Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“SUBSTANSI NILAI KETUHANAN DALAM LONTAR BHUWANA SANGKSEPA”

Disusun Oleh :

1. Ni Putu Purnama Ningsih (02/2111011024)


2. I Kadek Budiarta (19/2111011137)

Dosen Pengampu:
Dr. I Nyoman Alit Supandi, S.Ag., M.Pd.H

Program Studi Pendidikan Agama Hindu


Fakultas Dharma Acarya
Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar
2023
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi
Wasa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Tidak lupa
kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. I Nyoman Alit Supandi, S.Ag.,
M.Pd.H yang telah memberi kami bimbingan dalam penyelesaian makalah ini.

Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Terakhir kami
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat. Semoga dapat bermanfaat
seperti yang diharapkan.

Om Santih santih, Santih Om.

Denpasar, 07 Mei 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I.......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................................1
BAB II.........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................................... 2
2.1 Bentuk dan Susunan Lontar Bhuwana Sangksepa............................................................. 2
2.2 Ajaran Ketuhanan dalam Lontar Bhuwana Sangksepa......................................................2
2.3 Ajaran tentang alam semesta di dalam Bhuwana Sangksepa.............................................9
2.4 Konsep Ista Dewata dalam Lontar Bhuwana Sangksepa.................................................. 13
BAB III..................................................................................................................................... 16
PENUTUP................................................................................................................................. 16
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................... 16
3.2 Saran................................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................. 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pengetahuan Veda ini dikemas dengan dua pengetahuan yaitu pengetahuan paravidya
dan pengetahuan aparavidya. Kedua pengetahuan ini saling berkaitan satu dengan yang
lainnya. pengetahuan paravidya adalah pengetahuan yang pada dasarnya membahas
tentang hakikat Tuhan yang tak terpikirkan. Sedangkan pengetahuan aparavidya
merupakan pengetahuan yang membahas segala pengetahuan yang berhubungan dengan
akal pikiran manusia atau berdasarkan kepada logika manusia. Pandangan kosmologi
Hindu mengenai asal mula alam semesta ini adalah bertumpu kepada keberadaan Tuhan.
Tuhan yang dijadikan sebagai penyebab adanya alam semesta ini. Penjabaran mengenai
keberadaan alam semesta menurut Hindu ini dijelaskan lebih lanjut di dalam kitab-kitab
agama Hindu. Kitab-kitab tersebut berupa Purana, Rgveda, Upanishad, maupun teks
karya sastra tradisional lainnya yang berkembang di Bali. Lontar Bhuwana Sangkșépa
merupakan salah satu lontar penting yang memuat ajaran tentang Siwatattwa. Di dalam
dialog itu dijelaskan mengenai hakikat hubungan Bhuwana Agung (makrokosmos)
dengan Bhuwana Alit (mikrokosmos) beserta dengan dewa-dewanya. Pemahaman
kosmologi Hindu yang diungkapkan di dalam teks ini, menjabarkan secara singkat namun
jelas tentang alam semesta ini. Terdapat kemiripan dalam isi dari teks ini dengan teks teks
import (teks india). Berdasarkan kemiripan tersebut penulis ingin mengkaji lebih dalam
tentang teks ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Bentuk dan Susunan Lontar Bhuwana Sangksepa ?
2. Bagaimana Ajaran Ketuhanan dalam Lontar Bhuwana Sangksepa ?
3. Bagaimana Ajaran tentang alam semesta di dalam Bhuwana Sangksepa ?
4. Bagaimana Konsep Ista Dewata dalam Lontar Bhuwana Sangksepa ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana Bentuk dan Susunan Lontar Bhuwana Sangksepa.
2. Untuk mengetahui bagaimana Ajaran Ketuhanan dalam Lontar Bhuwana Sangksepa.
3. Untuk mengetahui bagaimana Ajaran tentang alam semesta di dalam Bhuwana
Sangksepa.
4. Untuk mengetahui bagaimana Konsep Ista Dewata dalam Lontar Bhuwana Sangksepa.

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Bentuk dan Susunan Lontar Bhuwana Sangksepa
Bhuana Sangksepa adalah salah satu lontar penting yang memuat tentang ajaran siwa
tattwa. Dimana ajaran yang terdapat didalam lontar bhuana sang ksepa adalah merupakan
hasil dialog antara bhatara siwa dengan dewi uma dan bhatara kumara. Didalam dialog
tersebut dijelaskan secara panjang lebar mengenai hakekat hubungan bhuana agung (makro
kosmos) dengan bhuana alit (mikro kosmos) beserta dengan dewa-dewa yang terdapat
didalamnya sebahgai mnifestasi dri siwa menurut fungsinya. Pemahaman kosmologi Hindu
yang diungkapkan di dalam teks ini, menjabarkan secara singkat namun jelas tentang alam
semesta ini. Teks salinan Bhuwana Sangkșépa ini terdiri dari 128 sloka dalam bahasa
Sansekerta beserta salinan kedalam bahasa Jawa Kuna maupun bahasa Indonesia. Teks ini
sudah di perbanyak kedalam bentuk buku A4 dengan jumlah halaman 49 lembar. Teks ini
diterbitkan oleh Kantor Dokumentasi Budaya Bali Propinsi Daerah Tingkat I Bali Denpasar
pada tahun 1995. Disamping itu, teks Bhuwana Sangkșépa ini pula ditemuka di dalam bentuk
lontar. Meskipun dituliskan dengan Bhuwana Sangkșépa, lontar ini diterjemahkan kedalam
Bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Indonesia yang terletak dibawahnya. Oleh karena itu, naskah
teks Bhuwana Sangkșépa dalam bentuk buku tersebut dipilih karena mudah mengkajinya.
Gambaran umum Teks Bhuwana Sangkșépa ini akan meliputi; 1) Sinopsis teks; 2) Insiden; 3)
Plot; 4) Tema; 5) Penokohan; 6) Amanat.

