Anda di halaman 1dari 15

E-ISSN: 3025-6399

Volume 1 Number 1, October 2023, 33-41

Makna Simbolik Rumah Tongkonan


1
Alda Pranastuti, 2Marsella Rahayu, 3Muh Farhan Akhir Ramadhan
Department of Geography, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Makassar State of University, Indonesia
ARTICLE INFO ABSTRAK

Article History Penelitian ini membahas studi kasus pemaknaan simbolik rumah adat
Received : Tongkonan masyarakat Toraja di kawasan Ke’te Kesu. Tongkonan sebagai rumah
Accepted : adat Toraja memiliki makna filosofis yang mendalam bukan sebatas rumah tinggal
Published: semata. Secara umum dibahas tiga pokok pembahasan utama yaitu syarat dan posisi
pembuatan rumah tongkonan, simbol atau lambang pada bagian rumah tongkonan
beserta maknanya, serta makna dari corak dan warna rumah tongkonan. Beberapa
Corresponding author: simbol dan lambang yang dimaknai antara lain pahatan dua ekor ayam jantan yang
Email: melambangkan kejantanan dan kewaspadaan, kepala kerbau sebagai simbol
DOI: penghormatan dan kemakmuran, serta warna-warna seperti merah, putih, hitam, dan
kuning yang masing-masing memiliki makna tersendiri bagi orang Toraja. Dengan
Copyright © 2023 The Authors demikian dapat disimpulkan bahwa setiap elemen pada rumah tongkonan bukan
sekadar ornamen semata, melainkan memiliki filosofi yang mendalam dan
mencerminkan pandangan hidup serta nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat Toraja. Dalam penelitian ini, kami mengadopsi metode observasi,
dokumentasi, dan tinjauan pustaka dengan fokus khusus pada tongkonan yang terletak
This is an open access article di wilayah Ke’te kesu. Melalui riset ini, beberapa topik menarik muncul, seperti syarat
under the CC BY-SA license pembuatan rumah tongkonan, teknik pewarnaan yang digunakan, serta filosofi dan
makna yang terkandung dalam rumah tongkonan. Kami berusaha menyelami keunikan
dan kedalaman budaya Toraja melalui pendekatan ini, dengan harapan dapat
memberikan kontribusi positif dalam pemahaman dan pelestarian warisan budaya
yang begitu berharga. Dengan mengungkapkan keindahan dan kearifan lokal
masyarakat Toraja, kami bertujuan untuk memperkaya wawasan masyarakat luas
tentang keanekaragaman budaya Indonesia.

Kata Kunci: Rumah Tongkonan, Syarat, Ke’te Kesu, Simbol dan Lambang,
Makna Filosofis, Nilai-Nilai Budaya, Masyarakat Toraja

ABTRACT

This research discusses a case study of the symbolic meanings of the Tongkonan
traditional house of the Toraja people in Ke'te Kesu area. As the traditional house of
Toraja, Tongkonan has profound philosophical significance beyond merely a
dwelling. In general, three main topics are discussed including the requirements and
position of building a Tongkonan house, the symbols or ornaments on the house along
with their meanings, and the meaning of the motifs and colors of the house. Some of
the interpreted symbols and ornaments include carvings of two roosters symbolizing
masculinity and vigilance, buffalo heads representing respect and prosperity, and
colors like red, white, black and yellow which each has its own meaning for Toraja
people. Thus, it can be concluded that every element of the Tongkonan house is not
merely ornamental, but has a deep philosophy and reflects the life views and values
upheld by Toraja society. In this study, we adopted methods of observation,
documentation, and literature review with special focus on the Tongkonan located in
the Ke'te Kesu area. Through this research, several interesting topics emerged, such as
requirements for building a Tongkonan house, coloring techniques used, as well as the
philosophies and meanings contained in the house. We try to explore the uniqueness
and depth of Toraja culture through this approach, with the hope to make a positive
contribution to understanding and preserving such valuable cultural heritage. By
revealing the beauty and local wisdom of the Toraja people, we aim to enrich the
insights of the wider society about the diversity of Indonesian culture.

Keywords: Tongkonan House, Requirements, Ke'te Kesu, Symbols and


Ornaments, Philosophical Meanings, Cultural Values, Toraja People

33
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

1. PENDAHULUAN
Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya, menyajikan beragam bahasa,
kepercayaan, suku, adat, dan budaya. Keanekaragaman ini memberikan ciri khas yang unik dalam
pembentukan identitas bangsa. Sifat inklusif masyarakat Indonesia dalam merangkai budayanya
menciptakan warisan yang menarik untuk diselidiki dan dipahami, tak terkecuali kekayaan kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat Toraja.

Dari Sabang hingga Merauke, Indonesia menawarkan beragam desain rumah tradisional. Salah satu
ekspresi budaya terbesar suatu suku atau masyarakat adalah rumah tradisionalnya. Ada banyak jenis rumah
adat di Indonesia yang masing-masing memiliki bentuk dan arsitektur unik berdasarkan adat istiadat dan
sejarah setempat. Bangunan-bangunan ini merupakan penanda penting perkembangan sosial dan signifikansi
sejarah dalam suatu peradaban. Rumah adat Tongkonan merupakan salah satu rumah adat yang ada di
wilayah Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan. Rumah adat Tongkonan yang diberi nama dari istilah
“tongkon” yang berarti “tempat duduk” kemudian mendapat akhiran “an” sehingga membentuk
“Tongkonan” yang berarti tempat duduk merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Rumah adat ini
berbentuk membungkuk seperti perahu menghadap ke bawah dan mempunyai tujuan sosial budaya yang
bertingkat (Rahman, 2020)

Dalam perjalanan eksplorasi budaya Indonesia, daya tarik khusus tertuju pada rumah tradisional
Toraja, yang dikenal sebagai tongkonan. Suku Toraja, sebagai salah satu etnis budaya di Indonesia,
menghidupkan kearifan lokal mereka dengan mempertahankan keunikan kebudayaan yang telah diwariskan
dari generasi ke generasi. Rumah adat tongkonan menjadi manifestasi visual yang memukau, melalui
arsitektur yang memesona dan hiasan yang kaya akan makna. Minat kami dalam memahami kebudayaan
masyarakat Toraja melalui kajian arsitektur bangunan ini tidak lain bertujuan untuk meresapi nilai-nilai
simbolik dan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam setiap elemen arsitekturalnya, rumah tongkonan
membawa cerita panjang dan mendalam tentang sejarah, kepercayaan, serta kehidupan masyarakat Toraja.
Dari hal tersebut kami tertarik untuk mempelajari dan mengkaji mengenai arsitektur bagunan, simbol serata
makna rumah adat tongkonan bagi masyarakat toraja.

