Anda di halaman 1dari 12

View metadata, citation and similar papers at core.ac.

uk brought to you by CORE


provided by Forum Arkeologi

MOKO SEBAGAI MAS KAWIN (BELIS) PADA PERKAWINAN ADAT


MASYARAKAT ALOR
Moko as A Dowry (Belis) in Traditional Marriage of Alor People

Putu Eka Juliawati


Balai Arkeologi Denpasar
Jalan Raya Sesetan No. 80, Denpasar 80223
Email: putuekajulia@gmail.com

Naskah diterima: 19-08-2013; direvisi: 23-09-2013; disetujui: 07-10-2013

Abstract
The aims of this research are to describe the use of moko as dowry and to know the meanings
of the use of moko as dowry in the life of Alor people. Data were collected by the method of
observation, library research and interviews. This is a qualitative research. Data were analyzed
with depth descriptive analysis and subsequently accommodated in the form of narrative. From
the analysis, it is known that until this day, moko is still used as belis in which the bride groom’s
family has to give moko(s) to the bride’s family. The bride’s family has a right to decide what
type and how many moko they want. They are opened for negotiation until both families reach
an agreement. There are four meanings of the use of moko as belis that can be found namely the
meaning of sacred marriage, identity, social and conservation.
Keywords: nekara, moko, belis, marriage, alor

Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk mengungkapkan penggunaan moko sebagai belis, serta untuk
mengetahui makna penggunaan moko sebagai belis dalam kehidupan masyarakat Alor. Data
dikumpulkan dengan metode observasi, studi pustaka dan wawancara. Data dianalisis dengan
metode deskriptif analitik mendalam diakomodasikan dalam bentuk naratif. Hasil analisis
ditemukan bahwa sampai saat ini dalam perkawinan adat di Alor, moko masih digunakan sebagai
belis dimana keluarga laki-laki wajib menyerahkan moko kepada keluarga perempuan yang akan
dilamar. Persyaratan mengenai jenis dan jumlah moko yang digunakan berada sepenuhnya
di tangan keluarga pihak wanita. Negosiasi masih boleh dilakukan pihak laki-laki hingga
tercapai kata sepakat. Adapun makna penggunaan moko sebagai belis adalah makna sakralitas
perkawinan, makna identitas masyarakat Alor, makna sosial dan makna konservasi.
Kata kunci: nekara, moko, belis, perkawinan, alor

PENDAHULUAN
Pulau Alor berada di wilayah Provinsi Timur. Survei dan Ekskavasi di Kecamatan
Nusa Tenggara Timur memiliki sejuta pesona, Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, Nusa
baik alam maupun budayanya. Pulau ini Tenggara Timur, dilaksanakan oleh tim dari
terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Moko di Balai Arkeologi Denpasar dari tanggal 17 Juli
mana moko merupakan suatu bentuk konkret sampai dengan 30 Juli 2013.
hasil budaya manusia yang sampai saat ini Moko merupakan sebuah benda pusaka
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari yang dimiliki hampir setiap keluarga asli
kehidupan masyarakat Alor. Penelitian ini Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Moko
merupakan bagian dari Penelitian Hunian dan adalah hasil budaya prasejarah di Indonesia,
Budaya Masa Prasejarah di Nusa Tenggara merupakan suatu tipe lokal dari nekara

Moko sebagai Mas Kawin (Belis) pada Perkawinan Adat Masyarakat Alor Putu Eka Juliawati 195
perunggu di Indonesia. Moko atau mako adalah untuk sebuah moko yang sama bentuk dan
nekara berukuran kecil (Bintarti dalam Gede, motifnya dapat berbeda nilainya di tiap wilayah
1995: 72). Nekara yang saat ini tersimpan di di Kabupaten Alor. Misalnya di Pulau Pantar,
Pura Penataran Sasih, Desa Pejeng, Gianyar, moko yang dianggap memiliki nilai tertinggi
Bali merupakan salah satu tipe nekara dengan adalah Moko Lima Anak Panah, sedangkan di
ukuran besar dengan tinggi 198 cm dan wilayah Pulau Alor, Moko Lima Anak Panah
diameter bidang pukul 160 cm. Nekara atau bukanlah moko yang nilainya tertinggi. Di
moko terbuat dari logam campuran (antara beberapa tempat ada yang menganggap Moko
lain kuningan dan timah), berbentuk seperti Itikara yang bernilai paling tinggi. Nilai moko
dandang terbalik dengan bidang pukul di atas saat ini ditentukan oleh para kepala suku atau
dan bagian bawah yang berongga. Bentuk ketua adat.
moko juga mendekati bentuk tifa, alat musik Nekara juga ditemukan di Desa Manikliyu,
khas dari Indonesia bagian timur khususnya Kecamatan Kintamani, Bali pada tahun 1997
Papua. Bagian atas yang disebut bidang pukul secara tidak sengaja oleh seorang penduduk.
berbentuk bundar. Semakin ke bawah (bagian Setelah dilakukan ekskavasi penyelamatan,
tengah atau pinggang) mengecil, kemudian didapatkan nekara tersebut memiliki tinggi
melebar kembali di bagian bawah. Moko 120 cm dan diameter bidang pukul 77 cm.
memiliki ketinggian rata-rata sekitar 46-60 cm Nekara Manikliyu tersebut berfungsi sebagai
dan diameter 32 cm. wadah kubur di mana di dalamnya terdapat
Moko memiliki berbagai macam pola rangka manusia. Ciri penguburan dengan
hias. Bintarti telah membagi pola hias moko nekara tersebut diperkirakan berasal dari masa
menjadi empat yaitu pola prasejarah, pola hias perundagian yaitu pada awal masehi, 400-300
candi (Indonesia Hindu), pola barat (Belanda- SM (Gede, 1997: 40).
Inggris) dan pola lain (pola baru). Pola hias Moko yang sudah menjadi benda pusaka
prasejarah misalnya berupa pola bintang memiliki peran penting dalam kehidupan
bersudut delapan, pola hias geometrik, dan masyarakat Alor. Dewa Kompiang Gede
kedok muka. Pola sulur, untaian bunga dan menjabarkan fungsi moko yaitu sebagai sarana
daun, kepala kala, wayang, burung garuda upacara, lambang status sosial, belis (sebutan
dan geometrik merupakan ciri pola hias candi untuk mas kawin di wilayah Indonesia timur),
(Indonesia Hindu). Pola hias barat (Belanda- alat musik dan sebagai benda yang bernilai
Inggris) berupa pola gigir keliling, untaian daun ekonomis (Gede, 1995: 76-78). Selain itu fungsi
anggur dan bunga anggur, muka orang yang moko adalah sebagai lambang perdamaian dari
digambarkan berkumis, berjenggot, dan hidung pihak-pihak yang bertikai. Pada saat perdamaian
mancung. Kemudian ada pula pola dua ekor dicapai salah satu pihak menyerahkan moko
singa yang berdiri sambil memegang bendera ke pihak lainnya sebagai simbol perdamaian,
Belanda. Pola yang tergolong pola baru antara bahwa pertikaian telah berakhir. Moko yang
lain gambar manusia dan binatang seperti naga, telah digunakan sebagai lambang perdamaian
singa, kuda, kerbau, buaya, kijang, ayam dan ini tidak boleh digunakan lagi sebagai belis.
sebagainya (Bintarti dalam Gede, 1995: 73-75). Jika digunakan, dipercaya akan mendatangkan
Moko memiliki nama-nama yang telah kemalangan bagi pasangan pengantin. Dalam
dikenal oleh penduduk setempat secara turun tulisan ini akan dibahas mengenai fungsi moko
temurun misalnya Moko Lima Anak Panah, sebagai belis.
Moko Habartur, Moko Makasar, Moko Jawa, Pada era informasi saat ini, masyarakat
dan Moko Itikara. Tiap moko memiliki nilai Alor masih memegang teguh tradisi yang
yang berbeda-beda tergantung pada pola hias diwariskan oleh nenek moyang mereka. Moko
dan lokasi moko tersebut dihargai karena nilai masih tetap menjadi bagian dari belis, meskipun