2.2 Ajaran Ketuhanan dalam Lontar Bhuwana Sangksepa


a. Tuhan sumber segalanya

Tuhan merupakan sumber dari semua yang ’ada’ di dunia ini, baik itu sumber dari
pengetahuan, makhluk hidup, hingga alam semesta beserta isinya. Veda yang bersifat
holistik terdiri dari rajutan berbagai ilmu pengetahuan, baik pengetahuan material (dunia,
propan, aparavidya) maupun pengetahuan spiritual (akhirat, sakral, paravidya). Bhuwana
Sangksepa sebagai sebuah naskah yang bersumber dari Veda, juga mengandung ajaran
tentang tattwa dan ketuhanan yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan.

(Bhuwana Sangkṣepa Sloka 5)

Na ghoraḥ na ca megho gniḥ, na ratriḥ na dina tatha,

Na varṣa na vidyut neva, atisūkṣmam bhavetśabdā

2
Tidak ada sabda, awan, siang, malam, hujan, dan kilat. Semuanya itu tidak ada. Itulah
śunya. Ia bersifat langgeng, bebas lepas. Dari sanalah asalku dahulu pada awalnya.

Berdasarkan kutipan sloka tersebut, Tuhan sebagai sumber dari penciptaan dunia ini
jagatkārana (dapat diartikan sebagai penyebab dunia) dan juga pencipta para dewata,
sebagaimana terdapat dalam Svetàs vatara Upanisad VI.5 berikut:

àdis sa samyoga-nimitta-hetuh aras trikàlàd akalo’pi drstah . tam visva-rùpam bhava-


bhùtam ìdyam devam sva-citta-stham upàsya pùrvam.

Dia adalah permulaan, sumber dari penyebab-penyebab yang mempersatukan jiwa


dengan raga. Dia harus dilihat dari luar dari ketiga waktu (yang lalu, sekarang dan
yang akan datang) dan yang tidak mempunyai bagian-bagian, setelah pertama-tama
menyembah Tuhan yang mempunyai banyak bentuk, asal semua makhluk, yang
bersemayam pada pikiran setiap orang.

b. Tuhan ada dimana-mana

Ketika manusia dikatakan ‘ada’ maka ia akan ada dan terlihat di satu tempat dalam satu
waktu tertentu, dan jika ia ada di satu tempat maka ia tidak akan ada di tempat lain pada
satu waktu secara bersamaan. Namun ketika Tuhan dikatakan ‘ada’ maka Tuhan akan ada
di berbagai tempat sekaligus bahkan di satu waktu secara bersamaan dan tidak pernah
meninggalkan (tidak ‘ada’) dan membiarkan kekosongan tanpa kehadiranNya di tempat
itu. Tuhan memiliki kemampuan berada dimana-mana namun pula ada pada setiap orang
dan hingga mampu memenuhi segala arah (Tuhan menempati segala penjuru) tanpa
terkecuali.

- Konsep Nirguna Brahman bertujuan untuk menggambarkan Tuhan yang memiliki


kemahakuasaan berada dimana-mana namun secara Nirguna atau tidak berbentuk
maupun tidak bermanifestasi. Tuhan melampaui dan berada di luar nalar dan segala
kesanggupan manusia. Tuhan yang transendental yang meliputi dan mengatasi segala
aspek, akan mencapai dan mewujudkan keadaan tertinggi, yang keberadaannya
integral dan sempurna dalam pengetahuan, sebagaimana terdapat di dalam Bhuwana
Sangkṣepa berikut ini:

(Bhuwana Sangkṣepa Sloka 78)

Na dura na samivasvam, Bhaṭāra nava iśtata,

3
iknadaḥ kordam sadvapi, vyapakaṃ veti putrakaḥ

Adapun yang disebut Nirbanapada, itu hai kamu kumara, tidak jauh tidak dekat, tidak
diluar tidak didalam, tidak dibawah tidak diatas, demikian keadaannya, selalu berada
dimana- mana, hai kamu kumara, sebagai sepinya sepi, sebagai halusnya halus atau
gaibnya gaib, amat utama (mulia) tiada bandingnya.

(Bhuwana Sangkṣepa Sloka 82)

Nānena śūnyata yasmin, Kadā citasya sūnyata,

Śūnyata sarvataḥ tattvan, Sattva paramaśivam

Pikiran kosong, perasaan (jiwa) kosong, pengetahuan kosong, kalau semuanya itu
telah kosong atau sepi, akan tercapai kesunyian yang tertinggi olehmu, adapun
keadaan tentang pengetahuan kesunyataan ialah begini.

Sloka di atas juga menyatakan Tuhan adalah Neti-neti (tidak ini tidak itu). Tuhan tidak
dapat digambarkan sebagai segala sesuatu karena Tuhan bukan sesuatu. Kemudian di
bawah ini disebutkan Tuhan ‘ada’ dimana-mana sebagai yang Maha Gaib. ‘Ada’ namun
tak dapat disaksikan keberadaannya. Maha Gaib juga masuk dalam terminologi Tuhan
yang Nirguna, dalam Bhuwana Sangkṣepa disebutkan “bagaimana dapat mengetahui
sesuatu yang tak berbentuk, itulah sebabnya Tuhan dikatakan Maha Gaib ketika Beliau
ada namun tak diketahui keberadaannya dan Beliau ada namun tak diketahui bagaimana
rupanya. Keadaanya Bhaṭāra dewa guru bagaikan tanpa warna Bhaṭāra paramaśiwa”
(Bhuwana Sangkṣepa sloka 60). Beliau bukan hanya tak berbentuk, tanpa rupa bahkan
juga tak berwarna. Setelah manusia memahami kesunyaan itu maka manusia akan sampai
pada nirbanda yang mana dalam teks Bhuwana Sangkṣepa ini sampai pada pencapaian
yang tidak lagi berkesadaran badan (dalam kesadaran pelepasan) dan tidak memiliki
keinginan-keinginan duniawi. Kemudian menuju Nirasraya merupakan pencapaian
kesadaran yang tertinggi yang telah melebur dalam tubuh Bhatara, yaitu Bhatara
Paramasiwa.

