Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH AGAMA HINDU

“TUHAN YANG MAHA ESA”

Oleh :

Dosen Pengampu : Prof. Dr. I Wayan Santyasa, M.Si.

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 1 (KELAS IIA)

1. I Kadek Agustian Bayu Atmajaya 1413021024


2. Luh Rumni Oktaria 1413021028
3. Ni Nyoman Pipi Setya Dewi 1413021029

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2015

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia
yang telah diberikan, makalah yang berjudul “Tuhan Yang Maha Esa” dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung, baik
berupa bimbingan, doa maupun materiil yang diberikan guna membantu penyelesaian
makalah ini. Tidak lupa pula, kami mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang telah
memberikan doa dan restu serta dukungan materiil kepada penulis. Terima kasih pula kepada
para penulis yang tulisannya dikutip sebagai bahan rujukan dalam makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis menerima dengan terbuka saran dan kritik konstruktif untuk menjadikan makalah ini
lebih baik di kemudian hari. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Om Santih, Santih ,Santih, Om

Singaraja, Maret 2015

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
DOA PEMBUKA ………………………………………………..……………..... iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sraddha dan Bhakti ...................................................................................... 4

2.2 Brahmawidya (Teologi) ................................................................................ 17

2.3 Usaha dan Sarana Untuk Pemujaan Tuhan ................................................... 19

2.4 Implementasi .................................................................................................. 20

BAB III PENUTUP

3.1Simpulan ....................................................................................................... 29

3.2Saran .............................................................................................................. 29

DOA PENUTUP ………………………………………...……………………....... 31

DAFTAR PUSTAKA

ii
DOA PEMBUKA

“Om Swastyastu”

“Om Awighnam Astu Namo Sidhham

Om Sidirastu Tad Astu Swaha”

Ya Tuhan semoga atas perkenaan-Mu,

tiada suatu halangan bagi hamba memulai pekerjaan ini

dan semoga berhasil dengan baik.

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakaang


Di Indonesia beragama diwajibkan bagi setiap masyarakatnya karena Indonesia
menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, seperti kita ketahui beragama diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwa
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama merupakan hal yang sangat
penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana diketahui jika ajaran
agama dapat dimengerti secara baik dan benar akan dapat menuntun seseorang untuk
mencapai kebahagiaan lahir dan bathin. Agama dapat dijadikan pengemudi dalam
kehidupan sehari-hari dengan memahami dan mengertikan agama itu sendiri. Sudah
sewajarnya pelajaran agama diselenggarakan secara efektif bagi seluruh lapisan
masyarakat terlebih-lebih lagi terhadap para intelektual agar jangan sampai para sarjana
atau kaum intelektual tidak mengamalkan ajaran agama dalam kehidupannya.
UUD 1945 pasal 29 ayat (2) menyebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamanya dan kepercayaannya itu, maka dapat dikatakan Negara Indonesia
mengharuskan masyarakatnya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya
masing-masing. Dengan demikian, maka kunci dari kalimat tersebut adalah keyakinan
untuk menjalankan dan memeluk suatu agama.
Keyakinan merupakan dasar dalam hidup beragama. Dalam Agama Hindu
mengenal lima dasar keyakinan yakni Panca Sraddha. Bagian-bagian dari Panca Sraddha
yaitu keyakinan dengan adanya Brahman, Atman, Karmapala, Punarbhawa, dan Moksa.
Keyakinan tersebut akan dapat mengatarkan menuju jalan hidup yang senantiasa berbuat
dharma dan akan terdorong untuk melaksanakan bhakti dengan usaha dan sarana untuk
memuja Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Berbhakti adalah salah satu cara untuk meningkatkan keyakinan kepada Tuhan
Yang Maha Esa melalui pengorbanan yang tulus tanpa pamrih dengan landasan kesucian
hati dan berseminya kasih sayang. Berbhakti berarti telah melaksanakan usaha dan sarana
untuk memuja Tuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan menjalankan Catur Marga Yoga,
berkarma yang baik dan selalu bersyukur dengan apa yang telah dianugrahkan-Nya.
Lebih jauh dari itu mengenai sarana, banyak sarana yang ada dalam dunia ini untuk
memuja kebesaran-Nya, salah satunya adalah sarana untuk membayangkan Tuhan adalah
dengan adanya arca, pratima, pratiwimba, nyasa, murti dan lain-lain. 1
Banyak teori yang mengungkap adanya keyakinan (Sraddha) yang menjadi dasar
keyakinan agama Hindu termasuk sarana dan usaha untuk memuja apa yang telah
diyakini tersebut, namun teori tersebut tidak sepenuhnya diketahui dan
diimplementasikan seutuhnya oleh umat Hindu. Terkadang kata “memang begitu adanya”
masih membudaya dalam kehidupan beragama. Terkesan mereka memahami namun tidak
mengetahui penjelasan tentang hal tersebut secara teoritis. Latar belakang tersebut
membuat penulis tertarik untuk mengkaji dan menjelaskan lebih mendalam tentang
Sraddha, Bhakti, Brahmawidya, dan usaha serta sarana untuk memuja Tuhan melalui
makalah yang berjudul “Tuhan Yang Maha Esa”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Sraddha dan Bhakti dalam ajaran agama Hindu?
2. Bagaimana konsep Brahmawidya dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu?
3. Apa sarana dan usaha yang dapat dilakukan untuk memuja Tuhan?
4. Bagaimana implementasi dari Sraddha, Bhakti, usaha dan sarana untuk memuja
Tuhan dalam kehidupan sehari-hari?

1.3 Tujuan Penulisan


Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian Sraddha dan Bhakti dalam ajaran Agama Hindu.
2. Menjelaskan konsep Brahmawidya dalam pelaksanaan ajaran Agama Hindu.
3. Menjelaskan usaha dan sarana dalam pemujaan Tuhan.
4. Menjelaskan implementasi Sraddha, Bhakti, usaha dan sarana untuk memuja Tuhan
dalam kehidupan sehari-hari.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan makalah yang berjudul “Tuhan Yang
Maha Esa” adalah :
1. Bagi Penulis
Pembuatan makalah ini bermanfaat untuk menambah pengalaman penulis
dalam menyusun makalah Agama Hindu serta penulis dapat memperoleh
pengetahuan baru tentang unsur Sraddha dan Bhakti, konsep Brahmawidya, serta
usaha dan sarana dalam memuja Tuhan beserta implementasinya. Selain itu,
pembuatan makalah yang akan dipresentasikan ini dapat meningkatkan mental
berbicara dan kepercayaan diri di depan umum.

2
2. Bagi Pembaca
Pembaca dapat menambah ilmu dan wawasan mengenai konsep Sraddha dan
Bhakti, konsep Brahmawidya, serta usaha dan sarana dalam memuja Tuhan beserta
implementasinya yang dapat dijadikan pedoman untuk beragama dan menjadi umat
Hindu yang baik dan sesuai dengan ajaran dharma.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sraddha dan Bhakti


2.1.1 Sraddha
Sraddha dapat diartikan secara sematic dan aplikatif. Pengertian Sraddha secara
sematic adalah penyucian roh atau pitrapinda, sedangkan pengertian sraddha aplikatif
adalah sebagai suatu keyakinan atau kepercayaan tentang tujuan hidup sebagai manusia,
yaitu suatu yang harus dilaksanakan secara ikhlas untuk mencapainya, kemudian ajaran
yang melandasi tujuan hidup itu sendiri serta disiplin yang harus dilakukan (Winawan,
2003). Sraddha adalah dasar keyakinan umat hindu yang selalu menjiwai setiap umatnya
dalam kehidupan sehari-hari sebagai cerminan umat yang beragama (Midastra, 2007).
Secara etimologi kata Sraddha berasal dari akar kata Srat atau Srad, yang artinya
“hati”, dalam kaitannya dengan kata dha, yang artinya “meletakkan” atau
“menempatkan”. Jadi, arti keseluruhannya menjadi “menempatkan hati seseorang pada
sesuatu” (Maswinara, 1996). Perlunya memahami dasar Sraddha sebagai landasan
kepercayaan, maka cakrawala pandang dari masing-masing pribadi akan bertambah luas,
sebagaimana halnya dengan luasnya ajaran Weda yang sifatnya kekal dan abadi itu (Nala,
1993). Secara konsepsional umat Hindu memiliki lima landasan atau dasar keyakinan
yang sering disebut dengan nama “Panca Sraddha”. Seluruh aktivitas hidup umat dalam
kehidupan ini hendaknya dilakukan untuk mengamalkan ajaran Panca Sraddha. Dengan
demikian maka tujuan agama akan dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun lima unsur kepercayaan atau keyakinan umat beragama Hindu yang dikenal
dengan nama “Panca Sraddha”, (Midastra, 2007) yang terdiri dari:
1. Widhi Tattwa atau Widhi Sraddha yaitu percaya dengan adanya Ida Sang
Hyang Widhi
Kata “Widhi” berasal berasal dari bahasa Sanskerta, yakni dari urat kata “wi”
yaitu: sempurna, tuntas dan kata “dhà” yaitu: meletakkan, menaruh, sehingga Widhi
artinya takdir, aturan, hukum, penguasa tertinggi, pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.
Widhi yang tunggal itu dipanggil dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia
dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai
pelebur, bahkan banyak lagi panggilan yang lainnya. Ia Maha Tahu dan berada di
mana-mana. Pemujanya menyembahNya dengan bermacam-macam cara dan tempat
yang berbeda. KepadaNyalah orang beragama menyerahkan diri, mohon kekuatan,
perlindungan, dan tuntunan, agar selamat di tujuan kehidupan (Sukarma, 2012).