196 Forum Arkeologi Volume 26, Nomor 3, November 2013 (195 - 206)
terdapat sedikit pergeseran-pergeseran fungsi Antara_Cinta_Prestise_Dan_Miskonsepsi)
dan nilainya. Moko wajib ada dalam daftar mengatakan bahwa bruidschat atau mas
belis selain babi atau hewan ternak lainnya dan kawin adalah sejumlah harta yang diberikan
pakaian adat atau kain sarong tenun tradisional oleh pihak lelaki kepada kerabat si gadis
Alor. Demikian pentingnya arti sebuah moko, dengan tujuan untuk memuaskan hati mereka
hingga dijadikan sebagai mas kawin untuk dan meredamkan rasa dendam karena salah
melamar seorang gadis. seorang gadis di antara mereka dilarikan atau
Permasalahan yang dibahas dalam bruidschaking (melarikan anak gadis). Apabila
penelitian ini yaitu bagaimana penggunaan tidak seperti itu, maka setiap laki-laki yang
moko sebagai belis dalam kehidupan masyarakat hendak menjadikan seorang gadis sebagai
Alor dan apa makna penggunaan moko sebagai istri harus mendatangi dan berdiam di rumah
belis dalam perkawinan masyarakat Alor. sang gadis. Wilken beranggapan bahwa mas
Secara umum tujuan penelitian ini adalah kawin bukanlah harga pembelian melainkan
untuk menambah khasanah pengetahuan suatu silih, sehingga bisa dikatakan bahwa mas
mengenai moko sebagai warisan budaya Pulau kawin adalah keseluruhan prosedur penyerahan
Alor dan sekitarnya. Alor memiliki sebutan barang yang oleh adat telah ditentukan untuk
sebagai Pulau Seribu Moko, namun tulisan diserahkan oleh pihak pria kepada pihak wanita
mengenai moko itu sendiri masih terbatas sesuai dengan lapisan dan kedudukan sosial
jumlahnya. Moko memiliki beberapa fungsi dan masing-masing. Demikian pula halnya dengan
dalam tulisan ini akan dikupas berkaitan dengan benda pusaka berupa moko yang dimiliki
fungsi moko sebagai belis. Secara khusus tujuan masyarakat Alor dianggap sebagai harga yang
penelitian ini adalah untuk mengungkapkan pantas sebagai silih karena akan meninggalkan
bagaimana penggunaan moko sebagai belis ayah, ibu dan keluarga besarnya untuk ikut
dalam kehidupan masyarakat Alor dan untuk bersama suaminya.
mengetahui apa makna di balik penggunaan Untuk mendapatkan makna-makna yang
moko sebagai belis dalam kehidupan masyarakat ada dibalik tradisi penyerahan moko sebagai
Alor. belis, perlu dilakukan “pembongkaran”.
Menurut Bintarti, moko adalah hasil budaya Teori dekonstruksi dari Derrida digunakan
prasejarah di Indonesia, yang merupakan suatu untuk mendapatkan makna-makna dibalik
tipe lokal dari nekara perunggu di Indonesia. tradisi penyerahan belis. Dalam teori
Istilah moko berasal dari penamaan di wilayah kontemporer dekonstruksi sering diartikan
Kabupaten Alor, sedangkan di Flores Timur sebagai pembokaran, pelucutan, penolakan,
disebut wulu. Moko di Alor dijadikan sebagai dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan
mas kawin dalam adat perkawinan mereka penyempurnaan arti semula. Dekonstruksi
(Bintarti dalam Gede, 1995: 72). Menurut memang melakukan pembongkaran, namun
Koentjaraningrat, seseorang yang memiliki tujuan akhir yang hendak dicapai adalah
inisiatif untuk melaksanakan perkawinan penyusunan kembali ke dalam tatanan dan
harus memenuhi syarat yang terdiri dari: mas tataran yang signifikan, sesuai dengan hakekat
kawin (bride-price), pencurahan tenaga untuk objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis
kawin (bride-service), dan pertukaran gadis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin
(bride-exchange) (Koentjaraningrat, 1980: 94). (Ratna, 2005: 252).
Dalam hal ini para pemuda yang ingin melamar
gadis dari Alor dituntut untuk menyerahkan METODE
mas kawin berupa moko kepada keluarga si Kabupaten Alor terdiri dari sembilan
gadis. G.A. Wilken (dalam Hadiasman http:// pulau yang berpenghuni yaitu Pulau Alor,
www.academia.edu/1066775/Mas_Kawin_ Pantar, Pura, Ternate, Buaya, Nuha Kepa,