- Tuhan Transenden-Imanen dalam Terminologi Nir-Saguna Brahman Ini merupakan


dua konsep yang saling menyempurnakan. Yang pada awalnya Tuhan sebagai Yang
Transenden berada jauh di luar jangkauan manusia sehingga dirasakan tidak lagi
berhubungan dengan ciptaan-Nya. Kemudian Tuhan sebagai Yang Imanen memang
menempatkan Tuhan dekat dengan ciptaan-Nya, atau bahkan bisa dipahami sebagai

4
semua Tuhan (Sarva-Brahman). Sedangkan konsep yang ingin diraih dan cara melihat
Tuhan sebagai Yang Transenden-Imanen adalah kedekatan manusia dengan
penciptanya sehingga Tuhan bukan lagi sesuatu yang asing dan jauh dari hamba-Nya,
tetapi juga diharapkan tidak sampai pada personifikasi dan materialisasi wujud Tuhan.
Adapun dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai konsep Nir-Saguna Brahman.
Karena itu, maka muncullah lambang, tanda, atau simbol bunyi sebagaimana dalam
Agama Hindu disimbolkan dengan huruf AUM (•) → OM.

Nirguna Brahma dan Saguna Brahma, karena itu wilayah ini dapat disebut sebagai
wilayah Semi Nirguna Brahma dan Semi Saguna Brahma atau wilayah yang non-rasional
tetapi dapat dideskripsikan secara rasional. Adapun dalam teks Bhuwana Sangkṣepa
disebutkan sebagai berikut:

(Bhuwana Sangkṣepa Sloka 6)

Niskalaja yatha mantrah,Mantrāt nādānta jayate,

Nādānta jayate nādah, Nādād vinduḥ samud bhavaḥ

(Bhuwana Sangkṣepa Sloka 7)

Vindoḥ candraḥ samudbhutaḥ, Candrād viśvaḥ samudbhutaḥ, Viśvāt tryakṣara


jayantu,tryakṣarat brahma jayate.

(Bhuwana Sangkṣepa Sloka 8)

Brahma pańcā kṣaram bhūta,pańcākṣarād varam viji,

vyanjanam mantram uttama.

Dari niskala lahirlah mantra. Dari matra lahirlah nādānta. Dari nādānta lahirlah nāda. Dari
nāda lahirlah windu. Dari windu lahirlah ardha candra. Dari ardhacandra lahirlah
tryaksara. Dari tryaksara lahirlah pańca brahma. Dari pańca brahma lahirlah pańcāksara.
Dari pańcāksara lahirlah sarwākṣara. Itulah namanya swāra wyańjana. Itulah mantra
utama namanya. Demikianlah terjadinya, kamu kumara.

c. Tuhan Imanen dalam Terminologi Saguna Brahman

Pengertian Tuhan sebagai Yang Imanen adalah Tuhan yang meresapi baik itu alam
maupun pada ciptaannya. Dalam artian, antara Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai

5
ciptaan-Nya berada dalam satu kesatuan. Tuhan adalah kosmos ini dalam keseluruhan dan
kesatuan yang tidak pernah berubah.

- Tuhan dalam Terminologi Saguna Brahma Bermanifestasi dalam bentuk para Dewa
Saguna Brahma adalah salah satu jalan menghayati dan meyakini Tuhan dalam
berbagai bentuk manifestasi-Nya. Manusia yang memiliki keterbatasan terutama
dalam pemahaman tentang Tuhan yang abstrak dan jauh dari jangkauan manusia,
maka manusia hanya dapat membayangkan atau memahami Tuhan Yang Esa dalam
bentuk atau wujud tertentu. Mereka melakukan pemujaan dengan berbagai cara untuk
berbagai manifestasi-Nya, sekalipun mereka sesungguhnya hanya memuja Tuhan
yang Satu. Akibat dari personifikasi Tuhan ke dalam banyak manifestasi tersebutlah,
maka terdapat banyak cara pula yang timbul dalam memuja-Nya.
Pada konsep Saguna Brahma, Tuhan digambarkan melalui berbagai personifikasi agar
umat awam mampu memahami dan menghayati Tuhan. Dalam terminologi Saguna
Brahma ini secara metodologis memunculkan personifikasi Tuhan dalam wujud /
gambaran para dewa. Yang mana Tuhan dihayati oleh manusia melalui manifestasi-
Nya sebagai dewa. Demikian penggambaran atau personifikasi Tuhan yang
digambarkan pada teks ini dalam wujud para Dewa sebagai upaya manusia dalam
mengetahui sebuah pengetahuan tentang Tuhan yang absolut dan yang tak
terbayangkan dan memudahkan manusia yang memiliki segala keterbatasan dalam
menghayati Tuhan Yang Esa (Nirguna).
- Tuhan dalam Terminologi Saguna Brahman Meresap pada Alam Semesta
(Makrokosmos) Manusia mengalami kesulitan besar ketika menggambarkan Tuhan
yang tidak mungkin digambarkan. Namun demi kepenting manusia, agar manusia
memiliki rasa tunduk, hormat, dan patuh terhadap Tuhan, maka mau tidak mau Tuhan
harus digambarkan dalam wujud ‘oknum’ yang mengejawantah sebagai “Manusia
Kosmos” yang identik dengan alam semesta. Tuhan sebagai “Manusia Kosmos”
digambarkan sebagai manusia yang memiliki segala organ tubuh yang padanannya
ada di alam semesta (Donder, 2009:565). Brahman (Tuhan) setelah menciptakan unsur-
unsur, masuk kedalamnya. Ia adalah pribadi keemasan pada matahari. Ia adalah sinar
dari roh yang selalu murni. Ia adalah sat cit ananda, Esa tanpa ada duanya. Brahman
mengembangkan dirinya menjadi alam semesta guna lilà atau krida-Nya sendiri, tanpa
mengalami perubahan sedikitpun dan tanpa menghentikan menjadi diri-Nya. Dalam
teks Bhuwana Sangkṣepa dipaparkan sebagai berikut:

6
(Bhuwana Sangkṣepa Sloka 57).
Na saśranam itad dṛṣtam,
Nirmalo dvańca vāksiṣte,
amṛta jyostisa dṛṣtam, vindu deva iśan mukham.
Sinar itu kelihatan dari ujung hidung seperti windu dewa, sesungguhnya itu
ialah amrtajyoti (sinar kehidupan).
(Bhuwana Sangkṣepa Sloka 71).
pṛthivi codate linaṁ, udakaṃ teja silinaṃ,
teja linaṃ tatha bayuḥ, bāyuh linantu khe iva
Tanah itu lenyap menjadi air, air lenyap menjadi sinar, sinar lenyap menjadi
bayu (angin), bayu (angin) lenyap menjadi akasa (angkasa).
Demikianlah dewata yang membuat hidup dalam hati. Iśa di timur. Mahesora di
tenggara. Brahma di selatan. Rudra di barat daya. Mahādewa di barat. Sangkara di
barat laut. Wiṣṇu di utara. Sambhu di timur laut. Śiwātma di bawah. Sadaśiwa di
tengah. Paramaśiwa di atas. Dharma di antara timur dengan tenggara. Kāla di antara
tenggara dengan selatan. Mrêtyu diantara selatan dengan barat daya. Krodha diantara
barat daya dengan barat. Wiśwa diantara barat dengan barat laut. Kama di antara barat
laut dengan utara. Paśupati diantara utara dengan timur laut. Satya diantara timur laut
dengan timur. Ditegaskan kembali melalui pernyataan di atas, yang mana Tuhan
merupakan substansi dari segala material alam semesta yang ada. Tuhan tidak hanya
dapat dikatakan meresapi alam semesta namun Tuhan juga merupakan semesta itu
sendiri. Tidak ada yang luput dari-Nya. Bahkan semesta ada pada pikiran Tuhan.
Dalam Satapatha Bràhmana dan Chàndogya Upanisad dikatakan: ‘Sesungguhnya
semua alam semesta ini adalah brahman’, dan juga, ‘jiwaku ini yang terdapat dalam
jantung, inilah brahman’. Tuhan adalah semuanya yang lain, transenden dan sama
sekali di luar alam semesta dan manusia tetapi dia masuk ke dalam manusia dan hidup
di dalamnya dan menjadi isi yang paling dalam dari keberadaannya
- Tuhan dalam Terminologi Saguna Brahman yang Ada pada Diri Manusia
(Mikrokosmos) Secara etimologi, manusia berasal dari kata manu yang artinya
pikiran atau berpikir. Manusia adalah kesatuan antara badan jasmani dan jiwa (atman).
Sesungguhnya keberadaan manusia di dunia ini tidak terlepas dari keberadaan alam
semesta, sehingga antara manusia dan alam memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Alam semesta disebut sebagai bhuana agung (makrokosmos) dan manusia disebut
sebagai bhuana alit (mikrokosmos). Ketika mempelajari unsur-unsur yang

7
membentuk alam semesta, maka unsur-unsur itu pula yang membentuk manusia,
maka dikatakan apa yang ada pada alam semesta (makrokosmos) akan ditemukan
juga pada manusia (mikrokosmos), begitu pula sebaliknya. Keberadaan makrokosmos
(bhuana agung) dan mikrokosmos (bhuana alit) tidak terlepas dari adanya Brahma,
karena Brahma merupakan asal mula dan tujuan atau sangkan paraning dumadi dari
seluruh alam beserta segala sinya. Konsep Tuhan meresap pada ciptaan-Nya
khususnya pada manusia sebagai mikrokosmos dijelaskan dalam Bhuwana Sangkṣepa
sebagai berikut:
Jambudwi a mahādevah,Sangkadvi a svarobhavet,
Kuśadvipas ca śangkarah,Krońcadvipas ca rudrakaḥ.
Salmaliś ca bhavet brāhmā, Gomedah viṣṇur eva ca,
puṣkaran ca śivijńeyah, etad dvi asya lakṣaṇam (Bhuwana Sangkṣepa Sloka 95-96)
Jambudwipa dewanya adalah mahādewa. Sangkadwipa dewanya adalah
iswara. Kusadwipa adalah Śangkara. Kroncadwipa adalah dewanya rudra.
Salmalidwipa dewanya brahma. Gomedadwipa dewanya adalah wisnu.
Puskaradwipa dewanya siwa. Demikianlah saptadwipa itu dalam diri manusia
Kadali-puṣ a sayuktah,Iśano eti kīrtithah,
Dharma madhyeś ca tisthanti,
Iśvaro stanta tisthitah (Bhuwana Sangkṣepa Sloka 101).
Dipangkal jantung, dewanya adalah isa, lahir mudita. Ditengah jantung,
dewanya adalah dharma, lahir metri. Diujung jantung, dewanya adalah iswara
lahir karuna.
Redi mule sthitaḥ ludraḥ,Sangkaram redi madhyagaḥ,
Antaredistu kāmasthaḥ,Tri-devasthaḥ radisthitaḥ (Bhuwana Sangkṣepa Sloka 105).
Viśvasstito bhavet saṇtah,
Krodha pitambhavet sthitah,
Śamudra gosakalān ca,mṛtyurunur sthitah bhavet (Bhuwana Sangkṣepa Sloka 106).
Adapun pangkal ati itu, dewanya adalah rudra, melahirkan iccha (senang).
Bagian tenahnya (ati) dewana adalah sangkara, melahirkan keinginan (kama),
di ujungnya (ati), dewanya adalah kama, melahirkan nafsu (raga), demikianlah
dewa-dewanya ati. Paru-paru itu dewanya iswa, melahirkan santa, ampru
dewanya adalah krodha, melahirkan sahasika (kejam). Usus dewanya adalah
kala, melahirkan rajasa (aktif)… (pangled) dewanya adalah mrtyu, melahirkan
tamasa ( lamban).