4
Ida Sang Hyang Widhi adalah yang menciptakan semua yang ada di bumi ini.
Percaya bahwa Ida Sang Hyang Widhi itu ada meresap pada semua hal dan berada
dimana-mana seperti pada sloka “Wyapi Wyapaka Nirwikara”. Sang Hyang Widhi
merupakan sumber dari segala hal yang ada di bumi. Cara untuk menimbulkan rasa
bhakti kepada Tuhan yang berwujud sukma maka perlu yakin terlebih dahulu dengan
ada-Nya. Seseorang tidak mungkin akan dapat sujud bhakti kepada Tuhan apabila ia
tidak percaya akan adanya Tuhan. Oleh karena itu terlebih dahulu perlu adanya
“Sraddha” atau keyakinan (Wigama, 1994). Kitab suci Yajur Weda menyebutkan
sebagai berikut:
Sraddhaya satyam apnoti.
Sradham satye prajapatih.
(Yajur Weda XIX. 30)
“Dengan Sraddha orang akan mencapai Tuhan. Tuhan menetapkan, dengan Sraddha
menuju satya.”

Agama Hindu mengajarkan bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa adanya tidak
ada duanya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa kitab Weda antara lain:
“Om tat Sat Ekam Eva Adwityam Brahman”
(Chandogya Upanishad)
“Hyang Widhi hanya satu tak ada duanya dan maha sempurna.”

“ Eko Narayanad na Dwityo Sti Kscit”


(Matram Tri Sandhya bait ke-2)
“Hanya satu Hyang Widhi dipanggil Narayana, sama sekali tidak ada duanya.”
Menurut Panitiya (dalam Sukarma, 2012) Brahman merupakan subjek murni
yang eksistensinya tidak dapat ditolak menjadi dunia eksternal yang objektif. Dalam
hal ini, Brahman memiliki dua aspek, yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman.
Kedua aspek Brahman ini diperjelas dalam Bhagavadgita, sebagai berikut:
Arjuna uvaca
“Avam satata-yukta ye
bhaktas tvam paryupasate
ye capy aksaram avyaktam
tesam ke yoga-vittamah”
(Bhagavadgita XII.1)
“Arjuna bertanya: orang yang menyembah Brahman, yang berada di luar jangkauan
indria-indria dan tidak berbentuk, atau orang yang dengan bersungguh-sungguh

5
senantiasa menyembah Anda dalam bhakti yang baik, dari kedua jenis penyembah
tersebut yang manakah yang dianggap lebih sempurna dalam pengetahuan yoga?”
Sloka ini menyatakan bahwa terdapat dua macam pemusatan pikiran
dalam bhakti, yaitu kepada Tuhan yang berwujud dalam aspek Saguna Brahman dan
kepada Tuhan yang abstrak dalam aspek Nirguna Brahaman.
Sri-bhagavan uvaca
“mayy avesya mano yemam
Nitya-yukta upasate
Sraddhaya parayopetas
Teme yuktatama matah”
(Bhagavadgita XII.2)
“Sri Bhagavan Krsna bersabda: dengan memusatkan pikirannya kepada-Ku dengan
baik, orang yang senantiasa lelap dalam menyembah-Ku dengan keyakinan yang
mantab, Aku anggap paling sempurna dalam pemahaman Yoga.”
Ini berarti bahwa memuja Tuhan yang berkepribadian, yaitu Saguna
Brahman merupakan cara terbaik dalam pelaksanaan bhakti.

2. Atman Tattwa atau Atman Sraddha yaitu percaya dengan adanya Atman atau
Roh Leluhur
Atman berasal dari kata An yang berarti bernapas, hidup, kemudian artinya
berkembang mencakup hidup, jiwa, roh, pribadi roh itu. Atman adalah percikan-
percikan terkecil dari Paramatman (Ida Sang Hyang Widhi) atau mikrokosmos, yang
merupakan sumber hidup dan kehidupan bagi semua mahkluk hidup di dunia. Bila Ida
Sang Hyang Widhi, diandaikan sebagai lautan maka Atma itu hanyalah setitik uap
embun dari uap airnya. Oleh karena itu atma berasal dari Tuhan maka pada akhirnya
atma akan kembali kepada-Nya.
Berdasarkan uraian pada Bhagawadgita II. 20-25, sifat-sifat atma itu adalah
sebagai berikut (Wigama, 1994) :
1. Acchedya berarti tak terlukai oleh senjata
2. Adahya berarti tak terbakar oleh api
3. Akledya berarti tak terkeringkan oleh angin
4. Acesya berarti tak terbasahkan oleh air
5. Nitya berarti abadi
6. Sarwagatah berarti ada dimana-mana
7. Sthanu berarti tak berpindah-pindah
8. Acala berarti tak bergerak
9. Sanatana berarti selalu sama

6
10. Awyakta berarti tak dilahirkan
11. Acintya berarti tak terpikirkan
12. Awikara berarti tak berubah

Di samping itu, Bhagavadgita VI.31 menetapkan identitas Sang


Diri dengan Brahman yang terkandung dalam diktum Weda, yaitu:

“sarva-bhuta-sthitam yo mam
Bhajaty ekatvam asthitah
Sarvatha vartamano ‘pi
Sa yogi mayi vartate”
(Bhagavadgita VI.31)
“Seorang yogi yang dengan kesadaran kesamaan di dalam diri-Ku, mengagung-
agungkan diri-Ku yang bersemayam di dalam setiap makhluk, dalam segala hal ia
senantiasa berada di dalam diri-Ku”.
Hal ini juga ditegaskan dalam Bhagavadgita, XVIII.61, yang berbunyi:
“isvarah sarva-bhutanam
hrd-dese ‘rjuna tisthati
bhramayan sarva-bhutani
yantrarud hani mayaya”
(Bhagavadgita, XVIII.61)
“Wahai Arjuna, Tuhan Yang Maha Esa bersemayam di hati setiap makhluk hidup.
Melalui kekuatan Maya-Nya, memasuki mesin badan jasmani Tuhan menyebabkan
semua makhluk hidup dapat bergerak”.
Sloka ini juga menegaskan hubungan yang kekal antara Atman dan Brahman.

3. Karmaphala Tattwa atau Karmaphala Sraddha yaitu percaya dengan adanya


Hukum Karmaphala
Kata Karma diambil dari bahasa Sansekerta, dari akar kata ‘Kri’ yang artinya
berbuat, bekerja; sehingga segala kegiatan kerja adalah Karma. Secara teknis, kata ini
juga dapat berarti akibat dari perbuatan dan dalam kaitannya dengan metafisika, kata
itu kadang-kadang berarti akibat, dimana penyebabnya adalah perbuatan di masa lalu
(Maswinara, 1996). Karmaphala adalah hasil perbuatan yang lakukan selama hidup.
Segala aktivitas yang dilakukan, sengaja atau tidak sengaja, baik atau buruk, benar
atau salah, disadari atau diluar kesadaran, kesemuanya itu disebut karma.

7
Manusia dibuat tak berdaya oleh hukum alam ini. Manusia tanpa bekerja maka
tidak mungkin mencapai kebebasan. Bhagavadita III.5 menjelaskan:
“na hi kascit ksanam api
jatu tisthaty akarma-krt
karyate hy avasah karma
sarvah prakrti-jair gunaih”
(Bhagavadita III.5)
“Bahkan selama sesaat pun tidak ada orang dapat hidup di dunia ini tanpa melakukan
suatu perbuatan. Tanpa berdaya semua orang dipaksa oleh sifat-sifat alam untuk
melakukan suatu perbuatan”
Demikianlah akibat dari gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah
hasil atau pahala yang sering disebut Karmaphala. Jika seseorang berbuat baik (subha
karma) pasti akan menerima hasil dari perbuatan baiknya itu, demikian pula
sebaliknya setiap yang berbuat buruk, maka keburukkan yang harus diterima.
Karmaphala dibedakan menjadi 3 macam (Sudiana, 2007), yaitu sebagai berikut :
a. Sancita Karmaphala
Sancita Karmaphala adalah phala atau hasil perbuatan pada kehidupan terdahulu
yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan
dikehidupan yang sekarang.
Contohnya : Seseorang yang di kehidupannya sebelumnnya memiliki pahala yang
tidak baik atau di kehidupan sebelumnya itu memiliki banyak dosa dan dosa
tersebut belum habis dirasakannya pada kehidupannya tersebut. Pada
kehidupannya yang sekarang ia selalu melakukan perbuatan yang terpuji (taat
pada ajaran agama) tetapi hidupnya menderita, sakit-sakitan, dan sebagainya. Itu
berarti orang tersebut sedang merasakan karmaphala bagian Sancita Karmaphala.
b. Prarabda Karmaphala
Prarabda Karmaphala adalah phala atau hasil perbuatan kita, yang langsung
dinikmati pada saat kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi. Contohnya : Tono orang
yang suka berjudi dan mencuri dari ia remaja hingga dewasa. Ketika ia tua semua
hidupannya hancur, dari ia sakit-sakitan, hartanya habis, hingga keluarganya tidak
mau mengurusinya.
c. Kriyamana Karmaphala
Kriyamana Karmaphala adalah phala atau hasil perbuatan yang tidak sempat
dinikmati pada saat berbuat sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan
datang. Contohnya : Seorang ayah tega menghabisi seluruh anggota keluarganya

8
dan setelah itu ia langsung bunuh diri. Pada kehidupannya mendatang, dimisalkan
ia dilahirkan ke dunia ini bukan sebagai manusia melainkan hewan buas.
Konsep ajaran Karmaphala Sraddha ini adalah mengajarkan dan mewajibkan
kita sebagai umat Hindu harus selalu berbuat sesuai ajaran agama dan menjauhi
segala laranganNya. Segala sesuatu yang dilakukan di kehidupan ini ada sebab dan
akan ada akibatnya.