Moko sebagai Mas Kawin (Belis) pada Perkawinan Adat Masyarakat Alor Putu Eka Juliawati 197
Tereweng, Kura, dan Kangge. Selain itu data mengenai moko dan beberapa konsep
terdapat sebelas pulau yang tidak berpenghuni. mengenai belis.
Secara keseluruhan Alor merupakan daerah 2. Observasi adalah metode pengamatan yang
pegunungan tinggi yang dikelilingi oleh lembah dilakukan di wilayah Kota Kalabahi dan
dan jurang-jurang. Sebagian besar Kampung Desa Alaang Kecamatan Alor Baratlaut,
Lama orang Alor terletak di daerah gunung Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
(dataran tinggi), namun saat ini penduduk Penelitian ini merupakan bagian dari
banyak bermukim di daerah dataran rendah. Penelitian Hunian dan Budaya Masa
Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Prasejarah di Nusa Tenggara Timur: Survei
Alor khususnya di Kota Kalabahi dan di Desa dan Ekskavasi di Kecamatan Alor Barat
Alaang, Kecamatan Alor Baratlaut. Lokasi ini Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara
dianggap dapat mewakili objek penelitian. Desa Timur dilaksanakan oleh tim dari Balai
Alaang dipilih karena desa ini juga merupakan Arkeologi Denpasar dari tanggal 17 Juli
lokasi ekskavasi yang dilakukan oleh tim dari sampai dengan 30 Juli 2013.
Balai Arkeologi Denpasar. Pada tahun 1972 di 3. Metode wawancara tanpa struktur
lokasi ini ditemukan sebuah moko besar (gambar dilakukan terhadap beberapa orang
1) secara tidak sengaja oleh seorang penduduk. informan yang dianggap mengetahui atau
Selain itu, di desa ini masih berlangsung tradisi paham tentang moko dan penggunaan
penyerahan belis moko. Desa Alaang dianggap moko sebagai belis. Pemilihan informan
dapat mewakili masyarakat pedesaan yang dilakukan dengan teknik purposive, yaitu
sebagaian besar bekerja sebagai petani dengan pemilihan informan dengan pertimbangan
tradisi yang masih kuat. Kota Kalabahi dipilih tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.
sebagai lokasi penelitian karena di kota ini dapat Nama-nama informan antara lain yaitu:
dijumpai penduduk yang heterogen baik daerah Petrus, Paulina Amat, Martina Malaikosa,
asalnya maupun pekerjaannya. Di samping Yan Samuel Goma, dan Paulina Gyu.
itu karena keterbatasan dana dan sumber daya Analisis data menggunakan metode
manusia peneliti, sehingga penelitian hanya deskriptif. Analisis data adalah proses
dapat dilakukan di dua lokasi dalam satu mengatur urutan data, mengorganisasikan ke
kabupaten. dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian
dasar, sedangkan metode kualitatif merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang atau perilaku yang dapat
diamati (Bungin, 2003: 53).
Menurut Whitney, metode deskriptif
adalah pencarian data dengan interpretasi
yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari
masalah-masalah dalam masyarakat, serta
tata cara yang berlaku dalam masyarakat
Gambar 1. Nekara, koleksi serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang
Museum Seribu Moko, Kalabahi, Alor. hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar) sikap, pandangan-pandangan, serta proses-
proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-
Pengumpulan data dilakukan melalui
pengaruh dari suatu fenomena (Nazir, 2003:
beberapa tahapan yaitu:
16).
1. Studi pustaka (library research) adalah
metode yang digunakan untuk mencari

198 Forum Arkeologi Volume 26, Nomor 3, November 2013 (195 - 206)
Analisis data dilakukan secara induktif, Di Indonesia, Nekara tipe Heger I
yaitu dimulai dari lapangan atau fakta empiris ditemukan di daerah danau Kerinci, Pekalongan,
dengan cara terjun ke lapangan. Untuk Banyu Bening (Semarang), Bima, Sangeang,
menganalisis berbagai data yang sudah ada Roti, dan Selayar. Sedangkan nekara tipe
digunakan metode deskriptif analitik. Metode Pejeng (moko) ditemukan di Daerah Bali, Alor,
ini digunakan untuk menggambarkan data yang Adonara dan Flores (Bintarti dalam Gede, 1997:
sudah diperoleh melalui proses analitik yang 39). Di Bali diketahui ada beberapa buah nekara,
mendalam dan selanjutnya diakomodasikan yang bentuknya masih utuh dan ada pula yang
dalam bentuk bahasa secara runtut atau dalam fragmentaris, yang ditemukan di Desa Pejeng
bentuk naratif. (Gianyar), Bebitra (Gianyar), Peguyangan (Kota
Dalam penelitian ini penulis melakukan Denpasar), Carangsari (Badung), Basang be
pengamatan langsung dan mengumpulkan (Tabanan), Ularan dan Pacung (Buleleng), Ban
informasi dari para informan. Kemudian data (Karang Asem) dan Manuaba (Gianyar) berupa
disederhanakan dan diklasifikasikan sesuai cetakannya (Suastika dalam Gede, 1997: 39).
dengan kebutuhan hingga akhirnya bisa Nekara yang ditemukan di Pejeng,
didapatkan suatu kesimpulan atau verifikasi. Gianyar, Bali pada akhirnya digunakan untuk
menyebut tipe nekara yang serupa yakni
HASIL DAN PEMBAHASAN “Nekara tipe Pejeng”. Nekara perunggu yang
Sejarah Nekara (Moko) ditemukan di Indonesia dibagi menjadi dua
Nekara adalah tinggalan arkeologi tipe yaitu tipe Heger dan tipe Pejeng. Nekara
yang merupakan hasil budaya materi dengan tipe Pejeng dianggap berasal dari Indonesia
persebaran yang cukup luas. Pertama kali nekara dan nekara tipe Heger dianggap berasal dari
perunggu ditemukan di Dongson, Provinsi Than luar Indonesia (Asia). Selain itu terdapat juga
Hoa, Vietnam. Daerah Dongson sendiri dianggap beberapa nama lokal untuk nekara di Indonesia
sebagai cikal bakal atau daerah asal dari budaya antara lain bulan (sasih) untuk menyebutkan
Dongson yang tinggalannya tersebar hampir nama nekara di Pejeng (Bali), Tifa Guntur
di seluruh Asia Tenggara termasuk Indonesia. (Maluku), Makalamau (Sangeang, NTB),
Nekara terbuat dari perunggu yang merupakan Sarisatangi, Bo so napi, untuk menyebut nekara
campuran dari logam tembaga dan timah. tipe Heger I. Untuk menyebutkan Nekara Tipe
Menurut Peter Bellwood pembuatan perunggu Pejeng di Pulau Alor dipergunakan istilah moko
di Asia Tenggara dimulai sekitar pertengahan (gambar 2), di Pulau Pantar disebut kuang,
millennium kedua sebelum masehi atau sekitar
3000-2500 SM, sedangkan di Indonesia masa
logam baru berlangsung sekitar 500 – 300 SM
(Bellwood, 2000: 389).
Nekara memiliki berbagai macam pola
hias. Pada tahun 1878 AD Meyer dan W.Foy
mengklasifikasikan nekara menjadi 6 tipe,
yaitu tipe M1-M6. Kemudian pada tahun
1902 klasifikasi yang dilakukan oleh Meyer
disederhanakan oleh F. Heger menjadi 4 tipe
saja yakni tipe Heger I – Heger IV dan hingga
saat ini yang digunakan untuk mengklasifikasi Gambar 2. Moko, koleksi
nekara perunggu adalah klasifikasi menurut Museum Seribu Moko,
Heger (Bintarti, 2001: 3). Kalabahi, Alor.
(Sumber: Dokumen Balai
Arkeologi Denpasar)

