologis dan kebudayaan bahkan politik hingga filsafat. Oleh
karena itu, kebudayaan modern telah melahirkan manusia-manusia robot. Tugas kita adalah
memperlamban secara sadar gerak dinamis itu dengan tetap berada di masa kini, begitu kiranya
ucapan Frager ketika mengkritik dinamisme dunia modern. 114
Akan sangat berbahaya jika sifat negative jiwa hewani mendominasi. Dalam keadaan
tidak setabil, jiwa hewani yang memiliki perilaku dasarnya mencari kesenangan dan
menghindari penderitaan akan menjebak diri kita mengikuti seluruh motivasi memenuhi
kepuasan naluriah. Tidak ada moralitas atau belas kasih, dikuasai amarah, rasa takut, hasrat kita
akan sama bahayanya dengan binatang liar.
Syekh Abu Hamid al-Gazali pernah menggambarkan pengaruh jiwa hewani terhadap jiwa
pribadi. Kemudian jiwa hewani ini memberi format begi pribadi manusia. Gambaran hewan
anjing, mewakili sifat kemarahan. Hewan babi mewakili kondisi diri dikuasai oleh syahwat. 115
Para sufi banyak memilih hewan-hewan tertentu menggambarkan kualitas diri dan aktualitas
jiwa pribadi yang berada di bawah pengaruh jiwa hewani.
Dominasi jiwa hewani atas kelima jiwa lainnya selain jiwa maharasia menyebabkan
ketidakseimbangan jiwa yang fenomenanya berwujud pada karakter, atitud atau akhlak yang
buruk. Al-Quran pun mengambil hewan sebagai perumpamaan bagi orang yang tidak memiliki
kepekaan spiritual, “Mereka seperti binatang ternak bahkan lebih liar”.
Ada pun jiwa pribadi saat tidak seimbang dan tidak stabil, ia akan berada dalam
cengkraman ego negatif. Ego adalah inti jiwa pribadi. Pada satu kondisi yang ekstrem, ego jiwa

112
Ibid., p. 157.
113
Ibid., p. 158.
114
Ibid., p. 158.
115
Al-Gazali, Kimia al-Sa‟adah.. op.cit. p. 18.
Madrasah Ruhani | 34

pribadi akan menjadikan kita atau siapa pun, memiliki harga diri rendah dan tidak memiliki
rasa percaya diri. Lahirlah psimisme, yaitu keyakinan telah ditakdirkan dalam kegagalan
menghadapi segala tantangan hidup. Sisi ektrem lainnya, orang-orang yang jiwa pribadinya
dikuasai sifat negatif mereka sangat egois, angkuh, dan terlalu percaya diri. Mereka menjadi
tidak memiliki empati atau nurani.116
Sifat belas kasih mungkin saja akan hilang bagi orang yang dirinya didominasi sisi
negative dari jiwa hewani dan jiwa pribadi. Jika jiwa insani, yang karakter dasarnya adalah belas
kasih, dalam keadaan tidak setabil dan tidak seimbang, sifat belas kasih akan lebih dominan.
Pada satu sisi memang sangat dibutuhkan, tetapi belas kasih yang tidak memiliki batasan yang
wajar akan sangat menyesatkan. Kita atau siapa pun akan menjadi sentiment bahkan sangat
sentiment.117
Di dalam proses pendidikan pun demikian. Belas kasih yang diberikan dalam porsi yang
tidak sewajarnya akan melahirkan anak-anak yang tidak mengerti batasan baik dan buruk. Oleh
karenanya perlu juga sedikit keras, pukulan di bokong kepada anak-anak dibutuhkan untuk
membangun kesadaran yang lebih peka dalam memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Nabi, mengajarkan belas kasih yang tak terhingga dalam mendidik, tapi ia juga menganjurkan
pukulan kecil pada bokong anak yang sudah berusia sepuluh tahun jika enggan shalat.
Jiwa rahasia pun memiliki sisi negative yang tetap harus kita kendalikan. Dalam keadaan
tidak seimbang dan tidak setabil, jiwa rahasia melahirkan materialisme, bahkan menolak dunia
spiritual. Tetapi secara kontras dari karakter ini, jiwa rahasia bisa juga mendorong penolakan
terhadap dunia secara ekstrem yang diiringi kemalasan. 118 Kedua kecenderungan ini tidak
diinginkan di dalam spiritualisme Islam.
Kecuali jiwa maharasia yang tidak memiliki sifat negative. Ia sangat meredeka dari segala
dominasi. Kerena ia bergantung langsung pada cahaya Tuhan. Ialah percikan ilahiah di dalam
batin kita.119 Setiap kita tidak terkecuali, inilah yang disebut God-spot dalam sistem SQ
kontemporer.
Jika saja jiwa hewani disalah-gunakan atau dalam kondisi tidak setabil dan dalam
hubungan dengan jiwa-jiwa yang lain menjadi tidak seimbang, kemudian jiwa hewani
mendominasi seluruh jiwa manusia, maka manusia-manusia tersebut akan tampil seperti
binatang dengan hasrat mencari kesenangan yang sangat tinggi dibuat rumit dengan
menguatnya egoisme dari lokus jiwa pribadi, maka siapa pun yang ada dalam kondisi seperti ini
akan menjadi orang lebih liar dari pada binatang.
Ketujuh jiwa tersebut adalah anugrah Tuhan yang harus difungsikan dengan baik. Jiwa
mineral memberikan dasar yang kuat, struktur batiniyah yang tangguh guna mendukung
kehidupan kita. Begitu juga jiwa nabati berfungsi untuk membantu kita menjaga kesehatan
tubuh. Sedangkan jiwa hewani ditujukan untuk memberikan kita hasrat dan dorongan
melaksanakan pelayanan-pelayanan yang bermanfaat di dalam dunia. Dan jiwa pribadi
membimbing kita dengan kecerdasannya untuk memahami diri kita sendiri dan dunia luar. Jiwa
insani memberi belas kasih dan kecerdasan mendalam, serta kreatifitas dari hati. Jiwa rahasia
dapat memunculkan kearifan batiniyah sejati.120

