Anda di halaman 1dari 16

Khalwat menyendiri bersamaNya

Khalwat

Khalwat adalah semacam isolasi yang hanya dapat dilakukan atas perintah Shaykh/Guru. Jangka waktu
terpendeknya adalah empatpuluh hari sebagaimana disebutkan di dalam al Qur’an Karim tentang Nabi
Musa a.s. :

Dan ingatlah (ketika) Kami menugaskan empat puluh hari untuk Musa (2:51)

Nabi s.a.w. berkhalwat (menyepikan dirinya) di dalam gua Hira. Sasaran khalwat yang demikian itu
adalah untuk membebaskan qalbu dari berhubungan dengan kenikmatan materi dunia ini dan
membawanya kepada suatu keadaan ingat Allah S.W.T. Di dalam nya (akan) terjadi tak terhitung
penampakan. Itu meningkatkan murid kepada keadaan (tingkat) memahami diri, dan dari situ kepada
keadaan (tingkat) memahami Allah S.W.T.

Shaykh/Guru itu memerintahkan murid untuk berkhalwat di dalam suatu ruang di mana dia akan
dilayani dengan apa yang diperlukan untuk bertahan hidup. Kemudian shaykh akan mengajari lidah
muridnya cara membaca dzikr, sampai dia tersambung dengan bacaannya itu. Shaykh akan mendukung
muridnya dalam membuka penampakan Hadhirat Ilahi dalam qalbunya. Apapun yang terjadi kepada
murid selama khalwat, harus dilaporkan kepada shaykhnya, dan dia harus menutupinya terhadap
siapapun selain shaykhnya itu.

Khalwat bukanlah ibadah baru (bid’ah), namun itu adalah perintah Allah S.W.T., di dalam Kitab Suci Nya
dan dicontohkan Nabi s.a.w. Nabi s.a.w. berkhalwat (menyepikan dirinya) di dalam Gua Hira di
pegunungan Makkah, mengingat Allah S.W.T.

Abu Saud dalam komentarnya tentang penjelasan al Qur’an oleh Fakhr ad-Din al-Razi mengatakan :

Makna ayat ini adalah untuk tetap berkhalwat (menyepikan diri) terhadap segala sesuatu kecuali Allah
S.W.T., mengingat Nya siang dan malam, dengan tasbih, hamdalah dan tahlil, dan memutuskan dirimu
dengan seluruh kemampuan yang kamu miliki, and mendekat kepada Nya melalui tingkat-tingkat
(maqam) meditasi sedemikian rupa sehingga kamu tidak melihat siapapun kecuali Dia, dan
meninggalkan hubungan dengan selain Dia melalui meditasi itu.

Bentuk meditasi Islam didasarkan pada khalwat (menyepi). Bukti tentang ini dalam al Qur’an bisa
didapatkan dalam kisah Mariam a.s., ibu Nabi Isa a.s. :

Maka Tuhannya menerima (doa) nya dengan sebuah penerimaan yang pemurah, dan mengakibatkan dia
tumbuh secara sempurna, dan menjdikan Nabi Zakhariah sebagai walinya. Setiap kali Nabi Zakhariah a.s.
mengunjunginya di tempatnya menyepi, dia mendapatinya bersama dengan kebutuhannya sehari hari
(rezeki - makanan minuman) nya. Dia bertanya :” Ya Mariam dari mana engkau mendapatkan ini?” Dia
menjawab :”Ini dari Allah. Sesungguhnya, Allah memberi kepada siapapun yang Dia kehendaki tanpa
takaran.” (3:37)
Mengungkapkan kisah tentang Shahabat Gua (Kahfi), Allah bersabda dalam al Qur’an bahwa mereka
diperintahkan :

Pergilah kalian ke Gua itu : Tuhanmu akan mengguyur mu dengan Rahmat Nya mengatur urusanmu
menuju kemudahan. (18:16)

Demikian juga, khalwat (menyepi) ada dalilnya dalam Sunnah. Bukhari melaporkan bahwa Aisha r.a.
mengatakan :

Nabi s.a.w. senang sekali berkhalwat (menyepikan dirinya). Beliau s.a.w. berkhalwat (menyepikan diri).
dalam Gua Hira.

Imam Nawawi menjelaskan Hadits Aisha r.a. :

Berkhalwat (menyepi) bersama dengan Satu yang kamu cintai adalah sebenar benar khalwat. Itu adalah
jalan para shalih, dan itu adalah jalan para ‘alim.

Dia berkata, dalam penjelasannya dalam Salih Muslim :

Nabi s.a.w. berkata : “Saya dicipta untuk mencintai khalwat,” karena dengannya qalbu akan kosong dari
semua kehidupan duniawi ini. Qalbu itu akan dalam keadaan damai Hal ini membantu memperdalam
meditasi pada Hadhirat Ilahi. Dengannya, keterikatan seseorang dengan dunia akan berkurang.
Dengannya, pengabdiannya akan bertambah.

Imam Zuhri berkata :

Saya heran dengan orang orang, bahwa mereka tidak melaksanakan khalwat. Nabi s.a.w. melakukan
banyak hal kemudian meninggalkannya, namun dia s.a.w. tidak pernah berhenti melakukan khalwat
sampai meninggalnya.

Abu Jamra berkata menjelaskan sunnah ini dari Aisha r.a. :

Ketika Nabi s.a.w. menyepikan diri (khalwat), meninggalkan ummatnya dan melepaskan dirinya dari
dunia, dia s.a.w. menerima wahyu dari Jibril a.s. dalam Gua Hira. Siapapun yang akan meniru Nabi s.a.w.
dalam melakukan khalwat, dibawah perintah shaykhnya, akan diangkat ke maqam orang suci (awliya
Allah).

