Anda di halaman 1dari 19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Menurut Asegaf (2002: 177) kajian pustaka adalah upaya untuk

mengetahui ada atau tidaknya bahan-bahan yang digunakan untuk memperkuat

hasil penelitian. Kajian pustaka merupakan bagian yang berisikan tentang tesa

atau pernyataan kebenaran, pendapat , informasi, fakta, atau bentuk data lain yang

digunakan sebagai acuan tempat bertumpu peneliti dalam rangka mengajukan

kerangka berpikir, asumsi, atau hipotesis.

Suprayoga Imam dan Tabroni, (2001: 130) kajian pustaka meliputi

pengidentifikasian secara sistematis, penemuan, dan analisis dokumen-dokumen

yang memuat informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Sehubungan

penelitian yang dilaksanakan ini, maka beberapa penelitian yang terkait dengan

penelitian yang sedang dilaksanakan dengan dikemukakan dan beberapa orang

peneliti yang telah diteliti. karena hasil penelitian tentang ajaran kalepasan

menurut lontar Tutur Brahmokta Widhisastra sampai saat ini belum ada, maka

peneliti menggunkan sumber acuan untuk mendukung hasil penelitian ini. Adapun

sumber-sumber acuan tersebut, antara lain:

Ananda (2004) dalam penelitiannya yang berjudul “Konsep Ketuhanan

Dalam Teks Wrhaspati Tattwa” memaparkan bahwa untuk mengetahui makna

kelepasan hendaknya mengetahui atau memahami 1) Karma Phala 2)

Punarbhawa Tattwa 3) Moksa Tattwa. Penelitian ini menjelaskan bagaimana

konsep Cetana dan Acetana yang kemudian Cetana dibagi menjadi tiga bagian

10
11

yaitu Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, dan Siswa Tattwa, yang masing-

masing mempunyai sifat masing-masing. Persamaan yang dimiliki antara

penelitian Ananda dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji teks lontar.

Sehingga dapat dijadikan sebagai acuan oleh peneliti untuk menjabarkan ajaran

kalepasan dalam Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra.

Perbedaan penelitian Ananda dengan penelitian yang akan dilakukan ini

terletak pada teks lontar yang dikaji. Jika dalam penelitian Ananda mengkaji

Lontar Wrhaspati Tattwa, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini mengkaji

lontar Tutur Brahmokta Widhisastra. Selain itu dalam penelitian Ananda

menganalisis ajaran Ketuhanan yang akan dilakukan penelitian ini akan

menganalisis ajaran Kalepasan menurut lontar Tutur Brahmokta Widhisastra.

Namun walaupun memiliki perbedaan penelitian Ananda dapat dijadikan sebagai

pedoman dan penambah wawasan peneliti, dalam pengkajian teks, sehingga

mampu mengungkap ajaran Kalepasan yang menurut Lontar Tutur Brahmokta

Widhisastra.

Tagel (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “ Ajaran Kamoksan

dalam Lontar Tutur Kamoksan Puspa Tanalum ” memaparkan bahwa ajaran

kamoksan menurut lontar Tutur Kamoksan Puspa Tanalum untuk mencapai

kalepasan melalui tiga tahapan yaitu tahap awal, tahap inti, tahap akhir. Tahap

awal terdiri dari atas enam tahapan yaitu tahap persiapan dan tahap penyucian.

Tahapan penyucian terdiri dari enam tahapan, yakni 1) penyucian terhadap

kekuatan yang disebut ibu dan bapak, 2) cara mempersatukan dua kekuatan yang

disebut ibu dan bapak, 3) menggerakan dua kekuatan menuju ke otak, 4)


12

menggerakan dua kekuatan menuju ke pangkal lidah, 5) Sang Hyang Atma

melakukan penyucian, dan 6) tahap penyadaran menuju posisi semula. Inilah

dilakukan pada setiap saat. Tahapan inti terdiri dari delapan tahapan yakni, 1)

tahap penyatuan dua kekuatan yang disebut ibu dan bapak, 2) tahap keluar

masuknya Sang Hyang Atma, 3) tahap penyatuan dasendria, 4) penyatuan Sang

Hyang Rwabineda, 5) penyatuan bayu, sabda, idep, 6) penyatuan Sang Hyang

Tiga ring Jaba, 7) penyatuan Badawang Nala dalam tubuh, 8) penyatuan Dewata

Nawa Sanga. Dan tahap akhir adalah mengembalikan fungsi-fungsi organ tubuh

ke posisi semula.