8
Demikian sloka-sloka yang menggambarkan bahwa Tuhan ada pada manusia
(mikrokosmos). Bagaimana Tuhan (Brahman) ada pada semua organorgan yang ada
pada manusia. Tak ada yang luput dari-Nya. Namun, kesadaran ilahi pada diri
manusia masih tersekat oleh adanya maya atau masih adanya kesadaran badan,
sehingga manusia tidak menyadari jika Tuhan pun ada pada dirinya, kecuali seseorang
telah memahami pengetahuan tentang jati diri sesungguhnya (atma vidya). Oleh sebab
itu, diperlukannya pendalaman ajaran tentang Tuhan (Brahma Vidya).

2.3 Ajaran tentang alam semesta di dalam Bhuwana Sangksepa


1. Konsep Penciptaan di dalam Teks Bhuwana Sangkșépa

Konsep penciptaan alam semesta didalam teks Bhuwana Sangkșépa ini meliputi;

a. Penciptaan Alam Semesta;

b. Tuhan sebagai Asal Mula Alam Semesta;

c. Dewa sebagai Penyusun Alam Semesta;

d. Pembentukan Panca Wara, Sad Wara dan Sapta Wara;

e. Alam Semesta Menyatu dalam Badan Tuhan; dan

f. Peleburan Alam Semesta. Keenam hal tersebut merupakan proses dalam penciptaan
maupun peleburan alam semesta yang terdapat di dalam teks Bhuwana Sangkșépa.

g. Struktur Alam Semesta Menurut Teks Bhuwana Sangkșépa

2. Penciptaan Alam Semesta dalam Teks Bhuwana Sangkșépa


Kesunyaan merupakan awal dari dunia ini, hal tersebut juga dijabarkan oleh Tangkas
dalam penelitiannya. Asal mula jagat raya secara jelas di paparkan di dalam Veda, yang
mana Tangkas dalam Jurnal Sanjiwani (Volume 2; 2008:20). Alam semesta ini
mengalami perubahan yang dinamis. Di dalam Veda penciptaan alam semesta
mengalami perubahan ini bersifat siklik bukanlah linier, itulah kosmologi Hindu.
Penciptaan dan peleburan termasuk kedalam siklik tersebut. Jagad Raya pada awalnya
mengandung unsur-unsur alam semesta, kemudian munculah Hiranyagarbha.
Hiranyagarbha merupakan lintasan dari alam semesta, kemudian munculah Tuhan
sebagai keberadaan awal dari alam semesta. Perkembangan alam semesta ini berlanjut
dan pada akhirnya melebur di dalam alam semesta
3. Tuhan sebagai Asal Mula Alam Semesta

9
Terdapat 2 spekulasi yang dijelaskan oleh Donder (2007:107) yaitu spekulasi pertama ini
tidak pernah menempatkan Tuhan dalam pembahasannya; spekulasi kedua adalah
bahwa alam semesta ini ada dari hasil ledakan besar (bigbang) yang tidak diketahui
secara pasti kapan terjadinya. Selanjutnya ilmuwan Barat berikutnya melanjutkan lagi
spekulasi sebelumya, mereka mulai melakukan estimasi-estimasi terhadap waktu
terjadinya ledakan yang pertama itu. Tuhan yang dikatakan sebagai jagatkārana (sebab
dunia) dapat diartikan kembali bahwa Tuhan pula merupakan benih dari kehidupan
yang ada saat ini. hal tersebut dapat dilihat dari ketika Tuhan tidak menciptakan alam
semesta ini maka alam semesta beserta isinya ini pun tidak akan ada. Tuhan merupakan
asal mula dari penciptaan itu sendiri. Selain itu juga di dalam sloka 5 dalam teks ini
dipertegas kembali bahwa Tuhan merupakan berasal dari segala penciptaan yang ada di
dunia Om kara di dalam teks ini diibaratkan sebagai permulaan terjadinya alam semesta.
Dijelaskan di dalam sloka di atas bahwa Tuhan atau Bhatara Iswara melakukan yoga
yang berkelanjutan untuk menciptkan dunia ini. dunia ini tidak akan pernah tercipta
apabila Tuhan tidak ada dalam proses terciptanya dunia ini. secara tidak langsung,
Tuhan dapat dikatakan sebagai Manusia Kosmis atau Kesadaran Kosmis. Kesadaran
yang merupakan pembentuk segala yang ada di dunia ini
4. Tuhan Meliputi Alam Semesta
Dalam proses penciptaan dunia atau alam semesta ini, Tuhan membagi dirinya menjadi
beberapa bagian dengan fungsinya masing-masing. Pecahan dari Tuhan itu disebut
sebagai Dewa. Dewa berasal dari kata dev yang berarti sinar suci, sehingga dewa dapat
diartikan sebagai sinar suci Tuhan. Dewa-dewa inilah yang kemudian melakukan kerja
dalam penciptaan alam semesta. Tuhan dalam manifestasinya sebagai pembentuk alam
semesta ini, memenuhi ruang dan alam semesta. Tuhan menjelma sesuai dengan
fungsinya ke dalam alam semesta ini dengan berbagai wujudnya. Perwujudan Tuhan ini
disebut dengan Saguna Brahman. Di dalam konsep Ketuhanan agama Hindu, terdapat
dua perwujudan yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman. Nirguna Brahman
(impersonal God) merupakan Tuhan yang tak memiliki wujud, sedangkan Saguna
Brahman (personal God) merupakan Tuhan yang menjelma dengan berbagai bentuk
dan fungsinya. Berdasarkan pada teks Bhuwana Sangkșépa Tuhan menjelama ke dalam
wujud materi ke dalam alam semesta. Yang mana secara jelas dijelaskan di dalam
terjemahan ini mengenai penjelamaan dan perwujudan Tuhan yang disebut dengan
Dewa. lainnya. Namun, di dalam teks Bhuwana Sangkșépa ini lebih dijelaskan bahwa
hari-hari itu ada disebabkan oleh adanya mantra-mantra yang mempengararuhinya.

