Anda di halaman 1dari 25

Fuad Erdansyah 115

Simbol dan Pemaknaan Gerga


pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

SIMBOL DAN PEMAKNAAN GERGA


PADA RUMAH ADAT BATAK KARO
DI SUMATRA UTARA

Fuad Erdansyah

Dosen Seni Rupa Unimed


Jl. W. Iskandar, Psr V Medan
ferdansyah@gmail.com

INTISARI
Artikel ini berkeinginan untuk memahami aspek-aspek bentuk dan simbolik gerga yang terdapat pada
rumah adat Batak Karo di Sumatera Utara. Gerga sebagai salah satu bentuk kesenian Batak Karo, khususnya
kesenirupaan telah memberikan sumbangannya yang besar dalam pencitraan visual terhadap berbagai
benda-benda kerajinan, arsitektur, dan artefak lainnya. Namun keberadaan gerga yang terdapat pada
rumah-rumah adat Batak Karo tersebut mulai berkurang seiring dengan berkurangnya rumah-rumah
adat Batak Karo di Sumatera Utara. Oleh karena itu artikel ini berusaha menjelaskan kehadiran gerga
dalam konteks sosial-budaya masyarakat Karo, mendeskripsikan bentuk rumah adat Batak Karo, serta
mengungkapkan bentuk, simbol gerga dan pemaknaannya pada rumah adat Batak Karo.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik analisis interpretasi dan pendekatan
kebudayaan Batak Karo. Selain itu metode etnografi juga digunakan dengan pendekatan emik dan etik
guna menemukan jawaban logis atas seluruh pemaknaan simbolik gerga.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa orang Batak Karo tradisional menganut paham animisme, dan
hinduisme, yang berhubungan dengan kepercayaan pada roh dan daya-daya transenden di rumah dan
lingkungan sekitarnya. Hubungan magis terhadap roh dan yang gaib tersebut dilakukan melalui media-
tor guru, dukun, raja, termasuk juga kalimbubu dalam kekerabatan rakut sitelu. Konsekuensi logisnya, bahwa
hubungan dan unsur magis kemudian diberi tanda dan makna simbolik dalam bentuk ragam hias yang
disebut gerga. Selanjutnya ditemukan bahwa Gerga dengan motif pengretret dan kepala kerbau, mengandung
makna magis dan sakral, sedang motif tumbuhan hanya sebagai hiasan (profan).
Kemudian berakhirnya kekuasaan raja serta diterimanya agama-agama wahyu, maka ekspresi nilai
kepercayaan maupun makna gerga seperti pengretret serta kepala kerbau tidak lagi magis dan sakral, melainkan
berubah sebagai hiasan (profan) dan pelengkap estetik semata. Penelitian ini juga menunjukan, bahwa
berdirinya rumah-rumah adat Batak Karo, karena sistem kepercayaan kuno, dan hindu dalam konsep
triloka, dengan bidang kosmo debata datas, teruh, dan tengah. Berdasarkan pembagian ini pula, bentuk dan
makna simbolik gerga merupakan representasi religi (sakral), kekerabatan (semi sakral) dan hiasan (profan).

Kata kunci: Gerga, simbol, rakut sitelu dan rumah adat.

ABSTRACT
This research belongs to a field study, taken place in villages Lingga and Dokan Regency Karo. Generally, this research
reveals the traditional values based on social-cultural background of Karo people, while particularly it reveals the meaning
of ornament style in Batak Karo custom house called gerga. For that reason, the objectives of research are: (1) to describe the
belief and kinship sistem underlying the gerga establishment in Karo custom house; (2) to describe the architectural compo-
nents in Karo custom house consisting of: kitchen or floor crossbar, room, wall, facade, and roof platform; and (3) to reveal the
symbolic meaning in gerga (ornament style).
In order to achieve those objectives, the research method or procedure is required to determine the data source, both from the
informant and custom house artifact completed with its style ornament. Techniques of collecting data used were from library

115
116 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

study, observation, interview and documentation. The data was then analyzed based on the qualitative method using
analytical interpretation with semiotic approach and batak karo rakut sitelu.
Furthermore, the result of research shows that: (1) the belief and kinship sistem underlies the conception in establishing
custom house and gerga; (2) the presence of custom house is the symbol of Karo people’s cosmology, as well as the birth
place of kinship system called rakut sitelu; and (3) the symbolic meaning of gerga has denotative and connotative
meaning orientation based on its pattern and motive containing the message both as the adoration and as the tenet for
batak Karo people.
From the result of research, it can be concluded that gerga contains the meaning relevant to the original belief influence
as well as indicates the megalithic culture development containing religious (sacred) values, norms or customs or tenets
(semi-sacred) as well as containing aesthetical and ornamental (profane) values. However, Karo custom house has lost its
sacred religious values because it starts to be abandoned by its people, and its existence is just as the past monument, while
the gerga motive that was sacred and semi-sacred previously becomes now profane. This research is expected to enrich the
cultural information and actualization through the messages obtained from symbol and sign system.

Keywords: Gerga, symbol, sitelu rakut and custom house.

A. Gambaran Umum Masyarakat Karo tradisi yang masih ada sekarang, seperti upacara-
upacara adat yang syarat dengan simbol-simbol.
Kabupaten Karo terbentang di dataran tinggi
Selain upacara, masyarakat Karo juga memiliki
sekitar Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak,
rumah adat yang syarat dengan elemen-elemen
serta dataran tinggi Bukit Barisan. Tetangga ter-
simbolik. Ciri-ciri utama dari simbol tersebut
dekat Kabupaten Karo adalah Kabupaten Sima-
dapat diidentifikasi dari lukisan, gambar, atau
lungun. Masyarakat suku Karo hidup ber-
ragam hias yang melekat pada rumah tersebut.
dampingan dengan puak-puak Batak lainnya yang
Rumah adat Karo, sebagaimana rumah-rumah
juga berada di wilayah tersebut. Menurut cerita
adat yang ada di Indonesia, arsitekturnya me-
oral, orang-orang Batak berasal dari nenek
miliki karakter tertentu. Selain karakteristik
moyang yang sama. Keturunan mereka menyebar
dan membentuk klan-klan sendiri. Klan-klan yang arsitekturnya yang khas, karakteristik ragam

merupakan keluarga besar puak Batak adalah Batak hiasnya juga khas, sehingga menarik untuk dikaji.

Toba, Simalungun, Mandailing, Phakpak Dairi, dan Ragam hias dalam bahasa Karo disebut gerga

Batak Karo. yang terdapat pada benda-benda kerajinan dan

Suku Karo adalah masyarakat petani karena benda seni lainnya, tetapi gerga juga identik dengan

didukung oleh faktor ekologi. Tanah pertanian di rumah raja atau rumah orang kaya yaitu rumah-

Kapubaten Karo sangat cocok untuk jenis tanaman rumah adat karena terdapat ragam hias pada

sayur-mayur dan buah-buahan. Bahkan sayur- bagian luar rumahnya (Parlindungan, 2005:463).

mayur dan buah-buahan ini merupakan hasil Gerga pada rumah adat Batak Karo terdapat pada

utama pertanian masyarakat Karo, yang di- tiga bagian yaitu mulai dari palang lantai rumah

konsumsi oleh masyarakat Sumatera Utara. (melmelen), dinding rumah (derpih), hingga anjungan
Masyarakat Karo hidup di wilayah tersebut atap rumah (ayo). Gerga yang terdapat pada rumah
sejak sekitar tahun 1300-an M (Parlindungan, adat memiliki keunikan dan ciri khasnya masing-
2005:463), dan telah memiliki sistem kebudayaan- masing. Pola gerga yang terdapat pada melmelen
nya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari tradisi- dominan dengan pola stilasi tumbuhan, sedang
Fuad Erdansyah 117
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

pada derpih dan ayo rumah terdapat pola geometris. simbol gerga dan pemaknaannya pada rumah adat
Sesuai keyakinan masyarakat tradisional Batak Batak Karo? Karena bentuk gerga yang terdapat
Karo, gerga yang terdapat pada rumah adat me- pada rumah adat Batak memperlihatkan unsur
ngandung makna-makna simbolik baik bersifat tradisional serta keunikannya, maka tujuan pe-
profan maupun sakral. Bagi masyarakat Batak nelitian ini adalah menjelaskan latar sosial dan
Karo rumah tidak hanya tempat tinggal keluarga, kebudayaan masyarakat Karo, keberadaan gerga
tetapi juga merupakan bangunan yang sakral, dalam konteks sosial-budaya masyarakat Karo,
karena tempat bersemayamnya roh-roh orang menjelaskan faktor-faktor yang membuat gerga
yang sudah meninggal dunia. Dengan demikian muncul dalam ekspresi yang berbeda-beda. Se-
makna-makna simbolik gerga selain berfungsi lanjutnya mendeskripsikan bentuk rumah adat
sebagai hiasan, juga terkait dengan sistem ke- Batak Karo, serta menjelaskan bentuk, simbol gerga
percayaan (religi) dan kekerabatan yang menjadi dan pemaknaannya pada rumah adat Batak Karo.
dasar kosmologi masyarakat tradisional Batak Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat se-
Karo. bagai sumber informasi, sumber kajian ilmu
Keberadaan gerga sesuai dengan kondisi rumah pengetahuan, seni, dan kebudayaan tradisional,
adat, saat ini sangat memprihatinkan. Kini masih dan secara umum menjadi pengetahuan yang ber-
ada 18 rumah adat yang tersisa di Desa Dokan, guna bagi masyarakat, dan khususnya masya-
Lingga, Peceren, Kabung, Paribun, dan Desa rakat Batak Karo.
Tanjung Barus. Pada tahun 1980-an, di Desa Dokan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif,
masih terdapat sepuluh rumah adat, namun saat menggunakan metode etnografi dengan me-
ini hanya tersisa enam rumah saja. Berkurangnya ngumpulkan berbagai data-data kualitatif yang
rumah-rumah adat tersebut antar lain disebab- berkaitan dengan gerga pada rumah adat, ber-
kan tidak dihuni atau ditinggalkan oleh pemilik- dasarkan latar belakang sosial dan kebudayaan
nya, usia rumah yang semakin tua sehingga masyarakat Batak Karo. Adapun teknik analisis
semakin lapuk, roboh atau hancur. Kondisi ini yang digunakan adalah interpretatif berdasarkan
semain diperparah dengan pertambahan jumlah sistem kekerabatan, kepercayaan masyarakat
dan kebutuhan penduduk akan rumah hunian Batak Karo dan makna-makna simboliknya.
yang sesuai dengan tuntutan selera masa kini,
sehingga keberadaan rumah adat Karo semakin B. Gerga dalam Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Karo
memarjinalkan. Fenomena tersebut belum men-
dapat perhatian yang cukup dalam kajian aka- 1. Sosial budaya masyarakat Batak Karo dan
demik, maka perlu kiranya dilakukan penelitian, kehadiran gerga

bagaimana keberadaan latar belakang sosial Ada dua hal yang menjadi keunikan dalam
budaya masyarakat Batak Karo hingga muncul- kebudayaan suku Batak Karo, yaitu sistem ke-
nya gerga pada rumah adat; dan mengapa dalam percayaan (religi) dan sistem kekerabatan. Untuk
perkembangannya gerga muncul dalam bentuk menjalankan kepercayaannya, orang Batak Karo
ekspresi yang berbeda? Bagaimana bentuk rumah terlebih dahulu melakukan ritual. Semua jenis
adat Batak Karo; serta bagaimana pula bentuk, ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap
118 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

penghormatan kepada roh-roh nenek moyangnya meratap, menangis, dan menyatakan seluruh
untuk menjamin keselamatan bagi keluarga yang perasaannya tentang arwah orang yang me-
masih hidup. Ritual ini penting dilaksanakan, ninggal dunia tersebut.
sebab menurut Acih Ginting (Ginting, wawancara Orang Batak Karo memiliki kepercayaan
13 Agustus 2009), jika tidak dilaksanakan maka bahwa rumah adat merupakan tempat ber-
roh-roh tersebut atau tendi akan bergentayangan semayamnya roh para leluhur maupun dewa-
menganggu orang-orang yang masih hidup dan dewa. Oleh karena itu, membangun rumah adat
hal ini tentu menakutkan bagi keluarganya. Untuk adalah sama seperti membuat “rumah tinggal”
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka para makhluk gaib. Di rumah ini roh-roh leluhur
dilakukanlah pemanggil-an roh-roh yang sudah akan bersemayam selamanya. Mereka secara
mati (Perumah Begu). sungguh-sungguh membuat seperangkat ritual
dalam proses pendirian rumah adat tersebut, dan
prosesnya dilakukan secara bersama dan gotong
royong baik bersama keluarga inti maupun
masyarakat kampung setempat. Dalam kaitan ini
Masri Singarimbun (1975:55) menjelaskan:

A number of complex ritual and ceremony are per-


formed at successive stages during the building of a
housing the side, selecting and felling the trees erect-
ing the piles and establishing the hearths in certain
circumstances, the occupants of the house constitute
a ritual group.