Perbedaan penelitian Tagel dengan penelitian yang akan dilakukan ini

terletak pada teks lontar yang dikaji. Jika dalam penelitian Tagel mengkaji Lontar

Tutur Kamoksan Puspa Tanalum, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini

mengkaji Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra. Namun walaupun memiliki

perbedaan penelitian Tagel dapat dijadikan sebagai pedoman dan penambah

wawasan peneliti, dalam pengkajian teks, sehingga mampu mengungkap ajaran

Kalepasan dalam Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra.

Poniman (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “ Konsep Kalepasan

dalam Lontar Ganapati Tattwa” dinyatakan bahwa seseorang yang ingin menyatu

dengan Tuhan harus melakukan penyucian diri, belajar sastra-sastra suci sebagai

acuan bertingkah laku dalam masyarakat. Selalu mematuhi ajaran Agama serta

mengamalkan dharma Agama, setidaknya penelitian ini mempunyai dasar kajian

yang sama yaitu menjelaskan tentang ajaran kalepasan pada lontar yang ada di
13

Bali. Meskipun mempunyai objek kajian yang sama namun lontar yang dikaji

berbeda.

Perbedaan penelitian Poniman dengan penelitian yang akan dilakukan

ini terletak pada lontar yang dikaji. Jika dalam penelitian Poniman mengkaji

Lontar Ganapati Tattwa, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini mengkaji

Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra. Selain itu dalam penelitian Poniman

menganalisis ajaran Ketuhanan yang terdapat dalam Lontar Ganapati Tattwa,

berbeda dengan analisis yang akan dilakukan penelitian ini yaitu menganalisis

ajaran Kalepasan menurut Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra. Namun

walaupun memiliki perbedaan penelitian Poniman dapat dijadikan sebagai

pedoman dan penambah wawasan peneliti, dalam pengkajian teks, sehingga

mampu mengungkap ajaran Kalepasan dalam Lontar Tutur Brahmokta

Widhisastra.

Nyana (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “ Konsep Ketuhanan

Dalam Lontar Siwagama ( Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna)”, memaparkan

bahwa naskah Siwagama memberikan nilai sradha dari satu ajaran yang diyakini

dan memberikan wawasan keyakinan yang ada. Konsep ketuhanan yang diajarkan

adalah penunggalan ajaran karmasannyasa dan yogasnnyasa. Karmasannyasa

adalah tapa bratha melalui pelaksanaan-pelaksanaan tindakan, dimana tindakan-

tindakan yang dimagsud adalah tindakan yang menuju Tuhan dengan cara

menggunakan media konsentrasi, seperti pura, banten, dan lain-lain yang

merupakan konsep ajaran Siwa, yang mana ajaran banyak diterapkan dalam

kehidupan beragama di Bali. Yogasannyasa adalah tapa bratha melalui


14

pengandalian panca indera, yang merupakan konsep Budha. Dengan menjalankan

salah satu atau gabungan dari kedua ajaran tersebut dengan tekun maka dapat

mencapai kalepasan yang merupakan tujun akhir manusia.

Perbedaan penelitian Nyana dengan penelitian yang akan dilakukan ini

terletak pada lontar yang dikaji. Jika dalam penelitian Nyana mengkaji lontar

Siwagama, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini mengkaji Lontar Tutur

Brahmokta Widhisastra. Selain itu dalam penelitian Nyana menganalisis ajaran

Ketuhanan yang terdapat dalam Lontar Siwagama, berbeda dengan yang akan

dilakukan penelitian ini yaitu menganalisis ajaran Kalepasan dalam Lontar Tutur

Brahmokta Widhisastra. Namun walaupun memiliki perbedaan penelitian Nyana

dapat dijadikan sebagai pedoman dan penambah wawasan peneliti, dalam

pengkajian teks, sehingga mampu mengungkap ajaran Kalepasan menurut Lontar

Tutur Brahmokta Widhisastra.