Moko sebagai Mas Kawin (Belis) pada Perkawinan Adat Masyarakat Alor Putu Eka Juliawati 199
masa hidupnya orang berusaha mengumpulkan
nekara sebanyak-banyaknya karena akan
dianggap terhormat jika memiliki nekara yang
banyak. Apabila orang tersebut meninggal
tanpa pewaris maka nekara akan dihancurkan
dan dikubur bersama si mati sebagai bekal
kuburnya (Ardika dalam Gede, 1997: 45).
Ada juga spekulasi yang menyebutkan
bahwa nekara dibuat untuk keperluan upacara
religius seperti ritual panen. Kegunaannya
yang lebih sekuler adalah untuk menggalang
atau mengumpulkan para laki-laki untuk
Gambar 3. Nekara Pejeng, Bali.
(Sumber: www.asiafinest.com) berperang. Dalam cerita rakyat, nekara disebut
dengan istilah rain drums atau nekara hujan
dan dimainkan untuk Dewa Hujan dan untuk
dan di Kabupaten Flores Timur disebut wulu
menenangkan badai (http://www.asianart.com/
(Poesponegoro dan Notosusanto, 2008a: 295).
asianartresource/d10479.html).
Moko (nekara tipe Pejeng) (gambar 3) memang
Nekara perunggu ada yang berasal
tidak bisa dimasukkan ke nekara tipe Heger
dari Indonesia dan daratan Asia Tenggara.
mengingat diameter atau garis tengahnya jauh
Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
lebih pendek dari tingginya.
merupakan bagian satu kesatuan daerah lalu
Fungsi nekara perunggu yang ada di
lintas barang (Poesponegoro dan Notosusanto,
Vietnam menurut pendapat Loofs-Wissowa
2008b:7). Terdapat beberapa teori mengenai
yang dikutip oleh Peter Bellwood meyebutkan
asal usul keberadaan moko di Indonesia.
bahwa nekara perunggu digunakan sebagai
Perlu diketahui bahwa moko itu sendiri tidak
hadiah yang diberikan kepada penguasa
ditemukan di Vietnam, negara pembuat
setempat sebagai lambang martabat raja dan
nekara. Teori pertama mengatakan bahwa
kekuasaanya. Nekara tersebut diberikan oleh
moko diproduksi di Gresik namun kemudian
penguasa politik dan agama di Vietnam (Loofs-
dibeli dan diperdagangkan oleh para saudagar
Wissowa dalam Bellwood, 2000: 403).
Makassar hingga sampai ke Makassar. Teori
Di Birma dan Thailand, nekara
kedua menyatakan bahwa moko dibuat di
digunakan sebagai alat untuk memanggil arwah
Makassar sesuai dengan asal para saudagar
nenek moyang dengan cara memukul bidang
yang berdagang moko di Alor. Teori ketiga
pukulnya. Mereka juga menganggap nekara
menyatakan bahwa mungkin moko diproduksi
sebagai benda-benda pemujaan sehingga untuk
di Bali, mengingat di Bali pernah ditemukan
itu perlu diberi sesaji. Hal ini juga dilakukan
cetakan nekara perunggu (Handini, dkk, 2012:
terhadap nekara yang ditemukan di Gorong,
41).
Maluku Tengah (Heekern dalam Gede, 1997:
Sampai saat ini, fungsi nekara (moko)
44-45).
sebagai mas kawin atau belis hanya ditemukan
Di Laos, nekara dikuburkan di suatu
di Alor. Bagi masyarakat Alor, moko merupakan
tempat dan dikeluarkan pada saat upacara saja,
anugerah Tuhan yang bisa muncul dari laut
karena sebagai benda pusaka. Sama halnya bagi
dan dari dalam tanah. Dikatakan demikian
masyarakat di beberapa kampung adat di Alor
karena di Alor sendiri tidak ditemukan bengkel
juga menyimpan moko beserta benda pusaka
pembuatan moko. Hal itu menyebabkan begitu
lainnya dalam sebuah rumah adat yang hanya
dihargainya moko di Alor hingga digunakan
dikeluarkan pada saat tertentu saja. Sebagai
sebagai belis.
contoh di Kampung Adat Takpala. Di Laos, pada