(Sejumlah ritual dan upacara yang kompleks


diselenggarakan secara bertahap dan ber-
urutan selama membangun sebuah rumah-
Gambar 1. Tari-tarian masyarakat Batak Karo sering mulai dari memilih lokasi, menyeleksi dan
digunakan dalam upacara ritual ± tahun 1900 (Sumber: menebang kayu-kayu pohonnya, menegakkan
K.I. Museum Amsterdam, Capture) kerangka rumah dan menjalankan kehidupan
rumah tangga. Pada kondisi tertentu, pendiri
rumah tersebut melakukan sebuah rangkaian
Pemujaan ini dilakukan karena dalam keluarga dari kumpulan ritual).
ada yang mati dalam satu hari (mate sadawari), baik
karena sakit ataupun kecelakaan. Arwah dari Pandangan di atas menjelaskan bahwa proses
orang yang mati diyakini dapat mengganggu ritual mendirikan rumah adalah berkaitan dengan
keluarga. Oleh karena itu pada ritual, satu di karakter alam maupun ekologinya. Ritual merupa-
antaranya adalah ritual mangmang, yaitu dengan kan implementasi sakral yang berhubungan
cara memberi sesaji berupa sebatang rokok yang dengan makrokosmos, sebab dalam praktiknya
sudah dinyalakan serta dijepit pada sebatang mereka melakukannya dengan hati-hati berdasar-
ranting kecil di tanah, kemudian dilengkapi kan perhitungan kalender Batak (katika), bahwa ada
dengan seperangkat daun sirih yaitu lazimnya delapan penjuru mata angin sebagai pedoman
orang yang makan sirih. Lalu bersama seluruh orang Karo, termasuk dalam kaitannya dengan
keluarga mereka duduk menghadap pohon sambil pendirian rumah. Sikap kehati-hatian ini juga
Fuad Erdansyah 119
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

salah satu yang mendorong perilaku orang Karo bagi orang Batak Karo kuno merupakan pen-
melakukan ritual. Dalam kaitan dengan penebang- jelmaan roh-roh yang menguasai dunia bawah,
an kayu sebagai tiang rumah, peranan seorang yang akan melindungi manusia dari kekuatan-
dukun atau guru dibutuhkan sebagai penghubung kekuatan jahat maupun yang bersifat magis. Oleh
ke dunia magis, cara yang dilakukan adalah karena itu motif gerga yang paling primitif pada
dengan meletakkan sesajian berupa belo selambar rumah adat Batak Karo adalah motif pengretret.
atau daun sirih lengkap dengan kapur dan Selanjutnya motif inilah yang menjadi cikal bakal
tembakaunya di bawah kayu nderasi dan kayu kehadiran gerga-gerga berikutnya pada rumah
serbenaik yang akan ditebang. Aturan lainnya juga tersebut.
yang terkait dengan penempatan letak rumah Tranformasi bentuk-bentuk makhluk tersebut
tidak boleh di atas batu besar, dan harus meng- dalam temuan para arkeolog adalah perwujudan
hadap arah aliran sungai di satu kampung yaitu estetika manusia purba berdasar kepercayaan
menghadap kenjulu (hulu) dan kenjahe (hilir) sinkret yang berkembang antara agama asli dengan
sampai proses mendirikan rumah. Setelah itu pengaruh Hindu. Konsep estetika manusia pra-
memasuki rumah baru, maka mereka melakukan sejarah dalam dunia arkeologi terbagi ke dalam
ritual pemujaan kepada kekuatan gaib, roh, atau tiga sifat-sifat dalam kosmologi manusia pada
makhluk halus lainnya agar diberikan keselamat- masa itu, yaitu sifat sakral menempati posisi ter-
an, kedamaian, kesejahteraan, bagi penghuninya. tinggi yang menggambarkan kekuatan yang tak
Hubungan makrokosmos mengambarkan terindra, kemudian semisakral yaitu yang meng-
adanya kekuatan di belakang proses mendirikan hubungkan dunia bawah dengan dunia atas, dan
rumah, yaitu: (a) kekuatan gaib yang berada di yang terakhir adalah profane (Sukendar, 2004:59).
bumi, (b) kekuatan gaib yang berada di rumah, Simbol-simbol tersebut terdapat dalam berbagai
dan (c) kekuatan gaib yang berada pada makhluk peninggalan artefak-artefak kuno. Konsep primitif
halus atau gaib. Kekuatan gaib ini kemudian di- ini merupakan kebudayaan manusia yang ber-
representasikan pada diri penghuninya. Orang kembang dan secara bersama-sama bersentuhan
batak Karo mempercayai bahwa terdapat dengan sistem-sistem kepercayaan baru, seperti
makhluk-makhluk legenda yang mempunyai Hindu-Budha dan Islam.
kekuatan gaib baik yang tidak terlihat ataupun
yang terlihat. Makhluk yang tidak terlihat disebut 2. Sistem Organisasi Kemasyarakatan dan
sebagai makhluk halus yang menyerupai manusia Kekerabatan Masyarakat Batak Karo

dan binatang dan ada juga yang berasal dari Batak Karo memiliki sistem organisasi sosial
arwah maupun dewa alam (semula jadi). berdasarkan sistem kekerabatan yang disebut
Makhluk-makhluk gaib yang menguasai dunia rakut sitelu. Secara harfiah arti rakut sitelu adalah
bawah, yaitu dunia manusia adalah makhluk- ikatan yang menjadi satu (rakut = ikat, sitelu = yang
makhluk dengan motif raksasa (singa), termasuk tiga). Dalam praktik sosialnya rakut sitelu terbentuk
juga makhluk yang menyerupai binatang cecak dari hubungan perkawinan yang kemudian mem-
yang memiliki dua kepala disebut oleh orang Batak bentuk pranata sosial dengan menempatkan tiga
Karo pengretret. Hewan-hewan legenda tersebut unsur keluarga yaitu pihak pemberi dara disebut
120 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

kalimbubu dan pihak penerima dara disebut anak Jumlah marga dan sub marga pada orang Batak
beru dan pihak saudara dari kedua belah pihak Karo cukup banyak, sehingga pada 3 Desember
masing-masing disebut senina. Ketiga unsur 1995 atas Keputusan Kongres Kebudayaan Karo
keluarga ini membentuk sistem kekerabatan yang ditetapkan pemakaian marga hanya berdasarkan
menjadi tradisi masyarakat Batak Karo. “marga silima” yaitu Ginting, Karo-Karo, Perangin-
Masing-masing unsur keluarga dalam sistem angin, Sembiring, dan Tarigan (Prinst, 2004:42).
rakut sitelu memiliki perannya masing-masing. Di atas telah dijelaskan, bahwa sistem ke-
Kalimbubu adalah pihak yang paling dihormati dan kerabatan masyarakat Karo dapat dilihat dari
memegang peranan sebagai penasihat atau kon- penggunaan marga, termasuk kedudukan dan
sultan yang berkaitan dengan peristiwa adat fungsinya dalam adat istiadat telah diatur secara
seperti perkawinan, pendirian rumah, atau juga turun-temurun. Demikian juga status keluarga
pada peristiwa kematian. (Kinship) juga di atur oleh adat istiadat berdasarkan
Sistem kekerabatan lain yang turut memper- ruang ketika berada di dalam rumah adat (jabu).
erat hubungan kekerabatan adalah “marga.” Bagi Berdasarkan posisi ruang yang mereka tempati,
masyarakat Batak pada umumnya, marga men- maka seorang kepala keluarga akan menjalankan
jadi panggilan yang terhormat bagi seseorang. segala fungsi kewajiban dan haknya berdasarkan
Penempatan marga diletakkan di belakang nama adat istiadat.
pertama, misalkan Gunawan Tarigan, Gunawan Sistem kekerabatan Batak Karo merupakan
(nama pertama), Tarigan (marga). Bahkan dalam implementasi dari sifat gotong royong dan ke-
pergaulan sehari-hari, panggilan marga pada bersamaan dalam praktik kehidupan sosial dan
seorang suku Batak merupakan hal yang lazim. spiritual. Sifat kegotongroyongan ini meningkat
Rasinta Tarigan mengatakan: “Memanggil marga dalam berbagai tindakan termasuk dengan pen-
bagi orang Batak itu menunjukkan keakraban dan dirian rumah adat berikut ragam hiasnya atau
terdengar lebih sopan”(Tarigan, wawancara 20 gerga. Bahkan dalam kaitan ini Nande Erni me-
April 2010) ngatakan: “dengan berkurangnya jumlah rumah
adat saat ini, dikhawatirkan generasi mendatang
khususnya orang Karo akan kehilangan adatnya”
(Erni, wawancara 3 Juni 2010). Pernyataan ini
Kalimbubu memberikan gambaran tentang pentingnya
rumah adat sebagai tempat interaksi sosial dan
terbentuknya norma-norma sosial dalam ke-
SUKUT / hidupan sehari-hari.
TUAN
RUMAH Senina
Anakberu
3. Gerga dan Kehadirannya pada Rumah Adat
Batak Karo