4. Samsara Tattwa atau Samsara Sraddha yaitu percaya dengan adanya


Punarbhawa
Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang ke dunia atau menitis
kembali. Kelahiran yang berulang-ulang membawa akibat suka duka. Punarbhawa
disebut juga dengan sebutan Samsara atau Reinkarnasi. Sebab-sebab terjadinya
Punarbhawa ini adalah karena atma masih dipengaruhi oleh kenikmatan duniawi,
selama Sang Atma terikat pada unsur-unsur duniawi, maka akan terus mengembara
dari satu tubuh ke tubuh lainya. Pengembaraan jiwa untuk mencari atau memesan
tubuh yang baru sesuai dengan karma wesana yang dilakukan pada kehidupan yang
terdahulu. Hal ini ditegaskan dalam Bhagavadgita II.27, yaitu:
“jatasya hi dhruvo mrtyur
dhruvam janma mrtasya ca
tasmad apariharye’rthe
na tvam socitum arhasi
(Bhagavadgita II.27)

“Semua yang dilahirkan pasti diikuti oleh kematian, dan secara pasti kematian juga
diikuti oleh kelahiran. Oleh karena itu, terhadap hal-hal yang tidak dapat dihindari,
maka hendaknya engkau jangan menyesal”.
Sloka ini hendak menyatakan bahwa apa yang ada tidak akan pernah berhenti
ada dan apa yang tidak ada tidak akan pernah menjadi ada tanpa diciptakan oleh
Tuhan. Ini merupakan sebuah kepastian yang tak terelakkan karena kelahiran sudah
pasti akan diikuti oleh kematian dan kematian diikuti pula oleh kelahiran. Setiap
kelahiran disebabkan oleh bekas karma, untuk berkarma, dan menikmati karma. Oleh
karena itu, jiwa yang ada di dalam prakerti menerima pengaruh dari sifat-
sifat prakerti (Sukarma, 2012).
Dalam Bhagavadgita XIII.21 dikatakan:
“karya-karana –kartrtve
hetuh praktir ucyate
purusah sukha-duhkhanam
bhoktrtve hetur ucyate”

9
“Dalam hal penciptaan, Prakrti bertanggung jawab atas sebab dan akibat, sedangkan
masalah perasaan suka dan duka, dikatakan bahwa purusa adalah penyebabnya”.
Dalam hal ini dapat pahami bahwa kelahiran atau menjelma kembali
merupakan kesempatan untuk menerima karmaphala yang belum dinikmati pada
masa kelahiran yang lalu. Di samping itu, juga diyakini sebagai kesempatan untuk
memperbaiki segala keburukan atau dosa yang dilakukan pada masa kelahiran yang
lalu. Artinya, kelahiran kembali merupakan kesempatan untuk menyempurnakan
hidup dan kehidupan hingga terhentinya kelahiran.

5. Moksa Tattwa atau Moksa Sraddha yaitu percaya dengan adanya Moksa.
Moksa ialah tujuan terakhir dan tertinggi dari umat Hindu. Moksa merupakan
pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian, karena tanpa adanya kelahiran tak
mungkin akan ada kematian (Maswinara, 1996). Kebahagian yang sejati akan tercapai
oleh seseorang apabila ia telah dapat menyatukan jiwanya dengan Tuhan. Penyatuan
dengan Tuhan itu baru didapat apabila ia telah melepaskan semua bentuk ikatan pada
dirinya. Keterikan yang melekat pada diri itulah yang dinamakan kepalsuan atau
maya. Maya dalam agama Hindu dinamakan sakti, prakti, kekuatan, dan pradhana
(Sudirga, dkk, 2010). Maya selalu mengalami perubahan yang pada hakikatnya tidak
ada. Keberadaannya semata-mata disebabkan oleh adanya hubungan indria dengan
objek duniawi ini.
Kata moksa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari akar kata Muc yang
berarti membebaskan atau melepaskan. Jadi, moksa berarti kelepasan dan kebebasan.
Moksa dalam istilah lainnya sering pula disebut Mukti atau Nirwana. Adapun yang
dimaksud dengan “Kebebasan” dalam arti kata Moksa itu adalah bebasnya atau
terlepasnya Atma dari segala ikatan, bebas atau terlepas dari belenggu ikatan maya,
bebas dari ikatan hukum karma dan Punarbawa, sehingga atma dapat kembali dengan
asalnya yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta dapat pula mencapai kebenaran
tertinggi (Sudiana, 2007).
Setiap orang pada hakikatnya dapat mencapai moksa. Asal mereka mengikuti
dengan tekun jalan yang ditunjuk agama Hindu. Jalan yang ditunjuk oleh ajaran
agama Hindu untuk mencapai moksa adalah Catur Marga Yoga. Ajaran Catur Marga
Yoga dapat ditempuh oleh semua orang dengan menyesuaikan kemampuan dirinya
masing-masing.
Moksa dapat dicapai di dunia ini (ketika kita hidup) dan dapat pula dicapai
setelah hidup ini berakhir. Orang yang dapat membebaskan dirinya (pikiran dan

10
indera/kama) dari ikatan keduniawian dan pengaruh suka duka yang muncul dari Tri
Guna akan dapat mencapai pelepasan itu, sebagaimana diungkapkan dalam
Bhagavadgita sebagai berikut:

“Sattvam sukhe sanjayati,


rajah karmani bharata,
Jnanam avrtya tu tamah,
prarmade anjayaty uta.”
(Bhagavadgita XIV.9)
“Wahai Arjuna, sifat saleh menjerat orang untuk selalu berada dalam kesukaan, dan
sifat kenafsuan menjerat seseorang untuk terikat pada perbuatan membuahkan hasil.
Tetapi, sifat kegelapan menghalangi pengetahuan, dan ia menjerat sang roh yang
berada di dalam badan jasmani melalui kebanggaan”.

“Yada sattva pravrddhe tu,


pralayam yati dehabhrt,
tadottamavidam lokan,
Amalan pratipadyate
(Bhagavadgita XIV.14)
“Ketika sifat-sifat kebaikan yang berkembang, dan jika pada saat itu orang mengalami
kematian, maka sang roh akan mencapai alam-alam tempat para rsi mulia yang suci
tanpa cela”.

Pembebasan diri dari pengaruh Tri Guna adalah usaha yang berat, tetapi pasti
dapat dilakukan dengan mendasarkan diri pada disiplin. Renungkan sloka di atas
apabila seseorang ingin mencapai alam moksa.
Adapun moksa dapat dibedakan menjadi empat jenis atau disebut Catur
Moksa, yaitu samipya, sarupya, salokya, dan sayujya (Sudirga, dkk, 2010). Penjelasan
keempat bagian ini adalah sebagai berikut:
a. Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa
hidupnya di dunia ini. Hal ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan Maharsi. Beliau
dalam melakukan Yoga Samadhi telah dapat melepaskan unsur-unsur maya
sehingga beliau dapat mendengar wahyu Tuhan.
b. Sarupya adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia ini karena
kelahirannya. Kedudukan atman merupakan pancaran dari kemahakuasaan Tuhan,
seperti halnya Sri Rama, Buddha Gautama, dan Sri Krsna. Ketika atman telah
mengambil suatu perwujudan tertentu, ia tidak terikat oleh segala sesuatu yang
ada di dunia ini.
c. Salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh atman. Atman itu sendiri
telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Keadaan