Mastika (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “ Ajaran Kalepasan

Dalam Teks Lontar Tutur Kumaratatwa ( Kajian bentuk, Fungsi, dan Makna)”

menyatakan bahwa lontar Tutur Kumarattatwa sangat bermanfaat dalam upaya

pencerahan perasaan bhakti dan sebagai penuntun konsentrasi menuju sebuah

kebenaran, hal itu disebabkan karena lontar ini mengandung ajaran Agama, susila,

tuntunan hidup serta pelukisan kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya,

terutama hal terakhir yang menjadi tujuan hidup manusia, yaitu kalepasan. Untuk

mencapai kalepasan, maka tahapan seperti pemahaman filosofi ajaran kasiwaan

sangat perlu dipahami. Dalam lontar ini disebutkan bahwa kalepasan dapat

dicapai dengan meninggalkan sumber kepapaan dalam bathin. Dalam penelitian


15

ini juga dijelaskan ada tiga jalan untuk mencapai kalepasan, yaitu 1) Wahya yaitu

moksa yang dicapai dengan jalan sabda, mantra, veda, 2) Dyatmika yaitu moksa

yang dicapai dengan jalan mendalami ajaran ketuhanan, pancakrama, tulak

kamoksan, wiwata, tidak ada yang perlu dikerjakan, 3) Kamoksan Apinem yaitu

moksa yang dicapai dengan jalan graha, setelah matang dengan kehidupan

kegrahaan, maka kokohlah Atma manunggal dengan Brahman.

Perbedaan penelitian ini terletak pada lontar yang dikaji. Jika dalam

penelitian Mastika mengkaji Lontar Tutur Kumaratatwa, sedangkan penelitian

yang akan dilakukan ini mengkaji Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra. Namun

walaupun memiliki perbedaan penelitian Mastika dapat dijadikan sebagai

pedoman dan penambah wawasan peneliti, dalam pengkajian teks, sehingga

mampu mengungkap ajaran Kalepasan menurut Lontar Tutur Brahmokta

Widhisastra.

2.2 Konsep

Konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa.

Hal ini disebabkan konsep mampu menggambarkan sejumlah variable terhadap

topik yang diteliti. Konsep juga digunakan untuk menyebarkan hasil-hasil

penelitian sebelumnya dan dibandingkan dengan penelitian yang akan

dilaksanakan guna menjawab permasalahan yang akan diteliti. Menurut Margono

(2004:19) menyatakan suatu konsep adalah untuk menyederhanakan pemikiran

dengan jalan memasukan sejumlah kejadian dalam suatu norma yang umum.

Konsep juga sangat diperlukan dalam kehidupan manusia untuk proses

mengetahui sesuatu hal tertentu. Jika tidak ada konsep manusia tidak akan dapat
16

mengenali dan memahami sesuatu, serta tidak mungkin adanya pemahaman dan

penegasan tentang apa yang dialami manusia. Jika tidak adanya hal seperti itu

maka pengetahuan juga tidak akan ada.

2.2.1 Kalepasan

Kalepasan berasal dari Jawa Kuna, yang berasal dari kata lepas yang

mendapat awalan ka- dan akhiran –an. Kata lepas yang berarti bebas, terlempar,

terbang, berangkat, bergerak, pergi, mendahului. Kalepasan adalah kebebasan

dari ikatan duniawi dan kelahiran kembali.

Sedangkan menurut Ronggowarsito dalam Poniman (2008: 33) kata

Kalepasan mengandung arti kamuksan, kabucalan. Konsep kalepasan pada

penelitian ini adalah kombinasi kata-kata yang bukan pernyataan, yang

merupakan suatu abstraksi dari hasil pengindraan sehingga tersusun suatu langkah

atau tahapan guna mencapai suatu jalan untuk melepaskan atma dari raga,

sehingga tercapai suatu keadaan yang dimana tidak ada lagi keinginan. Kalepasan

yang dimagsudkann disini tidak lain adalah Moksa, dimana bersatunya Sang

Atman dengan Brahman dan tidak ada lagi ikatan keduniawian.