Keberadaan gerga atau ragam hias yang se-


Gambar 2. Skema Rakut Sitelu dalam sistem ke- belumnya sudah berkembang sebagai kerajinan
kerabatan Batak. masyarakat Batak Karo kemudian digunakan
Fuad Erdansyah 121
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

untuk memperindah rumah adat raja-raja Batak Manusia membutuhkan dan menggunakan
Karo, khususnya pada masa Kerajaan Lingga, simbol-simbol dalam berinteraksi dengan
yaitu Raja Sendi Sibayak Lingga, dan putranya lingkungan, baik yang kasat mata maupun yang
yaitu Raja Kalilong Sebayak Lingga. Karena itu tak tampak. Gerga pengretret, tapak Raja Sulaiman
gerga pada rumah adat Batak Karo disebut juga merupakan gerga yang mengandung makna magis.
“Rumah Gerga” atau rumah raja. Senada dengan Gerga pengretret digunakan untuk menangkal ber-
pandangan ini Pa Lidya dan Nd. Erni menyebut- bagai kekuatan magis khusus bagi penghuni
kan bahwa yang “rumah gerga adalah rumah raja” rumah, sehingga pengretret ditempatkan pada
(Pa Lidya, wawancara 2 Juni 2010; Erni, wawacara bagian dinding luar dan bagian atas ayo rumah.
3 Juni 2010), atau sebaliknya. Kehadiran gerga pada rumah adat Batak Karo di-
Sejak hilangnya kerajaan Sibayak Lingga yang analogikan ke dalam sistem religi mengandung
pernah ada sebelum zaman kemerdekaan, tradisi makna konotatif dan bernilai sakral, karena itu
membangun rumah juga semakin berkurang, hal penempatan gerga yang bernilai sakral ditempat-
ini mengingat besarnya biaya yang dikeluarkan kan pada tempat yang tinggi dan terhormat, dunia
untuk membangun rumah adat tersebut. Pada atas adalah dunia debata, dewa, leluhur, orang-
masa Kerajaan Sibayak Lingga masih berdiri, orang sakti, raja, orang-orang terhormat, bahkan
banyak di antara orang-orang kaya (bayak) yang
termasuk kalimbubu.
membangun rumah adat mereka. Tetapi saat ini
Orang Batak Karo memberi tanda pada dunia
rumah-rumah tersebut sebagian tampak sudah
atas dengan menempatkan simbol-simbol yang
mulai lapuk dan rubuh. Kebudayaan asli mampu
diberi makna. Kepala kerbau diberi makna sebagai
bertahan karena orang Batak Karo Gunung cukup
lambang kehormatan dan pemujaan. Demikian
lama, bahkan sampai ribuan mengisolasi diri
juga gerga pengretret, gerga ini merupakan gerga yang
terhadap dunia luar di dataran tinggi Gunung
paling khas bagi masyarakat Batak, khususnya
Sinabung dan Sibayak Kabupaten Karo.
Batak Karo. Pengretret adalah transformasi mahkluk
Sistem kepercayaan masyarakat tradisional
legenda, seperti cecak dan berkepala dua. Dalam
Batak Karo adalah merupakan perpaduan agama
kepercayaan purba makhluk ini sebagai lambang
asli animisme dengan kepercayaan Hindu.
dunia bawah, dunia gelap dan mistis. Orang Batak
Sinkretisasi ini pun kemudian melahirkan pan-
Karo menempatkan pengretret sebagai simbol untuk
dangan kosmologi tentang adanya debata (Tuhan)
menangkal kekuatan ilmu hitam yang menyerang
yang mengatur jagad raya, dunia bawah (debata
penghuni rumah. Dunia tengah adalah ruang
teruh), dunia tengah (debata tengah), dan dunia atas
kosmo, ruang kehidupan tempat keluarga dan
(debata datas). Berdasarkan tingkatan debata kemu-
tempat manusia melaksanakan hubungan ritual
dian terdapat simbol-simbol yang menggambar-
dengan daya-daya transenden semi sakral. Karena
kan dunia atas yaitu kekuatan dari pencipta Banua
itu pengretret ditepatkan pada dinding rumah (derpih)
Holing (sakral) debata datas, dunia tengah untuk
dan wajah rumah (ayo rumah) agar ruang kosmo
kekuatan gaib, roh dan makhluk halus (semi
tersebut tidak terganggu oleh kekuatan-kekuatan
sakral) debata tengah, dan dunia bawah untuk
magis dan mistis dari luar.
manusia (profan) debata teruh.
122 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

Kehadiran gerga tapak Raja Sulaiman juga dahulu digunakan untuk hiasan tikar atau tempat
demikian. Menurut cerita mitos digunakan sebagai duduk oleh raja pada masa itu, tetapi ketika ke-
tempat duduk raja, juga sebagai motif ukiran yang kuasaan raja sudah berakhir, maka gerga tersebut
indah pada pisau raja. Raja Sulaiman adalah kemudian menjadi hiasan seperti yang saat ini
nama mitos tentang dukun sakti yang mampu terdapat pada bidang melmelen (palang dapur)
mengobati berbagai penyakit. Gerga tapak Raja yang terdapat bagian bawah lantai.
Sulaiman menjadi lambang magis digunakan Kesimpulan awal yang dapat ditarik dari
untuk hiasan tikar atau tempat duduk oleh raja- paparan di atas bahwa konsep orang Batak Karo
raja pada masa itu. Dukun sakti mampu menjadi menempatkan kehadiran gerga adalah representasi
mediator atau penghubung ke dunia sakral dan kepercayaan kuno animistik dan magis, serta
memberi petunjuk-petunjuk magis dalam ber- sistem kekerabatan yang telah menjadi tradisi
bagai prosesi ritual, karena ia merupakan orang melalui pandangan rakut sitelu. Kosmologi masya-
yang istimewa dan dihormati. Atribut yang di- rakat Batak Karo ini dapat diklasifikasikan ke
kenakannya menjadi lambang yang mengandung dalam tiga dimensi. Pertama, dimensi spiritual
ajaran-ajaran dan bernilai semi sakral. sebagai ekpresi kepercayaan, bahwa motif yang
Sistem religi dan kekerabatan rakut sitelu diberi nama dan makna itu adalah personifikasi
merupakan faktor yang mendorong kehadiran roh atau makhluk halus (konotatif) yang me-
gerga menjadi lambang dalam mengkomunikasi- nguasai daya-daya transenden dunia atas. Simbol
kan pesan-pesan spiritual sekaligus menjadi gerga pada dunia atas ini adalah kepala kerbau
simbol kebudayaan masyarakat Batak Karo. sebagai persembahan maupun pemujaan. Dimensi
Kosmologi masyarakat Batak Karo pada rumah yang kedua adalah dimensi fungsional (denotatif),
adatnya telah direpresentasikan ke dalam makna- yang menguasai dunia tengah seperti pengretret
makna simbolik. Tetapi dalam perkembangannya, diberi makna sebagai penangkal magis, termasuk
makna gerga telah mengalami perubahan nilai juga gerga cimba lau yang diukirkan pada gayung,
ketika masyarakat tradisional pindah ke sistem lalu diberi makna magis karena fungsinya sebagai
religi yang baru. Pergeseran ini menghadirkan tempat obat ataupun air keramat. Tempat atau
ekspresi yang berbeda dari sebelumnya. Karena gayung ini kemudian diyakini memiliki kekuatan
itu, meski bentuk maupun pola gerga, khususnya magis untuk keperluan obat-obatan atau mistik.
pengretret, tapak Raja Sulaiman tidak mengalami Dimensi kedua ini disebut sebagai dimensi bernilai
perubahan bentuk, tetapi penggunaan dan pe- semi sakral karena mengandung ajaran maupun
nempatannya sebagai penghias bidang-bidang tunutunan. Dimensi ketiga, bahwa gerga juga
interior, sekolah, gedung-gedung perkantoran, sebagai pemenuh kebutuhan estetik arsitektur
gapura, dan tugu atau monumen, kiranya telah rumah adat, maupun bidang-bidang lainnya yang
menghadirkan ekspresi yang berbeda, yaitu men- bersifat profan dan cirinya adalah pada pola-pola
jadi ekpresi seni dan budaya profan sehingga stilasi tumbuhan pada bidang melmelen, namun
kehilangan makna sakralnya. Demikian juga pada bidang ini juga menggunakan pola semi
dengan motif geometrik khususnya tapak Raja sakral menjadi hiasan estetik seperti halnya gerga
Sulaiman yang dimaknai sebagai lambang magis, cimba lau.
Fuad Erdansyah 123
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

C. Rumah Adat Batak Karo sebagai rumah gerga atau juga rumah raja, sebab
rumah adat tersebut sebelumnya adalah milik raja
Rumah adat Batak Karo yang tersebar di
atau orang-orang kaya” (Ginting, wawancara 2
beberapa desa dan kecamatan di Kabupaten Karo
Juni 2010).
sudah berdiri sejak beberapa abad silam. Ke-
Masri Singarimbun (1975:55) menjelaskan,
hadirannya merupakan simbol ekspresi ke-
bahwa pengertian rumah adat Batak Karo tidak
budayaan masyarakat Batak Karo atas dorongan
hanya terkait dengan fungsinya, tetapi yang ber-
kebutuhan masyarakat tradisional Batak Karo
kaitan dengan proses pendiriannya, “There are so
menjalankan fungsi-fungsi kebudayaannya.
many adat rules governing erecting and occupying the
Kata “rumah” dalam pengertian orang Batak
house,” said Pa Sali, are prominent priest, “ deep is way is
Karo sering menunjukkan alamat atau tempat
this called adat house” (Ada begitu banyak aturan
tinggal seseorang. Dalam tingkat sosial atau
adat yang mengatur dalam hal mendirikan dan
kekerabatan, pengertian “rumah” beralih menjadi
menempati rumah tersebut’ kata Pa Sali, pemuka
jabu artinya rumah tangga atau tepatnya keluarga.
agama yang berpengaruh di tempat tersebut,
Hakikat rumah dalam pengertian orang Karo
“itulah mengapa dinamakan rumah adat). Dengan
adalah tempat berlangsungnya kehidupan
demikian rumah adat Batak Karo adalah seni
keluarga. Dalam rumah adat orang Karo terdapat
bangunan (arsitektur) yang mengandung berbagai
aturan-aturan dan adat istiadat yang mengatur
bentuk dan makna simbolis, sebagai tempat
kehidupan dalam hubungannya dengan kosmo-
tinggal menjalankan fungsi-fungsi keluarga ber-
logi.
dasarkan sistem kekerabatan dan sistem ke-
Rumah adat Batak Karo adalah satu di antara
percayaannya.
bangunan-bangunan tradisional lainnya, dalam
Arsitektur rumah adat Batak Karo berdasarkan
kaitan ini Abdul Azis menjelaskan:
anatomi konstruksinya dapat dibagi kedalam tiga
Pengertian rumah tradisional, yaitu suatu
bangunan dimana struktur, cara pembuatan, susunan, Achim Sibeth menjelaskan:
bentuk, fungsi, dan ragam hiasnya mempunyai
ciri khas tersendiri yang diwariskan secara The space for animals below the living level simbolizes
turun-temurun, serta dipakai oleh penduduk the underworld. The living level, raised on pillars above
daerah setempat untuk melakukan aktivitas the underworld, Is where humans dwell. Above this is
kehidupan sebaik-baiknya (Said, 2004:47). the high roof, which corresponds to the abode of the
gods and also sometimes of the ancestors (Achim
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pengertian Sibeth, 1991:115).
(Ruang untuk binatang di bawah lantai ruang
rumah tradisional selain unsur arsitektur (seni
keluarga melambangkan dunia bawah. Lantai
bangunan) juga terdapat sejumlah fungsi-fungsi keluarga, yang berdiri di atas pilar-pilar di atas
dunia bawah, adalah tempat tinggal manusia.
sosial karena dipakai oleh penduduk. Di atasnya ada atap tinggi, yang sesuai dengan
Rumah adat Batak Karo didirikan berdasarkan tempat kediaman dewa (Tuhan) dan juga
kadang-kadang nenek moyang.)
kelompok marga-marga tertentu (klan). Maka
kepentingan rumah tersebut tidak akan se- Berdasarkan bidang kosmo rumah adat Batak
penuhnya untuk kepentingan penduduk. Hal ini Karo dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
senada dengan pernyataan Pa Lidya Ginting Pertama, bagian bawah terdiri dari kolong rumah,
bahwa “rumah adat Batak Karo sering disebut binangun (tiang rumah), umpak (fondasi rumah),
124 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

sendi-sendi (sambungan tiang), kemudian tangga 3. Lepar benakayu, berlawanan dengan pangkal
dan ture-ture (teras rumah). pohon
Kolong rumah merupakan tempat yang kotor, 4. Lepar ujungkayu, lawan dengan ujung pohon
sebab digunakan sebagai tempat menyimpan 5. Sedapuren benakayu, membagi dapur dengan
kayu perapian, membuang sampah, membuang batang pohon
kotoran manusia, kandang ternak, seperti kerbau, 6. Sedapuren ujungkayu, membagi dapur dengan
anjing, babi dan sampah organik lainnya, jelasnya ujung pohon

segala yang bersifat kotor akan diletakkan atau 7. Sedapuren leparbenakayu, membagi dapur

dibuang ke bawah. Unsur-unsur tersebut merupa- berlawanan arah dengan batang pohon

kan komponen rumah yang menempati kosmo 8. Sedapuren lepar ujungkayu, membagi dapur ber-

dunia bawah. lawanan arah dengan ujung pohon.