Bukti (pengaruh, Pent) khalwat adalah bahwa Nabi s.a.w. melalui khalwatnya dalam Gua Hira, diangkat
kepada maqam di mana beliau s.a.w. menerima wahyu. Dalam khalwatnya buah pertamanya adalah
mimpi yang benar, dan dari maqam ini beliau s.a.w. diangkat pada Malam Mi’raj, sampai beliau
mencapai Hadhirat Ilahiah ke maqam “dua busur jaraknya atau lebih dekat.” (53:9)

Semua maqam maqam ini adalah hasil dari khalwatnya dalam Gua Hira. Kita belajar dari sini, jika kita
mengikuti jejak langkah Nabi s.a.w. , kita akan diangkat dari maqam satu ke maqam lainnya sampai kita
mencapai maqam awliya Allah yang tinggi, dan kita akan mendapati diri kita dalam Hadhirat Ilahiah.

Shaykh Abd al-Qadir berkata :


Dari Gua Hira, dimana Nabi s.a.w. ber-khalwat, cahaya mamancar, fajar menyingsing, dan matahari
terbit. Gemerlap pertama cahaya Sufisme Islam telah menyambar. Tak pernah Nabi s.a.w. meninggalkan
khalwatnya, bahkan setelah meninggalkan Gua Hira. Sepanjang hidupnya beliau s.a.w. meneruskan
latihan khalwat (‘itikaf) nya selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Ini memperagakan bahwa sepanjang hidupnya, Nabi s.a.w. meneruskan khalwatnya secara tetap. Tentu
saja tugas maha berat menyampaikan Risalah Allah kepada ummat manusia dan membangun
masyarakat beriman membuat beliau s.a.w. harus mengurangi jumlah waktu kesendiriannya. Namun
untuk para pengikutnya, tetap saja empat puluh hari adalah jumlah minimumnya.

Imam Qastaliani dalam menjelaskan sunnah ini mengatakan :

Khalwat akan membawa qalbu kepada kedamaian dan terbukalah di dalamnya mata air (sumber)
hikmah, karena itu akan memutuskan sang murid dari kehidupan material dan membuat dia mampu
mengingat Allah S.W.T. Dalam khalwat nya dia juga harus mengisolasi dirinya dan menyepikan dirinya
dari dirinya. Hanya memandang Allah S.W.T. Pada saat tersebut itulah dia akan menerima ilmu ghaib,
dan qalbunya akan menjadi landasan bagi keperluan tersebut.

Dalam hubungannya dengan khalwat, Abul Hasan ash-Shadhili berkata :

Terdapat sepuluh manfa’at dari khalwat :

v Selamat dari semua adab buruk lidah, karena tidak ada siapapun yang dapat diajak bicara dalam
khalwat.

v Selamat dari semua adab buruk mata, karena tidak seorang manusiapun untuk dilihat dalam
khalwat.

v Qalbu selamat dari segala macam pamer dan penyakit sejenisnya yang lain.

v Itu akan mengangkat kamu kepada maqam zuhd (berfokus ke langit, membelakangi dunia).

v Itu akan menyelamatkan kamu dari berteman dengan orang jahat.

v Itu akan membuat kamu memiliki waktu bebas untuk melakukan dzikr.

v Itu akan memberi kamu rasa manisnya beribadah/mengabdi, shalat dan berdoa dalam Hadhirat
Ilahiah.

v Itu akan memberikan kepuasan dan kedamaian kepada qalbu.

v Itu akan menghindarkan egomu dari jatuh ke dalam adab yang buruk.

v Itu akan memberi kamu waktu untuk bermeditasi, membuat perhitungan neraca diri dan mengejar
sasaran menuju Hadhirat Ilahiah.

Itu adalah yang disebutkan Nabi s.a.w. dalam sunnahnya, diriwayatkan Bukhori dalam kitabnya Riqaq :
Abu Hurayra r.a. melaporkan bahwa Nabi s.a.w. berkata,”Terdapat tujuh yang akan berada di bawah
Naungan Allah pada Hari di mana tidak terdapat naungan kecuali Naungan Allah. Salah satunya adalah
seorang yang melantunkan dzikr dalam khalwat dan air mata meleleh dari matanya.”

PENJELASAN TENTANG KHALWAT OLEH SHAYKH ABD ALLAH AD-DAGHESTANI

Sekali waktu seorang orientalis Perancis ternama datang mengunjungi Shaykh Abd Allah ad-Daghestani
di Damascus dan berkata :

Wahai tuanku, saya datang kepadamu setelah mempelajari Taurat, Injil dan al Qur’an. Saya telah belajar
filosofi, agama, dan banyak sistem keilmuan (lainnya). Namun tetap saja, saya tidak merasakan sesuatu
di dalam qalbu saya. Saya tidak menemukan kepuasan. Bahkan sebaliknya, saya merasa berada di
pinggir jurang dan mau terperosok ke dalamnya. Saya menjadi begitu terguncang sehingga saya pergi
dari satu pusat (studi, pent) ke pusat (studi) lainnya, untuk mencari apakah sesungguhnya Kebenaran
itu?

Dimana saya dapat mencapai Kebenaran dan menemukan kepuasan dalam qalbu saya? Dimana saya
mendapatkan Tuhan saya? Saya telah pergi kemana mana. Saya telah bertanya kepada filosofer
ternama, orientalis, orang orang yang saya anggap suci, saya telah membaca apapun yang dapat saya
baca. Namun ketika saya bertanya kepada seorang ‘alim ‘ulama, saya merasa seperti mereka
memberikan jawaban yang telah saya ketahui. Mereka tidak memberi saya sesuatu yang baru. Saya
menjadi bingung. Saya mendengar tentang namamu dan akhirnya saya telah datang kepadamu. Setelah
datang kepadamu saya tak akan pergi kemanapun. Maukah anda memberi saya jawaban untuk
pertanyaan saya? Apapun yang anda katakan akan saya ikuti dan percaya. Namun kalau anda tidak
memberi jawaban kepada saya, saya akan tetap seperti sekarang ini, bingung dan tidak yakin sepanjang
sisa hidup saya.