2.2.2 Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Lontar: 1. pohon palem

yang daunnya dapat ditulisi; Borassus Flabellifer; 2. daun pohon lontar yang

digunakan orang untuk menulis cerita dsb; 3. naskah kuno yang tertulis pada daun

lontar (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2001: 45). Sedangkan dalam

Kamus Jawa Kuno-Indonesia, lontar adalah daun palem yang disiapkan untuk

ditulis (Zoetmulder, 1995: 608). Kamus Bahasa Bali, lontar berasal dari kata ”rol-
17

tal artinya don-ental” (Simpen, 1985: 140). Sedangkan dalam Kalangwan, kata

lontar mengalami metathesis, adalah rontal, yaitu ron ”daun”, tal ”pohon”.

Dengan demikian istilah lontar berarti daun tal (palma), tetapi kata Jawa Kuno

tersebut tidak dipakai lagi (mungkin berasal dari bahasa Sansekerta ”tala”).

Jaman dahulu di Indonesia khususnya di Bali belum ada kertas, maka

daun rontal inilah yang digunakan sebagai alat tulis-menulis. Umumnya rontal

biasanya digunakan dalam menulis kekawin, parwa, tutur, kidung, geguritan dan

sebagainya. Alat yang digunakan untuk menulis di atas rontar disebut pengutik

atau pengrupak, yang dibuat dari besi baja, pada bagiannya yang runcing harus

berbentuk segitiga agar dapat membuat tebal tipisnya tulisan (goresan).

Pengrupak lebarnya kurang lebih 1,5 cm dan panjangnya sampai 15 cm.

Sehubungan dengan beberapa pengertian di atas, maka dapat

disimpulkan lontar adalah naskah kuno dari daun lontar yang bertuliskan huruf

Bali yang memuat ajaran agama.

Kamus Jawa Kuno-Indonesia menyebutkan bahwa kata Tutur itu adalah:

(daya) ingatan, kesadaran, lubuk jiwa makhluk yang paling dalam ”budi yang

dalam” (tempat persatuan dengan Yang Mutlak), tradisi suci, smrti (sebagai lawan

śruti), teks berisi doktrin religi, doktrin religi (Zoetmulder, 1995: 1307).

Sedangkan menurut Wojowasito (1977: 280), Tutur adalah pikiran, ingatan,

nasehat, tuntunan, adat.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan 

Tutur adalah pelajaran dogmatis yang diteruskan kepada murid atau seseorang
18

yang memenuhi syarat. Bila dipandang demikian maka sastra yang dinamakan

tutur perlu dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tutur tersebut di Bali dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu

sekala dan niskala. Tutur yang bersifat sekala yaitu menyangkut petuah dan

nasehat yang wajar dilaksanakan, agar manusia mendapatkan kesuksesan dalam

menjalani kehidupan. Sedangkan Tutur yang bersifat niskala adalah nasehat yang

menyangkut hal-hal yang tidak nyata, seperti: ketaatan dalam bersembahyang,

tentang penolak gaib dan lain sebagainya.

Brahmokta Widhisastra adalah sebuah lontar yang cukup tua. Uraian di

dalam lontar ini ditulis dalam bentuk sloka dengan menggunakan bahasa

Sansekerta, sedangkan penjelasannya menggunakan bahasa Jawa Kuna. Lontar ini

menguraikan ajaran Kalepasan yang bersifat Siwaistik, diantaranya menjelaskan

tentang hakekat Sanghyang Pranawa (Om). 

Semesta alam dan badan (manusia) adalah perwujudannya yang

sekaligus pula sebagai jiwanya. Ia adalah obyek tertinggi kalepasan. Menjelaskan

manfaat pranayama. Pranayama yang benar akan dapat membakar habis semua

pennyakit, termasuk pula papa, dosa-dosa, triguna, dasendriya, sadripu, sehingga

orang terbebas dari penyakit. Orang yang bebas dari penyakit akan panjang umur.

Selain itu, lontar ini juga menjelaskan tentang Catur Dasaksara (empat belas

aksara).