11
seperti itu dapat dikatakan atman telah mencapai tingkatan dewa yang merupakan
manifestasi dari Tuhan itu sendiri.
d. Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi. Atman telah dapat bersatu
dengan Ida Sang Hyang Widhi (Brahman). Keadaan seperti inilah, sebutan
Brahman atman Aikyam yang artinya atman dan Brahman sesungguhnya tunggal.
Dalam hubungan ini, sebagaimana diungkapkan dalam Bhagavadgita sebagai
berikut:
Sri-bhagavan uvaca:
“aksaram brahma paranam,
svabhavo’ dhyatmam ucyate,
bhuta-bhavodbhava-karo,
visargah karma-samjnitah.”
(Bhagavadgita VIII.3)
Sri Bhagavan bersabda: “Yang Maha Agung dan tidak termusnahkan adalah
Brahman, sang jiwa dikatakan sebagai Adhyatman, sedangkan kekuatan aktif yang
menumbuhkembangkan makhluk hidup disebut karma”.
Istilah lain yang dipergunakan untuk mengklarifikasi tingkat-tingkat moksa
itu, yaitu jiwa mukti, wideha mukti (karma mukti), dan purna mukti (Midrasta, 2007).
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Jiwa Mukti adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang dalam hidupnya
di dunia ini. Atman tidak terpengaruh oleh indriya dan unsur-unsur dari maya.
Dengan demikian, jiwa mukti sama sifatnya dengan samipya dan sarupya.
2. Wideha Mukti adalah suatu kebebasan yang dicapai semasa hidupnya. Atman
telah meninggalkan badan kasarnya, tetapi wasana dari unsur maya tidak kuat lagi
mengikat atman itu. Dalam keadaan seperti itu, kesadaran yang dicapai oleh
atman sudah setara dengan Tuhan, tetapi belum dapat bersatu karena masih
adanya imbas dari unsur maya. Dengan demikian wideha mukti dapat disamakan
dengan salokya.
3. Purna Mukti adalah kebebasan yang paling sempurna dan tertinggi. Atman telah
dapat bersatu dengan Tuhan. Dengan demikian, purna mukti dapat disamakan
dengan sayujya.

Mengenai moksa atau kebebasan dalam kitab suci Sarasamuccaya disebutkan


demikian dan dapat dihayati lebih mendalam, yaitu sebagai berikut:
“Matapitrsahasrani putradaracatani ca,
yuge yuge vyatitani kasya te kasya va vayam.”
(Sarasamuccaya 486)
“Tidak diketahui hubungan penjelmaan manusia itu pada permulaannya, tidak dapat
diperkirakan akan banyaknya penjelmaan yang lain, beribu-ribu ibu, anak, dan istri
pada tiap-tiap Yuga. Pada hakikatnya, siapa-siapa yang sebenarnya dengan tepat yang
12
dikatakan seketurunan dengan mereka itu, dan yang mana akan dapat ditunjuk
seketurunan dengan anda sendiri (tidak diketahui)”.
“Naste dhane va daresu putre pitari matari,
aho kastamiti dhyatva duhkhasyapacitin caret.”
(Sarasamuccaya 489)
“Kekayaan akan habis, anak akan mati, dan lagi istri, ayah dan ibu, mereka itu
semuanya telah meninggal, maka keliwat sangat kesedihan dan kedukaan hati; bila
anda sadar akan keadaan demikian, perbuatan anda itu merupakan obat penglipur
duka”
“vijayanyupadaghani na rohanti yatha punah,
Jnanadagdhaistatha klesairnatma sampadyate punah.”
(Sarasamuccaya 510)
“Maka kenyataannya kecemaran badan akan lenyap, jika dilebur dengan latihan-
latihan pikiran; jika telah hilang musnah kotoran badan itu, karena telah diperoleh
pengetahuan yang sejati, maka terhapuslah kelahiran, tidak menjelma lagi sebagai
misalnya biji benih, yang dipanaskan, dipanggang, hilang daya tumbuhnya, tidak
mengecambah lagi.”
Demikianlah mengenai tingkatan dan keberadaan orang yang dapat mencapai
moksa dan perlu diikuti dengan kesungguhan hati.

2.1.2 Bhakti

Bhakti adalah kasih, persembahan, dan rasa hormat kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Demikian juga ditegaskan, manusia hendaknya mengasihi semua makhluk (Sukarma,
2012). Ciri orang bhakti adalah : Tidak mempunyai rasa takut, merasa aman, meyakinkan,
prihatin, rendah hati. Kasih yang sejati digambarkan sebagai kasih dari seorang bapak,
sanak saudara, sahabat, dan di dalam Guru puja, Tuhan Yang Maha Esa tidak saja
digambarkan sebagai seorang ibu dan bapak, tetapi juga sebagai keluarga dan sahabat,
pemberi pengetahuan dan kekayaan.
Sabda Tuhan Yang Maha Esa dalam kitab suci Weda secara tegas menyatakan
bahwa siapa saja yang senantiasa sujud dan bhakti kepada-Nya, akan selalu diberikan apa
yang diperlukan, akan dilindungi-Nya, maka ketentraman, kesejahteraan, dan
kebahagiaan akan terwujud. Sembahyang dan berdoa merupakan contoh dari bhakti.
Sembahyang lebih bersifat formal karena dilakukan di tempat tertentu (tempat suci),
sedangkan berdoa dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dengan Bahasa Sansekerta
maupun bahasa hati. Kitab Suci Bhagavadgita secara tegas menyatakan:
“man-mana bhava mad-bhakto,
Mad-yaji mam namaskuru,
13
Mam evaisyasi satyam te,
pratijane priyo ‘si me”
(Bhagavadgita XVIII.65)
“Dengan selalu mengingat-Ku, Menjadi penyembah-Ku, dengan pikiran yang sudah
tersucikan selalu mengingat-Ku, selalu melakukan persembahan korban suci kepada-Ku,
maka engkau akan sampai kepada-Ku. Aku berjanji dalam kebenaran dihadapanmu sebab
engkau adalah orang yang paling Aku kasihi”.

Memberi semangat atau kekuatan kepada pikiran, termasuk kecerdasan,


kebijaksanaan, kesadaran sehingga dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah
dengan wiweka (kecerdasan maupun ilmu pengetahuan) (Winawan, 2003).
Bhadram karnebhih srnuyama deva
Bhadram pasyemaksabhir yajatrah
Sthirair angais tustuvamsas tanubhir
Vyasema devahitam yad ayuh
(Rg Veda I.89.8 Yajur Veda XXV.21)
“Ya Tuhan Yang Maha Esa, anugrahkanlah kepada kami untuk mendengar hal-hal yang
baik dan Ya Tuhan Yang Maha Suci, kami dapat melihat hal-hal yang baik dan
Semogalah kami dapat mempersembahkan bhakti kami dengan kekuatan tangan dan
keteguhan badan kami, dapat menikmati kebahagian sejati sesuai dengan hukum
Kemahakuasaan-Mu”
Mantram Veda yang mengajarkan bhakti ini Maha Rsi Narada dalam kitabnya
Narada Bhakti Sutra (1.2) merumuskan bahwa bhakti itu sesungguhnya Parama Prema
atau Parama Premarupa, cinta kasih yang sejati dan yang tertinggi. Kasih yang sejati
dapat diwujudkan seperti kasih dari seorang bapak, sanak saudara, sahabat, dan di dalam
Gurupuja Tuhan Yang Maha Esa tidak saja digambarkan sebagai seorang ibu atau bapak
tetapi juga sebagai keluarga dan sahabat, seperti pada mantram-mantram berikut:
Twam eva mata ca pita tvam eva
Twam eva bandhus ca sakha tvam eva,
Twam eva vidya dravinam tvam eva
Twam eva sarvam mama deva-deva.
(Guru Stotra: 4)
“Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya adalah ibu kami, Bapak kami, sahabat kami dan
keluarga kami. Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya pemberi pengetahuan, dan Engkau

14
Penganugrah kekayaan. Engkau adalah segalanya, Ya Engkau adalah Dewata tertinggi
dari seluruh Dewata”.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pengertian bhakti, seperti nampaknya
dekat dengan penjelasan yajna, yakni pengorbanan yang tulus dengan landasan kesucian
hati dan berseminya kasih sayang.
Bhagavadgita (VII. 16 – 17) menyatakan yaitu:
“Catur-vidha bhajante mam,
janah sukrtino ‘rjuna,
arto jijnasur artharthi,
jnani ca bharatarsabha”
(Bhagavadgita VII.16)
“Wahai Arjuna, ada empat golongan manusia yang saleh yang menyembah-Ku; orang-
orang yang sedang dalam kesulitan, orang sekadar yang ingin tahu, orang yang
menginginkan harta-benda, dan orang-orang yang bijaksana terpelajar (yang
menginginkan pembebasan)”.

“tesam jnani nitya-yukta,


eka-bhaktir visisyante,
priyo hi jnanino ‘tyartham,
aham sa ca mama priyah”
(Bhagavadgita VII.17)
“Di antara keempat jenis orang-orang tersebut, orang bijaksana terpelajar yang senantiasa
dengan tulus ikhlas berbhakti tunggal hanya kepada-Ku adalah yang paling baik. Sebab,
orang bijaksana terpelajar yang memiliki kecerdasan rohani seperti ini sangat mengasihi
Aku dan karenanya Aku pun sangat mengasihinya”
Dari penjelasan tentang empat macam orang yang berusaha mendekatkan diri,
berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka itu adalah: orang yang sengsara, yang
mengejar kekayaan, yang mengejar ilmu pengetahuan, dan orang yang berbudi luhur. Di
antara keempat macam orang tersebut, maka orang yang berbudi luhur dinyatakan paling
mulia, karena orang yang berbudi luhur sepenuhnya menyerahkan diri kepada-Nya.
Penyerahan diri secara total kepada-Nya disebut prapatti, demikianlah bhakti-prapatti
mengandung makna bhakti murni, sebab mereka telah merasakan dalam kebhaktiannya
itu, ia berada dalam lindungan-Nya.