10
5. Alam Semesta Menyatu dalam Badan Tuhan
Alam semesta ini berada di dalam tubuh Tuhan yang berwujudkan materi. Segala hal
yang ada di dunia ini berada di dalam tubuh Tuhan. Benda-benda material, berbentuk,
memiliki kemampuan gerak maupun tidak segalanya ada di dalam-Nya. Oleh Karena
alam semesta berada di dalam tubuh Tuhan, maka tidak dapat disangkalah bahwa alam
semesta ini diselimuti oleh Tuhan, sebagai pencipta.
6. Peleburan Alam Semesta.
Alam semesta tidak hanya mengalami penciptaan, namun juga mengalami peleburan.
Peleburan merupakan salah satu wujud kasih sayang Tuhan kepada seluruh ciptaannya.
Peleburan tidaklah terjadi hanya pada alam semesta namun, peleburan juga terjadi pada
manusia. Peleburan pada manusia dikenal dengan sebuah istilah yaitu pralaya,
sedangkan peleburan alam semesta ini dikenal dengan Mahapralaya. Berdasarkan pada
teks Bhuwana Sangkșépa ini telah dijelaskan bahwa alam semesta mengalami
peleburan yang secara bertahap. Peleburan alam semesta ini dianalogikan dengan
meleburnya bentuk fisik dari alam semesta seperti udara, tanah, angkasa dan seterusnya.
Selain itu, peleburan ini juga dianalogikan dengan para dewa yang mulai melenyap satu
persatu.
7. Struktur Alam Semesta Menurut Teks Bhuwana Sangkșépa

Alam semesta di dalam Hindu, memiliki struktur-struktur dalam lapisan-lapisannya.


Terdapat tingkatan dalam setiap lapisannya, yang mana terdapat tujuh lapisan teratas,
maupun terbawah. Sama halya seperti anak tangga, seperti itulah dunia ini memiliki
tahapan ke atas maupun tahapan ke bawah.Makrokosmos maupun Mikrokosmos
dijelaskan memiliki hubungan satu dengan yang lainnya. Ketika seseorang ingin
mengetahui segala ssuatu yang ada di makrokosmos, maka hendaknya memahami yang
mikro.Segala yang ada di makrokosmos terdapat di dalam pembentukan mikrokosmos,
begitupun sebaliknya segala yang ada di mikrokosmos tentunya terdapat di dalam
makrokosmos. Struktur alam semesta yang digambarkan di dalam Bhuwana Sangkșépa
yaitu tentang; 1.Sapta Loka; 2.Sapta Patala; 3.Sapta Samudra; 4.Sapta Dwipa; 5.Sapta
Parwata; 6. Sapta Tirtha

1. Sapta Loka

11
Saptaloka merupakan tempat yang terdapat di alam semesta yang dikenal sebagai
keberadaan dari bhuwana agung (makrokosmos) yang dijadikan tempat berbagai
makhluk, termasuk dewa-dewa.

2. Sapta Patala

Di dalam kamus Jawa Kuno-Indonesia (2011:1304) dijelaskan bahwa Sapta Patala adalah
(skt) tujuh wilayah di bawah bumi yang terdiri atas; atala, witala, sutala, rasatala, tala-
tala, mahatala, dan patala. Ketujuh lapisan bahwa ini memiliki arah yang berlawanan
dengan Sapta Loka yang menuju ke atas.

3. Sapta Dwipa

Di dalam lapisan Bhuhloka, yaitu tempat dimana manusia tinggal ini dilengkapi pula
dengan adanya tujuh daratan. Ketujuh daratan ini terdapat di dalamalam semesta
(Bhuwana Agung) maupun manusia (Bhuwana Alit).Ketujuh daratan ini dikenal dengan
Sapta Dwipa.

4. Sapta Parwata

Di dalam dunia ini, tidak hanya ada daratan namun bumi ini juga mengandung tujuh
gunung. Ketujuh gunung tersebut dikenal dengan Sapta Parwata. Ketujuh gunung
tersebut diungkapkan pula di dalam teks ini, dan dijelaskan pula mengenai hubungan
antara sapta parwata di dalam alam semesta (Bhuwana Agung) maupun dalam manusia
(Bhuwana Alit).

5. Sapta Samudra

Di dalam Bhuhloka terdapat pula tujuh samudra yang menyusun alam semesta (bhuwana
Agung). Ketujuh tujuh samudra tersebut dikenal dengan Sapta Samudra. Sapta Samudra
yang ada di dalam alam semesta (bhuwana Agung) di dalam teks ini digambarkan
dengan Tubuh Manusia (bhuwana alit).

6. Sapta Tirtha

Sapta Tirtha merupakan unsur yang menyusun alam semesta (Bhuwana Agung) dan
Manusia (Bhuwana Alit). Sapta Tirtha ini terdiri atas dua kata yaitu Sapta dan Tirta.
Sapta Tirta tersebut yang merupakan pembentuk alam semesta. Penganalogian yang
digunakan oleh penulis meurpakan suatu cara untuk mempermudah pembaca dalam
memahami struktur penyusun alam semesta ini.

12
2.4 Konsep Ista Dewata dalam Lontar Bhuwana Sangksepa
Ista Dewata adalah perwujudan atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
berbagai manifestasi-Nya dengan memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam menjalankan
tugas di alam semesta. Surada (2020:1) menjelaskan Ista Dewata adalah Dewata (para
dewa) yang diinginkan hadir pada waktu pemuja memuja-Nya. Ista Dewata adalah
perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dalam berbagai wujudnya seperti
Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa dan sebagainya. Ista Dewata yang beragam wujud
dan fungsi, tentunya menyebabkan mantra atau puja-Nya (Stava) juga akan beragam
sesuai dengan Dewata yang dipuja. Surada (2020:1) menjelaskan misalnya pada hari suci
Saraswati, maka Ista Dewata yang dipuja adalah Dewi Saraswati dengan mantram atau
puja (Saraswati Stawa). Puja yang dilantukan kepada Ista Dewata, sesungguhnya berasal
dari bahasa Sanskerta yaitu puj dengan urat kata kerja kelas X yang berarti menghormat,
memuja, atau memuji (Surada, 2020:1). Jadi kata Puja Ista Dewata adalah menghormati
melalui pujaan dan pujian kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Ista Dewata
(Dewata yang diinginkan hadir).