Grandshaykh berkata :

Anakku, jika kamu mengambil sebutir biji kacang hijau, atau buah apapun, dan meninggalkan nya
mengering, untuk ratusan tahun itu akan tetap kering. Namun kalau kamu ambil biji itu, dan menaruh
(menanam) nya di sebuah kebun, kemudian kamu kembali lagi sebulan kemudian, kamu akan
mendapati bahwa sebatang kecambah hijau telah muncul.

Kalau kamu menggali dan mencoba untuk mencari biji itu, kamu tidak akan mendapati nya lagi. Itu telah
hilang, digantikan oleh sesuatu yang lain.

Jika kamu tetap menyirami tanaman itu, itu akan menjadi sebatang pohon dan pohon itu akan
menghasilkan buah. Tetapi di mana yang semula biji tadi? Itu telah hilang. Tidak lagi terdapat biji awal
itu. Biji itu kini telah menjadi pohon yang besar, dengan buah bermunculan, memberi manusia buah
untuk dimakan.

Begitu juga, jika kamu mengambil sebutir telur dan menaruhnya di bawah se ekor ayam betina, setelah
tepatnya dua puluh satu hari telur itu menghilang dan datanglah seekor anak ayam. Suatu ciptaan baru
menjadi muncul. Jika kamu mencari di bawah ayam betina tadi kamu tidak akan mendapat telur itu di
sana. Telur itu telah lenyap. Itu adalah dua puluh satu hari dibawah ayam betina yang merubah nya
menjadi suatu generasi baru.

Sesuatu yang mirip terjadi kepada manusia, ketika mereka berada di dalam rahim ibunya sekitar
sembilan bulan sepuluh hari. Di dalam rahim mereka tanpa hubungan dengan apapun di luar, mereka
sendirian. Namun setelah sembilan bulan sepuluh hari kesepian mereka muncul sebagai sebuah
generasi baru, sebuah ciptaan baru.

Anakku, di dalam setiap sesuatu dari contoh ini terdapat sesuatu yang menjalani khalwat. Biji itu
memutuskan hubungan dengan dunia di atas tanah dan berkhalwat selama beberapa minggu. Kemudian
sebuah pohon muncul.

Telur itu berkhalwat di bawah induknya, tanpa hubungan dengan kehidupan materi di luar kulit telur,
dan muncul sebagai sebuah generasi baru.

Sperma berkhalwat di dalam indung telur di dalam rahim ibunya selama sembilan bulan, tanpa
hubungan dengan dunia luar dari kehidupan materi ini, namun setelah berkhalwat, dia muncul sebagai
sebuah generasi baru.

Anakku, jika kamu tidak berkhalwat, maka janganlah berkata kepada dirimu, sebagaimana biji berkata
kepada dirinya :”Saya akan memutuskan hubungan dari kehidupan materi dunia ini dan menghilang dari
nya demi cinta kepada Allah dan demi manfa’at kepada manusia lainnya.”

Untuk biji, dia menghasilkan buah. Jika kamu tidak mencoba (merasakan) khalwat seperti itu, jika kamu
tidak memutuskan dirimu dari kehidupan materi ini, mengabaikan ego mu, dan menghilang ke dalam
ketiadaan dan hanya ada di dalam (karena) Allah, tak akan kamu pernah menemukan keberadaan
(hakikat) mu yang mutlak, dirimu yang sejati. Maka kamu tidak akan pernah menjadi seperti pohon itu
yang memberikan buah untuk dimakan manusia.

Jika kamu tidak mau seperti telur itu dan memotong dirimu dari materi, menyepi ke dalam tabung
khalwat dan hanya ada di Hadhirat Tuhanmu, bermeditasi, berfokus pada Nya, mengabdi kepada Nya
dalam qalbumu, mempertahankan Hadhirat Nya selalu dalam qalbumu, kamu tak akan mendapatkan
kepuasan dan kebahagiaan yang kamu cari.

Mengapa kamu harus menirukan benih yang masuk khalwat selama sembilan bulan? Bungkus embrio
terdiri atas tiga lapis. Ini disebutkan 1,400 tahun lalu di dalam al Qur’an dalam Surat az-Zumar (39:6)
pada masa ketika belum ada mikroskop. Nabi s.a.w. juga berkata, “Rahim seorang ibu terdiri atas
(berlapis) kegelapan.”

Kamu harus masuk ke dalam kesendirian ini, mencerabut keterikatanmu dengan segala sesuatu di dunia
luar ini, memotong dirimu dari berlapis lapis materi dari dunia ini., untuk menyendiri dengan Tuhanmu,
dan dengan demikian menyambung hubungan dengan hakekat mutlak dirimu, dengan menyetel citra
yang kamu pakai disini kepada aslinya di Hadhirat Ilahiah. Tak akan kamu mengerti kepuasan, tak perduli
berapa banyak buku yang kamu baca, karena apabila kamu membaca, kamu hanya mendengar buku itu.
Pengetahuan yang terkadung hanyalah pengetahuan gossip, bukan yang Haqq (sesungguhnya).
Namun dalam khalwat, kamu bukan hanya mendengar, kamu merasa. Kamu bukan hanya melihat,
tetapi kamu mencium. Itulah saat mata hati terbuka. Anakku, jika kamu tidak memasuki khalwat,
qalbumu tidak akan pernah merasa kepuasan yang kamu dambakan selama ini.

Segera orang ‘alim (orientalis) tersebut berkata, “Anda telah memberi saya jawaban terhadap
pertanyaan saya dan sebuah penyelesaian untuk masalah yang tidak pernah sebelumnya saya terima
dari siapapun. Hatiku terbuka. Tunjukkan jalannya.”