200 Forum Arkeologi Volume 26, Nomor 3, November 2013 (195 - 206)
Mas Kawin (Belis) Pola perkawinan yang dikenal antara lain:
Perkawinan dilakukan setelah adanya 1. Kawin pinang
persetujuan antara anak dan orang tua mereka. Perkawinan ini dianggap paling ideal.
Secara umum, adat perkawinan di Nusa Perkawinan ini dilakukan dengan melakukan
Tenggara Timur terdiri dari tiga tahap yaitu peminangan secara adat terlebih dahulu.
peminangan, pembayaran belis dan upacara Berdasarkan pembayaran belis, perkawinan
perkawinan. Saat ini upacara perkawinan juga pinang ini pun bisa dibedakan menjadi
dilaksanaakan berdasarkan agama yang dianut perkawinan dengan pembayaran belis tunai dan
oleh mempelai, meskipun beberapa agama besar pembayaran belis hutang. Jika belis dibayarkan
seperti Kristen, Katolik dan Islam telah masuk secara tunai maka gadis bisa langsung dibawa
ke kehidupan masyarakat, pembayaran belis untuk tinggal di rumah laki-laki, namun apabila
masih tetap dilakukan untuk mempertahankan belis masih dihutang maka laki-laki harus tetap
tradisi warisan leluhur. tinggal di rumah keluarga gadis dan mengabdi
Belis merupakan unsur dalam lembaga untuk keluarga gadis.
perkawinan yang memegang peranan penting. Dalam jenis perkawinan ini juga dikenal
Belis dianggap sebagai na buah ma an mone, perkawinan ketika masih bayi atau kanak-
yaitu suatu simbol untuk mempersatukan laki- kanak. Pembayaran belis dilakukan pada saat
laki dan wanita sebagai suami istri. Selain itu masih kanak-kanak dimana kedua keluarga
belis juga dipandang sebagai syarat pengesahan melakukan perjanjian kelak jika sudah dewasa
berpindahnya keanggotaan suku dari suku nanti gadis yang masih bayi atau kanak-kanak
wanita ke suku suaminya (Anonim, 1977/1978: tersebut akan menjadi istri dari anak laki-laki
95), sehingga nama belakang (marga) suami pemberi belis.
pun ditambahkan di belakang nama istri dan 2. Kawin bertukar (gayel golal)
berlanjut menjadi nama belakang anak-anak Dalam perkawinan model ini terdapat
mereka. Jika laki-laki belum membayarkan sedikitnya empat klan (keluarga besar) yang
belis maka dia harus tinggal bersama di rumah saling bertukar calon mempelai. Mereka tidak
keluarga perempuan dan tidak berhak atas anak- diperbolehkan mencari pasangan dari satu klan.
anak sampai dia mampu membayar lunas belis. Contoh: klan A akan mencari suami di klan B,
Di Nusa Tenggara Timur belis pada klan B mencari suami di klan C, klan C mencari
umumnya berbentuk emas, perak, uang dan suami di klan D dan klan D mencari suami di
hewan seperti kerbau, kuda. Barang-barang lain klan A. Demikian jalannya perkawinan anak
berupa bahan makanan misalnya beras, jagung, laki-laki dan gadisnya harus searah (Handini
dan sebagainya. Pada beberapa daerah tertentu dkk, 2012: 38).
belis berupa barang-barang khusus, seperti di 3. Kawin lari
Alor belis biasanya berupa moko (nekara kecil), Hal ini terjadi apabila anak sudah saling
di Flores Timur dan Maumere (Sikka) berupa mencintai tetapi orang tua tidak setuju. Setelah
gading gajah (Anonim, 1977/1978: 96). mendapatkan perlindungan adat, perkawinan
dilanjutkan seperti biasa, dengan pembayaran
Pola-pola Perkawinan Masyarakat Alor belis dan denda-denda lainnya.
Masyarakat Alor menggunakan sistem 4. Kawin menggantikan
kekerabatan patrilineal di mana garis keturunan Perkawinan ini terjadi secara leveraat.
berada di pihak laki-laki. Pola perkawinan Seorang yang ditinggal mati oleh suaminya
masyarakat Alor memiliki kemiripan dengan dikawinkan lagi dengan saudara laki-laki
pola perkawinan di Nusa Tenggara Timur pada suaminya, bukan berdasarkan paksaan dan tanpa
umumnya. dikenakan belis lagi (Anonim, 1977/1978: 99).

Moko sebagai Mas Kawin (Belis) pada Perkawinan Adat Masyarakat Alor Putu Eka Juliawati 201
Moko sebagai Belis Moko Lima Anak Panah yang diminta keluarga
Dalam tradisi masyarakat Alor, moko perempuan. Bahkan jika ibu dari gadis belum
wajib diberikan oleh mempelai pria kepada mendapatkan moko dari suaminya (ayah dari
mempelai wanita pada saat proses upacara gadis) maka hal tersebut menjadi tanggung
perkawinan adat. Seperti telah dijelaskan jawab tambahan bagi mempelai laki-laki
sebelumnya, setiap moko memiliki nilai yang untuk menyerahkan moko untuk ibu dari gadis.
berbeda-beda. Ada yang bernilai tinggi, apabila Beberapa kalangan memang menganggap hal
diuangkan bisa mencapai 15 juta rupiah, bernilai ini cukup memberatkan.
sedang sekitar 8 juta rupiah dan bernilai rendah Moko dengan nilai tertinggi bisa untuk
sekitar 3 juta rupiah. belis lebih dari satu orang gadis, namun bukan
Jenis moko yang digunakan untuk berarti seorang lelaki yang memiliki moko
melamar gadis tergantung dari permintaan dengan nilai tertinggi bisa menikah dengan
keluarga dari gadis. Keluarga mempelai laki- beberapa orang gadis sekaligus. Jika seorang
laki diperbolehkan untuk melakukan tawar laki-laki memiliki moko dengan nilai tertinggi
menawar atau negosiasi. Setelah terjadi kemudian melamar gadis dari kalangan rakyat
negosiasi antara kedua keluarga mempelai biasa, maka laki-laki berhak mendapatkan
maka akan terjadi kesepakatan tentang jenis kembalian berupa moko juga dengan nilai
moko yang akan diserahkan. Pada umumnya yang lebih rendah dari keluarga perempuan.
moko dengan nilai tinggi digunakan untuk Diumpamakan jika keluarga gadis meminta
melamar gadis dari keluarga keturunan raja moko senilai Rp. 8 juta sedangkan pihak laki-
atau dari status sosial tinggi. Seiring perubahan laki menyerahkan moko yang bernilai Rp.15 juta
jaman, pekerjaan dan latar belakang pendidikan maka pihak laki-laki berhak atas pengembalian
gadis juga bisa menjadi pertimbangan untuk moko senilai Rp. 7 juta. Kembalian berupa moko
diberikan moko dengan nilai tinggi meskipun dengan nilai yang lebih rendah tersebut disebut
gadis bukan keturunan raja. Selain itu orang dengan istilah moring. Nilai moring sangat
tua yang anak sulungnya akan dilamar, mereka fleksibel tergantung kesepakatan bersama dan
akan meminta moko yang lebih mahal daripada bisa juga diganti dengan uang.
untuk anak kedua, ketiga dan seterusnya. Hal Saat ini perkawinan antarsuku sudah
ini karena pernikahan anak sulung adalah pesta biasa terjadi di Alor. Seorang pemuda yang
hajatan pertama yang akan dilakukan. bukan etnis Alor yang berniat melamar gadis
Moko memiliki nilai yang berbeda-beda dari Alor juga harus memenuhi belis seperti
tergantung wilayah dimana moko itu dihargai. yang diminta oleh keluarga gadis. Pemuda dari
Nilai moko yang dipakai untuk belis adalah luar kabupaten Alor bisa membeli moko atau
yang berlaku di wilayah mempelai wanita. jika diizinkan bisa diganti dengan sejumlah
Contoh: seorang pria dari Pulau Alor dengan uang. Penggantian belis moko ke dalam bentuk
Moko Itikara nya yang bernilai tinggi akan uang juga diperbolehkan tidak hanya untuk
meminang gadis dari Pulau Pantar, dimana di pemuda luar Alor tapi juga untuk pemuda Alor
sana Moko Lima Anak Panah (Moko Pung) yang kebetulan keluarganya tidak memiliki
lah yang bernilai paling tinggi; maka standar moko. Hal ini bisa diterima keluarga gadis
nilai yang digunakan adalah nilai moko di yang pada umumnya berasal dari keluarga
Pantar. Jika keluarga perempuan meminta moko yang sudah modern atau bisa dikatakan berasal
dengan nilai tinggi, artinya Moko yang bernilai dari kalangan pegawai, (wawancara dengan
tinggi di Pantar. Moko Itikara milik keluarga informan pertama tanggal 23 Juli 2013).
laki-laki akan dianggap memiliki nilai yang Masyarakat dari kalangan petani terkenal masih
tidak tinggi di Pantar. Oleh karena itu keluarga fanatik dan tidak mau menerima uang sebagai
laki-laki harus berusaha untuk mendapatkan pengganti moko.