Konsep Ista Dewata mulai dijelaskan pertama dalam lontar Bhuana Sangkṣepa ketika
tidak ada apa-apa, air, tanah, cahaya, angin, bulan, matahari, angkasa dan bintang-bintang
tidak ada. Yang ada hanyalah sunya yang bersifat kekal abadi. Kemudian dari sunya yang
disebut pula niskala secara berturut-turut lahirlah : Matra – Nadanta – Nada Windu –
Ardhacandra – Tryaksara – Pancabrhma – Pancaksara – Sarwa Aksara – Swara dan
Wyanjana yang merupakan tubuh para Ista Dewata, seperti : 1. Iswara di timur; 2.
Mahesora di tenggara; 3. Brahma di selatan; 4. Rudra di barat daya; 5. Mahadewa di barat;
6. Sangkara di barat laut; 7. Wisnu di utara; 8. Sambu di timur laut; 9. Siwatma di (tengah)
bagian bawah; 10. Sadasiwa di (tengah) bagian tengah; 11. Pramasiwa di (tengah) bagian
atas; 12. Dharma diantara timur dan tenggara; 13. Kala diantara tenggara dan selatan;
Mretyu diantara selatan dengan barat daya; 14. Krodha diantara barat daya dengan barat;
15. Wiśwa diantara barat dengan barat laut; 16. Kama diantara barat laut dengan utara; 17.
paśupati diantara utara dengan timur laut; dan 18. Satya diantara timur laut dan timur.
Adapun kutipan konsep Ista Dewata dalam teks lontar Bhuana Sang Ksepa, sebagai
berikut.

Iśa urvantu vijńeyah, Agneye tu māheśvaraḥ, Brahmā i dakṣinajńeyaḥ, Nairityam rudra


evaca. Paścimanta māhadevaḥ, Vayabhyam sangkaras tatha, viṣṇu utṭara vijńeyaḥ,
airśamyaṁ sambhur evaca. Adohara itijńeyah, Madhyo cā i sadaśivah, Urde aramaśivā i,

13
Iti devo ratiṣṭhitaḥ. Dharma kālańca mrtyuńca, Krodha viśvakāmastatha, Pasu atiśca
satyaśca,ratiṣṭha maratoudaḥ

(Bhuwana Sangkṣepa Sloka 11-14).

Terjemahannya:

Demikianlah dewata yang membuat hidup dalam hati. Iśa di timur. Mahesora di tenggara.
Brahma di selatan. Rudra di barat daya. Mahādewa di barat. Sangkara di barat laut. Wiṣṇu
di utara. Sambhu di timur laut. Śiwātma di bawah. Sadaśiwa di tengah. Paramaśiwa di
atas. Dharma di antara timur dengan tenggara. Kāla di antara tenggara dengan selatan.
Mrêtyu diantara selatan dengan barat daya. Krodha diantara barat daya dengan barat.
Wiśwa diantara barat dengan barat laut. Kama di antara barat laut dengan utara. Paśupati
diantara utara dengan timur laut. Satya diantara timur laut dengan timur.

Berdasarkan kutipan teks lontar Bhuana Sangkṣepa tersebut dapat dipahami bahwa segala
arah mata angin terdapat stana dari para dewa atau Ista Dewata yang merupakan
manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Di Bali ada konsep yang sering dijelaskan para
tetua (panglingsir) terdahulu yaitu “Bhatara Ngyangin Ring Sahananing Genah atau
Bhatara Sarwa Ngyangin” yang artinya Tuhan berstana (menempati) pada setiap tempat
di alam semesta (bhuana agung dan bhuana alit). Konsep Bhatara Sarwa Ngyangin
berkorelasi dengan isi teks lontar Bhuana Sangkṣepa yang menjelaskan Ista Dewata
berada pada arah mata angin, arah mata angin menunjukkan segala tempat diliputi oleh
kemahakuasaan Tuhan, Tentunya ini mengkontruksi pemahaman masyarakat Hindu di
Bali dengan selalu menunjukkan aktivitas sosial religius dengan melakukan yajna atau
persembahan melalui menghaturkan sesaji pada sebuah tempat, baik secara nitya karma
maupun naimitika karma. Tuhan berada dimana-mana atau dalam bahasa Jawa Kuno atau
Kawi dikenal dengan Wyapi-Wyapaka Nirwikara, Realitas ini selaras dengan esensi
ajaran Śiwa tattwa yang menyatakan Tuhan (Siwa) berada disegala tempat, maka dapat
dikatakan bahwa realitas yang ada di alam semesta dan dunia ini adalah Tuhan.

Segala bentuk tujuan bermuara pada kemahakuasaan-Nya dan manusia diharapkan


mampu merangkai tujuan dalam dirinya yaitu untuk bisa menyatu kembali pada Beliau
Sang Pencipta. Pemahaman akan Dewa-Dewa atau Ista Dewata merupakan dasar untuk
melaksanakan smaranam “konsentrasi”. Disebutkan pula bahwa kualitas dari semua
aksara adalah pancaksara. Kualitas pancaksara adalah Tryaksara. Dan kualitas dari
Tryaksara adalah Om- Kara yang merupakan sarana untuk mencapai kalepasan dan