15
Dari penjelasan itu, ada dua jenis bhakti yaitu para bhakti dan apara bhakti
(Winawan, 2003). Para bhakti mempunyai makna yang sama dengan praptti, yakni
penyerahan diri secara total kepada-Nya sedangkan apara bhakti adalah bhakti dengan
berbagai permohonan dan permohonan yang dipandang wajar adalah memohon
keselamatan atau memohon berkembang-mekarnya budi nurani, Dalam kitab Bhagavata
Purana (VII.52.23) (dalam Winawan, 2003) membedakan 9 jenis bhakti (Navavidhabhakti
):
a. Sravanam (mempelajari dan mendengarkan pembacaan kitab-kitab tentang Tuhan
Yang Maha Esa)
b. Kirtanam (Menyanyikan nama-nama Tuhan Yang Maha Esa)
c. Smaranam (Mengingat nama Tuhan Yang Maha Esa)
d. Padasevanam (memberikan pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa)
e. Arcanam (memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa)
f. Vandanam (sujud dan bhakti)
g. Dasya (memberikan pertolongan dengan tulus ikhlas)
h. Sakhya (memandang Tuhan Yang Maha Esa sebagai sahabat)
i. Atmanivedanam (penyerahan diri secara total kepada Tuhan Yang Maha Esa).

2.2 Brahmawidya (Teologi)


Brahmawidya adalah kata dalam bahasa Sanskerta yang artinya sama dengan
teologi, yaitu ilmu yang mempelajari Tuhan . Menurut Bagus (dalam Sukarma, 2012)
teologi dalam bahasa Yunani theologia dibentuk dari kata theos berarti Tuhan
dan logos berarti wacana atau ilmu, karena itu teologi berarti wacana atau ilmu tentang
Tuhan. Teologi merupakan bagian dari metafisika yang menyelidiki hal eksisten menurut
aspek dari prinsipnya yang terakhir suatu prinsip yang luput dari inderawi tunggal. Ilmu
tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan tentang Tuhan yang dalam setiap hal sama
dengan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu tentang objek-objek pengalaman inderawi.
Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan yang memadai
tentang Dia, tetapi hanya pengetahuan yang bersifat analogis.
Menurut Pudja (1999) pengetahuan yang bersifat analogis ini dalam kitab suci
Hindu selain disebut Brahmawidya juga disebut Brahmatattva Jnana. Brahma berarti
Tuhan, gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai yang memberikan hidup pada
ciptaanNya, Yang Maha Kuasa. Widya atau Jnana berarti ilmu. Tattwa berarti hakikat
tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman). Tattva Jnana artinya sama
dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu tentang Tuhan. Menurut Sudharta dan Atmaja
(dalam Sukarma, 2012) inti dari Tattva adalah Panca Sraddha. Panca Sraddha inilah aspek
yang membangun konsep Brahmawidya yang hendak diungkap dalam Bhagavadgita.

16
Berbagai wujud digambarkan untuk Tuhan Yang Maha Esa itu, walaupun
sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud, dan di dalam bahasa-bahasa
Sansekerta disebut Acintyarupa yang artinya tidak berwujud dalam pikiran manusia.
Tuhan Yang Maha Esa disebut juga Brahman adalah sumber mula dari segalanya.
Pandangan agama Hindu terhadap Tuhan Yang Maha Esa disebut teologi dan
sifatnya adalah sebagai keimanan dan diimani atau diyakini pemeluknya. Sebagai telah
diuraikan diatas, teologi Weda adalah Monotheisme Transcendent, Monotheisme
Immanent, dan Monisme. Tentang Tuhan yang tidak tergambarkan dalam pikiran dan
tiada kata-kata yang tepat untuk memberikan batasan kepada-Nya.
Kitab suci Weda menyebutkan wujud Brahman. Di dalamnya menjelaskan bahwa
Brahman sebenarnya adalah energi, cahaya, sinar yang sangat cemerlang dan sulit sekali
diketahui wujudnya. Kedua konsep Tuhan yang impersonal dan personal tersebut di atas
dapat ditemukan dalam mantra Bhagawadgita IV.6,7,8 dan Bhagavadgita XII sloka 1 dan
3 (Titib, 2006) yakni :
1. Paranaamam; Tuhan Maha Tinggi dan Abstrak, Kekal Abadi tidak berpribadi
impersonal, nirkara (tak berwujud), nirguna (tanpa sifat guna) dan Brahman. Tuhan
atau Brahman dalam bentuk yang abstrak tersebut di Bali disebut Sang Hyang Suung,
Sang Hyang Embang, Sang Hyang Sunya. Karena tidak berbentuk, sulit dibayangkan
dan dipikirkan (acintya).
2. Vyuhanaama; Tuhan berbaring pada ular di lautan susu. Gambaran Tuhan seperti ini
hanya bisa dilihat oleh para dewa. Di Bali penjelasan seperti itu disebut Hana Tan
Hana (Ada tidak Ada), artinya Tuhan itu diyakini ada, namun tidak bisa dilihat.
3. Vibhawanaama; Tuhan dalam bentuk ini disebut Avatara (turun menyeberang). Ia juga
biasa disebut Saguna atau Sakara Brahman (personal God).
4. Antaraatmanama; Tuhan meresapi segalanya dalam bentuk atma atau zat Tuhan.
Segalanya adalah Brahman (monisme).
5. Archananaama; Tuhan yang terwujudkan dalam bentuk archa atau pertima (replika
mini) seperti patung dalam berbagai bahan dan wujud.

2.3 Usaha dan Sarana Pemujaan Tuhan


2.3.1 Usaha Pemujaan Tuhan
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sudah sepatutnya kita mendekatkan diri kepada-
Nya. Jalan untuk mendekatkan diri itu disebut Marga atau Yoga, yang jumlahnya ada

17
empat sehingga disebut Catur Marga, Catur Yoga atau Catur Marga Yoga. Catur Marga
terdiri dari (Sudiana, 2007) :
1. Bhakti Marga (Jalan Kebhaktian)
Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan (moksa) dengan jalan
sujud bhakti kepada Tuhan.
2. Karma Marga (Jalan Perbuatan)
Karma Marga adalah jalan untuk mencapai kesempurnaan (moksa) dengan berbuat
kebijakan, namun tidak terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya.
3. Jnana Marga (Jalan Pengetahuan)
Jnana Marga adalah suatu jalan atau usaha mencapai kesempurnaan (moksa) dengan
mempergunakan kebijaksanaan filsafat atau ilmu pengetahuan.
4. Raja Marga (Jalan Spiritual/Meditasi)
Raja Marga adalah cara atau jalan untuk dapat mengetahui kerahasiaan dan
berhubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi dengan melalui tapa, brata, yoga dan
samadhi.

2.3.2 Sarana Pemujaan Tuhan


Sarana untuk memuja Tuhan ada bermacam-macam bentuknya, diantaranya untuk
membayangkan-Nya dibuat pratika, cihnam laksanam, lingam, samjna, pratipura di
samping itu secara umum dikenal pula istilah: arca, pratima, pratiwimba, Nyasa, murti
dan lain-lain, yang mengandung makna bentuk-bentuk perwujudan-Nya. Dikenal pula
adanya Tirtha dan Ksetra, yakni mata air, tepi sungai atau tepi laut dan daratan yang
memiliki potensi sebagai tempat kemunculan kekuatan suci (Winawan, 2003).
Dalam ajaran Hindu disebutkan mengenai sarana yang dapat dijadikan
persembahan kepada Tuhan yaitu Puspam, Phalam, Toyam, dan Gandham. Puspam
berarti bunga, yaitu umat dalam memuja Tuhan dapat menggunakan sarana berupa bunga.
Phalam berarti buah, toyam berarti air, dan gandham berarti wewangian (dupa).
Sarana untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa, para dewata, dan roh-roh suci para
rsi dan leluhur adalah pura, mandira, kuil, kahyangan, dan lain-lain. Adapun sarana
pemujaan Tuhan yang lainnya adalah berupa bangunan seperti: Dangsil (meru sementara
memakai atap janur atau daun aren yang dihias indah), Sanggar Tawang (altar dari bambu
sebagai sthana Sang Hyang Surya, Saksi Agung Alam Semesta), Jempana (sarana
mengusung arca/pratima atau daksina pelinggih), umbul-umbul, dan pengawin. Sarana
pemujaan Tuhan dapat juga berupa upakara atau sesajen persembahan dari yang sangat
sederhana sampai yang besar tergantung kemampuan dan keikhlasan umat untuk
mempersembahkannya.