Suku toraja adalah salah satu etnis budaya di indonesia yang memili kebudayaan yang sangat unik dan
masih berlangsung dan terawat sampai dewasa ini. Tidak terkecuali rumah adat toraja yakni rumah
tongkonan yang memiliki arsitektur indah dengan hiasan yang mengagumkan. Dari hal tersebut kami tertarik
untuk mempelajari dan mengkaji mengenai arsitektur bagunan, simbol serata makna rumah adat tongkonan
bagi masyarakat toraja. Sebagai rumah adat masyarakat Toraja, Tongkonan berfungsi sebagai pusat
pengembangan sosial dan budaya masyarakat Toraja serta tempat tinggal dan kekuasaan adat mereka.
Keluarga atau marga suku Tana Toraja memiliki tongkonan secara kolektif dan mewariskannya secara turun
temurun; itu tidak dipegang oleh satu orang pun. (Pakan et al., 2018)

Rumah Tongkonan pada zaman modern sebagian besar ditinggalkan dan tidak digunakan sebagai
tempat tinggal. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar keluarga yang dulunya tinggal di
Tongkonan telah membangun rumah tinggal mereka sendiri. Rumah-rumah modern ini biasanya dibangun di
sebelah bangunan Tongkonan yang bersejarah. Masyarakat Toraja tidak lagi memberikan nilai tinggi pada
pembangunan atau pendirian rumah Tongkonan tradisional yang telah diwariskan selama berabad-abad
akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun demikian, mereka tetap memegang nilai budaya
dan simbolis dari Tongkonan. Meskipun tidak lagi tinggal di rumah Tongkonan, masyarakat Toraja tetap
menghormati dan memegang teguh keyakinan yang terkait dengan bangunan kuno ini. Signifikansi budaya
dan nilai-nilai Tongkonan tidak berkurang oleh keputusan untuk membangun tempat tinggal kontemporer di
dekatnya. Pola perumahan telah berkembang untuk mencerminkan adaptasi masyarakat terhadap kehidupan
modern sambil tetap mempertahankan hubungan kuat dengan masa lalu budaya mereka.(Langi & Aprellece,
2021)

Menurut beberapa peneliti, arsitektur tradisional Toraja dikategorikan menjadi lima tipe utama: hunian,
lumbung padi, rumah penjaga ladang, kandang ternak, dan area pemakaman. Masing-masing tipe terbagi lagi

34
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

ke dalam beberapa varian sesuai fungsi dan rancang bangunnya. Di era modern ini, model rumah tinggal
baru sudah banyak bermunculan mengikuti gaya universal seperti bangunan bertingkat dengan jendela lebar
serta atap seng. Lumbung modern juga sudah ada meski belum memiliki corak khas.

Dampak dari upacara kematian yang kian meriah dengan penyembelihan puluhan kerbau, tongkonan
tradisional mulai kekurangan ruang untuk menampung ternak. Itu sebabnya, kini didirikan kandang terpisah
khusus untuk kerbau, babi, dan ayam. Stratifikasi sosial masyarakat Toraja terbagi tiga lapisan: bangsawan
(parengnge), rakyat bebas (makaka), dan budak belian (kaunan). Gelar parengnge merujuk pada cara
perempuan memikul beban keranjang di punggung, melambangkan tanggung jawab berat yang dipikul kaum
elite ini. Pemandangan rumah tradisional tengah dibangun atau direnovasi bukanlah hal asing di Tanah
Toraja. Pembiayaan konstruksi seringkali berasal dari anggota keluarga merantau yang sukses di perkotaan.
(Indonesia Travel Guides, 1991).

Tongkonan memiliki lebih dari sekedar tempat berkumpulnya orang-orang untuk makan; itu juga dapat
berfungsi sebagai pusat budaya, tempat tinggal, dan tempat untuk menegakkan norma-norma keluarga.
Secara lebih luas, peran Tongkonan mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat Toraja. Aluk Todolo
adalah nama yang diberikan kepada mereka jika ada ritual yang berkaitan dengan sistem keagamaan mereka
sebelumnya. Masyarakat Toraja mempunyai sistem kepercayaan yang disebut Aluk Todolo. Hal ini diyakini
sebagai seperangkat peraturan agama yang diturunkan dari nenek moyang dari generasi ke generasi dan
berfungsi untuk mengontrol bagaimana seseorang atau sekelompok orang menghabiskan hidupnya. Ritual
Aluk Todolo dipisahkan menjadi dua bagian: Aluk Rambu Solo' berisi hal-hal yang menyangkut
belasungkawa, seperti upacara pemakaman yang dilakukan di rumah Tongkonan, dan Aluk Rambu Tuka'
mencakup hal-hal yang bersifat suka cita atau kegembiraan (Pakan et al., 2018)

Penelitian ini sangat penting karena memiliki signifikansi yang tinggi dalam rangka memahami secara
mendalam tentang makna simbolik di balik keberadaan rumah Tongkonan serta untuk menggali pengetahuan
mengenai berbagai jenis corak ukir beserta implikasi simbolis yang tergambar pada bangunan tradisional
Toraja. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai
warisan budaya masyarakat Toraja, khususnya dalam konteks Rumah Tongkonan. Tujuan utama dari
penelitian ini adalah untuk merinci dan memahami kekayaan budaya masyarakat Toraja yang tercermin
dalam struktur rumah tradisional mereka, yakni Rumah Tongkonan. Fokus utama penelitian ini adalah pada
makna simbolik yang melekat pada setiap aspek rumah Tongkonan, sehingga dapat memberikan wawasan
lebih mendalam tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan filosofi yang tercermin dalam arsitektur tradisional ini.

Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis corak ukir serta warna yang digunakan
pada Rumah Tongkonan. Melalui pemahaman ini, diharapkan dapat terbentuk gambaran yang lebih lengkap
tentang makna simbolik rumah tongkonan bagi masyarakat toraja. Secara keseluruhan, penelitian ini tidak
hanya mencari pemahaman lebih lanjut tentang Rumah Tongkonan sebagai bangunan fisik, tetapi juga
bertujuan untuk menjelajahi kekayaan budaya yang tersembunyi dalam setiap detail arsitektur dan seni ukir,
sehingga dapat mempertahankan, menghormati, dan menyebarkan kekayaan budaya Toraja kepada generasi
mendatang.

2. METODE PENELITIAN
Ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, meliputi : 1) Syarat pembuatan rumah tongkonan; 2)
Simbol Atau Lambang Apa Saja Yang Tergambar/Terukir Pada Rumah Tongkonan Dan Apa Makna Di
Balik Ukiran Tersebut; 3) Makna warna-warna pada rumah tongkonan. Penelitian ini menggunakan data
kualitatif sebagai jenis data primernya. Dalam penelitian ini, sumber data primer dan sekunder
dikonsultasikan. Data utama adalah informasi yang dikumpulkan langsung dari responden, atau masyarakat
adat wilayah Toraja, dengan menggunakan teknik purposive sampling untuk mengidentifikasi informan
penting sebagai sumber data utama. Sedangkan data sekunder berasal dari perpustakaan. Teknik
pengumpulan data meliputi dokumentasi, wawancara, dan observasi. Pokok-pokok penelitian diamati secara
langsung melalui observasi lapangan, dan data sekunder terkait yang mendukung penelitian yang dilakukan
diperoleh melalui studi dokumentasi (Tabbu, 2018). Model Miles dan Huberman yang terdiri dari
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi diterapkan dalam
proses analisis data. Wilayah Ke'te Kesu di Tana Toraja dipilih sebagai lokasi penelitian. Khususnya di

35
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

Rumah Tongkonan kawasan ini. Ukiran pada rumah tongkonan di kawasan Ke'tekesu terdapat berbagai
macam jenisnya, namun yang menjadi pembahasan di sini bukanlah ukirannya itu sendiri, melainkan makna
simbolis rumah tongkonan bagi masyarakat Toraja. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sanggalangi
Kabupaten Toraja Utara, dan peneliti menggunakan buku, pensil, dan smartphone untuk penelitiannya.

2.1 Penyusunan Transkip Wawancara


Penyusunan transkrip wawancara melibatkan proses mendokumentasikan percakapan atau dialog yang
terjadi selama wawancara.

2.2 Mengorganisasikan Data


Tahapan pengorganisasian data wawancara melibatkan beberapa langkah penting untuk memastikan
informasi yang diperoleh dapat diakses dan dianalisis dengan efektif.

2.3 Penyusunan Data


Penyusunan data melibatkan langkah-langkah seperti transkripsi, pengorganisasian, klasifikasi,
pengindeksan, pemetaan konsep, matriks analisis, pembuatan tabel, grafik, ringkasan data, dokumentasi
metode, verifikasi data, dan penggunaan Database Management System (DBMS) jika memungkinkan.
Tujuan utamanya adalah membuat data mudah diakses, terorganisir, dan mendukung analisis yang
efektif.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Di indonesia khususnya di provinsi sulawesi selatan terdapat sebuah daerah yang sangat terkenal yaitu
kabupaten toraja yang merupakan salah satu daerah tingkat II di Provinsi Sulawesi selatan. Yang dimana
derah toraja terbagi atas dua kabupeten yakni kabupaten Tanah Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Di
wilayah toraja sendiri memiliki kebudayaan yang sangat unik, tidak terkecuali pada rumah tempat tinggalnya
yang dikenal sebagai rumah tongkonan. Adapaun salah satu rumah tongkonan yang paling terkenal di toraja
adalah tongkonan yang berada di ke’tekesu.