202 Forum Arkeologi Volume 26, Nomor 3, November 2013 (195 - 206)
Menurut pengakuan informan kedua, Secara umum setelah berkeluarga suami menjadi
saat ini ada sejumlah warga pemilik moko kepala keluarga dan bertanggungjawab untuk
yang menjual moko mereka untuk memenuhi menghidupi keluarganya. Istri bertanggung
kebutuhan hidupnya terutama untuk membiayai jawab untuk urusan rumah tangga. Saat ini,
sekolah anak-anak mereka. Oleh sebab itu, jika seorang istri juga dapat bekerja dan tidak hanya
anak lelaki mereka akan meminang seorang berkutat dengan urusan domestik rumah tangga.
gadis Alor, maka mulailah mereka kembali Pengalaman seorang informan perempuan asli
berburu untuk mendapatkan moko dengan cara Alor yang ketika menikah dilamar dengan
membeli dari orang lain. Mendapatkan moko moko, dia masih bisa memilih pekerjaan di luar
untuk dijadikan belis tidak hanya diusahakan rumah sebagai guru dan bertanggungjawab
oleh kedua orang tua laki-laki, tapi juga bersama-sama dengan suami untuk memenuhi
melibatkan keluarga besar bahkan suku mereka. kebutuhan rumah tangga (wawancara dengan
Apabila mereka berhasil mendapatkan moko informan ketiga, tanggal 26 Juli 2013).
yang diminta, maka akan menjadi kebanggaan
pula bagi keluarga dan sukunya (wawancara Makna Penggunaan Moko sebagai Belis
dengan informan kedua, tanggal 19 Juli 2013). Masyarakat Alor menganggap bahwa
Moko yang diterima oleh keluarga sebagai penyerahan belis berupa moko adalah tradisi
belis atas anak gadisnya bisa saja dimanfaatkan yang diwariskan secara turun temurun yang
kembali oleh anggota keluarganya yang lain harus dilaksanakan, memiliki makna sebagai
untuk kembali meminang gadis. Beberapa berikut:
keluarga memilih untuk tetap menyimpan moko 1. Makna Sakralitas Perkawinan
mereka karena tidak ingin kebingungan untuk Dalam kehidupan masyarakat Alor,
mendapatkan moko jika memiliki anak atau pembayaran belis merupakan tanda kesungguhan
kerabat laki-laki yang akan menikah. seorang pemuda untuk melamar seorang
Peredaran moko di Alor saat ini sangat gadis. Penyerahan moko merupakan salah
dipengaruhi oleh adat kawin-mawin yang terjadi. satu rangkaian adat perkawinan masyarakat
Moko-moko yang beredar itu-itu saja (kecuali Alor yang sudah menjadi tradisi. Tradisi tentu
ada temuan baru), hanya kepemilikannya yang saja berkembang mengikuti perkembangan
berpindah-pindah tangan Mengingat moko zaman. Tradisi penyerahan moko sebagai belis
adalah warisan turun temurun, tidak ada lagi dan bersifat sakral dianggap sebagai pengikat
moko yang diproduksi. Menurut keterangan sepasang anak manusia menjadi suami istri.
informan moko bisa saja ditemui di pasar di F.D.E van Ossenbruggen memaparkan bahwa
Kota Kalabahi namun moko-moko tersebut dalam mas kawin terdapat nilai magis dan sakti.
tidak asli atau tiruan. Masyarakat terutama tetua Dalam adat Bugis-Makassar istilah mas kawin
adat mampu membedakan mana moko asli yang dikenal dengan istilah Sompa (Bugis) dan
sudah berumur ratusan tahun dan mana moko Sunrang (Makassar). Mas kawin tersebut dapat
tiruan yang baru dibuat (Wawancara dengan terdiri atas sawah, kebun, keris pusaka dan lain-
informan pertama tanggal 23 Juli 2013). lain yang kesemuanya itu memiliki makna yang
Kendati moko diserahkan oleh keluarga sangat penting dalam kehidupan, sehingga
laki-laki kepada keluarga perempuan ketika harta pemberian ini memiliki fungsi yang
melamar, bukan berarti moko adalah alat khusus yakni mengembalikan kegoncangan
pembayaran untuk membeli seorang gadis keseimbangan kekuatan sakti dalam kelompok
atau merupakan praktik penjualan manusia. keluarga si gadis karena si gadis diambil keluar
Perempuan bukanlah ‘properti’ laki-laki. dari kelompoknya (Hadiasman, http://www.
Perempuan yang sudah menjadi istri tidak academia.edu/1066775/Mas_Kawin_Antara_
diperlakukan dengan semena-mena oleh suami. Cinta_Prestise_Dan_Miskonsepsi).