Grandshaykh memberinya izin untuk memasuki khalwat di sebuah tempat yang ditetapkan, memutus
dirinya dari segala sesuatu. Dia memasuki tempat itu sebagai seorang biasa, namun setahun kemudian
dia meninggalkan tempat itu sebagai seorang awliya Allah.

Salam,

KHALWAT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dan telah kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam,
dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang
telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. (QS 7 : 142)

Khalwat secara etimologi dapat diartikan menyendiri, lawan kata daripada ‘ngariung’, berkumpul,
shohbet, atau shuhbah. Di beberapa daerah di Indonesia, mereka menyebutnya suluk, dan orang yang
sedang atau telah mengikuti suluk, disebut salik. Sulit menemukan kitab yang menjelaskan tentang
khalwat, dari sekian banyak kitab-kitab tasawuf yang ada, hanya dapat ditemui didalam karya Syaikh
Syihabuddin Umar Suhrawardi,qs., yang berjudul Awarif al-Maarif. Syaikhuna (semoga Allah
merahmatinya) pernah mengatakan bahwa bab terakhir dari kitab yang fenomenal ‘Ihya Ulumiddin’
karya Imam al-Ghazali,ra., adalah tentang khalwat, namun inipun karya Guru beliau yang disatukan
didalam kitab tersebut, sangat disayangkan, bab khalwat ini tidak lagi dapat ditemukan didalam kitab
yang mulia ini, lenyap, entah apa alasanya.

Sebelum masa kenabian kira-kira usia yang mulia Sayyidina Muhammad,saw., menjelang empat puluh
tahun, beliau senang menyendiri atau melakukan khalwat ke gua hira di Jabal Nur, jaraknya kira-kira dua
mil dari mekah, gua itu tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Sampai saat ini, gua tersebut
masih dapat dilihat, jemaah haji dari Indonesia banyak yang menyempatkan diri berziarah ketempat ini.
Sejarah mengatakan bahwa di bulan Ramadhan pada tahun ketiga dari masa pengasingan di gua hira,
wahyu yang pertama turun. Ini bukti bahwa, beliau berkhalwat dalam kurun waktu yang lama. Juga
didalam al-Qur’an dapat dijumpai kisah Nabi Musa,as., yang melakukan khalwat selama tiga puluh hari,
lalu Allah SWT menambahnya sepuluh hari lagi, maka genaplah menjadi empat puluh hari lamanya
seperti yang termaktub pada ayat diatas. Para Syaikh sufi mengatakan bahwa masa khalwat yang
sempurna adalah empat puluh hari lamanya. Kelompok yang mengatakan bahwa khalwat bukan ajaran
dari Nabi Muhammad,saw., adalah salah besar! Justru orang-orang yang mengaku dirinya ulama, namun
tidak pernah melakukan khalwat, maka pengakuannya mengada-ada dan sia-sia. Karena jalan pintas
untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah khalwat atau suluk. Nyaris tidak ada riwayat
yang mengisahkan bahwa ketinggian ruhani seseorang, khususnya para syaikh sufi didapat tanpa
melakukan khalwat. Jadi khalwat hukumnya wajib bagi orang-orang yang mendambakkan kesucian lahir
ataupun batinnya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Tidak banyak berguna orang yang
bertarekat namun tidak melakukan khalwat, karena ibadah yang sejati ada pada khalwat.’

Mengasingkan diri atau menyendiri untuk sesaat lamanya, sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun
harus berhati-hati, banyak riwayat mengatakan bahwa teman daripada orang yang menyendiri adalah
syaithoon, oleh karenanya, seseorang harus mempunyai pengetahuan agama yang prima terlebih
dahulu. Mengasingkan diri dari khalayak ramai dalam masa yang panjang atau untuk menghabiskan
masa tuanya, dalam istilah tasawuf disebut ‘uzlah’, sedangkan memisahkan diri atau menyendiri untuk
sementara waktu dari segala sesuatu yang bukan Tuhan adalah ‘Khalwat’. Sikap seseorang yang layak
ketika memutuskan untuk beruzlah atau berkhalwat adalah, merasa bahwa masyarakat akan terhindar
dari kejahatannya, bukan merasa bahwa ia akan terhindar dari kejahatan mereka. Yang pertama, adalah
hasil daripada memandang rendah dirinya sendiri, sedangkan sikap yang kedua adalah merasa bahwa
dirinya lebih baik dari orang lain. Orang yang memandang dirinya tidak berharga adalah rendah hati,
sedangkan orang yang menganggap dirinya lebih berharga ketimbang orang lain adalah takabur.
Didalam tradisi tarekat, menyendiri itu harus atas perintah Mursyidnya atau perintah Syaikhnya dan
selalu didalam pengawasannya baik lahir atau batinnya. Kira-kira usia muda, yang mulia Syaikhuna
pernah meminta izin dari gurunya untuk melakukan khalwat didalam hutan, segala sesuatu perbekalan
telah dipersiapkan, namun tidak diperkenankan oleh sang guru. Hal ini menunjukkan bahwa, khalwat
adalah pekerjaan khusus, dan diperuntukkan bagi para suci yang memang benar-benar membutuhkan,
guna kemajuan spiritualnya, bukan untuk hal lain dan atas kehendak gurunya dan bukan kehendak
dirinya sendiri. Pada saat berkhalwat, seorang Syaikh tidak saja menjadi pembimbing dan pengawas bagi
para saliknya, melainkan turut serta mengerjakannya dan patuh atas segala sesuatu yang diwajibkan
dalam berkhalwat kepada saliknya. Dikatakan, ‘Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya dari
kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya
dalam kesederhanaan, dan mampu melihat kekurangan dirinya. Barang siapa telah dianugerahai semua
ini, berarti telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.’
Hadrat Sayyidi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (semoga Allah mensucikan Ruhnya) berkata : “Menyendiri
merupakan sesuatu yang mesti engkau alami. Ketika ajal datang menjemput, semua sahabat dekat akan
memutuskan hubungan denganmu, dan semua keluarga akan berpisah darimu. Maka dari itu,
berpisahlah dari mereka, dan putuskan hubungan dengan mereka, sebelum mereka meninggalkanmu
dalam kesulitan. Kubur akan menjadi jalan kecil menuju Allah SWT., menjadi koridor. Matilah engkau,
sebelum engkau mati (mutu qabla antamutu). Matilah terhadap dirimu, dan terhadap mereka, maka
engkau akan hidup didalam Dia. Engkau akan menjadi seperti orang mati, yang dimanipulasi oleh tangan
takdir, menerima bagiannya dengan sepi ing pamrih.” Dan beliau berkata : “Memegang teguh tauhid
adalah menyingkirkan semua makhluk, menjauhkan diri dari pergolakan tabiat untuk menuju alam
malaikat, kemudian meninggalkan alam malaikat dan berhubungan dengan Allah SWT.”