Ke'te Kesu terletak di kecamatan Kesu', sebuah desa kuno Toraja dengan beberapa tongkonan, atau
tempat tinggal tradisional, masing-masing dengan lumbung padi berukir (Alang Sura'). Tongkonan Ke'te
Kesu' merupakan keturunan para pendahulu Puang Ri Kesu dan merupakan salah satu Tongkonan Layuk
kuno di Toraja. Di masa lalu, ini berfungsi sebagai sumber otoritas dan pemerintahan tradisional di daerah
tersebut.

Ke'te Kesu secara administratif terletak 4 km tenggara Rantepao. Ke'te Kesu terdiri dari persawahan
dan padang rumput yang mengelilingi rumah adat Tongkonan. Terletak di seberang lumbung padi kecil,
beberapa rumah bersejarah di desa ini konon berusia sekitar 300 tahun. Ke'te Kesu terdiri dari 12 lumbung
padi dan 6 Tongkonan serta lapangan upacara yang dihiasi 20 menhir. Sebuah museum yang menyimpan
berbagai macam artefak tradisional Toraja, termasuk tembikar, senjata tajam, kerajinan tangan, patung, kain
Tiongkok, dan bendera Merah Putih yang dikabarkan merupakan bendera pertama yang berkibar di Toraja
bertempat di salah satu Tongkonan. Selain itu, museum ini memiliki fasilitas pelatihan kerajinan bambu.

Sistem kepercayaan Aluk Todolo yang mengatur kehidupan sehari-hari menjadi landasan warisan
permukiman masyarakat Tana Toraja selama ratusan tahun yang diwariskan secara turun temurun. Kete
Kesu yang terletak di Kecamatan Sanggalangi tepatnya di Desa Tikunan Malenong merupakan salah satu
pemukiman wisata tradisional di kawasan tersebut. Dengan luas sekitar 30 km2 dan ketinggian 900 meter di
atas permukaan laut, Kota Rantepao di utara, Kota La’bo di timur, dan Kota Makale di selatan mengelilingi
Kete Kesu.

Di desa ini, pengunjung dapat menyaksikan gaya hidup tradisional masyarakat Toraja yang masih
terpelihara dengan baik. Mulai dari arsitektur Tongkonan, lumbung padi, hingga upacara adat seperti Rambu
Solo dan Rambu Tuka masih dipraktikkan oleh warga setempat. Kunjungan ke Kete Kesu bagaikan
perjalanan masuk ke dalam dimensi ruang dan waktu masa lalu, di mana modernitas belum banyak
menyentuh keaslian tradisi leluhur Tana Toraja.

36
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

Desa Ke'te Kesu merupakan pusat dari beberapa upacara adat Toraja, seperti Rambu Solo yang sangat
dinanti untuk pemakaman adat dan Rambu Tuka untuk pembukaan tempat tinggal adat baru, dan upacara
adat lainnya. Desa Ke'te Kesu diakui sebagai kawasan cagar budaya. Pada bulan Juni hingga Desember,
masyarakat setempat kerap melakukan sejumlah ritual dan kewajiban terkait situs tersebut. Berikut uraian
temuan penelitian tentang pentingnya simbolis rumah tongkonan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan
Ke'te kesu:

3.1 Syarat dan Posisi Pembuatan Rumah Tongkonan


a. Syarat Pembuatan Rumah Tongkonan
Kata Tongkonan berasal dalam bahasa Toraja "tongkon" yang berarti duduk. Tongkonan
memang merupakan tempat bagi para keluarga duduk, bertemu, dan bermusyawarah untuk
membahas masalah-masalah penting misalnya tentang upacara adat. Rumah adat Tongkonan adalah
rumah adat masyarakat Toraja yang memiliki ciri khas tersendiri, baik dari segi konstruksi maupun
makna simbolisnya.Proses pembangunan rumah Tongkonan diawali dengan langkah yang sangat
penting, yaitu mengadakan pertemuan keluarga besar. Pertemuan ini melibatkan para orang tua dan
anggota keluarga terdekat untuk membahas dan merencanakan pembangunan rumah Tongkonan. Di
tengah suasana yang penuh kebersamaan, mereka membahas segala aspek yang terkait dengan
proses pembangunan ini.Pertemuan tersebut menjadi pangkal tolak untuk mengidentifikasi
kebutuhan dan harapan dari setiap anggota keluarga. Keputusan bersama diambil untuk mencapai
kesepakatan mengenai desain, ukuran, dan lokasi rumah Tongkonan yang akan dibangun.
Selain itu, dalam pertemuan ini, dijelaskan oleh informan Pak Erwin, bahwa syarat penting
sebelum memulai pembangunan adalah telah dilaksanakannya rambu solo dan rambu tuka. Rambu
solo dan rambu tuka merupakan ritual adat Toraja yang melibatkan serangkaian upacara sebagai
bentuk persiapan spiritual sebelum memulai suatu proyek, termasuk pembangunan rumah
Tongkonan. Rambu solo dilaksanakan untuk membersihkan dan menenangkan roh-roh leluhur yang
mungkin terganggu selama proses konstruksi. Sementara rambu tuka berfungsi sebagai permohonan
restu dan perlindungan kepada roh leluhur agar pembangunan berjalan lancar dan mendapat berkah.
Dengan demikian, pertemuan keluarga besar dan pelaksanaan rambu solo serta rambu tuka bukan
hanya sekadar tahapan teknis, tetapi juga memiliki makna spiritual dan simbolis yang mendalam.
Proses ini mencerminkan kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat Toraja dalam merayakan
kebersamaan dan memperoleh restu roh leluhur sebelum memulai pembangunan rumah Tongkonan
yang menjadi simbol keberlanjutan tradisi dan warisan keluarga. Berikut penuturan pak erwin:

….”ada. jadi biasanya itu, mengadakan pertemuan dulu. Lain halnya kalo
mau di perbarui lain halnya kalo baru mau di bangun” …….”itukan
persyaratannya buat tongkonan itu, apabila sudah di adakan rambu solo
atau rambu tuka di lokasi tersebut. Lalu bisa dibangun tongkonan.” …
(Sumber: Wawancara, 5 November 2023, via Telepon)

Tongkonan, dengan desain rumah panggungnya, merupakan perwujudan arsitektur tradisional


yang unik dan memikat di tengah masyarakat Toraja. Terbagi menjadi tiga ruang utama, setiap
bagian memiliki peran dan makna tersendiri dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Pertama
adalah "kale banua," atau badan rumah, menjadi pusat kegiatan sehari-hari. Ruang ini menjadi saksi
bisu dari kebersamaan keluarga, tempat berkumpul, berinteraksi, dan merayakan momen penting
dalam kehidupan. Adat dan tradisi turun-temurun terjalin erat di dalam dinding-dinding Tongkonan,
menciptakan atmosfer yang sarat dengan nilai-nilai kultural."Ruang bawah" atau "sulluk banua"
memberikan dimensi tambahan pada kegunaan Tongkonan. Sebagai bagian yang lebih terbuka,
ruang ini menjadi tempat penyimpanan barang-barang berharga dan alat-alat tradisional. Dengan
pintu-pintu besar yang terbuka, sulluk banua juga menjadi saksi perjalanan waktu dan perubahan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Atap yang unik, membentuk tanduk kerbau atau
perahu, dibuat dengan menggunakan bambu sebagai bahan utama.
Selain menjadi ciri khas yang membedakan Tongkonan dari bangunan lainnya, atap ini
memiliki fungsi praktis. Ruang kosong di bagian bawah atap memberikan tempat penyimpanan yang

37
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

ideal untuk berbagai barang, menjaga keberlanjutan dan penggunaan ruang secara efisien. Dengan
kegiatan sehari-hari berpusat di "kale banua," Tongkonan menciptakan ruang yang harmonis untuk
interaksi sosial, budaya, dan spiritual. Melalui desainnya yang cermat, Tongkonan bukan hanya
menjadi tempat tinggal, tetapi juga wujud nyata dari warisan budaya yang kaya dan kompleks,
mengekspresikan identitas dan keberlanjutan tradisi masyarakat Toraja.