Keempat belas aksara itu memiliki kadar kesucian yang sama dan pahala

sorga dan kamoksan yang sama pula, karena keempat belas aksara itu adalah

merupakan badan Tuhan atau perwujudan Siwa yang disebut Catur Dasa Siwa
19

(empat belas Siwa), yang merupakan obyek kalepasan dalam arti untuk mencapai

kalepasan, maka keempat belas tempat Siwa itu bisa dituju sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki. 

2.2.3 Kajian Teologi Hindu

Kata kajian berasal dari kata kaji, kemudian mendapat akhoran an menjadi

kajian. Kaji mengandung arti sidik (dengan pikiran), misalnya mengkaji dalam

arti belajar, mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan,

mempertimbangkan, mengkaji, menganalisis, dan menelaah (Tim Penyusun,

1991: 378). Kajian dalam penelitian ini adalah teologi sehingga segalanya akan

didasari atas pemahaman teologi yang kebenarannya tidak bisa dibantahkan tetapi

perlu adanya suatu keyakinan atau iman khusus dan seterusnya akan digunakan

sebagai tuntunan hidup bagi penganutnya (Poniman, 2008: 38).

Kata Teologi berasal dari Theos yang artinya ‘Tuhan’ dan Logos yang

artinya ‘Ilmu’ atau ‘Pengetahuan’. Jadi Teologi berarti pengetahuan tentang

Tuhan. Ada banyak batasan atau defenisi teologi sebagaimana uraian berikut:

Teologi secara harfiah berarti teori atau studi tentang Tuhan. Dalam praktik istilah

dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan tertentu atau

pemikiran individu (Maulana, Dkk., 2003: 500).

Teologi Hindu dalam penelitian ini jiga disebut Brahmawidya yang

didalamnya sudah mencakup semua pengertian Teologi yang sangat luas dan

dalam. Dalam susastra Hindu berbagai atribut penggambaran Tuhan Yang Maha

Esa yang berpribadi (Personal God) dan Tuhan Yang Maha Esa (Impersonal

God). Untuk kepentingan bhakti Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi menjadi
20

objek pemujaan umat hindu pada umumnya. Berdasarkan hal tersebut tradisi

mengkaji teologi telah menjadi tradisi Agama Hindu. Paradigma Intelek berbasis

spiritual seperti disampaikan oleh Ouspensky dalam bukunya yang dicetak

kembali (Titib, 2005: 386) bukanlah hal yang baru. Theologi Hindu adalah ajaran

ketuhanan yang berdasarkan kitab suci Veda sebagai kitab suci Agama Hindu.

Veda sebagai pengetahuan yang mengandung segala macam ilmu pengetahuan,

maka hal tersebut mengandung makna juga bahwa Veda bukanlah hanya buat

umat Agama Hindu saja, Veda adalah untuk seluruh umat manusia. Siapapun

dapat membuktikan kebenaran Veda dan tidak harus dibuktikan orang-orang

Hindu.

2.3 Teori

Teori merupakan pedoman yang dijadikan alat atau landasan untuk

menjawab permasalahan yang akan digunakan, sehingga jawaban yang dihasilkan

merupakan jawaban yang bersifat teoritis dan sistematis. Oleh karena itu landasan

teori harus dipahami dalam suatu penulisan karya ilmiah. Teori-teori tersebut

tidaklah selamanya dapat dipertahankan disebabkan adanya gejala-gejala baru

sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Teori adalah seperangkat proposisi yang terintergrasi secara sinteksis

(mengikuti aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara dasar yang dapat

diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan

fenomena yang diamati (Moleong, 2006: 34-35).


21

Pemakaian teori dalam penelitian ini digunakan sebagai dasar untuk

berpijak bagi seorang peneliti dalam mengadakan pembahasan terhadap masalah-

masalah yang akan diteliti. Dasar-dasar teori yang digunakan tentunya ada

kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti. Hal ini dimaksudkan agar

dalam penelitian mendapatkan hasil analisis yang dapat dipertanggung jawabkan.

