Haeran
Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syari’ah Al-Mujaddid Tanjung Jabung Timur
Email: Haeran.linguistik@gmail.com
Abstract
Each society or territory has culture and its characteristics. One of them is Bugisness
society in the region of East Tanjung Jabung whose maccérak pãrek tradition, a
tradition which combines tradition and religion. Data were collected by interviewing,
document study, and direct observation, then analyzed by using descriptive qualitative
method. The result of the study found that the Bugisness society in East Tanjung Jabung
as outsiders, always keep their anchestors’ tradition that was inherited from generation
to generation, which is implemented into maccérak pãrek tradition, a tradition as
manifestation of thanksgiving to God and respecting to supranatural creatures who are
given power by God to keep a place or territory in social harmony. The implementation
of this tradition beginning with preparation phase, slaughtering phase and, ended by,
implementation phase. The impact of this tradition is expected to weave harmonious
relationship of society, government and environment. The values of harmonious
cooperation can also be found in the implementation of this local wisdom.. The
implementation of values of this tradition is not only to build harmony in Bugisness
society, but also between Bugisness and other etnic groups.
antar etnis, perkawinan antar etnis pun terbantahkan. Suku ini memiliki aksara
menjadi warna-warni yang turut tersendiri untuk bertutur dan pandai
memperkaya fakta tentang keberagaman berlagu dan berzanji. Orang Bugis juga
budaya Kabupaten Tanjung Jabung memiliki seni dan budaya tertentu yang
Timur. Sebagai wilayah yang heterogen mentradisi di tempat mereka tinggal, dan
dan multikultur, beberapa etnis yang menjadi pembuka terulung hutan
mendiami Tanjung Jabung Timur selain belantara dalam pertanian, perkebunan
Melayu adalah Bugis, Jawa, Banjar, atau perkampungan (Harun et all,
Batak, dan lain-lain. Perbedaan suku pada 2013:1).
masyarakat yang ada di Tanjung Jabung Salah satu tradisi yang masih dijalankan
Timur ini sudah menggambarkan oleh masyarakat suku Bugis di Tanjung
perbedaan kebudayaan di dalamnya, Jabung Timur adalah tradisi maccérak
memiliki tata cara kehidupan yang pãrek. Istilah maccérak pãrek hanya
berbeda-beda, dilihat dari segi bahasa, dilakukan oleh suku Bugis di Tanjung
sistem sosial masyarakat dan identitas Jabung Timur, meskipun tradisi
masyarakatnya. maccérak masih dilakukan oleh
Suku Bugis yang mendiami kabupaten masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan
Tanjung Jabung Timur merupakan tetapi berbeda dengan apa yang dilakukan
masyarakat pendatang dari daerah di Tanjung Jabung Timur meskipun
asalnya Sulawesi Selatan. Orang Bugis di secara prinsip juga memiliki kesamaan.
Tanjung Jabung Timur semuanya Beberapa penelitian terkait dengan tradisi
menganut agama Islam sebagai maccérak telah pernah dilakukan
keyakinan hidup. Orang Bugis di sebelumnya, seperti oleh Nur Rahma,
Tanjung Jabung Timur hidup Hajrah Yansa dan Hamsir (2018) dengan
berdampingan dengan damai, baik judul “Tinjauan Sosiokultural Makna
dengan penduduk asli maupun kelompok- Filosofi Tradisi Upacara Adat Maccérak
kelompok etnis pendatang lainnya. Selain Manurung sebagai Aset Budaya Bangsa
tetap mempertahankan tradisi leluhurnya, yang Perlu Dilestarikan (Desa Kaluppini
orang Bugis di Tanjung Jabung Timur Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan).