18
2.4 Implementasi Sraddha, Bhakti, serta Usaha dan Sarana Pemujaan Tuhan
2.4.1 Implemetasi Sraddha
Konsep Panca Sraddha tidak hanya dihafalkan dan dipahami, melainkan harus
dipraktikan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat yang
beragama. Pengimplementasiaan ini bertujuan untuk meningkatkan rasa bhakti kita
terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dari lima bagian Sraddha yang telah dijelaskan
diatas, pengimplementasiaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Widhi Tatwa atau Widhi Sraddha, Keyakinan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dengan berbagai manifestasi-Nya.
Keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, implementasinya adalah selalu
taat pada perintah Beliau dan menjauhi setiap laranganNya dalam menjalankan
kehidupan ini. Agama Hindu mengenal adanya Panca Yadnya yaitu pengorbanan suci
yang tulus ikhlas. Salah satunya adalah Dewa Yadnya ialah pengorbanan suci yang
ditujukan kepada para Dewa dan segala manifestasiNya. Yadnya ini harus didasari
atas rasa ikhlas tanpa pamrih dan dalam melakukan Dewa Yadnya ini tidak
diharapkan suatu hal yang menyangkut hal bersifat keduniawian dan kekayaan.
Banyak implementasi dari Widhi Sraddha yang dapat dijalani di kehidupan ini,
dengan berdoa atau melakukan Puja Tri Sandhya setiap hari juga merupakan
implementasi tanda cinta kasih kepada Tuhan.
Agama Hindu mengenal hari-hari suci keagamaan yang bisa mencerminkan
bahwa umat Hindu selalu yakin dengan keberadaan Tuhan dan senantiasa bersyukur
kepada Tuhan atas berkat dan rahmat yang telah Beliau limpahkan ke kehidupan ini.
Salah satu contoh, hari suci Tumpek Landep yaitu pada Saniscara Kliwon Wuku
Landep. Pada Tumpek Landep, umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dalam prabawa-Nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan
ketajaman pikiran sehingga mampu menciptakan teknologi atau alat-alat yang dapat
mempermudah dan memperlancar kehidupan manusia.
Tentunya seluruh hari-hari suci yang umat Hindu peringati atau rayakan
tersebut adalah sudah mengimplementasikan bahwa umat Hindu yang
melaksanakannya dengan penuh rasa syukur dan ikhlas adalah sudah memiliki
keyakinan yang tinggi terhadap keberadaan Tuhan (Widhi Sraddha)
2. Atma Tatwa atau Atma Sraddha, Keyakinan terhadap Atma yang menghidupkan
semua makhluk
Pengertian Atman yakni percikan suci dari Ida Sang Hyang Widhi, namun
setelah masuk ke badan manusia dan dilahirkan ke dunia ini, Atman akan diselimuti
oleh badan kasar manusia itu sendiri yang terikat oleh keduniawian, sehingga Atman
19
ini akan diselimuti oleh kegelapan (awidya). Dengan kita memiliki rasa keyakinan
terhadap keberadaan atman, maka kita akan selalu berusaha mengurangi kegelapan
(awidya) yang menyelimuti Atman yang suci tersebut atau bahkan menghilangkan
kegelapan (awidya) tersebut hingga Atman mampu bersatu dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa (moksa). Salah satu contohnya adalah upacara Manusia Yadnya yang kita
lakukan di kehidupan ini, seperti mepandes/mesangih (potong gigi), dengan tujuan
mengurangi Sad Ripu (6 musuh dalam diri manusia), sehingga mampu mengurangi
kegelapan (awidya) yang menyelimuti atman yang suci. Tentu saja masih banyak
pengimplementasian terhadap Atma Sraddha yang dapat dilakukan dalam kehidupan
ini, yang intinya selalu berusaha melepas sifat keduniawian dengan patuh terhadap
ajaran agama dan senantiasa berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
3. Karmaphala Tatwa atau Karmaphala Sraddha, Keyakinan terhadap kebenaran hukum
sebab akibat atau buah dari perbuatan.
Diatas telah disebutkan bahwa semua perbuatan yang dilakukan dengan sadar
maupun tidak sadar disebut karma. Karma dibagi menjadi dua lagi yaitu karma baik
(subha karma) dan karma tidak baik (asubha karma).
Dalam implementasinya, karma baik tentu yang selalu disertai dengan
keikhlasan berkorban untuk orang lain ataupun untuk Tuhan yang disebut Yajna.
Dalam yajna terkandung suatu pengertian kesengajaan berkorban untuk kebaikan
orang lain, dengan pengorbanan kepentingan atau keinginan, serta kesenangan pribadi
demi menyenangkan orang lain.
Pengorbanan ini bisa berbentuk upacara yang dikenal dengan upacara yajna
seperti halnya: manusia yajna, bhuta yajna, pitra yajna, dewa yajna, dan rsi yajna.
Selain itu pengorbanan juga berbentuk tri kaya parisudha yaitu: pengorbanan
berbentuk pikiran, mau mengerti kebenaran orang lain, bersikap toleran, bisa
menghargai pendapat orang lain adalah suatu yajna. Pengorbanan berbentuk kata-kata
yaitu selalu berkata yang baik, dalam arti tidak menyakiti hati orang lain, lemah
lembut, mengendalikan diri agar tidak sampai mengeluarkan kata-kata kasar adalah
juga suatu yajna. Pengorbanan berupa tindakan, baik berupa pelayanan, pengorbanan
materi untuk orang lain adalah suatu yajna yang mulia.
Dengan mengamalkan konsep-konsep tersebut maka karma baik akan
menuntun kita menuju jalan yang benar dan bermanfaat. Sebaliknya karma buruk
akan memimpin orang untuk lupa dan keliru. Bagaimanapun hati-hatinya orang kalau
karma buruk telah berurat berakar, akan ada saja kekeliruan kecil yang dibuat dengan
tidak sadar bisa menimbulkan bencana kehancuran total.

20
Karmaphala sangat berhubungan dengan Punarbawa (kelahiran kembali),
dimana kita sebagai umat Hindu sangat menyakini konsep tersebut.
4. Samsara Tatwa atau Samsara Sraddha, Keyakinan terhadap kelahiran kembali.
Bagi umat Hindu yang bisa melahirkan seorang anak adalah merupakan
kebahagian. Implementasi dari Samsara Sraddha ini dapat dilihat dari melahirkan
anak sebagai tujuan agar dapat memberi kesempatan kepada leluhurnya untuk
bereinkarnasi (lahir kembali) di lingkungan keluarganya. Disamping itu juga dengan
mempunyai anak sudah membayar hutang kelahiran dan hutan pendidikan kepada
orang tua. Hutang kepada orang tua sampai mati tidak bisa dibayar. Kasih sayang
orang tua dengan anak tidak bisa dinilai dengan benda, oleh karena si anak tidak
mungkin akan membalas atau membayarnya secara langsung. Satu-satunya untuk
melunasi hutang ialah dengan kawin dan bisa mempunyai anak. Hutang kepada orang
tua bisa dilunasi dengan piutang kepada anak.
Perkawinan juga termasuk yajna karena bertujuan memberi kesempatan untuk
leluhur lahir ke dunia memperbaiki karmanya. Roh yang lahir menjadi anak tentu ada
hubungan karma dengan orang tuanya, disamping adanya persamaan-persamaan di
dalam beberapa sifat yang memungkinkan adanya daya tarik yang menyebabkan lahir
dalam keluarga tersebut (karma kelahiran).
Memutus karma atau mencoba untuk melepaskan ikatan keduniawian dari
dalam diri kita juga merupakan implementasi dari yakin akan adanya kelahiran
kembali (Samsara Sraddha). Dimana cara yang paling baik untuk memutus karma kita
adalah dengan berbuat yang sesuai dengan ajaranNya atau berbuat dharma atau dapat
ditempuh dengan menjalankan Catur Marga Yoga yaitu empat jalan untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, berbuat sesuai dengan Tri Kaya Parisuda,
melaksanakan yadnya sesuai dengan kemampuan kita, dan sebagainya.
5. Moksa Tatwa atau Moksa Sraddha, Keyakinan terhadap kebebasan yang tertinggi
bersatunya Atma dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa.
Moksa adalah tujuan terakhir dari seluruh umat Hindu. Dimana dapat
diimplementasikan dengan menjalankan sembahyang bathin dengan dharana
(menetapkan cipta), dhyana (memusatkan cipta) dan Samadhi (mengheningkan cipta),
manusia berangsur-angsur akan dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi yaitu
bebas dari segala ikatan keduniawian untuk bersatunya atman dengan Brahman.
Untuk mencapai ini, orang harus selalu berbuat baik sesuai dengan ajaran
agama. Kitab suci juga telah menyediakan bagaimana caranya orang melaksanakan