Adapun teori yang digunakan dalam penelitian yang akan dilakukan yaitu sebagai

berikut :

2.3.1 Teori Religi

Religi merupakan salah satu bagian dari budaya atau dapat juga

dikatakan religi tersebut adalah salah satu unsur budaya. Kebudayaan terdiri dari 7

unsur pokok yakni; sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi

kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian

hidup dan sistem teknologi atau peralatan (Koentjaraningrat, 1997: 1-2).

Religi adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat

tradisional. Religi merupakan segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai

suatu maksud dengan cara menyadarkan diri pada kemauan dan kekuasaan

mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa yang menempati alam

(Mangkudilaga, 1997: 274).

Teori religi menurut Tylor yang terpenting menyebutkan bahwa prilaku

manusia yang bersifat religi itu terjadi karena: (1) Manusia mulai sadar akan

adanya konsep roh, (2) Manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tak dapat

dijelaskan dengan akal, (3) Kegiatan manusia untuk menghadapi berbagai krisis

yang senantiasa dialami manusia dalam hidupnya, (4) Kejadian-kejadian luar


22

biasa yang dialami manusia dalam hidupnya, (5) Adanya getaran (yaitu emosi)

berupa rasa kesatuan yang timbul dalam jiwa manusia sebagai warga dari

masyarakat, (6) Manusia menerima suatu firman dari Tuhan (Koentjaraningrat,

2002 : 194-195).

Pendapat ini diajukan oleh R.R. Marret. Ia tidak sependapat dengan

Tylor. Menurutnya, kesadaran seperti itu terlalu kompleks bagi pikiran makhluk

manusia yang baru berada pada tingkat-tingkat awal dari kehidupannya. Ia juga

mengatakan bahwa pangkal dari segala perilaku keagamaan ditimbulkan oleh

perasaan tidak berdaya dalam menghadapi gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa

yang dianggap luar biasa dalam kehidupannya. Alam dianggap sebagai tempat

adanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan yang telah

dikenalnya dalam alam sekelilingnya, disebut the supernatural. Gejala-gejala, hal-

hal, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa itu dianggap sebagai akibat dari

kekuatan supernatural (atau kekuatan sakti).

Koentjaraningrat menyatakan bahwa religi dan upacara memang

merupakan suatu unsur dalam kehidupan manusia, keyakinan religi berhubungan

dengan konsep manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib, terjadinya

alam semesta dan doktrin religi yang mengatur tingkah laku manusia. Di dalam

religi selalu akan ditemukan hal-hal yang tidak masuk akal dan selalu dijumpai

hal-hal diluar nalar dan kemampuan manusia. Hal-hal yang menakjubkan itulah

yang membuat manusia jadi terpesona dan timbul rasa ingin mengetahui apa yang

sebenarnya terjadi. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa :

1. Emosi keagamaan adalah sikap-sikap yang percaya kepada hal-hal yang


gaib dan keramat.
23

2. Sistem keyakinan adalah gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan


konsepsi manusia tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek
moyang, dewa-dewa dan tentang alam gaib dan sistem nilai dan norma
agama.
3. Sistem ritus dan upacara yang berwujud aktivitas dan tindakan manusia
dalm melaksanakan kebaktian terhadap alam gaib (Tuhan, dewa-dewa dan
mahluk halus lainnya).
4. Masyarakat umat beragama adalah pemeluk suatu religi atau suatu kesatuan
sosial yang menganut sistem keyakinan dan melaksanakan sistem ritus dan
upacara tersebut.

Teori ini akan digunakan untuk mebedah dan mengkaji permasalahan

yang terkait dengan konsep ketuhanan dalam Lontar Tutur Brahmokta

Widhisastra, sehingga dapat membantu peneliti dengan mengkaji permasalahan

struktur Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra.

2.3.2 Teori Struktural

Teori struktural merupakan langkah pertama, karena pendekatan struktur

merupakan tugas prioritas sebagai suatu yang dikerjakan terlebih dahulu. Prinsip

struktural dijadikan sebagai pedoman, karena analisis struktur bertujuan

membokar dan merupakan secara cermat, teliti, dan mendalam sampai kepada

aspek karya sastra dengan harapan secara bersama menghasilkan makna secara

menyeluruh.