tetap menghargai tradisi dari etnis lainnya Maccérak Manurung adalah sebuah
sesuai dengan prinsip “di mana bumi tradisi pesta persembahan kepada To
dipijak di situ langit dijunjung.” Falsafah Manurung (raja atau pemimpin berabad-
ini masih dipegang teguh oleh orang abad yang lalu). Penelitian terkait dengan
Bugis. Maccérak juga dilakukan oleh Muh. Ardi
Kehidupan orang Bugis di Tanjung Akam Lawwarani dan Nur Alizah dengan
Jabung Timur lebih memilih pesisir judul “Maccérak Siwanua: Tradisi
pantai sebagai tempat aktivitas sehari-hari Menyucikan Kampung dan Pesta Rakyat
mereka dalam memudahkan di Desa Alitta, Kecamatan Mattiro Bulu
kehidupannya. Cara hidup suku ini Kabupaten Pinrang.” Tradisi Maccérak
memiliki budaya saling berhubungan Siwanua merupakan wujud rasa syukur
antar sesama, amalan hidup selalu dan penghormatan kepada Raja La
mengikut adat istiadat, pemali dan Massora dan We Bungko, figure yang
pantangan dan berasaskan persaudaraan. masih dikeramatkan oleh masyarakat
Tradisi mereka memegang prinsip siri, Alitta sampai sekarang. Penelitian
pesse dan adeq yang diwariskan turun- selanjutnya juga dilakukan oleh Yul
temurun sebagai prinsip hidup tidak Aprisa dan Patahuddin (2019) terkait
Jambat, Desa Sungai Sayang, Desa adat naik rumah baru, maccérak arajang
Labuhan Pering, dan lain-lain). atau upacara adat yang berhubungan
Kehidupan suku Bugis di Tanjung Jabung dengan daur kehidupan seperti mappano’
Timur memiliki tradisi persaudaraan yang lolo, mappenre tojang, maccérak wattang
tinggi untuk mereka jadikan sebagai to mangideng dan lain-lain.
wasilah berhubungan dan berkomunikasi Suku Bugis Tanjung Jabung Timur juga
antara satu sama lainnya. Suku Bugis di memiliki seni dan budaya tersendiri yang
Tanjung Jabung Timur memiliki seni dibawa langsung dari kampung asal
budaya yang diwarisi secara turun- nenek moyang mereka, dan tetap kekal
temurun dari generasi ke generasi. sehingga kini dan menjadi warisan turun
Walaupun hidup jauh di perantauan, temurun dari generasi ke generasi.
mereka tetap terus berusaha Sebagai suku pendatang, mereka juga
mengembangkan potensi diri dan daerah tidak meninggalkan tradisi kebiasaan
yang mereka tempati ke arah kebaikan nenek moyangnya. Tradisi maccérak
dan bermanfaat. Mereka memiliki etos memang banyak dijumpai di Sulawesi
kerja tinggi, memiliki keberanian Selatan seperti maccérak tasi’1, maccérak
tangguh, perantau pemberani, pekerja akorang2, maccérak tappareng3,
segala di bidang, pemimpin tegar, dan maccérak ase , maccérak bõla5 atau
4
7 (tujuh) parit, ada juga yang sampai 20 panen. Sedikit mengalami pergeseran,
parit. panen padi tidak lagi menjadi barometer
Tradisi maccérak pãrek yang hingga waktu pelaksanaan tradisi ini. Jelasnya,
kini masih dilestarikan oleh masyarakat tradisi ini tetap dilaksanakan sekali setiap
Bugis di Tanjung Jabung Timur tahunnya.
merupakan sebuah ritual yang dilakukan Tradisi maccérak pãrek bagi masyarakat
dengan tujuan memberikan persembahan Bugis bukan sesuatu yang mudah untuk
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus dihilangkan karena sudah mendarah
merupakan pesta rakyat, dalam rangka daging. Tradisi tersebut merupakan
penyucian kampung untuk menolak bala akulturasi adat dan ajaran Islam serta
ataupun membuang sial, dan juga sebagai agama sebelumnya. Sebagai penganut
ajang untuk mempererat hubungan agama Islam, masyarakat Bugis Tanjung
emosional antar masyarakat, menjalin Jabung Timur masih seringkali
silaturrahmi serta sarana berbagi dengan menampilkan pola hidup tradisional
sesama. berkenaan dengan upacara-upacara adat.