Kedua, bagian tengah pada rumah adat terdiri


dari dinding (derpih), pintu, jendela, dan lubang
angin (derpih angin) adalah tempat atau ruang bagi
manusia yang menghuni rumah tersebut. Bagi
masyarakat tradisional pengaturan ruang mau-
pun bahan yang digunakan cenderung me-
ngandung unsur-unsur simbolik. Pada rumah
adat Batak Karo setiap ruang tinggal memiliki
Gambar 3. Denah Kamar pada rumah adat Batak Karo.
nama tertentu berasal dari pengaturan balok kayu
rumah tersebut, dan sistem penamaan dihubung- Ketiga, bagian atas yang terdiri dari atap dan
kan dengan organisasi sosial di rumah tersebut. anak atap (tersek), ayo (wajah rumah) dan anjungan.
Termasuk penempatan balok kayu horizontal Bagian atas rumah adat Batak Karo, berdasarkan
diatur sedemikian rupa, ujungnya yang runcing komponen konstruksinya terdiri dari atap utama,
menandai dasar dari setiap balok kayu. Dasar kayu atap bertingkat (tersek). ayo rumah (wajah rumah),
tersebut ada pada bagian bawah dari cabang dan derpih angin (ventilasi) .
pohon yang kayunya diambil. Dasar balok kayu
menempati sepanjang sisi timur dan barat yang
diarahkan ke utara, dan fondasi kayu menempati
sepanjang sisi utara ke selatan. Dengan demikian,
semua balok kayu diarahkan ke arah sudut
tenggara rumah. Fondasi horizontal balok kayu
mengarah pada sudut A dan ujung balok kayu
bagian atas nya mengarah ke sudut B. Berdasarkan
pengaturan ini, kamar deret ditata seperti berikut.
1. Benakayu, pokok dari pohon
Gambar 4. Rumah adat Batak Karo, model atap sada
2. Ujungkayu, puncak pohon tersek (satu tingkat).
Fuad Erdansyah 125
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

Atap kedua disebut tersek. Secara estetik bentuk tepian papan diukirkan motif ipen-ipen (gerigi)
tersek ini menambah nilai seni pada bagian atap sekaligus memperindah papan tersebut.
bangunan rumah adat Batak Karo. Ukurannya Pada bagian atas rumah terdiri dari tiang atau
lebih kecil dan menggunakan ijuk seperti pada atap balok-balok kayu yang disusun secara vertikal, di-
utama. Tersek ini berfungsi menambah keindahan agonal dan horizontal. Susunan balok kayu
anatomi atap, juga sebagai tempat meletakan ayo demikian merupakan rangka atau penyangga
rumah dan derpih angin. Ayo atau wajah rumah ter- bidang atap rumah dan bertumpu pada tiang
letak pada dua sisi tersek menghadap muka dan utama yang disebut binangun. Pada bagian
belakang. Jumlah ayo rumah kadangkala ber- berikutnya terdapat delapan batang balok besar
variasi, ada yang terdiri dari dua ayo, ada juga disebut tekang berdiameter 30 cm. Pemasangan
yang terdiri dari empat ayo. Jumlah ayo ini ter- tekang sering dilakukan dengan upacara tertentu.
gantung pada besar kecilnya bangunan rumah Dalam gaya rumah modern tekang ini sama artinya
adat. Tahun 1910 masih terdapat rumah yang dengan kuda-kuda berupa kayu yang cukup kuat.
cukup besar dengan jumlah ayo sekitar delapan
buah, yaitu rumah Pa Mblegah. Pada bagian
D. Bentuk, Simbol Gerga dan Pemaknaannya
bawah ayo terdapat dinding kecil terbuat dari
papan yang disebut derpih angin. Derpih angin ber- Gerga sebagai ragam hias Batak Karo lahir atas
fungsi sebagai pengaturan sirkulasi udara agar dorongan kebutuhan estetik yang telah berakar
asap dapur yang memerihkan mata dapat keluar sejak berabad-abad silam, bahkan dorongan ini
membumbung tinggi melewati derpih angin ter- muncul bersama pengetahuan tradisi lainnya.
sebut. Derpih angin ini terbuat dari papan yang Sistem kekerabatan dan sistem kepercayaannya
disusun sedemikian rupa dengan pola vertikal paling menonjol mempengaruhi kehadiran gerga
serta memiliki sudut kemiringan 60°. Pada bidang dan arsitektur rumah adatnya, Kedua sistem ini
ini terdapat gerga dengan motif pengretret. berkembang dan kemudian membentuk pranata
Ayo (wajah rumah) satu-satunya bidang sosial menjadi dasar kebudayaan masyarakat
rumah yang paling banyak menggunakan unsur Batak Karo,
gerga . Pola geometris, dan motif flora dan fauna Fungsi ragam hias tersebut kadangkala me-
dan motif kosmos sebagai motif utama. Konon ngandung makna-makna tertentu yang bersifat
dahulu itu terbuat dari kayu dan hiasan diukir simbolik. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek
pada kayu tersebut. Pola segitiga dan peletakannya kebudayaan, simbol-simbol tersebut merupakan
miring sama seperti posisi kemiringan derpih representasi perasaan, pikiran atau juga pandang-
rumah. Namun dalam perkembangannya, bagian an hidup masyarakatnya. Setiap simbol harus di-
ayo rumah tersebut menggunakan anyaman tempatkan terlebih dahulu dalam kebudayaan
bambu, dan motif-motif gerga dilukiskan meng- suku berdasarkan habitat budayanya. Simbol-
ikuti tekstur anyaman bambu tersebut, sehingga simbol seni pra-modern adalah simbol-simbol
pola geometris semakin terlihat jelas. Untuk kolektif kepercayaan suku. Hal ini sama seperti
memperkuat letak ayo yang miring maka di setiap simbol-simbol dalam agama Kristen atau Islam
sisinya dijepit dengan sebilah papan, dan pada (Sumardjo, 2006:46).
126 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

Makna-makna simbolik seni dalam kebudayan sosial berdasarkan rakut sitelu dan sistem ke-
masyarakat tradisional merupakan konvensi percayaannya. Peran tokoh Rakut Sitelu adalah
komunitasnya, sehingga kadangkala tidak dapat Kalimbubu. Kalimbubu. dalam kehidupan sehari-hari
dijangkau oleh kelompok di luar sukunya. Jakob bahkan sering disebut sebagai di bata ni idah (Tuhan
Sumardjo mengatakan untuk memahami secara yang kelihatan) (Prinst, 2004:51).
rasional (konsep) simbol-simbol seni etnik Indo- Kalimbubu juga memegang peranan penting
nesia, mau tidak mau kita harus memasuki ke- dalam kaitannya dengan rumah adat. Dalam ritual
budayaan atau cara berpikir komunitas penghasil pendirian rumah misalnya, tidak hanya dukun
simbol seni tersebut (Sumardjo, 2006:47). yang memegang peranan, tetapi juga Kalimbubu.
Pola estetika masyarakat Batak Karo merupa- “The site of the house is chosen by divination. This rite is
kan pola kebudayaan tradisional yang ber- carried out not by a priest or older but by a female Kalimbubu
kembang bersama dengan kebudayaan lainnya. of the head of the house (pengulu rumah) who will later
Demikian juga dengan bentuk keseniannya, seperti occupy the “base” apartmen” (Singarimbun, 1975:67).
gerga dan arsitektur rumah adat. Unsur seni yang Letak rumah dipilih dengan ramalan. Ramalan ini
berkembang menunjukkan polanya secara spesifik tidak berasal dari dukun atau tetua namun dari
karena konsep kebudayaannya. Pola kesenian kalimbubu wanita dari kepala rumah tersebut
demikian dapat juga terjadi pada kelompok etnik (pengulu rumah) yang nantinya menempati ruang
lainnya, namun tetap memiliki kekhususan. Gerga tinggal dasar.) Pola tiga rakut sitelu dapat dikatakan
sebagai elemen estetik memiliki karakteristik sebagai jantung kebudayaan Batak Karo; ketiga-
tersendiri berdasarkan pola estetikanya. Namun nya menggerakkan sistem sosial dan membentuk
kebanyakan simbol-simbol tersebut bersifat pola pranata sosial yang kemudian membentuk sistem
dan abstrak. Bahkan simbol-simbol yang meng- kebudayaannya, termasuk unsur-unsurnya.
ambil referen faktual pun harus dikembalikan Unsur-unsur yang dimaksud adalah kesenian,
kepada polanya, apakah pola dua, tiga, empat gerga, dan rumah adat, yang semuanya dilandasi
semua memiliki strukturnya dan setiap unsur konsep pola tiga. Dengan demikian pola tiga ikut
simbol memiliki tempatnya, apakah di bawah, di mendasari dalam konsep estetikanya.
atas, di kiri atau di kanan, berhadapan atau ber- Dalam dunia antropologi, kepercayaan masya-
lawanan, pola demikian sering diabaikan dalam rakat kuno ini berkembang namun tidak hilang
membaca makna rasional simbol seni di Indone- bahkan berjalan bersama dengan sistem ke-
sia (Sumardjo, 2006:46). percayaan lainnya. Wilken menyebutkan ke-
Berdasarkan keberadaanya, gerga menempati beradaan Tuhan dan makhluk-makhluk halus
bidang-bidang yang terstruktur pada rumah adat termasuk roh lainnya, sama-sama menempati
Batak Karo mulai dari bagian bawah, bagian seluruh alam, dan menjadi dasar kepercayaan dari
tengah, hingga bagian atas. Tetapi secara terpisah, semua umat manusia (Sumardjo, 2006:170). Ke-
bahwa gerga mengandung unsur-unsur rupa dan beradaan gerga dan rumah adat, tidak terlepas dari
berdasarkan prinsip-prinsip kesenirupaan meng- konsep simbolik kepercayaan kosmologi Batak
hadirkan makna artifisialnya sendiri (denotatif). Karo. Oleh karena itu konsep estetika masyarakat
Pola estetika lainnya terbentuk dari interaksi Batak Karo juga menempati ruang metakosmos
Fuad Erdansyah 127
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