Teeuw (1982) merumuskan strukturalisme adalah sebuah karya,

merupakan keseluruhan, kesatuan makna yang bulat, mempunyai koherensi

intrinsik: dalam keseluruhan itu setiap bagian dan unsur memainkan peranan yang

hakiki, sebaliknya unsur dan bagian mendapat makna seluruhnya dari makna

keseluruhan teks lingkaran hermeneutika.

Teori ini akan digunakan untuk mebedah dan mengkaji permasalahan

yang terkait dalam teks Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra, sehingga dapat
24

membantu peneliti dengan mengkaji permasalahan dalam teks Lontar Tutur

Brahmokta Widhisastra.

2.3.3 Teori Teologi Pembebasan

Bagi para teolog pembebasan, istilah “pembebasan” adalah istilah yang

kaya dan komplek. Agak dengan susah payah kita mencari pengertian yang

melulu pembebasan. Bertentangan dengan tuduhan para kritikus teologi

pembebsan memberikan arti yang utuh dan integral terhadap istilah

“pembebasan”. Arti yang utuh dan integral bagi istilah “pembebasan” diberikan

oleh Gutierreaz (1973), Ronaldo Munoz (1974), dan Leonardo Boff (1974)

memberikan definisi yang agak kurus terhadap istilah “pembebasan”. Dalam

matrik “pembebasan” ada tiga macam pembebasan yang berkaitan satu sama lain,

yaitu :

1) Pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik


(Gutierrez), atau alienasi kultural (Galilea), atau kemiskinan dan ketidak
adilan (Munoz).
2) Pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi
terciptanya manusia baru dan digairahkan solidaritas antar manusia
(Gutierrez), atau lingkungan setan kekerasan yang menantang orang untuk
berperan serta dalam kematian kristus (Galilea), atau praktik-praktik yang
menentang usaha pemanusian manusia sebagai tindakan pembebasan
Tuhan (Munoz).
3) Pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam
persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia (Gutierrez), atau
pembebasan spiritual menuju pemenuhan Kerajaan Allah (Munoz), atau
pembebasan mental yakni penerjemahan dan pengingkarnasian iman dan
cinta dalam sejarah yang kongkret yang ditandai oleh salib Kristus sebagai
salib cinta yang mengalahkan kuasa dosa yang terjelma dalam situasi
kekerasan (Galilea).

Berdasarkan ketiga penjelasan di atas dalam penelitian ini peneliti akan

menggunakan teori yang ke tiga, Pembebasan dari dosa yang memungkinkan

manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia (Gutierrez),
25

atau pembebasan spiritual menuju pemenuhan Kerajaan Allah (Munoz), atau

pembebasan mental yakni penerjemahan dan pengingkarnasian iman dan cinta

dalam sejarah yang kongkret yang ditandai oleh salib Kristus sebagai salib cinta

yang mengalahkan kuasa dosa yang terjelma dalam situasi kekerasan (Galilea).

Ajaran Hindu juga mengenal pembebasan diri dari dosa dengan kelahiran

yang berulangkali untuk mencapai kelepasan (moksa) yaitu menyatunya atman

dengan Tuhan (Brahman). Maka dari itu dalam teori ini akan digunakan untuk

mengkaji rumusan masalah dari penelitian ini yang mengenai ajaran Kalepasan

dalam Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra.

Rumusan Boff, (1974) mengenai pembebasan adalah sebagai berikut:

“pembebasan adalah sebuah proses menuju kemerdekaan. Proses pembebasan ini

dapat dibagi ke dalam bentuk pembebasan dari segala sistem yang menindas, dan

ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia, yang

memungkinkan manusia untuk menentukan bagi dirinya sendiri tujuan hidup

politis, ekonomi, dan kulturalnya.