Maccérak pãrek, maccérak kampong atau Jauh sebelum datangnya Islam, nenek
sering juga disebut massalama’ kampong moyang Suku Bugis sudah menganut
merupakan tradisi tahunan masyarakat suatu kepercayaan terhadap kekuatan
Bugis di Tanjung Jabung Timur. Hampir gaib yang sifanya supranatural, yang
semua daerah yang dihuni oleh berada di luar dirinya. Mereka
masyarakat Bugis tidak pernah beranggapan bahwa di sekelilingnya
meninggalkan tradisi ini. Pelaksanaan berdiam makhluk halus yang sewaktu-
tradisi maccérak pãrek selain memiliki waktu dapat membahayakan
fungsi spiritual juga berfungsi sebagai kehidupannya, tetapi juga dapat
perwujudan rasa gembira, rasa syukur memberikan kesejahteraan. Hal ini dapat
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas tergantung pada hubungan mereka
anugerah berupa rezeki hasil bumi yang sebagai manusia dengan makhluk halus
melimpah dan dihindarkan pula dari yang diyakininya itu, sehingga mereka
malapetaka selama mencari rezeki, tetap menjaga keharmonisan dengannya,
sehingga tujuan dari tradisi ini adalah agar makhluk tersebut tidak
untuk mengabdikan diri kepada Allah membahayakan kehidupannya dan tetap
SWT. memberikan kesejahteraan hidup
Penyelengaraan tradisi maccérak pãrek baginya.
tersebut diwarnai oleh sikap, tindakan, Meskipun masyarakat Bugis sudah sejak
dan ucapan-ucapan simbolik yang lama memeluk agama Islam, namun
memiliki makna budaya. Makna-makna dalam kehidupan sehari-hari, sebagian
budaya yang diberikan terhadap simbol- dari mereka masih mempertahankan sisa-
simbol upacara itu sendiri mencerminkan sisa keyakinan pra-Islam. Keyakinan
adanya jaringan sistem nilai luhur yang lama itu masih nampak, yakni dengan
sejak lama telah tumbuh dan berkembang adanya pemeliharaan terhadap tempat-
di dalam masyarakat. tempat yang dianggap keramat.
Tradisi ini dilakukan biasanya setelah Masyarakat Bugis masih percaya
panen padi. Namun, setelah banyaknya terhadap makhluk-makhluk halus yang
alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan hidup di tempat-tempat yang
di Tanjung Jabung Timur menjadikan dikeramatkan termasuk rumah, sehingga
tradisi ini tidak lagi dilaksanakan pasca setiap ada acara hajatan selalu disediakan
Gambar 2 di atas merupakan kegiatan dikuliti maka pada prinsipnya selesai juga
pembersihan hewan sembelihan. tugasnya. Pada kegiatan pembersihan
Kegiatan pembersihan ini dilakukan oleh yang dilakukan oleh kaum perempuan,
kaum perempuan. Adapun kaum laki- kaum laki-laki biasanya hanya berjaga-
laki, setelah selesainya hewan sembelihan jaga dan mengontrol sekiranya ada yang
haji. Saat kembali dari haji dan Selain itu, doa-doa yang diucapkan juga
merayakan kesyukuran atas kepulangan berasal dari bacaan Al-Qur’an. Perubahan
dari tanah sucipun dilengkapi dengan ini juga terjadi pada tradisi maccérak
bacaan barzanji. pãrek pada masyarakat.
Seiring berjalannya waktu upacara- Sebelum pembacaan barazanji dimulai,
upacara atau tradisi-tradisi tersebut terlebih dahulu disiapkan hidangan yang
sedikit demi sedikit mulai terkikis dan diletakkan di depan imam, yang dalam
hilang. Berdasarkan pandangan yang bahasa Bugis disebut dengan nanre
tersebar luas di kalangan orang Bugis, barazanji (hidangan barazanji). Hidangan
perbedaan utama antara ritus Bugis tersebut diletakkan di depan imam yang
tradisional dengan ritus Islam adalah ritus akan memimpin pembacaan kitab
Bugis melakukan penyembahan melalui barazanji, bilal atau khatib atau salah
sajian sedangkan ritus Islam melalui seorang jamaah yang bisa atau biasa
shalat. Meskipun teknik pelaksanaannya memimpin pembacaan barzanji
berbeda, namun kedua praktik tersebut dipersilakan untuk memimpin pembacaan
dianggap dapat menghasilkan sesuatu tersebut. Kemudian pembacaan barazanji
yang sama (Pelras, 2005:220). Menurut dibaca secara bergiliran oleh warga yang
Pelras (2005:219), wujud atau praktik hadir. Setelah pembacaan selesai baru
ritual tradisional suku Bugis setelah dilanjutkan dengan do’a penutup yang
datangnya Islam merupakan praktik dipimpin kembali oleh sang imam.