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Salah satu rukun dalam berkhalwat adalah kemauan
yang teguh atau niat yang keras.’ Tanpa bermodalkan kemauan yang membaja sebaiknya jangan coba-
coba ikut berkhalwat, bisa jadi seseorang akan berputus asa, karena berkhalwat adalah berpantang dari
segala sesuatu selain Allah SWT., Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Khalwat adalah
menghadirkan rasa terus menerus seolah-olah menjemput kematian.’ Dan : ‘Khalwat dapat dilakukan
selama sepuluh, dua puluh dan empat puluh hari lamanya.’ Rasulullah,saw., bersabda : ‘Barangsiapa
(beramal) dengan ikhlas karena Allah selama 40 hari (pagi), niscaya terpancarlah sumber-sumber hikmah
dari hatinya kelidahnya.’

Dalam pelaksanaannya, Syaikhuna sering melatih murid-muridnya untuk berkhalwat selama tiga, lima,
tujuh hari dan sepuluh hari. Itupan membuat beliau banyak meneteskan airmata, melihat murid-murid
masa kini menjadi pucat dan kurus, sering mengeluh dan merintih karena hampir semua persendian
merasa ngilu, dan menu makannya sangatlah sederhana. Oleh karenanya, ditengah malam syaikhuna
terkadang memberikan bonus berupa ‘teh manis’ kepada para salik, walaupun dibalik ini ada pelajaran
yang tersembunyi, adakah kebahagiaan atau penyesalan setelah meminumnya,setelah
keberpantangannya luntur? Hal ini akan terpancar dari mata dan jawarih (indera) yang lain, sehingga
yang mulia Syaikhuna akan segera mengetahuinya. Seharusnya para salik malu jika sang guru mengambil
kebijaksanaan seperti ini. Tekad untuk mendekatkan diri kepada Allah,swt., tidak boleh kendur, jika
dirasa lapar, haus, ngantuk, pegal dan linu persendian, jenuh adalah hal biasa, dan memang itulah ujian
untuk lahiriyah, sedangkan ujian batiniyah lebih dasyat, berupa cakap-cakap hati, menerawang dunia
dan kekhawatiran terhadap keluarga dan perdagangan, sehingga Allah SWT tersingkirkan. Hanya dengan
menjaga kondisi-kondisinya saja manfaat khalwat bisa muncul kepermukaan. Allah SWT berfirman :
‘Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya. (QS 18 : 110)
Para mutashowif menafsirkan ‘amal yang saleh’ adalah berkhalwat dengan cara-cara tertentu.
Seorang murid berkata : ‘Kecil hati ini, gentar bercampur bahagia, tatkala Syaikhuna menunjuk untuk
berkhalwat.’

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Khalwat adalah ibadah yang bermutu tinggi.’
Seorang sahabat menangis, ketika melihat labu yang berukuran kecil, teringat bagaimana indahnya pada
saat berkhalwat, labu itu menjadi makanan yang terlezat tiada duanya. Betapa tidak, berbuka dan
makan sahur, dengan nasi dan air yang ditakar, nasi sekepal dengan lauknya labu siam yang kecil atau
tempe, minumnya air putih kira-kira lima kali teguk. Setiap makanan atau minuman yang masuk
kemulut, sebelum ditelan diwajibkan dikunyah atau dikumur-kumur terlebih dahulu selama tiga puluh
tiga kali, sambil berdzikir membaca Laa Ilaaha Illallaah. Lamanya berpuasa dua puluh dua jam sehari,
karena setelah sholat Isya tidak diperkenankan lagi makan atau minum sampai waktu sahur, kecuali
bilah Syaikhuna memperkenankannya. Duduk tidak boleh menyender dan wajib duduk bersimpuh atau
bersila serta terus menghadap kiblat. Tidak diperkenankan tidur kecuali bila ngantuk menyerang, dan
tidurnya wajib tetap menghadap kiblat dan tanpa alaskan bantal. Tidak diperkenankan bicara dengan
manusia baik secara lisan atau isyarat. Harus selalu berdzikir dalam setiap keadaan, dan harus
menyelesaikan menu khalwat yang diramu oleh Syaikhuna, disamping menyelesaikan pekerjaan
tarekatnya masing-masing. Shalat fardu wajib berjamaah dan berpakaian serba putih.