yaitu semula jadi nabolon (Batak Toba) (Hasibuan, melmelen (tingkat yang bawah), derpih (tingkat
1985:60). Dalam metakosmos Tuhan menguasai tengah), dan ayo dan anjungan ( tingkat atas).
tiga ruang jagad raya, yaitu debata datas, debata
tengah dan debata teruh. Keberadaan gerga pada 1. Gerga pada melmelen

rumah adat, dapat diklasifikasikan menurut Posisi melmelen(palang dapur) tepat sejajar
motifnya dan menurut penempatannya pada dengan lantai. Secara estetis melmelen dikategori-
rumah adat. Kedua aspek tinjauan ini merupakan kan sebagai wilayah bawah. Motif-motif yang
aspek semiologis yang menguraikan makna deno- terdapat pada melmelen ini adalah motif-motif Tapak
tasi dan makna konotasi berdasarkan pola estetika Raja Sulaiman, Bindu Natogog, Embun Sikawiten, Bunga
Batak Karo. Gundur dan Pantil Manggis, Teger Tudung, dan Takal
Unsur-unsur rupa pada gerga terdiri dari garis, Dapur.
bidang, ruang dan tekstur. Unsur-unsur ini mem-
a. Motif Tapak Raja Sulaiman
bentuk kesatuan artfisial denotatif. Unsur garis
Motif gerga tapak Raja Sulaiman adalah motif
dan bentuknya menunjukan benang merah yang
yang sangat dikenal oleh masyarakat Batak Karo
menghubungkan kebudayaan Batak Karo dengan
juga Simalungun. Kata Sulaiman adalah nama
kebudayaan megalitikum. Oleh karena itu unsur
seorang dukun sakti yang melegenda. Konon
garis pada gerga akan dilihat berdasar ciri dan
dukun tersebut mampu mengobati putri raja yang
kesamaannya dengan bentuk ragam hias pada
sakit tak kunjung sembuh. Sang dukun melakukan
masa kebudayaan megalitikum. Motif garis yang
pengobatan dengan cara menyembelih ayam.
membentuk pola gemoetris, seperti pilin “S”
Darah ayam tersebut digunakan untuk membuat
lingkaran memusat, garis lurus bersambung, garis
garis di tanah seperti melukis. Dengan cara itu
lurus terputus, garis lengkung, garis patah, dan
kemudian putri raja tersebut sembuh, raja kemu-
garis segitiga runcing (tumpal). juga terdapat pada
dian memerintahkan pengawalnya untuk mem-
gerga. Berdasarkan wujudnya seperti pola geo-
buat lukisan dari darah ayam itu pada sebidang
metrik, pola stilasi tumbuhan dan hewan yang
papan. Dalam perkembangannya motif (lukisan
muncul secara berulang (repetition), maka gerga
darah) itu dilukiskan pada bidang melmelen.
mengandung makna denotatif yang memberikan
kepuasan estetik atau kepuasaan keindahan.
Demikian juga sebaliknya, estetika rumah adat
tidak hanya dilihat berdasarkan seni bangunan-
nya semata (arsitektur), melainkan juga memper-
hatikan unsur gerga pada rumah adat tersebut.
Dengan demikian makna simbolik gerga dapat
dilihat melalui analisis interpretif dan pendekatan
kebudayaannya. Untuk itu gerga diklasifikasikan
ke dalam tiga bagian menurut keadaannya pada
Gambar 5. Rumah adat Batak Karo di Desa Lingga
rumah adat tersebut. Menurut keadaannya,
dengan unsur-unsur gerga motif Bindu Natogog pada
tingkat pembagian gerga dimulai dari bagian bidang melmelen.
128 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

Motif tersebut diyakini sebagai ingan kundul Natogog merupakan istri dari Raja Sulaiman,
(tempat duduk) dukun Raja Sulaiman. Raja Sulai- sehingga penempatan gerga ini diletakkan secara
man menjadi personifikasi dukun. Kekuatannya berdampingan. Gerga Bindu natogog merupakan
ada yang terindra dan ada yang tak terindra. Dari deformasi bentuk dari Raja Sulaiman. Motifnya
sumber lain, Sulaiman adalah seorang nabi yang berupa garis bersilang dan saling mengkait, me-
dikenal dalam Kristen maupun Islam. Dalam lambangkan kekuatan kesatuan dan keutuhan.
agama tersebut, Nabi Sulaiman adalah orang Sebagai alat pegangan pada pintu rumah adat
yang diberi kelebihan oleh Tuhan (Allah) yang jauh justru adalah cikepen pengalo-alo. Sebagai pegangan
melebihi kemampuan manusia biasa. Bahkan bagi tamu yang berkunjung. Dengan demikian
diceritakan bahwa Nabi Sulaiman adalah manusia bindu natogog adalah sebuah pesan mengingatkan
yang diutus Tuhan untuk kebaikan umat manusia. tentang mitos atau legenda tentang adat per-
Ia dianugrahi kemampuan sama dengan semua kawinan yang sumbang dapat menyebabkan ben-
makhluk di dunia, termasuk dengan semua jenis cana seperti kemarau panjang.
hewan. Sehubungan cerita tentang Nabi Sulaiman
ini besar kemungkinan gerga Tapak Sulaiman c. Motif Embun Sikawiten

bukanlah gerga yang lahir pada zaman prasejarah. Embun sikawiten mengandung arti kemakmuran
Sebab makna yang terkandung dalam gerga ter- dengan adanya pengertian embun beriring.
sebut merupakan makna konotasi yang menyirat- Fungsinya tidak mengandung unsur mistis, tetapi
kan objek nyata, yaitu Nabi Sulaiman. Motif gerga hanya sebagai hiasan. Ornamen ini dibuat secara
ini dipercaya dapat menyembuhkan berbagai berulang-ulang untuk menghiasi bidang melen-
penyakit, penolak racun, penyembuh gatal-gatal; melen. Pada ujung ikal terdapat hiasan cekili kambing
bahkan alat-alat dapur rumah tangga lainnya dan tulak paku sebagai unsur hiasan. Perpaduan
menggunakan motif ini. sulur dengan cekili kambing ini disebut embun
sikawiten.
b. Motif Bindu Natogog Kedua ornamen ini dibuat mendampingi motif
Bindu dalam kamus Batak Karo adalah suatu Tapak Raja Sulaiman sebagai penambah keindah-
ukiran dari papan yang dipasang pada pintu an. Sering dipergunakan seniman sebagai hiasan
masuk rumah adat sebagai pegangan masuk ke pembagi bidang simetris. Ornamen ini dianggap
rumah, dalam pustaka Batak kata tersebut me- sebagai simbol keindahan, kemakmuran dan tidak
rupakan panggilan pada ibu dan ayah yaitu mengandung unsur mistik, tetapi hanya berfungsi
suami-istri yang kawin sumbang (kawin tidak sebagai hiasan.
direstui secara adat) sehingga menimbulkan
kemarau yang berkepanjangan (Prinst, 2004:89), d. Motif Bunga Gundur dan Pantil Manggis

sedangkan natogog berasal dari kata matagah nama Orang Batak Karo tidak asing mendengar kata
suatu ukiran kayu. Ada kemungkinan kata matagah motif bunga gundur dan pantil manggis (bunga
ini berasal dari kata meteguh yang berarti kuat. gundur dan buah manggis), sebab nama tersebut
Bindu Natogog merupakan pasangan dari Tapak adalah nama buah-buahan yang sering dimakan
Raja Sulaiman. Menurut legenda bahwa Bindu oleh masyarakat. Bunga gundur dan buah mang-
Fuad Erdansyah 129
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

gis sejenis tanaman dan buah-buahan ini cukup e. Teger Tudung

dikenal oleh masyarakat Karo. Bahkan buah Teger Tudung dalam kamus Karo adalah tutup
manggis memiliki arti yang sangat simbolik pada kepala wanita yang kedua ujungnya tegak ke atas
sifat manusia yang berbuat baik, seperti pepatah- (Darwan, 2002:663). Polanya seperti ujung daun
nya “hitam-hitam si buah manggis, meki hitam tetapi tumbuhan yang berdaun lebar dan juga seperti
manis.”Motif gerga merupakan sulur-sulur tum- bentuk motif kubah yang diapit kubah kecil di
buhan yang merupakan garis lengkung dan di- kanan dan kirinya. Motif teger tudung tidak banyak

ulang secara teratur. Selanjutnya pada ujung daun terdapat stilasi tumbuhan. Di tengahnya terdapat

terdapat putik bunga gundur. Sulur-sulur ini tiga kelopak bunga seperti cekili kambing. Meskipun

adalah deformasi yang sederhana dari daun dalam kamus diartikan sebagai pencitraan

gundur yang sesungguhnya. Pola hiasan yang di- wanita, tetapi bagi masyarakat Karo justru me-

sebut gerga ini disusun dan ditempatkan secara lambangkan ketampanan dan kewibawaan (laki-
laki).
horizontal sesuai gelombang daun bunga gundur.
Gerga ini dibuat untuk hiasan tengah melmelen
Bentuk yang sederhana ini merupakan tindak-
pada pangkal dan ujungnya. Menurut keterangan
an kreatif untuk mengatasi kerumitan teknis
lain ornamen ini juga melambangkan keagungan,
dalam mencapai keserasian bentuk harmoni dan
dan letaknya berdekatan dengan tapak Raja
estetikanya, untuk memperteguh kesatuan kompo-
Sulaiman.
sisi hiasan ini diapit oleh pola geometrik yaitu
motif tutup dadu yang melintang horizontal di atas
f. Motif Tutup Dadu dan Cimba Lau
dan bawah. Kemudian pada bagian atas terdapat
Tutup Dadu secara harfiah berarti tutup yang
empat buah motif tulak paku secara berpasangan.
digunakan pada alat permainan judi dadu. Tutup
Gerga ini tidak mengandung unsur mistik, tetapi
dadu umumnya terbuat dari tempurung kelapa,
hanya sebagai simbol keindahan dan hiasan ber-
dan biji dadu terbuat dari tulang. Cimba Lau ada-
dampingan dengan tapak Raja Sulaiman. Menurut
lah alat untuk menciduk air yang terbuat dari
Acih Ginting dan H. Tarigan (wawancara, Mei
bambu; tingginya 35 cm dengan diameter 8 cm.
2009), perulangan motif yang ditempatkan secara
Cimba lau ini dipergunakan untuk tempat air langir
simetris adalah untuk memperindah bidang melen-
(air keramas) bagi anak perana/singuda-nguda (per-
melen pada rumah adat Karo. Selanjutnya menurut
jaka/gadis). Benda tersebut diyakini membawa
H. Tarigan bahwa makna yang tersirat dari bentuk
kebaikan dan keselamatan bagi putra-putri
perulangan yang saling bertaut adalah jalinan mereka dalam pergaulannya. Cimba Lau juga di-
kekerabatan dalam hubungan sosial masyarakat gunakan sebagai tempat air minum dan tempat
batak Karo. Motif yang dapat dipadankan pada biji-biji buah untuk obat.
setiap ujung dan pangkal hingga menjadi hiasan, Pola Tutup Dadu adalah setengah lingkaran
adalah menggambarkan hubungan sesama Karo secara berjejer dan tidak terpisah dengan bidang
yang tidak dapat dipisahkan, melainkan selalu di sampingnya. Pola setengah lingkaran saling
menemukan silsilah melalui garis marga hingga mengisi dengan latarnya. Pola yang sama secara
turun-temurun. berulang melahirkan citra oposisi dari latarnya
130 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