21
pelepasan dirinya dari ikatan maya dan akhirnya atman dapat bersatu dengan
Brahman sehingga penderitaan dapat dikikis habis dan tidak ada lagi menjelma ke
dunia sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia.
Di dalam ajaran kerohanian Hindu terdapat jalan untuk mencapai
kesempurnaan, yaitu moksa, dengan implementasinya menghubungkan diri dan
pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut Catur Marga
Yoga.
Bhakti Marga Yoga artinya jalan cinta kasih dan jalan persembahan. Seorang
bhakta dalam doanya selalu menggunakan pernyataan cinta dan kasih sayang serta
memohon kepada Sang Hyang Widhi agar semua makhluk tanpa terkecuali selalu
bahagia dan selalu mendapat berkah termulia dari Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi lebih
jelasnya seorang bhakta akan selalu melenyapkan kebenciannya kepada semua
makhluk. Sebaliknya, ia selalu berusaha memupuk dan mengembangkan sifat-sifat
maîtri, karuna, mudita, dan upeksa. Keseimbangan bathin sempurna, tidak ada ikatan
sama sekali apa pun. Ia terlepas dan bebas dari hukuman serba dua (dualis) misalnya
suka dan duka. Seluruh kekuatannya dipakai untuk memusatkan pikirannya kepada
Sang Hyang Widhi dan dilandasi jiwa penyerahan toal.
Karma Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai moksa dengan perbuatan atau
kebajikan tanpa pamrih. Masyarakat yang telah suci jasmani dan rohani akan
menjauhkan diri dari sifat-sifat munafik dan kepalsuan. Cita-cita yang sempurna akan
dapat dicapai masyarakat itu. Semua ini telah terbukti dalam pengalaman dari
kebebasan jiwa seorang Karma Yogin. Seorang Karma Yogin mempersembahkan
seluruh karmanya kepada Tuhan, teguh melaksanakan dharma (kebenaran),
subhakarma (karma baik), pengabdian luhur, serta menjauhkan diri dari segala macam
perbuatan yang adharma.
Jnana Marga Yoga yaitu mempersatukan diri dengan Tuhan dengan jalan
mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan keduniawian.
Untuk melepaskan ikatan-ikatan ini, kita harus mengarahkan segala pikiran kita dan
memaksanya kepada kebiasaan-kebiasaan suci. Untuk mencapainya perlu dibantu
dengan abhyasa, yaitu latihan-latihan dan vairagya, yaitu keadaan tidak mengaktifkan
diri. Kekuatan pikiran kita lakukan saat kita berbuat apa saja dan pikiran harus
dipusatkan kepada-Nya. Para Jnanih (bijaksanawan) dapat menguasai dua macam
pengetahuan yaitu apara widya (ilmu pengetahuan biasa) dan para widya (ilmu
pengetahuan tingkat tinggi) mengetahui hakikat atma dengan Brahman.

22
Raja Marga Yoga adalah suatu jalan rohani untuk mencapai moksa. Tiga jalan
pelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja Yogin, yaitu melaksanakan tapa bratha,
yoga, dan Samadhi. Tapa dan bratha merupakan suatu latihan untuk mengendalikan
emosi dan nafsu yang ada di dalam diri kita ke arah yang positif sesuai petunjuk
ajaran kitab suci. Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman
dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
Seorang Raja Yoga akan dapat menghubungkan dirinya dengan rohani melalui
astangga yoga, yaitu delapan tahapan yoga untuk mencapai moksa (Sudirga, dkk,
2010), yaitu: Yama adalah suatu bentuk larangan yang harus dilakukan oleh seseorang
dari segi jasmani, misalnya: dilarang membunuh (ahimsa), dilarang berbohong
(satya), pantang mengingini sesuatu yang bukan miliknya (asetya), pantang
melakukan hubungan seksual (brahmacari), dan tidak menerima pemberian dari
orang lain (aparigraha). Nyama adalah pengendalian diri yang lebih bersifat rohani,
misalnya: tetap suci lahir bathin (sauca), selalu puas dengan apa yang datang
(santosa), mempelajari kitab-kitab keagamaan (swadhyaya), selalu bhakti kepada
Tuhan (iswara pranidhana), dan tahan uji (tapa). Asana merupakan sikap duduk yang
menyenangkan, teratur, dan disiplin. Pranayama adalah mengatur pernapasan
sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan, yaitu menarik napas (puruka),
menahan napas (kumbhaka), dan mengeluarkan napas (recaka). Pratyahara adalah
mengontrol dan mengendalikan ikatan objeknya sehingga orang dapat melihat hal-hal
suci. Dharana adalah usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang
diinginkan. Dhyana adalah pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada
suatu objek, Dhyana dapat dilakukan terhadap Ista Dewata. Samadhi adalah
penyatuan atman (sang diri sejati dengan Brahman). Apabila seseorang melakukan
latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh, ia akan dapat menerima getaran-
getaran suci dan wahyu Tuhan.
Jalan manapun yang ditempuh kalau sudah diyakini dengan kesadaran
spiritual yang luhur akan diarahkan menuju kebenaran yang kekal abadi serta
mengalami moksa. Moksa itu bukan hanya sekadar konsep belaka, namun akan
merupakan suatu hal yang nyata yang dapat diketahui secara pratyaksa, pengamatan
langsung oleh mereka yang benar-benar semangat mencarinya, berdasarkan ajaran-
ajaran kamoksan. Ajaran kamoksan perlu dilaksanakan. Hal ini sama saja seperti
orang yang memuji makanan itu lezat, tetapi tidak merasakan sendiri bagaimana
lezatnya makanan tersebut karena tidak pernah merasakannya sendiri.

23
2.4.2 Implementasi Bhakti
Dalam pelaksanaan Bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam kitab
Bhagavata Purana membedakan 9 jenis bhakti dan dapat kita implementasikan di dalam
kehidupan ini, sebagai berikut (Winawan, 2003) :
1. Sravanam (mempelajari keagungan Tuhan dengan mendengar atau membaca kitab-
kitab suci) misalnya membaca Bhagawan Gita, dimana Bhagawan Gita ini dibaca
secara rutin sehingga memahami isi yang tersirat di dalamnya.
2. Kirtanam (Berbhakti kepada Tuhan dengan jalan mengucapkan/ menyanyikan nama
Tuhan Yang Maha Esa), misalnya dengan ikut ngayah mekidung ketika ada upacara
agama merupakan salah satu implementasi sederhana yang dapat dilakukan.
3. Smaranam (Berbhakti kepada Tuhan dengan cara selalu ingat kepada-Nya), salah satu
contoh sederhananya adalah dengan cara selalu bersyukur terhadap rahmat yang
diberikan dan tidak mengeluh ketika diberikan cobaan dalam hidup ini.
4. Padasevanam (Berbhakti dengan jalan memberikan pelayanan kepada Tuhan). Contoh
sederhananya saja adalah ketika sehabis bersembahyang, sisa-sisa bunga dan dupa
yang telah digunakan dibuang ke tempat sampah, sehingga lingkungan pura (tempat
suci) terjaga kebersihannya, dan tentunya masih banyak implementasi lainnya dalam
hidup ini untuk memberikan pelayanan kepada Tuhan.
5. Arcanam (memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa). Implementasi dari berbhakti
dengan memuja keagungan Tuhan adalah dengan Tri Sandya rutin dan segala tindakan
yang kita lakukan sesuai dengan ajaran agama termasuk kita memuja keagungan
Tuhan.
6. Vandanam (sujud dan bhakti kepada Tuhan). Implementasi dari sujud dan bhakti
terdapap Tuhan adalah selalu memohon pengampunan atas segala kesalahan yang kita
lakukan dan memohon petunjukNya agar selalu diberkati.
7. Desya (Berbhakti kepada Tuhan dengan cara menolong dengan penuh keikhlasan).
Misalnya menolong korban bencana alam dengan menyumbangkan bahan makanan
ataupun uang dengan tulus ikhlas.
8. Sakhya (Berbhakti kepada Tuhan dengan cara memandang Tuhan sebagai sahabat
sejati), misalnya dalam situasi apapun, kita tetap mengingat beliau, ketika mendapat
suatu masalah kita mohon pemecahan dan kelancaran dalam menghadapinya serta saat
kita dalam situasi bahagia, kita harus berterima kasih atas segala rahmat yang
diberikan.
9. Atmanivedanam (Berbhakti kepada Tuhan dengan cara menyerahkan diri secara total
kepada Tuhan). Implementasinya adalah seperti halnya para yogi yang telah
memisahkan diri dari kehidupan duniawi sehingga ia dapat menyerahkan secara total
dirinya kehadapan Beliau.)