Seorang murid bertanya : ‘Apa beda bertapa dan khalwat ?’ Syaikhuna menjawab : ‘Bertapa juga
berpantang dari dunia, akan tetapi niat dari bertapa bermacam-macam, ada yang ingin kesaktian,
kekayaan dan kehormatan sedangkan berkhalwat hanya untuk Allah semata, segala sesuatu yang
berkenaan dengan keberpantangan dan ketekunan akan membuahkan hasil, baik itu untuk kejahatan
ataupun sebaliknya untuk kebaikan.’ Barang siapa menginginkan hakikat sesuatu agar terungkap dalam
berkhalwat dan latihan ruhani , khususnya agar memperoleh keajaiban-keajaiban dan bukan kedekatan
kepada Allah SWT, maka yang demikian itu adalah inti daripada penipuan terhadap diri sendiri. Itulah
penyebab kejauhan bukannya kedekatan, dan akar daripada keangkuhan. Dalam pensucian dari noda,
agar hati cemerlang dan bercahaya, maka mengurangi makan dan minum serta terus menerus dalam
berdzikir mempunyai pengaruh yang sempurna. Seorang salik sejati adalah yang tidak dilemahkan oleh
keinginan untuk memperoleh berbagai macam keajaiban. Sebab bagi sebagian orang yang melakukan
‘pertapaan’ tanpa pembimbing, apalagi yang tidak berpegang pada tali syariat agama Islam, lalu seolah-
olah telah mengalami keajaiban-keajaiban dalam kesendiriannya, maka semakin hari akan semakin
sombong dan jauh menyimpang dari jalan keselamatan serta tuli dari mendengar Kalam Allah. Jika
keajaiban atau penyingkapan ini jatuh dijalan orang-orang yang benar dan tulus, tanpa mereka
mengharapkannya, maka yang demikian ini adalah sebuah berkah yang besar, karena inilah sebab yang
memperkuat keyakinan dan meningkatkan amal ibadah.

Didalam delapan prinsip tarekat Naqsyabandiyah dikenal istilah ‘khalwat dar ajuman’ atau menyepi
ditengah keramaian. Keadaan ini merupakan buah daripada melakukan khalwat, orang itu akan merasa
selalu bersama-sama dengan Tuhanya, walaupun ia berada ditengah-tengah keramaian, atau jasadnya
dibumi dan ruhnya berada dilangit, itulah sebaik-baik keadaan.

Suasana menjelang memasuki ruang khalwat sangat ‘mencekam’, diawali dengan mandi sunat, lalu
mendengarkan Syaikhuna menyampaikan wejangan, dan berjuta rasa meliputi hati saat beliau
mengumandangkan azan, tanda menjemput kematian tiba, isyarat dimulainya keberpantangan dari yang
lain kecuali Allah SWT. Biasanya, pada hari ketiga tatkala tubuh mulai gontai, keajaiban mulai mendekat.
Phisik sudah melemah, menaiki satu anak tangga bagai seribu anak tangga, berjalan dua puluh meter ke
Mas’jid bagai dua ratus kilometer. Keinginan untuk makan sahur dan berbuka sudah tertinggal jatuh
kebelakang, yang ada hanyalah makanan keruhanian, yaitu dzikir-dzikir, karena makanan yang hakiki
adalah yang didalamnya tidak ada keharaman sama sekali yakni dzikir. Saat mulai lupa terhadap
keberadaan, lalu pandangan agak buram dan wajah mulai pucat, maka pikiran menjadi jernih, hati
terbuka hanya kepada Allah semata, tafakur (kontemplasi) menjadi-jadi, muroqobah (meditasi) berjalan
dengan sendirinya, rasa ‘Hudur Al-Haq’ datang dalam waktu yang lama. Di saat seperti ini, kewaspadaan
harus tetap dijaga, kerendahan diri dihadapan Tuhan harus berlaku terus menerus, robithoh (ini yang
fundamental) harus dikerjakan secara berkala, agar mendapatkan kekuatan lahir dan batin disamping
memperoleh jembatan untuk menyeberangi taman-taman yang indah.

Allah SWT berfirman : ‘Berkata Zakariya, berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung),
Allah berfirman : ‘Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari,
kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbilah di waktu
petang dan pagi hari. (QS 3 : 41)Inilah sebuah bukti bahwa barang siapa tidak berbicara dengan manusia
selama tiga hari, lalu diisinya dengan berdzikir hanya kepada Allah SWT maka hikmah akan mengalir
kedalam dadanya.

Hakikat berkhalwat ini harus dibawa kedalam kehidupan sehari-hari, jasad ini harus ‘disiksa’ dan jiwa
harus diputus dari kesenangan duniawi, agar hati menjadi bening, tidak lagi gaduh seperti suasana
pasar. Segala sesuatu yang enak bagi jiwa ini adalah racun bagi hati dan sebaliknya segala sesuatu yang
tidak mengenakan bagi jiwa ini adalah kehidupan bagi hati. Jika seseorang sudah dapat memahami
keutamaan keberpantangan, maka ia akan meraihnya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan
kemapuannya. Karena sesungguhnya ibadat tidaklah lestari bila masih berkumpul dengan orang banyak,
kemesraan akan didapat dalam kesendirian dan hanya berdua-dua-an dengan kekasih tanpa adanya
yang lain, oleh karenanya, tidak ada seorang wali atau nabi pun yang tidak mengalami kesendirian baik
sebelum ataupun sesudahnya.

Kalau sudah minum air telaga


Malampun terjaga

Diterangi lentera yang terus menyala

Mencari diri yang ditelan dunia

Mata terpejam hati memandang

Beroleh cahaya yang gilang gemilang

Tenggelam di kedalaman samudera nan terang

Dada yang sesak pun menjadi lapang

Terisak-isak, menangis menanggung duka

Menyesali sayap-sayap yang lenyap terbakar dosa

Tinggalah suara kerinduan tanpa daya

Terus berdzikir sampai ‘aku’ lupa

Terombang-ambing ditelan waktu

Seperti orang tolol ditengah-tengah orang bisu

Sesekali kutinggalkan waktu, di belakang atau didepan mataku

Agar hati mampu selalu menghadap, Kepada Dzat yang tak tersentuh waktu

Khalwat adalah obat rasa duka

Diliputi oleh rahasia dalam rahasia-Nya

Perjalanan ini membuatku takjub akan ke Agungan-Nya

Yang terbuka satu persatu karena belas kasih-Nya

Imam Abul Qosim Al Junaid Al Bagdad (semoga Allah meridhoinya) berkata : ‘Barang siapa
mengingingkan agamanya sehat dan raga serta jiwanya tentram, lebih baik ia memisahkan diri dari
orang banyak. Sesungguhnya zaman yang penuh ketakutan, dan orang yang bijak adalah yang memilih
kesendiriannya.’