sendiri. Teknik perupaannya cukup sederhana. panjang. Oleh karena itu digambarkan punggung-
Pembuatnya adalah orang yang sering diminta nya bungkuk seperti gunduk pakis (bunga pakis).
untuk mengerjakan benda-benda seni kerajinan,
bahkan pande ini juga mengerjakan ukir-ukiran 2. Gerga Pada Derpih (Dinding) Rumah Adat
Batak Karo
gerga pada bidang melmelen rumah adat. Hal yang
Gerga yang terletak di bagian tengah rumah adat
lazim bagi orang Karo mempunyai kenangan yang
Batak Karo jumlahnya lebih sedikit daripada gerga
kuat dari barang atau benda-benda lain, sehingga
yang di bawah. Penempatan gerga di sini terletak
senang memberi nama sesuatu termasuk nama
pada bagian derpih, pintu rumah, dan sudut rumah.
putra-putrinya berdasarkan benda-benda yang
Motif gerga-gerga tersebut adalah Cikepen Pengalo-
dilihat, atau yang digunakan sehari-hari. Nama
alo, Pengretret, dan Cuping-cuping.
motif gerga kebanyakan diambil dari nama suatu
Gerga Cikepen Pengalo-ngalo terdapat pada
benda yang menjadi kebutuhan sehari-hari.
bagian tengah dan terletak di sisi pintu berfungsi
Kemudian benda tersebut diberi makna sesuatu,
sebagai pegangan ketika hendak memasuki
baik karena fungsinya maupun karena dorongan
rumah, Pengretret berfungsi sebagai pengikat
nalurinya (sugesti), sehingga benda tersebut
dinding, dan Cuping-cuping yang terletak pada
membawa manfaat yang baik jika digunakan.
sudut rumah tidak memiliki fungsi konstruksi,
melainkan berfungsi simbolik.
g. Motif Takal Dapur

Takal Dapur berarti kepala dapur. Gerga ini pada a. Gerga pada Derpih (Dinding) Rumah Adat
Batak Karo
umumnya berbentuk seperti tulak paku. Teknik
pembuatannya seperti mendekati patung dengan Gerga yang terletak di bagian tengah rumah adat

bentuk seperti manusia raksasa menyerupai kuda. Batak Karo jumlahnya lebih sedikit daripada gerga

Takal dapur di Kabupaten Karo ada dua jenis, yaitu yang di bawah. Penempatan gerga di sini terletak

berbentuk kuda dan berbentuk tulak paku. Takal pada bagian derpih, pintu rumah, dan sudut rumah.
Motif gerga-gerga tersebut adalah Cikepen Pengalo-
dapur yang berbentuk kuda kini sudah jarang
alo, Pengretret, dan Cuping-cuping.
ditemukan, tetapi masih ada di kampung Bintang
Gerga Cikepen Pengalo-ngalo terdapat pada
Meriah1. Bentuk Takal dapur masih banyak dijumpai
bagian tengah dan terletak di sisi pintu berfungsi
sekarang, sebab pengerjaannya lebih mudah.
sebagai pegangan ketika hendak memasuki
Bentuk tulak paku ini masih terlihat pada rumah
rumah, Pengretret berfungsi sebagai pengikat
adat di desa Dokan. Gerga Takal Dapur yang terdapat
dinding, dan Cuping-cuping yang terletak pada
di Desa Lingga, bentuknya lebih sederhana dengan
sudut rumah tidak memiliki fungsi konstruksi,
pola setengah lingkaran atau lonjong (oval). Gerga
melainkan berfungsi simbolik.
ini mengandung arti tuah manusia sebagai ke-
muliaan. Sebagian orang mengatakan sebagai b. Motif Cikepen Pengalo-ngalo
lambang kebesaran dan keagungan manusia. Kata “Cikepen” dalam bahasa Batak Karo berarti
Fungsinya selain untuk memperkuat sudut pegangan, dan “pengalo-ngalo” berarti me-
rumah, juga diyakini dapat menambah umur nyambut. Secara harfiah, Cikepen Pengalo-ngalo
Fuad Erdansyah 131
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

berarti pegangan bagi para tamu, agar dapat nyebut pengretret ini dengan “brihaspati” (Sanskerta)
dengan mudah dan aman memasuki rumah. yang menunjukkan sifat kedewataan. Di India
Ferdinand Ginting menjelaskan, bahwa Cikepen nama brihaspati dipakai untuk menyebut nama
Pengalo-ngalo merupakan simbol bagi tamu, bintang Yupiter (Hasibuan, 1985:243).
karena setiap tamu yang datang selalu memegang Motif Pengretret ini terbuat dari tali ijuk ber-
ukiran tersebut. Ukuran pintu yang rendah warna hitam, tali tersebut dirajutkan dengan cara
dengan lebar 60 cm dan tinggi 100 cm letaknya melubangi derpih rumah membentuk segitiga wajid
miring mengikuti dinding. Membungkukkan dan sekaligus sebagai pengikat derpih. Pola yang
badan adalah perilaku sekaligus lambang peng- terbentuk dari tali itu adalah pola geometris yang
hormatan kepada pemilik rumah. Gerga ini berulang dan sama pada semua sisinya. Pada
merupakan hiasan pada dua sepasang kayu yang setiap kepala pengretret terdapat sepasang organ
terletak di sisi kanan dan kiri pintu. Bentuknya tubuh seperti kaki, dan masing-masing ujung kaki
berupa ukiran dengan kombinasi bergerigi dan terdapat tiga buah jari.
bergelombang seperempat lingkaran secara Pengretret diletakkan secara horizontal pada
berulang (repetition) menyerupai bentuk ipen-ipen derpih rumah di samping kedua sisi pintu. Ukuran
(gigi-gigi). Fungsi lain Cikepen Pengalo-ngalo adalah panjang motif gerga pengretret seluruhnya sekitar ±
untuk pegangan bagi ibu yang melahirkan bayi. 400 cm dan lebar ± 15–20 cm. Motif ini sangat khas
Ia memegang Cikepen Pengalo-ngalo sambil duduk bagi masyarakat Batak pada umumnya, sebab
di atas danggulen. setiap puak Batak memperlakukan motif ini sebagai
simbol magis.
c. Motif Pengretret

Derpih atau dinding rumah adalah bidang yang


penting pada rumah adat sebagai penyekat udara
dingin. Masyarakat tradisional Batak Karo me-
yakini bahwa kekuatan magis dapat dihembuskan
dari luar, masuk ke dalam rumah melalui celah-
celah derpih dan masuk menyerang penghuni
rumah. Oleh karena itu pengretret ini ditempatkan
di dinding rumah untuk menangkal serangan magi
dari luar (Erni, wawancara, 21 Mei 2010).
Pengretret adalah nama binatang mitos bagi
Gambar 6. Gerga motif Pengretret pada dinding rumah,
orang Batak Karo; binatang ini sejenis cecak, tetapi sekaligus sebagai pengikat dinding papan.
memiliki dua kepala. Dalam mitos masyarakat
Batak Karo, hewan ini terdapat di hutan yang Fungsi magis pengretret adalah untuk menangkal
dipercaya dapat membantu menunjukkan jalan setan dan roh jahat. Dua kepalanya yang memiliki
pulang bagi orang yang tersesat di hutan. Oleh bentuk dan ukuran yang sama merupakan simbol
karena itu motif hewan ini disebut sebagai kejujuran masyarakat Karo, yaitu satu kata
makhluk legenda. Masyarakat Batak Toba me- dengan perbuatan. Dua sisi kepala itu sering di-
132 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

maknai sebagai pertalian kekerabatan, atau kerbau, tetapi beberapa di antara motif tersebut
lambang persatuan dan lambang penyelesaian juga terdapat di bagian melmelen yaitu motif desa
masalah dalam kehidupan sosial. siwaluh dan motif geometris lainnya.
Seiring dengan perjalanan waktu, pengretret
tidak hanya dimaknai sebagai benda simbolik a. Motif Ipen-ipen

yang memiliki kekuatan magi, tetapi juga ber- Kata ipen-ipen” dalam bahasa Batak Karo berarti
kembang menjadi ikon budaya Batak Karo. Saat “gerigi.” Motif ipen-ipen terdapat pada rumah adat
ini gambar ukiran pengretret terdapat pada setiap Desa Dokan yang diukirkan pada sebidang kayu
bangunan tradisional, rumah-rumah biasa, lebar 20 cm dan panjang menyesuaikan bidang
kantor-kantor resmi, gapura atau pintu gerbang, ayo. Motifnya meruncing seperti tumpal dan
maupun kuburan leluhur. diselingi dengan bentuk melengkung setengah
lingkaran secara berulang. Warna yang digunakan
d. Motif Cuping-cuping adalah warna hijau muda.
Cuping-cuping dalam bahasa Batak Karo berarti Rumah adat di Desa Lingga, motif ipen-ipen ini
kuping atau telinga. Bentuk motif Cuping-cuping dilukiskan pada anyaman bambu. Polanya ber-
seperti daun telinga dan berfungsi untuk men- bentuk segi empat, segitiga, dan disusun secara
dengar. Bahan yang digunakan untuk membuat berulang dan dicat dengan warna hitam. Ber-
Cuping-cuping adalah sekeping papan dengan dasarkan kedua motif tersebut diperkirakan
bidang ± 40 cm. Cuping-cuping dilekatkan pada bahwa rumah di Dokan lebih muda keberadaan-
keempat sudut rumah. Gerga cuping di Desa Lingga nya. Hal ini ditunjukkan dengan pola dan peng-
bentuknya sangat sederhana dan lonjong, semen- gunaan warna yang mencerminkan dedaunan
tara bentuk gerga cuping yang berada di Desa Dokan atau tumbuh-tumbuhan. Motif-motif daun dan
bentuknya lebih artistik, karena pada bagian stilasinya merupakan ciri hiasan yang ber-
bawah cuping terdapat aksentuasi bentuk berupa kembang pada kebudayaan Hindu-Budha dan
pahatan pada tepi papan. Islam. Gerga ipen-ipen yang terdapat di rumah adat
Beberapa makna simbolik dari Cuping-cuping Desa Dokan tidak melambangkan makna simbolik
antara lain penghuni rumah punya pendengaran tertentu hanya berfungsi sebagai hiasan.
yang tajam, untuk mendengar suara-suara jahat Motif ipen-ipen yang terdapat pada rumah adat
dari luar rumah. Makna lainnya adalah pemilik di Desa Lingga sangat sederhana. Bentuknya segi-
rumah harus pandai menyaring berita-berita atau tiga yang berjajar membentuk susunan seperti
ucapan-ucapan orang yang didengar. mata gergaji. Motif segitiga seperti ini banyak
ditemukan pada artefak-artefak kuno. Zaman pra-
3. Gerga pada bagian Ayo Rumah Adat Batak sejarah gerga dengan motif segitiga pada rumah
Karo adat dilukiskan mengikuti pola-pola anyaman
Gerga pada Ayo rumah adat Batak Karo me- bambu yang merupakan bidang ayo rumah. Ke-
nempati bagian paling atas rumah adat. Motif- sederhanaan ini juga dapat disebabkan karena
motifnya terdiri dari motif ipen-ipen, motif pengretret, faktor teknis. Motif Ipen-ipen melambangkan makna
motif desa siwaluh, motif geometris, dan motif kepala magis sebagai penolak bala. Berdasarkan dua
Fuad Erdansyah 133
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