Di Toraja, tata letak bangunan harus selalu menghadap utara. Ini adalah persyaratan ketat yang
harus dipatuhi oleh pembangun. Landasan prinsip ini adalah filosofi melihat alam masyarakat Toraja
yang dikenal dengan Ada Appa Oto na (empat dasar filosofi tradisional) dalam ajaran Aluk Todolo.
Ulunna Langi adalah nama bagian utara; Mata Allo adalah nama bagian timur; Mattampu adalah
nama bagian barat; dan Pollona Langi adalah nama bagian selatannya (Aldy dwi mulyana, 2013)

Informasi di atas didukung oleh foto hasil studi dokumentasi mengenai bentuk dan pembuatan
rumah tongkonan. Berikut gambarnya:

Gambar 3.1 Rumah Tongkonan

Terdapat tiga jenis Tongkonan yang mengukir sejarah dan peranannya dalam masyarakat
Toraja. Setiap Tongkonan tidak hanya berbeda dalam nama, tetapi juga mengandung makna
mendalam yang mencerminkan struktur sosial dan budaya yang kaya. Pertama-tama, Tongkonan
Layuk memegang peran yang maha tinggi dan agung dalam tatanan masyarakat Toraja. Berbentuk
persegi panjang dengan perbandingan 2:1, Tongkonan Layuk adalah pusat pemerintahan dan
kekuasaan yang mengatur Tana Toraja sejak zaman dahulu kala. Tiang tengah, yang disebut a´riri,
menjadi ciri khasnya dengan hiasan kepala kerbau dan ayam. Ini bukan sekadar bangunan,
melainkan lambang kebijaksanaan dan otoritas yang melingkupi wilayah Toraja. Kedua,
Tongkonan Pekandoran atau Tongkonan Kaprengesan didirikan oleh Penguasa Daerah untuk
mengatur Pemerintahan Adat. Dengan bentuk yang serupa, Tongkonan Pekandoran menjadi
landasan bagi penerapan aturan dari Tongkonan Aluk, memastikan kelangsungan dan
keberlanjutan adat istiadat yang diwarisi dari nenek moyang.Ketiga, Tongkonan Batu A´riri
muncul sebagai ikatan yang memperkuat persatuan dan warisan keluarga. Bangunan ini bukan
hanya tempat berkumpul, melainkan saksi bisu dari jejak sejarah keluarga Toraja. Tiang
tengahnya, yang juga disebut a´riri, menjadi simbol kebersamaan dan keterikatan antaranggota
keluarga.

Meskipun bentuknya serupa, perbedaan dalam tiang-tiang dan fungsi-fungsi ini memberikan
warna dan keunikan pada setiap Tongkonan. Mereka bukan hanya bahan bangunan, melainkan
penjaga tradisi, penjalin hubungan sosial, dan pemegang kearifan lokal. Dalam harmoni bentuk
dan makna, Tongkonan menciptakan kisah yang terus berkembang, mengingatkan kita akan
keindahan warisan budaya yang diwarisi dari generasi ke generasi (L a p o r a n a k h i r p e n e l i t i a
nrumahtongkonantorajasebagaiekspresiestetikadancitraarsitekturaL ,
n.d.)

38
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

b. Posisi Pembuatan Rumah Tongkonan


Tongkonan memiliki elemen-elemen simbolis yang mencerminkan aspek-aspek sosial,
budaya, dan sejarah masyarakat toraja. Tongkonan, sebagai bangunan yang kaya akan simbolisme,
memberikan tatapan mendalam ke dalam struktur sosial, budaya, dan sejarah masyarakat Toraja.
Setiap elemen dalam desainnya bukan hanya sekadar bangunan fisik, melainkan juga sebuah narasi
simbolis yang mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Dalam tafsir simbolik ini, lumbung
tempat duduk di dalam Tongkonan dapat dianggap sebagai representasi peran sentral ibu dalam
keluarga. Tempat ini, yang berfungsi sebagai pusat kehangatan dan kebersamaan, menjadi simbol
kelembutan, kebijaksanaan, dan cinta kasih yang diwujudkan oleh ibu dalam menjaga
keharmonisan keluarga. Sebaliknya, tempat penyimpanan padi mencerminkan peran ayah sebagai
tulang punggung keluarga. Padi sebagai simbol kehidupan dan kelangsungan, disimpan dengan
cermat di dalam lumbung, menciptakan metafora akan tanggung jawab ayah dalam menyediakan
kebutuhan hidup keluarga. Orientasi Tongkonan yang menghadap Utara-Selatan menambah
dimensi simbolis yang mendalam. Keputusan ini dapat diartikan sebagai refleksi keyakinan bahwa
nenek moyang Toraja berasal dari Indo-Cina, menandakan hubungan spiritual dan sejarah yang kuat
antara masyarakat Toraja dengan akar budaya mereka.
Dengan demikian, Tongkonan tidak hanya menjadi tempat tinggal fisik, melainkan juga peta
simbolis yang menceritakan kisah tentang nilai-nilai, peran-peran dalam keluarga, dan akar-akar
sejarah yang membentuk identitas masyarakat Toraja. Desainnya menjadi sebuah kanvas yang
memungkinkan interpretasi yang dalam terhadap kekayaan budaya dan warisan nenek moyang yang
terus dijunjung tinggi. Hal ini diungkapkan oleh informan di tongkonan seribu tanduk, berikut
penuturannya:

….“kalau tongkonan itu di andaikan ibu, kemudian yang lumbung tempat ta’
duduk dan tempat nya padi itu namanya ayah, jadi ada ibu ada ayah,
kemudian kenapa menghadap utara-Selatan, karena menurut pendapat
orang dulu bahwa nenek itu berasal dari indo-cina dari selatan memakai
perahu jadi model dari bangunan di sini itu kayak seperti perahu ”….
(Sumber: Wawancara, 21 Oktober 2023)

Oleh karena itu, arsitektur Tongkonan tidak hanya menyediakan rumah yang fungsional tetapi
juga membawa pesan simbolis yang menghubungkan masyarakat dengan masa lalu dan legenda
nenek moyang mereka. Tongkonan dan rumah-rumah di sekitarnya selalu dibangun dengan sisi
utara menghadap ke atas. Dibangun berjajar di depan tongkonan. Alang, atau lumbung, mempunyai
bentuk dasar yang mirip dengan tongkonan, namun lebih kecil. Kesuksesan atau kekayaan seseorang
ditunjukkan dengan banyaknya alang-alang yang bisa digunakan untuk menjamu pengunjung di
dasar Alang, atau di bawahnya. (Котлер, 2008)

Informasi di atas didukung oleh foto hasil studi dokumentasi mengenai bentuk dan pembuatan
rumah tongkonan. Berikut gambarnya:

39
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

Gambar 3.2 Posisi Pembuatan Rumah Tongkonan

3.2 Simbol atau Lambang Yang Tergambar/Terukir Pada Rumah Tongkonan dan Makna Di
Balik Ukiran Tersebut
a. Simbol 2 Ekor Ayam Jantan Pada Bagian Depan Rumah Tongkonan
Lambang ayam jago kerap muncul pada relief hiasan rumah adat suku Toraja. Meski demikian,
wujud pahatan ayam di rumah adat Toraja ini bukan sekadar hiasan semata. Ia menyimpan makna
filosofis mendalam bagi kehidupan masyarakat Toraja. Hanya orang Toraja sendirilah yang
mengerti pesan tersirat di balik ukiran ayam jago tersebut. Inilah yang menjadikan ayam jago
sebagai salah satu elemen terpenting dalam sistem budaya suku Toraja. Pahatan ayam jago ini oleh
masyarakat Toraja disebut Pa' Manuk Londong. Bagi masyarakat Toraja, ayam jago melambangkan
keperkasaan dan kejantanan. Ukiran tersebut dipercaya dapat memberikan aura positif dan menolak
bala. Makna filosofis inilah yang membuat pahatan ayam jago begitu istimewa di mata masyarakat
Toraja. Dengan demikian, kehadiran Pa' Manuk Londong pada rumah adat masyarakat Toraja bukan
sebatas ornamen, melainkan memiliki tujuan dan makna yang sangat mendasar.
Gambar ayam yang terletak di puncak dikaji oleh orang tua dengan dasar keyakinan bahwa
ayam memiliki kemampuan untuk memahami periode waktu, termasuk tengah malam, pagi, dan
siang. Kepercayaan ini berakar pada kemampuan ayam untuk berkokok, sehingga dianggap sebagai
satu-satunya hewan yang memiliki kesadaran terhadap perubahan waktu dari malam ke siang dan
pagi. ayam dianggap sebagai simbol atau indikator alami dari perubahan waktu, memperkuat
pandangan bahwa ayam memiliki pengetahuan bawaan tentang siklus malam, pagi, dan siang.
Menurut informan kami yang kami wawancarai di lokasi bulo pariding rumah tongkonan seribu
tanduk mengatakan bahwa ukiran/gambar ayam bermakna bahwa sanya ayam satu-satunya hewan
mampu membaca atau memprediksi waktu. Berikut penuturannya:

……“itu gambar ayam itu yang paling diatas,kenapa karena menurut orang
tua,ayam itu dia tau tengah malam,dia tau pagi,dia tau berkokok itu jadi tidak ada
hewan ee hewan lainya itu Cuma ayam,dia tau malam dia tau siang dia tau
pagi”…… (Sumber: Wawancara, 21 Oktober 2023)

Pa’ Manuk Londong (ukiran yang menyerupai ayam jantan) Bentuknya seperti ayam jantan
sebagai lambang kehidupan yang bertata masyarakat dan beraturan tertentu, serta mengenai norma-
norma hukum dan menurut falsafat Aluk Todolo ayam jantan itu adalah sebagai alat peradilan
dahulu kala di atas langit yang setelah turun ke bumi diikuti oleh manusia, serta juga peran ayam
jantan itu bagi manusia dalam memberi waktu atau mengenal waktu di malam hari. (Wijayanti,
2011)

Informasi di atas didukung oleh foto hasil studi dokumentasi mengenai simbol 2 ekor ayam jantan di
bagian depan rumah tongkonan. Berikut gambarnya:

Gambar 3.3 Simbol Ayam Pada Bagian Depan Tongkonan

40
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

b. Simbol Kepala Kerbau


Proses penambahan kepala kerbau pada rumah Tongkonan di wilayah ini tidak hanya sekadar
langkah fisik dalam pembangunan rumah, tetapi melibatkan serangkaian upacara yang mengakar
dalam tradisi dan kepercayaan masyarakat Toraja. Menurut penuturan Pak Erwin, seorang informan
berpengalaman, pemasangan kepala kerbau bukanlah semata-mata sebagai elemen dekoratif atau
pajangan semata. Sebaliknya, itu menjadi simbol yang mengandung makna dalam konteks upacara
adat. Proses ini terkait erat dengan pelaksanaan upacara adat seperti rambu solo dan rambu tuka'.
Sebelum kepala kerbau dapat dihiasi pada rumah Tongkonan, pemilik rumah harus menjalani
serangkaian ritual yang melibatkan potong kerbau dan rangkaian upacara lainnya. Upacara ini bukan
hanya sekadar tradisi kosmetik, melainkan sarat dengan makna-makna yang dalam dalam kehidupan
masyarakat Toraja.
Kepala kerbau, dalam konteks ini, menjadi simbol kehormatan dan pengakuan terhadap
pemilik rumah yang telah melalui rangkaian upacara adat dengan penuh pengabdian. Ini adalah
wujud visual dari kesetiaan dan kepatuhan terhadap nilai-nilai adat yang diwarisi secara turun-
temurun. Pemasangan kepala kerbau bukanlah tindakan acak, melainkan penghormatan kepada
prosesi adat yang telah dilalui. Dengan demikian, penambahan kepala kerbau pada rumah
Tongkonan menjadi manifestasi visual dari kekayaan tradisi dan spiritualitas dalam kehidupan
masyarakat Toraja. Ini juga mencerminkan konsep bahwa rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal
fisik, tetapi juga sebagai simbol keberlanjutan warisan budaya dan spiritual yang dijunjung tinggi
oleh komunitas setempat. Hal ini juga dituturkan oleh narasumber sebagai berikut:

……“ya itulah semua yang sa bilang tadi, semua upacara telah dilakukan disitu.
Pernah potong kerbau baru bisa di pasang kepala kerbau. nda semuanya
misalnya kalo baru pertama dibikin belum ada upacara rambu solo, disitu belum
bisa di pasangi kepala kerbau.”…… (Sumber: Wawancara, 21 Oktober 2023)

Upacara rambu solo, yang mungkin merujuk pada serangkaian tradisi adat atau ritual tertentu,
menjadi syarat sebelum kepala kerbau dapat dipasang pada rumah tersebut. Ini mencerminkan
pentingnya aspek budaya dan adat istiadat dalam pembangunan dan penataan rumah tradisional
Tongkonan, menunjukkan bahwa setiap langkah memiliki makna simbolis dan spiritual yang
mendalam. Hampir semua rumah Tongkonan di wilayah Ke'te Kesu memiliki potongan kepala
kerbau di bagian depannya. Namun, setelah melihat lebih dekat, ternyata kepala kerbau tersebut
bukanlah asli, melainkan hasil ukiran manusia yang dibentuk sedemikian rupa. Kepala kerbau yang
terpampang memiliki variasi warna, ukuran, dan panjang tanduk yang berbeda-beda. Tersedia
warna putih, hitam putih, dan hitam dengan tanduk yang bervariasi. Yang menarik, meskipun
terdapat banyak lumbung atau alang di sekitar sana, namun tidak ada satupun lumbung yang
dipasangi kepala kerbau. Hal ini menambah keunikan dan nilai artistik pada desain arsitektur rumah
Tongkonan di Ke'te Kesu.