Imam Al-Qusyairy An-Naisabury (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Apabila Tuhan hendak
memindahkan hamba-Nya dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya
intim dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan dan mampu melihat kekurangan dirinya.
Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.

PERSEPSI MEDITASI DALAM SEGI SPIRITUAL DAN SUPRANATURAL

Meditasi dalam konteks spiritual, sesuai pengertian spiritual sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
rohani, maka meditasi ini sering diidentikan dengan proses memfokuskan perhatian dan pikiran pada
rohani diri sendiri. Objek diri sendiri sebagai fokus dalam meditasi ini lebih banyak bertujuan mencapai
pemahaman kedirian. Tendensinya, bisa mengarah pada pengenalan diri sendiri. Bisa dikatakan meditasi
dalam konteks spiritual menjadi semacam media perenungan untuk introspeksi. Walaupun fokus pada
perenungan, akan tetapi ini tidaklah sama seperti melamun.

Dalam konteks spiritual, fokus pikiran dan perhatian masuk ke alam spiritual yakni dimensi rohani diri
sendiri untuk mengenali, memahami dan mengontrol diri sendiri. Dengan mengenali diri sendiri, maka
akan mengetahui seberapa besar potensi kekuatan yang ada dalam diri sendiri. Kekuatan itu
berhubungan dengan kekuatan mental dan sikap. Meditasi ini hampir mirip dengan meditasi untuk
suatu kebutuhan psikologi. Manfaatnya, kesehatan mental spiritual yang berhubungan dengan
kematangan pola pikir, empati, dan sikap yang selanjutnya dapat menjadi maintenance ketenangan dan
kemantapan rohani (bathin).

Bersinggungan dengan relijius, meditasi spiritual ini dapat menjadi sarana untuk pengenalan diri sendiri,
hingga pengenalan dan penyatuan dengan Sang Makrokosmos. Ada pula yang menjadikan meditasi
spiritual ini sebagai media “muhasabah” alias tafakur, bahkan mengistilahkannya dengan “khalwat”.
Meditasi spiritual ini melibatkan cita rasa relijius, yakni keimanan.

Banyak yang menggunakan meditasi dalam konteks spiritual, juga berhubungan dengan relijius, sebagai
media komunikasi dengan diri sendiri, dan sama seperti halnya dalam peribadatan, meditasi ini menjadi
semacam media komunikasi dengan Sang Makrokosmos. Hingga, meditasi ini dilakukan untuk mencapai
pencerahan dari gangguan yang mengusik ketenangan pikiran dan bathin. Selain itu, dari sisi keagamaan
meditasi ini justru bermanfaat membantu meningkatkan kekhusyukan ibadah bagi mereka yang kontrol
pikirannya sering tak fokus.

Sedangkan dalam konteks supranatural, meditasi diartikan sebagai aktivitas memfokuskan pikiran dan
perhatian untuk sebuah tujuan supranatural. Meditasi ini menjadi basic skill alias kemampuan dasar
untuk menunjang kebutuhan yang berorientasi supranatural seperti; kultivasi energi, sensitivity meliputi
kemampuan mata bathin dan 3rd eye, bonding dan komunikasi, healing, serta keilmuan atau tujuan
supranatural lainnya.

Jika meditasi dalam konteks spiritual fokusnya masuk ke alam spiritual, alam rohani diri sendiri,
sedangkan meditasi supranatural fokusnya pada objek diri sendiri dan objek di luar diri sendiri (kosmos
dan makrokosmos). Untuk tujuan kultivasi energi, meditasi melibatkan perhatian dan pikiran bagaimana
agar terfokus pada konvergensi atau pelipatgandaan energi, baik energi yang mengendap dalam diri
sendiri maupun energi yang bersumber dari luar (energi alam, atau energi metafisik). Jika belum mampu
melihat manifestasi energi, fokus pikiran dan perhatian juga tertuju untuk memvisualisasikan energi.

Dalam rangka kebutuhan sensitivity alias kepekaan, meditasi di sini adalah memfokuskan pikiran dan
perhatian pada potensi mata bathin dan 3rd eye agar terbuka sehingga dapat melihat atau merasakan
manifestasi supranatural, baik entitas maupun energi metafisik. Sama halnya dengan sensitivity, untuk
kebutuhan bonding & komunikasi dengan entitas pun dapat melalui meditasi dengan memfokuskan
perhatian dan pikiran pada manifestasi entitas. Setelah merasakan manifestasi entitas, selanjutnya
dapat berkomunikasi melalui pikiran, bathin atau suara hati, bahkan suara fisik normal.

Sedangkan untuk kebutuhan healing, meditasi dengan memfokuskan pikiran dan perhatian pada potensi
energi yang ada dalam diri maupun yang bersumber dari luar (metafisik) untuk menyembuhkan suatu
penyakit dengan mekanismenya melalui melumpuhkan penyakit itu, atau membantu meningkatkan
immunitas tubuh. Meditasi healing ini dapat diaplikasikan untuk healing diri sendiri, maupun
menghealing orang lain.