motif ipen-ipen yang berbeda di atas dapat di- perkawinan, dan semua kegiatan yang direncana-
simpulkan, bahwa ipen-ipen yang terdapat pada kan secara adat. Motif ini juga digunakan untuk
rumah adat di Desa Lingga membuktikan ke- mencari benda yang hilang. Penggunaan desa
beradaan gerga pada rumah adat tersebut lebih siwaluh secara simbolik tujuannya adalah untuk
tua dari pada yang terdapat di rumah adat di Desa menemukan harmoni atau keseimbangan sekali-
Dokan. gus sebagai sugesti dalam mengatasi keterbatasan
diri manusia, dengan harapan menemukan ke-
b. Motif Pengretret kuatan lain diluar dirinya.
Motif pengretret pada ayo rumah ukurannya Motif Desa Siwaluh bukan merupakan mimesis
yang lebih kecil dari pada yang ada di derpih. kosmik, melainkan bagian dari sebuah konsep
Ukuran tersebut disesuaikan dengan luas bidang- simbolik tentang sesuatu yang abstrak, yaitu
nya. Fungsinya telah dijelaskan di depan yakni delapan arah mata angin. Oleh karena itu pola
sebagai lambang penangkal kekuatan jahat masuk yang hadir dengan struktur bidang bersegi
ke dalam dan menyerang penghuni rumah. delapan lebih bersifat fungsional simbolis.
Demikian juga halnya pada pola bintang bersegi
c. Motif Desa Siwaluh lima yang terdapat pada peralatan makan seperti
Desa Siwaluh secara harfiah berarti kata ukat atau sendok nasi maupun perlatan musik,
“Delapan Desa,” melambangkan jumlah penghuni sifatnya juga fungsional simbolis.
rumah delapan keluarga atau juga disebut
“siwaluh jabu,” dengan demikian pengertian desa d. Kajian Gerga Pola Geometris pada Rumah
siwaluh sama artinya dengan siwaluh jabu. Tetapi Adat Batak Karo

juga orang Karo menyebutnya sebagai lambang Awal mula manusia mengenal media rupa
delapan penjuru mata angin disebut juga bintang adalah dari sebuah unsur yang amat sederhana,
delapan, sebagai simbolisasi dari delapan penjuru yaitu garis. Organisasi garis menghasilkan pola
mata angin. Gerga Desa Siwaluh ini ditempatkan (pattern) yang beragam seperti segitiga, segi empat,
persis di pusat bidang ayo rumah. Motif ini di- kubus, bujur sangkar, trapezium, lingkaran,
kelilingi sejumlah gerga geometris lainnya yang lonjong (oval), dan sebagainya. Pola-pola ini di-
tidak lebih menonjol daripada motif Desa Siwaluh sebut pola geometris. Pola ini merupakan semio-
itu sendiri. Dalam konsep kebudayaan Karo, Desa sis dari kehidupan flora, fauna, dan alam.
Siwaluh salah satu simbol yang sangat penting dari Orang-orang primitif menggoreskan sesuatu
empat hal yang terkait dengan setiap aktivitas pada dinding gua, batu, kayu, dan benda-benda
kehidupan masyarakat Karo. Keempat hal yang lainnya, disertai keyakinan akan menimbulkan
berkaitan dengan aktivitas ini disebut Katika. kekuatan gaib (totems). Apabila itu diukirkan pada
Motif Desa Siwaluh memiliki fungsi magis untuk suatu benda, maka benda itu menjadi jimat. Tylor
menentukan hari dan bulan baik (nitik wari) untuk menyebutnya fetishism (Koentjaraningrat, 1971:
manusia. Motif ini melambangkan penggunaan 149) yaitu kepercayaan manusia terhadap jimat.
waktu untuk berbagai upacara ritual, seperti Pengulangan secara teratur menghasilkan
mendirikan rumah (Hasibuan, 1995:79), bepergian, sensasi keindahan. Bagi masyarakat tradisional
134 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

Batak Karo motif perulangan lebih sebagai ekspresi memindahkan fenomena alam dan isinya dalam
transendental atau keteraturan imanensi untuk bahasa rupa pada dinding-dinding gua maupun
memasuki ruang kosmos dan memperoleh sugesti- tempat tinggalnya. Pola-pola geometris tersebut
nya. Gerga pada masyarakat Batak Karo sebagian umumnya sangat dekoratif. Garis hitam tersebut
besar adalah pola geometrik. Ini berbeda dengan sangat jelas tanpa diberi warna lain. Warna hitam
gerga pada rumah adat Batak Toba yang umumnya dari sabut ijuk aren seperti dalam pengretret tersebut
menggunakan stilasi tumbuhan. memberikan kesan yang sangat magis.
Pola geometrik pada rumah adat Batak Karo Secara umum ragam hias di Indonesia banyak
terpusat pada bidang ayo rumah, yang terdiri dari memiliki kemiripan, terutama pada motif-motif
pako-pako, ipen-ipen, tutup dadu, pancung cekala, tampune- yang sederhana seperti motif huruf “S” maupun
tampune, lumut laut, pesiren kambing, duri mikan, dan motif-motif geometris. Kehadiran pola geometris
pengretret. Pola geometrisnya sangat bervariasi, pada masyarakat Batak Karo merupakan pe-
seperti kubus, segitiga, setengah lingkaran, garis nyederhanaan ataupun abstraksi dari bentuk-
spiral, garis lengkung, garis diagonal, dan semua bentuk alam dengan keterbatasan teknik pem-
dibuat sangat sederhana. Bentuk-bentuk ge- buatannya. Pola-pola geometris itu hasil dari
ometris ini ditempatkan secara simetris ber- teknik anyaman tenunan, atau pahatan/ukiran
hadapan atau bertentangan dengan bentuk per- pada papan kayu dengan alat gergaji (Said, 2004:90).
ulangan (repetition). Pola-pola itu telah ada sejak Berdasarkan peletakannya pada bagian atas
zaman primitf. Manusia purba pada masa itu rumah (ayo) mencerminkan bahwa hubungan

Gambar 7. Pola geometris pada ayo rumah memiliki nama-nama flora dan fauna.

Keterangan gambar:
1. Kepala Kerbau 6. Pancung-pancung Cekala
2. Bunga Gundur/Desa Siwaluh 7. Cimba Lau dan Tutup Dadu
3. Pakau-pakau 8. Derpih
4. Pesiren Kambing 9. Pengretret
5. Pakau-pakau 10. Ipen-ipen
Fuad Erdansyah 135
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

kekerabatan dijunjung tinggi dan dijaga ke- kepala kerbau sebagai simbol kehormatan dan
hormatannya. Hiasan ini melambangkan ke- kewibawaan.
dudukan rakut sitelu. Status kalimbubu sering Kepala kerbau berwarna putih, di bawah
dilukiskan sebagai simbol pada ayo rumah adat, mulutnya tergantung mangkuk kecil yang berisi
Tidak heran jika pada bagian ayo rumah paling air jernih disebut lau maturge, di dalamnya ada
banyak atau dipadati berbagai bentuk ragam hias. beberapa daun atau bulung-bulung simalem. Daun
Ini sebagai tanda kehangatan dalam kehidupan dan air ini gunanya menjaga agar kekuatan mistik
keluarga Batak Karo. Jadi gerga dengan pola geo- kepala kerbau tidak mengganggu tuan rumah dan
metris pada ayo rumah mencerminkan bahwa seisinya. Bentuk hiasan ini melambangkan ke-
hubungan kekerabatan itu dijunjung tinggi dan perkasaan, fungsi hiasan sebagai penjaga ke-
dijaga kewibawaan, martabat dan kehormatan- selamatan rumah dari serangan roh-roh jahat
nya, serta dikawal oleh kepala kerbau di atasnya. (begu) dari luar kampung.
Hal itu karena pola geometrik pada bagian ayo itu Motif ragam hias kepala kerbau dalam ke-
adalah personifikasi dewa kalimbubu yang di- budayaan nusantara umumnya dimaknai sebagai
sebut sebagai debata ni idah. Kalimbubu sebagai lambang kesuburan sekaligus sebagai penolak
perantara manusia dengan dunia profan atau bala (Sunaryo, 2009:122). Pada rumah adat Batak
dunia bawah, juga dengan dunia atas atau dunia Karo kepala kerbau menempati tempat yang
sakral. Kedudukan anak beru menempati strata terhormat dan strategis, bahkan ditempat paling
sosial bagian bawah yaitu dunia profan. tinggi yaitu di anjungan atap (tersek.). Posisi kepala
kerbau sedikit menunduk dan bertanduk runcing.
e. Kepala Kerbau Pandangan umum orang Karo terhadap simbol
Masyarakat Batak Karo kuno memelihara cenderung ke arah dikotomi dualistik yang di-
kerbau sebagai ternak yang dimanfaatkan tenaga gunakan pada semua benda-benda. Benda-benda
dan dagingnya. Kerbau sebagai lambang status tersebut diberi pemaknaan (konotatif) dikotomik
sosial bagi masyarakat tertentu. Di Toraja, se- seperti atas dan bawah, kiri dan kanan, lelaki dan
jumlah tanduk kerbau yang diletakkan di depan perempuan, termasuk juga letak sungai hulu dan
rumah menandakan status sosial seseorang dari hilir. Penempatan kepala kerbau jantan–betina
pemiliknya; semakin banyak tanduk kerbau yang menghadap hulu dan hilir sungai sebagai bentuk
ditumpuk berarti pemiliknya adalah orang kaya cara pandang masyarakat tradisional Indonesia.
(Said, 2004:56). Selain itu juga diberi status yang Hulu merupakan tempat mata air yang bersih dan
tinggi, karena dipercaya memiliki kekuatan magi sebagai sumber kehidupan utama. Jakob Sumardjo
(keramat). Pada rumah adat Batak Karo, terdapat menjelaskan, bahwa hulu bagi orang primordial
sepasang kepala kerbau jantan yang ditempatkan Indonesia adalah tempat asal kehidupan, akar dari
pada anjungan atap (tersek) yang menghadap ke hidup ini, tidak ada hulu, tidak ada hidup; hilir
hulu sungai, dan kepala kerbau betina menghadap adalah paradoksnya membuat kehidupan lahir
ke hilir. Orang Karo memandang kerbau sebagai kembali (Sumardjo, 2006:37).
lambang kesuburan dan kehormatan. Semua Dikotomi kembar merupakan penyatuan
bangunan tradisional Batak Karo menempatkan transenden dan merupakan entitas yang selalu
136 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