116
Freger, Hati, Jiwa dan Diri, op.cit. p. 160.
117
Ibid., p. 161.
118
Ibid., p. 162.
119
Ibid., p. 162.
120
Ibid.,p.178.
Madrasah Ruhani | 35

Mungkin jiwa mineral, jiwa tumbuhan dan jiwa hewani telah banyak berperan besar –
secara tidak disadari – membantu kita bersentuhan langsung dengan dunia luar. Jiwa hewani
memiliki kompleksitas yang lebih dari dua jiwa sebelumnya. Melalui jiwa hewani ini kita dapat
belajar banyak dan mempelajari lingkungan kita. Kita melihat, mendengar, mencium, cita rasa
dan sentuhan. Dari sudut pandang sufi mempelajari ciptaan Tuhan adalah pengalaman belajar
yang mendalam yang akan membuat kita lebih memahami dan mengenal lingkungan kita dan
menjadikan kita semakin memiliki ilmu yang tinggi. Dan dengan kecerdasan yang dimiliki jiwa
pribadi, kita tidak saja mampu mempelajari dunia luar yang luas, kita juga mampu belajar dari
sifat alamiah kita sebagai manusia. Tetapi jiwa pribadi baru mampu menangkap fenomena dari
segala yang ada dan tidak mampu menyentuh bagian yang ada di balik segala fenomena. Karena
itu hanya dapat ditembus oleh jiwa insani. Kita – dengan jiwa insani – dapat melampaui panca
indera dan kecerdasan kita. Belas kasihlah yang membuat kita mampu merasakan apa yang
dirasakan orang lain. Ia muncul dari dalam diri kita yang menyadari bahwa kita saling
bergantung, dan tidak bisa berpisah dari orang lain. Dan jika kita masuk lebih dalam lagi ke
dalam lubuk hati dan sampai pada jiwa rahasia dan jauh lebih dalam lagi, jiwa maharahasia.
Mereka mencoba memahami siapa sebenarnya di balik diri mereka sendiri dan seluruh ciptaan.
Mereka bertindak berdasarkan pengetahuan batiniyah.121 Dan tasawuf mengajarkan berbagai
latihan olah ruhani yang membimbing diri kita mengikuti jiwa rahasia dan maharasia.
Untuk menjaga kesetabilan fungsi jiwa-jiwa itu para guru sufi – pertama-tama – akan
mengajarkan dan melatih para murid mereka untuk mengenali diri dengan memusatkan
perhatian pada jiwa-jiwa tersebut.122 Setiap kita memiliki kewajiban berjihad bathiniyah dan
jihad pribadi agar mampu menundukan ego negatif. Dan pada akhirnya para murid sufi akan
dilatih berjuang mengaktualisasikan jiwa insani dan jiwa rahasia agar tidak mudah dihanyutkan
dunia.123 Oleh karena itu di dalam lingkungan sufi bergunjing mengenai ego atau pun
ketidaksempurnaan pada diri oranglain. Yah, tentu saja akan jihad kita, perjuangan kita
mengaktualisasikan jiwa insani dan rahasia berhasil memetik buahnya.

121
Ibid., p. 180.
122
Ibid.,p. 165.
123
Ibid.,p. 185.

Anda mungkin juga menyukai