sinkretisme, ritual yang telah bercampur Setelah pembacaan do’a penutup
dengan unsur-unsur Islam dan pra-Islam. kemudian dilanjutkan dengan menyajikan
Karena orang Bugis dalam hal beragama hidangan dengan menggunakan talam
mereka senangtiasa menjalankan dengan (baki) untuk disantap oleh seluruh warga
cara tidak melupakan tradisi-tradisi yang yang hadir, dimulai oleh laki-laki
ditinggalkan oleh leluhurnya. Mereka kemudian dilanjutkan oleh perempuan.
beragama dengan sikap tanpa Setelah pembacaan barzanji selesai pada
mementingkan ilmu agamanya atau siang harinya, pada sore hari di beberapa
ushuluddin, begitu juga dengan ajaran tempat dilakukan acara mengalirkan
yang didapatkan dari nenek moyangnya, makanan ke sungai yang dikenal dengan
mereka terkadang melenceng dari ajaran nama massõrong. Makanan yang
para leluhur mereka; mereka tidak lagi dialirkan tersebut terdiri dari sokko
mengikuti keyakinan para bissu ataupun (ketan) dengan berbagai warna serta
tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran beberapa bahan lainnya seperti telur
para ulama, melainkan melakukan ayam, kelapa, serta pisang. Setelah
dengan cara mencampuradukkan dengan selesai, warga yang hadir kemudian
budaya. makan bersama. Sesi ini mengakhiri
Keberadaan Islam di tengah-tengah rangkaian acara tradisi maccérak pãrek.
masyarakat Bugis khususnya di Hampir semua wilayah yang dihuni oleh
Kabupaten Tanjung Jabung Timur ikut masyarakat Bugis sudah menghilangkan
memberikan wajah baru bagi keberadaan tradisi massõrong seiring dengan
tradisi maccérak pãrek yang awalnya pengetahuan kareka tentang ajaran Islam
sebagai bentuk persembahan kepada roh yang melarang melakukan massõrong
halus yang mendiami daerah ini, akan karena merupakan bentuk kemusyrikan.
tetapi setelah Islam mengakar di tengah- Seiring berjalannya waktu, prosesi
tengah masyarakat, pelaksanaan tradisi pelaksanaan tradisi maccérak pãre
adalah bentuk ucapan rasa syukur atas mengalami perubahan cukup signifikan,
rezeki yang diberikan oleh Allah SWT. baik itu dalam tatacara, aturan dan
Daftar Pustaka
Lawwarani, Muh. Ardi Akam dan Nur Jakarta: Nalar Bekerjasama dengan
Alizah. 2018. “Maccérak Siwanua: Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Tradisi Rahma, Nur, Hajrah Yansa dan Hamsir.
Menyucikan Kampung dan Pesta 2018. “Tinjauan Sosiokultural Makna
Rakyat di Desa Alitta, Kecamatan Filosofi
Mattiro Bulu Tradisi Upacara Adat maccérak
Kabupaten Pinrang..” Jurnal Manurung Sebagai Aset Budaya Bangsa
Walasuji. Volume 9 No. 1 Juni. yang
Pelras, Cristian. 2005. The Bugis, Terj. Perlu Dilestarikan (Desa Kaluppini
Abd. Rahman Abu, Manusia Bugis. Cet. Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan)”.
II. Jurnal PENA. Volume 3 Nomor 1.
Rasyid, Darwas.1998. Sejarah Islam di Daerah Soppeng. Ujungpandang: Balai Kajian
Jarahnitra.
Rusli, Muhammad. 2012. Kearifan Lokal Towani Tolotang. Cet. I. Gorontalo: Sultan
Amai Press.
Santoso, Ananda. Tanpa Tahun. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit
Pustaka Dua.
Wekke, Ismail Suardi. 2013. “Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama
Dalam Masyarakat Bugis.” Analisis. Volume XIII, Nomor 1, Juni.