menjadi spirit bagi orang Karo. Entitas adalah kerbau tersebut telah digantikan dengan ukiran
kehidupan yang harus berlangsung. Dikotomi kayu bahkan dicat putih memberi kontras pada
kembar kemudian menjadi dasar simbolis semua rumah adat ketika dilihat dari kejauhan.
aspek kebudayaan orang Karo. Ciri kebudayaan
tersebut juga sama dengan berbagai kebudayaan
suku lainnya di Indonesia. Ekspresi maupun
artefaknya yang selalu memiliki ciri khusus dan
keunikannya tersendiri.
Demikian juga seperti yang dijelaskan Masri
Singarimbun, mungkin lebih penting lagi dikotomi
simbolis bahwa dasar melawan puncak, bawah
lebih dominan ketimbang atas. Analoginya adalah
batang pohon, bagian bawah lebih besar, lebih
kuat dan lebih keras daripada pucuknya (Singa-
rimbun, 1975:256). analogi tersebut juga berlaku Gambar 8. Oposisi paradoks, kepala kerbau jantan dan
betina penyatuan ke dunia tengah.
dalam sistem kekerabatan maupun pada garis
keturunan yang menganut pola garis ayah (patri-
archy). Simbolis sepasang kepala kerbau yang
diletakkan di atap rumah, merupakan analogi
kembar lelaki dan perempuan. Kepala kerbau yang
diletakkan terdiri dari kepala kerbau jantan dan
betina, yang jantan diletakkan pada atap rumah
yang menghadap ke hulu kepala kerbau yang
betina menghadap ke hilir. Semesta atau dunia ini
terbagi dalam dua kategori yakni “kelaki-lakian”
Gambar 9. Gerga Kepala Kerbau di atas atap rumah
dan “keperempuanan.” Kelangsungan hidup adat Batak Karo
hanya dapat dicapai dengan menyatukan dua
kategori tersebut dalam suatu totalitas. Totalitas Penempatan kepala kerbau paling atas me-
keberadaan itulah keselamatan, kehidupan, ke- rupakan bentuk sakral atau persembahan. Dalam
sejahteraan, kemakmuran (Sumardjo, 2002:107). hierarki kekerabatan kalimbubu sebagai per-
Jantan simbolis lelaki atau ayah yang menjaga sonifikasi debata idah atau “Tuhan yang tampak”
bagian depan rumah demi keamanan, ancaman ditempatkan pada hierarki tertinggi. Peranan
maupun kewibawaan keluarga, demikian sebalik- kalimbubu sangat dominan dalam peristiwa-
nya yang betina simbolis perempuan atau ibu peristiwa adat. Dengan demikian dapat disimpul-
yang menjaga anak-anak dan keluarganya di kan bahwa keberadaan kepala kerbau, tidak
belakang atau di dalam rumah. Kepala kerbau hanya sebagai lambang kesuburan semata, tetapi
menjadi simbol kekuasaan maupun keperkasaan juga merupakan lambang persembahan kepada
bagi masyarakat Batak Karo, meski saat ini kepala kalimbubu.
Fuad Erdansyah 137
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

Berdasarkan tingkatan debata kemudian terdapat


simbol-simbol yang menggambarkan dunia atas
yaitu kekuatan dari pencipta Banua Holing2 (sakral)
debata datas, dunia tengah untuk kekuatan gaib, roh
dan makhluk halus (semi sakral) debata tengah, dan
dunia bawah untuk manusia (profan) debata teruh.
Kehadiran gerga merupakan representasi ke-
percayaan kuno animistik dan magis, serta sistem
kekerabatan yang telah menjadi tradisi melalui
pandangan rakut sitelu. Maka dapat disimpulkan
Gambar 10. Hierarki simbol gerga berdasarkan struktur
rumah adat pada rumah adat Batak Karo. bahwa kosmologi masyarakat Batak Karo ini
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga dimensi.
Gambar di atas mengarahkan pemahaman Pertama, dimensi spiritual sebagai ekpresi ke-
akan makna simbolik gerga pada rumah adat. Ber- percayaan, bahwa motif yang diberi nama dan
dasarkan motif dan penempatan gerga maka dapat makna itu adalah personifikasi roh atau makhluk
diidentifikasi, bahwa gerga yang berada di bagian halus (konotatif) yang menguasai daya-daya
melmelen atau di bawah adalah kategori profan, transenden dunia atas. Simbol gerga pada dunia
motif yang digunakan sebagian besar stilasi atas ini adalah kepala kerbau sebagai persembah-
tumbuhan dan berfungsi sebagai hiasan rumah. an maupun pemujaan.
Motif pengretret berupa pola geometrik menempati Dimensi yang kedua adalah dimensi fungsional
ruang tengah, yaitu ruang yang tidak tampak, (denotatif), yang menguasai dunia tengah seperti
manusia sulit memasuki tempat ini, karenanya pengretret diberi makna sebagai penangkal magis,
orang Batak Karo menjadikan pengretret sebagai termasuk juga gerga cimba lau yang diukirkan pada
penguasa dunia tengah. Pengretret adalah personi- gayung, lalu diberi makna magis karena fungsinya
fikasi dukun yang mampu melindungi mereka. sebagai tempat obat ataupun air keramat. Tempat
Kemudian pada jenjang yang lebih tinggi, adalah atau gayung ini kemudian diyakini memiliki
kepala kerbau sebagai simbol yang sakral dan kekuatan magis untuk keperluan obat-obatan atau
pemujaan. mistik. Dimensi kedua ini disebut sebagai dimensi
bernilai semi-sakral karena mengandung ajaran
maupun tuntunan.
E. Simpulan
Dimensi ketiga, bahwa gerga juga sebagai
Sistem kepercayaan masyarakat tradisional pemenuh kebutuhan estetik arsitektur rumah
Batak Karo merupakan perpaduan agama asli adat, maupun bidang-bidang lainya yang bersifat
animisme dengan kepercayaan Hindu. Sinkretisasi profan dan cirinya adalah pada pola-pola stilasi
ini pun kemudian melahirkan pandangan kosmo- tumbuhan pada bidang melmelen, namun pada
logi tentang adanya debata (Tuhan) yang mengatur bidang ini juga menggunakan pola semi sakral
jagad raya, dunia bawah (debata teruh), dunia menjadi hiasan estetik seperti halnya gerga cimba
tengah (debata tengah), dan dunia atas (debata datas). lau.
138 Vol. 7 No. 1, Juli 2011

Makna gerga tersebut mengalami perubahan tus sosial. Rumah adat memiliki fungsi simbol dan
nilai ketika masyarakat tradisional mulai ber- adat istiadat Rumah adat bukan sekedar milik
pindah ke sistem religi yang baru, yaitu masuk- pribadi atau keluarga-keluarga yang menghuni-
nya agama Islam dan Kristen. Pengaruh religi baru nya, tetapi juga simbol sosial dan kebersamaan
ini kemudian menghadirkan ekspresi yang ber- ketika menjalankan fungsi-fungsi kekerabatan
beda dari sebelumnya. Karena itu, meski bentuk sistem rakut sitelu dan marga-marga.
maupun pola gerga, khususnya pengretret, tapak Makna kehadiran gerga pada rumah adat Batak
Raja Sulaiman tidak mengalami perubahan Karo dapat dilihat berdasarkan peletakannya pada
bentuk, tetapi penggunaan dan penempatannya rumah adat, yang terdiri dari tiga tingkatan.
sebagai penghias bidang-bidang interior, sekolah, Pertama yang di bawah (bagian melmelen), kedua di
gedung-gedung perkantoran, gapura, dan tugu tengah (derpih), ke tiga berada di atas (ayo). Maka
atau monumen, kiranya telah menghadirkan dari sudut pandang sosial dan sistem kekerabatan,
ekspresi yang berbeda, yaitu menjadi ekpresi seni gerga yang berada pada bagian bawah rumah
dan budaya profan sehingga kehilangan makna melambangkan keberadaan anak beru,dan yang
sakralnya. Demikian juga dengan motif geometrik berada ditengah melambangkan keberadaan
khususnya tapak Raja Sulaiman yang dimaknai senina, kemudian yang berada di atas melambang-
sebagai lambang magis, dahulu digunakan untuk kan kedudukan kalimbubu. Selanjutnya dilihat
hiasan tikar atau tempat duduk oleh raja pada berdasar pola dan motifnya, ternyata gerga dengan
masa itu, tetapi ketika kekuasaan raja sudah motif berupa stilasi tumbuhan hanya melam-
berakhir, gerga tersebut kemudian menjadi hiasan bangkan hiasan saja (profan). Kemudian pola
seperti yang saat ini terdapat pada bidang melmelen geometris dengan motif yang menyebutkan nama-
(palang dapur) yang terdapat bagian bawah nama tumbuhan seperti bunga gundur, pantil
lantai. manggis, embun sikawiten, cikala pancung, me-
Berdirinya rumah-rumah adat Batak Karo, lambangkan ajaran (semi-sakral), dan motif kepala
selain sistem kepercayaan kuno, juga karena kerbau melambangkan pemujaan (sakral). Dengan
pengaruh Hindu dalam konsep Triloka, yang di- demikian susunan gerga yang dimulai dari atas,
implementasikan adanya Tuhan atau debata (debata berupa kepala kerbau kiranya melambangkan
datas, debata teruh, dan debata tengah) dengan pem- kesuburan dan kemak-muran, dan pemujaan.
bagian bidang kosmo, yaitu bawah, tengah dan Konsekuensi logisnya, bahwa semua unsur magis
atas. Rumah adalah personifikasi atas gunung, dan harus memiliki tanda yang ditempatkan pada
gunung tempat bersemayamnya para roh dan rumah adatnya, dan diberi makna (konotatif)
dewa. Selain itu keberadaan raja-raja telah meng- hingga menjadi simbol visual berupa pengretret dan
hadirkan cikal bakal rumah-rumah adat tersebut, kepala kerbau yang disebut gerga. Selanjutnya
sekaligus membawa pengaruh dan mewariskan simbol estetik gerga rumah adat tersebut
tradisi rumah adat kepada masyarakat tradisi- dianalogikan sesuai sistem kekerabatan “rakut
onal. Rumah adat Batak Karo berfungsi sebagai sitelu” tiga strata bawah, tengah dan atas. Demi-
tempat tinggal, berlindung, dan beristirahat, kian juga terhadap sistem kepercayaan debata (debata
sekaligus sebagai lambang kehormatan, dan sta- datas, debata teruh, dan debata tengah). Berdasarkan
Fuad Erdansyah 139
Simbol dan Pemaknaan Gerga
pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara

pembagian ini pula, disimpulkan bahwa bentuk Prinst, Darwan. Adat Karo. Medan: Bina Media
Printis, 2004.
dan makna simbolik gerga merupakan representasi
religius (sakral), kekerabatan (semi sakral) dan Prinst, Darwan. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina
Media Printis, 2002.
hiasan (profan) sesuai penempatan pada ke tiga
bidang kosmo rumah adat Batak Karo. Said, Abdul Azis. Simbolisme Unsur-unsur Visual pada
Rumah Tradisonal Toraja. Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2004.
Catatan Akhir
Sibeth, Achim. The Batak. New York: Thames and
1
Sekitar tahun 1980-an.
Hudson, Inc., 1991.
2
Banua Holing, legenda Batak Karo tentang asal
mula Tuhan pencipta jagad semesta. Dalam Singarimbun, Masri. The Adat House, Kinship, De-
legenda Batak Toba disebut Semulajadi Nabolon. scent and Alliance Among the Karo Batak. Berkley,
Los Angeles, London, 1975.

KEPUSTAKAAN Sumardjo, Jakob. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan


Ambu Press, 2006.
Acep, Iwan Saidi. Narasi Simbolik Seni Rupa
Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: ISAC- __________. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta:
BOOK, 2008. Penerbit Qalam, 2002.

Hasibuan, Jamaludin S. Seni Budaya Batak. Jakarta: __________. Filsafat Seni. Bandung: ITB, 1999.
Jayakarta Agung Offset, 1985.
Sunaryo, Aryo. Ornamen Nusantara, Kajian Khusus
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indo- tentang Ornamen Indonesia. Semarang: Dahara
nesia. Jakarta: Djambatan, 1971. Prize, 2009.

Parlindungan, Mangaradja Onggang. Tuanku Rao.


Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2007.

Anda mungkin juga menyukai