Kepala kerbau akan diletakkan di depan rumah tongkonan setelah tedong dikurbankan.
Semakin banyak kepala kerbau yang dipasang juga menunjukkan strata sosial seseorang yang cukup
tinggi. Karena tingkat sosial masyarakat yang menyelenggarakan upacara adat menentukan jumlah
hewan yang dipotong. (Crystallography, 2016). Kerbau dianggap sebagai lambang kemakmuran
oleh masyarakat Toraja. Nilai kerbau merupakan faktor utama yang digunakan di masa lalu untuk
menentukan sebagian besar evaluasi dan penjualan. Selain itu, status sosial seseorang juga dapat
diketahui dengan menghitung jumlah kerbau yang dimilikinya. Kerbau juga merupakan representasi
dari penyerahan sesuatu untuk mengenang orang mati. Sesuai dengan kepercayaan tradisional
Toraja, arwah orang yang sudah meninggal membutuhkan kerbau yang berlimpah untuk
membantunya dalam perjalanannya melampaui kematian. Tidak ada yang bisa menyelamatkan
kemampuan untuk mencapai nirwana (Puya) dengan cepat. (Lebang, 2017)

Berdasarkan informasi yang didapatkan, didukung dengan hasil dokumentasi mengenai


simbol kepala kerbau. Berikut dokumentasinya:

41
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

Gambar 3.4 Simbol Kepala Kerbau

3.3 Makna Corak dan Warna Pada Rumah Tongkonan


a. Syarat Pewarnaan Rumah Tongkonan
Dalam tradisi pembangunan rumah Tongkonan, tahap awal konstruksi dianggap sebagai
periode yang sakral dan penting. Pada tahap inisial ini, disarankan untuk tidak melakukan
pewarnaan atau pengecatan pada struktur rumah. Proses ini diperkirakan lebih baik dilakukan
setelah melalui perhelatan pesta rambu solo. Rambu solo, dalam konteks ini, merupakan sebuah
upacara atau peristiwa istimewa yang memiliki signifikansi besar dalam tradisi lokal masyarakat
Toraja.

Pesta rambu solo tidak hanya dianggap sebagai kewajiban atau ritual semata dalam
membangun rumah Tongkonan, melainkan juga menjadi poin penting yang menandai kelengkapan
syarat pembuatan rumah tradisional ini. Menurut data dari informan kami, salah satu syarat esensial
untuk memulai proses pembangunan rumah Tongkonan adalah telah dilaksanakannya pesta rambu
solo dan rambu tuka.

Rambu solo dan rambu tuka menjadi tonggak utama dalam membawa makna dan keberkahan
pada rumah Tongkonan yang sedang dibangun. Upacara ini tidak hanya memberikan tanda
persetujuan dari leluhur atau roh nenek moyang, tetapi juga melambangkan kesiapan dan kesakralan
tempat tinggal baru bagi pemiliknya. Dengan melalui serangkaian upacara ini, rumah Tongkonan
dianggap telah memperoleh restu spiritual dan perlindungan dari dunia gaib.

Pemilihan untuk tidak melakukan pewarnaan atau pengecatan pada tahap awal pembangunan,
hingga setelah pesta rambu solo, dapat diartikan sebagai penghormatan terhadap tradisi dan
spiritualitas yang mengelilingi proses ini. Dengan demikian, tahapan ini bukan hanya sekadar
rangkaian konstruksi fisik, tetapi juga sebuah perjalanan rohaniah yang mengakar dalam
kebudayaan Toraja, memperlihatkan bahwa setiap langkah dalam membangun rumah Tongkonan
dijalani dengan penuh makna dan kekayaan spiritual. Hal ini juga dituturkan oleh informan:

……”dari tahapan pertama itu seharusnya tidak diwarnai kalo baru pertama
dibuat. Nanti setelah ada pesta rambu solo disitu, baru bisa diwarnai. Ada warna
merah dan bisa di ukir.”…… (Sumber: Wawancara, 5 November 2023, via telepon
seluler)

Pemilihan warna merah dan kemungkinan adanya ukiran dalam proses pewarnaan
memberikan sentuhan istimewa dan berharga pada struktur rumah tersebut. Warna merah yang dipilih
dengan hati-hati, bersama dengan kemungkinan adanya ukiran artistik, tidak hanya menciptakan
estetika visual yang menakjubkan, tetapi juga membawa makna simbolis dan tradisional yang
mendalam dalam konteks budaya setempat.

Warna merah, dalam banyak budaya, sering kali melambangkan keberanian, semangat, atau
bahkan kesejahteraan. Dalam konteks pembangunan rumah tradisional ini, pilihan warna merah
mungkin mencerminkan nilai-nilai yang dihormati atau diinginkan oleh masyarakat Toraja. Selain itu,
kemungkinan adanya ukiran menunjukkan kesenian dan keterampilan kerajinan yang diwariskan dari
generasi ke generasi, menambahkan dimensi seni dan keindahan yang lebih dalam pada struktur
bangunan. Keberlanjutan tradisi dalam proses pewarnaan dan hiasan ukiran ini menjadi nyata,
mengungkapkan bahwa setiap detail dalam pembangunan rumah tidak hanya merupakan langkah-
langkah fisik semata, tetapi juga sebuah perayaan nilai-nilai budaya yang kaya. Melalui warna dan
ukiran, rumah tersebut menjadi bukti visual yang hidup dari warisan budaya, mengukir cerita tentang
kekayaan sejarah dan tradisi masyarakat Toraja. Dengan demikian, proses pemilihan warna dan

42
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

ukiran dalam pewarnaan rumah tidak hanya menciptakan bentuk fisik, melainkan juga merangkum
warisan budaya yang dipelihara dengan penuh rasa hormat dan kebanggaan.

Prosedur pewarnaan dilakukan dengan cara konvensional; warna merah biasanya diperoleh
dengan menggosokkan tanah merah atau batu merah ke batu yang dikombinasikan dengan air; warna
kuning juga diperoleh dari tanah liat kuning; dan warna putihnya bisa didapat dengan mencampurkan
jeruk nipis dengan cuka balo, yaitu tuak pada umumnya. Toraja), menunjukkan bahwa hal itu tidak
mudah ditaati. Sementara itu, jelaga (osing) yang dipadukan dengan getah dan batang ubi atau
pisanglah yang memberi warna hitam pada kawasan tersebut. Keberadaan manusia Toraja sangat erat
kaitannya dengan makna-makna yang berkaitan dengan warna. Warna merah melambangkan darah
dan putih daging dari tulang manusia, kuning melambangkan kekayaan, dan hitam melambangkan
kematian, melambangkan peristiwa tertentu dan dianggap sebagai pengelompokan warna manusia.
(Wijayanti, 2011)

Berdasarkan informasi yang didapatkan, didukung dengan hasil dokumentasi mengenai


pewarnaan rumah tongkonan. Berikut dokumentasinya:

Gambar 3.4 Pewarnaan Rumah Tongkonan

b. Warna Yang Digunakan Untuk Mewarnai Rumah Tongkonan


Pemilihan warna pada pewarnaan rumah Tongkonan di dalam masyarakat Toraja tidak hanya
merupakan pilihan estetika semata, melainkan membawa makna-makna simbolis yang dalam
konteks budaya dan tradisi memberikan kekayaan makna tersendiri. Meskipun interpretasi warna
dapat memiliki variasi di berbagai budaya, dalam konteks Toraja, beberapa warna utama seperti
putih, hitam, dan kuning membawa nuansa simbolis yang mendalam.
Warna putih, yang umumnya diasosiasikan dengan kesucian dan kemurnian, mungkin
memiliki makna serupa dalam tradisi Toraja. Penggunaan warna putih pada rumah Tongkonan bisa
mencerminkan nilai-nilai spiritual dan keberlanjutan kehidupan yang bersih dan suci. Sejalan
dengan tradisi budaya, warna ini mungkin mencerminkan ketertiban dan keharmonisan dalam
kehidupan sehari-hari.
Penggunaan warna hitam pada rumah Tongkonan mungkin menjadi wujud nyata dari rasa
hormat dan kepercayaan pada kehidupan setelah kematian dalam kebudayaan Toraja.Warna kuning,
sebagai warna kekayaan dan kelahiran yang subur, mungkin merujuk pada nilai-nilai kemakmuran
dan kesuburan dalam tradisi Toraja. Pemilihan warna kuning pada rumah Tongkonan bisa menjadi
simbol dari keberlimpahan dan kesuksesan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam konteks
upacara-upacara adat yang melibatkan unsur kekayaan dan kesuburan.
Dengan demikian, dalam masyarakat Toraja, penggunaan warna pada rumah Tongkonan tidak
hanya menjadi unsur visual, melainkan juga menyampaikan pesan-pesan simbolis yang dalam,
menciptakan suatu bahasa warna yang kaya makna dan merangkum nilai-nilai budaya serta tradisi
yang dijunjung tinggi oleh komunitas tersebut.. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh
informan, berikut penuturannya:

……”warna merah, putih, hitam, warna kuning yang dimana semuanya itu punya
arti kayak seperti putuh di artikan suci hitam yang biasanya di apke di rmbu solo
sebgai tanda kemtaian sama dengan merah itu melambangkan keberanian sama
kalok kuning biasnya itu kekayaan”…… (Sumber: Wawancara, 21 Oktober 2023)

43
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

Warna merah, kuning, putih, dan hitam yang membentuk desain Toraja tetap konstan sejak
pertama kali ditemukan. Masing-masing dari empat warna tersebut—tanah, sumba, kapur, dan arang
—memiliki makna spiritual dan berasal dari sumber daya alam yang nyata (Wijayanti, 2011). Pada
rumah tongkonan, penerapan warna bukan sekadar pilihan estetika semata, melainkan
mencerminkan filosofi mendalam yang berakar pada tradisi dan kearifan lokal masyarakat Toraja.
Di antara beragam warna yang mewarnai rumah adat ini, beberapa di antaranya mengemban makna
khusus.