14
menghubungkan diri pada Ista Dewata. Segala sesuatu yang ada di atas dunia ini bersifat
tidak kekal, karena pada akhirnya semua akan lenyap dan kembali pada akasa.
Kelenyapannya secara berturut-turut dijelaskan sebagai berikut:

a) Bhatara Kama lenyap menjadi Wisnu;

b) Bhatara Wisnu lenyap menjadi Krodha;

c) Bhatara Krodha lenyap menjadi Mretyu;

d) Bhatara Mrety lenyap menjadi Kala;

e) Bhatara Kala lenyap menjadi Dharma;

f) Bhatara Dharma lenyap menjadi Sathya;

g) Bhatara Sathya lenyap menjadi Pasupati;

h) Bhatara Pasupati lenyap menjadi Brahma;

i) Bhatara Brahma lenyap menjadi Wisnu;

j) Bhatara Wisnu lenyap menjadi Iswara;

k)Bhatara Iswara lenyap menjadi Rudra;

l) Bhatara Rudra lenyap menjadi Mahadewa;

m) Bhatara Mahadewa lenyap menjadi Purusa;

n) Bhatara Purusa lenyap menjadi Siwa;

o) Bhatara Siwa lenyap menjadi Nirbhana;

p) Nirbhana lenyap menjadi Nirasraya (Dunia, 2009:47-48).

Setelah semuanya lenyap maka itulah jalan untuk menuju Nirbhana. Nirbhana itu
letaknya tidak jauh, namun juga tidak dekat. Tidak diluar, namun juga tidak di dalam.
Tidak diatas dan tidak juga di bawah. Ia ada di mana-mana. Ia adalah perwujudan sepinya
sepi, gaibnya gaib. Untuk itu orang harus melaksanannya yoganindra serta membebaskan
pikiran dari obyeknya. Disamping itu juga dijelaskan mengenai Saptaloka, Saptapatala,
Sapta Sagara, Sapta Tirtha, Sapta Dwipa, dan keberadaannya dalam tubuh manusia yang
berkaitan dengan konsep Ista Dewata.

15
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bhuana Sangksepa adalah salah satu lontar penting yang memuat tentang ajaran siwa
tattwa. Dimana ajaran yang terdapat didalam lontar bhuana sang ksepa adalah merupakan
hasil dialog antara bhatara siwa dengan dewi uma dan bhatara kumara. Ajaran Ketuhanan
dalam Lontar Bhuwana Sangksepa adalah sebagai berikut Tuhan sumber segalanya,
Tuhan ada dimana-mana, serta Tuhan Imanen dalam Terminologi Saguna Brahman.
Selain itu terdapat juga Ajaran tentang alam semesta di dalam Bhuwana Sangksepa.
Konsep Penciptaan di dalam Teks Bhuwana Sangkșépa Konsep penciptaan alam semesta
didalam teks Bhuwana Sangkșépa ini meliputi, Penciptaan Alam Semesta; Tuhan sebagai
Asal Mula Alam Semesta; Dewa sebagai Penyusun Alam Semesta; Pembentukan Panca
Wara, Sad Wara dan Sapta Wara; Alam Semesta Menyatu dalam Badan Tuhan; dan
Peleburan Alam Semesta. Keenam hal tersebut merupakan proses dalam penciptaan
maupun peleburan alam semesta yang terdapat di dalam teks Bhuwana Sangkșépa: serta
Struktur Alam Semesta Menurut Teks Bhuwana Sangkșépa. Dijelaskan pula Konsep Ista
Dewata dalam Lontar Bhuwana Sangksepa. Konsep Ista Dewata mulai dijelaskan pertama
dalam lontar Bhuana Sangkṣepa ketika tidak ada apa-apa, air, tanah, cahaya, angin, bulan,
matahari, angkasa dan bintang-bintang tidak ada. Yang ada hanyalah sunya yang bersifat
kekal abadi. Kemudian dari sunya yang disebut pula niskala secara berturut-turut lahirlah :
Matra – Nadanta – Nada Windu – Ardhacandra – Tryaksara – Pancabrhma – Pancaksara –
Sarwa Aksara – Swara dan Wyanjana yang merupakan tubuh para Ista Dewata.

3.2 Saran

Makalah ini tentu masih mempunyai banyak kekurangan dan kesalahan, karena itu
kepada para pembaca untuk berkenan menyumbangkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi bertambahnya wawasan kami di bidang ini. Dengan adanya
pembahasan mengenai "Substansi Nilai Ketuhanan dalam Lontar Bhuwana Sangksepa"
diharapkan para pembaca dapat mengambil manfaat yang terdapat dalam makalah ini.
Semoga usaha kami ini mendapat manfaat yang baik, serta disertai dari Tuhan Yang Maha
Esa. Sebagai generasi muda Hindu yang menuntut pendidikan formal di perguruan tinggi
bernafaskan Hindu sudah semestinya kami mengetahui substansi nilai Ketuhanan dalam
Lontar Bhuwana Sangksepa, maka dari itu penting untuk mahasiswa dalam mendalami
mata kuliah Tattwa III yang berhubungan langsung dengan pendidikan Hindu.

16
DAFTAR PUSTAKA
Dunia, I Wayan. (2015). Kumpulan ringkasan lontar. Surabaya : Paramita
Maheswari prasanti devi. (2020) Menyingkap tuhan melalui pengetahuan hindu dalam teks
bhuana sang ksepa (kajian teo-filosofi). Sanjiwani jurnal filsafat IHDN Denpasar.
Volume ke 11 no , maret 2020

Adnyana, putu eka sura. (2021). Konsep ista dewata dalam lontar bhuana sang ksepa: sosial
religious hindu di bali. Spatika, jurnal teologi UHN I Gusti bagus sugriw Denpasar.
Volume 12 nomor 2, September 2021

Krisna, yogiswari (2021) Relepansi konsep penciptaan alam semesta lontar bhuana sang
ksepa dan pemahaman kosmos masyarakat bali. Genta hredaya, volume 5 no 2
oktober 2021

Girinata, I Made. (2022). Jejak-jejak shiwa sidanta dan penerapan ajarannya pada masyarakat
hindu nusantara. Spatika, volume 13 no 1 maret 2022.

17

Anda mungkin juga menyukai