24
2.4.3 Implementasi Usaha dan Sarana Pemujaan Tuhan
Usaha merupakan jalan untuk mendekatkan diri atau untuk menyatukan atma
kembali kepada Brahman. Cara yang dapat ditempuh yaitu dengan Catur Marga Yoga.
Untuk tercapainya tujuan dari hidup ini, maka kita harus mengimplementasikannya ke
dalam kehidupan sehari- hari.
1. Bhakti Marga Yoga (Jalan Kebhaktian)
Bhakti Marga Yoga adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan (moksa) dengan
jalan sujud bhakti kepada Tuhan. Implementasi Bhakti Marga Yoga yang dapat kita
lakukan adalah pelaksanaan Tri Sandya secara rutin, membaca buku-buku keagamaan,
serta tentunya dapat memahami dan mempraktikannya di kehidupan ini.
2. Karma Marga Yoga (Jalan Perbuatan)
Karma Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai kesempurnaan (moksa) dengan
berbuat kebijakan, namun tidak terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya.
Implimentasinya adalah melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, melalukan
pertolongan dengan dasar tulus ikhlas tanpa pamrih, serta berbuat amal dan kebajikan
untuk kesejahteraan umat manusia dan makhluk lainnya.
3. Jnana Marga Yoga (Jalan Pengetahuan)
Jnana Marga Yoga adalah suatu jalan atau usaha mencapai kesempurnaan (moksa)
dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat atau ilmu pengetahuan.
Implementasinya adalah dengan belajar demi mendapat ilmu pengetahuan dan dapat
menggunakan ilmu tersebut untuk tujuan yang mulia, seperti mencerdaskan
kehidupan bangsa.
4. Raja Marga Yoga (Jalan Spiritual/Meditasi)
Raja Marga Yoga adalah cara atau jalan untuk dapat mengetahui kerahasiaan dan
berhubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi dengan melalui tapa, brata, yoga dan
samadhi. Implementasinya adalah melepaskan kehidupan keduniawian ini dan bertapa
memusatkan pikiran hingga mampu menyatukan diri dengan Tuhan.

Memuja dan mendekatkan diri dengan Tuhan, kita memerlukan adanya sarana
yang diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sarana tersebut antara
lain, sarana yang menyerupai wujud Tuhan, yakni pratika, cihnam laksanam, lingam,
samjna, pratipura, arca, pratima, pratiwimba, Nyasa, murti. Di samping itu dikenal juga
adanya Tirtha dan Ksetra, yakni mata air, tepi sungai atau tepi laut dan daratan yang
memiliki potensi sebagai tempat kemunculan kekuatan suci. Kekuatan suci ini
mendukung kawasan itu menjadi suci, yang menjadikan tempat itu menarik, sangat

25
menyolok atau monumental. Di Bali, kawasan tertentu seperti Besakih, Tanah Lot,
Uluwatu, Sakenan, Tirtha Empul, dan lain-lain adalah kawasan suci yang sejak zaman
purba telah terpelihara kesuciannya.
Di samping hal tesebut, dengan memperhatikan pula praktik upacara yang masih
hidup dan terpelihara di Bali maupun di India, yakni pada saat menjelang upacara
piodalan (di India disebut abhiseka), para dewata dimohonkan turun ke bumi, di Bali
disebut Nuntun atau Nedunang Ida Bhatara, di India disebut Avahana, sampai upacara
persembahyangan dan mengembalikannya kembali ke kahyangan sthana-Nya yang abadi
menunjukkan bahwa pura adalah replika dari kahyangan atau sorga.
Demikian pula bila kita melihat struktur halaman pura menunjukkan bahwa pura
adalah juga melambangkan alam kosmos, jaba pisan adalah alam bumi (bhurloka), jaba
tengah adalah bhuwahloka dan jeroan adalah swahloka atau sorga. Khusus Pura Besakih
secara keseluruhan melambangkan sapta loka (luhuring ambal-ambal) dan saptapatala
(soring ambal-ambal).
Mengingat bahwa pura adalah replika Kahyangan, maka pura itu harus suci da
indah, memfungsikan pura dilakukan dengan upacara yang paling sederhana berupa
Ngambe disamping melarang mereka yang tidak patut memasuki pura, seperti wanita
dalam keadaan haid, karena kematian, membawa jenasah ke pura, adanya pertumpahan
darah di pura dan sebagainya, yang kesemua itu dalam ajaran Agama Hindu disebut
Cuntaka. Bila terjadi pelanggaran, maka pura tersebut harus disucikan kembali.
Pada saat upacara, Sang Hyang Widhi, para Dewata, dan Roh leluhur dimohon
untuk hadir, sebagai tamu Agung yang patut menerima persembahan umat baik berupa
sesajen, bhusana, tari-tari wali, kidung, tabuh gamelan lelambatan suara kentongan
bertalu dan bau dupa/kemenyan yang dibakar akan membantu mewujudkan kesucian itu.
Umat sangat berbahagia mempersembahkan yang terbaik miliknya dan selanjutnya umat
memohon waranugraha berupa air suci kehidupan (Tirtha Amrta) dan bija sebagai
simbolis benih-benih kebajikan.
Sarana pemujaan lainnya berupa bangunan seperti: Dangsil (meru sementara
memakai janur atau daun aren yang dihias indah), Sanggar Tawang (altar dari bambu
sebagai sthana Sang Hyang Surya, Saksi Agung Alam Semesta), Jempana (sarana
mengusung arca/pratima atau daksina palinggih), Umbul-umbul dan Pengawin dan lain-
lain. Sarana lainnya adalah berupa upakara atau sesajen persembahan dari yang sangat
sederhana sampai yang besar tergantung kemampuan dan keikhlasan umat untuk
mempersembahkan.
26
27
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat penulis simpulkan beberapa hal yaitu
sebagai berikut :
1. Sraddha adalah keyakinan umat Hindu. Panca Sraddha terdiri dari lima bagian yaitu:
Widhi Sraddha, Atma Sraddha, Karmaphala Sraddha, Samsara Sraddha, dan Moksa
Sraddha. Dimana konsep Sraddha ini tidak hanya dihafalkan dan dipahami saja,
melainkan yang terpenting adalah mampu mempraktikkannya dalah kehidupan ini.
2. Bhakti adalah pengorbanan yang tulus dengan landasan kesucian hati dan berseminya
kasih sayang. Dalam pelaksanaan bhakti kepada Tuhan, sehari-hari kita malaksanakan
apa yang disebut sembahyang. Implementasi yang dapat kita lakukan adalah
Sravanam, Kirtanam, Smaranam, Padasevanam, Arcanam, Vandanam, Desya, Sakhya,
Atmanivedanam
3. Brahmawidya adalah pengetahuan tentang Ketuhanan dalam Agama Hindu,
pemahaman tentang Tuhan itu penting dan perlu karena dengan mengenal Tuhan
secara tepat dan baik dapat mengantarkan kepada jalan kesempurnaan sampai kepada
moksa.
4. Usaha yang dapat dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dapat dilakukan
dengan menempuh jalan yang disebut Marga atau Yoga, yang jumlahnya ada empat
sehingga disebut Catur Marga. Catur marga meliputi Bhakti Marga (jalan kebhaktian),
Karma Marga (jalan perbuatan), Jnana Marga (jalan pengetahuan), dan Raja Marga
(jalan spiritual/meditasi). Sarana yang dapat digunakan yaitu Puspam, Phalam,
Toyam, dan Gandham. Puspam berarti bunga, yaitu umat dalam memuja Tuhan dapat
menggunakan sarana berupa bunga, Phalam berarti buah, Toyam berarti air, dan
Gandham berarti wewangian (dupa).

3.2 Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan sebagai umat Hindu. Kita
sebaiknya memahami Sradha, Bakthi, Brahmawidya baik secara teoritis maupun konseptual
sehingga kita lebih memaknai ajaran-ajaran tersebut ditambah dengan usaha dan sarana untuk
memuja Tuhan serta implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

28
DOA PENUTUP

“Om Ano Bhadrah Krattawoyantu Wiswatah


Om Dewa Suksma Parama Acintya Ya Namah Swaha, Sarwa Karya Prasidhantam”

Ya Tuhan semoga pikiran yang baik datang dari segala arah


Ya Tuhan dalam wujud Parama Acintya yang Maha Gaib dan Maha Karya, hanya atas
anugrah-Mu lah maka pekerjaan ini berhasil dengan baik

Om Santih, Santih, Santih, Om.

29
DAFTAR PUSTAKA

Darmayasa. 2014. Bhagavad Gita (Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma


Sthapanam.
Kajeng, N. 2010. Sarasamuccaya (Dengan Teks Bahasa Sanskerta dan Jawa
Kuna). Surabaya: Paramitha.
Maswinara, W. 1996. Konsep Panca Sraddha. Surabaya: Paramitha.
Midastra, W. 2007. Widya Dharma Agama Hindu. Jakarta: Ganesha.
Nala.1993. Murdha Agama Hindu. Denpasar: Paramitha.
Pudja, G. 1999. Filsafat Hindu. Surabaya: Paramita.
Sudiana, W. 2007. Agama Hindu. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Sudirga, Arya, dan Suratmini. 2010. Widya Dharma Agama Hindu SMA. Jakarta:
Ganeca Exact.
Sukarma. 2012. “Brahmawidya dan Humanisme dalam Bhagawadgita”. Dalam
http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/105-brahmawidya-
dan-humanisme-dalam-bhagawadgita.html. Diakses 15 Maret 2015.
Titib, W. 2006. Persepsi Umat Hindu Bali. Denpasar: Paramitha.
Wigama. 1994. Agama Hindu 1. Jakarta: Ganeca Exact.
Winawan, W. 2003. Materi Substansi Kajian Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Agama Hindu. Jakarta: Trisakti.

Anda mungkin juga menyukai