Berdasarkan pernyataan tersbut jika dikaitkan dalam Hindu, maka dalam

artian pembebasan tersebut adalah sebuah kemerdekaan yang dalam artian bebas

dari segala hal yakni terlepas dari beban kehidupan dan tidak lagi terikat oleh

keduniwian yang dimana di dalam Hindu disebutkan Moksa. Moksa artinya

pencapaian dalam kehidupan yang tidak terikat lagi oleh duniawi yaitu

kebahagian lahir dan bhatin dan menyatunya atman dengan Tuhan. Maka dari itu

teori ini sangat cocok untuk membedah masalah dalam penelitian ini tentang

kalepasan.
26

2.4 Model Penelitian

Suatu penelitian dipandang perlu dibuat suatu model penelitian yakni

sebagai gambaran umum untuk menjawab pokok permasalahan tersebut di atas.

Adapun model penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut :

AGAMA HINDU

VEDA

SUSASTRA HINDU

TUTUR BRAHMOKTA
WIDHISASTRA

KONSEP PROSES AJARAN


KETUHANAN KALEPASAN KALEPASAN

MOKSARTHAM
JAGADHITAYA CA ITI
DHARMA
Gambar 2.1
Model Penelitian
27

Keterangan :

Veda merupakan kitab suci agama Hindu yang sekaligus menjadi sumber

pokok ajaran agama Hindu. Veda sebagai sastra suci utama bagi umat Hindu,

merupakan bagian dari Sruti, karena didasarkan pada penerimaannya melalui

wahyu langsung dari Brahman melalui para Maharsi dan ajarannya disebarkan

melalui tradisi lisan turun-temurun (pada masa turunnya Veda, manusia belum

menemukan tulisan). Sedangkan yang termasuk dalam kategori Smrti adalah

Dharmasastra (kitab hukum), Itihasa (sejarah), Sutra, Agama, Darshana (filsafat).

Mahakarya Mahabharata dan Ramayana termasuk dalam bagian dari Smrti,

dikarenakan kedua epos tersebut masuk dalam kategori Itihasa.

Selain itu, kita mengenal kitab-kitab tantri, yang memuat aneka cerita

yang sarat pesan moral. Karya-karya tersebut kini dapat kita jumpai dalam bentuk

buku, baik dalam aksara Bali maupun aksara Latin. Kakawin, kidung, serta pupuh

yang kita kenal dewasa ini sangat berperan penting tatkala melaksanakan upacara

agama. Dalam kegiatan ritual agama Hindu di Bali, dikenal adanya pancaswara,

yang salah satunya adalah suara kidung atau lagu-lagu rohani. Lagu-lagu rohani

berfungsi untuk megonsentrasikan pikiran agar terpusat pada obyek sembahyang.

Jenis-jenis kakawin dan kidung yang banyak jumlahnya dikelompokkan menurut

penggunaannya dalam ritual-ritual agama.

Sejak dahulu di Bali sudah banyak ada karya sastra Agama yang dijiwai

dari Agama Hindu. Sastra Hindu kebanyakan ditulis dalam bahasa Sanskerta.

Kata “sastra”, berakar dari kata Shastra yang merujuk pada ilmu pengetahuan

secara umum yang tidak lekang oleh waktu. Sastra Hindu dibagi atas dua bagian
28

besar yaitu Śruti — yang di dengar (wahyu) dan Smrti — yang di ingat (tradisi,

bukan wahyu). Beberapa sastra yang ada salah satunya adalah Siwatattwa.

Siwatattwa terdiri dari beberapa lontar seperti Bhuana Kosa, Ganapati Tattwa,

Sang Hyang Mahajnana, Tattwa Jnana, Jnana Shidhanta, wrhaspati tattwa, Tutur

Medang Kemulan, Tutur Brahmokta Widhisastra, Tutur Bhuwana Mereka.

Adanya beberapa lontar di atas tersebut dalam penelitian ini, diambil salah

satu lontar yaitu Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra, yang kemudian akan

diteliti dari tiga sudut, yaitu Konsep Ketuhana, Proses Kalepasan, dan Ajaran

kelepasan dalam teks Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra. Sehingga dengan

pengkajian tersebut harapan yang dicapai penelitian ini mampu memberikan

pemahaman tentang ajaran kelepasan dalam Lontar Tutur Brahmokta Widhisastra

yaitu Mhoksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharma.

Anda mungkin juga menyukai