Warna putih yang sering tertoreh pada dinding dan tiang tongkonan melambangkan kesucian dan
kemurnian. Putih adalah manifestasi visual dari nilai-nilai luhur yang diagungkan, juga perwujudan
doa agar kehidupan senantiasa dijalani dengan penuh keberkahan. Sementara itu, kehadiran warna
kuning keemasan merefleksikan harapan akan kelimpahan rezeki dan kesejahteraan. Kuning adalah
lambang kemakmuran yang didambakan setiap penghuni rumah tongkonan, layaknya matahari yang
menyimbolkan sumber kehidupan. Lain halnya dengan warna hitam yang kerap mencuat di sudut-
sudut rumah tongkonan. Hitam melambangkan keabadian, juga rasa hormat mendalam kepada
leluhur dan nenek moyang yang telah berpulang. Ketiga warna ini, dalam paduannya,
menggambarkan keseimbangan sempurna: kesucian, kemakmuran, dan penghormatan leluhur – tiga
pilar adat istiadat Toraja. Melalui beragam corak warnanya, tongkonan menjadi kanvas budaya yang
hidup. Ia menceritakan kisah panjang masyarakat Toraja dalam bingkai indah nan penuh makna.
Setiap goresan kuasnya mengukir kearifan lokal yang terus dijaga hingga saat ini, sebagai warisan
leluhur sekaligus pemandu bagi generasi penerusnya.

1. Putih: Biasanya melambangkan kesucian, kemurnian, dan spiritualitas. Warna putih sering kali
digunakan dalam banyak tradisi untuk merefleksikan keberanian atau keberlanjutan kehidupan.
2. Hitam: Dapat diartikan sebagai simbol kematian atau penghormatan terhadap leluhur yang telah
meninggal. Penggunaan warna hitam seringkali terkait dengan upacara pemakaman dan
spiritualitas.
3. Kuning: Mungkin melambangkan kekayaan, kelahiran, atau kehidupan yang subur. Warna
kuning sering dihubungkan dengan matahari, panen, dan kemakmuran dalam beberapa tradisi.

Perlu diingat bahwa interpretasi warna dapat bervariasi tergantung pada konteks budaya dan
tradisi setempat. Berdasarkan informasi yang didapatkan, didukung dengan hasil dokumentasi
mengenai warna yang digunakan rumah tongkonan. Berikut dokumentasinya:

Gambar 3.4 Warna Yang Digunakan Rumah Tongkonan

c. Makna Gambar Pada Rumah Tongkonan


Warna pada rumah Tongkonan tidak sekadar estetika, melainkan membawa makna mendalam
tergantung pada jenis upacara atau ritual yang sedang berlangsung. Sebagai contoh, dalam acara
rambu tuka, rumah Tongkonan dihiasi dengan warna kuning, putih, dan merah. Informasi ini
diperoleh melalui penuturan seorang informan yang mengungkapkan bahwa setiap warna memiliki
simboliknya sendiri. Kuning, dalam konteks ini, dapat diartikan sebagai lambang kekayaan dan
kelahiran yang subur. Kekuningan pada rumah Tongkonan mencerminkan harapan akan masa
depan yang sejahtera dan penuh keberlimpahan. Putih, di sisi lain, sering kali dikaitkan dengan

44
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

kesucian dan spiritualitas. Pemakaian warna putih pada rambu tuka dapat menandakan kesakralan
acara tersebut, menciptakan suasana yang penuh dengan keberkahan. Selanjutnya, merah pada
rumah Tongkonan dalam konteks rambu tuka dapat memiliki arti keberanian atau kesejahteraan
keluarga. Merah sering dihubungkan dengan semangat hidup dan keberanian menghadapi
tantangan. Sehingga, ketika rumah Tongkonan dihiasi dengan warna merah pada acara rambu tuka,
hal itu bisa diartikan sebagai doa untuk kehidupan yang penuh semangat dan sukses. Namun, pada
upacara rambu solo, warna yang mendominasi adalah hitam. Hitam, dalam banyak budaya, sering
diasosiasikan dengan kematian atau penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal.
Penggunaan warna hitam pada rumah Tongkonan selama rambu solo menciptakan suasana yang
khusyuk dan penuh dengan makna spiritual, mengingatkan bahwa acara ini merupakan saat untuk
memperingati yang telah tiada. Dengan demikian, perbedaan warna pada rumah Tongkonan bukan
sekadar tampilan visual, melainkan membawa pesan simbolis yang mendalam, memperkaya
pengalaman dalam merayakan kehidupan dan menghormati leluhur. Setiap nuansa warna menjadi
sebuah bahasa simbolik yang menceritakan kisah kehidupan, kesejahteraan, dan spiritualitas dalam
tradisi masyarakat Toraja. Hal ini diungkapkan oleh informan, berikut penuturannya:

……”ya itu saya kurang ngerti kalo makna warna itu. Karna semua warna
di pakai disitu. Artinya kan ada perbandingan kalo misalnya di rambu tuka ada
pake warna hitam. Nah kalo acara rambu tuka biasanya pake warna kuning, putih
bisa juga artinya kuning yang bisa membedakan dengan hitam rambu tuka dengan
rambu solo. Kalo putih bisa dipake rambu solo, merah bisa juga. Yang hanya 2
warna ini yang bisa membedakan bahwa itu tandanya upacara rambu tuka kalo
pake kuning, yang hitam itu tandanya itu dia pake upacara rambu solo” ……
(Sumber: Wawancara, 21 Oktober 2023)

Mengenal jenis kegiatan adat atau upacara yang tengah berlangsung di komunitas Toraja dapat
dilakukan dengan memperhatikan perbedaan warna yang diaplikasikan pada rumah Tongkonan.
Warna pada bangunan tradisional ini bukan semata elemen estetika, melainkan sebuah sistem
simbolis yang memandu pemahaman masyarakat sekitar. Dalam suatu konteks, seperti pada upacara
rambu tuka, warna kuning dan putih menjadi pilihan dominan. Kehadiran kuning dan putih pada
rumah Tongkonan dapat diartikan sebagai representasi kekayaan, kelahiran yang subur, dan
kesucian dalam konteks ritual tersebut. Melalui pandangan sederhana terhadap warna, masyarakat
dapat mengenali bahwa rumah tersebut sedang merayakan upacara rambu tuka. Sebaliknya, ketika
warna hitam mendominasi, itu menjadi penanda bahwa upacara rambu solo tengah berlangsung.
Warna hitam dalam konteks ini membawa simbolik kematian atau penghormatan terhadap leluhur
yang telah berpulang.