Moko sebagai Mas Kawin (Belis) pada Perkawinan Adat Masyarakat Alor Putu Eka Juliawati 203
2. Makna Sosial suatu gabungan yang dapat dipahami dengan
Moko yang digunakan sebagai belis menjumlahkan semua gagasan individu yang
merupakan benda langka yang tidak lagi ada dalam masyarakat itu saja. Di pihak lain,
diproduksi, meskipun ada usaha-usaha untuk gagasan kolektif lebih luas daripada jumlah
membuat tiruannya, namun masyarakat gabungan dari bagian-bagian gagasan-gagasan
terutama para tetua adat tidak menggunakan individu. Gagasan kolektif biasanya terumuskan
moko tiruan tersebut sebagai belis. Dalam dan tersimpan dalam bahasa masyarakat
menentukan jumlah dan jenis moko yang yang bersangkutan dan dapat dilanjutkan ke
diminta, keluarga calon mempelai wanita akan generasi berikutnya. Gagasan kolektif dianggap
mengadakan rapat keluarga. Moko yang diminta berada di atas individu karena mempunyai
disesuaikan dengan status sosial mereka, kekuatan untuk mengatur perilaku dan menjadi
apakah dari keturunan raja atau bukan, dan pedoman bagi kehidupan warga masyarakat
saat ini dipengaruhi juga oleh latar belakang (Koentjaraningrat, 1987: 91). Penyerahan belis
pendidikan maupun pekerjaan gadis. Jika moko pada mulanya juga merupakan gagasan
memang mereka berasal dari keluarga rakyat individu yang kemudian menjadi gagasan
biasa, tentu nilai dan jumlah moko yang diminta kolektif, sehingga berkembang secara luas
tidak banyak. mencakup nilai-nilai, wujud aktifitas dan wujud
Secara tidak langsung, nilai dan jumlah fisiknya sampai akhirnya menjadi sebuah
belis mereka akan menunjukkan status sosial kebudayaan.
mereka khususnya gadis dan keluarganya. Hal Penyerahan belis dalam perkawinan
ini akan menimbulkan kebanggaan, bahkan adat di Alor merupakan perwujudan dari suatu
dalam skala yang lebih luas termasuk menjadi budaya yang tidak mudah berubah. R. Linton
kebanggaan suku mereka. Begitu pula dari dalam Koentjaraningrat menyebutnya dengan
pihak keluarga calon mempelai laki-laki istilah covert culture yaitu budaya yang tidak
yang membayar belis. Apabila mereka dapat mudah berubah meliputi sistem nilai budaya,
memenuhi permintaan keluarga gadis, yaitu keyakinan keagamaan yang dianggap keramat.
Moko yang bernilai tinggi dan dengan jumlah (Linton dalam Koentjaraningrat, 1990: 97)
yang banyak, maka derajat keluarga mereka Penyerahan belis sudah menjadi bagian dari
akan terangkat dan memiliki prestise yang baik. sistem pernikahan adat Alor yang sudah
Di daerah Manggarai Flores, belis berupa mengakar dan mengandung nilai sakral yaitu
benda-benda berharga seperti emas, gading, menyatukan dua insan. Di sisi lain, bentuk
uang, ternak kuda, sapi ataupun kerbau, moko belis itu sendiri merupakan overt culture yang
dihargai setara dengan benda-benda berharga berwujud fisik dan mudah berubah sesuai
tersebut. Dari segi harga material pembuatnya dengan perkembangan zaman dan perubahan
mungkin moko tidak setara dengan emas atau pola pikir masyarakat pendukungnya. Moko
gading gajah, namun memiliki nilai budaya sebagai bentuk belis tentu bermula dari suatu
dan kearifan lokal sangat tinggi hingga mampu masa di mana perdagangan khususnya dengan
menjadi indikator strata sosial seseorang atau sistem barter mulai dikenal mengingat moko itu
keluarga. sendiri bukan hasil budaya asli Alor.
3. Makna Identitas Masyarakat Alor Saat ini, kebutuhan masyarakat akan
Durkheim menyatakan bahwa suatu pendidikan dan kebutuhan hidup lainnya
kebudayaan muncul dari adanya gagasan- semakin meningkat. Beberapa masyarakat Alor
gagasan individu. Dengan naik satu tingkat mulai berpikir untuk mengganti belis moko
abstraksi ke atas dari konsep gagasan individu, dengan uang tunai agar lebih bermanfaat. Hal
Durkheim tiba pada konsep gagasan kolektif. tersebut menjadi dilema. Pada akhirnya pilihan
Namun, gagasan kolektif itu bukan hanya tergantung pada keluarga calon mempelai