Kesimpulannya, meditasi spiritual berbeda tatacara, tehnik dan tujuannya dengan meditasi supranatural
layaknya dzikir dan wirid yang sudah jelas berbeda. Apapun tujuan, dimensi, tatacara, tehnik dan
niatnya, meditasi adalah proses mengenal diri sendiri yang membuahkan hasil positif yaitu kontrol diri
alias ELING. ,,kATA ELING mempunyai arti ingat,,selalu mengingat siapa pencipta kita dan mengulang
ngulang asmaNya salah satu meditasi yang sangat praktis dan bisa dilakukan kapan saja,,pada kondisi
seperti ini Rahsa kita diibaratkan sebagai RECEIVER dlm penerimaan gelombang energi tinggi yang
nantinya kita olah lagi dan kita simpan sebagai “KAWERUH”/////......

Meditasi
Perkataan Meditasi itu sendiri diserap dari bahasa Latin, meditatio yang berarti merenungkan dan juga
berakar dari kata Mederi (kesehatan) dari kata ini pula diserap kata medisin. Jadi jelas meditasi itu
sebenarnya baik bagi kesehatan. Dalam bahasa Indonesia, Meditasi, yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adalah pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Jadi bermeditasi adalah
memusatkan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu, tetapi kata meditasi itu lebih dikenal
dengan nama samedi.

Setiap orang dapat secara bebas memberikan nilai-nilai tersendiri tentang arti meditasi bagi
kehidupannya. Oleh karena hanya dengan mempraktekkan semadi dalam hidup, orang bisa merasakan
manfaat suatu perjalanan meditasi. Ada banyak arti tentang meditasi, di antaranya adalah:

Jalan untuk masuk dalam kesadaran jiwa.

Jalan untuk introspeksi diri.

Jalan untuk berkomunikasi dengan sang pencipta.

Jalan untuk mengubah hidup.

Jalan untuk meraih ketenangan batin.

a. Manfaat Meditasi

1. Apabila anda secara rutin melakukan meditasi, organ-organ tubuh dan sel tubuh akan mengalami
keadaan baik dan bekerja lebih teratur.

2. Mampu mengatur orang lain serta memaafkannya.

3. Mampu mengerti orang lain dan memaafkannya.

4. Mampu menerima suka dan duka, kesulitan, dan kebaikan hidup dengan baik.[6]

4. Berkhalwat

Berkhalwat yaitu menyendiri, mengasingkan diri ditempat yang sunyi atau jauh dari keramaian untuk
beribadah dan bertafakkur untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat dan amaliah
lainnya.[7]

C. Cara-cara atau teknik yang islami

Adab-adab berdoa telah dijelaskan oleh Al-Ghazaly di dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, seperti di bawah
ini.

a. Pilihlah waktu yang baik dan mulia, seperti pada hari Arafah, bulan Ramadhan, hari jumat,
sepertiga akhir dari malam dan pada waktu sahur.
b. Dilakukan dengan dalam keadaan khusus, seperti bersujud dalam sholat, berhadapan dengan
musuh dalam perang, ketika hujan turun, sebelum dan sesudah sholat, ketika jiwa sedang tenang dan
bersih dari segala gangguan setan dan ketika menghadap kiblat.

c. Menghadaplah ke arab kiblat.

d. Merendahkan suara.

e. Jangan menggunakan kata-kata bersajak, cukup dengan kata-kata sederhana, sopan dan tepat
mengenai sesuatu yang dihajati dengan doa itu dan tidak perlu dilagukan dengan irama-irama tertentu.

f. Berlaku khusuk dan tadharru dengan merasakan kebesaran dan kehebatan Allah.

g. Mengukuhkan kepercayaan bahwa doa itu akan diperkenankan Allah dan tidak merasa gelisah jika
doa itu belum terkabul.

h. Mengulang-ulang doa itu dua tiga kali.

i. Menyebut (memuji) Allah pada permulaan doa.

j. Bertaubat sebelum berdoa dan menghadapkan diri dengan sesungguhnya kepada Allah.[8]

Cara berzikir:

· zikir Lisan: zikir ini diucapkan dengan lisan, ada yang melaksanakannya dengan suara keras tapi ada
yang lebih suka dengan pelan-pelan.

· zikir Nafas: dalam melaksanakan dzikir ini pengucapan bacaannya seiring dengan irama keluar-
masuknya udara dalam kita bernafas.

· zikir posisi: melaksanakan zikir dalam posisi tertentu, tidak bergerak sedikitpun, dalam jangka
waktu tertentu pula.

· zikir qolbu atau hati: dalam zikir qolbu bacaannya dibaca dalam hati

· zikir Sirri atau rahasia: Proses zikir yang satu ini adalah sangat rahasia ketika zikir ini dilaksanakan
hanya penzikir dan yang dituju (Allah) saja yang tahu. Makhluk lain tidak ada yang bisa mengetahuinya
bahkan malaikatpun tidak tahu.

Cara meditasi biasanya duduk bersila di lantai atau duduk di atas kursi. Meditasi dilakukan dengan
menarik nafas perlahan hingga memenuhi paru-paru, kemudian menahan selama yang dapat dilakukan,
lalu dihembuskan. Meditasi seperti yang diajarkan Rasulullah yaitu ketika menarik dan menghembuskan
nafas, ketika menarik nafas umumnya dibaca kalimat tahlil, tasbih, tahmid atau istighfar, sedangkan
ketika menghembuskan nafas sebaiknya bacalah kalimat ‘’La haula wala kuwwata illa billah hingga
akhir.[9]
Cara berkhalwat dilakukan dengan shalat malam atau i’tikaf dimesjid, dalam berkhalwat hendaknya
mengenakan pakaian putih karena warna putih melambangkan kesucian dan akan terlihat jelas jika
terkena najis, selama melakukan khalwat hendaknya seseorang meninggalkan jual beli dan segala
pekerjaan duniawi yang dapat membuat hati lalai dari mengingat Allah SWT. Berkhalwat selain
membuat hati tenang juga bisa melatih kesabaran.[10]

Anda mungkin juga menyukai