Melalui perbedaan warna ini, masyarakat dapat dengan mudah membedakan dan
mengidentifikasi jenis kegiatan adat yang tengah dipraktikkan oleh komunitas Toraja. Jadi,
penggunaan warna pada rumah Tongkonan bukan sekadar unsur dekoratif, melainkan sebuah bahasa
simbolis yang memfasilitasi komunikasi budaya dalam masyarakat Toraja. Dengan melihat
kombinasi warna pada rumah tradisional ini, orang dapat memahami dan menghargai peristiwa adat
yang tengah berlangsung, menciptakan kekayaan makna dalam setiap nuansa yang diaplikasikan
pada struktur rumah Tongkonan. Berdasarkan Sande (1991), beliau mengungkapkan mengenai
berbagai jenis elemen estetis berupa ragam hias Toraja yang bersumber dari lingkungan sekitar
manusia, yaitu Tuhan, manusia, peralatan, flora dan fauna (Wijayanti, 2011). Informasi di atas
didukung oleh foto hasil studi dokumentasi mengenai simbol 2 ekor ayam jantan di bagian depan
rumah tongkonan. Berikut gambarnya:

45
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

Gambar 3.5 Gambar Pada Rumah Tongkonan

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan dokumen yang diberikan, rumah tongkonan merupakan rumah adat khas masyarakat Toraja
yang memiliki makna filosofis mendalam, bukan sekadar berfungsi sebagai tempat tinggal semata. Dalam
tradisi membangun rumah tongkonan, terdapat syarat dan aturan tertentu yang harus dipenuhi, seperti
mengadakan pertemuan keluarga besar terlebih dahulu untuk mencapai kesepakatan mengenai rancangan
dan lokasi pembangunan rumah. Selain itu, ritual adat Toraja berupa rambu solo dan rambu tuka juga harus
dilaksanakan sebagai bentuk permohonan restu leluhur sebelum memulai proyek pembangunan rumah
tongkonan.
Rumah tongkonan memiliki beragam elemen arsitektural yang mengandung makna filosofis mendalam
tentang pandangan hidup dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat Toraja. Salah satu contohnya
adalah pahatan dua ekor ayam jantan pada bagian depan rumah tongkonan yang disebut Pa’ Manuk
Londong. Pahatan ini melambangkan sifat kejantanan, kewaspadaan, dan juga berkaitan dengan konsep
waktu dalam kepercayaan orang Toraja bahwa ayam merupakan satu-satunya hewan yang mengetahui
perubahan dari malam ke siang dan seterusnya. Simbol lainnya yang umum ditemukan pada rumah
tongkonan adalah potongan kepala kerbau di bagian depan, yang merupakan simbol kemakmuran dan
kehormatan bagi pemilik rumah setelah melalui serangkaian upacara adat.
Selain simbol pada bagian arsitektur rumah, corak dan warna pada rumah tongkonan juga memiliki
makna tersendiri. Contohnya warna merah melambangkan keberanian, hitam melambangkan kematian, putih
melambangkan kesucian, dan kuning melambangkan kemakmuran. Pemilihan warna-warna ini
mencerminkan nilai-nilai dan ritual adat yang sedang berlangsung pada rumah tersebut. Misalnya dominasi
warna kuning dan putih menunjukkan bahwa tengah dilangsungkan upacara rambu tuka, sementara dominasi
warna hitam mengindikasikan sedang berlangsung upacara rambu solo yang berkaitan dengan kematian.
Dengan memahami makna dari paduan warna ini, masyarakat Toraja dapat dengan mudah mengetahui jenis
ritual adat yang tengah berlangsung hanya dengan melihat pada rumah tongkonan.
Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa rumah tongkonan tidak sebatas monumen
arsitektural semata, melainkan juga berperan sebagai media untuk mengekspresikan kekayaan budaya, adat
istiadat, sejarah, hingga pandangan hidup masyarakat Toraja secara turun temurun. Setiap ornamen, simbol,
dan warnanya menyimpan cerita tentang nilai-nilai luhur yang dipercaya oleh masyarakat Toraja sejak masa
lampau hingga saat ini. Rumah tongkonan menjadi representasi fisik dari kearifan lokal suku Toraja yang
patut dilestarikan keberadaannya.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti ingin mengungkapkan rasa terima kasih mereka di segmen ini kepada para instruktur yang telah
memberikan panduan berharga selama mata kuliah kebencanaan. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang
tulus kepada Dr. Erman Syarif, S.Pd., M.Pd., Dr. Hasriyanti, S.Si., M.Pd., dan Muhammad Ansarullah
S.Tabbu, S.Pd., M.Pd., atas upaya dan pengetahuan mereka. Terlepas dari perspektif dan pemahaman yang
mendalam yang diberikan oleh para peneliti, penelitian ini tidak akan berhasil. Penting juga untuk
memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh anggota kelompok. Untuk mencapai hasil yang
memuaskan, semua kontribusi, gagasan, dan upaya keras dari setiap anggota kelompok sangat penting. Kami
telah melewati setiap hambatan dengan semangat kerja sama yang luar biasa. Peneliti ingin dengan rendah

46
Amal, et. al/ Indonesian Journal of Fundamental and Applied Geography 2023, 1 (1) 33-41

hati mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah membantu perjalanan ini. Mudah-mudahan
temuan penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi dasar pengembangan pengetahuan di masa depan.

REFERENSI
Aldy dwi mulyana. (2013). Bab I Pendahuluan ۟ ُ َ‫قَّ تٱ او۟ ُ ن مٌۢ بُ نَ ت لْ وْ َ ن رَّ إْ مَ َ هَّ لٱل نٍ َ غْ اِ ا حَ ر‬
‫َ و‬. Journal Information, 2(30), 1–17.
Crystallography, X. D. (2016). 済無 No Title No Title No Title. 1–23.
Котлер, Ф. (2008). No TitleМаркетинг по Котлеру. 282.
Laporanakhirpenelitianrumahtongkonantorajasebagaiekspresiestetikad
a n c i t r a a r s i t e k t u r a l. (n.d.). 1–40.
Langi, W. L., & Aprellece, D. (2021). Makna Yang Terandung Pada Rumah Tongkonan Toraja Tondokan Pali
Bittuang. … Kristen Indonesia Toraja, 116–120. http://scholar.googleusercontent.com/scholar?
q=cache:cr-7A1Hm2hAJ:scholar.google.com/
+semiotika+rumah+tongkonan&hl=id&as_sdt=0,5&as_ylo=2021%0Ahttp://
www.journals.ukitoraja.ac.id/index.php/PROSDING/article/view/1552%0Ahttp://
www.journals.ukitoraja.ac.id/i
Lebang, Y. A. P. (2017). Analisis Semiotika Simbol Kekuasaan pada Rumah Adat Toraja (Tongkonan Layuk).
October 2017, I055–I062. https://doi.org/10.32315/ti.6.i055
Pakan, M. S. L., Pratiknjo, M. H., & Mamosey, W. E. (2018). Rumah Adat “Tongkonan” Orang Toraja
Kabupaten Tana Toraja Propinsi Sulawesi Selatan. Holistik, 11(22), 1–16.
Rahman, N. I. (2020). Bentuk Atap Dan Ornamen Rumah Adat Tongkonan Toraja Pada Tas Kulit Jenis
Messenger Bag. http://digilib.isi.ac.id/id/eprint/9588%0Ahttp://digilib.isi.ac.id/9588/5/JURNAL
NURULISTIQOMAH RAHMAN.pdf
Tabbu, M. A. S. (2018). Makna AdeÔÇÖ Assamaturuseng dalam Pengelolaan Danau Tempe oleh Masyarakat
Nelayan Suku Bugis Berdasarkan Perspektif Fenomenologi [Universitas Negeri Malang]. In World
Development (Vol. 1, Issue 1). http://repository.um.ac.id/62435/

Wijayanti, L. (2011). Identitas Visual Ragam Hias Toraja pada Desain Interior Café Tator. In Thesis.

47

Anda mungkin juga menyukai