204 Forum Arkeologi Volume 26, Nomor 3, November 2013 (195 - 206)
wanita karena mereka yang menentukan moko tersebut. Saat ini banyak terjadi penjualan
belis yang diminta. Disinilah bukti kesadaran benda-benda antik kepada para kolektor, bahkan
masyarakat Alor untuk mempertahankan di luar negeri benda-benda antik yang berumur
identitasnya sebagai orang Alor patut diacungi ratusan tahun dihargai dengan harga yang
jempol karena sampai saat ini belis moko masih fantastis. Hal ini tentu sangat menggiurkan
bertahan dan dilestarikan. sehingga dapat mempengaruhi pemilik moko
Identitas sangat sensitif terhadap menjual moko yang berumur ratusan tahun
perubahan keadaan dan diyakini bahwa proses- dengan harga tinggi.
proses globalisasi mengancam identitas dengan Dengan digunakannya moko sebagai
homogenisasinya (Yoeti, 2006: 362). Identitas belis, masyarakat akan berpikir dua kali untuk
dapat diartikan sebagai kepribadian budaya menjualnya terutama menjual ke luar Alor. Jika
masyarakat yang mengakibatkan masyarakat ada beberapa masyarakat yang menjual moko
bersangkutan menjadi lebih mampu menyerap mereka kepada orang Alor lainnya, tentu saja
dan mengolah pengaruh kebudayaan yang moko tersebut masih ada di sana dan hanya
mendatanginya dari luar wilayah sendiri. Hal berpindah tangan. Ketika diperlukan sebagai
itu juga bisa diartikan sebagai sebuah ketahanan belis, maka moko tersebut akan berpindah
dalam mempertahankan budaya lokal dari lagi dan tidak tertutup kemungkinan akan
kepungan budaya luar. dibeli kembali oleh orang yang sebelumnya
Masyarakat Alor bisa dikatakan berhasil menjualnya.
menjaga identitasnya meskipun sebelumnya Bisa dibayangkan bagaimana jika moko
sempat muncul wacana penghapusan belis tidak lagi digunakan sebagai belis, mungkin
moko karena dianggap sangat memberatkan, generasi selanjutnya tidak akan lagi bisa
tetapi hal tersebut urung terjadi. Kesepakatan melihat moko atau paling tidak moko hanya
yang ditetapkan adalah kebijaksanaan masing- akan menjadi pajangan di museum. Moko
masing pihak tentang jumlah moko yang harus saat ini adalah living tradition atau tradisi
diserahkan. Penyesuaian-penyesuaian terkait yang masih hidup dalam artian ‘hidup’ karena
jumlah moko yang diminta bisa didiskusikan masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Di
agar tidak terlalu memberatkan keluarga samping itu, dengan ditetapkannya moko
mempelai laki-laki. Jika dirasa memberatkan, sebagai lambang Kabupaten Alor, maka tentu
maka tidak menutup kemungkinan timbulnya saja hal ini mengharuskan moko tetap dijaga
‘ketakutan’ atau ‘keengganan’ untuk melamar kelestariannya.
gadis dari Alor. Selain itu akan membuka
peluang untuk pasangan-pasangan tidak sah KESIMPULAN
yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Dari hasil dan pembahasan sebelumnya
Pemerintah Daerah bahkan telah maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat
mengukuhkan bagaimana moko tidak Alor masih menggunakan moko sebagai
terpisahkan dari Kabupaten Alor. Berdasarkan belis. Jenis dan jumlah moko yang digunakan
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 1975 moko sepenuhnya ditentukan oleh keluarga mempelai
telah ditetapkan menjadi Lambang Daerah wanita namun negosiasi antara pihak keluarga
Kabupaten Alor (Anonim, http://www.alorkab. laki-laki dan perempuan masih bisa dilakukan
go.id/webalor2012/index.php/profil-daerah/ hingga tercapai kata sepakat. Oleh karena
arti-logo.html). Hal ini secara tegas menetapkan itu, belis moko dianggap memiliki kekuatan
bahwa moko adalah identitas masyarakat Alor. sakral yang mampu menyatukan dua anak
4. Makna Konservasi manusia menjadi suami istri dalam ikatan
Penggunaan moko sebagai belis tentu perkawinan yang sah serta tradisi penyerahan
saja secara langsung melestarikan keberadaan belis berupa moko dapat bermakna sebagai

Moko sebagai Mas Kawin (Belis) pada Perkawinan Adat Masyarakat Alor Putu Eka Juliawati 205
sakralitas perkawinan, status sosial, identitas, Handini, Retno dkk. 2012. Penelitian Moko di Alor,
dan pelestarian/konservasi budaya. Nusa Tenggara Timur, dalam Lintas Historis.
Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat
SARAN Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Nasional.
Moko adalah tinggalan arkeologi
Bronze Dong Son Kettle Drum. (http://www.
yang mempunyai nilai historis yang sangat
asianart.com/asianartresource/d10479.html,
tinggi terlebih lagi saat ini masih digunakan Diakses pada 03-09-2013).
bahkan menjadi identitas sebuah kabupaten Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu
di Indonesia. Terkait dengan hal itu saran- Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
saran yang bisa disampaikan yaitu tradisi _____________. 1987. Sejarah Teori Antropologi I.
penyerahan belis moko dalam perkawinan agar Jakarta: UI-PRESS.
tetap dijaga, untuk menjaga kelestarian moko. _____________. 1990. Sejarah Teori Antropologi
Kedua pemerintah daerah dan para tetua adat Jilid II. Jakarta: UI-PRESS.
perlu bekerja sama untuk mengawasi agar tidak Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: PT.
terjadi kesewenang-wenangan dalam penentuan Ghalia Indonesia.
Pemerintah Daerah Kabupaten Alor. Peraturan
harga atau nilai moko. Ketiga Pemerintah
Daerah Kabupaten Alor Nomor 9 Tahun 1975
Daerah khususnya Dinas Kebudayaan perlu
tentang Lambang Daerah Kabupaten Alor.
melakukan sosialisasi pada masyarakat tentang (http://www.alorkab.go.id/webalor2012/
arti penting moko sebagai warisan budaya dan index.php/profil-daerah/arti-logo.html,
identitas Alor yang wajib dilestarikan. Diakses 04-09-2013).
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto,
DAFTAR PUSTAKA Nugroho. 2008a. Sejarah Nasional Indonesia
Anonim. 1997/1978. Adat Istiadat Daerah Nusa I Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta:
Tenggara Timur. Proyek Penelitian dan Balai Pustaka.
Pencatatan Kebudayaan Daerah. Jakarta: _____________.2008b. Sejarah Nasional Indonesia
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. II Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo- Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural
Malaysia, Edisi Revisi. Jakarta: P.T Gramedia Studies Representasi Fiksi dan Fakta.
Bintarti, D.D. 2001. Nekara Tipe Pejeng: Kajian Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Banding dengan Nekara Tipe Heger I. Yoeti, H. Oka A. 2006. Dampak Pengembangan
Ringkasan Disertasi. Yogyakarta: Universitas Pariwisata Sebagai Suatu Industri Terhadap
Gajah Mada. Sosial dan Budaya. Dalam H. Oka A.
Bungin, Burhan. 2003. Analisa Data Penelitian Yoeti (Ed.). Pariwisata Budaya Masalah
Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan dan Solusinya: 129-139. Jakarta: Pradnya
Metodologis ke Arah Modal Penguasaan Paramita.
Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Gede, I Dewa Kompiang. 1995. Fungsi Moko
dalam Kehidupan Masyarakat Alor. Forum
Arkeologi. (2): 72-83.
___________________. 1997. Nekara sebagai
Wadah Kubur Situs Manikliyu, Kintamani.
Forum Arkeologi. (2): 39-53.
Hadiasman. Mas Kawin: Antara Cinta, Perstise
dan Miskonsepsi, (http://www.academia.
edu/1066775/Mas_Kawin_Antara_Cinta_
Prestise_Dan_Miskonsepsi, Diakses pada
26-08-2013).

206 Forum Arkeologi Volume 26, Nomor 3, November 2013 (195 - 206)

Anda mungkin juga menyukai